Puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah Filsafat Hukum tepat pada waktunya.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah SAW atas berkat
bimbingan serta perjuangan beliau lah kita dapat merasakan indahnya dunia islam yang kita
rasakan pada saat ini Allahummah sholli ala syaidinna muhammad wa’alaalih sayidinnah
muhammad, beserta para keluarga, sahabat dan pengikut beliau yang tetap istiqamah hingga
yaumul akhir amin amin yarabbal alamin.
Makalah ini saya buat dengan membaca referensi dari buku filsafat hukum , metode
mempelajari filsafat hukum, dan sejarah filsafat. Pada kesempatan ini saya sampaikan terima
kasih kepada ibu EMI HERAWATI, MH. sebagai dosen pembimbing mata kuliah filsafat hukum
yang telah memberikan tugas, yang mana tugas ini adalah ilmu yang sangat bermanfaat bagi saya.
Saya menyadari ketidak sempurnaan dalam penyusunan makalah ini oleh karena ini saya sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun sehingga saya dapat lebih meningkatkan
kualitas dalam penulisan makalah. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca
dan untuk mata kuliah ini. Aamiin..
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I .........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................4
PEMBAHASAN ........................................................................................................................4
C. Filsafat Ilmu................................................................................................................10
A. Filsafat Hukum Sebelum Abad XIX dan Sesudah Abad XIX ......................................16
3
4
A. Filsafat India ...............................................................................................................19
PENUTUP ...............................................................................................................................33
PENDAHULUAN
1
1
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet. 1, h. 1-2.
2
Pengetahuan dalam filsafat dibahas dalam epistemologi. Dari epistemologi, lahirlah dua
madzhab besar sumber pengetahuan yang sangat terkenal, yaitu rasionalisme dan
empirisme. Dalam tulisan ini, secara panjang akan diuraikan madzhab yang
pertama, yakni rasionalisme. Latar belakang munculnya rasionalisme adalah adanya
keinginan untuk membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional(scholastic), yang
pernah diterima, tetapi ternyata tidak mampu mengenai hasil-hasil ilmu pengetahuan yang
dihadapi. Pada tokoh aliran Rasionalisme diantaranya adalah Descartes (1596- 1650 M).
Tema yang kerap kali muncul dalam filsafat adalah hubungan antara pikiran kita dan
dunia. Yakni para filosof yang pandangannya saling berbeda, Descartes dan John Locke,
telah setuju bahwa alam pikiran kitalah yang membedakan manusia dari binatang, dan
sebagian besar filsafat berkaisar pada persoalan yang muncul didalam fikiran yang
demikian itu ketika mereka memikirkan bagaimana wilayah pemikiran itu berkerja
Aliran filsafat yang berasal dari Descartes ini di sebut dengan rasionalisme, karena aliran
ini sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dengan itu orang dapat
membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio. Dalam
memahami aliran rasionalisme, kita harus memerhatikan 2 masalah utama yang keduanya
di warisi dari Descartes. Pertama, masalah substansi dan kedua masalah hubungan antara
jiwa dan tubuh.2
Rasonalisme kebanyakan dihubungkan secara erat dengan filsuf abad ke-18 dan ke-19,
seperti Descartes, Leibniz, dan Spinoza. Bagaimanapun juga, karakteristik yang pasti dari
rasionalisme bisa dideteksi dalam banyak pemikir sebelum dan sesudah mereka.
Rasionalisme percaya bahwa cara untuk mencapai pengetahuan adalah menyandarkan diri
pada sumber daya logika dan intelektual. Penalaran demikian tidak berdasarkan pada data
pengalaman, tetapi diolah dari kebenaran dasar yang tidak menuntut untuk menjadi dan
mendasarkan diri pada pengalaman. Rene Descartes yang mendirikan aliran rasionalisme
ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Hanya
oengetahuan yang diperoleh lewat akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semu
a ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan akal, dapat diperoleh kebenaran dengan metode
deduktif,
seperti yang dicontohkan dalam ilmu pasti3
2
http://lingkarpenadamayana.wordpress.com/category/filsafat/, diunduh pada tanggal 11 Mei 2017
3
Asmoro Akhmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja grafindo Persada, 2007), h. 115
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.3. TUJUAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Filsafat
Kata filsafat berasal dari kata Yunani, yaitu philosophia, terdiri dari kata philos yang
berarti cinta atau sahabat dan kata sophia yang berarti kebijaksanaan, kearifan atau
pengetahuan. Jadi, philosophia berarti cinta pada kebijaksanaan atau cinta pada kebenaran,
dalam hal ini kebenaran ilmu pengetahuan. Istilah filsafat memiliki makna cinta
pada kebijaksanaan atau cinta pada pengetahuan. Para filsuf alam mengemukakan
pandangannya tentang dasar atau asal mula segala sesuatu atau peristiwa yang terdapat
dalam alam ini. 4
1.1. Menurut ahli-ahli filsafat alam yunani:
1. Thales
Ia berpendapat bahwa asal segala yang ada ialah air. Air yang senantiasa
bergerak dan tidak pernah diam dipandangnya sebagai asas kehidupan segala yang
ada. Coba Anda pikirkan cara berpikir dan pandangannya tersebut
sangat dipengaruhi gejala alam yang terdapat di lingkungan kehidupannya, di
mana air sangat dominan. Bukankah tanpa air manusia tidak dapat
mempertahankan kehidupannya, sebab manusia sangat tergantung pada air.
2. Anaximenes
Pandangan ini dikemukakannya dengan landasan pemikiran
bahwa manusia dan semua makhluk hidup itu bernapas, yaitu mengambil udara
yang melingkupi alam semesta. Udara merupakan sumber kehidupan karena tanpa
udara semua makhluk akan mati. Jadi, udaralah asal dari segala ada.
3. Herakleitos
Ia berpendapat bahwa tidak ada yang kekal di alam ini. Segala
sesuatu tentu mengalami perubahan. Jadi, hakikat segala sesuatu itu ialah
perubahan itu sendiri. Perubahan dilambangkan sebagai sifat api. Oleh karenanya,
ia berpendapat
4
Atmadilaga, D. (1997). Panduan: Skripsi, Tesis, Disertasi, Penerapan Filsafat Ilmu, Filsafat Penelitian, Etika
Penelitian, Sistematika Penelitian Ilmiah, Evaluasi Karya Ilmiah. Bandung: Pionir Jaya.
bahwa dasar segala sesuatu ialah api. Adapun perubahan itu berlaku di bawah
suatu hukum yang disebutnya logos, artinya pikiran yang benar.
4. Phytagoras
5. Leukippos
Ia mengemukakan pandangannya bahwa segala sesuatu yang ada itu
terdiri atas atom-atom dan ruang kosong, yang jumlahnya tak terhingga.
6. Demokritos
Ia mengembangkan pandangan Leukippos dengan mengemukakan
pendapatnya bahwa alam semesta terdiri atas atom-atom dan ruang hampa. Atom-
atom itu bebas bergerak dan dapat mengubah posisinya. Atom bersifat kekal, tak
dapat dilihat, dan tak dapat dibagi.
7. Empedokles
Ia berpandangan bahwa alam semesta terdiri dari empat unsur
utama, yakni udara, api, air, dan tanah. Masing-masing unsur ini memiliki
sifat yang berbeda. Udara bersifat dingin, api bersifat panas, air bersifat
basah, dan tanah bersifat kering. Suatu benda dapat terjadi karena adanya
5
percampuran antara unsur- unsur tadi.
1.2. Pandangan yang dikemukakan oleh tiga filsuf besar
1. Socrates
Menurutnya, jiwa manusia merupakan asas hidup yang paling dalam.
Jadi, jiwa merupakan hakikat manusia yang memiliki arti sebagai penentu
kehidupan manusia
2. Plato
mengemukakan pandangannya bahwa realitas yang mendasar adalah
ide atau idea. Ia percaya bahwa alam yang kita lihat atau alam empiris yang
mengalami
5
Chavehard, P. (1983). Bahasa dan Pikiran. Alih Bahasa oleh A. Widaya M. Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
perubahan itu bukanlah realitas yang sebenarnya. Dunia penglihatan atau dunia
persepsi, yakni dunia yang konkret itu hanyalah bayangan dari ide-ide yang
bersifat abadi dan immaterial. Plato menyatakan bahwa ada dunia tangkapan
indrawi atau dunia nyata, dan dunia ide. Untuk memasuki dunia ide, diperlukan
adanya tenaga kejiwaan yang besar dan untuk itu manusia harus
meninggalkan kebiasaan hidupnya, mengendalikan nafsu serta senantiasa berbuat
kebajikan. Plato menyatakan pula bahwa jiwa manusia terdiri atas tiga tingkatan,
yaitu bagian tertinggi ialah akal budi, bagian tengah diisi oleh rasa atau keinginan,
dan bagian bawah ditempati oleh nafsu. Akal budilah yang dapat digunakan untuk
melihat ide serta menertibkan jiwa-jiwa yang ada pada bagian tengah dan bawah.
3. Aristoteles
Aristoteles disebut silogisme, yaitu cara berpikir yang bertolak dari
dua dalil atau proposisi yang kemudian menghasilkan proposisi ketiga yang ditarik
dari dua proposisi semula. Pentingnya logika dalam perkembangan ilmu, akan
6
dapat Anda pelajari dalam bahasan tersendiri.
B. Filsafat Hukum
7
Corsini, R.J. (ed.). (1984). Encyclopedia of Psychology. New York: Jhon Wiley & Sons.
8
mengatakan sebagai subspesies dari filsafat etika, dan lain sebagainya. Dikenal beberapa
istilah Filsafat Hukum dalam bahasa asing, seperti di Inggris menggunakan 2 (dua) istilah
yaitu Legal Philosophy atau Philosophy of Law, kemudian di Belanda juga menggunakan
2 (dua) istilah yaitu Wijsbegeerte van het Recht dan Rechts Filosofie dan di Jerman
menggunakan istilah Filosofie des Rechts. Istilah Filsafat Hukum dalam Bahasa Indonesia
merupakan terjemahan dari istilah Philosophy of Law atau Rechts Filosofie.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, lebih tepat menerjemahkan Filsafat Hukum sebagai
padanan dari Philosophy of Law atau Rechts Filosofie daripada Legal Philosophy. Istilah
Legal dalam Legal Philosophy sama pengertiannya dengan Undang-Undang atau hal-hal
yang bersifat resmi, jadi kurang tepat digunakan untuk peristilahan yang sama dengan
Filsafat Hukum. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa hukum bukan hanya Undang-
Undang saja dan hukum bukan pula hal-hal yang bersifat resmi belaka.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Filsafat Hukum adalah cabang filsafat,
yakni filsafat tingkah laku atau etika yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan
lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Objek filsafat
hukum adalah hukum dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai kepada inti atau
dasarnya yang disebut dengan hakikat. Selanjutnya oleh Satjipto Raharjo dikatakan
bahwa filsafat hukum mempelajari pertanyaan- pertanyaan yang bersifat dasar dari
hukum. Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi pertanyaan tentang hakikat
hukum, dasar kekuatan mengikat dari hukum. Atas dasar yang demikian itu, filsafat
hukum bisa menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut yang
berbeda sama
sekali. Filsafat Hukum juga merupakan bagian dari ilmu-ilmu hukum. Adapun
masalah yang dibahas dalam lingkup filsafat hukum, meliputi:
Filsafat hukum memberi landasan kefilsafatan bagi ilmu hukum dan setelah
lahirnya teori hukum sebagai disiplin mandiri, juga landasan kefilsafatan bagi
teori hukum. Sebagai pemberi dasar filsafat hukum menjadi rujukan ajaran nilai dan
ajaran ilmu bagi teori hukum dan ilmu hukum. Jadi hukum dengan nilai-nilai sosial
budaya, bahwa antara hukum di satu pihak dengan nilai-nilai sosial budaya di lain pihak
terdapat kaitan yang erat. Kaitan yang erat antara hukum dan nilai-nilai sosial budaya
masyarakat, ternyata menghasilkan pemikiran bahwa hukum yang baik tidak lain adalah
hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Filsafat hukum
merupakan sumber hukum materiil, sedangkan sumber formilnya adalah sebab dari
berlakunya aturan-aturan hukum. Sumber hukum dalam arti filosofis, yang dibagi
lebih lanjut menjadi dua, yaitu:
a. Sumber isi hukum; di sini dinyatakan isi hukum itu asalnya dari mana. Ada tiga
pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan ini, yaitu: Pandangan
theocratis; menurut pandangan ini isi hukum berasal dari Tuhan; pandangan
hukum kodrat; menurut pandangan ini isi hukum berasal dari akal manusia;
dan Pandangan masab historis; menurut pandangan ini isi hukum berasal dari
kesadaran hukum;
b. Sumber kekuatan mengikat dari hukum: mengapa hukum mempunyai
kekuatan mengikat, mengapa kita tunduk pada hukum Kekuatan mengikat
dari kaidah hukum bukan semata- mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat
memaksa, tetapi karena kebanyakan orang didorong oleh alasan
kesusilaan atau kepercayaan.
