Anda di halaman 1dari 44

Laporan Kasus

YPAC Makassar
Periode Pertama

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS


“ANKLE DEFORMITY WITH MOBILITY DEFICIT AND
HYPERTONE MUSCLE ET CAUSA CONGENITAL TALIPES
EQUINO VARUS (CTEV) BILATERAL”

DISUSUN OLEH :
NAMA : ADINDANISSA AZZAHRA
NIM : PO.71.4.241.18.1.001
PRODI : D4 FISIOTERAPI TK. IV

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR


JURUSAN FISIOTERAPI
TAHUN AJARAN 2021/2022
ii

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus praktek klinik FT. Komprehensif I atas nama Adindanissa

Azzahra dengan Nim : PO.71.4.241.18.1.001 di YPAC Makassar mulai tanggal 25

Oktober sampai dengan 20 November 2021 dengan judul kasus “Penatalaksanaan

Fisioterapi pada Kasus Ankle Deformity with Mobility Deficit and Hipertone Muscle

et causa Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) Bilateral” telah disetujui oleh

Clinical Educator dan Preseptor.

Makassar, 20 November 2021

Menyetujui,

Pembimbing Klinik Pembimbing Institusi

Dwi Rustianto, S.Ft., Physio Suharto, S.Pd., S.ST.Ft., M.Kes


NIP : NIP : 196704111990031002
iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat

dan hidayah – Nya lah sehingga saya dapat menyelesaikan Laporan Pre Klinik ini

dengan Judul “Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kasus Ankle Deformity with

Mobility Deficit and Hipertone Muscle et causa Congenital Talipes Equino Varus

(CTEV) Bilateral”. Laporan ini saya susun berdasarkan Praktek Klinik di YPAC

Makassar.

Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Pembimbing Klinik, Pembimbing

Akademik serta teman seperjuangan saya yang telah memberikan arahan selama

penyusunan laporan ini.

Laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, Oleh karena itu kritik dan saran yang

membangun sangat di butuhkan, sehingga dapat di jadikan bahan pembelajaran dalam

penyusunan laporan selanjutnya.

Saya berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi saya pribadi dan Mahasiswa

Fisioterapi khususnya seluruh mahasiswa pada umumnya.

Makassar, 8 November 2021

Penulis
iv

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................................ii

KATA PENGANTAR......................................................................................................iii

DAFTAR ISI....................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................1

BAB II TINJAUAN KASUS............................................................................................3

A. Tinjauan Anatomi Biomekanik Ankle ...........................................................3

B. Tinjauan Kasus...............................................................................................7

1. Definisi.......................................................................................................7

2. Etiologi.......................................................................................................2

3. Tanda dan Gejala.......................................................................................3

4. Patofisiologi...............................................................................................3

C. Tinjauan Pengukuran Fisioterapi....................................................................5

D. Tinjauan Intervensi Fisioterapi.....................................................................10

BAB III PROSES ASSESSMENT FISIOTERAPI.........................................................14

A. Identitas Pasien.............................................................................................14

B. History Taking..............................................................................................14

C. Inspeksi/Observasi........................................................................................15

D. Pemeriksaan/Pengukuran Pediatrik..............................................................15

E. Diagnosa Fisioterapi.....................................................................................18

F. Problematika Fisioterapi...............................................................................19

BAB IV INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI............................................20


v

A. Rencana Intervensi Fisioterapi.....................................................................20

B. Strategi Intervensi Fisioterapi.......................................................................20

C. Prosedur Penatalakasanaan Intervensi Fisioterapi........................................21

D. Edukasi dan Home Program.........................................................................23

E. Evaluasi Fisioterapi......................................................................................24

BAB V PEMBAHASAN.................................................................................................25

A. Pembahasan Assessment Fisioterapi............................................................25

B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi...............................................................26

