Anda di halaman 1dari 12

NAMA : AZELIA RENATA

NIM : 14010120140106
PRODI : ILMU PEMERINTAHAN 2020
MATKUL : AGAMA POLITIK 05
UJIAN AKHIR SEMESTER

RELASI AGAMA DAN PEMBANGUNAN DALAM MEMBANGUN GOOD


GOVERNANCE di Indonesia

Peranan agama dalam pembangunan, sesungguhnya merupakan suatu wacana atau diskursus
yang sudah lama menjadi bahan pemikiran dan polemik para cendekiawan. Kendati demikian,
selalu saja terdapat aspek-aspek yang menarik setiap kali berbicara tentang peranan agama dalam
pembangunan. Hal ini tidak saja dikarenakan adanya nuansa-nuansa baru mengenai hubungan
antara agama dan pembangunan, tetapi juga karena selalu muncul masalah-masalah yang aktual,
baik dalam hal fungsi dan peranan agama dalam pembangunan maupun dampak pembangunan
atau modernisasi terhadap kehidupan beragama.

Peran agama dan etnis dalam mendorong maupun menghambat pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi, yang kemungkinan besar akhir-akhir ini menyaksikan para ekonom
membicarakan tentang peran agama dalam relasi agama dan pembangunan. Terdapat faktor-faktor
utama antar negara dalam kinerja pertumbuhan jangka panjang seperti hipotesis nol bahwa afiliasi
keagamaan tidak berkolerasi dengan kinerja ekonomi yang sering kali ditolak. Dari sudut
kerjasama, pengalaman politik umat Islam dilalui dengan penuh keragaman pola dan bentuk
pemerintahan sesuai tingkat perkembangan masyarakat dan ilmu ketatanegaraan. Pada masa
Rasulullah masih hidup, relasi agama dan negara belum mengemuka lantaran beliau sendiri yang
meng-handle persoalan seluk - beluk negara dengan bimbingan wahyu.

Dalam konteks pembangunan atau yang oleh para pakar sering disebut sebagai proses
modernisasi, agama setidaknya memiliki dua peran dan fungsi utama. Peranan Agama sebagai
pemberi landasan etika dan moral pembangunan yang dilandasi oleh suatu argumen bahwa,
pembangunan sebagai sebuah usaha menuju perbaikan-perbaikan kehidupan yang dilakukan oleh
manusia, jangan sampai mengarah kepada lahirnya suatu kondisi yang menjauhkan manusia
dari Tuhannya. Lahirnya sikap dan perilaku yang dapat merendahkan martabat kemanusiaan,
terjadinya degradasi dan dekadensi akhlak, etika dan moralitas, berkembangnya budaya
konsumtif, konsumenristik dan materialistik, terjadinya perbudakan atas manusia oleh mesin-
mesin industri dan alat-alat teknologi, terpinggirkan dan teraliensinya manusia dari nilai-nilai dan
norma-norma yang diakui kebenaran dan kebaikannya oleh masyarakat sehingga menimbulkan
terjadinya ketidakseimbangan antara kehidupan material dan spiritual. Sedangkan, peranan agama
sebagai pemberi motivasi yang bersifat teologis kepada setiap subjek pembangunan ditujukan agar
manusia memiliki kesanggupan untuk mandiri dan terhindar dari sikap dan perilaku yang malas,
fatalistik dan deterministik.

Hubungan negara dan agama seakan tak pernah habis diwacanakan sepanjang sejarah
pemikiran agama itu sendiri. Ini bisa dimaklumi lantaran persentuhan keduanya tidak dapat
dielakkan, bahkan sejak awal kemunculan Islam 15 abad silam. Fase Makkah yang di jalani nabi
selama 13 tahun belum banyak mengupas persoalan relasi agama dan negara karena pada masa ini
stressing ajaran agama lebih fokus pada konsolidasi bidang aqidah dan dasar-dasar ajaran agama
lainnya. Baru pada fase Madinah wacana hubungan agama dan negara mulai menyeru
kepermukaan, kususnya ketika selama sepuluh tahun di kota ini komunitas Islam sering
bersinggungan dengan komunitas lain, seperti Yahudi dan Nasrani.

