Anda di halaman 1dari 12

A.

Transfer dalam Penguasaan Keterampilan


Transfer latihan terjadi apabila kebiasaan yang telah terbentuk sebelumnya
memberikan pengaruh terhadap penguasaan, penampilan, atau “relearning” dari
kebiasaan berikutnya (McGeoch & Irion, 1952). Sebagai contoh, seseorang yang
terampil dalam senam artistik cenderung terampil dalam cabang olahraga loncat
indah. Keterampilan dalam senam ditransfer ke dalam keterampilan loncat indah.
Karena keterampilan dalam senam menyokong penampilan yang baik dalam loncat
indah, kondisi tersebut disebut transfer positif. Sebaliknya, merosotnya kecermatan
kecermatan pukulan seseorang dalam bulutangkis setelah dia berlatih tenis misalnya,
disebut transfer negatif, karena keterampilan tenis dianggap sebagai penyebab
menurunnya keterampilan bulutangkis.
Pengujian ada tidaknya transfer dari satu keterampilan ke keterampilan lain
dilakukan melalui prosedur penelitian. Metode yang dianggap paling tepat dan teliti
adalah metode ekperimen. Di samping itu, validitas kesimpulan yang diperoleh
terutama tergantung pada desain eksperimen. Seperti kita ketahui, desain ekperimen
sangat menentukan bagaimana prosedur pengontrolan variabel - variabel di dalam
eksperimen.
Oxendine (1984) misalnya, mengetengahkan contoh desain eksperimen untuk
meneliti masalah transfer sebagi berikut:

Kelompok Belajar Tugas A _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ Dites Tugas B


Eksperimen

Kelompok Tidak belajar _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ Dites Tugas B


Kontrol Tugas A, atau
Melakukan tugas
Lain yang tidak
relevan

Interprestasinya adalah sebagai beikut: JIka penampilan kedua kelompok sama dalam
tugas B, dapat disimpulkan bahwa tidak ada transfer dari tugas A ke B. Bila
kelompok eksperimen lebih baik dalam tugas B daripada kelompok kontrol, dapat
disimpulkan bahwa terdapat transfer dari tugas A ke B.
Tipe desain yang kedua untuk meneliti tipe transfer retroaktif efek latihan tugas
khusus terhadap penguasaan tugas gerak sebelumnya adalah sebagai berikut:

