Anda di halaman 1dari 10

UNIVERSITAS INDONESIA

UJIAN TENGAH SEMESTER


TATA KELOLA KLINIS RUMAH SAKIT

Disusun Oleh:
DENO SAPUTRA

2006506590

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI KAJIAN ADMINISTRASI RUMAH
SAKIT
DEPOK
2021
SOAL :

1. Berikan pendapat Saudara tentang pengertian dan pelaksanaan kegiatan tata kelola klinis
sebagai upaya penjaminan mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit sebelum terbitnya
UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit!
2. Berikan pendapat Saudara tentang pengertian dan pelaksanaan kegiatan tata kelola klinis
sebagai upaya penjaminan mutu dan keselamatan pasien di rumah sakit setelah terbitnya
UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit! (Rujukan untuk soal 1 dan 2: bahan bacaan
sesi 1,2, 3, dan 4 serta bahan bacaan terkait lain yang Saudara miliki)
3. Rumah Sakit Umum A dengan layanan unggulan kardiovaskuler menugaskan Saudara
untuk melakukan evaluasi dan mengembangkan tata kelola klinis yang baik untuk
menjamin mutu dan keselamatan pasien. Uraikan langkah-langkah yang Saudara perlu
lakukan dengan merujuk kepada bahan bacaan sesi 5,6, dan & serta bahan bacaan terkait
lain yang Saudara miliki)

JAWABAN :

1. Pelaksanaan kegiatan tata kelola klinis sebagai upaya penjaminan mutu dan keselamatan
pasien di rumah sakit sebelum terbitnya UU no 44 thn 2009 masih mengacu pada beberapa
peraturan perundang-undangan yaitu antara lain: Undang-Undang No. 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan ; Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran ;Keputusan Menteri Kesehatan No. 772 Tahun 2002 tentang Pedoman
Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital By Laws) ;Keputusan Menteri Kesehatan No.
631 Tahun 2005 tentang Pedoman Peraturan Internal Staf Medis (Medical Staff By Laws)
di Rumah Sakit.

Tata kelola pelayanan klinis yang baik atau Good Clinical Governance merupakan suatu
prinsip yang harus dijalankan oleh fasilitas pelayanan kesehatan, dimana dituntut untuk
dapat memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu namun tetap dapat menjaga
biaya pelayanan tetap efisien. Penerapan tata kelola klinis di rumah sakit memiliki konsep
dasar yang perlu dipahami yaitu pemahaman mengenai pilar/ komponen yang
membangun clinical governance serta standar yang dapat digunakan untuk menilai
ketepatan penerapan good clinnical governace.1–4
Sebelum UU No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit diundangkan terdapat banyak
persepsi berbeda mengenai tata kelola klinis. Tata kelola klinis adalah tatanan dalam
struktur pelayanan kesehatan yang berupaya meningkatkan kualitas kesehatan melalui
integrasi keuangan, kinerja, dan kualitas klinis, namun dalam pelaksanaannya fungsi tata
kelola klinis menekankan pada peningkatan kualitas perawatan berkelanjutan serta masih
banyak lagi definisi mengenai tata kelola klinis lainnya.5

Deskripsi yang luas tersebut memunculkan banyak sekali konsep tata kelola klinis di
berbagai tempat pelayanan kesehatan namun tidak satupun dari pengertian-pengertian
tersebut bisa memaknai apa sebenarnya esensi dari tata kelola klinis dalam menjalankan
sebuah pelayanan kesehatan.5,6 Sebelum adanya regulasi spesifik tentang tata kelola klinis
dalam bentuk undang-undang, diketahui bahwa belum adanya standar nasional tata kelola
fasilitas kesehatan dan tata kelola klinis (Good Corporate and Clinical Governances), hal
ini diyakini turut menyumbang besarnya biaya manfaat dan potensi terjadinya
penyimpangan dalam pelayanan kesehatan.7