Diskursus negara-agama kian memiliki mumentumnya pasca runtuhnya kerajaan Islam Turki
Utsmani pada abad ke-19. Sejak abad inilah wacana negara bangsa yang multi-etnik, multi-
ras,multi-kultural, dan kalangan. Tak heran lagi, banyak teori yang dimunculkan para pakar
menyangkut hubungan negara dan agama. Beberapa teori tersebut diantaranya adalah teori negara
agama, teori negara sekuler, dan teori simbiotik yang dinilai cukup relevan di terapkan dalam
konteks negara bangsa. Sedangkan ideologi politik adalah kumpulan nilai, norma, dan
kepercayaan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok orang, atas dasar mana dia menentukan
tingkah laku politiknya secara tepat. Nilai dan ide itu merupakan satu sistem yang berkaitan antara
satu dengan yang lain. Dasar ideologi politik adalah keyakinan akan adanya suatu pola atau tertib
sosial politik yang ideal. Contoh ideologi politik ini adalah demokrasi, leninisme, marsisme,
liberalisme, facisme dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam penulisan ini akan dibahas bagaimana
relasi antara agama dan pembangunan dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik
(good governance) di Indonesia.
Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance)

Governance memiliki arti seluruh mekanisme, proses, dan lembaga-lembaga di mana


warga dan kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum,
memenuhi kewajiban, serta menjembatani perbedaan-perbedaan di antara mereka. Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan mendefinisikan good governance sebagai suatu kesepakatan
menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat, dan swasta
untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik secara umum.

Syarat Membangun Good Governance :

1. Mewujudkan efisiensi dalam manajemen pada sektor publik, seperti memperkenalkan teknik-
teknik manajemen perusahaan di lingkungan administrasi pemerintah negara, dan melakukan
desentralisasi administrasi pemerintah.
2. Berupaya mewujudkan akuntabilitas publik, sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah mesti
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
3. Tersedianya perangkat hukum yang memadai berupa peraturan perundang – undangan.
4. Adanya sistem informasi yang menjamin akses masyarakat terhadap berbagai kebijakan atau
informasi yang bersumber dari pemerintah, elemen swasta, dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).
5. Terciptanya transparansi dalam kebijakan dan implementasinya, sehingga hak-hak
masyarakat untuk mengetahui (rights to information) keputusan pemerintah lebih terjamin.

Ciri-ciri Good Governance :

 Mengikutsertakan semua masyarakat, transparansi, bertanggung jawab, efektif dan adil.


 Menjamin adanya supremasi hukum
 Menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial, dan ekonomi didasarkan pada konsesus
masyarakat.
 Memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses
pengambilan keputusan karena menyangkut alokasi sumber daya.

Sedarmayanti dalam Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik) menulis terdapat empat
prinsip utama yang dapat memberi gambaran good governance yang berciri kepemerintahan yang
baik, yaitu:

 Akuntabilitas
Adanya kewajiban bagi aparatur pemerintah untuk bertindak selaku penanggung jawab dan
penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang ditetapkannya.
 Transparansi
Kepemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap rakyatnya, baik di tingkat pusat
maupun daerah.
 Keterbukaan
Menghendaki terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan tanggapan dan kritik
terhadap pemerintah yang dinilainya tidak transparan.
 Aturan hukum
Menjamin atas kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan
publik yang ditempuh.

Tata kelola pemerintahan yang baik memiliki tiga unsur pokok yang bersifat sinergis berikut :

1. Unsur pemerintah yang dipercaya dapat menangani administrasi negara pada periode tertentu.
2. Unsur swasta/wirausaha yang berkerja dalam pelayanan publik;
3. Unsur pemangku kepentingan (stakeholders).