Kelompok Belajar _ _ _ _ _ _ _ Belajar _ _ _ _ _ _ _ Tes Tugas


Eksperimen Tugas A Tugas B A

Kelompok Belajar _ _ _ _ _ _ _ Istirahat _ _ _ _ _ _ _ Tes Tugas


Kontrol Tugas A A

Desain eksperimen tersebut bertujuan untuk mengungkapkan efek latihan B terhadap


penguasaan atau retensi terhadap tugas A. Jika kelompok eksperimen lebih baik
dalam tugas A, ini berarti tugas B memberikan pengaruh yang nyata terhadap retensi
atau penguasaan tugas A.
Meskipun isu transfer itu seolah-oah baru bagi kita, tapi konsep transfer yang
dikembangkan dalam psikologi mulai dikembangkan menjelang abad ke-20. Pada
permulaan abad ke-20, konsep disiplin formal amat dominan. Selanjutnya, konsep
transfer itu sendiri juga dominan, baik di Eropa maupun di Amerika. Pokok - pokok
ide dalam teori disiplin formal itu memandang mental manusia terdiri dari
seperangkat faculty, seperti kemampuan membuat alasan, kemauan, dan lain - lain.
Penganut teori tersebut berpendapat, mental faculty itu akan berkembang apabila
dilatih, seumpama otot yang mendapatkan latihan sehingga semakin kuat, cepat, aau
fleksibel. Agar kemampuannya berkembang, latihan di berikan dengan menerapkan
prinsip overload. Analogi ini kurang di dukung oleh bukti-bukti empirik (Oxendine,
1984).
Jika kita telusuri kembali selayang pandang sejarah eksperimen dalam masalah
transfer, studi ilmiah dalam bidang tersebut mula-mula dilakukan oleh William James,
dan kemudian oleh E. L. Thorndike (1890). Eksperimen mereka ialah tebntang
bagaimana kemampuan memori seseorang menghafal pusi Victor HUgo. Setelah
subjek mempelajarai puisi lainnya, kemampuannya untuk mempelajari puisi Victor
Hugo dites. Perbedaan kedua kelompok tipis seka;i.
Thorndike (1913) mengembangkan teori elemen yang iedntik yang pada
dasarnya menjelaskan yakni hanya keterampilan, pengetahuan atau teknik yang
spesifik yang ditransfer. Yang dimkasud dengan elemen yang identik adalah “proses
mental yang memiliki kesamaan sel otak penggerak untuk berbuat”.
Teori Judd tentang prinsip-prinsip transfer agak berbeda dengan teori Thorndike
terutama tentang hakikat transfer. Teori Judd menekankan prinsip dasar dan hukum,
juga tentang keterampilan khusus, dan transfer ide umum ke situasi yang baru.
Dalam konteks keterampilan motorik, terdapat beberapa istilah: (1) transfer
spesifik yakni jika suatu keterampilan khusus ditransfer ke situasi lain (misalnya,
keterampilan menarik ditransfer ke senam); (2) transfer nonspesifik, yakni hal-hal
yang bersifat umum terbawa pada situasi berikutnya (misalnya, kemampuan yang
diperoleh dari pendidikan terbawa untuk mampu memecahkan masalah ); dan (3)
transfer antar tugas (taks); (4) transfre umum di antara beberapa keterampilan
(misalnya, kemampuan voli, atau stance dalam start lari mempengaruhi stance dalam
permainan rugby); dan (5) transfer kontralateral (misalnya, keterampilan tangan kiri
diransfer ke tangan kanan).
Beberapa hasil penelitian tentang transfer kontralateral sebagi berikut:
keterampilan tangan kiri ditransfer ke tangan kanan dalam keterampilan memukul
atau menendang (Bryantt, 1982); transfer keterampilan halus, misalnya tulisan tangan,
maze (Cook, 1934; Baker, 1950); otot-oto antagonist berkembang bersama otot
protagonist (Hellebrant, 1962). Ammons (1958) selanjutnya menjelaskan transfer
kontralateral diperlancar oleh petunjuk0petunjuk khusus atau “cue” yang bersifat
visual, pengetahuan tentang posisi tubuh, teknik gerakan mata, percaya diri, dan efek
relaksasi. Johnson (1960) mengatakan, perbaikan hasil belajar dalam proses transfer
kontralateral terjadi karena keterbiasaan menghadapi masalah, perbaikan cara belajar
dan meningkatnya rasa percaya diri. Sehubungan dengan masalah transfer
kontralateral ini, memang ada bukti-bukti empirik yang mendukung kebenarannya.
Tapi, untuk kebutuhan praktis, jika kita ingin melatih keterampilan tanga kanan maka
latihlah tangan kanan. Demikian sebaliknya. Jika ingin terampil kedua-duanya, yang
dilatih bukan saja tangan kanan tapi juga tangan kiri.
Belajar merupakan hasil komulatif. Ini berarti, apa yang diperoleh seseorang
pada saat sekarang juga dipengaruhi oleh kondisi dasar dalam pembentukan gerak.
Ide ini sejalan dengan konsep perkembangan keterampilan sebagai susunan dari
beberapa “block” seperti telah kita kemukakan dalam Bab 12. berkaitan dengan ide
tersebut, ini berarti mesti ada persyaratan pokok dalam belajar yang sebelumnya
harus dikuasai oleh seseorang sebelum dia mempelajarai suatu kegiatan lainnya.
Karena itu, yang penting untuk diperhatikan ialah peletakan dasar keterampilan
pengetahuan dan bahkan sikap yang baik yang kelak berfungsi sebagai landasan yang
luas dan kukuh bagi perkembangan seseorang pada waktu berikutnya. Dengan kata
lain, semakin kukuh landasan keterampilan yang terbina pada waktu sebelumnya,
semakin besar peluang bagi pengembangan penguasaan dalam berbagai macam tugas
(Oxendine,1984).
Berkenaan dengan masalah transfer, suatu hal yang perlu kita pahami ialah,
transfer terjadi secara otomatis. Terdapat beberapa ciri yang memungkinkan
terjadinya transfer, yaitu:
(1) Transfer berlangsung pada tugas yang serupa; Vincent (1968) misalnya
mengungkapkan transfer terjadi dalam keadaan ada kesamaan pada elemen
perseptual. Konsep-konsep yang “meaningful” lebih mudah dipakai
(Oxendine, 1984).
Pernyataan diatas mengandung implikasi pada pembinaan, seperti dalam isu
sebagi berikut: Bagaimanakah caranya mengembangkan sifat-sifta tertentu (misalnya
keuletan, kegigihan, dan sebagainya)? Apakah ada sifat-sifat dasar yang kemudian
mempengaruhi perkembangan sifat lainnya (mislanya kebiasaan tertib dan bersih di
sekolah akan berpengaruh terhadap seluruh pola perilaku dalam kegiatan lainnya).
(2) Transfer tidak berlangsung secara otomatis.
(3) Transfer negatif dapat dipakai untuk merombak kebiasaan lama (misalnya
tugas B diberikan untuk merombak kebiasaan yang sudah mapan hasil
belajar tugas A).
(4) Transfer positif dapat di terapkan untuk memperkuat kebiasaan yang telah
mapan.

