Anda di halaman 1dari 36

1

A. Judul: Analisis Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perjudian Di

Kota Jayapura.

B. Latar Belakang

Masalah kejahatan merupakan masalah yang abadi, selama manusia

mendiami bumi ini. Hal ini merupakan suatu kenyataan yang baru diterima

dalam kehidupan manusia. Adapun kejahatan yang terjadi adalah bermacam-

macam dan beraneka ragam. Secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk

tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan

masyarakat, dan melanggar hukum serta undang-undang pidana.

Seiring derasnya arus informasi, kecanggihan teknologi dan globalisasi,

masalah tindak pidana menempati posisi tersendiri yang lebih bersifat

spektakuler. Dalam menjalankan segala aspek kehidupan, akan ditemui

beberapa faktor yang mempunyai dampak pada pribadi masyarakat. Kurangnya

kesadaran masyarakat merupakan salah satu salah satu faktor utama timbulnya

tindak pidana disamping ada faktor lain yang mempengaruhi, misalnya watak,

tempramen, pendidikan, sosial undian, religi dan lingkungan, sehing dapat

menimbulkan tindak pidana.

Salah satu bentuk tindak pidak yang marak terjadi dalam masyarakat saat

ini adalah perjudian. Dewasa ini, berbagai macam dan bentuk perjudian sudah

demikian merebak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat

terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Bahkan sebagian

masyarakat sudah cenderung pesimis dan seolah-olah memandang perjudian

sebagai sesuatu hal wajar, sehingga tidak perlu lagi dipermasalahkan. Sehingga
2

yang terjadi di berbagai tempat sekarang ini banyak dibuka agen-agen judi

togel, poker, kyu-kyu dan judi-judi lainnya yang sebenarnya telah

memengaruhi dan menjadi kebiasaan buruk masyarakat.

Perjudian pada hakikatnya adalah perbuatan yang bertentangan dengan

norma agama, norma kesusilaan maupun norma hukum, serta membahayakan

bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Ditinjau dari

kepentingan nasional, penyelenggaraan perjudian mepunyai ekses yang

negative dan merugikan terhadap moral dan mental masyarakat, terutama

terhadap generasi muda.

Pengaruh buruk bisa sangat kejam, mulai dari pencurian sampai runtuhnya

sebuah tatanan rumah tangga sampai tatanan sosial masyarakat, sehingga

dipandang dari sudut pandang manapun judi sangat merugikan. Perjudian

merupakan salah satu penyakit masyarakat yang menunggal dengan kejahatan,

yang dalam proses sejarah dari generasi ke generasi ternyata tidak mudah di

berantas. Oleh karena itu perlu diupayakan agar masyarakat menjauhi

melakukan perjudian, perjudian terbatas pada lingkungan sekecil-kecilnya dan

terhindarnya ekses-ekses negatif yang lebih parah untuk akhirnya dapat

berhenti melakukan perjudian.

Salah satu bentuk perjudian yang mulai semakin marak di Indonesia dan

mulai memasuki seluruh tingkat elemen di masyarakat kita adalah perjudian

kartu. Dalam era global seperti sekarang ini, sulitnya pemberantasan perjudian

khususnya judi kartu kian membuat masyarakat menjadi resah.


3

Judi menggunakan kartu sebenarnya adalah salah satu jenis judi yang

paling banyak digemari. Judi menggunakan kartu ini termasuk salah satu jenis

perjudian yang mulai digemari di Indonesia, mulai dari kalangan bawah hingga

menengah ke atas menjadikan judi kartu ini sebagai sampingan dan hiburan

sehari-sehari. Jenis judi menggunakan kartu ini menggunakan modus yang

tergolong sangat sederhana dan bisa dibilang rahasia karena kartu biasanya

dimainkan di tempat-tempat tertutup dimana yang ada hanya orang yang

langsung turut serta melakukan perjudian.

Selain itu modus lain yang digunakan dalam permainan judi menggunakan

kartu ini yaitu dengan cara menggunakan internet. Namun judi menggunakan

kartu di internet dilakukan dengan cara membuat akun di situs khususnya judi

yang menggunakan kartu dan melakukan deposito di ATM-ATM tertentu pada

akun yang telah dibuat sebelumnya sesuai jumlah nominal yang diinginkan.

Dengan berbagai macam dan bentuk perjudian yang sudah begitu

demikian meluas dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat

terang-terangan maupun secara bersembunyi sembunyi, maka sebahagian

masyarakat sudah cenderung cuek dan seolah–olah memandang perjudian

sebagai suatu hal yang wajar, sehingga tidak perlu lagi dipermasalahkan dan

yang terjadi di berbagai tempat khususnya di Kota Jayapura, banyak terjadi

tindak pidana perjudian yang sebenarnya telah menyedot dana masyarakat

dalam jumlah cukup besar, pada bulan februari tahun 2018 dalam kurun waktu

satu minggu terdapat 28 orang yang ditangkap dan sudah ditetapkan sebagai

tersangka atas kasus perjudian, dimana 12 tersangka terjerat kasus perjudian


4

kupon putih, 5 tersangka atas kasus judi dadu, 6 tersangka terjerat kasus

perjudian domino, serta 4 tersangka lainnya terjerat kasus judi jenis joker. Dari

tangan para pelaku anggota kepolisian berhasil mengamankan barang bukti

berupa uang tunai senilai Rp.12,3 juta, dam barang bukti lainnya, kartu joker,

domino, kertaas rekapan togel, kalkulator, handphone, dan spanduk angka

togel. 28 tersangka ini merupakan bukti dalam menindaklanjuti pemberantasan

judi togel di kota Jayapura, dan akan menangkap siapa saja yang terlibat

langsung dalam semua jenis perjudia tanpa pandang umur tua ataupun muda

agar masyarakat kota Jayapura merasa takut dan khawatir untuk melakukan

tindak pidana/kejahatan perjudian ini.1 Sementara di sisi lain, memang ada

kesan aparat penegak hukum kurang serius dalam menangani masalah

perjudian ini.

