Anda di halaman 1dari 20

Penyakit Diare

Secara klinis diare didefinisikan sebagai bertambahnya defekasi (buang air

besar) lebih dari biasanya/ lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan perubahan

konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah. Secara klinik dibedakan tiga

macam sindrom diare yaitu diare cair akut, disentri dan diare persisten. Sedangkan

menurut menurut Kemenkes (2011), diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda
adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair

dan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam

sehari.

Diare akut diberi batasan sebagai meningkatnya kekerapan, bertambah cairan,

atau bertambah banyaknya tinja yang dikeluarkan, akan tetapi hal itu sangat relatif

terhadap kebiasaan yang ada pada penderita dan berlangsung tidak lebih dari satu

minggu. Apabila diare berlangsung antara satu sampai dua minggu maka dikatakan

diare yang berkepanjangan (Soegijanto, 2002). Beberapa perilaku yang dapat

meningkatkan risiko terjadinya diare pada balita, yaitu Kemenkes (2011):

1. Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama pada kehidupan. Pada

balita yang tidak diberi ASI resiko menderita diare lebih besar daripada balita

yang diberi ASI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat lebih

besar.

2. Menggunakan botol susu, penggunaan botol ini memudahkan pencemaran

oleh kuman karena botol susah dibersihkan. Penggunaan botol yang tidak

bersih atau sudah dipakai selama berjam-jam dibiarkan di lingkungan yang

panas, sering menyebabkan infeksi usus yang parah karena botol dapat

tercemar oleh kuman-kuman/ bakteri penyebab diare. Sehingga balita yang

menggunakan botol tersebut berisiko terinfeksi diare.

3. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar, bila makanan disimpan

beberapa jam pada suhu kamar, makanan akan tercermar dan kuman akan

berkembang biak.
4. Menggunakan air minum yang tercemar.

5. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja

anak atau sebelum makan dan menyuapi anak.

6. Tidak membuang tinja dengan benar, seringnya beranggapan bahwa tinja

tidak berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung virus atau bakteri dalam

jumlah besar. Selain itu tinja binatang juga dapat menyebabkan infeksi pada

manusia.

Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan enam

besar, tetapi yang sering ditemukan di lapangan adalah diare yang disebabkan infeksi

dan keracunan. Penyebab diare secara lengkap adalah sebagai berikut: (1) infeksi

yang dapat disebabkan: a) bakteri, misal: Shigella, Salmonela, E. Coli, golongan

vibrio, bacillus cereus, Clostridium perfringens, Staphyiccoccus aureus,

Campylobacter dan aeromonas; b) virus misal: Rotavirus, Norwalk dan norwalk like

agen dan adenovirus; c) parasit, misal: cacing perut, Ascaris, Trichiuris,

Strongyloides, Blastsistis huminis, protozoa, Entamoeba histolitica, Giardia labila,

Belantudium coli dan Crypto; (2) alergi, (3) malabsorbsi, (4) keracunan yang dapat

disebabkan; a) keracunan bahan kimiawi dan b) keracunan oleh bahan yang

dikandung dan diproduksi: jasat renik, ikan, buah-buahan dan sayur-sayuran, (5)

Imunodefisiensi dan (6) sebab-sebab lain . Kemenkes (2011), mengklasifikasikan

jenis diare menjadi empat kelompok yaitu:


1) Diare akut: yaitu diare yang berlangsung kurang dari empat belas hari

(umumnya kurang dari tujuh hari),

2) Disentri; yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya,

3) Diare persisten; yaitu diare yang berlangsung lebih dari empat belas hari

secara terus menerus,

4) Diare dengan masalah lain; anak yang menderita diare (diare akut dan

persisten) mungkin juga disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi

atau penyakit lainnya.