B. Latihan Imajiner
Dalam proses pengajaran atau kepelatihan, masih kuat kecenderungan bahwa
guru atau pelatih lebih menitik beratkan pelaksanaan latihan yang nyata nampak
dalam peragaan fisik. Dan memang harus di akui, salah satu metode terbaik untuk
meningkatkan keterampilan yakni secara langsung mempelajari kegiatan yang
dimaksud melalui kegiatan praktek secara berulang-ulang. Tekanannya ialah pada
“pembiasaan” fisik.
Dewasa ini, mulai dikenal konsep latihan imajiner suatu istilah yang kira-kira
sama pengertiannya dengan istilah lainnya seperti mental practice, introspeksi, atau
konseptualisasi. Dalam buku ini kita pakai istilah latihan imajiner dengan maksud
untuk membedakannya dengan latihan nyata yang nampak dalam peragaan fisik. Di
lingkungan atlet-atlet berketerampilan tinggi, latihan imajiner ini semkain populer.
Thomas Tutko, seorang psikologi dari San Jose State University pernah mengatakan
“latihan imajiner akan menjadi salah satu faktor paling penting dalam dunia olahraga
selama tahun 1980-an” (Tulisan Joel Greenberg dalam New York, 8 September,
1981). Berdasarkan ;aporan Joel tersebut Tutko menjelaskan, dalam program latihan
imajiner itu, atlet mengerahkan kemampuannya yang terbaik, makin lama makin baik
hingga mencapai tingkat puncak. Tutko melukiskan gejala tersebut seumpama sebuah
model komputer dimana seseorang “memprogram” dirinnya untuk melakukan
sesuatu tugas sedemikian rupa.
Meskipun demikian, bagaimana peranan konseptualisasi dlaam pembinaan
keterampilan motorik masih jarang diselidiki. Barangkali, keadaan tersebut
disebabkan karena penerapan latihan imajiner kedalam pelaksanaan latihan
keterampilan agak sukar dilakukan, sebab seseorang tak bisa secara langsung
mengamati atau mengukur proses yang terjadi, kecuali hanya melaui penafsiran
berdasarkan perilaku yang nampak.
Mengapa latihan imajiner perlu dilakukan? Apa keuntungannya? Ada beberapa
alasan utama yang membuat latihan imajiner patut diperhatikan atau di lakukan
sebagai pelengkap bagi latihan tradisional. Pertama, latihan imajiner bermanfaat
untuk merangsang perkembangan dari penguasaan keterampilan dalam tempo yang
leibih cepat, dan bahkan mungkin dengan tingkat retensi yang lebih besar. Kedua,
konseptualisasi keterampilan motorik yang akan dipelajari secara tidak langsung
mengasah kemampuan kognitif atau kemampuan seseorang untuk berpikir. Ini berarti,
belajar motorik tidak berlangsung secara otomatis. Ketiga, dalam keadaan kelas
terlampau padat, atau fasilitas kurang maka latihan imajiner dapat dipakai sebagai
pelengkap latihan nyata. Sambil menunggu giliran latihan yang nyata, para siswa
dapat melakukan latihan imajiner.
Pelaksanaan latihan imajiner bukan berarti sepenuhnya mengganti latihan yang
nyata. Kedua-duanya dapat digabung untuk saling memperkuat.
1. Perkembangan Studi dalam Latihan Imajiner
Latihan imajiner atau sering juga disebut mental rehearsal telah dicobakan.
Hingga batas tertentu, hasilnya menunjukkan efek positif terhadap kemajuan
belajar. Meskipun sudah cukup meluas penggunaannya, tapi masalah latihan
imajiner masih jarang diselidiki. Untuk memperluas pandangan kita tentang
latihan imajiner, dlaam bagian ini akan kita tinjau selayang pandang
perkembangan studi yang telah dilakukan, termasuk gambaran tentang
kesimpulan umum atau generalisasi dalam masalah latihan imajiner.
Konsep mental rehearsal pertama kali muncul menjadi fokus kajian Kohler
selama dekade kedua dan ketiga abad ke-20. Dia memusatkan perhatiannya pada