Mengingat kembali bahwa negara kita ini adalah negara hukum yang

berdasarkan pancasila, maka sudah tentu kita menginginkan agar segala

tindakan dan perbutan harus didasarkan atas hukum yang berlaku atau ius

constitutum, maka perjudian juga harus diatur dengan undang-undang.

Dikatakan bahwa perjudian termasuk bidang hukum publik. Hal ini terbukti

dengan adanya pengaturan dalam buku ke dua KUHP sesuai dengan judul

“kejahatan‟ termuat dalam Pasal 303 dan Pasal 303 bis, dan yang dimaksud

dalam Pasal 303 bis adalah perjudian yang dilakukan di jalan umum, atau

tempat yang dapat dikunjungi oleh umum dan tidak ada izin dari pemerintah

setempat.

1
https://www.pasificpos.com/,27 Mei 2019.
5

Berdasarkan uraian di atas, maka masalah tindak pidana perjudian

dengan menggunakan kartu dipandang sangat menarik untuk dikaji sebagai

suatu karya ilmiah yang dalam hal ini penulis memilih judul “analisis putusan

pidana terhadap pelaku tindak pidana perjudian dengan menggunakan media

kartu”.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penerapan hukum pidana materil terhadap pelaku tindak

pidana perjudian dengan menggunakan kartu?

2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana

terhadap pelaku tindak pidana perjudian dengan menggunakan kartu?

D. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum pidana materil terhadap

pelaku tindak pidana perjudian dengan menggunakan kartu?

2. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam

menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana perjudian dengan

menggunakan kartu?

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Sebagai sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pidana

khususnya mengenai tindak pidana perjudian dengan menggunakan kartu.


6

Menambah bahan referensi bagi Civitas Akademika pada umumnya dan

bagi penulis sendiri pada khususnya.

2. Manfaat Praktis

Sebagai sumbangan pemikiran kepada pihak aparat penegak hukum,

khususnya dalam menangani kasus tindak pidana perjudian dengan

menggunakan kartu.

F. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan criminal

act atau a criminal offense, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut

dengan strafbaar feit artinya adalah perbuatan yang berkaitan dengan

kejahatan.

Van Hamel merumuskan strafbaar feit adalah “een wettelijk

omschreven menschelijke gedraging, onrechtmatig strafwaardig en aan

schuldtewijten” (suatu perbuatan manusia yang secara tegas diatur dalam

undang-undang, dilakukan secara melawan hukum, bernilai dapat

dipidana, dan dilakukan dengan suatu kesalahan yang menyebabkan

orangdapat dipidana).2

Sementara Moeljatno mendefinisikan tindak pidana atau yang sering

disebut juga dengan perbuatan pidana atau delik adalah: “Perbuatan yang

oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang

2
Basir Rohrohmana. Hukum Pidana Substantif di Indonesia. (Bandung: Logoz Publishing,
2014), hlm.74.
7

siapa yang melanggar larangan tersebut, dinamakan perbuatan pidana atau

tindak pidana”.3

Menurut wujudnya atau sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana ini

adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan

ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau

menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang

dianggap baik dan adil.4

Perbuatan pidana ini sehari-hari juga disebut dengan “kejahatan”

sedangkan perbuatan-perbuatan jahat lainnya yang tidak ditentukan oleh

peraturan perundang-undangan sebagai perbuatan yang dilarang dan

diancam dengan pidana juga sehari-hari disebut dengan kejahatan, maka

istilah kejahatan tidak dapat digunakan begitu saja dalam hukum pidana.

Yang menjadi pusat perhatian dalam hukum pidana adalah

Kejahatan. Tetapi batas-batas kejahatan pada umumnya tidak sama dengan

kejahatan dalam hukum pidana, dan selanjutnya kejahatan dalam arti

hukum pidana ini batas-batasnya juga tidak sama dengan perbuatan

pidana. Kejahatan dalam hukum pidana adalah perbuatatan pidana yang

pada pokoknya diatur dalam Buku ke-II Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) dan dalam aturan-aturan lain di luar KUHP yang

dinyatakan di dalamnya itu sebagai kejahatan.

Perbuatan pidana adalah lebih luas dari kejahatan yang disebut diatas

ini, karena juga meliputi pelanggaran-pelanggaran, yaitu perbuatan pidana


3
Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana. (Jakarta: Aksara Baru,
1981), hlm. 13.
4
Ibid.
8

yang diatur dalam KUHP Buku ke-III dan di luar KUHP (dinyatakan

dalam tiap-tiap peraturan tersebut sebagai pelanggaran).

Suatu peraturan hanya dapat diterapkan terhadap tingkah laku

manusia. Seringkali suatu tingkah laku manusia hanya baru dilarang dan

diancam dengan pidana, jika keadaan tertentu menjadi suatu kenyataan.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Dari rumusan tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP, maka

dapat diketahui adanya 2 (dua) unsur tindak pidana yaitu unsur subyektif

dan unsur obyektif:

a. Unsur subyektif atau yang berkaitan dengan si pelaku dan keadaan


jiwanya5

Dari segi subyektif atau segi kesalahan (schuldzijde) peristiwa

pidana adalah bahwa akibat yang tidak diingini undang-undang, yang

dilakukan oleh pelaku, dan dapat diberatkan padanya. Karena itu maka

tidak dapat dihukum, mereka yang melakukan perbuatan yang tidak

dapat diberatkan padanya, karena otak lemah atau karena akalnya

terganggu, misalnya orang gila. Banyak orang berpendapat, bahwa

kemerdekaan kehendak adalah syarat yang perlu untuk adanya

kesalahan (schuld). Mereka memangdang kesalahan dan hukuman itu

tak dapat berhimpit dengan ajaran “determinisme”.6

Determinisme mengajarkan bahwa manusia membentuk

kehendaknya tidak dengan bebas, sebaliknya bahwa kehendak itu sudah

5
J.M. van Bemmelen. Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Materail Bagian Umum. (Bandung:
Binacipta, 1984), hlm.108.
6
L.J.van Apeldoorn. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Pradya Paramita, 1973), hlm. 339.
9

