Disusun Oleh:
Dwi Hesti Wulandari
NIM:
1
9
0
1
7
B) Etiologi
Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Berbagai berperan
sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang
diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor
apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang
diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit
seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut. (Sjamsuhidayat, 2005).
C) Patofisiologi dengan Pathway
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut
semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis
bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang
ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis
supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding
apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis
perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut
infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya
tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
Pathway Apendisitis
D) Manifestasi Klinis
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat. nyeri kuadran bawah
terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu
makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran
kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka
superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi
atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks
melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa didaerah lumbal. Bila
ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan
rektal. nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum. Nyeri
pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung
kemih atau ureter. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat
terjadi. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri
yang secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah.
Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi
akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk.
Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-
tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses
penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami
ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena
banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat
pasien-pasien yang lebih muda (Smeltzer C. Suzanne, 2002).
E) Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada apendisitis menurut Smeltzer dan Bare (2009). yaitu :
a) Perforasi Perforasi berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum, dan
letak usus halus. Perforasi terjadi 70% pada kasus dengan peningkatan 11 suhu
39,50C tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut dan leukositosis meningkat akibat
perforasi dan pembentukan abses.
b) Peritonitis Peritonitis yaitu infeksi pada sistem vena porta ditandai dengan panas
tinggi 390C – 400C menggigil dan ikterus merupakan penyakit yang jarang.
F) Penatalaksanaan
Pada penatalaksanaan post operasi apendiktomi dibagi menjadi tiga (Brunner &
Suddarth, 2010), yaitu:
a) Sebelum operasi
1. Observasi 12 Dalam 8-12 jam setelah munculnya keluhan perlu diobservasi ketat
karena tanda dan gejala apendisitis belum jelas. Pasien diminta tirah baring dan
dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis.
Diagnosis ditegakkan dengan lokasi nyeri pada kuadran kanan bawah setelah
timbulnya keluhan.
2. Antibiotik Apendisitis ganggrenosa atau apenditis perforasi memerlukan antibiotik,
kecuali apendiksitis tanpa komplikasi tidak memerlukan antibiotik. Penundaan
tindakan bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
preforasi.
b) Operasi
Operasi / pembedahan untuk mengangkat apendiks yaitu apendiktomi.
Apendiktomi harus segera dilakukan untuk menurunkan resiko perforasi.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum dengan pembedahan abdomen
bawah atau dengan laparoskopi. Laparoskopi merupakan metode terbaru yang sangat
efektif (Brunner & Suddarth, 2010). Apendiktomi dapat dilakukan dengn
menggunakan dua metode pembedahan, yaitu secara teknik terbuka (pembedahan
konvensional laparatomi) atau dengan teknik laparoskopi yang merupakan teknik
pembedahan minimal invasive dengan metode terbaru yang sangat efektif (Brunner &
Suddarth, 2010).
1. Laparatomi
Laparatomi adalah prosedur vertical pada dinding perut ke dalam rongga perut.
Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan merasakan organ dalam untuk
membuat diagnosa apa yang salah. Adanya teknik diagnosa yang tidak invasif,
laparatomi semakin kurang digunakan dibanding terdahulu. Prosedur ini hanya
dilakukan jika semua prosedur lainnya yang tidak membutuhkan operasi, seperti
laparoskopi yang seminimal mungkin tingkat invasifnya juga membuat laparatomi
tidak sesering terdahulu. Bila laparatomi dilakukan, begitu organ-organ dalam dapat
dilihat dalam masalah teridentifikasi, pengobatan bedah harus segera dilakukan.
Laparatomi dibutuhkan ketika ada kedaruratan perut. Operasi laparatomi
dilakukan bila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area abdomen, misalnya
trauma abdomen. Bila klien mengeluh nyeri hebat dan gejala-gejala lain dari masalah
internal yang serius dan kemungkinan penyebabnya tidak terlihat seperti usus buntu,
tukak peptik yang berlubang, atau kondisi ginekologi maka dilakukan operasi untuk
menemukan dan mengoreksinya sebelum terjadi keparahan lebih. Laparatomi dapat
berkembang menjadi pembedahan besar diikuti oleh transfusi darah dan perawatan
intensif (David dkk, 2009).