persoalan insight dalam kaitannya dengan psikologi gestalt. Selain Kohler,
Tolman menjelaskan bahwa belajar sering dihasilkan oleh latihan trial and error
yang terjadi pada mental seseorang. Dia berpendapat mental rehearsal
merupakan elemen penting dalam belajar (Oxendine, 1984).
Seperti apa yang dilakukan para ahli dalam kegiatan meneliti maslah transfer,
metode untuk meneliti masalah latihan imajiner adalah eksperimen. Desain yang
lazim dipakai yakni desain kelompok paralel. Sebagai contoh, pengorganisasian
eksperimen sebagai berikut: Pertama, harus ada keyakinan dan jaminan
berdasarkan fakta yang terkumpul bahwa subjek mempelajari keterampilan baru
atau yang relatif baru. Setelah itu, kelompok dibagi menjadi dua. Kelompok
pertama memperoleh latihan nyata sebagaimana yang lazim dilakukan dimana
nampak kegiatan fisik. Kelompok kedua melakukan latihan imajiner berkenaan
dengan tugas yang diberikan. Bisa juga dirancang, yakni ada kelompok ketiga
yang akan dipakai sebagai pengontrol efek yang terjadi pada kelompok pertama
dan kedua tadi. Alokasi latihan dirancang sedemikian rupa sehingga relatif sama
bagi kelompok pertama dan kedua.
Penelitian tentang bagaimana kaitan antara aktivitas mental dan penampilan
gerak telah berlangsung lama sekurangnya telah dimulai pada tahun 1890. Hanya
sayangnya, kebanyakan studi terdahulu kurang memperhatikan kontrol yang
cermat terhadap aktivitas mental rehearsal.
Shaw (1938) menemukan bahwa para atlet pengangkat besi menunjukkan
aksi otot ketika mereka membayangkan dirinya sedang mengangkat beban. Dia
melaporkan, seberapa jauh kedalam imajinasi atau intensitas kegiatan berpikir
mengenai beban yang akan di angkat memiliki kaitan dengan peningkatan aksi
otot.
Perry (1939) melaporkan bahwa beberapa tipe tugas dipelajari dengan baik
dengan latihan imajiner ketimbang melalui peragaan fisik. Efektivitas latihan
imajiner dan latihan melalui peragaan fisik rupanya ada kaitannya dengan tipe
tugas yang dipelajari. Studi tentang latihan imajiner telah dilakukan baik yang
berkenaan dengan tipe tugas yang dianggap baru atau tak laaim dikerjakan orang
maupun keterampilan umum yang sering dilakukan dalam olahraga. Bagaimana
hasilnya?
Oxendine (1969) misalnya, melaporkan hasil studinya tentang efek latihan
majiner dan latihan nyata melalui peragaan fisik terhadap penampilan empat
kelompok anak laki-laki dari kelas 7 dalam tugas gerak pursuit rotor. Sebagai
contoh, pengorganisasian eksperimen dapat kita perhatikan pada tabel 13.1
berikut ini.
Dengan mempergunakan desain yang sama dengan desain pada Tabel 13.1
Oxendine menetapkan suatu kelompok melakukan latihan sepenuhnya dengan
latihan nyata. Kelompok kedua melakukan 75% latihan nyata, ditambah 25%
latihan imajiner, yakni hanya mengamati perputaran satu titik di atas pursuit
rotor dalam keadaan diam. Kelompok ketiga melakukan 50% lebih nyata dan
50% latihan imajiner, sedagkan kelompok keempat melakukan 25% latihan nyata
dan 75% latihan imajiner. Selama periode latihan dua minggu, yang mencakup
10 babak semua kelompok memperlihatkan peningkatan keterampilan yang
berarti. Peningkatan yang paling besar yaitu pada kelompok kesatu, kedua dan
ketiga.
Tabel 13.1
Jadwal Latihan Harian bagi Kelompok dalam Ekperimen
Menendang dalam Sepakbola
Kelompok Unit Latihan Harian Posttest
S-1 12 kali trial nyata ( menendang)
S-2 3 latihan imajiner dan 9 trial dengan urutan;
I - N - N (diulang 3 kali)
S-3 6 imajiner dan 6 trial nyata dengan urutan;
I - N (diulang 6 kali)
S-49 Imajiner dan 3 trial nyata dengsn urutan;