2. Dalam UU No. 44 tahun 2009 Pasal 36 menyebutkan bahwa setiap RS harus


menyelenggarakan tata kelola RS dan tata kelola klinis yang baik. Tata Kelola Klinis yang
Baik adalah penerapan fungsi manajemen klinis yang meliputi kepemimpinan klinik, audit
klinis, data klinis, resiko klinis berbasis bukti, peningkatan kinerja, pengelolaan keluhan,
mekanisme monitor hasil pelayanan, pengembangan profesional, dan akreditasi rumah
sakit dengan prinsip accountability, fairness dan ethic, safety, transparency dan
independence.8–11 Tata kelola klinis adalah suatu sistem yang menjamin organisasi pemberi
pelayanan kesehatan bertanggung jawab untuk terus menerus melakukan perbaikan mutu
pelayanannya dan menjamin memberikan pelayanan dengan standar yang tinggi dengan
menciptakan lingkungan dimana pelayanan prima akan berkembang dan membawa hasil
outcome klinis yang optimal.
a. Kepemimpinan Klinis
Dalam upaya pengembangan visi pelayanan klinis di rumah sakit kepemimpinan
klinis menjadi pendorong terwujudnya visi tersebut. Terciptanya visi pelayanan
klinis dan strategi pencapaiannya merupakan contoh praktis keberadaan
kepemimpinan klinis di rumah sakit. Contoh penerapan kepemimpinan klinis di RS:
1) Menunjukkan Kualitas Pribadi
Mengembangkan kesadaran diri, mengelola diri sendiri, pengembangan pribadi
berkelanjutan dan bertindak dengan integritas.
2) Bekerja dengan Orang Lain
Pengembangan jejaring, membangun dan memelihara hubungan, mendorong
kontribusi dan bekerja di dalam tim.
3) Mengelola Pelayanan
Perencanaan, mengelola sumber daya, mengelola orang dan mengelola kinerja.
4) Meningkatkan Pelayanan
Menjamin keselamatan pasien, evaluasi kritis, mendorong inovasi dan
memfasilitasi transformasi.
5) Menetapkan Arah
Pengembangan jejaring, membangun dan memelihara hubungan, mendorong
kontribusi serta bekerja didalam tim. Mengembangkan visi organisasi,
mempengaruhi visi pada sistem kesehatan yang lebih luas,
mengkomunikasikan visi dan menempelkan visi.
6) Menyampaikan Strategi
Membingkai strategi, mengembangkan strategi, implementasi strategi dan
menempelkan strategi.

b. Audit Klinis
Dalam UU no 44/ 2009 pasal 39, RS harus menyelenggarakan audit klinis sesuai
dengan regulasi. Audit klinis merupakan telaah kritis dan sistematis terhadap mutu
pelayanan klinik, termasuk prosedur diagnosis dan terapi, penggunaan sumber daya
rumah sakit, dan outcome serta quality of life dari pasien, bertujuan meningkatkan
pelayanan dan hasil pasien. Langkah-langkah pelaksanaan audit klinik adalah sebagai
berikut memilih dan menetapkan topik, menentukan latar belakang, tujuan dan
sasaran audit, menyusun kriteria audit, menyusun standar, perkecualian, petunjuk
pengambilan data dan variasi, memilih populasi dan sampel audit, mengumpulkan
data audit, menganalisa data audit, menetapkan perubahan (plan of action), re-audit,
serta menyusun laporan audit.
c. Data Klinis
Pelayanan rekam medis dan manajemen informasi kesehatan merupakan subsistem
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Berbagai tingkat manajemen membutuhkan
informasi yang berbeda cakupan dan kedalamannya. Agar informasi dapat
mempunyai nilai yang baik, maka terdapat empat faktor yang berperan, yaitu
kualitas, relevansi, kuantitas dan kesesuaian waktu. Untuk menilai mutu informasi
kesehatan, terdapat beberapa langkah yang harus diikuti, disebut dengan monitoring
mutu yang terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap menetapkan standar, tahap menilai
kinerja yang ada, dan tahap upaya memperbaiki kinerja yang menyimpang dari
standar yang sudah ditetapkan.

d. Risiko Klinis Berbasis Bukti


Risiko klinis berbasis bukti bertujuan untuk menjamin penggunaan serta monitoring
dan evaluasi standar klinis yang berbasis bukti (evidence-based). Terdapat tiga alat
yang dapat digunakan yaitu standar klinis, indikator klinik, dan audit klinik. Hal ini
sudah diwujudkan oleh rumah sakit dengan telah dimilikinya daftar indikator klinik
yang digunakan untuk mengukur kinerja klinik. Tahap yang masih harus dilakukan
oleh rumah sakit adalah melakukan evaluasi terhadap hasil dari pengukuran kinerja
klinik tersebut. Perlu adanya kerjasama dari seluruh elemen rumah sakit, baik dari
Medis, Keperawatan, hingga Manajemen Rumah Sakit.