Hal tersebut berarti, pengelola negara dan masyarakat akan bersandar pada stakeholders.
Kemudian, mereka akan duduk bersama dengan tujuan mencari solusi atas masalah yang terjadi.
Tidak hanya itu, pemerintah dan masyarakat juga merancang rencana yang akan dilakukan di
masa selanjutnya.

Adapun prinsip-prinsip good governance yang dapat dijadikan landasan dalam mewujudkan
pemerintahan yang baik :
1. Partisipasi (participation), artinya setiap warga negara memiliki kesetaraan suara dalam
pembuatan kebijakan.
2. Ketanggapan atas kebutuhan stakeholder (responsiveness) dalam pengelolaan lembaga,
terhadap prinsip yang sehat dan peraturan perundangan yang berlaku
3. Kemampuan untuk menjembatani perbedaan kepentingan diantara masyarakat, agar
terciptanya konsensus bersama.
4. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan mengenai fungsi, struktur, sistem, dan
pertanggungjawaban perangkat lembaga kepada stakeholder secara efektif.
5. Transparansi (transparency), yaitu adanya keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan mengemukakan informasi yang relevan dalam pengambilan
kebijakan.
6. Aktivitas didasarkan pada aturan atau kerangka hukum.
7. Memiliki visi yang luas dan berjangka panjang untuk memperbaiki dan menjamin
keberlanjutan pembangunan sosial dan ekonomi.
8. Kesetaraan dan kewajaran (fairness), yaitu perlakuan yang adil atas seluruh masyarakat dalam
memenuhi hak-hak untuk meningkatkan taraf hidupnya, berdasarkan peraturan perundangan
yang berlaku.

Perwujudan good governance merupakan cita-cita masyarakat dan senafas dengan ajaran
Islam. Oleh karena itu, untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, maka peran serta masyarakat
sangat dibutuhkan, karena pemerintah dan masyarakat adalah satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Disamping itu, sektor swasta sangat menentukan terwujudnya pemerintahan yang
baik, karena swasta merupakan pelaku dalam mewujudkan pembangunan.

Dalam pandangan hukum Islam, good governance merupakan gerakan Ijtihad. Oleh karena
itu, untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, maka konsep maslahat mursalah merupakan
acuan dalam sistem pemerintahan. Konsep maslahat mursalah sangat sesuai dengan kondisi dan
tempat demi mewujudkan suatu kemaslahatan dalam pemerintahan, sehingga dapat tercipta
pemerintahan yang baik, karena semua kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk
kebaikan masyarakat yang dipimpinnya. Persoalan good governance tidak terlepas dari fiqh
siyasah atau siyasah syar’iyah, karena penetapan hukumnya mengacu kepada kemaslahatan dan
kepentingan manusia. Titik persamaan antara fikih siyasah dengan good governance terletak pada
sistem pengaturan, pengendalian, dan pelaksanaa dalam suatu negara atau wilayah. Good
governance sejalan dengan teori maqasid al-syariah, yaitu; memelihara agama, memelihara jiwa,
memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta. Karena pada prinsipnya good
governance mempunyai tujuan yang sama dengan maqasid al-syariah.

Membangun pemerintahan yang baik bukanlah pekerjaan yang mudah, hal tersebut
merupakan pekerjaan besar yang harus diawali dari pemahaman dasar terhadap visi dan misi
pemerintahan disamping harus tetap melandaskan keseluruhan aspeknya pada ketentuan syariah
yang bermuara pada kemaslahatan masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, diperlukan
landasan etik dalam membangun nation state yang bersumber dari hukum Islam yang diderivikasi
dari syariah agama dalam memberikan tuntunan sebagai upaya pencapaian tujuan membangun
kepemerintahan yang baik (good governance) khususnya dalam konteks negara Indonesia.
Persoalan kronis yang menyebabkan buruknya pengelolaan dan pengaturan pemerintahan
diakibatkan oleh rusaknya mental dan moralitas aparatur negara serta sistem pengendalian
pemerintahan yang lemah karena ketiadaan kepastian dalam hukum. Sistem dan aturan dalam
hukum Islam yang merupakan landasan etik dan dapat dijadikan pijakan awal dalam mengkaji
persoalan korelasi dan kontribusi hukum Islam dalam mewujudkan good governance.