C. Filsafat Ilmu
Berbicara menegenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas
filsafat pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana "pengetahuan tentang sesuatu
sebagaimana adanya". Will Duran dalam bukunya The story of Philosophy
mengibaratkan bahwa filsafat seperti pasukan marinir yang merebut pantai unt
uk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri inilah sebagai pengetahuan yang di
antaranya ilmu. Filsafat yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan
keilmuan. Semua ilmu baik ilmu alam maupun ilmu sosial bertolak dari
pengembangannya sebagai filsafat. Nama asal fisika adalah filsafat alam (natural
philosophy) dan nama asal ekonomi adalah filsafat moral (moral philosophy). Issac
Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisika sebagai Philosophiae Naturalis
Principia Mathematica (1686) dan Adam Smith (1723-1790) Bapak Ilmu Ekonomi
menulis buku The Wealth Of Nation
(1776) dalam fungsinya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.
8
Dr.Serlika Aprita, S.H, M.H , Rio adhitya, S.T, S.H,M M.Kn (2020 )Depok:Filsafat Hukum (hal 12)
Agus Comte dalam Scientific Metaphysic, Philosophy, Religion and Science, 1963
membagi tiga tingkat perkembangan ilmu pengetahuan yaitu: religius, metafisic dan positif.
Dalam tahap awal asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan
deduksi atau penjabaran religi. Tahap berikutnya orang mulai berspekulasi tentang metafisika
dan keberadaan wujud yang menjadi obyek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan
mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik. Tahap terakhir adalah
tahap pengetahuan ilmiah (ilmu) di mana asas-asas yang digunakan diuji secara positif dalam
prosesverifikasi yang obyektif. Tahap terakhir Inilah karakteristik sains yang paling mendasar
selain matematika.
Filsafat ilmu adalah bagian dari filsafat pengetahuan atau sering juga disebut epistimologi.
Epistimologi berasal dari bahasa Yunani yakni episcmc yang berarti knowledge,
pengetahuan dan logos yang berarti teori. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F.
Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat yakni epistemology dan ontology (on =
being, wujud, apa + logos = teori ), ontology ( teori tentang apa). Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan
memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah
dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau
singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi
sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan
normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi
kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. 9
Filsafat dan ilmu lebih berkaitan dengan titik tekan dimana ilmu mengkaji bidang yang
terbatas, ilmu lebih bersifat analitis dan deskriptif dalam pendekatannya. Ilmu menggunkan
observasi, eksperimen dan klasifikasi data, kemudian pengalaman indra srta untuk menemukan
hukum atas gejala-gejala tersebutFilsafat berupaya untuk mengkaji pengalaman secara
menyeluruh sehingga lebih bersifat inklusif dan mencakup hal-hal umum dalam berbagai
bidang
pengalaman manusia.Filsafat lebih bersifat sintetis, sinoptis dan kalaupun analitis maka
11
9
Paham ginting, syafrizal helmi situmorang,(2008) Filsafat ilamu , hal 10-12
12
analisanya memasuki dimensi kehidupan secara menyeluruh dan utuh, filsafat ini lebih
tertarik pada pertanyaan kenapa dan bagaimana.
Ruang lingkup filsafat hukum ini menurut pendapat apeldoorn ada tiga
pertanyaan yang penting dibahas oleh filsafat hukum yaitu :
1. Adakah pengertian hukum yang berlaku
umum
2. Apakah dasar kekuatan mengikat dari hukum
yang
3. Adakah sesuatu hukum kodrat objek yang dijadikan
objek
filsafat hukum hakikat dan ruang lingkup hukum itu mempelajari mengenai
permasalahan-permasalahan yang terkait dengan tujuan hukum dalam kehidupan
sehari- hari terutama masalah
1. Ketertiban dan keadilan yang menyangkut masalah itu antara lain yang hanya
itu adalah hubungan hukum dengan kekuasaan.
2. Hubungan hukum dengan nilai-nilai sosial
kemudian
3. Mengapa negara berhak menghukum
seseorang.
4. Apa sebab orang mentaati hukum dan lain-
lain.
1. Prof. Dr. Friedrich Carl von Savigny yang mengemukakan bahwa "Hukum itu
tidak dibuat, tetapi tumbuh bersama-sama dengan Masyarakat (das Recht es nicht
gemacht, aber ist und wird mit dem Volke).
2. Prof. Mr. B. Ter Haar Bzn dalam bukunya Beginselen en Stelsel van het
Adatrecht, yang mengemukakan hanya kebiasaan-kebiasaan yang diakui para
penguasa (kepala adat) di dalam keputusan-keputusannya yang merupakan dengan
demikian, hanya norma-norma yang sudah menjadi kebiasaan di dalam
masyarakat saja yang akan menjadi norma hukum, yang sudah merupakan
kebiasaan di dalam masyarakat saja yang mungkin menjadi norma hukum.
Oleh karena suatu kebiasaan hanya dapat tumbuh bila suatu peraturan terjadi
secara berulang-ulang, maka norma- norma hukum yang dapat tumbuh, juga
hanya akan dapat menyangkut peristiwa yang sudah biasa terjadi atau pernah
dialami di dalam masyarakat tersebut. Dengan perkataan lain, menurut paham ini
tidak mungkin akan dapat timbul atau diadakan norma-norma hukum yang akan
mengatur peristiwa-peristiwa yang belum pernah terjadi di masyarakat kita.11
11 Dr.Serlika Aprita, S.H, M.H , Rio adhitya, S.T, S.H,M M.Kn (2020 )Depok:Filsafat Hukum (hal
38)
14
penggunaannya secara sadar oleh masyarakatnya. Hukum tidak hanya dipakai
untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah
12 Dr.Serlika Aprita, S.H, M.H , Rio adhitya, S.T, S.H,M M.Kn (2020 )Depok:Filsafat Hukum (hal
38)
14
laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya
kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandang
tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru, dan sebagainya. Inilah
yang disebut sebagai pandangan modern tentang hukum itu yang menjurus kepada
penggunaan hukum sebagai suatu instrumen.
Sejarah filsafat eropa tentang hukum dapat dapat dibagi kepada beberapa
tahap yang masing-masing mememiliki colak tesrsendiri :
Zaman yunani-romawi : Hukum keluar dari lingkup alam sakralvdan mulai
dipersoalkan sebagai gejala alam yang tidak sakral (abad VI sebelum masehi-
abad V sesudah masehi)
Abad Pertengahan , Hukum ditanggapi terkait isu keberadaan dan hubungan dengan
Allah dan agama (abad V-abad XV
12 Dr.Serlika Aprita, S.H, M.H , Rio adhitya, S.T, S.H,M M.Kn (2020 )Depok:Filsafat Hukum (hal
39)
15
Zaman Renaissance, Hukum mulai dipandang dalam : Hukum
hubungannya dengan kebebasan manusia dan eksistensi negara-negara bangsa
(abad XV-1650)
Zaman Rasionalisme, Hukum dipandang secara rasional melulu dalam
sistem- sistem negara dan hukum (abad 1650–1800)
Abad XIX : Hukum dipandang sebagai faktor dalam perkembangan
kebudayaan dan sebagai objek penyelidikan ilmiah (1800-1900).13
A. Filsafat Hukum Sebelum Abad XIX dan Sesudah Abad XIX
Selain pembagian fase-fase sejarah filsafat hukum yang tersebut di atas, ada juga
yang membahasnya kepada; fase sebelum abad XIX dan sesudah abad XIX. Memang,
semua aliran-aliran yang muncul dalam berbagai fase dimaksud menginduk kepada dua
teori utama atau teori dasar yaitu : Teori Hukum Alam dan Teori Hukum Positif. Fase
sebelum abad xix ditandai dengan corak dan kehidupan Hukum Alam sedangkan fase
sesudah abad xix dengan hukum positif. Untuk melihat bagaimana kedua induk
pemikiran hukum ini berkembang dan mempengaruhi berbagai aliran pemikiran hukum
sepanjang sejarahnya, berikut akan diberikan sinopsis perjalanan dua ide dasar filsafat
hukum tersebut.
1) Hukum Alam
17
oleh ideologi dan kondisi-kondisi sosial-politik masyarakat. Selain itu, upaya
pencarian dan kebutuhan untuk merumuskan hukum alam bisa jadi muncul
dan berkembang untuk mendukung suatu motif atau kekuatan politik tertentu atau
sebaliknya untuk menjatuhkannya. Hal lainnya, teori-teori pemikiran hukum alam
ini dapat menjelma kepada dua corak atau sifat yang saling berlawanan sekaligus.
Ada yang bersifat otoritarian juga individualistis; Ada yang bersifat progresif dan
juga konservatif; Ada yang bercorak relijius dan sebaliknya ada yang rasional; ada
juga yang bersifat absolut sementara ada yang membentuk relatifisme. Ideologi
yang melatar-belakangi berbagai teori dan pemikiran hukum alam, yang paling
konsisten dan utama, terbahagi kepada dua macam. Pertama, ide tentang
keteraturan dan hukum universal yang mengatur kehidupan seluruh manusia di
alam. Kedua, ide bahwa setiap orang tanpa terkecuali memiliki hak-hak
azasinya sebagai individu manusia. Ideologi pertama ini mengilhami kemunculan
aliran- aliran dan pemikiran- pemikiran hukum yaitu; Stoics, Filsafat dan
Jurisprudensi Romawi, Kekuasaan Gereja, Aturan Hukum Barat Abad
Pertengahan, dan teori hukum internasional Grotius. Teori terakhir ini menjadi
induk dari sistem hukum internasional yang sekarang berkembang. Adapun
ideologi kedua menginspirasi lahirnya teori John Locke dan Paine, yang
kemudian menjadi fondasi bagi filsafat individualisme Amerika dan Undang-
Undang modern di berbagai negara.
2) Hukum Positif
1. Hukum Abadi (Lex aeterna) : yaitu rencana Allah tentang aturan semesta alam.
Hukum Abadi ini adalah asal mula dari segala aturan .
2. Hukum llahi Positif (Lex Divina Positiva) : Hukum Allah yang terkandung dalam
wahyu yang berisikan prinsip-prinsip keadilan.
3. Hukum Alam sebagaimana dipahami oleh akal budi manusia.
4. Hukum Bangsa-Bangsa (lus Gentium) : Hukum-Hukum yang diterima oleh semua
atau mayoritas manusia dari berbagai bangsa.
5. Hukum Positif (Lex Humana Positiva) : Hukum sebagaimana ditentukan oleh
yang berkuasa seperti hukum tata negara. Hukum yang terakhir ini pada masa
modern diartikan dan dipandang sebagai hukum yang sebenarnya.