Diare akut dapat mengakibatkan: (1) kehilangan air dan elektrolit serta

gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan

hipokalemia, (2) Gangguan sirkulasi darah, dapat berupa renjatan hipovolemik

sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah, (3) Gangguan gizi yang

terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah (Soegijanto,

2002). Diare mengakibatkan terjadinya:

a. Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan

dehidrasi, dan asidosis metabolik.

b. Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau prarenjatan

sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai dengan muntah, perpusi

jaringan berkurang sehingga hipoksia dan asidosismetabolik bertambah berat,

kesadaran menurun dan bila tak cepat diobati penderita dapat meninggal.
Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare

dan muntah, kadang-kadang orang tuanya menghentikan pemberian makanan karena

takut bertambahnya muntah dan diare pada anak atau bila makanan tetap diberikan

dalam bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan lebih sering terjadi pada anak yang

sebelumnya telah menderita malnutrisi atau bayi dengan gagal bertambah berat

badan. Sebagai akibat hipoglikemia dapat terjadi edema otak yang dapat

mengakibatkan kejang dan koma (Suharyono, 2008).

Gejala Diare

Diare dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit,

terutama natrium dan kalium dan sering disertai dengan asidosis metabolik. Dehidrasi

dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan serum elektrolit.

Setiap kehilangan berat badan yang melampaui 1% dalam sehari merupakan

hilangnya air dari tubuh. Kehidupan bayi jarang dapat dipertahankan apabila defisit

melampaui 15% (Soegijanto, 2002).

Gejala diare atau mencret adalah tinja yang encer dengan frekuensi empat kali

atau lebih dalam sehari, yang kadang disertai: muntah, badan lesu atau lemah, panas,

tidak nafsu makan, darah dan lendir dalam kotoran, rasa mual dan muntah-muntah

dapat mendahului diare yang disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi bisa secara tiba-

tiba menyebabkan diare, muntah, tinja berdarah, demam, penurunan nafsu makan

atau kelesuan. Selain itu, dapat pula mengalami sakit perut dan kejang perut, serta

gejala- gejala lain seperti flu misalnya agak demam, nyeri otot atau kejang, dan sakit
kepala. Gangguan bakteri dan parasit kadang-kadang menyebabkan tinja mengandung

darah atau demam tinggi (Amiruddin, 2007).

Menurut Ngastisyah (2005) gejala diare yang sering ditemukan mula-mula

pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan berkurang, tinja

mungkin disertai lendir atau darah, gejala muntah dapat timbul sebelum dan sesudah

diare. Bila penderita benyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi mulai

nampak, yaitu berat badan menurun, turgor berkurang, mata dan ubun-ubun besar

menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering.

Pencegahan Penyakit Diare

Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum yakni:

pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention) yang meliputi promosi kesehatan

dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention) yang

meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan pencegahan tingkat ketiga

(tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi

(Kemenkes, 2011).

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer penyakit diare dapat ditujukan pada faktor penyebab,

lingkungan dan faktor pejamu. Untuk faktor penyebab dilakukan berbagai upaya agar

mikroorganisme penyebab diare dihilangkan. Peningkatan air bersih dan sanitasi

lingkungan, perbaikan lingkungan biologis dilakukan untuk memodifikasi

lingkungan. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari pejamu maka dapat

dilakukan peningkatan status gizi dan pemberian imunisasi (Kemenkes, 2011).


1. Penyediaan air bersih

Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan hampir 70%

tubuh manusia mengandung air. Air dipakai untuk keperluan makan, minum, mandi,

dan pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk keperluan tersebut WHO

menetapkan kebutuhan per orang per hari untuk hidup sehat 60 liter. Selain dari

peranan air sebagai kebutuhan pokok manusia, juga dapat berperan besar dalam

penularan beberapa penyakit menular termasuk diare (Notoadmodjo, 2011).

Sumber air yang sering digunakan oleh masyarakat adalah: air permukaan

yang merupakan air sungai dan danau. Air tanah yang tergantung kedalamannya bisa

disebut air tanah dangkal atau air tanah dalam. Air angkasa yaitu air yang berasal dari

atmosfir seperti hujan dan salju. Air dapat juga menjadi sumber penularan penyakit.