I-I-I-N(diulang 3 kali)
Catatan; I berarti jumlah kali latihan imajiner menendang sementara. N berarti latihan
nyata dalam menendang. (Dari J. B. Oxendine. “effect of mental physical practice on
the learning of three motor skills. “Research Quarterly, 1969, 40, 763-775 Oxendibe,
1988).
Kelompok yang hanya memperoleh latihan nyata 25% berada di belakang ketiga
kelompok lainnya baik dalam tes yang sebenarnya maupun dalam retensi. Oxendine
menyimpulkan, semua kelompok memperlihatkan peningkatan, sehingga dapat
dikatakan pemberian latihan imajiners sebanyak 50% dapat dilakukan tanpa
mengurangi efektivitas belajar.
Dalam studi yang dilakukan Corbin (1965) terungkap, pelaksanaan latihan
imajiner tak ada efeknya jika terpisah dengan latihan nyata. Hal ini juga di dukung
oleh kesimpulan Trussel (1958) yang menyatakan mental rehearsal tidak efektif
kecuali jika digabung dengan latihan nyata.
Beberapa studi juga telah dilakukan mencakup tugas gerak yang “bermakna”
atau yang lazim dilakukan oleh subjek. Desain eksperimennya juga serupa yakni ada
kelompok eksperimen dan ada kelompok kontrol. Salah satu contoh studi klasik
tentang efek latihan imajiner dilakukan oleh Vandell, Davis, dan Clugston (1943).
Sampel penelitian terdiri dari para siswa sekolah menengah pertama, menengah atas,
dan mahasiswa dengan tugas yakni berlatih keterampilan lemparan bebas bola basket
dan melempar “bulu ayam” (dart). Pada permulaanya, tiga kelompok diseimbangkan
dalam keterampilan motorik dan kemampuan mental dalam mempelajari
keterampilan bola basket. Ketiga kelompok lainnya juga diseimbangkan, berlatih
dalalm melempar bulu ayam.
Selanjutnya, semua subjek memperoleh tes penguasaan keterampilan dalm
lemparan bebas bola basket dan lemparan bulu ayam pada hari pertama dan ke-20.
Namun demikian, sejak hari kedua hingga kesembilan: (1) satu kelompok terlibat
dalam latihan nyata setiap hari; (2) kelompok lain memperoleh latihan imajiner
melempar bola basket atau bulu ayam selama selama 15 menit; dan (3) kelompok
ketiga tidak melakukan latihan nyata atau imajiner. Pada waktu tes dilaksanakan pada
hari ke-20, kelompok yang melakukan latihan nyata dan imajiner memperlihatkan
peningkatan keterampilan yang berarti (signifikan) jika dibandingkan dengan hasil
tes pada hari pertama. Banyaknya peningkatan serupa pada kedua kelompok. Tapi
pada kelompok yang sama sekali tak memperoleh latihan tidak terjadi peningkatan
hasil yang diperoleh dari tugas gerak melempar bola basket dan bulu ayam. Akhirnya
si peneliti berkesimpulan dalam kondisi eksperimen, latihan imajiner efektivitasnya
tidak berbeda dengan latihan nyata melalui peragaan fisik guna meningkatkan
penampilan keterampilan. Penelitian tersebut merupakan contoh dari sejumlah
penelitian lain tentang pengaruh latihan imajiner. Bagaimana efeknya terhadap para
siswa atau atlet di Indonesia, isu latihan imajiner ini menarik untuk diselidiki.
Sebagai subvariabel barangkali dapat dimunculkan, misalnya jenis kelamin, tingkat
usia, latar belakang pengalaman, dan lain-lain yang dianggap relevan.
Persoalan lainnya ialah, apakah ada efek inteligensi terhadap kemampuan
seseorang untuk melaksanakan konseptualisasi atau latihan imajiner? Studi yang
dilakukan Start (1960) misalnya, mengetengahkan bukti empirik kelompok yang
tinggi inteligensinya (IQ dari 106 - 107) tidak memperlihatkan kemampuan yang
lebih baik dalam mental rehearsal ketimbang kelompok yang rendah inteligensinya
(IQ dari 83 hingga 105).
Fakta lain seperti yang diungkapkan oleh Oxendine (1969) menunjukkan bahwa