tertentukan terlebih dahulu, yakni ditentukan oleh faktor lahir dan batin:

alam sekitar (milieu), bakatnya, wataknya dan sebagainya. Dengan

perkataan lain, kehendak manusiapun tunduk kepada hukum causaliteit

(hukum sebab dan akibat). Manusia tak dapat memilih tentang apa yang

dikehendakinya.7

Bahwa untuk tindak pidana sebagai unsur pokok harus ada suatu

akibat tertentu dari perbuatan si pelaku berupa kerugian atas kepentingan

orang lain, menandakan keharusan ada hubungan sebab-akibat (causal

verband) antara perbuatan si pelaku dan kerugian kepentingan tersebut.8

Unsur Tindak Pidana subyektif terdiri dari:

1) Kesengajaan atau Dolus

Sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan

perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-

undang.9

Berkaitan dengan kesengajaan, maka dalam hukum pidana

terdapat tiga corak kesengajaan melakukan delik, yaitu:

a) Sengaja sebagai maksud (opzed als oogmerk)

Sengaja sebagai maksud adalah sengaja yang bercorak

paling sederhana, yaitu perbuatan dan akibat seperti yang

dikehendaki atau yang dibayangkan oleh pembuat delik

7
Ibid.
8
Wirjono Prodjodikoro. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. (Bandung: Eresco, 1979), hlm.
52.
9
Mr.J.M. van Bemmelen, Op. Cit, hlm.113.
10

(terdakwa). Perbuatan pembuat delik bertujuan menimbulkan

akibat yang dilarang.10

Ini lebih nampak, apabila dikemukakan, bahwa dengan

adanya kesengajaan sebagai maksud ini, dapat dikatakan si

pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi

pokok alasan diadakannya ancaman hukum pidana (constitutief

gevolg).11

b) Sengaja sadar akan kepastian atau keharusan (opzet bij


zekerheids-bewustzijn)

Sengaja bercorak kepastian atau keharusan adalah sengaja

melakukan delik yang dapat diketahui dan dibayangkan meski

tidak dikehendaki ada akibat lain yang menyertai tindakan

pembuat delik.12

Menurut Van Hattum kepastian dalam kesengajaan

semacam ini harus diartikan secara relatief, oleh karena secara

ilmu pasti tidak mungkin ada kepastian mutlak. Van Hattum

menyebutkan bahwa kepastain ialah suatu kemungkinan yang

amat besar sedemikian rupa, bahwa seorang manusia biasa

menganggap ada kepastian tetapi tidak ada kemungkinan

besar.13

c) Sengaja sadar akan kemungkinan (opzet bij moogelijk-


bewustzijn)

10
Basir Rohrohmana, Op. Cit, hlm.104.
11
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hlm.56.
12
Basir Rohrohmana, Op. Cit, hlm.105.
13
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hlm.58.
11

Corak kesengajaan melakukan delik yang ketiga adalah

sengaja sadar akan kemungkinan, atau sering disebut dolus

eventualis. Penjelasan terhadap corak kesengajaan yang ketiga

ini di dalam hukum pidana terkenal dengan teori Inkauf

Nehmen.14

Mengenai Inkauf Nehmen, Zainal Abidin

menerjemahkannya sebgai teori apa boleh buat, sebab resiko

yang diketahui kemungkinan adanya itu (resiko) yang sungguh-

sungguh timbul, disamping hal yang dimaksud apa boleh buat

pembuat delik berani memikul resiko yang tidak dikehendaki.

Zainal Abidin mengajukan dua syarat bagi kelengkapan teori

Inkauf Nehmen, yaitu:

1) Terdakwa (pembuat delik) mengetahui kemungkinan adanya

akibat atau keadaan yang merupakan delik.

2) Sikapnya terhadap kemungkinan itu andaikata sungguh

timbul akibat, ialah apa boleh buat, dapat disetujui dan

berani mengambil resiko. Intinya bahwa keadaan tertentu

yang kemungkinan dipikirkan atau dibayangkan terjadi dan

memang terjadi.15

2) Kealpaan atau Culpa

Kealpaan merupakan kebalikan dari kesengajaan melakukan

tindak pidana. Jika dalam kesengajaan sesuatu akibat yang timbul

14
Basir Rohrohmana, Loc.Cit.
15
Basir Rohrohmana, Op. Cit., hlm.106.
12

merupakan dari kehendak pelaku, maka dalam kealpaan suatu akibat

yang timbul dan tidak dikehendaki pelaku walaupun pelaku dapat

memperkirakan sebelumnya.

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan bahwa yang dimaksud

dengan culpa ialah kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu

pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam

kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti

kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak

disengaja terjadi.16

Culpa terbagi menjadi dua, yaitu culpa lata (kelalaian yang besar

atau kesalahan yang berat) dan culpa lepis (Kelalaian yang

sedemikian ringannya sehingga tidak menyebabkan seseorang dapat

dipidana).

Di dalam culpa lata sendiri terbagi dua yaitu culpa lata disadari

dan culpa lata tak disadari. Pembagian culpa lata ini sebetulnya

terdapat dalam Pasal 7 ayat (3) Criminal Code of Yugoslavia,17 yaitu:

a) Culpa lata disadari adalah bilamana pembuat delik menyadari

bahwa dari tindakannya dapat mewujudkan suatu akibat yang

dilarang oleh undang-undang, tetapi dia beranggapan secara

keliru bahwa akibat itu tidak akan terjadi atau ia mampu

untuk mencegahnya.