Peran air dalam terjadinya penyakit menular dapat berupa, air sebagai penyebar

mikroba patogen, sarang insekta penyebar penyakit, bila jumlah air bersih tidak

mencukupi, sehingga orang tidak dapat membersihkan dirinya dengan baik dan air

sebagai sarang hospes sementara penyakit (Notoadmodjo, 2011).

Memahami daur/ siklus air di alam semesta ini, maka sumber air dapat

diklasifikasikan menjadi; a) air angkasa seperti hujan dan air salju, b) air tanah seperti

air sumur, mata air dan artesis, c) air permukaan yang meliputi sungai dan telaga.

Untuk pemenuhan kebutuhan manusia akan air, maka dari sumber air yang ada dapat

dibangun bermacam-macam saran penyediaan air bersih yang dapat berupa

perpipaan, sumur gali, sumur pompa tangan, perlindungan mata air, penampungan air

hujan dan sumur artesis (Sanropie, 1984).


Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil dari sumber

yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber air bersih harus jauh dari kandang

ternak dan kakus paling sedikit sepuluh meter dari sumber air. Air harus ditampung

dalam wadah yang bersih dan pengambilan air dalam wadah dengan menggunakan

gayung yang bersih dan untuk minum air harus di masak. Masyarakat yang

terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil

bila dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih (Andrianto,

1995).

2. Tempat pembuangan tinja

Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan lingkungan.

Pembuangan tinja yang tidak tepat dapat berpengaruh langsung terhadap insiden

penyakit tertentu yang penularannya melalui tinja antara lain penyakit diare (Haryoto,

1983). Keluarga yang tidak memiliki jamban harus membuat dan keluarga harus

membuang air besar di jamban. Jamban harus dijaga dengan mencucinya secara

teratur. Jika tak ada jamban, maka anggota keluarga harus membuang air besar jauh

dari rumah, jalan dan daerah anak bermain dan paling kurang sepuluh meter dari

sumber air bersih (Andrianto, 1995). Untuk mencegah kontaminasi tinja terhadap

lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik. Suatu

jamban memenuhi syarat kesehatan apabila memenuhi syarat kesehatan: tidak

mengotori permukaan tanah, tidak mengotori air permukaan, tidak dapat di jangkau

oleh serangga, tidak menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara dan murah.

Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan
risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar dua kali lipat dibandingkan

keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang memenuhi syarat

sanitasi (Notoatmodjo, 2011).

3. Status gizi

Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan

penggunaan makanan oleh tubuh. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan

menggunakan berbagai metode, yang tergantung dan tingkat kekurangan gizi.

Menurut Gibson (1990) metode penilaian tersebut adalah; 1) konsumsi makanan; 2)

pemeriksaan laboratorium, 3) pengukuran antropometri dan 4) pemeriksaan klinis.

Metode-metode ini dapat digunakan secara tunggal atau kombinasikan untuk

mendapatkan hasil yang lebih efektif. Makin buruk gizi seseorang anak, ternyata

makin banyak episode diare yang dialami. Mortalitas bayi di negara yang jarang

terdapat malnutrisi protein energi (KEP) umumnya kecil (Canada, 28,4 permil). Pada

anak dengan malnutrisi, kelenjar timusnya akan mengecil dan kekebalan sel-sel

menjadi terbatas sekali sehingga kemampuan untuk mengadakan kekebalan

nonspesifik terhadap kelompok organisme berkurang (Suharyono, 2008).