A. Filsafat India
Suku bangsa Aryan dari Utara India, yang masuk ke lembah Sungai Indus antara
1700-1400 SM menandai suatu perubahan penting dalam sejarah ilsafat India.
Mereka memperkenalkan ajaran-ajaran baru yang termaktub dalam literatur suci yang
disebut Weda (sering kali juga ditulis “Veda”). Keberadaan literatur suci ini membawa
pengaruh luas dalam pemikiran dan sistem kepercayaan bangsa India pada masa
itu, sekaligus menjadi titik awal sejarah ilsafat India.2 Filsafat India pada dasarnya dapat
dikategorikan pada tahapan besar, yaitu periode Weda, periode klasik, periode post
klasik, dan ilsafat India baru (modern). Babakan awal yang telah dimulai pada
zaman Weda dilengkapi dengan nyanyian-nyanyian pemujaan yang ditujukan pada
eksistensi Dewa yang kemudian diwujudkan dalam kitab-kitab Upanished yang
merupakan releksi Weda. Pada zaman Weda pulalah gerak pemikiran ilsafat India
dimulai dengan menjadikan alam semesta (makrokosmos) sebagai objek utama
pembahasannya dalam konteks kosmologi. Manusia
dipandang sebagai bagian kecil dari alam yang mahaluas ini (mikrokosmos) di mana
sifat- sifat manusia identik dengan sifat-sifat alam. Dengan demikian, korelasi makro dan
mikrokosmos akan selalu berada pada orbit yang sama. Dalam hal ini, manusia tidak
dapat berkonfrontasi dengan alam, karena itu manusia takluk dan wajib bersahabat
dengan alam. Pada tahapan periode klasik, ilsafat India berkembang dalam ranah
kesatuan substansi rohani yang digambarkan sebagai bagian terintegral dengan jiwa
individual. Dalam masa ini pula perlawananperlawanan terhadap pandangan kaum
materialistis dan ateis menjadi “warna” yang dominan dalam menyangkal atau bentuk
perlawanan terhadap otoritas weda.3 Filsafat India sebagian besar bersifat mistis dan
intuitif. Peranan rasio baru agak menonjol pada kurun terakhir perjalanannya, yakni
setelah berkenalan dengan ilsafat Barat zaman modern. Menurut Radhakrishnan dan
Moore, ada tujuh ciri umum yang mewarnai hampir seluruh sistem ilsafat India, yang
pada pokoknya dinyatakan sebagai berikut:14
a) Ciri pertama adalah motif spiritual yang mendasarinya.
Motif ini mewarnai usaha ilsafat India dalam konteks hidup pada
umumnya. Kecuali aliran materialisme hedonistis seperti Carvaka, semua aliran
yang lain mengakui adanya esensi spiritual. Itulah sebabnya, penghayatan
keagamaan dan agama amat terkait dengan usaha ilosois dari ilsafat.
b) Ciri kedua ialah ilsafat India ditandai dengan sikap introspektif dan pendekatan
introspektif terhadap realitas. Filsafat dipahami sebagai Atmavidya, pengetahuan
akan diri. Oleh karena itu, perhatian lebih diletakkan pada subjektivitas dan
objekvitas. Karena itu pula, psikologi dan etika dianggap lebih penting daripada
ilmu pengetahuan alam atau ilmu pengetahuan positif yang tetap menjadi bagian
dari kesibukan mereka juga.
c) Ciri ketiga adalah adanya hubungan erat antara hidup dan ilsafat. Tendensi ini
kita temukan dalam setiap sis- tem ilsafat India.
d) Tendensi introspektif ini membuat ilsafat India lebih bersifat idealis. Inilah ciri
umum keempat. Bukannya berarti bahwa tidak ada dualisme atau pluralisme,
tetapi kalaupun ada, dualisme atau pluralisme itu telah dire- sapi oleh ciri
monistik yang
kuat.
14
Brata, 1993, Panorama Filsafat India, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.15.
e) Hanya intuisilah yang diakui sebagai mampu menying- kap kebenaran yang
tertinggi. Inilah ciri kelima. Ini ti- dak berarti bahwa pemikiran ditolak.
Pemikiran, penge- tahuan intelektual dianggap tidak mencukupi. Oleh ka rena itu,
kata yang tepat untuk ilsafat adalah darasa- na yang dari kata dasarnya “drs”
berarti melihat, suatu penga laman intuitif langsung. Pemikiran diakui mampu
menunjukkan kebenaran, tanpa ia sendiri mampu me- nemukan dan mencapainya.
f) Ciri keenam adalah penerimaan terhadap otoritas. Ken- dati dalam tingkat
tertentu sistemsistem ilsafat India berbedabeda dalam keterikatannya dengan
sruti, namun tidak satu pun sistemsistem yang ada kecuali Carvaka yang secara
terangterangan mengabaikan insight intuitif yang diajarkan oleh para guru
Upanisad, Buddha, dan Mahavira. Barata5 mengartikan sruti sebagai pengetahuan
yang diturunkan dari tandatanda, simbol, atau kata. Termasuk di dalamnya adalah
asosiasi, perhatian, pemahaman, dan nyaya, yang berarti aspekaspek arti yang ada
pada bendabenda.
g) Ciri terakhir (ketujuh) adalah adanya tendensi untuk 5 mendekati, berbagai aspek
pengalaman dan realitas de- ngan pendekatan sintetis. Ciri setua Rg Veda (sering
kali ditulis reg weda) yang memahami bahwa agama yang benar akan mencakup
semua agama, sehingga “Tuhan itu satu, tetapi manusia menyebutnya dengan
banyak nama.” Agama dan ilsafat, pengetahuan dan perbuatan, intuisi dan
pemikiran, Tuhan dan manusia, noumena dan fenomena, semua dipandang
sebagai dan diletak- kan dalam suatu harmoni justru karena adanya tendensi
sintesis ini. Visi sintesis ini yang menyebabkan semua sistem dapat hidup dalam
toleransi.
Terlepas dari perbenturan antara Filsafat Yunani dan Filsafat Islam yang
disandarkan pada pendekatan sejarah, Filsafat Islam dalam perkembangannya
sangat menekankan pada masalah•masalah mendasar manusia seperti Tuhan, alam, dan
manusia. Filsafat Islam memberikan pandangan yang terperinci tentang semua itu
dengan bias terhadap lingkunga n dan kondisi di sekelilingnya dengan
mengombinasikan pend ekatan ilsafat timur dan barat. Oleh karena itu, ilsafat Islam
dapat dikatakan bercirikan:
Yang dimaksudkan dengan hukum alam menurut ajaran ini ialah hukum yang berlaku
universal dan abadi. Aliran yang menekankan moral dan keadilan sebagai pertimbangan mutlak
hukum. Menilik sumbernya, hukum alam ini ada yang bersumber dari Tuhan (kekuatan luar
manusia) dan ada yang mendasarkannya pada akal (rasio). Pemikiran hukum alam yang berasal
dari Tuhan dikembangkan misalnya dan terutama oleh para pemikir skolastik pada Abad
Pertengahan seperti Thomas van Aquino, Gratianus, dan lainnya. Sedangkan para pendasar
ajaran hukum alam yang bersumber dari akal manusia terdapat Grotius, Immanuel Kant, Fitche,
Hegel, dan lainnya. Tetapi sebelum ini, seperti diterangkan Friedmann, sejarah tentang hukum
alam merupakan sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang
dinamakan keadilan mutlak setelah ketidakadilan dan kekacauan-kekacauan yang mereka
alami. Dalam konteks sejarah hukum Barat, karena perkembangannya dimulai dengan
peradaban Yunani maka jejak hukum alam dirujuk sejak era Yunani, yang dikembangkan oleh
filosof-filosof Yunani. Untuk membedakan dengan penyelidikan yang dilakukan para filosof
Yunani, para sarjana membagi hukum alam kepada hukum alam sebagai metode dan hukum
alam sebagai substansi. Hukum alam sebagai metode adalah penyelidikan tertua sejak zaman
kuno sampai kepada Abad Pertengahan. Yaitu, memusatkan diri pada usaha untuk menemukan
metode atau membahas sumber yang dipakai untuk menciptakan peraturan-peraturan yang
mampu menghadapi keadaan yang berubah-ubah dan beragam. Adapun hukum alam substansi
marak diteliti pada sekitar abad 17 dan 18, yaitu mencari norma-norma dan peraturan-
peraturan yang didasarkan pada asas-asas mutlak dan universal yang lazim dikenal sebagai
peraturan hak-hak azasi manusia.17
16
Ibrahim Madkour, 2002, Aliran dan Teori Filsafat Isam, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 244.
17
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Pustaka Filsafat Penerbit Kanisius,
1995, hal. 21-35
Apabila hukum alam menganggap penting hubungan antara hukum dan moral
maka aliran hukum positif justru menganggap bahwa kedua hal tersebut harus
dipisahkan. Hukum tidak berkaitan dengan keadilan dan tidak didasarkan pada
pertimbangan dan penilaian baik dan buruk. Aliran ini kemudian terbagi kepada dua
cabang:
1. Aliran hukum positif analitis, pendasarnya John Austin
2. Aliran hukum murni, pendasarnya Hans Kelsen
Tokoh aliran ini adalah Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-
1873), dan Rudolf Jhering (1818-1889). Jeremy Bentham dan John Stuart Mill disebut
mengargumentasikan 'individual utilitarianism' atau kebahagiaan individual manusia
sedangkan Jhering mengajukan 'social utilitarianism' atau kebahagian yang
bersifat
menyeluruh dan kelompok. Jeremy Bentham menerapkan salah satu prinsip dari
filsafat
18
Drs. Lili Rasyidi S.H., LL.M, Filsafat Hukum-Apakah Hukum Itu
?, Remaja Karya, hal. 14-31
utilitarianism ke lingkungan hukum, yaitu bahwa manusia bertindak untuk
mendapatkan kebahagiaan sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Ukuran baik
buruknya suatu perbuatan tergantung kepada apakah perbuatan itu mendatangkan
kebahagiaan atau tidak. Pemidanaan menurut Bentham harus bersifat spesifik dan
hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang
lebih besar lagi. Perundangan yang positif harus memberikan kebahagian terbesar
kepada sebanyak mungkin individu. John Stuart Mill memiliki pendapat yang sejalan
bahwa suatu perbuatan seseorang adalah untuk mencapai sebanyak mungkin
kebahagiaan orang tersebut. Sumber kesadaran keadilan bukan terletak pada hasil akan
tetapi pada rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati. Menurut Mill,
" Keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan
yang diderita, baik oleh diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati
dari kita.
Diakui bahwa lahirnya mazhab sejarah dipengaruhi oleh teori Montesqiue yang
menyebutkan adanya hubungan antara jiwa suatu bangsa dengan hukum, dan juga
pengaruh paham nasionalisme yang timbul pada awal abad 19. Adapun latar belakang
terbentuknya mazhab ini adalah sebagai reaksi langsung terhadap suatu pendapat yang
diketengahkan oleh Thibaut dalam pamfletnya tentang keharusan akan adanya kodifikasi
hukum perdata di Jerman. Ahli hukum perdata Jerman ini menghendaki agar di Jerman
diperlakukan kodifikasi perdata dengan dasar hukum Perancis. Seperti diketahui setelah
Perancis meninggalkan Jerman timbul masalah, hukum apa yang hendak diberlakukan
di negara itu. Kelahiran mazhab ini ditandai dengan munculnya tulisan Von Savigny
yang menantang tulisan Thibaut, yang akhirnya sanggup menghentikan gerak kodifikasi
di negara tersebut untuk lebih kurang satu abad lamanya. Inti ajaran Von Savigny
Bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama rakyat Bahwa
tiap bangsa dan masyarakat memiliki jiwanya masing- masing yang tercermin dalam
kebudayaan dan adat yang berbeda- beda. Jiwa ini mengikat rakyat dan kesadaran
mereka akan suatu kewajiban dan hukum. Hukum bersumber dari jiwa rakyat ini.