16
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit, hlm.61.
17
Basir Rohrohmana, Op. Cit, hlm.109.
13

b) Culpa lata tak disadari adalah bilamana pembuat delik tidak

menyadari kemungkinan akan terwujudnya akibat, sedangkan

didalam keadaan ia berbuatoleh karena kualitas

pribadinyanya ia seharusnya dan dapat menyadari

kemungkinan itu.

3) Kemampuan Bertanggung Jawab (toerekeningsvarbaarheids)

KUHP tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab,

tetapi yang diatur justru kebalikannya yaitu ketidakmampuan

bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP).

Untuk adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat

bahwa pembuat harus mampu bertanggung jawab. Seseorang tidak

dapat dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggung

jawab.

Kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu

keadaan psychis sedemikian rupa, yang membenarkan adanya

penerapan suatu pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun

orangnya. Seseorang mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat.

Roeslan Saleh menyatakan bahwa orang mampu

bertanggungjawab apabila memenuhi 3 (tiga) syarat berikut:18

a) Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari

perbuatannya.

b) Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat

dipandang patut dalam pergaulan masyarakat.


18
Ibid, hlm.101.
14

c) Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam

melakukan perbuatan.

Ukuran sederhana yang dipakai adalah mengedepankan 2 (dua)

faktor utama, yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal bias

membedakan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan.

Kehendak bias disesuaikan dengan keinsyafan atau kesadaran

terhadap perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan

seseorang.19

4) Tidak Ada Dasar Pemaaf (schulduitsluitingsgrond)

Dasar pemaaf menjadi bagian penting dari oertanggungjawaban

pidana, itu sebabnya harus dipertimbangkan dalam menentukan

kesalahan pelaku (pembuat delik).

Dasar pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan

terdakwa. Yakni perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap

bersifat melawan hukun dan tetap merupakan perbuatan pidana akan

tetapi terdakwa tidak dipidana karena tidak ada kesalahan, jadi

terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum.

b. Unsur obyektif atau yang berkaitan dengan tingkah laku itu sendiri dan

dengan keadaan di dunia luar pada waktu perbuatan itu dilakukan.20

Dari segi obyektif, maka peristiwa pidana adalah suatu tindakan

(berbuat atau lalai berbuat) yang bertentangan dengan hukum positif

jadi yang bersifat tanpa hak yang menimbulkan akibat yang oleh

19
Ibid, hlm.102.
20
Mr.J.M. van Bemmelen, Op. Cit, hlm.108.
15

hukum dilarang dengan ancaman hukuman. Unsur yang perlu sekali

untuk peristiwa pidana (ditilik dari sudut obyektif) adalah sifat tanpa

hak (onrechtmatigheid), yakni sifat melanggar hukum. Dimana tak

terdapat unsur tanpa hak (onrechtmatigheid), tak ada peristiwa

pidana.21

Unsur Tindak Pidana obyektif terdiri dari:

1) Wujud Perbuatan

Perbuatan biasanya bersifat positif, tetapi juga dapat bersifat

negative yang menyebabkan pelanggaran pidana.

Zainal Abidin menjelaskan bahwa suatu delik dapat

diwujudtan dengan kelakuan aktif ataupun kelakuan pasif, sesuai

dengan uraian delik yang mensyaratkannya.22

2) Bersifat Melawan Hukum (onrechmatigedaad)

Syarat setiap delik ialah bahwa delik itu terjadi secara

melawan hukum, juga jika dalam rumusan delik tidak dimuat hal

melawan hukum itu. Perbuatan itu melawan hukum jika

bertentangan dengan undang-undang.

Pada beberapa norma hukum pidana, unsur “melawan hukum”

ini dituliskan tersendiri dengan tegas didalam suatu pasal, misalnya

Pasal 362 KUHP disebutkan “memiliki barang itu dengan melawan

hukum”. Sifat dapat dipidana artinya bahwa perbuatan itu harus

diancam dengan pidana, oleh suatunorma pidana tertentu.

21
L.J. van Apeldoorn, Op. Cit, hlm.338.
22
Basir Rohrohmana, Op. Cit, hlm.92.
16

Ada yang menyebutkan bahwa suatu perbuatan melawan

hukum adalah perbuatan yang dilarang untuk dipatuhi, atau

diperintahkan untuk tidak dilakukan seperti yang tercantum dalam

aturan pidana.23

Hukum Pidana membedakan sifat melawan hukum menjadi 2

(dua) macam, yaitu: 24

a) Melawan Hukum dalam arti formil

Arti perbuatan melawan hukum formil adalah unsur-unsur

yang bersifat konstitutif, yang ada dalam setiap rumusan delik

dalam aturan pidana tertulis, walaupun dalam kenyataannya

tidak dituliskan dengan tegas bersifat melawan hukum, atau

secara melawan hukum.

b) Melawan Hukum dalam arti materil

Arti perbuatan melawan hukum materil adalah unsur yang

berkaitan dengan asas culpabilitas (penentuan kesalahan

pembuat delik), atau nilai keadilan hukum yang ada dalam

masyarakat, dan tingkat kepatutan dan kewajaran.

3) Tidak Ada Dasar Pembenar (rechtsvaardigingsgrond, fait


justification)

Suatu perbuatan dikatakan sebagai telah terjadi delik apabila

dalam perbuatan itu tidak terkandung dasar pembenar. Yang

dimaksud dengan dasar pembenar adalah menghapuskan sifat

23
Basir Rohrohmana, Op. Cit, hlm.93.
24
Ibid, hlm.94.
17

melawan hukumnya perbuataan sehingga apa yang dilakukan oleh

terdakwa menjadi perbuatan yang patut dan benar.