skor inteligensi tak berkorelasi dengan kemampuan yang diperoleh dari latihan
imajiner.
2. Tehnik Melaksanakan Latihan Imajiner
Barangkali persoalan yang paling penting tidak hanya soal konsep dan
bukti-bukti tentang pengaruh latihan imajiner terhadap penampilan gerak
seseorang, tapi bagaimana caranya pelaksanaan latihan imajiner itu sendiri. Jika
latihan imajiner memang efektif, tentu harus ada suatu prosedur yang dapat
menjadi pegangan bagi para pemakainya, baik dia atlet, guru atau pelatih.
Namun sayngnya, prosedur standar belum didapat. Bahkan tak ada orang yang
mampu mengontrol atau mengukur dengan eksak kadar dan tipe aktvitas mental
yang dilakukan melalui latihan imajiner (Oxendine, 1984).
Meskipun demikian, prosedur yang telah diterapkan dalam pelaksanaan
latihan imajiner itu dapat dibagi menjadi dua tipe, yang kemudian akan kita
bahas lebih lanjut, yakni: (1) tehnik yang lazim dipakai dalam kondisi
eksperimen; dan (2) tehnik praktis yang lazim di terapkan dalam situasi informal.
Dalam studi yang dilakukan Clark (1960) tekanan utama ialah pada
penyampaian pengertian mengenai keterampilan sebelum latihan imajiner
dilakukan. Fokus kegiatan ialah, para siswa memperoleh pengertian yang jelas
tentang bagaimana cara dan pola gerak yang akan dilakukan. Hal itu berdasarkan
anggapan Clark, bahwa pemahaman merupakan faktor esensial dalam latiahn
keterampilan. Bagaimana prosedur yang dilakukannya ketika melaksanakan
eksperimen lemparan bebas dalam bola basket? Pertama, para siswa membaca
petunjuk tertulis tentang tehnik yang benar. Kemudian, dia melangkah ke garis
tembakan hukuman, dan memberikan contoh serta memberikan penjelasan
tentang bagaimana caranya melakukan tembakan hukuman yang benar. Hal itu
dilakukannya tanpa bola melalui peragaan lambat. Clark menganjurkan para
siswanya untuk membayangkan dirinya melakukan tehnik tersebut, dan
merasakan gerakan sambil menutup matanya. Kemudian, subjek melakukan 25
kali tembakan. Bagaimana efeknya? Para siswa melaporkan, bahwa mereka
memperoleh kepercayaan diri yang lebih besar melalui latihan imajiner. Mereka
juga menyatakan bahwa tehnik tersebut memungkinkan mereka untuk
membayangkan atau memvisualisasikan keterampilan secara lebih efektif dan
secara langsung dapat mengenal respons yang salah atau gerakan yang tidak
benar.
Dalam studi yang dilakukan Start ( 1960), pelatih mula-mula memberikan
penjelasan dan contoh, dan kemudian subjek diminta untuk membayangkan diri
mereka melakukan keterampilan tersebut. Kemudian, subjek diminta untuk
secara mental melaksanakan keterampilan lemparan bebas tanpa deskripsi lisan.
Dalam studi Harby (1952), gambar hidup dimanfaatkan sebagai usaha untuk
merangsang aktivitas mental subjek. Dia percaya, cara itu sama efeknya dengan
pemberian contoh.
Persoalan berikutnya ialah bagaimana kita mengontrol respons perilaku
siswa terhadap tugas-tugas yang dianjurkan dalam latihan imajiner. Ini berarti,
harus di identifikasi tipe-tipe respons yang sering berlangsung. Tipe respons
dalam latihan imajiner dapat dikategorikan menjadi tiga: (1) respons visual, (2)
peragaan sikap tubuh sesuai dengan tehnik yang sebenarnya, dan (3) gerakan
badan itu sendiri. Dalam pelaksanaan latihan imajiner, kebanyakan cara yang
lazim yaitu mata di pejamkan. Bahkan ada yang mempergunakan gerakan mata
untuk mengikuti jalannya pergerakan yang terjadi, seperti mengikuti perjalanan
bola yang di tendang atau yang di lempar. Rupanya, mata yang di pejamkan itu
