Anda di halaman 1dari 12

Epistemologi Islam

Pembahasan ilmu pengetahuan dalam Islam dapat ditinjau dari


dua sisi: ontologi dan epistemologi. Walaupun pembahasan tersebut dalam
literatur Islam tidak tersusun secara rapi dan tersendiri, kita dapat
menemukan pembahasan tersebut dalam beberapa kajian filsafat seperti
pembahasan yang berkaitan dengan non meterialnya ilmu, tingkatan-
tingkatan ilmu, terbaginya ilmu ke dalam beberapa bagian, dll.
Secara ontologis, kita bisa membahas ilmu dari keberadaanya,
apakah ia materi ataukah bukan. Kita sama sekali tidak membahas tentang
gambaran atau comprehensif ilmu.
Adapun dari sisi epistemologi, kita bisa membahas ilmu dari sisi
representifnya setelah kita membuktikan secara ontologis tentang
keberadaan ilmu tersebut. Jadi, bisa dikatakan bahwa kajian epistemologi
ini sebenarnya adalah pembahasan derajat kedua. Meskipun demikian,
secara subtansial pembahasan epistemologi ini sangat berbeda dengan
pembahasan pertama tadi.
Dalam kajian kedua ini kita dapat meninjau bagian-bagian ilmu
seperti pembagian ilmu kepada representatif dan judgement (justifikasi);
ataupun pembagian lainnya kepada empirical knowledge dan intuitif
knowledge (ilmu husuli dan hudhuri); atau pada aksioma dan discursiv dan
pembahasan tentang secondary intelligible (ma'kul stani).
Banyak filosof Islam mencurahkan segala kemampuan mereka
untuk mengkaji pembahasan seputar epistemologi ini. Salah satu
pembahasan yang menjadikan pertentangan di antara filosof muslim
adalah berkaitan dengan tolok ukur benar dan salah. Para filosof Islam
berpendapat bahwa antara alam understanding (dzihni) dan alam external
(khariji) memiliki hubungan yang erat. Gambaran yang dimiliki oleh ilmu –
alam understanding (zihn) - tidak sekedar gambaran yang tidak memiliki
kenyataan. Apa saja dari gambaran yang ia tampung itu memiliki
kenyataan (realitas).Akan tetapi, para filosof yang lainnya memiliki
pendapat berbeda. Bagi mereka, hubungan antara alam understanding dan
external bukanlah hubungan gambar dengan objeknya. Untuk
memudahkan kita memahami pendapat ini ada satu pendekatan yang
sangat mudah untuk kita cerna bersama. Ketika kita menggambar kuda di
atas kanvas, apa yang ada di atas kanvas tersebut ingin memberikan
pesan kepada kita bahwa gambar tersebut memiliki objek dan ia adalah
kuda yang ada di alam realitas: bernafas, makan, minum, berjalan, dll.
Ini salah satu dari bahasan yang terdapat dalam filsafat Islam
tentang ilmu. Oleh karna itu, alangkah baiknya kalau kita gambarkan
beberapa masalah secara universal tentang ilmu baik dari sisi ontologis
ataupun epistemilogis, walaupun pada akhirnya, kajian ini hanya
difokuskan pada bahasan kedua (epistemologi)
Sumber-Sumber Ilmu
Ilmu manusia tersusun dari hal-hal yang sederhana. Contohnya,
kalau kita hendak mengetahui manusia, maka kita terlebih dahulu harus
mengetahui definisi manusia sehingga kita dapat membedakan antara
manusia dari yang lainnya. Pengetahuan kita tentang manusia tersusun
dari beberapa hal-hal yang simple yaitu bahwa manusia itu berpikir,
berbadan, dan perasa. Akan tetapi, yang menjadi objek kajian para filosof
Islam ialah: dari manakah manusia mendapatkan ilmu-ilmu simple
tersebut? Dengan metode atau perangkat apakah manusia mendapatkan
ilmu-ilmu simple tersebut? Dari sinilah munculnya perbedaan antara filosof-
filosof dari zaman Yunani sampai sekarang: antara Plato dan Aristoteles,
antara Avessina dan Syuhrawardi, antara kaum paripatetik dan intuitivis,
serta antara rasionalis dan empiris.