Dalam KUHP terdapat beberapa jenis dasar pembenar, yaitu:

a) Daya Paksa Relatif (vis compulsive)

Jenis dasar pembenar ini sebagaimana diatur dalam Pasal

48 KUHP, artinya seseorang melakukan sesuatu perbuatan

karena pengaruh atau tekanan daya paksa yang sebenarnya

masih dapat ditahan, atau masih berwujud alternatif tindakan

tindak pidana.25

b) Pembelaan Terpaksa

Pembelaan terpaksa ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal

49 ayat (1) KUHP, yang menegaskan bahwa “tidak dapat

dipidana jika seseorang yang melakukan perbuatan yang

terpaksa dilakukan untuk membela diri sendiri atau orang lain;

terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda

sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.26

c) Melaksanakan Perintah Undang-undang

Alasan ini juga termasuk dasar pembenar, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 50 KUHP yang menegaskan bahwa

”barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan

ketentuan undang-undang tidak pidana.27

d) Melaksanakan Perintah Jabatan Berwenang


25
Ibid, hlm.96.
26
Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
27
Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
18

Alasan ini sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat

(1) KUHP, yang menegaskan bahwa “barangsiapa melakukan

perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan

oleh penguasa yang berwenang”.28

3. Pengertian Tindak Pidana Perjudian

Mula-mula di dalam KUHP ada 2 (dua) buah pasal yang memuat

tentang perjudian, yaitu Pasal 303 KUHP yang berupa kejahatan dan Pasal

542 KUHP yang berupa pelanggaran. Pidana yang diancamkan dalam

pasal-pasal itu ringan-ringan saja, yaitu masing-masing pidana penjara

selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya

sembilan puluh ribu rupiah, dan pidana kurungan sebanyak-banyaknya

tujuh ribu lima ratus rupiah.

Kemudian dalam ahun 1974 yaitu dengan undang-undang No. 7/1974,

hukum pertanggungan untuk perjudian di atas diperberat, perubahannya

sebagai berikut:

a. Ancaman pidana dalam Pasal 303 (1) KUHP diperberat menjadi

pidana penjara selama-lamanya sepuluh tahun atau denda

sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah.

b. Pasal 542 KUHP diangkat menjadi suatu kejahatan dan diganti

sebutan menjadi pasal 303 bis KUHP, sedangkan caman

pidananya pun diperberat yaitu :

1) Ayat (1) menjadi : pidana penjara selama-lamanya empat

tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah.


28
Pasal 51 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
19

2) Ayat (2) menjadi: pidana penjara selama-lamanya enam tahun

atau denda sebanyak-banyaknya lima belas juta rupiah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjudian adalah “Permainan

dengan memakai uang sebagai taruhan, dan berjudi adalah

mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan

berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau

harta yang lebih besar dari pada jumlah uang atau harta semula”.

Pasal 303 ayat (3) KUHP berbunyi “Yang disebut permainan judi

adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan

mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena

pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala

pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya

yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain,

demikian juga segala pertaruhan lainnya”.29

Lebih lanjud R. Soesilo mengemukakan bahwa30: Yang menjadi objek

disini adalah “permainan judi” dalam bahasa asingnya “Hazasdspel”.

Bukan semua permainan masuk Hazardspel.

Menurut ayat (3) dari pasal tersebut yang diartikan "hazardspel" yaitu

tidak hanya permainan hazard dalam arti kata yang sempit, tetapi dalam

arti kata yang luas. Dalam arti kata yang sempit permainan hazard adalah

segala permainan jika kalah menangnya orang dalam permainan itu tidak

29
Pasal 303 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
30
R. Soesilo, Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik Khusus, (Bogor:
Politeia, 1984), hlm.185.
20

tergantung kepada kecakapan, tetapi melulu hanya tergantung kepada

nasib baik dan nasib sial saja.

Dalam arti kata yang luas yang termasuk permainan hazard juga

segala permainan yang pada umumnya kemungkinan untuk menang

tergantung pada secara kebetulan atau nasib, biarpun kemungkinan untuk

menang itu bisa bertambah besar pula karena latihan atau kepandaian

pemain, atau secara lain dapat dikatakan, bahwa yang dinamakan

permainan hazard itu ialah suatu permainan jika kalah menangnya orang

dalam permainan itu tergantung kepada nasib dari umumnya para pemain

yang banyak.

Tidak diperhitungkan lagi, biarpun ada salah seorang di antara banyak

pemain itu yang harapannya untuk menang menjadi besar karena sudah

berlatih lama dan mempunyai pengalaman yang mendalam, artinya orang

yang satu ini tidak dijadika ukuran.

Pengertian lain dari judi, dapat dilihat dalam kamus istilah hukum

yang menyebutkan perjudian sebagai,”Hazardspel atau kata lain dari

kansspel, yaitu permainan judi, permainan untung-untungan yang dapat

dihukum berdasarkan peraturan yang ada”.

Judi itu sendiri merupakan suatu kegiatan pertaruhan untuk

memperoleh keuntungan dari hasil suatu pertandingan, permainan atau

kejadian yang hasilnya tidak dapat diduga sebelumnya (untung-untungan).