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................29
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tumubuh kembang bayi yang baru lahir dengan keadaan yang sehat serta
memiliki anggota tubuh yang lengkap dan sempurna merupakan harapan bagi seluruh
keluarga. Namun, terkadang pada beberapa keadaan tertentu didapati bayi yang lahir
kurang sempurna, karena mengalami kelainan bentuk anggota tubuh. Salah satu bentuk
kelainan pada anggota tubuh, yaitu kaki bengkok atau Congenital Talipes Equino Varus
(CTEV). Penyebab utama yang sebenarnya dari CTEV tidak diketahui dengan pasti.
Beberapa ahli mengatakan bahwa kelainan ini timbul karena posisi yang abnormal atau
pergerakan yang terbatas dalam rahim, sehingga terjadi ketidaknormalan pada bentuk kaki
janin. Perkembangan pembentukan kaki terbagi menjadi dua fase, yaitu fase fibula (minggu
ke 6-7 masa kehamilan) dan fase tibia (minggu ke 8-9 masa kehamilan). Pertumbuhan yang
terganggu pada fase tersebut akan menimbulkan kelainan bentuk tulang pada bentuk kaki.
Aktifitas gerak fungsional yang terganggu pada anak CTEV salah satunya adalah
ketidakmampuan berjalan.
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) yang juga dikenal sebagai “clubfoot”
adalah suatu gangguan perkembangan ekstremitas inferior yang sering ditemui, tetapi
masih jarang dipelajari. CTEV dimasukkan dalam terminologi “sindromik” bila kasus ini
ditemukan bersamaan dengan gambaran klinik lain sebagai suatu bagian dari sindrom
genetik. CTEV dapat timbul sendiri tanpa didampingi gambaran klinik lain, dan sering
disebut sebagai CTEV idiopatik. CTEV sindromik sering menyertai gangguan neurologis
dan neuromuskular, seperti spina bifida maupun atrofi muskular spinal. Bentuk yang paling
sering ditemui adalah CTEV idiopatik, pada bentuk ini ekstremitas superior dalam keadaan
normal (Cahyono, 2012).
Insidensi kejadian dari CTEV di AS adalah sekitar 1 kasus per 1000 kelahiran
hidup dengan rasio laki-laki : perempuan adalah 2:1. Insidensi CTEV secara bilateral
ditemukan pada 30-50% kasus dan terdapat kemungkinan 10% dari anak berikutnya jika
orangtua telah memiliki anak CTEV (Helmi, 2012).
2

Prevalensi CTEV beragam pada beberapa Negara, di Amerika Serikat 2,29:1000


kelahiran; pada ras Kaukasia 1,6:1000 kelahiran; pada ras Oriental 0,57:1000 kelahiran;
pada orang Maori 6,5-7,5:1000 kelahiran; pada orang China 0,35:1000 kelahiran; pada ras
Polinesia 6,81:1000 kelahiran; pada orang Malaysia 1,3:1000 kelahiran; dan 49:1000
kelahiran pada orang Hawaii, (Hosseinzaideh, 2014).
Prevalensi Clubfoot di Indonesia antara 0,76 - 3,49 dari 1000 kelahiran hidup 4,8
juta bayi per tahun 3.648 to 16.752 kasus baru Clubfoot di Indonesia per tahun, (Marzuki,
2017), sedangkan di YPAC Makassar pada saat Praktek Klinik di bulan Novembarr tahun
2020 sendiri hanya ada 2 anak yang mengalami CTEV.
Salah satu pasien pada kasus CTEV di YPAC Makassar adalah Ahmad Faeyza
Atthar, usia 3 tahun 1 bulan. Tujuan dalam mambahas kasus ini agar dapat mengetahui
penyebab dan cara untuk mengantisipasi agar tidak terjadi kelaina postur kaki saat berjalan.
Penaganganan CTEV salah satunya dapat di lakukan dengan cara melakukan fisioterapi.
Adapun Intervensi yang di berikan pada pasien adalah TENS, IR, pemakaian
sepatu AFO, streaching, standing, dan walking. Selain itu diberikan terapi latihan berdiri
dan berjalan untuk memperbaiki postur tubuh dan pola jalan yang baik.
3

BAB II

TINJAUAN KASUS

A. Tinjauan Anatomi Biomekanik Ankle


1. Anatomi Ankle
Sendi ankle adalah sendi yang paling utama bagi tubuh untuk menjaga
keseimbangan saat berjalan dipermukaan yang tidak rata. Sendi ini tersusun dari tulang,
ligamen, tendon, dan seikat jaringan penghubung (Paul M. Taylor Dp. M., 2002:106).
Sendi ankle dibentuk oleh empat tulang yaitu tibia, fibula, talus, dan calcaneus.
Pergerakan utama dari sendi ankle terjadi pada tulang tibia, talus, dan calcaneus. Seperti
pada gambar di bawah ini :

Gambar 2.1 Ankle Joint (Sumber : Hertel, 2002)

Struktur sendi ankle sangatlah kompleks dan kuat karena sendi ankle tersusun
atas ligamen-ligamen yang kuat dan banyak. Ligament yang terdapat pada sendi engkel
(ankle) berfungsi sebagai struktur yang mempertahankan stabilitas sendi ankle dalam
berbagai posisi. Secara anatomi struktur ligament dari sendi ankle adalah sebagai
berikut:
 Posterior talofibular ligament adalah ligamen yang melekat pada posterior tulang
talus dan fibula.
4

