Epistemologi Islam
Epistemologi Islam
Batasan Ilmu
Sebelum kita memasuki bagian kedua dalam rangkaian
pembahasan tentang ilmu, alangkah baiknya kalau kita awali bahasan ini
pada kepercayaan dan penerimaan tentang realitas alam karena ini adalah
sebuah pijakan mendasar dalam segala macam pembahasan yang ada di
alam jagad raya ini khususnya dalam kajian ini.Tidaklah mungkin bagi kita
untuk memulai segala macam aktivitas, baik aktivitas berfikir ataupun hal-
hal yang bersifat praktis, tanpa berlandaskan atau berpijak pada kenyataan
realitas alam, bahwa di alam ini, ada sesuatu yang membuat kita terobsesi
untuk mengetahui ataupun mendapatkannya. Kajian seperti ini murni
ontologis karena pembahasan tentang keberadaan bukanlah representasi
dari sesuatu itu.
Kita akan kembali sejenak melihat masa lalu perjalanan pemikiran
manusia di alam ini. Pada zaman dulu, Yunani adalah pusat peradaban
manusia. Dari situlah bermulanya tradisi berpikir. Muncul beberapa aliran
yang menyatakan bahwa manusia tidak mungkin akan berhasil
mendapatkan kebenaran, atau bahwa manusia adalah tolok ukur benar
dan salah. Semua bergantung persepsi manusia terhadap sesuatu. Jika
sesuatu itu menurut A benar, belum tentu bagi B juga benar.
Sampai pada akhirnya, muncullah Socrates yang membawa obor
kebenaran berkaitan dengan tradisi berpikir ini (walaupun pada akhirnya
harus meminum racun sebagai akibat dari "ulah"nya). Usaha keilmuannya
itu kemudian diteruskan oleh Plato dan dikembangkan oleh Aristoteles
sehingga tersusunlah logika aristotelian. Kemudian, bergantilah zaman.
Muncullah generasi muda yang menganut paham ragu. Mereka meragukan
segala yang pernah dirintis oleh generasi sebelum mereka. Mereka
skeptis.
Paham skeptisisme ini, pertama kali dicetuskan oleh Protagoras
(485-410 SM) Dia berpendapat bahwa persepsi manusia adalah tolok ukur
benar dan salah. Kemudian, paham ini dikembangkan secara ekstrim oleh
Georgias(483-375 SM) yang berpendapat bahwa hakikat itu tidak ada.
Kalaupun ada, tidak mungkin bagi manusia untuk mengetahuinya.
Kalaupun bisa untuk diketahui, hakikat itu tidak dapat ditransfer kepada
yang lainnya (tak dapat dipahamkan kepada yang lainnya.)
Jika kita amati secara seksama, kita dapat memberikan beberapa
asumsi dari pernyataan-pernyatan mereka itu. Pertama, mereka
melontarkan pernyataan-pernyataan tersebut demi kepentingan politik
pada zamannya. Kedua, mereka ingin meletakkan manusia pada derajat
terendah (artinya. Ini adalah satu penghinaan terhadap manusia). Ketiga,
mereka hanya sekadar “bermain-main” dengan bahasa. Dengan demikian
segala macam tolok ukur etika, agama, politik, dan kebenaran akan rubuh.
Akibatnya, segala macam bentuk pelanggaran-pelanggaran etika, agama,
dan politik dapat dibenarkan dengan justifikasi-justifikasi mereka. Pada
akhirnya, tidak akan tersisa tempat bagi kebenaran absolut. Statement
dalam paham skeptisme --atau diistilahkan dengan sophistika-- yaitu “tidak
ada pengetahuan absolut yang dapat diyakini oleh manusia” dapat kita teliti
secara seksama, sebagaimana akan kami uraikan berikut ini.
Kritik Terhadap Paham Sophistika
Ada beberapa premis yang harus kita pahami sebelum kita
mengkitik paham ini, yaitu sebagai berikut.
1. 1. Dengan melihat kembali sejarah munculnya paham ini,
kita dapat memahami apa yang diinginkan oleh penganut paham ini dan
latar belakang apakah yang menjadikan mereka berpaham demikian.
Kemampuan beretorika di dalam pengadilan yang dapat “mengubah” dan
memenangkan kesalahan. Tentu, ini semua mereka dapatkan dengan
membuat beberapa pengelabuan dan pembohongan terhadap manusia
awam ataupun orang-orang yang berkepentingan politik di zamannya.
Salah satu cara yang mereka gunakan untuk mengelabui orang awam
adalah dengan bahasa yang diputarbalikkan. Contohnya, pernyataan
seperti: Aghre mencintai isterinya, begitu pula Agreei. Dalam kalimat ini
dapat kita temukan dengan jelas penyamaran bahasa karena kalimat
tersebut bisa menimbulkan pemahaman beragam. Pemahaman yang
mungkin muncul adalah: 1) Aghre mencintai isterinya begitu pula Agreei
mencintai isteri Aghre. 2) Aghre mencintai istrinya dan Agreei mencintai
isterinya sendiri. 3) Aghre mencintai Agreei. Dengan menciptakan
pemahaman yang beragam dari statement tersebut, mereka dapat
menyatakan bahwa tidak kebenaran absolut bagi manusia. Alasannya,
manusia untuk dapat memahami pikiran orang lainnya menggunakan alat
berupa huruf-huruf yang tersusun menjadi kata-kata, dan kata-kata
tersebut tersusun menjadi bahasa. Sementara itu, bahasa dapat dipahami
secara beragam dan bergantung terhadap asumsi masing-masing individu.