2. Laparoskopi Laparaskopi berasal dari kata lapara yaitu bagian dari tubuh mulai
dari iga paling bawah samapi dengan panggul. Teknologi laparoskopi ini bisa
digunakan untuk melakukan pengobatan dan juga mengetahui penyakit yang belum
diketahui diagnosanya dengan jelas.
Keuntungan bedah laparoskopi :
1) Pada laparoskopi, penglihatan diperbesar 20 kali, memudahkan dokter dalam
pembedahan.
2) Secara estetika bekas luka berbeda dibanding dengan luka operasi pasca bedah
konvensional. Luka bedah laparoskopi berukuran 3 sampai 10 mm akan hilang
kecuali klien mempunyai riwayat keloid.
3) Rasa nyeri setelah pembedahan minimal sehingga penggunaan obat-obatan dapat
diminimalkan, masa pulih setelah pembedahan lebih cepat sehingga klien dapat
beraktivitas normal lebih cepat.
c) Setelah operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di
dalam, hipertermia, syok atau gangguan pernafasan. Baringkan klien dalam posisi
semi fowler. Klien dikatakan baik apabila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan,
selama itu klien dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal. Satu hari setelah
dilakukan operasi klien dianjurkan duduk tegak di temmpat tidur selama 2 x 30 menit.
Hari kedua 15 dapat dianjurkan untuk duduk di luar kamar. Hari ke tujuh dapat
diangkat dan dibolehkan pulang (Mansjoer, 2010).
C) Rencana Keperawatan
a) Risiko Infeksi B.D …
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama … x … jam, maka tingkat
infeksi menurun dengan
Kriteria Hasil:
1. Kebersihan badan meningkat
2. Nafsu makan meningkat
3. Kemerahan menurun
4. Nyeri menurun
5. Bengkak menurun
6. Cairan berbau busuk menurun
7. Periode malaise menurun
8. Kultur urine membaik
9. Kultur feses membaik
Intervensi:
1. Observasi
1) Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik.
2. Terapeutik
1) Batasi jumlah pengunjung.
2) Berikan perawatan kulit pada area edema.
3) Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien.
4) Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi.
3. Edukasi
1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
2) Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar.
3) Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi.
4) Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi.
5) Anjurkan meningkatkan asupan cairan.
b) Nyeri Akut B.D …
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama … x … jam, maka tingkat
nyeri menurun dengan
Kriteria Hasil:
1. Kemampuan menuntaskan aktivitas meningkat
2. Keluhan nyeri menurun
3. Meringis menurun
4. Gelisah menurun
5. Kesulitan tidur menurun
6. Mual menurun
7. Tekanan darah membaik
8. Fungsi berkemih membaik
Intervensi:
1. Observasi
1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri.
2) Identifikasi skala nyeri.
3) Identifikasi respon nyeri non verbal.
4) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.
5) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri.
6) Monitor efek sampig penggunaan analgetik.
2. Terapeutik
1) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedback, terapi pijatm aromaterapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain).
2) Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan).
3) Fasilitasi istirahat dan tidur.
3. Edukasi
1) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri.
2) Jelaskan strategi meredakan nyeri.
3) Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
4) Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat.
5) Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.
4. Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.
D) Tindakan Keperawatan
Dilaksanakan sesuai dengan intervensi.
E) Evaluasi Keperawatan
a) Evaluasi Formatif (Hasil)
Evaluasi yang dilakukan secara periodik selama pemberian perawatan. Evaluasi
ini berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil tindakan keperawatan.
Evaluasi ini dilakukan setelah perawat mengimplementasikan rencana untuk
menilai keefektifan tindakan keperawatan yang telah dilakasanakan.
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/110/jtptunimus-gdl-agustinnur-5451-2-
babii.pdf
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1368/4/4.%20BAB%20II.pdf
https://www.academia.edu/9140893/LAPORAN_PENDAHULUAN_APENDISI
TIS
https://www.academia.edu/35489846/LP_Apendiks
https://www.scribd.com/doc/316997749/LP-Appendicitis