4. Pemberian air susu ibu (ASI)

ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi komponen zat makanan

tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara

optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4-

6 bulan. Untuk menyusui dengan aman dan nyaman ibu jangan memberikan cairan

tambahan seperti air, air gula atau susu formula terutama pada awal kehidupan anak.
Memberikan ASI segera setelah bayi lahir, serta berikan ASI sesuai kebutuhan. ASI

mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat

lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare,

pemberian ASI kepada bayi yang baru lahir secara penuh mempunyai daya lindung

empat kali lebih besar terhadap diare dari pada pemberian ASI yang disertai dengan

susu botol. Pada bayi yang tidak diberi ASI pada enam bulan pertama kehidupannya,

risiko mendapatkan diare adalah 30 kali lebih besar dibanding dengan bayi yang tidak

diberi ASI (Kemenkes, 2011).

Bayi yang memperoleh ASI mempunyai morbiditas dan mortalitas diare lebih

rendah. Bayi dengan air susu buatan (ASB) mempunyai risiko lebih tinggi

dibandingkan dengan bayi yang selain mendapat susu tambahan juga mendapatkan

ASI dan keduanya mempunyai risiko diare lebih tinggi dibandingkan dengan bayi

yang sepenuhnya mendapatkan ASI. Risiko relatif ini tinggi dalam bulan-bulan

pertama kehidupan (Suharyono, 2008).

5. Kebiasaan mencuci tangan

Diare merupakan salah satu penyakit yang penularannya berkaitan dengan

penerapan perilaku hidup sehat. Sebahagian besar kuman infeksius penyebab diare

ditularkan melalui jalur oral. Kuman-kuman tersebut ditularkan dengan perantara air

atau bahan yang tercemar tinja yang mengandung mikroorganisme patogen dengan

melalui air minum. Pada penularan seperti ini, tangan memegang peranan penting,

karena lewat tangan yang tidak bersih makanan atau minuman tercemar kuman

penyakit masuk ke tubuh manusia (Kemenkes RI, 2011).


Pemutusan rantai penularan penyakit seperti ini sangat berhubungan dengan

penyediaan fasilitas yang dapat menghalangi pencemaran sumber perantara oleh tinja

serta menghalangi masuknya sumber perantara tersebut kedalam tubuh melalui mulut.

Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun adalah perilaku amat penting bagi upaya

mencegah diare. Kebiasaan mencuci tangan diterapkan setelah buang air besar,

setelah menangani tinja anak, sebelum makan atau memberi makan anak dan sebelum

menyiapkan makanan. Kejadian diare makanan terutama yang berhubungan langsung

dengan makanan anak seperti botol susu, cara menyimpan makanan serta tempat

keluarga membuang tinja anak (Howard & Bartram, 2003). Hubungan kebiasaan

mencuci tangan dengan kejadian diare dikemukakan oleh Bozkurt et al. (2003) di

Turki, orang tua yang tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum merawat

anak, anak mempunyai risiko lebih besar terkena diare.

b. Pencegahan Sekunder

Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada si anak yang telah menderita

diare atau yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan

pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping

dan komplikasi. Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan

pemberian oralit (rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan

oleh banyak faktor seperti salah makan, bakteri, parasit, sampai radang. (Kemenkes,

2011).
Pengobatan yang diberikan harus disesuaikan dengan klinis pasien. Obat diare

dibagi menjadi tiga, pertama kemoterapeutika yang memberantas penyebab diare

seperti bakteri atau parasit, obstipansia untuk menghilangkan gejala diare dan

spasmolitik yang membantu menghilangkan kejang perut yang tidak menyenangkan.

Sebaiknya jangan mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep dokter.

Dokter akan menentukan obat yang disesuaikan dengan penyebab diarenya misal

bakteri, parasit. Pemberian kemoterapeutika memiliki efek samping dan sebaiknya

diminum sesuai petunjuk dokter (Kemenkes, 2011).

c. Pencegahan Tertier

Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita diare jangan sampai mengalami

kecatatan dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini penderita diare

diusahakan pengembalian fungsi fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada tingkat

ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari

penyakit diare. Usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan terus mengkonsumsi

makanan bergizi dan menjaga keseimbangan cairan. Rehabilitasi juga dilakukan

terhadap mental penderita dengan tetap memberikan kesempatan dan ikut

memberikan dukungan secara mental kepada anak. Anak yang menderita diare selain

diperhatikan kebutuhan fisik juga kebutuhan psikologis harus dipenuhi dan

kebutuhan sosial dalam berinteraksi atau bermain dalam pergaulan dengan teman

sepermainan (Kemenkes, 2011).