Akibatnya, kebenaran pun mengalami hal yang sama.
Jika kita memfokuskan kritikan pada masalah bahasa maka dapat
kita sodorkan beberapa kritik, yaitu sebagai berikut.
a. Di dalam bahasa juga terdapat beberapa aturan yang harus
dijaga oleh penggunanya. Bila aturan ini tidak dijaga, akan terjadi
kesalahpahaman audien.
b. Realitas yang ada di hadapan kita tak dapat diubah dengan
hanya menggunakan bahasa. Contohnya, bila kita memiliki pengetahuan
bahwa api itu panas dan membakar maka siapapun tak akan dapat
mengubahnya dengan bahasa sehingga kita dapat meyakini bahwa api itu
dingin dan tak membakar.
Ada sebuah anekdot dalam hal ini. Dahulu kala, hidup seorang
bernama Juha. Ia datang ke suatu perkampungan dan membohongi
penduduk setempat dengan mengatakan bahwa di kampung A sedang
dibagikan makanan secara gratis. Akibatnya, seluruh penduduk tadi
berbondong-bondong meninggalkannya menuju kampung yang ia
sebutkan. Melihat kenyataan demikan, dia pun akhirnya beranggapan
bahwa apa yang ia katakan ada kemungkinan benarnya. Lalu, ia pun
berangkat menuju ke kampung tersebut.
Anekdot tersebut terlihat pas untuk menggambarkan kaum
sophis. Mereka menyebarluaskan paham “tidak ada kebenaran absolut
yang dapat diyakini oleh manusia” dengan kemampuan retorika mereka.
Awalnya, paham ini disebarluarkan untuk sekedar untuk mencari sesuap
makanan di pengadilan dan untuk kepentingan politik. Namun akhirnya,
ketika masyarakat awam meyakininya, mereka pun ikut meyakininya.
Kita dapat mengajukan kritik terhadap pendapat mereka dari
sudut pandang lainnya yang lebih logis. Setiap manusia selalu merasakan
adanya kebutuhan terhadap suatu objek (misalnya, kebutuhan terhadap
makanan) di dalam kehidupannya sehari-hari. Dari situlah ia merasa
dirinya ada dan objeknya itu pun ada. Manusia dapat saja mengatakan
bahwa dirinya mengingkari keberadaan realitas secara mutlak, tetapi itu
semua hanya sebatas verbal (kata-kata), bukan satu keyakinan yang ada
pada lubuk hati ataupun akal budinya. Hal ini disebabkan segala macam
bentuk pengingkaran terhadap realitas secara mutlak adalah keyakinan
pada keberadaan realitas itu sendiri. Paling sedikit, ia telah menyadari
bahwa dirinya yang telah mengingkari realitas. Artinya, tanpa disadarinya,
dia telah meyakini adanya dua hal. Pertama, dirinya sendiri. Kedua, realitas
yang akan ia ingkari (walaupun realitas itu dalam bentuk sebuah gambaran
yang ada di akal budi).
Statement kaum sophis juga bisa kita kritik dengan cara
mengajukan pertanyaan "Apakah statemen itu absolut atau tidak?" Terlihat
di sini, ada kontradiktif yang terjadi. Jika jawabannya tidak, berarti masih
dimungkinkan bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang
absolut. Jika jawabannya ya, paling tidak mereka telah meyakini satu hal
yang absolut yaitu statement tersebut. Hal ini tentu bertentangan dengan
statement mereka sendiri karena dengan demikian telah terealisasi satu
pengetahuan yang “absolut” dan “benar” menurut mereka.
2. 2. Oleh karenanya, terlebih dahulu kita harus mempercayai
ataupun mengimani adanya realitas sehingga kajian dari pembahasan ini
lebih terarah. Semakin kita berbicara tentang realitas semakin kuat pula
keimanan kita terhadapnya. Ini semua dikarenakan keberadaan realitas
adalah hal yang sangat apriori. Para filosof Islam, seperti
AllamahThabathabai, Molla Hadi Sabzawari, dan Molla Shadro dalam
karya-karya mereka selalu memulai kajian dengan pembahasan tentang
adanya realitas (wujud / being) sebelum membahas yang lainnya. Hal ini
disebabkan penerimaan terhadap realitas adalah kunci dan modal bagi
bahasan yang lainnya.
Pada makalah kami ini, bahasan tidak dimulai dengan kajian
tentang realitas (wujud) dengan anggapan bahwa kita bukanlah kaum
sophis. Oleh karena itu, kita langsung masuk pada permasalahan
epistemologi yang merupakan satu bagian dari realita tersebut.