e. Peningkatan Kinerja
Peningkatan kinerja klinis mendukung proses pemilihan dan perekrutan staf klinis,
serta menjamin bahwa staf yang ditunjuk dan diperkerjakan adalah orang yang
terampil dan berhati-hati terhadap setiap prosedur baru. Hal yang tercakup dalam
peningkatan kinerja klinis adalah standar kompetensi dan pengembangan profesional
berkelanjutan. Rumah sakit melakukan upaya agar semua staf dapat meningkatkan
kompetensinya dengan menjalani pendidikan formal dan mengikuti berbagai
pelatihan maupun dengan belajar melalui pengalaman yang ada sehari-hari yang
muncul dan dibahas di dalam kegiatan morning meeting, yaitu masalah yang ada
dipecahkan oleh pihak rumah sakit dan diupayakan kegiatan tindak lanjutnya.
f. Pengelolaan Keluhan
Manajemen komplain melibatkan area yang kompleks termasuk perencanaan,
pelaksanaan, dan monitoring dengan pengukuran, serta potensi strategi dalam
hubungan pelanggan-manajemen. Keluhan pasien diatur dalam UU No. 44 Tahun
2009 pada pasal 32, bahwa pasien berhak untuk mengajukan pengaduan atas kualitas
pelayanan yang didapatkan, mengajukan usul, saran, dan perbaikan atas perlakuan
rumah sakit terhadap dirinya, menggugat dan atau menuntut apabila rumah sakit
diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata
ataupun pidana, serta mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan
standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
g. Mekanisme Monitor Hasil Pelayanan
Proses monitoring dan evaluasi bekelanjutan harus dapat mengenali hasil pencapaian,
pengembangan potensial terkait kewenangan klinis dari anggota staf medis dan
layanan yang diberikannya. Evaluasi dilaksanakan secara kolaboratif antara
Subkomite Etik dan Disiplin, manajer SDM, manajer pelayanan dan kepala unit
kerja. Penilaian monitoring dan evaluasi berkelanjutan meliputi tiga area, yaitu
perilaku, pengembangan professional (asuhan pasien, pengetahuan medik/ klinis,
berdasarkan bukti, kepandaian berkomunikasi antar personal, profesionalisme,
praktik berbasis sistem, dan mengelola sumber daya), serta kinerja klinis. Contoh
sumber data potensial antara lain lama hari rawat/ Length of Stay (LOS), frekuensi
(jumlah pasien yang ditangani), angka kematian, pemeriksaan diagnostik, pemakaian
obat tertentu, angka Infeksi Daerah Operasi, dan lain-lain.
h. Pengembangan Profesional
Tahapan Pengembangan Profesional di RS:
- Menganalisa kebutuhan staf

- Menetapkan tujuan program pembelajaran

- Menyiapkan manajemen sistem pembelajaran

- Mengembangkan sumber pembelajaran, materi, metode pembelajaran, media


pembelajaran dan instrumen evaluasi.

Outcome yang diharapkan adalah peningkatan kredensial profesi, peningkatan


profesional pengembangan dan pelatihan keterampilan, peningkatan kinerja
manajemen, dan peningkatan kepuasan kerja.

i. Akreditasi Rumah Sakit


Kegiatan Akreditasi dilakukan berdasarkan dan tercantum didalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor. 44 Tahun 2009 pada pasal 40 yang menyatakan “bahwa
dalam meningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit wajib dilakukan Akreditasi secara
berkala minimal 3 (tiga) tahun sekali”. Akreditasi Rumah Sakit merupakan suatu
pengakuan dari Pemerintah yang diberikan kepada Rumah Sakit yang telah
memenuhi standar. Tujuan Akreditasi untuk mencapai sejauh mana Rumah Sakit
dapat memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan oleh Komisi Akreditasi
Rumah Sakit, sehingga peningkatan mutu terhadap pelayanan di Rumah Sakit dapat
ditingkatkan, dipertahankan dan dipertanggungjawabkan. Manfaat Akreditasi untuk
meningkatkan mutu Rumah Sakit itu sendiri, pemilik, pasien dan lingkungan
masyarakat yang ada di sekitarnya.

3. Rumah Sakit Umum A dengan layanan unggulan kardiovaskular melakukan evaluasi dan
mengembangkan tata kelola klinis yang baik untuk penjaminan mutu dan keselamatan
pasien, yaitu dengan menggunakan Clinical Pathway (CP). Clinical Pathway adalah alur
yang menunjukkan secara detail tahap-tahap penting dari pelayanan kesehatan termasuk
hasil yang diharapkan, mulai dari saat penerimaan pasien hingga pemulangan pasien.
Dengan Clinical pathway, dapat memastikan bahwa pelayanan tersebut tidak terlewatkan
dan dilaksanakan tepat waktu sesuai standar pelayanan minimal, sehingga meningkatkan
mutu pelayanan, memberikan perawatan terbaik dengan keuntungan maksimal, dan risiko
terkecil.

Setelah menerapakan clinical pathway, maka pihak rumah sakit terutama manajemen harus
melakukan evaluasi CP dengan jalan melakukan evaluasi/ audit dalam waktu yang
ditentukan. Audit clinical pathway diperlukan guna mendeskripsikan prosedur pelaksanaan
CP dan evaluasinya ;memfasilitasi penerapan PPK (Pedoman Praktik Klinis) serta
evaluasinya. CP merupakan pengejawantahan dari PPK, dimana penerapan serta audit
rutinnya secara tidak langsung akan mencipatkan sistem yang “memaksa” rumah sakit
harus melaksanakan PPK dan secara rutin mengevaluasinya serta mengurangi variasi yang
tidak perlu dalam pelaksanaan praktik klinis. Agar CP efektif (tidak terlalu banyak variasi
yang tidak perlu), maka sedari awal menyusun CP perlu ditentukan kriteria inklusi dan
eksklusi pasien dengan diagnosis yang sesuai dengan CP yang akan diterapkan.