Depkes (2007) juga mengemukakan bahwa indikator keberhasilan program

promosi kesehatan di Puskesmas dapat dilihat dari


indikator masukan, indikator proses, indikator keluaran.

Menurut Notoadmodjo (2012) yang mengemukakan bahwa promosi

kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat paripurna

(komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru. Kebijakan Nasional

Promosi Kesehatan telah menetapkan tiga strategi dasar promosi kesehatan, yaitu (1)

advokasi, (2) gerakan pemberdayaan masyarakat dan, (3) bina suasana, yang

diperkuat oleh kemitraan serta metode dan sarana komunikasi yang tepat. Depkes

(2007) juga mengemukakan bahwa strategi promosi kesehatan tidak terlepas dari

advokasi, pemberdayaan masyarakat dan bina suasana.

Input
Proses Strategi Program Promosi Kesehatan Diare Output
Sosial Budaya Masyarakat
Pemberdayaan
Sarana
Bina Suasana - Kasus diare
Tenaga kesehatan
Advoasi
Media
Metode
Berdasarkan gambar diatas, dapat dirumuskan definisi kerangka fikir

penelitian ini sebagai berikut:

1. Masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan untuk dapat

melaksanakan program diare dengan baik, meliputi: kebiasaan masyarakat,

sarana, tenaga kesehatan, media dan metode, dengan definisi sebagai berikut:

a. Kebiasaan masyarakat adalah segala aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat

dalam keseharian yang berkaitan dengan terjadinya penyakit diare di

Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.

b. Tenaga adalah tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelaksanaan program

diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.

c. Sarana adalah seluruh bahan, peralatan, serta fasilitas yang digunakan dalam

pelaksanaan program diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.

d. Media adalah alat bantu yang digunakan untuk untuk melaksanakan kegiatan

promosi kesehatan tentang diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.

e. Metode adalah cara yang teratur digunakan untuk melaksanakan kegiatan

promosi kesehatan tentang diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.

2. Proses (process) adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai

tujuan yang telah ditetapkan, meliputi: upaya pencegahan dan upaya pengobatan,

dengan definisi sebagai berikut:

a. Pemberdayaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk

membuat masyarakat mau dan mampu melaksanakan kegiatan pencegahan

diare secara teratur dalam keseharian di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.


b. Bina suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang

mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku

pencegahan diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.

c. Advokasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan dukungan yang

berupa kebijakan baik aturan dana dan sarana untuk pencegahan diare di

Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.

3. Keluaran (output) adalah hasil dari pelaksanaan program diare yaitu menurunnya

jumlah kasus diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen yang dinilai dari

kegiatan yang telah dilakukan.

menggunakan metode pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui secara jelas dan lebih
mendalam tentang fenomena atau isu penting yang berkaitan dengan pelaksanaan program implementasi
program promosi kesehatan terhadap kejadian penyakit diare, serta menggali secara mendalam
penanggulangan penyakit diare

memiliki kesadaran yang masih rendah untuk menjaga kebersihan lingkungan

guna mencegah terjadinya penyakit menular seperti diare. Dari observasi lapangan

diketahui bahwa sampah- sampah dan hasil limbah masyarakat masih berada disekitar

lingkungan rumah penduduk sehingga menciptakan lingkungan kotor terutama bagi

anak balita dan bayi yang tinggal disekitarnya.