Pengertian judi sebenarnya merupakan pengertian yang selalu

berkembang dan berubah. Apa yang pada suatu ketika dipandang sebagai
21

perbuatan judi, pada waktu dan tempat yang lain mungkin dipandang

sebagai bukan perbuatan judi.31

4. Unsur-Unsur Tindak Pidana Perjudian

Dari pemaparan diatas mengenai perjudian, maka ada 3 unsur yang

harus terpenuhi agar suatu perbuatan dapat dikatan perjudian, ketiga unsur

tersebut adalah:

a. Permainan/perlomban

Permainan yang dilakukan biasanya berbentuk permainan atau

perlombaan. Perbuatan ini dilakukan semata-mata untuk bersenang-

senang atau kesibukan untuk mengisi waktu senggang guna menghibur

hati. Jadi padasarnya bersifat rekreatif namun disini para pelaku tidak

harus terlibat dalam permainan, karena boleh jadi mereka adalah

penonton atau orang yang ikut bertaruh terhadap jalannya sebuah

permainan atau perlombaan.

b. Untung-untungan

Untuk memenangkan perlobaan atau permainan, lebih banyak

digantungkan pada unsur spekulatif/kebetulan atau untung-untungan,

atau factor kemenangan yang diperoleh dikarenakan kebiasaan atau

kepintaran pemain yang sudah sangat terbiasa atau tertatih.

c. Ada Taruhan

Dalam permainan atau perlombaan ini ada taruhan atau

perlombaan ini ada taruhan yang dipasang oleh para pihak pemain atau

31
Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspektif Sosial, (Semarang: Alumni, 1981), hlm.99.
22

Bandar, baik dalam bentuk uang ataupun harta benda lainnya, Bahkan

istri pun dijadikan taruhan. Akibat adanya taruhan tersebut, maka tentu

saja ada pihak yang di untungkan dan ada pihak yang dirugikan. Unsur

ini merupakan unur yang paling utama untuk menentukan apakah

sebuah perbuatan dapat disebut perjudian atau bukan.

Dalam KUHP ada dua pasal yang mengatur tentang perjudian yaitu

Pasal 303 dan Pasal 303 bis. Sementara itu pembagian jenis perjudian

menurut KUHP, adalah :

a. Kejahatan menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain

judi, Kejahatan tersebut lebih lengkapnya dirumuskan dalam Pasal 303

KUHP32, adalah :

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau

pidana denda paling banyak Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta

rupiah), barang siapa tanpa mendapat izin:

Ke-1 Dengan sengaja menawarkan atau memberikan

kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya

sebagai pencaharian, atau dengan sengaja turut serta

dalam usaha itu.

Ke-2 Dengan sengaja menawarkan atau memberikan

kesempatan kepada Khalayak umum untuk bermain judi

atau dengan sengaja turut serta dalam usaha itu denga

tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan

adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata cara.


32
Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
23

Ke-3 Menjadikan turut serta dalam permainan judi sebagai

pencaharian.

(2) Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam

menjalankan pencahariannya, maka dapat dicabut haknya untuk

jalankan pencahariannya itu.

(3) Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, dimana

yang pada umumnya untuk mendapat untung bergantung pada

keberuntungan belaka, juga karena permainannya lebih terlatih

atau mahir. Disitu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan

perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan

antara mereka yang turut lomba atau bermain, demikian juga

segala pertaruhan lainnya.

Dalam rumusan Pasal 303 KUHP diatas memuat 5 kejahatan

mengenai perjudian yang terdapat dalam ayat (1) yaitu:

1) Dalam butir 1, memuat dua kejahatan;

2) Dalam butir 2, memuat dua kejahatan;

3) Dalam butir 3, memuat satu macam kejahatan;

Sedangkan dalam ayat (2) memuat tentang dasar pemberatan

pidana, dan ayat (3) memuat tentang pengertian judi yang terkandung

dalam ayat (1). Lima kejahatan yang tersebut di atas mengandung

unsur tanpa izin, dalam unsur tanpa izin inilah melekat unsur melawan

hukum kelima kejahatan diatas.


24

1) Kejahatan Pertama

Kejahatan ini dimuat dalam butir pertama, yaitu kejahatan

yang melarang yang tanpa izin dengan sengaja memberikan atau

menawarkan kesempatan untuk bermain judi dan menjadikannya

sebagai mata pencaharian. Dari uraian tersebut, maka unsur

kejahatan ini adalah

a) Unsur Objektif:

1. Perbuatannya: Menawarkan dan memberikan

kesempatan;

2. Objek: Untuk bermain judi tanpa izin;

3. Dijadikan sebagai mata pencaharian.

b) Unsur Subjektif:

Dalam kejahatan pertama ini, si pembuat tidak melakukan

perjudian. Dalam kejahatan ini tidak termuat larangan untuk

bermain judi, tetapi perbuatan yang dilarang adalah:

1. Menawarkan kesempatan bermain judi;

2. Memberikan kesempatan berjudi.

Menewarkan kesempatan disini berarti si pembuat

melakukan apa saja untuk mengundang atau mengajak orang-

orang untuk bermain judi, dengan menyediakan tempat atau

waktu tertentu. Dalam hal ini, belum ada orang yang melakukan

perjudian.
25

Sementara itu memberikan kesempatan berarti

menyediakan peluang dengan sebaik-baiknya dengan

menyediakan tempat tertentu untuk bermain judi. Dalam hal ini

sudah ada orang yang bermain judi.

Perbuatan menawarkan dan memberikan kesempatan

haruslah dijadikan sebagai pencaharian, artinya perbuatan itu

tidak dilakukan seketika melainkan berlangsung lama, dan dari

perbuatan itu pembuat mendapatkan uang yang dijadikan

sumber pendapatan untuk kehidupnnya.

Selain pencaharian dalam kejahatan pertama ini, juga harus

dibarengi dengan unsur tanpa izin dari instansi yang berwenang.

Tanpa adanya izin, berarti ada unsur melawan hukumnya.

2) Kejahatan Kedua

Kejahatan yang kedua yang juga di muat dalam butir I adalah

tanpa izin dengan sengaja turut serta dalam suatu kegiatan usaha

permainan judi. Dengan demikian terdiri dari unsur-unsur sebagai

berikut:

a) Unsur Objektif.