Batasan Ilmu
Sebelum kita memasuki bagian kedua dalam rangkaian
pembahasan tentang ilmu, alangkah baiknya kalau kita awali bahasan ini
pada kepercayaan dan penerimaan tentang realitas alam karena ini adalah
sebuah pijakan mendasar dalam segala macam pembahasan yang ada di
alam jagad raya ini khususnya dalam kajian ini.Tidaklah mungkin bagi kita
untuk memulai segala macam aktivitas, baik aktivitas berfikir ataupun hal-
hal yang bersifat praktis, tanpa berlandaskan atau berpijak pada kenyataan
realitas alam, bahwa di alam ini, ada sesuatu yang membuat kita terobsesi
untuk mengetahui ataupun mendapatkannya. Kajian seperti ini murni
ontologis karena pembahasan tentang keberadaan bukanlah representasi
dari sesuatu itu.
Kita akan kembali sejenak melihat masa lalu perjalanan pemikiran
manusia di alam ini. Pada zaman dulu, Yunani adalah pusat peradaban
manusia. Dari situlah bermulanya tradisi berpikir. Muncul beberapa aliran
yang menyatakan bahwa manusia tidak mungkin akan berhasil
mendapatkan kebenaran, atau bahwa manusia adalah tolok ukur benar
dan salah. Semua bergantung persepsi manusia terhadap sesuatu. Jika
sesuatu itu menurut A benar, belum tentu bagi B juga benar.
Sampai pada akhirnya, muncullah Socrates yang membawa obor
kebenaran berkaitan dengan tradisi berpikir ini (walaupun pada akhirnya
harus meminum racun sebagai akibat dari "ulah"nya). Usaha keilmuannya
itu kemudian diteruskan oleh Plato dan dikembangkan oleh Aristoteles
sehingga tersusunlah logika aristotelian. Kemudian, bergantilah zaman.
Muncullah generasi muda yang menganut paham ragu. Mereka meragukan
segala yang pernah dirintis oleh generasi sebelum mereka. Mereka
skeptis.
Paham skeptisisme ini, pertama kali dicetuskan oleh Protagoras
(485-410 SM) Dia berpendapat bahwa persepsi manusia adalah tolok ukur
benar dan salah. Kemudian, paham ini dikembangkan secara ekstrim oleh
Georgias(483-375 SM) yang berpendapat bahwa hakikat itu tidak ada.
Kalaupun ada, tidak mungkin bagi manusia untuk mengetahuinya.
Kalaupun bisa untuk diketahui, hakikat itu tidak dapat ditransfer kepada
yang lainnya (tak dapat dipahamkan kepada yang lainnya.)
Jika kita amati secara seksama, kita dapat memberikan beberapa
asumsi dari pernyataan-pernyatan mereka itu. Pertama, mereka
melontarkan pernyataan-pernyataan tersebut demi kepentingan politik
pada zamannya. Kedua, mereka ingin meletakkan manusia pada derajat
terendah (artinya. Ini adalah satu penghinaan terhadap manusia). Ketiga,
mereka hanya sekadar “bermain-main” dengan bahasa. Dengan demikian
segala macam tolok ukur etika, agama, politik, dan kebenaran akan rubuh.
Akibatnya, segala macam bentuk pelanggaran-pelanggaran etika, agama,
dan politik dapat dibenarkan dengan justifikasi-justifikasi mereka. Pada
akhirnya, tidak akan tersisa tempat bagi kebenaran absolut. Statement
dalam paham skeptisme --atau diistilahkan dengan sophistika-- yaitu “tidak
ada pengetahuan absolut yang dapat diyakini oleh manusia” dapat kita teliti
secara seksama, sebagaimana akan kami uraikan berikut ini.
 Kritik Terhadap Paham Sophistika
Ada beberapa premis yang harus kita pahami sebelum kita
mengkitik paham ini, yaitu sebagai berikut.
1. 1.       Dengan melihat kembali sejarah munculnya paham ini,
kita dapat memahami apa yang diinginkan oleh penganut paham ini dan
latar belakang apakah yang menjadikan mereka berpaham demikian.
Kemampuan beretorika di dalam pengadilan yang dapat “mengubah” dan
memenangkan kesalahan. Tentu, ini semua mereka dapatkan dengan
membuat beberapa pengelabuan dan pembohongan terhadap manusia
awam ataupun orang-orang yang berkepentingan politik di zamannya.
Salah satu cara yang mereka gunakan untuk mengelabui orang awam
adalah dengan bahasa yang diputarbalikkan. Contohnya, pernyataan
seperti: Aghre mencintai isterinya, begitu pula Agreei. Dalam kalimat ini
dapat kita temukan dengan jelas penyamaran bahasa karena kalimat
tersebut bisa menimbulkan pemahaman beragam. Pemahaman yang
mungkin muncul adalah: 1) Aghre mencintai isterinya begitu pula Agreei
mencintai isteri Aghre. 2) Aghre mencintai istrinya dan Agreei mencintai
