Anda di halaman 1dari 2

5.

Kebijakan yang diterapkan untuk mengatasi masalah hutang luar negeri ⇒ Reza
UU tentang utang luar negeri saat ini
kebijakan alternatif yang dapat diterapkan
skema pembayaran utang luar negeri

Utang luar negeri atau dikenal dengan pinjaman luar negeri adalah setiap penerimaan
negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun
dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri
yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. Pinjaman Luar Negeri
adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari Pemberi
Pinjaman Luar Negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk
surat berharga negara, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2006 tentang Tata Cara


Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman
dan/atau Hibah Luar Negeri diatur adanya tahapan-tahapan meliputi
perencanaan, pelaksanaan dan penatausahaan, pelaporan, monitoring,
evaluasi dan pengawasan atas utang luar negeri.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, utang pemerintah mencapai


Rp6.527,29 triliun pada April 2021. Angka ini setara 41,18 % produk domestik bruto
(PDB). Komposisi utang pemerintah didominasi oleh surat berharga negara (SBN)
domestik, yakni sebesar Rp4.392,96 triliun. (databoks.katadata.co.id, 10/6/2021)

Adapun SBN valuta asing (valas) tercatat sebesar Rp1.268,58 triliun. Selain SBN,
terdapat utang pemerintah berupa pinjaman yang didominasi oleh pinjaman dari luar
negeri sebesar Rp865,74 triliun.

Utang tersebut jika ditambahkan dengan utang BUMN, perbankan dan nonperbankan
yang akan ditanggung negara jika gagal bayar yaitu sebesar Rp2.143 triliun. Maka,
total utang publik sekarang akan mencapai Rp8.504 triliun.

Alasan pemerintah “sederhana”, karena negara membutuhkan uang dalam


menjalankan roda pemerintahannya, terlebih pada masa pandemi. Ditambah dengan
penerimaan negara yang menyusut akibat melambatnya ekonomi nasional. Tentunya,
solusi mudah dalam menyelesaikan permasalahan “besar pasak daripada tiang” adalah
berutang.

Jika SDA negeri ini dikelola sendiri, bukan diserahkan pengelolaannya kepada
korporasi, semua itu akan mampu menutupi besarnya anggaran belanja pemerintah.
Sehingga, tak perlu lagi APBN bertumpu pada utang. Terutama dari pos harta milik
umum, seperti sumber daya alam yang dikelola oleh negara. Hal lain yang harus
dipikirkan adalah: pengelolaan dana kas negara (APBN & APBD) yang baik.

Seperti yang dikatakan Mantan Menteri Kelautan Rokhmin Dahuri dalam orasi ilmiah
di acara Peringatan Hari Maritim Nasional ke-56 tahun 2020.

Rokhmin mengatakan, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia


memiliki potensi ekonomi kelautan yang sangat tinggi. Potensi tersebut mencapai
USD1,4 triliun per tahun. Artinya, potensi laut Indonesia setara dengan lima kali
APBN negara kita saat ini. (liputan6.com 23/09/2020)

Ini baru potensi laut, belum ditambah dengan potensi yang terkandung di daratan,
baik di dalam perut bumi maupun di atasnya. Lantas, mengapa Indonesia membiarkan
SDA-nya dicaplok asing sehingga sumber APBN harus mengambil dari pajak dan
utang?

Jawabannya, semua itu adalah aturan main tata kelola ekonomi di Indonesia yang
melegalkan korporasi besar untuk bisa memiliki SDA tanpa batasan.

Sistem ekonomi di indonesia pula yang memosisikan negara hanya sebatas regulator.
Negara tidak boleh melindungi SDA dan rakyatnya, bahkan negara didorong untuk
menjadi jembatan yang memuluskan kepentingan asing atas negeri jajahannya.

Oleh karena itu, tingginya utang bukanlah semata dari menurunnya sumber
pendapatan APBN atau banyaknya belanja negara. Namun, lebih disebabkan karena
tata kelola ekonominya yang keliru, yaitu bercorak kapitalisme neoliberal.

Menurut BPK, sejumlah indikator telah menunjukkan tingginya risiko utang dan
beban bunga utang pemerintah. Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan
negara pada 2020 mencapai 19,06%. Angka tersebut melampaui rekomendasi Dana
Moneter Internasional (IMF) yang sebesar 7—10% dan standar International Debt
Relief (IDR) sebesar 4,6—6,8%. Adapun rasio utang terhadap penerimaan negara
pada 2020 mencapai 369%, jauh di atas rekomendasi IMF sebesar 90—150% dan
standar IDR sebesar 92—167%. Atas landasan ini, tak heran jika BPK menyatakan
kekhawatiran terhadap kesanggupan pemerintah dalam melunasi utang beserta bunga
yang terus membengkak sejak beberapa waktu terakhir. Belum lagi, rasio utang
terhadap PDB yang juga terus meningkat.

Utang negara tidak semestinya dilakukan kecuali untuk perkara-perkara urgen. Yang
mana jika ditunda (utang tidak diambil), dikhawatirkan terjadi kerusakan dan
kebinasaan. Untuk perkara-perkara yang bisa ditunda, maka negara tidak boleh
berutang. Melainkan hendaknya negara menunggu hingga memiliki harta untuk
selanjutnya bisa dianggarkan dalam belanja negara. Jadi, negara tidak boleh tergesa-
gesa berutang jika digunakan untuk keperluan infrastruktur. Jika pun untuk keperluan
mendesak di tengah pandemi seperti saat ini, negara semestinya tetap mengupayakan
langkah mandiri, misalnya memungut pajak dari orang-orang kaya di dalam negeri.
Pajak ini pun sifatnya insidental, bukan pemasukan utama negara.

Anda mungkin juga menyukai