Oleh karena itu hukum
berbeda pada setiap waktu dan tempat. Apa yang menjadi isi dari hukum itu
ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke masa. 19
Aliran ini tumbuh dan berkembang di Amerika dan dipelopori oleh Roscoe
Pound (1870-1964). Aliran ini tergolong kepada penelitian sosiologis terhadap hukum,
artinya didasarkan pada premis bahwa terdapat hubungan timbal balik antara hukum
dan masyarakat. Sepintas sepertinya merupakan pengembangan atau kelanjutan dari
mazhab sejarah. Walaupun dari segi asumsi dasarnya demikian, tetapi isi teori ini
dengan teori sejarah jelas berbeda. Mazhab sejarah meletakkan budaya sebagai inkubasi
kelahiran hukum. Karena budaya terbentuk melalui proses dan waktu, maka otomatis
hukum juga lahir melalui suatu proses waktu. Hukum tumbuh dan matang kemudian
terbentuk menjadi peraturan seirìng dan sesuai dengan budaya yang terbentuk dan
mengakar dalam kesadaran suatu kelompok masyarakat, yaitu budaya yang
telah menjadi jiwa masyarakat. Terdapat perbedaan titik tolak dan kesimpulan antara
pendekatan sosiologi terhadap hukum di Amerika dengan yang di Inggris. Aliran
Sociological Jurisprudence di Amerika menekankan pembuktiannya tentang peranan
hukum terhadap masyarakat, yaitu pendekatannya dari hukum dan objeknya
masyarakat. Adapun sosiologi hukum di Inggris adalah cabang dari sosiologi yang
meneliti tentang pengaruh masyarakat kepada hukum di mana pendekatannya adalah
dari ilmu kemasyarakatan dengan hukum sebagai objeknya.
Mazhab realisme hukum ini dapat dilihat sebagai perluasan atau tepatnya
perkembangan dari hukum positif seperti juga halnya mazhab sejarah dan sociological
jurisprudence. Para sarjana mengakui bahwa asumsi-asumsi dan teori-teori Roscoe
Pound dalam aliran sociological jurisprudence juga menjadi referensi dasar
dari
berkembangnya pemikiran realisme hukum. Pandangan Roscoe Pound tersebut yaitu
19
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran
Orientalis, Tiara Wacana Yokja, 1997, hal. 13-17
bahwa faktor akal tidak bisa dilepaskan dalam pembentukan hukum; bahwa yang
menjadi unsur- unsur kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang
berdiri di atas pengalaman dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh
akal dan akal diuji oleh pengalaman; bahwa hukum adalah pengalaman yang diatur dan
dikembangkan oleh akal yang diumumkan dengan wibawa oleh badan-badan yang
membuat undang-undang atau mengesahkan undang-undang dalam masyarakat politik
dibantu penguasa masyarakat tersebut; dan bahwa hukum adalah alat pengembangan
masyarakat (law as a tool of social engineering). Ajaran aliran Realisme yang
diketengahkan oleh para eksponen gerakan ini seperti John Chipmann Gray dan Karl
Llewellyn antara lain : - Dalam melakukan penelitian harus dilakukan pemisahan
sementara antara Sollen (yang seharusnya) dengan Sein (sebagaimana adanya). -
Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional dan tidak
menempatkan undang-undang sebagai sumber hukum utama - Realisme menempatkan
hakim sebagai titik pusat perhatian dan penyelidikan hukum dan bertujuan melukiskan
apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orangnya. -
Selain unsur logika, terdapat unsur-unsur lain yang memegang faktor penting
dalam
pembentukan perundang-undangan yaitu unsur kepribadian dan prasangka.
20
Sobhi Mahmasani, Filsafat Hukum Dalam Islam, al-Ma‘arif, 1981,
29
hal. 95-100
30
2.6. Aspek –aspek persoalan dalam filsafat hukum
Hukum sangat erat hubunganya dengan keadilan. Bahkan ada orang yang
berpandangan bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya
sungguhsungguh berarti sebagai hukum. Pernyataan ini ada sangkut pautnya dengan
tanggapan bahwa hukum merupakan bagian usaha manusia menciptakan suatu
koesistensi etis di dunia ini.Hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang-orang
dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun
rohani.Kebenaran ini paling tampak dalam menggunakan kata “ius” untuk menandakan
hukum yang
sejati. Namun ungkapan “ The rule of law” mempunyai latar belakang yang sama juga
yakni cita-cita akan keadilan. Keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum selain
dari kepastian hukum itu sendiri dan juga kemanfaatan hukum. Namun dalam khazanah
filsafat hukum sampai sekarang masih menjadi perdebatan tentang apa makna adil.
Keadilan itu sendiri terkait dengan pendistribusian yang merata antara hak dan
kewajiban manusia.
Konsep dasar hukum itu sesungguhnya berbicara pada dua konteks
persoalan :
1
Handayani1, Johannes, Kiki,” PERANAN FILSAFAT HUKUM DALAM MEWUJUDKAN KEADILAN” Jurnal Muara
Ilmu Sosial,Vol. 2, No. 2,(2018),Hlm.3
1. Konteks yang pertama adalah keadilan yang menyangkut tentang kebutuhan
masyarakat akan rasa adil ditengah sekian banyak dinamika dan konflik di
tengah masyarakat.
2. Konteks yang kedua adalah aspek legalitas menyangkut apa yang disebut dengan
hukum positif, yaitu sebuah aturan yang ditetapkan oleh sebuah kekuasaan negara yang
sah dan dalam pemberlakuannya dapat dipaksakan atas nama hukum.
Dua konteks persoalan tersebut di atas seringkali terjadi benturan, dimana
terkadang hukum positif tidak menjamin sepenuhnya rasa keadilan,dan sebaliknya rasa
keadilan seringkali tidak memiliki kepastian hukum. Untuk mencari jalan tengahnya
maka komprominya adalah bagaimana agar semua hukum positf yang ada selalu
merupakan cerminan dari rasa keadilan itu sendiri.
Hukum berasal dari Negara, namun dalam kehidupan sehari-hari ternyata hukum
itu berasal dari penguasa negara yaitu pemerintah, pemerintah mengatur kehidupan
masyarakat melalui politiknya, hukum bertujuan untuk menciptakan aturan yang adil,
berdasarkan hak-hak manusia yang sejati, hukum mengatur kehidupan bersama agar
dalam aktifitasnya sehari-haridi masyarakat bila timbul konflik-konflik dapat segera
diatasi dengan berpegangan pada hukum yang berlaku. Antara hukum dan kekuasaan
mempunyai hubungan yang sangat erat bagaikan dua sisi mata uang, sebagaimana
dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa ‘hukum tanpa kekuasaan adalah angan-
angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman ”.
Hubungan hukum dan kekuasaan yang pertama terjadi karena hukum pada
dasarnya bersifat memaksa, dan kekuasaan dipergunakan untuk mendukung hukum agar
ditaati oleh anggota masyarakat. Namun kekuasaan tersebut diperlukan hanya pada
anggota masyarakat yang tingkat kesadaran hukumnya rendah, sehingga dalam
pelaksanaan hukum di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. Semakin tertib
dan teratur suatu kelompok masyarakat atau dengan kata lain bahwa masyarakat
semakin tinggi tingkat kesadaran hukumnya, maka makin berkurang dukungan
yang diperlukan oleh kekuasaan untuk melaksanakan hukum.
Hukum tidak hanya membatasi kebebasan individu terhadap individu yang lain,
tetapi juga kebebasan wewenang dari penguasa negara. Kekuasaan tanpa hukum adalah
kelaliman, pernyataan tersebut mengandung arti bahwa kekuasaan yang tidak terbatas
seperti para raja absolut dan diktaktor akan dapat menimbulkan dampak yang buruk
karena dapat merangsang pemegang kekuasaan tersebut untuk berbuat semaunya sesuai
dengan keinginannya sendiri tanpa melihat atau mempertimbangkan keadaan
masyarakat.
Negara Indonesia sedang berada dalam masa transisi, masa transisi yang
dimaksudkan adalah terjadinya perubahan dalam tatanan kehidupan bermasyarakatnya,
untuk menghindari agar tidak terjadi konflik serta gesekan-gesekan maka diperlukanlah
adanya suatu aturan hukum yang dapat mengatur perilaku kehidupan sosialdan budaya
masyarakat agar tetap stabil dan tidak melampaui atau keluar dari koridor-koridor nilai-
nilai sosial budaya yang tumbu dan berkembang di dalam kehidupaan sosial
masyarakat.
Hukum mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai social budaya.Hal ini
ternyata dari adanya adagium yang menyatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum
yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Perlu diingat bahwa dalam
masyarakat adanya perubahan dan pergeseran nilai itu tidak dapat dielakan.demikian
pula halnya dengan masyarakat Indonesia yang pada masa ini sedang mengalami
perubahan nilai dari nilai-nilai tradisional ke nilai-nilai modern.
2.8. ASPEK ASPEK DALAM FILSAFAT HUKUM DAN NILAI SOSIAL BUDAYA
A. Pemikiran Filsafat
Muara ilmu pengetahuan adalah filsafat ilmu (sciences of mother), demikian pula dalam
ilmu hukum, bahwa ilmu hukum tidak dapat melepaskan diri dari ketiga kodrati besar yakni
logika, etika dan estetika. Filsafat terhadap objek matrilnya; logika, etika dan estetika, yaitu
akal untuk logika, budi untuk etika dan rasa untuk estetika. Socrates pernah berkata ; bahwa
tugas filsafat bukan menjawab pertanyaan yang diajukan, melaikan mempersoalkan jawaban
yang diberikan. Karenanya, penjelasan dalam filsafat meliputi ajaran ontologis (ajaran tentang
hakekat), aksiologis (ajaran tentang nilai), ajaran epistimologis (ajaran tentang pengetahuan)
serta ajaran teologis (ajaran tentang tujuan) untuk memperjelas secara mendalam sejauh
dimungkinkan oleh pencapaian pengetahuan.
Sebelum kita masuk dalam cangkupan filsafat hukum dan objek materiil filsafat hukum,
telah dikatakan bahwa setiap objek matriil dari suatu disiplin ilmu pengetahuan bisa saja sama
dengan objek matriil ilmu pengetahuan lain, sehingga pokok bahasannya saling bertumpang-
tindih (covergency). Oleh karenanya terhadap filsafat hukum; ilmu hukum pidana, hukum acara
pidana, hukum perdata, hukum acara perdata, hukum tata usaha negara, hukum administrasi
negara, disamping yang lainnya, sama-sama membahas hukum sebagai objek matrilnya juga
selalu bertumpang tindih oleh sebab itu disebut juga sebagai ilmu-ilmu hukum. Berkenaan
dengan itu, Satjipto Rahadjo (1982 : 321) memberikan penjelasan tentang pengertian filsafat
hukum terhadap objeknya yakni ; filsafat hukum itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan
yang bersifat mendasar dari hukum. Gustav Radbruch (1952) merumuskannya dengan
sederhana, yaitu bahwa filsafat hukum itu adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang
benar, sedangkan Langemeyer (1948) menyatakan pembahasan secara filosofis tentang hukum.
Dengan demikian pengertian filsafat hukum pada tataran ontologi, epistimologi dan aksiologi,
bahwa filsafat hukum bertujuan untuk mempelajari bagaimana filsafat digunakan untuk
menemukan hukum secara hakiki.
