Anda di halaman 1dari 7

1. Jelaskan apa yang anda ketahui tentang adat dan hukum adat?

Jawaban:

 Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya, norma, kebiasaan,
kelembagaan, dan hukum adat yang mengatur tingkah laku manusia antara satu sama lain yang
lazim dilakukan di suatu kelompok masyarakat. Adat yang memiliki sanksi disebut dengan hukum
adat sedangkan yang tidak memiliki sanksi disebut dengan kebiasaan. Adat istiadat merupakan tata
kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat
terhadap masyarakat yang memilikinya. Pelanggaran terhadap adat istiadat ini akan menerima
sanksi yang keras dari anggota lainnya.Adat berasal dari bahasa Melayu dan tradisi berasal dari
bahasa Inggris mengandung pengertian sebagai kebiasaan yang bersifat magis religius dari
kehidupan suatu penduduk asli, yang meliputi nilai-nilai budaya, norma-norma hukum dan aturan
yang saling berkaitan dan kemudian menjadi suatu sistem atau peraturan tradisional.
 Hukum adat atau hukum kebiasaan adalah serangkaian aturan yang mengikat pada suatu
masyarakat yang tidak tertulis dan bersumber dari kebiasaan yang tumbuh dan berkembang pada
suatu masyarakat tertentu yang kemudian diterima menjadi hukum secara turun temurun.
Hukum adat sering pula disebut sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).

2. Uraikan sejarah hukum adat di Indonesia!

Jawaban:

Hukum Adat dikemukakan pertama kali oleh Prof. Snouck Hurgrounje seorang Ahli Sastra
Timur dari Belanda (1894). Prof. Snouck Hurgrounje dalam bukunya de atjehers (Aceh) pada tahun
1893-1894 menyatakan hukum rakyat Indonesia yang tidak dikodifikasi adalah de atjehers. Dan
hukum adat mengacu pada hukum adat yang diterapkan oleh masyarakat asli Indonesia.

Kemudian istilah ini dipergunakan pula oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, seorang
Sarjana Sastra yang juga Sarjana Hukum yang pula menjabat sebagai Guru Besar pada Universitas
Leiden di Belanda. Ia memuat istilah Adat Recht dalam bukunya yang berjudul Adat Recht van
Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda) pada tahun 1901-1933. Dalam masyarakat
Indonesia, istilah hukum adat tidak dikenal adanya. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa istilah
tersebut hanyalah istilah teknis saja. Dikatakan demikian karena istilah tersebut hanya tumbuh dan
dikembangkan oleh para ahli hukum dalam rangka mengkaji hukum yang berlaku dalam masyarakat
Indonesia yang kemudian dikembangkan ke dalam suatu sistem keilmuan.

DalamDalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun perkembangan yang ada di
Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan sebuah sistem hukum yang
dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.

Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe
Penghoeloe sebagaimana dikutif oleh Prof. Amura: sebagai lanjutan kesempurnaan hidup selama
kemakmuran berlebih-lebihan karena penduduk sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang
berlimpah ruah, sampailah manusia kepada adat. Sedangkan pendapat Prof. Nasroe menyatakan
bahwa adat Minangkabau telah dimiliki oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia
dalam abad ke satu tahun masehi.

Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam bukunya mengatakan bahwa istilah Hukum
Adat telah dipergunakan seorang Ulama Aceh[1] yang bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh
Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun 1630.[2] Prof. A. Hasymi menyatakan
bahwa buku tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu nilai
tinggi dalam bidang hukum yang baik.

3. Bagaimana corak hukum adat di indonesia? Jelaskan dengan lengkap!

Jawaban:

 Tradisional

Hukum adat sudah turun-temurun sejak dahulu kala. Dari nenek leluhur sampai anak cucu,
eksistensinya tetap dipertahankan.

 Keagamaan (Religio Magis)

Hukum adat mengandung kaidah-kaidah kekuatan gaib dan kepercayaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Mayoritas masyarakat Indonesia percaya bahwa Tuhan itu ada. Namun banyak juga yang
percaya, bahwasanya yang ada di semesta ini memiliki jiwa (contoh : animisme), dan setiap kegiatan
di bumi ini diawasi oleh makhluk-makhluk lain.

 Kebersamaan (Komunal)

Dalam hukum adat, kepentingan individu berada dibawah kepentingan bersama.