isterinya sendiri. 3) Aghre mencintai Agreei. Dengan menciptakan
pemahaman yang beragam dari statement tersebut, mereka dapat
menyatakan bahwa tidak kebenaran absolut bagi manusia. Alasannya,
manusia untuk dapat memahami pikiran orang lainnya menggunakan alat
berupa huruf-huruf yang tersusun menjadi kata-kata, dan kata-kata
tersebut tersusun menjadi bahasa. Sementara itu, bahasa dapat dipahami
secara beragam dan bergantung terhadap asumsi masing-masing individu.
Akibatnya, kebenaran pun mengalami hal yang sama.
Jika kita memfokuskan kritikan pada masalah bahasa maka dapat
kita sodorkan beberapa kritik, yaitu sebagai berikut.
a. Di dalam bahasa juga terdapat beberapa aturan yang harus
dijaga oleh penggunanya. Bila aturan ini tidak dijaga, akan terjadi
kesalahpahaman audien.
b. Realitas yang ada di hadapan kita tak dapat diubah dengan
hanya menggunakan bahasa. Contohnya, bila kita memiliki pengetahuan
bahwa api itu panas dan membakar maka siapapun tak akan dapat
mengubahnya dengan bahasa sehingga kita dapat meyakini bahwa api itu
dingin dan tak membakar.
Ada sebuah anekdot dalam hal ini. Dahulu kala, hidup seorang
bernama Juha. Ia datang ke suatu perkampungan dan membohongi
penduduk setempat dengan mengatakan bahwa di kampung A sedang
dibagikan makanan secara gratis. Akibatnya, seluruh penduduk tadi
berbondong-bondong meninggalkannya menuju kampung yang ia
sebutkan. Melihat kenyataan demikan, dia pun akhirnya beranggapan
bahwa apa yang ia katakan ada kemungkinan benarnya. Lalu, ia pun
berangkat menuju ke kampung tersebut.
Anekdot tersebut terlihat pas untuk menggambarkan kaum
sophis. Mereka menyebarluaskan paham “tidak ada kebenaran absolut
yang dapat diyakini oleh manusia” dengan kemampuan retorika mereka.
Awalnya, paham ini disebarluarkan untuk sekedar untuk mencari sesuap
makanan di pengadilan dan untuk kepentingan politik. Namun akhirnya,
ketika masyarakat awam meyakininya, mereka pun ikut meyakininya.
Kita dapat mengajukan kritik terhadap pendapat mereka dari
sudut pandang lainnya yang lebih logis. Setiap manusia selalu merasakan
adanya kebutuhan terhadap suatu objek (misalnya, kebutuhan terhadap
makanan) di dalam kehidupannya sehari-hari. Dari situlah ia merasa
dirinya ada dan objeknya itu pun ada. Manusia dapat saja mengatakan
bahwa dirinya mengingkari keberadaan realitas secara mutlak, tetapi itu
semua hanya sebatas verbal (kata-kata), bukan satu keyakinan yang ada
pada lubuk hati ataupun akal budinya. Hal ini disebabkan segala macam
bentuk pengingkaran terhadap realitas secara mutlak adalah keyakinan
pada keberadaan realitas itu sendiri. Paling sedikit, ia telah menyadari
bahwa dirinya yang telah mengingkari realitas. Artinya, tanpa disadarinya,
dia telah meyakini adanya dua hal. Pertama, dirinya sendiri. Kedua, realitas
yang akan ia ingkari (walaupun realitas itu dalam bentuk sebuah gambaran
yang ada di akal budi).
Statement kaum sophis juga bisa kita kritik dengan cara
mengajukan pertanyaan "Apakah statemen itu absolut atau tidak?" Terlihat
di sini, ada kontradiktif yang terjadi. Jika jawabannya tidak, berarti masih
dimungkinkan bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang
absolut. Jika jawabannya ya, paling tidak mereka telah meyakini satu hal
yang absolut yaitu statement tersebut. Hal ini tentu bertentangan dengan
statement mereka sendiri karena dengan demikian telah terealisasi satu
pengetahuan yang “absolut” dan “benar” menurut mereka.
2. 2.       Oleh karenanya, terlebih dahulu kita harus mempercayai
ataupun mengimani adanya realitas sehingga kajian dari pembahasan ini
lebih terarah. Semakin kita berbicara tentang realitas semakin kuat pula
keimanan kita terhadapnya. Ini semua dikarenakan keberadaan realitas
adalah hal yang sangat apriori. Para filosof Islam, seperti
AllamahThabathabai, Molla Hadi Sabzawari, dan Molla Shadro dalam
karya-karya mereka selalu memulai kajian dengan pembahasan tentang
adanya realitas (wujud / being) sebelum membahas yang lainnya. Hal ini
disebabkan penerimaan terhadap realitas adalah kunci dan modal bagi
bahasan yang lainnya.
 