Good governance merupakan gerakan ijtihadiah dalam mewujudkan pemerintahan yang baik
untuk menuju negara sejahtera, aman sentosa terbebas dari kemiskinan, kemelaratan serta
ketakutan terhadap penguasa dzalim dan otoriter, yang dalam bahasa Masdar F. Mas’udi, negara
yang terbebaskan dari persoalan al-khauf wa al-Ju’’ (ketakutan dan kelaparan), karena munculnya
problematika kehidupan bermuara pada persoalan al-khauf wa al-ju”. Oleh karena itu, gerakan
good governance harus memiliki agenda yang jelas agar tujuan untuk mewujudkan good
governance di Indonesia dapat segera terwujud. Bintoro Tjokro Amidjojo memberikan pengertian
al-khauf wa al-ju’ sebagaimana pendapatnya yang mengemukakan bahwa keberhasilan
penyelenggaraan negara dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik paling tidak dapat dilihat
dari seberapa jauh keberhasilan pencapaian tujuan yang mengarah pada reformasi sistem politik,
sektor keamanan, sistem birokrasi dalam public service, dan reformasi sistem pemerintahan dari
pola sentralisasi ke arah desentralisasi.
Dalam bidang subsidi negara, Umar bin khattab selalu memperhatikan apa yang dibelanjakan
oleh negara. Untuk merealisasikan hal tersebut, Umar bin Khattab melakukan langkah-langkah
sebagai berikut :

1. Kekayaan umum tidak digunakan untuk kebatilan seperti penjajahan, memunculkan fitnah,
melontarkan ide-ide yang bertentangan dengan kebenaran, menanamkan modal dalam
tindakan haram yang dilarang.
2. Zakat diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai yang diterangkan oleh Allah SWT
dalam Alquran. Oleh karena itu, Negara harus melaksanakan apa yang telah ditetapkan oleh
Allah dalam Alquran.
3. Pembagian hasil harta rampasan perang yang berjumlah 1/5 diberikan sesuai ketetapan Allah
SWT.
4. Penggunaan harta umum sesuai dengan kadar yang diperlukan dan telah direncanakan, tanpa
pemborosan dan tidak selalu megirit, karena pemborosan hanya menyia-nyiakan harta negara,
sedangkan kalau terlalu ditahan pengeluarannya, akan membuat proyek negara macet. Apabila
dana pelayanan umum terlalu diirit, maka fasilitas umum akan memburuk.
5. Penggunaan kekayaan Negara dikembalikan kepada rakyat, bukan kepada pribadi penguasa
atau pejabat. Dan kekayaan negara tidak dikhususkan kepada golongan atau kepentingan
pribadi dengan mengesampingkan golongan lainnya.

Good Governance pada model pemerintahan Umar bin Khattab r.a. mampu membawa
masyarakat menjadi masyarakat yang sejahtera lahir dan bathin. Demokrasi yang ditanam oleh
Rasulullah SAW, dilanjutkan pada masa Umar bin Khattab dan telah mencapai puncaknya, hal
ini terlihat bahwa Umar bin Khattab membentuk dua dewan penasehat, yaitu :

1. Badan Penasehat Sidang Umum, yang diundang apabila negara menghadapi bahaya.
2. Badan Penasehat Khusus, yang terdiri dari orang-orang khusus yang integritasnya tidak
diragukan lagi untuk diajak membicarakan masalah rutin dan penting. Bahkan masalah
pengangkatan dan pemecatan pegawai sipil serta lainnya dibawa ke dewan khusus ini untuk
dinilai kemampuannya (fit and proper test).