Kepentingan bersama jauh lebih penting daripada kepentingan individu (pribadi). Dan hal ini juga
diserap dalam konsitutusi kita yakni : Pasal 33 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaaan.

 Konkret dan Visual

Konkret artinya : jelas nyata. Visual artinya : tidak tertutup/kelihatan. Jelas tidak
tersembunyi. Hal tersebut terlihat dalam kegiatan-kegiatan seperti : Transaksi tunai dilakukan saat
itu juga, disaksikan oleh banyak orang, penyerahannya saat itu juga. Contohnya : transaksi jual beli
tanah. Ada janji /boroh saat membeli. Jadi, kalau A sudah memberi boroh (tanda jadi) kepada B,
maka B tidak boleh lagi menjual kepada orang lain lagi.

 Terbuka dan Sederhana

Terbuka artinya : menerima masuknya unsur-unsur asing sepanjang tidak bertentangan


dengan jiwa dan semangat hukum adat tersebut.

Sederhana artinya : bersahaja, tidak bertele-tele, mudah dalam administrasinya, dan saling percaya.

 Tidak dikodifikasi

Hukum adat tidak "dibukukan" (tidak dibuat jadi satu buku), tidak ditulis seperti layaknya
kitab Undang-undang (misalnya KUHP). Hal ini membuat hukum adat mudah diubah. Namun, ada
yang tertulis, tapi tidak mengikat semua kalanagan, hanya untuk orang tertentu saja. Misalnya,
hanya untuk keluarga orang-orang kerajaan atau bangsawan. Adapun yang tertulis, namun tidak
secara sistematis.

 Dapat berubah dan Menyesuaikan Diri

Hukum adat juga dapat disesuaikan dengan kesesuaian. Misalnya dahulu harta hanya
diberikan pada laki-laki saja, dan perempuan hanya diberikan karena rasa kasihan (iba). Namun hal
ini berubah karena saat ini sudah ada persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Jika dahulu
tidak boleh menikah (kawin) dengan satu marga, maka sekarang sudah bisa.

 Musyawarah dan Mufakat

Dalam hukum adat hal ini bertujuan untuk menyelesaikan beberapa konflik. Sangat jarang
ada kasus yang sampai ke meja pengadilan. Hal ini pula yang menjadi cirikhas kita bangsa Indonesia,
murah berteman, murah senyum, dan suka berdamai.

4. Sebutkan dan jelaskan dasar berlakunya hukum adat dalam sistem hukum nasional Di
Indonesia!

Jawaban:

Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum berlakunya hukum hukum adat itu adalah :

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. UUDS Tahun 1950

3. I.S. Pasal 131 jis R.R. Pasal 75 Baru dan Lama

4. I.S. Pasal 134

5. Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, LN Nomor 9

6. Undang-Undang Nomor 19 tahun 1964 dan

7. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

Untuk lebih jelasnya dan guna melengkapi pengetahuan kita tentang Dasar Perundang-
Undangan yang mendasari berlakunya Hukum Adat di lingkungan Tata Hukum positif di Indonesia,
maka berikut disampaikan kajian dan paparan lebih jauh tentang Perundang-Undangan tersebut.

A. Undang-Undang Dasar 1945

Apabila kita kaji dan kita teliti kita tidak akan pernah mendapatkan di dalam pasal-pasal
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan dengan jelas dan tegas mengenai dasar berlakunya
hukum adat.

Dasar yang dipakai untuk memberlakukan Hukum adat itu adalah pasal II Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan :

“ Segala Badan Negara dan peraturan yang ada , masih langsung berlaku sebelum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang ini”.

B. UUDS Tahun 1950.

Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 dalam pasal 104 ayat 1 menyatakan :

“Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman
menyebut aturan-aturan undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar
hukuman itu “

C. I.S. (Indische Staatsregeling) Pasal 131


jis R.R.(Regerings-Reglement) pasal 75 baru dan lama

Menurut ketentuan Pasal 131 ayat 2 sub b I.S., maka bagi golongan hukum Indonesia asli dan
golongan Timur Asing berlaku hukum Adat mereka, tetapi bilamana kepentingan sosial mereka
membutuhkannya, maka pembuat Ordonansi dapat menentukan bagi mereka :

a. Hukum Eropa;

b. Hukum Eropa yang telah dirubah (gewijzigd Eropees Recht);

c. Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama; dan

d. Hukum baru (Nieuw Recht), yaitu :

Hukum yang merupkan synthese antara hukum adat dan hukum Eropa.