Pada makalah kami ini, bahasan tidak dimulai dengan kajian
tentang realitas (wujud) dengan anggapan bahwa kita bukanlah kaum
sophis. Oleh karena itu, kita langsung masuk pada permasalahan
epistemologi yang merupakan satu bagian dari realita tersebut.

Pandangan Filosof Muslim


Sebagai pengantar dari pembahasan ini telah kita singgung
bahwa kajian tentang epistemologi dalam Islam tidak tersusun secara rapi,
bahkan “berserakan”dalam beberapa kajian filsafat. Oleh karena itu,
seyogyanya kita telaah secara sekilas beberapa kajian tersebut agar kita
mendapatkan pandangan yang universal terhadap bahasan ini. Beberapa
pandangan umum terhadap kajian epistemologi di dalam literatur Islam
antara lain sebagai berikut.
1. 1.       Pembahasan Filosofis Berkenaan dengan Kategori
Realitas di alam ini oleh para filosof dibagi-bagi dalam beberapa
kategori. Misalnya, manusia dan hewan dikategorikan sebagai makhluk
hidup. Makhluk hidup dan makhluk tak hidup dikategorikan sebagai materi.
Materi dan non materi dikategorikan sebagai substansi. Substansi inilah
yang menempati kategori tertinggi (jins 'aly). Artinya, realitas di alam ini
terbagi-bagi menjadi beberapa jins 'aly, antara lain, substansi, kualitas,
madah (bahan materi), dan shurah (bentuk)
Dalam makalah ini akan dibahas kategori kaif (kualitas). Kaif ini
dibagi menjadi empat bagian: kaif mahsus (kualitas yang dapat diindera),
kaif nafsani (kualitas yang ada pada jiwa), kaif khusus yang berhubungan
dengan kuantitas dan kaif isti'dadi (kualitas potensial).Untuk kaif nafsani,
mereka menyebutkan beberapa contoh antara lain: keinginan, rasa sakit,
kehendak, dll. Mereka meletakkan ilmu sebagai bagian dari kaif nafsani.
Ilmu yang masuk dalam bagian kaif nafsani tersebut adalah ilmu hushuli.
Oleh karena itu, ilmu hushuli adalah sifat (aksidental) bagi jiwa (nafs).
Dalam pembahasan kategori, para filosof melihat dan meninjau
ilmu dari kaca mata ontology. Jadi, salah satu dari sisi ilmu adalah sifat
ontologisnya. Dari sudut pandang ini, mereka melihat ilmu sebagai salah
satu fenomena yang ada dan nyata. Tapi, yang masih sering menjadi
bahan pertanyaan adalah hal yang berkaitan dengan hakekat dan esensi
ilmu tersebut. Kadang-kadang, seseorang mengetahui sesuatu ada di
pikirannya sebagai fenomena yang ada di dalam dirinya. Akan tetapi,
belum jelas baginya hakekat dan esensinya. Contohnya, kita telah
mengetahui warna merah. Akan tetapi, pertanyaan yang mengarah kepada
kita ialah apakah esensi dari warna merah itu?Apakah ia bersifat
aksidensial ataukah subtansial? Apakah keberadaannya independen
ataukah tidak? Berkaitan dengan pertanyaan yang mengarah pada hakekat
dan esensi ilmu tadi, para filosof menjawab bahwa keberadaan ilmu bahwa
bagian dari masalah aksidental bukan subtansial. Dengan kata lain, ilmu
dikategorikan ke dalam kaif nafsani.
2. 2.       Kesatuan Subjek dan Objek
Masalah kesatuan objek dan subjek pengetahuan adalah salah
satu kajian filosofis yang pada awalnya dimunculkan oleh Fakhr Al-Razi.
Akan tetapi, kajian ini mengalami perkembangan yang cukup pesat pada
zaman Mulla Shadra. Dalam kitab monumentalnya, "Al-Asfar Al-Arba'ah",
beliau menjelaskannya secara terperinci masalah-masalah yang
berhubungan dengan tingkatan-tingkatan ilmu, pembagian ilmu kepada
intuitif knowledge dan empirical, serta pembahasan tentang kesatuan objek
dan subjek pengetahuan.
3. 3.       Wujud Dzihni (Wujud yang Ada di Dalam Pikiran)
Masalah wujud dzihni ini menjadi pembeda signifikan antara
filosof dengan teolog (mutakallimin). Para teolog mengingkari masalah ini
dengan memaparkan pendapat yang bertentangan dengan pendapat para