Aspek Ontologi Filsafat Hukum, berusaha untuk menemukan objeknya, bagaiman kita
dapat memahami wujud hukum yang sesungguhnya (makna tertinggi), sementara kita hanya
mempersoalkan bahwa hukum harus “begini” dan hukum harus “begitu”, tanpa melihat apa
sesungguhnya dari objek hukum itu sendiri. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang
mempelajari hukum secara filosofis. Demikian pula menurut Abdul Ghafur Anshori bahwa
objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada
inti atau dasarnya, yang disebut sebagai hakikat. Mengingat objek filsafat hukum adalah
hukum, maka permasalahan dan pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain
berkisar pada apa yang telah diuraikan diatas, seperti hubungan hukum dengan kekuasaan,
hubungan hukum kodrat dan hukum positif, apa sebab orang mentati hukum, apa tujuan
hukum, sampai pada masalah-masalah filsafat hukum yang ramai dibicarakan saat ini oleh
sebahagian orang disebut sebagai masalah filsafat hukum kontemporer meskipun itu belum
tentu benar, oleh karena masalah tersebut jauh sejak dulu telah diperbincangkan…. Para filsuf
terdahulu menjadikan tujuan hukum sebagai objek dalam kajian filsafat hukum. Objek
pembahasan filsafat hukum bukan hanya tujuan hukum, melainkan masalah hukum yang
mendasar sifatnya yang muncul didalam masyarakat yang memerluka suatu pemecahan, karena
perkembangan filsafat hukum saat ini bukan lagi filsafat hukum para fisuf zaman yunani dan
romawi. Pemikiran filsafat hukum selalu berupaya dinamis menembus permsalahan yang
bersinggungan hukum, dan secara terus menerus mencari jawaban debalik apa yang telah
tertuntaskan (ultimate).
Pandangan fisafat hukum juga tidak secara langsung mempersoalkan hukum positif
sebagai objek yang inti. Adalah Gustav Radbruch dengan tesis “Tiga Nilai Dasar Hukum”,
yaitu Keadilan, Kegunaan dan Kepastian Hukum Oleh karena filsafat hukum secara ontologi
bekerja diluar jangkauan yang mengikat. Ontologi filsafat hukum, pada prinsipntnya tidak
hanya melihat hukum sebagai objeknya melainkan segala pola perilaku manusia, dasar dimana
timbal balik hak dan kewajiban (manusia) berperan, serta hubungan timbal balik antara
manusia dengan alam sekitarnya yang berkemungkinan bersentuhan (perlindungan) dengan
kewajiban negara, pemerintah dan masyarakat. Menurut hemat kami, bahwa yang dimaksudkan
dengan objek filsafat hukum yaitu, hak dan kewajiban, keadilan, perlindungan/pencegahan.
C. Epistimologi Filsafat Hukum
Pada tataran epistimologi dalam filsafat ilmu, akan mempersoalkan bagaimana segala
sesuatu itu ada (datang), bagaimana kita dapat memahaminya, dan bagaimana kita dapat
mengklasifikasi eksistensi setiap objek berdasarkan ruang dan waktunya. Epistimologi filsafat
hukum, merupakan landasan dimana kita melakukan suatu proses penemuan pengetahuan
logika, etika dan estetika, menjadi suatu kebenaran ilmiah.
Sebagai suatu sistem ajaran, maka disiplin ilmu hukum mencangkup antara lain;
pertama, ajaran yang menentukan apa yang seyogianya atau seharusnya dilakukan,
(preskriptif), dan yang kedua, yang senyatanya dilakuakan (deskriptif) didalam hidup.
Sedangkan unsur-unsur hukum mencangkup unsur-unsur idiil serta unsur-unsur riil.
Epistimologi filsafat hukum berusaha membuat “dunia etis yang menjadi latar belakan yang
tidak dapat diubah oleh panca indra”, sehingga filsafat hukum (pada tataran epistimologinya),
menjadi suatu ilmu normatif , seperti halnya dengan ilmu politik hukum.
Aspek epistimologi dalam filsafat hukum, berusaha untuk menyatakan bahwa unsu-
unsur hukum merupakan objek pengetahuan ilmu hukum yang senantiasa titeliti perkembangan
dan persesuaiannya terhadap kondisi ruang dan waktunya dimana hukum diberlakukan serta
segala sesuatu yang dapat mempengaruhi hubungan-hubungan hukum.
Nilai biasanya digunakan untuk menunjukan kata benda yang abstrak yang dapat
dinyatakan sebagga keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Demikian pula,
Bahanuddin Salam menyatakan bahwa, melalui teori pengetahuan kita sudah sampai pada teori
nilai yaitu teori yang menyelidiki proses dan isi penilaian yaitu proses-proses yang mendahului,
mengiringkan malahan menentukan semua kelakuan manusia.
Oleh karena, hukum dalam tataran aksiologi filsafat hukum pada fase ketiga tahapan
pembedahan hukum (Fungsi Filsafat Hukum) maka, keadilan hukum, kepastian hukum,
jaminan hak dan kewajiban serta hubungan-hubungan hukum merupakan ruang bersekutunya
unsur-unsur hukum, yang menjadi alasan objektif ke-dinamisasian hukum itu berproses.2
2
filsafat-hukum-dalam-kajian-aspek-ontologi-epistomologi-dan-aksiologi-bagian-ii/
sementara ada kecenderungan bahwa nilai gotong royong mulai memudar di daerah perkotaan,
seiring dengan semakin tingginya sikap individualistis.
Nilai budaya adalah nilai yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar anggota
atauwarga masyarakat, dan berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi sikapmental, cara
berpikir, dan tingkah laku mereka. Perwujudan nilai-nilai budaya ini bisa berupa aturan atau
norma-norma, hukum adat, adat istiadat, sopan santun, tata susiladan sebagainya. Dalam
padangan antropologi, nilai budaya atau kultur tidak dapat terlepas dari kehidupan sosial
masyarakat. Kebudayaan merupakan tata kelakuan dari kelakuan manusia. Masyarakat
merupakan kumpulan manusia yang memangku kebudayaan tadi. Dengan demikian masyarakat
merupakan wadah dari kebudayaan (koentjaraningrat, 1966, 105). Atas dasar pandangan
itumaka orang beranggapan bahwa kebudayaan selalu mewarnai kehidupan sosial manusia.
Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi misi, atau sesuatuyang
nampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau organisasi. Dalam ruang lingkup
sosial budaya, ada dua tipe kepribadian yang terbentuk oleh nilai sosial budaya. Pertama,
masyarakat tradisional alamiah dan yang kedua masyarakat modern. Masyarakat tradisional
alamiah terbentuk berdasarkan pada nilai sosial budaya asli bangsa Indonesia, sedangkan
masyarakat modern pribadi masyarakatnya terbentuk karena adanya kepentingan bersama dan
pengaruh budaya luar budaya luar yangmasuk ke indonesia aka sangat berpengaruh dalam
pembentukan pribadi bangsa, karena budaya asli bangsa berbeda dengan budaya luar yang
masuk ke Indonesia.3
Roscoe Pound adalah ahli hukum pertama menganalisis yurisprudensi serta metodologi
ilmu-ilmu sosial. Hingga saat itu, filsafat yang telah dianut selama berabad-abad dituding telah
gagal dalam menawarkan teori semacam itu, fungsi logika sebagai sarana berpikir semakin
terabaikan dengan usahausaha yang dilakukan oleh Langdell serta para koleganya dari Jerman.
Pound menyatakan bahwa hukum adalah lembaga terpenting dalam melaksanakan kontrol
sosial. Hukum secara bertahap telah menggantikan fungsi agama dan moralitas sebagai
instrument penting untuk mencapai ketertiban sosial. Menurutnya, kontrol sosial diperlukan
3
https://www.scribd.com/doc/186874030/Nilai-Sosial-Budaya
untuk melestarikan peradaban karena fungsi utamanya adalah mengendalikan “aspek internal
atau sifat manusia”, yang dianggapnya sangat diperlukan untuk menaklukkan aspek eksternal
atau lingkungan fisikal.
Teori tentang perubahan sosial dalam hubungannya dengan sektor hukum merupakan
salah satu teori besar dalam ilmu hukum. Hubungan antara perubahan sosial dengan sektor
hukum tersebut merupakan hubungan interaksi, dalam arti terdapat pengaruh perubahan sosial
terhadap perubahan sektor hukum, sementara di pihak lain, perubahan hukum juga berpengaruh
terhadap suatu perubahan sosial. Perubahan hukum yang dapat mempengaruhi perubahan sosial
sejalan dengan salah satu fungsi hukum, yakni fungsi hukum sebagai sarana perubahan sosial,
atau sarana merekayasa masyarakat (social engineering). Jadi, hukum merupakan sarana
rekayasa masyarakat (a tool of social engineering), suatu istilah yang pertama dicetuskan oleh
ahli hukum Amerika yang terkenal yaitu Roscou Pound.4
Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran Sociological Jurisprudence
yang lebih mengarahkan perhatiannya pada ”Kenyataan Hukum” daripada kedudukan dan
fungsi hukum dalam masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik, jadi
tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books. Sociological Jurisprudence menunjukkan
kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi
terciptanya kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud penghargaan
terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum.
4
Munir Fuadi, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta: Kencana Prennamdeia Group, 2013), hal
248.
Pound pun mengakui bahwa fungsi lain dari hukum adalah sebagai sarana untuk
melakukan rekayasa sosial (social engineering). Keadilan bukanlah hubungan sosial yang ideal
atau beberapa bentuk kebajikan. Ia merupakan suatu hal dari “penyesuaian-penyesuaian
hubungan tadi dan penataan perilaku sehingga tercipta kebaikan, alat yang memuaskan
keinginan manusia untuk memiliki dan mengerjakan sesuatu, melampaui berbagai
kemungkinan terjadinya ketegangan, inti teorinya terletak pada konsep “kepentingan”. Ia
mengatakan bahwa sistem hukum mencapai tujuan ketertiban hukum dengan mengakui
kepentingan-kepentingan itu, dengan menentukan batasan-batasan pengakuan atas kepentingan-
kepentingan tersebut dan aturan hukum yang dikembangkan serta diterapkan oleh proses
peradilan memiliki dampak positif serta dilaksanakan melalui prosedur yang berwibawa, juga
berusaha menghormati berbagai kepentingan sesuai dengan batas-batas yang diakui dan
ditetapkan.
Roscoe Pound memiliki pendapat mengenai hukum yang menitik beratkan hukum pada
kedisiplinan dengan teorinya yaitu: “Law as a tool of social engineering” (Bahwa Hukum
adalah alat untuk memperbaharui atau merekayasa masyarakat).Untuk dapat memenuhi
peranannya Roscoe Pound lalu membuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang
harus dilindungi oleh hukum itu sendiri, yaitu sebagai berikut: 5
5
9 Andro Meda, “Sosiologi Hukum (Aliran Sociological jurisprudence)”, diakses di
http://akhyar13.blogspot.co.id/2014/05/sosiologi-hukum-aliran-sociological_8330.html, Pada tanggal 08 Mei
2017.
a. Kepentingan individu
b. Kepentingan keluarga
c. Kepentingan hak milik
B. Konsep Hukum Roscoe Pound tentang Law as a Tool of Social Engineering
Law as a tool of sosial engineering merupakan teori yang dikemukakan oleh Roscoe
Pound, yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan/merekayasa dalam masyarakat, dalam
istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat.