Ada perbedaan antara I.S. pasal 131 dan R.R. pasal 75.

Perbedaan itu antara lain :

a. Pasal 75 R.R. lama itu ditujukan kepada hakim, sedangkan pasal 131 I.S. ditujukan kepada
pembuat undang-undang;

b. Pasal 75 R.R. lama tidak memuat kemungkinan bagi orang Indonesia asli untuk menundukkan
diri kepada suatu hukum baru;

c. Hukum adat tidak boleh diberlakukan apabila bertentangan dengan “azas-azas keadilan”.
Apabila Hukum Adat tidak dapat menyelesaikan suatu perkara, maka hakim dapat menyesaikanya
menurut azas-azas hukum Eropa.

Restriksi/ pembatasan atas penerapan dan kemungkinan untuk menambah Hukum Adat ini
tercantum dalam R.R. pasal 75 ayat 3, sedang dalam I.S. pasal 131tidak ada.

D. I.S. Pasal 134

Mengenai berlakunya Hukum Adat, di dalam I.S. selain pasal 131 kita jumpai lagi di pasal 134,
yang menyebutkan :

“Dalam hal timbul perkara hukum perdata antara orang-orang Islam, dan Hukum Adat mereka
meminta penyelesaiannya, maka penyelesaian perkara tersebut diselenggarakan oleh Hakim Agama,
kecuali ordonansi telah menetapkan lain”.

E. Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951

Lembaran Negara No 9/1951

Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1951 disebutkan bahwa, pada saat
yang berangsur-angsur akan ditentukan oleh Menteri Kehakiman, dihapuskan :

a. Segala pengadilan Swapraja (Zelfbestuurs-Rechtspraak) dalam negara Sumatra Timur dahulu,


Karesidenan Kalimantan Barat dahulu dan Negara Indonesia Timur dahulu, kecuali peradilan Agama,
jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri dan peradilan
swapraja.

b. Segala Pengadilan Adat (Inhemse Rechtspraak in Rechtstreeks Bestuurd Gebied) kecuali


peradilan Agama, jika peradilan itu menurut hukum yang hidup merupakan suatu bagian tersendiri
dari peradilan Adat. Tetapi menurut pasal 1 ayat 3 UU Darurat ini, Dorpsrechter (Hakim Desa) tetap
diperthankan. Peradilan yang dilakukan oleh Hakim Swapraja dan Hakim Adat yang telah dihapuskan
itu diteruskan oleh Pengadilan Negeri.

F. Undang-Undang No. 19 tahun 1964 dan

G. Undang-Undang No. 14 tahun 1970

Ketentuan dan tuntutan dalam pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :
“ Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan
Kehakiman” telah dipenuhi penyelenggaraannya oleh pasal 3 Undang-Undang No 19 tahun 1964.

Dalam pasal 3 Undang-Undang tersebut memang tidak disebut dengan tegas adanya Hukum
Adat, tetapi hanya dalam penjelasan pasal 10 dinyatakan adanya hukum yang tertulis dan hukum
yang tidak tertulis.

Persoalannya adalah :

Apakah yang dimaksudkan dengan hukum tidak tertulis itu hanya Hukum Adat saja atau termasuk
hukum –hukum tidak tertulis lainnya seperti Hukum perniagaan tidak tertulis, hukum tatanegara
tidak tertulis dan lain-lainnya?

Jawaban atas persoalan tersebut dapat ditemukan dalam penjelasan umum Undanng-undang No 19
tahun 1964, yang menyatakan sebagai berikut :

“ Bahwa peradilan adalah peradilan Negara. Dengan demikian tidak ada tempat bagi peradilan
swapraja dan peradilan Adat. Apabila peradilan-peradilan itu masih ada, maka selekas mungkin akan
dihapuskan seperti yang secara berangsur-angsur telah dilaksanakan.

Selanjutnya ketentuan yang ada dalam Undang-undang No 14 tahun 1970, tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang merupakan landasan hukum berlakunya Hukum Adat
termuat dalam pasal-pasal sebagai berikut :

a. Pasal 23 (1) yang berbunyi :

“ Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga
harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

Yang dimaksud dengan “hukum tak tertulis” dalam pasal tersebut adalah “Hukum Adat”.

Ini hampir sama dengan pasal 17 UU No 19 tahun 1964.

b. Pasal 27 (1) yang berbunyi :

“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Ini hampir sama dengan pasal 20 (1) UU No 19 tahun 1064.