Dalam kedua badan ini orang-orang non muslim juga diundang turut serta dalam konsultasi.
Para pemimpin Persia sering diajak berkonsultasi soal pemerintahan di Iraq/Mesopotamia,
pemimpin Mesir juga diajak berunding mengenai pemerintahan di Mesir, bahkan seorang
beragama Koptik duduk sebagai wakil dari Mesir. Pengangkatan seorang Gubernur dilakukan
setelah mendengarkan saran-saran penduduk setempat melalui pemilihan oleh rakyat setempat
(pilkada).

Relasi Agama dan Pembangunan dalam Mewujudkan Good Governance di Indonesia

Sebagai realitas, agama hadir tidak dapat dipisahkan dari tuntutan kebutuhan hidup
manusia itu sendiri. Setiap agama tidak hanya mengatur manusia di dalam berhubungan dengan
Tuhan, melainkan juga mengatur kehidupan mereka di dunia. Ada semakin banyak penelitian
tentang agama dan pembangunan, terutama dari para ahli dan praktisi pembangunan. Tiga kritik
luas yang dapat dikemukakan adalah pertama, bahwa sastra bersifat instrumentalis dalam
pendekatannya yang berarti tertarik untuk memahami bagaimana agama dapat digunakan untuk
melakukan pembangunan yang lebih baik. Kedua, bahwa fokus yang sempit pada organisasi
berbasis agama; yaitu dalam memahami agama secara instrumental. Ketiga, didasarkan pada
asumsi normatif tentang bagaimana agama dan pembangunan dikonseptualisasikan: agama
dipahami terpisah dari arus utama pembangunan itu karena pembangunan didefinisikan sebagai
hal yang dilakukan oleh badan-badan pembangunan (Jones & Petersen, 2013).

Berdasarkan bukti sejarah, sulit untuk mengklaim bahwa politik dan Islam telah
digabungkan secara sistematis. Setelah komunitas hukum ulama Islam (hakim, guru, penasihat
hukum dan ahli hukum) telah ditetapkan dengan kuat selama awal Abbasiyah, penguasa politik
berada di atas angin, seperti halnya dalam sejarah Eropa Barat. Otoritas dan kelompok agama
biasanya memainkan peran sebagai penyangga antara negara dan rakyat, seringkali memberikan
perlindungan terhadap pelanggaran penguasa dan bertindak sebagai mediator untuk mendorong
negosiasi dengan lawan politik. Akan tetapi, dalam masa krisis, ketika negara tidak berdaya atau
terlalu tirani, keseimbangan politik-agama seperti itu rusak dan agama menjadi lebih penting.

Dengan demikian, Lewis tampaknya memiliki teori yang kurang tepat ketika ia
berpendapat bahwa akar penyebab keberadaan rezim-rezim tidak liberal di negara-negara Timur
Tengah terletak pada politik menjadi hamba Islam. Selain itu, Lewis tidak menjelaskan secara rinci
mengenai alasan mengapa pemisahan antara negara dan agama tidak terjadi beberapa waktu dalam
sejarahnya, seperti yang terjadi di Eropa Barat. Penyimpangan ini bukan kebetulan karena Lewis
yakin bahwa penggabungan negara dan agama adalah ciri intrinsik Islam; yaitu, situasi yang tidak
dapat diperbaiki (Platteau, 2008). Maxime Rodinson dan Fareed Zakaria berargumen bahwa
agama mudah dimanipulasi oleh aktor-aktor politik, sehingga rentan mendorong atau menghambat
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibatnya, muncul anggapan bahwa “kuncinya
bukanlah reformasi agama, tetapi reformasi politik dan ekonomi” (Zakaria dalam Platteau, 2008).

Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi
yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Di Negara Indonesia, dasar falsafah Negara dan ideologi
Negara adalah Pancasila yang digunakan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan Negara.
Terdapat satu butir dalam Pancasila yang menyangkut tentang agama. Pancasila dan UUD 1945
secara eksplisit mengakui eksistensi agama dalam kehidupan bernegara, yang diwujudkan dalam
bentuk adopsi lembaga-lembaga keagamaan tertentu dalam negara serta adopsi nilai-nilai dan
norma-norma agama dalam sistem nasional dan kebijakan publik secara umum. Artinya hubungan
antara agama dan negara tetap merupakan hubungan yang bersifat intersectional, yang berarti
hubungan persinggungan antara agama dan negara, tidak sepenuhnya terintegrasi dan tidak pula
sepenuhnya terpisah. Bahkan legitimasi agama tetap diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan
berbangsa dan negara (Abdillah, 2013).

Upaya untuk mewujudkan pemerintah yang bersih (good governance) adalah merupakan
I’tikad baik yang selalu menjadi agenda politik di setiap periodesasi kepemimpinan. Namun,
dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih masih banyak menemukan hambatan karena
Indonesia merupakan salah satu Negara yang terbilang sulit lepas dari praktik budaya korupsi yang
telah mengakar di relung-relung tata kelola pemerintahan. Sekalipun saat ini telah didekralasikan
perlawanan terhadap koruptor dan tim khusus pemberantas korupsi telah dibentuk, namun praktik-
praktik korupsi semakin tak terbendung dengan segala tipu muslihatnya. Diperlukan upaya rutin
dalam rangka menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik dan menyenangkan (Wisri & Asra,
2015).
JUDUL JURNAL : RELASI AGAMA DAN NEGARA UNTUK PEMBANGUNAN
INDONESIA DALAM KONTEK GOOD GOVERNANCE

PENULIS : Wisri dan Moh. Asra

KOMENTAR :

Menurut saya, dari artikel di atas dapat di simpulkan bahwa hubungan antara agama dan negara
dalam pembangunan untuk menuju good governance memang benar adanya dan sangat penting
untuk keberadaan nya. Karna kita ketahui bahwa bahasan tentang hubungan antar relasi agama
untuk mewujudkan good governance selalu muncul ke permukaan dan selalu mengundang
berbagai polemic dan tanda tanya yang besar, mengapa begitu? Karna pembahasan nya yang
begitu banyak serta muncul nya berbagai pendapat dari banyak pihak. Konsepsi tentang negara
dan pemerintahan telah menimbulkan diskusi panjang dikalangan para pemikir muslim dan
memunculkan perbedaan pendapat serta pandangan yang cukup panjang, yang tidak hanya
berhenti pada tataran teoritis konseptual, tetapi juga memasuki wilayah politik praktis, sehingga
acapkali membawa pertentangan dan perpecahan dikalangan umat Islam (Hamid, 2011: 4).
Perbedaan pandangan selain disebabkan sosio-historis dan sosio kultural, juga disebabkan oleh
faktor yang bersifat teologis yakni tidak adanya keterangan tegas (clear cut explanation) tentang
negara dan pemerintahan dalam sumber-sumber Islam (Alquran dan Sunnah). Memang terdapat
beberapa istilah yang sering dihubungkan dengan konsep negara, seperti khalīfah, dawlah dan
hukūmah, namun istilah tersebut berada dalam kategori ayat-ayat zanniyah yang memungkinkan
penafsiran. Alquran tidak membawa keterangan yang jelas tentang bentuk negara, konsepsi
tentang kekuasaan, kedaulatan, dan ide tentang konstitusi (Khan, t.th: 1). Di dalam pemikiran
politik, diskurs ini kian memiliki momentum nya pasca runtuh nya kerajaan Islam Turki Uthmani
pada abad ke-19. Sejak abad inilah wacana negara bangsa yang multi-etnik, multi-ras,multi-
kultural, dan kalangan. Tak pelak lagi, banyak teori yang dimunculkan para pakar menyangkut
hubungan negara dan agama. Sedangkan ideologi politik adalah kumpulan nilai, norma dan
kepercayaan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok orang, atas dasar mana dia menentukan
tingkah laku politiknya secara tepat. Nilai dan ide itu merupakan satu sistem yang berkaitan antara
satu dengan yang lain. Kemudian berkaca dari perpolitikan di Indonesia, yang kini banyak di nodai
oleh prilaku tidak baik seperti tindak pidana korupsi dan banyak nya perseteruan yang terjadi di
dalam kegiatan politik justru sangat mencoreng dari kegiatan perpolitikan yang ada sejak masa
pemerintahan umar bin khattab. Di dalam mewujudkan good governance, di perlukan nya
beberapa elemen, salah satu nya adalah dimana masyarakat Indonesia wajib meyakini satu agama,
sesuai dengan ideology pancasila yang pertama yaitu ketuhanan yang maha esa. Artinya di
Indonesia sendiri, semua pembangunan untuk menuju ke arah good governance harus mendasar
kepada agama. Oleh karena itu, menurut saya agama sangat berperan besar dalam konteks
pembangunan demi mewujudkan good governance itu sendiri. Karena jika kita lihat konflik
terbesar dalam politik di Indonesia sendiri merupakan konflik agama, dimana kita ketahui kini
agama selalu di kambing hitamkan dalam proses perpolitikan, sungguh ironis. Namun itu tidak ber
arti bahwa pembangunan di Indonesia harus slalu berlandaskan agama, karena agama disini sifat
nya intersection yaitu hanya sebagai pelengkap saja dan untuk menjadi pegangan atau sebagai
pedoman dalam pembangunan.