Dengan disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi “law as a tool of social
engineering” yang merupakan inti.
pemikiran dari aliran pragmatic legal realism itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja
kemudian dikembangkan di Indonesia. Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja13,
konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas jangkauan dan
ruang lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya, alasannya oleh karena
lebih menonjolnya perundangundangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia (walau
yurisprudensi memegang peranan pula) dan ditolaknya aplikasi mekanisme daripada konsepsi
tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan hasil yang sama daripada penerapan faham
legisme yang banyak ditentang di Indonesia. Sifat mekanisme itu nampak dengan
digunakannya istilah “tool” oleh Roscoe Pound. Itulah sebabnya mengapa Mochtar
Kusumaatmadja cenderung menggunakan istilah “sarana” daripada alat. Disamping disesuaikan
dengan situasi dan kondisi di Indonesia konsepsi tersebut dikaitkan pula dengan filsafat budaya
dari Northrop dan policyoriented dari Laswell dan Mc Dougal. Hukum yang digunakan sebagai
sarana pembaharuan itu dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi
keduanya, seperti telah dikemukakan dimuka, di Indonesia yang paling menonjol adalah
perundang-undangan, yurisprudensi juga berperan namun tidak seberapa. Agar supaya dalam
pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat berjalan
sebagaimana mestinya, hendaknya perundangundangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa
yang menjadi inti pemikiran aliran sociological Jurisprudence yaitu hukum yang baik
hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat. Sebab jika ternyata tidak,
akibatnya ketentuan tersebut akan tidak dapat dilaksanakan dan akan mendapat tantangan-
tantangan. Beberapa contoh perundang-undangan yang berfungsi sebagai sarana pembaharuan
dalam arti merubah sikap mental masyarakat tradisional kearah modern, misalnya larangan
penggunaan koteka di Irian Jaya, keharusan pembuatan sertifikat tanah dan sebagainya.
Law as a tool of social engineering dapat pula diartikan sebagai sarana yang ditujukan
untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan tujuantujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa
yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment yaitu dimana hukum-hukum
tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu akan
timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor tersebut dapat
berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan, maupun golongan-
golongan lain dalam masyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan, karena
suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan tanpa
mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuantujuan tersebut. kalau hukum
merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut maka prosesnya tidak
hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja tetapi pengetahuan yang mantap
tentang sifat-sifat hukum juga perlu diketahui untuk agar tahu batas-batas di dalam penggunaan
hukum sebagai sarana untuk mengubah ataupun mengatur perilaku warga masyarakat. Sebab
sarana yang ada, membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana
mana yang tepat untuk dipergunakan.
Hukum di dalam masyarakat modern saat ini mempunyai ciri menonjol yaitu
penggunaannya telah dilakukan secara sadar oleh masyarakatnya. Di sini hukum tidak hanya
dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam
masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuantujuan yang dikendaki,
menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola
kelakuan baru dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai pandangan modern tentang hukum
itu yang menjurus kepada penggunaan hukum sebagai instrumen yaitu law as a tool social
engineering.
Roscoe Pound menganggap bahwa hukum sebagai alat rekayasa sosial (Law as a tool of
social engineering and social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian
agar secara optimal dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat.
Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam
mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang
ideal itu diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara.
Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law)
dengan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antara
(tesis) Positivisme Hukum (antitesis) dan Mazhab Sejarah. Sebagaimana diketahui, Positivisme
Hukum memandang tiada hukum kecuali perintah yang diberikan penguasa (law is a command
of law givers), sebaliknya Mazhab Sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang
bersama dengan masyarakat.
Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedua lebih mementingkan
pengalaman, dan Sociological Jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya. Aliran
sociological jurisprudence ini memiliki pengaruh yang sangat luas dalam pembangunan hukum
Indonesia. Singkatnya yaitu, aliran hukum yang konsepnya bahwa hukum yang dibuat agar
memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law baik tertulis maupun tidak
tertulis.
C. Teori Hukum Pendukung atau Penunjang atas Teori Hukum yang Merekayasa
masyarakat ( Law as a tool of Social Engineering)
Adapun yang menjadi pununjang atau pendukung atas teori hukum yang dapat
merekayasa masyarakat (law as a tool social engineering) yang dikemukakan oleh Rouscou
Pound adalah teori tentang efektivitas dan validitas hukum dimana menurut Hans Kelsen, Jika
Berbicara tentang efektivitas hukum, dibicarakan pula tentang Validitas hukum. Validitas
hukum berarti bahwa norma-norma hukum itu mengikat, bahwa orang harus berbuat sesuai
dengan yang diharuskan oleh normanorma hukum., bahwa orang harus mematuhi dan
menerapkan norma-norma hukum. Efektifitas hukum berarti bahwa orang benar-benar berbuat
sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma
itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi.
Pernyataan bahwa suatu norma adalah valid dan pernyataan bahwa norma itu efektif
merupakan dua pernyataan yang berbeda. Tetapi walaupun validitas dan efektifitas merupakan
dua konsep yang sepenuhnya berbeda, walau demikian terdapat suatu hubungan yang sangat
penting diantara keduanya. Suatu norma dainggap valid berdasarkan kondisi bahwa norma
tersebut termasuk kedalam suatu sistem norma, ke dalam suatu tatanan yang sepenuhnya
efektif. Jadi, efektivitas adalah suatu kondisi dari validitas; suatu kondisi, bukan alasan dari
validitas. Suatu norma valid bukan karena norma tersebut efektif; norma itu valid jika tatanan
yang melingkupi norma itu sepenuhnya efektif. Namun demikian, hubungan antara validitas
dan efektivitas ini dapat dipahami hanya dari sudut pandang teori hukum yang dinamik yang
membahas masalah penalaran tentang validitas dan konsep tatanan hukum. Yang dibicarakan
dari sudut pandang teori yang statis adalah validitas hukum.
Teori validitas hukum merupakan salah satu teori yang penting dalam ilmu hukum.
Teori validitas atau legitimasi dari hukum (legal validity) adalah teori yang mengajarkan
bagaimana dan apa syarat-syaratnya agar suatu kaidah hukum menjadi legitimate dan sah
(valid) berlakunya, sehingga dapat diberlakukan kepada masyarakat, bila perlu dengan upaya
paksa, yakni suatu kaidah hukum yang memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1. Kaidah hukum tersebut haruslah dirumuskan ke dalam berbagai bentuk aturan formal,
seperti dalam bentuk pasal-pasal dari Undang-Undang Dasar, UndangUndang, dan
berbagai bentuk peraturan yang lainnya, aturan-aturan internasional seperti dalam
bentuk traktat, konvensi, atau setidaknya dalam bentuk adat kebiasaan
2. Aturan formal tersebut harus dibuat secara sah, misalnya jika dalam bentuk undang-
undang harus dibuat oleh parleman bersama dengan pemerintah
4. Terhadap aturan formal tersebut tidak ada cacat-cacat yuridis lainnya. Misalnya tidak
bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi
5. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterapkan oleh badan-badan penerap hukum,
seperti pengadilan, kepolisian, kejaksaaan.
6. Kaidah hukum tersebut harus dapat diterima dan dipatuhi oleh masyarakat
7. Kaidah hukum tersebut haruslah sesuai dengan jiwa bangsa yang bersangkutan.
Sebaliknya, menurut teori validitasi hukum maka suatu kaidah hukum tidak dapat ditakar
dengan kaidah moral atau kaidah politik. Dalam hal ini berarti bahwa validitas suatu aturan
hukum tidak goyah hanya karena tidak bersesuaian dengan kaidah moral, kaidah politik, atau
kaidah ekonomi. Karena masing-masing bidang tersebut mengatur hal yang berbeda-beda
meskipun dalam hal tertentu saling overlapping. Suatu kaidah hukum yang dapat mengikuti
kaidah moral, politik, atau ekonomi, sepanjang kaidah hukum tersebut tidak mengorbankan
norma dasar dalam hukum. Misalnya, suatu kaidah moral, politik, ekonomi, atau agama, tidak
dapat diberlakukan dalam hukum jika kaidah-kaidah tersebut bertentangan dengan asas-asas
keadilan, kepastian hukum, prediktiabilitas, ketertiban umum, perlindungan hak dasar, asas
manfaat dan lain-lain.
Pendapat para ahli tentang hal validitas dari suatu aturan hukum adalah bervariasi
tergantung kepada penekanan dari masing-masing ahli tersebut. Ada yang berpendapat bahwa
valid tidaknya suatu aturan hukum diukur dari terpenuhi tidaknya suatu eleman-elemen sebagai
berikut:
1. Apakah aturan hukum tersebut bersesuaian (conformity) dengan aturan tertentu yang
tingkatnya lebih tinggi. Jadi, aturan hukum tersebut tidak dalam keadaan “diluar jalur”
(ultra vires).
2. Apakah aturan hukum tersebut merupakan bagian yang konsisten (subsistem) dengan
bidang pengaturan yang sudah ada saat ini.
3. Apakah aturan hukum tersebut bersesuaian dengan kenyataan sosial dalam masyarakat
(aspek sosiologis), sehingga berlaku efektif dalam masyarakat.
4. Apakah dalam aturan hukum tersebut terdapat kecendrungan internal untuk dihormati
(atas dasar moral dan politik).
5. Apakah aturan hukum tersebut merupakan bagian dari kenyataan normatif yang
transendental (aspek ontologis).
Hans Kelsen mempersyaratkan hubungan timbal balik antara unsur “validitas” dan
“keefektifan” dari suatu kaidah hukum. Menurutnya, sebelum berlaku secara efektif, suatu
norma hukum harus terlebih dahulu valid, karena jika suatu kaidah hukum tidak valid, maka
hakim misalnya tidak akan menerapkan hukum tersebut, sehingga kaidah hukum tersebut tidak
pernah efektif berlaku. Tetapi sebaliknya adalah benar juga bahwa keefektifan merupakan
syarat mutlak bagi sebuah kaidah hukum yang valid. Karenanya, jika suatu masa karena
perubahan masyarakat, suatu kaidah hukum yang semulanya valid dan efektif berlaku,
kemudian menjadi tidak efektif lagi, maka kaidah hukum tersebut juga kemudian menjadi tidak
lagi valid. Adapun agar suatu kaidah hukum tersebut dapat efektif, haruslah memenuhi dua
syarat utama yaitu:
Berikut ini salah satu contoh dari penerapan teori validitas dan efektivitas hukum yang awalnya
telah valid dan efektif namun didalam perkembangannya peraturan tersebut kemudian menjadi
tidak efektif dan akhirnya menjadi tidak valid yang kasus ini terjadi di Indonesia tentang
adanya pembatalan UndangUndang Koperasi Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian
dimana peraturan tersebut yang awalnya valid dan didalam perkembangannya peraturan
tersebut dianggap tidak sesuai atau melanggar peraturan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak
sesuuai atau tidak sejalan dengan prinsip awal koperasi yang berada dalam masyarakat.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012, dibatalkan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi.
Putusan Nomor 28/PUU-XI/2013 dalam amar putusannya antara lain memutuskan sebagai
berikut :
Jati diri koperasi dan akan mendorong pada pengertian koperasi yang salah. Koperasi itu
sebagai sekumpulan orang dan pengertian koperasi menurut UU No.17 tahun 2012 itu
diterjemahkan dalam basis pengertian sebagai asosiasi berbasis modal (capital base association)
yang berarti tidak ada bedanya dengan model perusahaan swasta kapitalistik.Jadi jelas, UU
tersebut memang melanggar jati diri koperasi dan secara filosofis tentu menyimpang dari dasar
alas an adanya koperasi dan cacat secara epistemologis bahkan secara ontologis akan
berpotensi menggeser bentuk koperasi menjadi korporasi.
Ketika pembicaraan pada mengapa orang mentaati hukum, ada beberapa teori yang
telah dikemukakan, antara lain: teori kedaulatan Tuhan, teori perjanjian, dan teori kedaulatan
negara. Dalam ketiga teori tersebut telah tersirat kedudukan atau peran negara dalam
keberadaan hukum di masyarakat. Ketika teori sebagaimana telah dikemukakan (teori
kedaulatan Tuhan, teori perjanjian, dan teori kedaulatan negara) dapat memberikan jawaban
tentang penyebab negara memiliki kekuasaan untuk menghukum seseorang.
2.11. Hakekat Hukum Dan Tujuannya
Jika dipertanyakan apa hakikat atau esensi dari hukum? Jawabannya terdapat Pada
pengertian hukum yang secara causa (sebab) hukum itu ada karena punya sebab tertentu.
Secara fungsional hukum itu dibentuk atau diciptakan semata-mata demi tujuan tertentu. Salah
satu tujuan dari banyak tujuan hukum adalah mendapatkan atau Menegakkan keadilan.