Dalam penjelasan umum Undang-undang ini, bagian 7 berbunyi sebagai berikut:

“ Penegasan, bahwa peradilan adalah peradilan Negara, dimaksud untuk menutup semua
kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi Peradilan Swapraja atau Peradilan Adat yang
dilakukan oleh bukan peradilan Negara. Ketentuan ini sekali-kali tidak bermaksud untuk mengingkari
hukum tidak tertulis, melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu
kepada peradilan negara. Dengan ketentuan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai hukum yang hidup dngan mengintegrasikan diri di dalam masyarakat, telah terjamin
sepenuhnya bahwa perkembangan dan penerapan hukum tidak tertulis berjalan secara wajar”.

5. Bagaimana masyarakat hukum adat di Indonesia? Jelaskan dengan beberapa contoh


masyarakat adat di Indonesia!

Jawaban:

Hukum adat atau hukum kebiasaan adalah serangkaian aturan yang mengikat pada suatu
masyarakat yang tidak tertulis dan bersumber dari kebiasaan yang tumbuh dan berkembang pada
suatu masyarakat tertentu yang kemudian diterima menjadi hukum secara turun temurun.

 Hukum adat potong jari Papua


Bersedih karena anggota keluarga meninggal biasanya dilampiaskan dengan menangis
atau meratapi kepergian hingga rasa sedih reda. Tapi berbeda bagi masyarakat suku Dani di
pegunungan Halmahera. Hukum adat yang berlaku malah seperti menambah derita keluarga
yang ditinggalkan, karena mereka harus memotong jari.
Setiap ada seorang anggota keluarga yang meninggal, seorang anggota suku tersebut
harus memotong satu ruas jari tangannya, sebagai pengingat bahwa anggota keluarga sudah tak
lengkap lagi.
KenapaKenapa ruas jari? Karena tangan melambangkan kesempurnaan, ketika ada yang
hilang, maka tentunya kehidupan tidak lagi sempurna.

 Hukum adat berjenjang, Aceh


Di Aceh Contoh Hukum Adat yang berlaku adalah hukum berjenjang sesuai dengan
kesalahan yang dilakukan oleh masyarakat, baik itu kalangan bawah hingga orang berpangkat.
Dimulai dengan teguran, lalu naik pada harus meminta maaf pada masyarakat banyak,
hingga akhirnya ada hukum denda dan hingga hukuman pada fisik pelaku kesalahan.

 Hukum adat warisan, Bali


Bali yang menganut paham patrilineal atau prioritas pada kaum laki-laki memiliki hukum
ahli waris keluarga yang jatuh ke tangan laki-kali seratus persen.
Sementara anak perempuan hanya bisa menggunakan saja, hal ini didasari karena
tanggung jawab laki-laki dinilai lebih besar ketimbang perempuan dalam sebuah keluarga.
ukum tersebut sedikit dirubah pada tahun 2010 dimana perempuan diberikan hak atas
warisan, tepatnya setengah dari harta yang sebelumnya sudah diambil sepertiga untuk dijadikan
harta pusaka.
Namun hukum ini hanya berlaku pada perempuan Hindu. Tak berlaku pada perempuan
Bali yang pindah ke agama lain.

 Hukum adat mahar, Maluku


Sampai tahun 2005 silam masyarakat suku Naulu masih menganut hukum adat mahar
pernikahan berupa kepala manusia yang dipenggal.
Memang sangat mengerikan, namun masyarakat setempat percaya bahwa hal itu akan
membawa kelanggengan bagi rumah tangga mereka nantinya. Beruntung pemerintah sudah
melarang diberlakukannya hukum ini.
 Hukum adat pengasingan, Maluku
Sangat menyedihkan nasib para ibu hamil dan hampir melahirkan di suku Naulu Pulau
Seram Provinsi Maluku.
Contoh Hukum Adat yang berlaku disana adalah beberapa waktu menjelang melahirkan
mereka akan diasingkan dari keluarga.
Mereka akan ditempatkan di gubuk yang dikenal dengan nama Tikusune berukuran 2×3
meter yang hanya dilengkapi sebuah kasur.

Keberadaan hukum adat dan beberapa Contoh Hukum Adat yang masih dianut masyarakat
tersebut, membuka mata kita bahwa ternyata kepercayaan terhadap budaya dan adat masih
sangat kental di berbagai daerah.

Anda mungkin juga menyukai