Menurut Bustami (2011), bahwa program kesehatan akan menjadi bermutu

jika dikelola dan diarahkan sesuai dengan ketentuan dan prosedur kerja yang berlaku

dengan maksud pelayanan kesehatan akan menjadi lebih mudah untuk diterima oleh

masyarakat dengan baik. pengendalian penyakit diare dapat dilakukan dengan

pemeliharaan sanitasi lingkungan dan promosi kesehatan. Salah satu usaha untuk

mengendalikan penyakit diare adalah dengan melakukan promosi kesehatan yaitu

segala usaha yang dilakukan yang dapat berpengaruh terhadap peningkatan


kesehatan. Kegiatan promosi kesehatan dapat berupa pendidikan, perubahan
lingkungan yang mendukung peningkatan kesehatan, legislasi, ataupun perubahan

pada norma-norma sosial.

Masalah lain yang timbul diwilayah Puskesmas Kuala adalah kebiasaan ibu

balita yang tidak membiasakan anaknya untuk mencuci tangan sebelum makan.

Sarana air bersih yang tersedia di rumah penduduk memiliki kualitas yang masih

rendah dan terkontaminasi oleh kotoran dari luar. Demikian pula halnya kebiasaan

ibu-ibu balita yang membiasakan anaknya membuang tinja sembarangan tempat.

Tentunya hal ini akan mendorong penyebaran bakteri yang masuk kedalam tubuh

balita. Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare dikemukan oleh

Bozkurt (2003), dimana orang tua yang tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan

sebelum merawat anak, maka anak mempunyai resiko lebih besar terkena diare.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Auli dkk, (1994) di Sumatera Selatan,

kebiasaan ibu membuang tinja anak ditempat terbuka merupakan factor resiko yang

besar terhadap kejadian diare dibandingkan dengan kebiasaan ibu membuang tinja

anak anak dijamban.

Menurut Soekidjo (2007), untuk mencegah atau sekurang-kurangnya

mengurangi kontaminasi kotoran manusia terhadap lingkungan maka pembuangan

kotoran manusia harus dikelola dengan baik, maksudnya pembuangan kotoran

manusia harus disuatu tempat tertentu atau jamban yang sehat. Kesadaran masyarakat

dalam menjaga kebersihan lingkungan dinilai masih rendah, Dari hasil wawancara

dengan kader diketahui bahwa pengelolaan sampah tidak terkelola dengan baik,
masyarakat masih ada yang buang sampah sembarangan ke sungai, ke parit dan di

pekarangan rumah.

Sementara menurut Andrianto (1995), untuk mencegah terjadinya diare maka

air bersih harus diambil dari sumber yang terlindungi atau tidak terkontaminasi.

Sumber air bersih harus jauh dari kandang ternak dan kakus paling sedikit sepuluh

meter dari sumber air. Air harus ditampung dalam wadah yang bersih dan

pengambilan air dalam wadah dengan menggunakan gayung yang bersih dan untuk

minum air harus di masak. Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih

mempunyai resiko menderita diare lebih kecil bila dibandingkan dengan masyarakat

yang tidak mendapatkan air bersih.

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa pemahaman masyarakat tentang

diare di Puskesmas Kuala masih kurang tepat. Terdapat beberapa persepsi yang tidak

tepat. Pemahaman dan persepsi masyarakat ini dipengaruhi oleh pengetahuan dan

informasi yang diterima. Selama ini kegiatan penyuluhan lebih ditekankan pada

penanganan diare dari pada usaha pencegahan dan pengertian diare itu sendiri.

Masyarakat kurang dapat menghubungkan antara diare dengan lingkungan

sehinggamasyarakat tidak melakukan tindakan pencegahan.

Untuk itu perlu dilakukan promosi kesehatan yang bertujuan untuk

memberikan informasi kepada masyarakat tentang pengaruh lingkungan terhadap

pencegahan diare. Dengan informasi yang diberikan diharapkan masyarakat

mengetahui hubungan antara lingkungan dengan diare sehingga diharapkan akan


melakukan tindakan pencegahan yang diperlukan. Pengetahuan merupakan faktor

yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan

Anda mungkin juga menyukai