Menggunakan teori kausalitas Aristoteles, ada empat sebab dalam realitas untuk
Mendefenisikan hukum antara lain: sebab yang berupa bahan (causa materialis), sebab Yang
berupa bentuk (causa formalis), sebab yang berupa pembuat (causa efisien) dan Sebab yang
berupa tujuan (causa finali). Hakikat hukum dapat diketahui dengan menggunakan kausalitas
tersebut. Misalnya apa bahan hukum, bentuknya, siapa Pembuatnya dan apa tujuannya?
Rupanya yang paling penting bagi Aristoteles adalah bahwa hukum itu ada karena terdapat
causa (sebab) tertentu. Apabila hukum itu bertujuan untuk menertibkan masyarakat atau untuk
mendapatkan keadilan, maka hakikat mendasar dari hukum adalah fungsi atau manfaatnya.
Inti dari pengertian hukum menurut Theo Huijbers adalah hakikat hukum itu sendiri,
yaitu hukum yang menjadi sarana bagi penciptaan suatu aturan masyarakat yang adil. Adil
merupakan suatu keadaan yang ingin diwujudkan oleh semua masyarakat manapun. Dengan
gambaran seperti ini, maka hukum menurut hakikatnya adalah sebagai hukum, yang melebihi
negara, walaupun berasal dari negara itu sendiri. Hukum merunjuk pada suatu aspek hidup
yang istimewa yang tidak terjangkau ilmu-ilmu lain. Intisari hukum ialah membawa aturan
yang adil dalam masyarakat. Dari berbagai Pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat
hukum adalah menciptakan suatu aturan yang adil ke dalam masyarakat.
Tujuan Hukum
Dikutip dari buku “Sistem Hukum dan Penegakan Hukum” oleh S. Salle, fungsi hukum
pada hakekatnya adalah untuk merealisasi apa yang menjadi tujuan-tujuan hukum itu sendiri.
Namun, beberapa ahli memiliki definisi sendiri. Berikut ini fungsi hukum menurut para ahli,
antara lain:
a. Fungsi hukum menurut Sudikno Mertokusumo Hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia, agar kepentingan-kepentingannya terlindungi, maka hukum
seyogyanya dilaksanakan secara nyata.
b. Fungsi hukum menurut Lambertus Johannes van ApeldoornHukum berfungsi sebagai
pengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki perdamaian.
c. Fungsi hukum menurut Joseph Raz Fungsi hukum dalam kehidupan masyarakat oleh
Joseph Raz dibagi menjadi fungsi langsung dan tidak langsung.
Adapun fungsi tidak langsung dari hukum, termasuk memperkuat atau memperlemah
kecenderungan untuk menghargai nilai nilai moral tertentu, antara lain tentang kesucian hidup,
memperkuat atau memperlemah penghargaan terhadap otoritas umum, mempengaruhi perasaan
nasionalisme dan lain-lain.
2.12. Konsep Keadilan Dan Hukum
Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal dari bahasa Latin
“iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda, yaitu:
1) Secara atributif, hukum berarti suatu kualitas yang adil,
2) sebagai tindakan, hukum Adalah tindakan yang menentukan hak, ganjaran atau
hukuman,
3) dari segi pelaku, hukum yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan
sebelum suatu perkara Diajukan ke pengadilan.
Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata “justice” diartikan sebagai “adil”. Dalam
bahasa Arab, adil adalah turunan dari kata “al‘adl” yang artinya sesuatu yang baik, sikap yang
tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa keadilan merujuk pada Sifat,
perbuatan dan perlakuan yang adil. Adil selalu berhubungan dengan manusia, baik Secara
individu sebagai suatu tindakan dan suatu rasa adil dalam diri sendiri, maupun Secara sosial
yang berarti kerjasama secara organis sehingga setiap anggota masyarakat Memiliki
kesempatan yang sama untuk tumbuh dan hidup pada kemampuan aslinya.
Keadilan pun dapat dipandang sebagai tuntutan norma, sebagai keadaan dan Sebagai
sikap. Sebagai tuntutan, keadilan menuntut agar hak setiap orang dihormati dan Semua manusia
diperlakukan secara sama. Adil berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi
haknya, sehingga hak yang diterimanya itu menunjang setiap tanggung Jawab yang akan
dilaksanakannya.
H. Amran Suadi mengikuti Aristoteles, membagi keadilan berdasarkan tiga bagian,
yakni: keadilan legal, keadilan komutatif dan keadilan distributif.29 Aristoteles menegaskan
bahwa keadilan merupakan suatu keutamaan berdasarkan ketaatan terhadap Hukum. Keadilan
bukan hanya dipandang sebagai keutamaan umum, melainkan pula keutamaan moral khusus,
yang berkaitan dengan sikap manusia dalam bidang tertentu, yakni menentukan hubungan baik
dan keseimbangan antar masyarakat.
Pertama, keadilan legal atau keadilan umum merupakan prinsip keadilan sebagai Suatu
perlakuan yang sama terhadap semua orang sesuai dengan hukum yang berlaku. Keadilan ini
menuntut semua orang harus dilindungi dan tunduk pada hukum yang ada tanpa pandang bulu.
Keadilan legal berlaku dalam hubungan antara individu dan negara atau suatu kelompok
masyarakat tertentu dengan negaranya. Semua orang diperlakukan ecara sama oleh negara di
hadapan atau berdasarkan hukum yang berlaku.
Kedua, keadilan komutatif. Keadilan ini merupakan hubungan adil antara orang yang
satu dengan orang yang lain atau antara warga negara yang satu dengan warga Negara yang
lain. Keadilan komutatif berkaitan dengan pemulihan kembali kerusakan atau kerugian yang
telah terjadi dalam sebuah interaksi sosial. Adam Smith sepaham dengan Aristoteles bahwa
keadilan komutatif merupakan suatu prinsip tidak melukai dan merugikan orang lain. Lebih
khusus prinsip ini mengacu pada sikap menahan diri untuk tidak merugikan orang lain. Entah
itu menyangkut pribadinya, miliknya, atau reputasinya maupun hakekatnya sebagai warga
masyarakat tertentu.
Ketiga, keadilan distributif. Pada prinsipnya negara harus membagi segala esuatu
dengan cara yang sama kepada setiap warganya. Dalam bahasa biasa keadilan distributif adalah
keadilan membagi. Di antara hal-hal yang dibagi oleh negara kepada warga, ada hal-hal yang
menyenangkan untuk didapat (benefits) dan hal-hal yang justru tidak menyenangkan (burdens)
kalau terjadi pada diri orang tertentu. Sebagai contoh pada kategori hal-hal yang merupakan
benefit, yaitu: perlindungan hukum, tanda kehormatan, tunjangan bulanan. Dan contoh hal yang
dibagi oleh negara yang termasuk sebagai burdens, yaitu: kewajiban kerja bakti, beban
membayar pajak. Hal-hal ini dikatakan sebagai tidak adil ketika pemerintah melakukan
pembagian dengan mengistimewakan orang-orang tertentu. Implikasinya, praktek nepotisme
merupakan pelanggaran terhadap keadilan distributif.
Hubungan Hukum dan Keadilan
Hukum sangat berkaitan erat dengan keadilan. Bahkan terdapat sebagian orang yang
berpendapat bahwa hukum mesti digabungkan, supaya hukum itu benar-benar menjadi hukum
yang menegakkan keadilan. Apabila suatu hukum dalam proses penyelesaian masalah merujuk
pada keadilan, maka di situlah hukum dapat dikatakan berarti. Hanya melalui suatu tata hukum
yang adil, orang-orang dapat hidup dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun
rohani. Hukum sebagai ius menunjukkan bahwa hukum itu tampak benar sebagai hukum yang
sejati, sedangkan hukum sebagai lex adalah undang-undang. Terdapat pandangan haluan
positivisme yang mengatakan bahwa adanya ketidakadilan dalam undang-undang disebabkan
oleh hukum sebagai lex, maksudnya hukum yang tidak bernuansa adil,.dengan alasan bahwa
undang-undang selalu bersifat abstrak, sedangkan perkara-perkara Selalu muncul apa adanya
dan bersifat konkrit.
Sementara hukum sebagai ius atau iustitia adalah prinsip-prinsip hukum yang
menyangkut kepentingan umum yang bisa memberikan rasa adil kepada masyarakat. Undang-
undang hanya disebut hukum sejauh itu adil. Dengan kata lain, adil merupakan unsur konstitutif
pada segala pengertian tentang hukum, sebab hukum dipandang sebagai bagian tugas etis
manusia di dunia ini.
Hal ini mengandung pengertian bahwa manusia berkewajiban membentuk suatu hidup
bersama yang baik dengan mengaturnya secara adil. Selain itu, dalam penerapannya, apabila
undang-undang tidak relevan terhadap keadilan, maka undang-undang itu tidak bermanfaat.
1. Hukum itu bertujuan untuk mencapai keadilan. Yang dimaksud ialah bahwa masyarakat
Tidak diperlakukan sesuai hak-haknya sebagai martabat kemanusiaannya.
2. Kepastian hukum dalam arti bahwa terhadap tindakan yang dilakukan setiap orang atau
anggota masyarakat itu dapat segen dengan cepat ditentukan apakah perbuatan itu
melanggar dinyatakan menyimpang dari hukum atau tidak.
3. Kegunaan yang berarti bahwa dalam proses kerjanya hukum itu dapat memaksa
masyarakat umumnya dan penegak hukum khususnya untuk melakukan segala
aktifitasnya selalu berkaca mata pada hukum yang mengaturnya.
Fungsi Supremasi Hukum
Dalam salah satu karyanya Jhon Locke, mengisyaratkan tiga unsur yag dijadikan negara
tersebut dapat disebut dengan negara hukum antara lain: Adanya pengaturan hukum yang
mengatur bagaimana warga negaranya dapat menikmati hak asasinya sendiri terdapat suatu
badan tertentu yang digunakan sebagai sarana penyelesaian sengketa yang timbul di
pemeritahan Terdapat suatu badan tertentu yang digunakan sebagai sarana penyelesaian
sengketa yang timbul di antara sesama anggota masyarakat
Sadar atau tidak sadar, telah terjadi penyalahgunaan wewenang dan pelecehan hukum,
pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum masyarakat.
Berangkat dari pengalaman panjang perjalanan sejarah bangsa itu dan dalam menghadapi masa
depan yang penuh tantangan, maka kita sebagai bangsa telah sampai kepada kesimpulan bahwa
dalam penyelenggaraan negara, supremasi hukum haruslah ditegakkan atas asas kedaulatan
rakyat, maka mau tidak mau, suka atau tidak suka penyelenggara negara harus dikembalikan
dalam konsep kedaulatan rakyat, yang menurut hemat kami dapat dilakukan melalui
mekanisme sebagai berikut:
1. Semua orang yang menjadi anggota Badan Perwakilan Rakyat harus dipilih oleh rakyat
sebagai pemegang kedaulatan melalui suatu pemilihan umum yang diselenggarakan
secara demokratis, jujur dan adil. Dengan demikian tidak ada yang duduk dalam BPR
yang tidak dipilih oleh rakyat.
2. MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat harus mendistribusikan lebih
lanjut kedaulatan rakyat itu kepada lembaga-lembaga negara lainnya seperti: Sebuah.
Kedaulatan rakyat di bidang Legislatif kepada DPR
Kedaulatan rakyat di bidang Eksekutif kepada Presiden.
Kedaulatan rakyat di bidang Yudikatif kepada Mahkamah Agung.
Kedaulatan rakyat di bidang Konsultatif kepada DPA.
Kedaulatan rakyat di bidang Inspektif kepada BPK.