Dalam pelaksanaan audit clinical pathway pelayanan kardiovaskular, perlu dilakukan hal-
hal sebagai berikut:12,13
1) Koordinasi Komite Medis Bagian Mutu dan Profesi dengan SMF Jantung
2) Menentukan parameter yang akan diaudit
a) Penggunaan obat-OBATAN
b) LOS
c) Pemeriksaan penunjang diagnostik yang digunakan
3) Berbagai variasi yang terjadi selama pemberian pelayanan kepada pasien Mentukan
waktu pelaksanaan audit CP rutin minimal 3 bulan sekali
4) Mengumpulkan berkas rekam medis
5) Pelaksanaan Audit
Hal yang juga perlu diperhatikan adalah kepatuhan para pemberi pelayanan seperti
dokter, ataupun perawat atau profesi lain dalam menjalankan pelayanan sesuai
dengan clinical pathway. Perlu diidentifikasi hambatan-hambatan apa saja yang
terjadi dalam penerapan CP.
6) Membuat laporan dan rekomendasi kepada direktur RS dan SMF Jantung
Dokumentasi bertujuan untuk pelaporan dalam pertemuan rutin manajemen dan
direktur sehingga dapat dilakukan perbaikan.
Dalam banyak hal, CP tidak selalu dapat diterapkan dan outcome klinis tidak selalu sesuai
harapan sebagaimana yang tertuang dalam CP. Hal-hal tersebut dapat disebabkan oleh:
1) Perjalanan penyakit individual,
2) Terapi tidak diberikan sesuai ketentuan
3) Pasien tidak dapat mentoleransi obat,
4) Terdapat komorbiditas, dll.

Dalam kondisi seperti disebutkan di atas, fokus pelayanan kesehatan yang diberikan tetap
harus bersifat patient centered care. Tenaga medis tidak dapat memaksakan pasien harus
dirawat sesuai CP apabila tidak memungkinkan. Oleh karena itu, guna meningkatkan
efektifitas CP sebagaimana telah disebutkan di atas, RS perlu menentukan topik CP
berdasarkan jenis diagnosis/ tindakan medis yang spesifik dan predictable, menentukan
kriteria inklusi dan eksklusi untuk meminimalisasi variasi yang tidak perlu, koordinasi
yang efektif dengan seluruh staf terkait pelayanan kesehatan tertentu, memastikan
tersedianya sarana-prasarana yang mendukung pemberian pelayanan kesehatan sesuai CP,
serta melakukan audit secara efektif dan berkesinambungan demi terus menerus
meningkatkan mutu dan penjaminan keselamatan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. 1992.


2. Kemenkes RI. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. 2004.
3. Kemenkes RI. KMK No. 772 Tahun 2002 tentang Pedoman Peraturan Internal Rumah
Sakit (Hospital By Laws). 2002.
4. Kemenkes RI. KMK No. 631 Tahun 2005 tentang Pedoman Peraturan Internal Staf
Medis (Medical Staff By Laws) di Rumah Sakit. 2005.
5. Buetow SA, Roland M. Clinical governance: Bridging the gap between managerial and
clinical approaches to quality of care. Qual Heal Care. 1999;8(3):184-190.
doi:10.1136/qshc.8.3.184
6. Vanu Som C. Clinical governance: A fresh look at its definition. Clin Gov An Int J.
2004;9(2):87-90. doi:10.1108/14777270410536358
7. Seoroso S, Widyarto D, Hakim L, et al. Refleksi Perjalanan 5 Tahun Era Jaminan.
(Soeroso S, Sihombing F, Muchtar O, Mulyana R, Susan NMA, eds.). Perhimpunan
Rumah Sakit Seluruh Indonesia; 2019.
8. Kemenkes RI. Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. 2009;
9. Kemenkes RI. KMK No. 631/MENKES/SK/IV/2005 tentang Pedoman Peraturan Internal
Staf Medis (Medical Staff by Laws) di Rumah Sakit. 2005.
10. Macfarlane AJR. What is Clinical Governance? BJA Educ. 2019;19(6):174–5.
11. Scally G, Donaldson LJ. Clinical Governance and The Drive for Quality Improvement
in The New NHS in England. Br Med J. 1998;317(7150):61–5.
12. Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1438/Menkes/Per/IX/2010 Tentang Standar Pelayanan Kedokteran.
2010.
13. Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2016
Tentang Penyelenggaraan Pertimbangan Klinis (Clinical Advisory). 2016.

Anda mungkin juga menyukai