Teori negara agama menyatakan bahwa negara dalam kondisi apapun tidak dapat dipisahkan dari
agama. Ini sebagaimana secara konseptual, agama juga tidak dapat dipisahkan begitu saja dari
seluk- beluk politik. Sebab,menurut teori ini, semua upaya pemikiran seorang Muslim tentang
moral dan politik bisa dipastikan mempunyai dassar- dasar keagamaannya. Dengan ungkapan lain,
menurut paradigma pemikiran ini, negara merupakan lembaga politik dan agama sekaligus.
Padahal menurut saya, pada realitas nya suatu negara tidak selalu tentang agama dalam
mewujudkan good governance, karna sesuai dengan penyataan di atas bahwa agama sendiri hanya
sebagai pelengkap dan pedoman agar semua nya seimbang. Dengan demikian, negara Islam
sesungguhnya tidak identik dengan negara teokrasi yang selalu mengatasnamakan Tuhan. Lebih
tepatnya negara Islam disebut negara teo-demokrasi yang memadukan unsur ketuhanan dengan
demokrasi. Apalagi kita tahu bahwa negara imdonesia bukan lah negara islam, namun negara
demokrasi dimana semua nya bebas berpendapat dan mengemukakan isi hati nya untuk kebaikan
negara Indonesia, artinya seharus nya agama tidak lagi menjadi konflik yang besar, jika satu sama
lain bisa saling menghargai pendapat masing-masing. Sekalipun agama dengan negara haruslah
disatukan, namun Hamka berulang kali menegaskan bahwa penyatuan itu tidaklah membawa
implikasi berdirinya sebuah negara teokratis, sebuah istilah yang lagi-lagi dipergunakan oleh
golongan nasionalis sekuler dalam menentang ide negara Islam di Indonesia, Paham penyatuan
agama dengan negara yang dianut Hamka, membawa implikasi kewajiban bagi kaum muslimin
untuk membentuk negara berdasarkan pertimbangan akal atau penalaran rasional manusia dan
bukan berdasarkan atas nas syariah yang tegas baik di dalam Alquran maupun hadis Nabi. Negara
menurut Hamka diperlukan manusia karena pertimbangan- pertimbangan praktis, tetapi negara itu
bukanlah institusi keagamaan itu sendiri secara langsung. Kembali lagi bahwa agama itu bersifat
insection di mana bukan hal utama melainkan sebuah pedoman atau pelengkap saja dalam
mewujudkan good governance di satu negara.

Anda mungkin juga menyukai