filosof. Mereka memunculkan pandangan “idhafah” ataupun “syabah”.
Menurut para filosof, pengingkaran terhadap masalah wujud dzihni ini akan
menjadikan manusia sophistik. Yang menghubungkan antara
understanding dan external hanyalah esensi. Bila ini diingkari maka tidak
akan ada hubungan apapun di antara keduanya. Akibatnya, muncullah
sophistika.
4. 4.       Salah satu dari masalah-masalah yang berhubungan
dengan masalah understanding dan external adalah tolok ukur benar dan
salah. Agar ilmu kita benar harus memiliki tolok ukur yang jelas.
Dengannya, kita bisa terlepas dari belenggu sophistika. Dari pembahasan
ini, bercabang beberapa pembahasan, yaitu a) makna hakekat (truth), b)
definisi kesamaan dengan hakekat --dengan kata lain, teori kesamaan
dengan hakekat ( the correspondence theory of truth)-- dan c) pembahasan
tentang letak tolok ukur tersebut; apakah hanya sekedar permainan
bahasa, permainan akal budi manusia ataukah memang benar-benar ada.
Pembahasan ini dikenal dengan pembahasan state of affairs (nafs al-amr).
Masalah ke-4 ini sangat penting bagi kita sebagai orang yang
beragama.Kita dituntut mencari kebenaran agama kita. Untuk itu, kita
harus mempertanyakan di mana tolok ukur kebenaran agama, sebatas
manakah asas-asas agama mengenai state of affairs, ataukah agama
hanyalah buatan manusia yang sama sekali tidak memiliki tolok ukur
kebenaran dan hakekat. Sebagai manusia yang berpikir, kita tidak boleh
mendiamkan masalah ini berjalan begitu saja tanpa penyelesaian. Kajian
terakhir ini disebut dengan epistemologi agama dan di dalamnya juga
dibahas tentang dasar-dasar epistemologi agama. Ketika kita dapat
membuktikan kebenaran agama maka dari situlah kita dapat
membicarakan tentang pluralisme agama: apakah pluralisme agama itu
benar ataukah tidak; di manakah letak benar dan salahnya pluralisme
agama; sebatas manakah pluralisme agama menyentuh state of affairs
atau sama sekali tidak memiliki hubungan dengannya; dan selanjutnya.
5. 5.       Setelah kita selesai melakukan kritik terhadap sophistika
dan telah kita buktikan kesalahan paham ini, kita akan memasuki
permasalahan baru, yaitu batasan kemampuan akal budi manusia. Kita
berpijak pada satu dasar yang pasti bahwa, di dalam diri manusia ada
kecondongan dan keinginan rasa tahu terhadap sesuatu. Tetapi, apakah ia
mampu untuk mengetahui segala macam yang ia inginkan ataukah tidak.
Dari sinilah muncul beragam pandangan mengenai hal tersebut. Dengan
kata lain, apakah manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui apa
saja yang ia inginkan ataukah tidak. Sebagian dari para filosof berpendapat
bahwa kemampuan manusia hanya terbatas pada hal-hal material yang
dapat ia indra dan bahasan metafisik keluar dari kemampuannya. Kaum
gnostic berpendapat bahwa di alam ini ada hakekat yang akal budi
manusia tidak akan sampai padanya. Para filosof muslim meyakini bahwa
akal budi manusia mampu mengetahui hal-hal fisik ataupun metafisik, akan
tetapi ketika berhadapan dengan masalah zat Tuhan mereka berhenti dan
diam.
Dari beberapa pendapat yang ada di atas, ada pesan yang
tersirat, yaitu bahwa ilmu manusia terbatas. “Satu dasar” tersebut adalah
pijakan kita untuk memasuki ke dalam pembahasan-pembahsan
selanjutnya. Dan jika kita ingin mengaji dan menggali dasar tersebut, kita
akan berhenti pada satu permasalahan baru yaitu intuitiv knowledge (ilmu
hudhuri). Oleh karena itu, penolakan terhadap realita seperti yang
dilakukan sophistika sama sekali tidak benar dan keluar dari batas-batas
akal karena pijakan kita adalah hal-hal yang kita rasakan di dalam diri kita.

   
 

Anda mungkin juga menyukai