1. Perbuatannya: Turut serta;

2. Objek: dalam suatu kegiatan usaha permainan judi tanpa

izin.

b) Unsur Subjektif.
26

Pada kejahatan perjudian jenis ke 2 (dua) ini, perbuatannya

adalah turut serta, artinya dia ikut terlibat dalam usaha

permainan judi bersama orang lain. Seperti pada bentuk

pertama, dalam bentuk kedua ini juga memuat unsur dengan

sengaja, akan tetapi kesengajaan ini lebih kepada unsur

perbuatan turut serta dalam kegiatan usaha permainan judi,

artinya bahwa si pembuat menghendaki untuk melakukan

perbuatan turut serta dan didasarnya bahwa keturutsertaannya

itu adalah kegiatan permainan judi.

3) Kejahatan Ketiga.

Kejahatan perjudian bentuk ketiga ini adalah tanpa izin dengan

sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan kepada

khalayak umum untuk bermain judi. Unnsur-unsurnya adalah :

a) Unsur Objektif.

1. Perbuatan: menawarkan atau member kesempatan;

2. Objek: Kepada khalayak umum;

3. Untuk bermain judi tanpa izin.

b) Unsur Subjektif.

Kejahtan perjudian ketiga ini sangat mirip dengan

kejahatan perjudian bentuk pertama. Persamaannya adalah

unsur perbuatan, yaitu menawarkan atau memberikan

kesempatan untuk bermain judi.

Sementara perbedaannya adalah sebagai berikut:


27

1. Pada bentuk pertama, perbuatan menawarkan atau

memberikan kesempatan tidak disebutkan kepada siapa

ditujukan, bisa kepada seseorang atau beberapa orang,

sedangkan kepada khalayak umum, jadi tidak berlaku

kejahatan bentuk ketiga ini jika hanya ditujukan pada

seseorang atau beberapa orang saja.

2. Pada bentuk pertama, secara tegas disebutkan bahwa kedua

perbuatan itu dijadikan sebagai mata pencaharian,

sedangkan pada bentuk ketiga ini tidak terdapat unsur

pencaharian.

4) Kejahatan Keempat

Kejahatan perjudian bentuk keempat dalam pasal 303 ayat (1)

KUHP adalah larangan dengan sengaja turut serta dalam

menjalankan kegiatan usaha perjudian tanpa izin, dimana unsur-

unsurnya adalah sebagai berikut:

a. Unsur Objektif

1. Perbuatannya : Turut serta;

2. Objeknya : dalam kegiatan usaha permainan judi tanpa izin;

b. Unsur Subjektif

Bentuk keempat ini juga hampir sama dengan bentuk

kedua, perbedaanya terletak pada unsur turut sertanya. Pada

bentuk kedua, unsur turut serta ditujukan pada kegiatan usaha

perjudian sebagai mata pencaharian, sedangkan dalam bentuk


28

keempat ini, unsur turut ertanya ditujukan bukan untuk mata

pencaharian.

5) Kejahatan Kelima

Pada bentuk kelima ini juga terdapat unsur serta, namun serta

dalam bentuk kelima ini bukan lagi mengenai turut serta dalam

menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi,

melainkan turut serta dalam permainan judi itu sendiri.

Menggunakan kesempatan main judi yang diadakan dengan

melanggar pasal 303 KUHP.

Perjudian yang dimaksud di atas diatur dalam Pasal 303 bis,

ditambah dengan UU No.7 tahun 1974 yang rumusannya sebagai

berikut:

(1) Diancam dengan pidana penjara maksimum empat tahun atau

pidana denda maksimum sepuluh juta rupiah;

Ke-1 Barang siapa yang menggunakan kesempatan

sebagaimana tersebut dalam pasal 303, untuk bermain

judi.

Ke-2 Barang siapa yang turut serta bermain judi di jalan umum

atau disuatu tempat terbuka untuk umum, kecuali jika

untuk permainan judi tersebut telah diberi ijin oleh

penguasa yang berwenang.

(2) Jika ketika melakukan kejahatan itu belum lewat dua tahun

sejak pemidanaan yang dulu yang sudah menjadi tetap karena


29

salah satu kejahatan ini, ancamannya dapat menjadi pidana

penjara maksimum enam tahun, atau denda maksimum lima

belas juta rupiah.

Dalam pasal ini, terdapat dua jenis kejahatan tentang

perjudian, jenis kejahatan itu adalah:

a) Bentuk Pertama

Pada bentuk pertama terdapat unsur-unsur sebagai berikut:

1) Perbuatan: Bermain judi;

2) Dengan menggunkan kesempatan yang diadakan dengan

melanggar pasal 303 KUHP.

Kejahatan dalam pasal 303 bis, tidak berdiri sendiri,

melainkan bergantung pada terwujudnya Pasal 303 KUHP.

Tanpa terjadinya pelanggaran Pasal 303 KUHP, maka

pelanggaran Pasal 303 bis KUHP juga tidak ada.

b) Bentuk Kedua

Pada bentuk kedua ini unsur-unsurnya sebagai berikut:

1) Perbuatan: ikut serta bermain judi;

2) Tempatnya: Jalan umum, pinggir jalan, tempat yang dapat

dikunjungi umum;

3) Perjudian itu tanpa izin dari penguasa yang berwenang.

5. Jenis-jenis Tindak Pidana Perjudian

Secara garis besar, perjudian dibagi kedalam tiga jenis, yaitu :


30

a. Perjudian yang bukan merupakan tindak pidana kejahatan yang apabila

pelaksanaannya telah mendapat ijin terlebih dahulu dari pejabat yang

berwenang, contohnya seperti Casino dan Undian berhadiah yang

sudah berubah menjadi undian sosial berhadiah.

b. Perjudian yang merupakan tindak pidana kejahatan, apabila

pelaksanaannya tanpa mendapat ijin terlebih dahulu dari pejabat yang

berwenang, seperti main kartu. Bentuk permainan ini sifatnya yaitu

mencari siapa yang lebih mahir memainkan kartu tersebut setiap satu

putaran permainan serta sifanya juga hanya untung-untungan saja

karena pemain hanya bergantung pada kartu yang diterima setiap satu

putaran permainan kartu

c. Perjuadian yang dikaitkan dengan kebiasaan Perjudian dalam bentuk

ketiga ini terdiri dari apa yang juga termasuk ke dalam perjudian di

tempat yang jauh dari keramaian, yangmembuatnya berbeda adalah

untuk yang ketiga ini didasari oleh faktor kebiasaan.

G. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Untuk memperoleh data dan informasi yang di perlukan berkaitan

dengan permasalahan dan pembahasan penulisan ini, maka penulis

melakukan penelitian dengan memilih lokasi penelitian di Kota Jayapura,

Provinsi Papua, yaitu tepatnya di Pengadilan Negeri Jayapura. Tempat

penelitian tersebut dipilih, oleh karena dianggap berkesesuaian dengan

judul yang diangkat oleh penulis.


31

2. Tipe Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum yuridis

normatif. Menurut Bambang Sunggono33, jenis penelitian ini dapat

digolongkan kedalam penelitian doktrinal.

Penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang difokuskan untuk

mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum

positif.34

3. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis Data

Sesuai dengan jenis penelitian hukum diatas, dalam penelitian ini

maka jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder

yaitu data tidak langsung yang diperoleh melalui studi kepustakaan.

b. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian yaitu antara lain:

1) Sumber data primer

Data jenis ini diperoleh dari sumber data yang merupakan

responden penelitian yaitu Hakim dan Panitera di wilayah

Pengadilan Kelas 1A Jayapura.

2) Sumber Data Sekunder

33
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006),
hlm. 81.
34
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2006), hlm. 295.
32

Data sekunder dibidang hukum dibedakan menjadi 3 (tiga),

yaitu: (1) bahan hukum primer, yakni bahan-bahan yang mengikat;

(2) bahan hukum sekunder, yang membantu menganalisis dan

memahami bahan hukum primer; (3) bahan hukum tersier, yakni

bahan0bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder yang berkaitan dengan

implementasi penegakan hukum tindak pidana perjudian dengan

menggunakan kartu.

Sumber data sekunder yang berupa bahan hukum primer

yaitu antara lain:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

c) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

d) Peraturan Perundang-undangan lain di luar KUHP terkait

implementasi penegakan hukum tindak pidana perjudian

dengan menggunakan kartu.

Sebagai bahan penunjang yang dapat memberikan petunjuk dan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

digunakan pula bahan hukum tersier seperti kamus dan ensiklopedia.

4. Teknik Pengumpulan Data


33

Dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik pengumpulan data

yaitu dengan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian

Pustaka dilaksanakan untuk mengumpulkan sejumlah data meliputi bahan

pustaka yang bersumber dari buku-buku, terhadap dokumen perkara serta

peraturan-peraturan yang berhubungan dengan penelitian ini.

6. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisa dengan menggunakan

teknik analisis kualitatif. Analisis kualitatif yaitu berusaha menganalisa

data dengan menguraikan dan memaparkan secara jelas dan apa adanya

mengenai obyek yang diteliti. Data-data dan informasi yang diperoleh dari

obyek penelitian dikaji dan dianalisa, dikaitkan dengan teori dan peraturan

yang berlaku yang bertujuan untuk memecahkan permasalahan yang

diangkat.35 Sehingga hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan mampu

memberikan gambaran secara jelas.

H. Waktu dan Biaya Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian dan penulisan ini akan dilakukan selama 65 (enam puluh

lima) hari dengan perincian kegiatan tersebut, yaitu :

No. Jenis Kegiatan Waktu


1. Persiapan 7 Hari
2. Lamanya Penelitian 10 Hari
3. Penyusunan 21 Hari
4. Pemeriksaan 10 Hari
5. Konsultasi 10 Hari
35
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982),
hlm. 93.
34

6. Perbaikan dan Revisi 7 Hari


Jumlah 65 Hari

2. Biaya Penelitian

Berdasarkan tahapan penelitian yang ada maka perencanaan rincian

anggaran biaya untuk pelaksanaan kegiatan penelitian ini adalah sebagai

berikut:

No Keterangan Biaya
Pembuatan Proposal
a. Kertas Rp. 60.000
1
b. Tinta Print Rp. 50.000
c. Jilid Rp. 60.000
Penelitian
2 a. Konsumsi Rp. 300.000
b. Transportasi Rp. 200.000
Penyusunan Skripsi
a. Kertas A4 Rp. 200.000
3
b. Tinta Primt Rp. 300.000
c. Cover Lux Rp. 350.000
4 Ujian Skripsi Rp. 1.000.000
5 Biaya lain – lain Rp. 500.000
Total biaya Rp. 3.020.000

I. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


35

A. Tindak Pidana

B. Tindak Pidana Perjuduan

C. Teori Pemidanaan

D. Dakwaan

E. Dasar Pertimbangan Hakim

F. Putusan Dalam Perkara Pidana

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penerapan Hukum Pidana Materil Terhadap Pelaku Tindak

Pidana Perjudian Dengan Menggunakan Kartu

B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana

Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perjudian Dengan

Menggunakan Kartu

BAB IV PENUTUP

A. Simpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
36

Apeldoorn, L.J. van. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Pradya Paramita, 1973).
Bemmelen, J.M. van. Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Materail Bagian Umum.
(Bandung: Binacipta, 1984).
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2006).
Moelyatno, KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Edisi Baru, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2009).
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. (Bandung: Eresco,
1979).
Rahardjo, Satjipto. Hukum Dalam Perspektif Sosial, (Semarang: Alumni, 1981)
Rohrohmana, Basir. Hukum Pidana Substantif di Indonesia. (Bandung: Logoz
Publishing, 2014).
Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana. (Jakarta:
Aksara Baru, 1981).
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982).
Soesilo, R. Pokok-pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-delik
Khusus, (Bogor: Politeia, 1984).
Sunggono, Bambang. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2006).

Anda mungkin juga menyukai