Secara harfiyah, kata hak berarti kewenangan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu.Adapun kata Asasiberarti berasal dari kata asas yang berarti dasar, alas, dan fondasi,
yaitu ‘sesuatu yang menjadi tumpunan berpikir atau berpendapat’. Kemudian kala itu mendapat
imbuhan akhiran “i” lalu menjadi asasi. Kata asasi bermakna sesuatu yang bersifat dasar atau
pokok. Secara istilah, kata hak asasi berarti kewenangan dasar yang dimiliki oleh seseorang
yang melekat pada diri orang itu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan pilihan hidupnya.
Istilah hak asasi manusia merupakan terjemahan dari istilah “droits de l’homme” dalam bahasa
Prancis atau Human Rights dalam bahasa Inggris, yang artinya “hak manusia”. Pengertian
secara teoritis dari hak asasi manusia adalah:“hak yang melekat pada martabat manusia yang
melekat padanya sebagai insan ciptaan Allah Yang Maha Esa, atau hak-hak dasar yang prinsip
sebagai anugerah Illahi. Berarti hak-hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki
manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya, karena itu Hak Asasi
Manusia bersifat luhur dan suci.
Hukum dan Hak Asasi Manusia Secara etimologi, hak merupakan unsur normatif yang
berfungsi sebagai pedoman perilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta jaminan adanya
peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Sedangkan asasi berarti yang
bersifat paling mendasar atau fundamental. Istilahhak asasi mansuia sediri berasal dari istilah
“droits I’home” (Prancis), “menslijkerecten” (Belanda), “fitrah” (Arab) dan “human right”
(Inggris).Istilah human right semula berasal dari ‘right of human’yang menggantikan istilah
‘naturalright’ yang selanjutnya oleh Eleanor Roosevelt diubah dengan diubah dengan istilah
‘human right’ yang memiliki konotasi lebih nertral dan universal.
Dengan demikian hak asasi berarti hak yang paling mendasar yang dimiliki oleh manusia
sebagai fitrah, sehingga taksatu pun mahluk dapat menginvestasinya apalagi mencabutnya dan
merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara,
hukum, pemerintahan dan setiap orang demi terciptanya kehormatan dan harkat martabat
manusia.
Misalnya hak hidup yang mana tak satu pun manusia ini memiliki kewenagan untuk mencabut
kehidupan manusia yang lain. Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dijelaskan bahwa: Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan marabat manusia.
Menurut John Locke,Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan
Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Menurut Jan Materson dari komisi
Hak Asasi Manusia PBB, pengertian Hak Asasi Manusia adalah: “Humanrights could be
generally defined as those rights which areinheret in our natureand without which we cannot
live as human being”.(Hak Asasi Manusiaadalah hak-hak yang melekat pada manusia,
yangtanpa dengannya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia).
Menurut Baruddin Lopa, pengertian Hak Asasi Manusia yang seperti beliau kutip dari
pengertian yang diberikan Jan Materson, tetapi ditambahkan bahwa pada kalimat “mustahil
dapat hidup sebagai manusia” hendaknya diartikan “mustahil dapat hidup sebagai manusia
yang bertanggung jawab”. Alasan penambahan istilah bertanggung jawab yaitu disamping
manusia memiliki hak, manusia juga memiliki tanggung jawab dari segala yang telah
dilakukannya.
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai Hak Asasi Manusia di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dimiliki
oleh setiap manusia sejak lahir dan merupakan anugerah Allah SWT. kepada hamba-Nya, yaitu
seluruh manusia tanpa terkecuali. Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap
manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai Tinjauan umum Tentang Hak
Asasi Manusia. Hak hidup misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala
sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup, karena tanpa hak tersebut eksistensinya
sebagai manusia akan hilang.
Prinsip-prinsip umum tentang Hak Asasi Manusia yang dicanangkan Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948 dianggap sebagai pedoman standar bagi
pelaksanaan penegakkan HAM bagi bangsa-bangsa, terutama yang bergabung dalam badan
tertinggi dunia itu hingga saat ini. Prinsip-prinsip umum tersebut dikenal universal Declaration
of Human Rights UDHR (pernyataan semesta tentang Hak Asasi Manusia). Deklarasi tersebut
bukanlah sebuah dokumen yang secara sah mengikat, dan beberapa ketentuan yang
menyimpang dari peraturan-peraturan yang ada dan diterima secara umum.
Meskipun demikian, menurut Baruddin Loppa, bukan berarti manusia dengan hak-haknya itu
dapat berbuat semena-mena. Sebab, apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat
dikatagorikan memperkosa hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Jadi hak asasi mengandung kebebasan secara mutlak tanpa mengindahkan hak-
hak dan kepentingan orang lain. Karena itu hak asasi manusia atas dasar yang paling
fundamental, yaitu hak kebebasan dan persamaan.
Bentuk-Bentuk Hak Asasi Manusia
Bagir Manan membagi Hak Asasi Manusia pada beberapa kategori yaitu: hak sipil, hak
politik, hak ekonomi dan hak sosial budaya. Hak sipil terdiri dari hak diperlakukan sama
dimuka hukum, hak bebas dari kekerasan, hak khusus bagi kelompok anggota masyarakat
tertentu, dan hak hidup dan kehidupan. Hak politik terdiri dari hak kebebasan berserikat dan
berkumpul, hak kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, danhak
menyampaikan pendapat di muka umum.
Hak ekonomi terdiri dari hakjaminan sosial, hak perlindungan kerja, hak perdagangan,
dan hak pembangunan berkelanjutan. Hak sosial budaya terdiri dari hak memperoleh
pendidikan, hak kekayaan intelektual, hak kesehatan, dan hak memperoleh perumahan dan
pemukiman. Sementara Baruddin Lopa, membagi Hak Asasi Manusia dalam beberapa jenis
yaitu hak persamaan dan kebebasan, hak hidup, hak memperoleh perlindungan, hak
penghormatan pribadi, hak menikah, hak berkeluarga, hak wanita sederajat dengan pria, hak
anak dari orang tua, hak memperoleh pendidikan, hak kebebasan memilih agama, hak
kebebasan bertindak dan mencari suaka, hak untuk bekerja, hak memperoleh kesempatan yang
sama, hak milik pribadi, hak menikmati hasil/produk ilmu, dan hak tahanan dan narapidana.
Dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declarationof Human
Rights) atau yang dikenal dengan istilah DUHAM, Hak Asasi Manusia terbagi kedalam
beberapa jenis, yaitu hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi), hak legal Hukum dan Hak
Asasi Manusia (hak jaminan perlindungan hukum), hak sipil dan politik, hak subsistensi (hak
jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan) serta hak ekonomi, sosial dan
budaya. Menurut pasal 3-21 DUHAM, hak personal, hak legal, hak sipil, dan politik meliputi:
Sementara itu dalam UUD 1945 (amandemen I-IV UUD 1945) memuat Hak Asasi
Manusia yang terdiri dari hak: Tinjauan umum Tentang Hak Asasi Manusia.
Dari beberapa bentuk-bentuk Hak Asasi Manusia di atas, secara umum semua konsep
Hak Asasi Manusia sangat mengedepankan hak untuk hidup, kebebasan dan perlindungan.
Tidak ada satupun konsep Hak Asasi Manusia yang tidak mengedepankan hak untuk hidup,
karena hak untuk hidup merupakan hak manusia sejak lahir. Hak-hak asasi manusia itu dapat
dibeda-bedakan menjadi:
1) Hak-hak asasi pribadi atau personal rights, yang meliputi kebebasan menyatakan
pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, dan sebagainya.
2) Hak-hak asasi ekonomi atau property rights yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli,
dan menjual serta memanfaatkannya.
3) Hak-hak asasi politik atau political rights yaitu hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan umum), hak untuk
mendirikan partai politik dan sebagainya.
4) Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan
pemerintahan atau rights of legalequality.
5) Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights yaitu hak untuk
memilih pendidikan, hak untuk mengembangkan kebudayaan dan sebagainya.
6) Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan atau
procedural rights yaitu peraturan dalam penahanan, penangkapan, penggeledahan,
peradilan dan sebagainya.
Pemenuhan hak asasi manusia dalam suatu negara, tidak lepas dari adanya suatu
kewajiban yang timbul baik oleh suatu negara atau masyarakat dalam negara tersebut sehingga
muncul suatu keharmonisan yang berjalan secara selaras dan seimbang antara hak dan
kewajiban manusia.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Kata filsafat berasal dari kata Yunani, yaitu philosophia, terdiri dari kata philos
yang berarti cinta atau sahabat dan kata sophia yang berarti kebijaksanaan, kearifan
atau pengetahuan. Jadi, philosophia berarti cinta pada kebijaksanaan atau cinta pada
kebenaran, dalam hal ini kebenaran ilmu pengetahuan. Istilah filsafat memiliki makna
cinta pada kebijaksanaan atau cinta pada pengetahuan. Para filsuf alam mengemukakan
pandangannya tentang dasar atau asal mula segala sesuatu atau peristiwa yang terdapat
dalam alam. filsafat hukum digambarkan sebagai suatu disiplin modern yang memiliki
tugas untuk menganalisis konsep-konsep perskriptif yang berkaitan dengan
yurisprudensi. Istilah filsafat hukum memiliki sinonim dengan legal philosophy,
philosophy of law, atau rechts filosofie. Hukum berfungsi mengatur masyarakat
mengembangkan suatu bentuk yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsinya, yaitu
storitatif. Berkuasa dan memerintah pernyataan-pernyataannya, apa- pendapatnya,
bertolak dari kemauan agar masyarakat menundukkan diri kepada yang ingin
dicapai oleh kemauan tersebut. Pernyataan hukum yaitu sebagaimana dituangkan dalam
sesuatu bentuk perundang-undangan, tidak tunduk pada pengujian yang lazim
dilakukan terhadap pernyataan ilmu. Artinya, hasil-hasil pengujian tidak menentukan,
apakah hukum itu pada akhirnya akan diterima atau harus ditolak. Hukum tetap berlaku
sebagai hukum sebelum ada ketentuan lain yang mengubah atau mencabutnya.
Sejarah filsafat eropa tentang hukum dapat dapat dibagi kepada beberapa
tahap yang masing-masing mememiliki colak tesrsendiri :
Zaman yunani-romawi : Hukum keluar dari lingkup alam sakralvdan mulai
dipersoalkan sebagai gejala alam yang tidak sakral (abad VI sebelum masehi-
abad V sesudah masehi)
Abad Pertengahan , Hukum ditanggapi terkait isu keberadaan dan hubungan dengan
Allah dan agama (abad V-abad XV
Zaman Renaissance, Hukum mulai dipandang dalam : Hukum
hubungannya dengan kebebasan manusia dan eksistensi negara-negara bangsa
(abad XV-1650)
Zaman Rasionalisme, Hukum dipandang secara rasional melulu dalam
sistem- sistem negara dan hukum (abad 1650–1800)
Aliran-aliran dalam filsafat hukum yaitu Aliran Hukum Alam, Aliran Hukum Positif,
Aliran Hukum Utilitarianisme, AliranHukum Mazhab Sejarah, Aliran Hukum Sociological
Jurisprudence, Aliran Hukum Realisme Mazhab realisme.
B. SARAN
Saya sebagai pembuat makalah ini menyadari bahwa makalah ini banyak kesalahan dan
sangat jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan
mengacu pada sumber yang dapat di pertanggung jawabkan nantinya. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
-Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Cet.
1, h. 1-2.
-http://lingkarpenadamayana.wordpress.com/category/filsafat/, diunduh pada tanggal 11 Mei
2017
-Asmoro Akhmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja grafindo Persada, 2007), h. 115
-Atmadilaga, D. (1997). Panduan: Skripsi, Tesis, Disertasi, Penerapan Filsafat Ilmu, Filsafat
Penelitian, Etika Penelitian, Sistematika Penelitian Ilmiah, Evaluasi Karya Ilmiah.
Bandung: Pionir Jaya.
- Chavehard, P. (1983). Bahasa dan Pikiran. Alih Bahasa oleh A. Widaya M.
Yogyakarta: Yayasan Kanisius.