ada kaitannya dengan konsentrasi, sambil seseorang membayangkan dalam
benaknya pola-pola gerak yang sebenarnya.
Meskipun subjek biasanya tidak di perkenankan untuk bergerak selama
melakukan latihan imajiner, tapi ada juga yang melaksanakannya dengan sikap
tubuh tertentu, seperti badan condong ke belakang atau ke depan, kepala di
gerak-gerakan, dan sebagainya. Yang penting ialah, tidak ada gerakan nyata yang
menyerupai tehnik sebenarnya. Dalam keterampilan menembakkan bola ke
gawang sepak bola atau melempar bola ke ring bola basket, lamanya latihan
imajiner kira-kira sama dengan lamanya pelaksanaan tehnik itu sendiri.
Kesemuanya itu menunjukkan respons yang bersifat pribadi. Jadi, sukar di
tetapkan bagaimana prosedur standar terutama yang berkenaan dengan respons si
pelaku.
Pelaksanaan latuhan imajiner memang membutuhkan tuntunan praktis. Cara
yang sudah pernah di terapkan: (1) secara mental mereview keseluruhan
penampilan gerak dan mencoba untuk menemukan rasa gerak dan kunci-kunci
lainnya yang erat kaitannya dengan pelaksanaan gerakan nyata; dan (2) rehearsal
secara formal atau informal di antara periode kerja; dan (3) pembuatan keputusan
yang bertalian dengan strategi atau tahap konseptualisasi suatu kegiatan
(Oxendine, 1984).
Dalam tehnik review, yang dilakukan seseorang yakni mirip dengan
pemutaran kembali gambar-gambar hidup yang terbayang dalam benaknya. Hal
ini dapat berkenaan dengan keseluruhan pola tehnik sejak awal hingga akhir atau
tentang bagian-bagian tertentu. Seorang pesenam misalnya, dapat melakukan
mental rehearsal berupa pemutaran kembali bayangan tentang cara melakukan
elemen tehnik dan keseluruhan rangkaian gerak sejak awal hingga selesai. Proses
review tersebut dapat di perkuat dengan analisis tentang bagian-bagian yang
dianggap kritis, atau mungkin tentang elemen gerak yang di anggap kurang
terkuasai dengan baik.
Disela-sela waktu melakukan gerakan nyata, seperti setelah seseorang gagal
melakukan service dalam tenis misalnya, dia dapat melakukan mental rehearsal
dengan tujuan untuk “melihat” kembali gerakan yang telah dilakukannya dan
gerakan standar yang sebenarnya. Dia mungkin berkata kepada dirinya: “Saya
telah melakukan kesalahan, terutama dalam hal lemparan bola terlampau
rendah.”
Bentuk lain dari aktivitas mental yang lazim, khususnya dalam pertandingan
olahraga ialah pembuatan keputusan yang sesuai dengan situasi. Penetapan
strategi atau taktik bermain membutuhkan kecepatan membuat keputusan. Ini
berarti di butuhkan kemampuan yang cepat untuk mengolah informasi, sehingga
kemampuan rehearsal, khususnya dalam upaya mencari kaitan antara beberapa
gejala merupakan kemampuan yang dominan. Kelebihan seorang atlet
berprestasi biasanya dalam hal kecepatannya untuk membuat keputusan dan
melakukan koreksi terhadap kesalahan. Hal ini membutuhkan kemampuan
konseptualisasi yang kuat. Karena itu ada anggapan, mungkin sekali inteligensia
ada kaitannya dengan kemampuan menganalisis peragaan gerak yang telah
berlalu dengan cepat.

C. Rangkuman
Transfer keterampilan atau hasil latihan berarti hasil belajar dalam suatu
tugas mempengaruhi penguasaan tugas lain. Transfer bisa terjadi negatif dan
positif. Jika suatu tugas yang baru dipelajari menyebabkan penurunan
keterampilan atau perombakan pola kebiasaan pada tugas gerak sebelumnya, hal
itu disebut tranfer negatif. Sebaliknya, jika suatu tugas yang sebelumnya
dipelajari menyebabkan penguasaan tugas berikutnya bertambah baik, hal itu
disebut transfer positif.

Anda mungkin juga menyukai