 Calcaneofibular ligament adalah ligamen yang melekat pada tulang calcaneus dan
fibula.
 Anterior talofibular ligament adalah ligamen yang melekat pada anterior tulang talus
dan fibula.
 Posterior tibiotalar ligament adalah ligamen pada posterior tulang tibia.
 Tibiocalcaneal ligament adalah ligamen yang melekat pada tulang tibia dan
calcaneus.
 Tibionavicular ligament adalah ligamen yang melekat pada tulang tibia dan
navicular.
 Anterior tibiotalar ligament adalah ligament yang melekat pada anterior tulang tibia
dan talus. Sendi engkel merupakan sendi engsel, gerakan utama yang dapat
dilakukan oleh sendi tersebut adalah dorsofleksi (ekstensi) kaki dan gerakan
plantofleksi (fleksi kaki). Gerakan tersebut terjadi karena sendi engkel memiliki
sumbu melintang (aksis transversal). Otot penyusun sendi ankle adalah otot
gastrocnemius, otot soleus, otot fleksor hallucis longus, otot fleksor digitorum
longus, otot tibialis posterior, otot tibialis anterior, otot proneus longus, otot proneus
brevis, ototpopliteus, otot plantaris disatukan oleh tendon achilles seperti gambar
dibawah ini :

Gambar 2.2. Struktur Tulang Ankle


(Sumber: http://.scoi.com/ankle.php diakses pada tanggal, 12 Januari 2017)
5

Tulang penyusun sendi ankle terdiri atas: tulang fibula, tibia, talus dan
calcaneus. Sesuai dengan di bawah ini :

Gambar 2.3. Struktur Tulang Ankle


(Sumber: http://.scoi.com/ankle.php diakses pada tanggal, 12 Januari 2017)

Berdasarkan keterangan yang diuraikan di atas dari gambar tulang, otot, ligamen
tersebut, sendi ankle mampu melakukan gerakan dorsi fleksi yaknigerakan ke arah atas
dan plantar fleksi gerakan ke arah bawah. Ankle merupakan persendian yang
menghubungkan antara tungkai bawah dengan kaki, sehingga sendi ankle sering
mengalami cedera oleh karena sendi ankle menjadi bagian pertama dari rantai gerak
tubuh untuk menahan dampak berjalan, berlari, memutar, mendorong.
2. Biomekanik Ankle
a) Osteokinematika
Gerakan yang terjadi pada ankle joint adalah plantar fleksi, dorsal fleksi,
eversi dan inversi.

Gambar 2.4 ROM plantar fleksi dan dorso fleksi, eversi dan inversi ankle
(Sumber : Russe, 1975:17)
6

b) Arthrokinematika
Sendi ankle terdiri atas sendi talocrularis dan sendi talotarsalis. Sendi
talocrularis merupakan sendi engsel (Tim Anatomi UNY, 2011: 55-56). Secara
gerakan sendi ini dapat melakukan gerakan dorsofleksi, plantarfleksi, inversi dan
eversi. Range of Motion (luas gerak sendi) dalam keadaan normal untuk dorsofleksi
adalah 200 , plantarfleksi adalah 500 , gerakan eversi adalah 200 , dan gerakan
inversi adalah 400 (Russe, 1975:17). Penulisan yang disesuaikan dengan standar
ISOM (Internaional Standard Orthopaedic Meassurement) untuk gerak dorsofleksi
dan plantarfleksi akan tertulis (S) 20-0-50 dan gerak inversi dan eversi tertulis (S)
20-0-40 (Russe, 1975: 18). Berdasarkan dari bentuk persendiannya, Pieter dan Gino
(2014: 2) mengklasifikasikan sendi ankle sebagai sendi ginglimus dengan gerakan
yang mungkin terjadi adalah dorsofleksi (fleksi) dan plantarfleksi (ekstensi) dengan
jangkauan gerakan yang bervariasi untuk dorsofleksi antara 13-33 0 dan plantar fleksi
23-560. Sementara Christy Cael (2009: 391) menggambarkan jangakauan gerak sendi
ankle adalah dorso fleksi 20O dan plantar fleksi 500.

Gambar 2.5 ROM plantar fleksi dan dorso fleksi ankle

Dilihat dari aspek arthrokinematika selama dorsi fleksi ankle, talus akan
sliding kearah posterior dan fibula bergerak ke arah proksimal dan lateral, selama
plantar fleksi ankle talus sliding kearah anterior dan fibula bergerak ke arah distal
7

dan sedikit ke anterior. Saat inversi calcaneus sliding kearah lateral dan pada saat
eversi calcaneus sliding ke medial (Norkin, 1995).
c) System Otot dan Saraf

Gambar 2.6 Sistem Saraf

Otot pengerak pergelangan kaki gerak utama dorsi fleksi, adalah tibialis
anterior disarafi oleh n. peroneus profundus otot pengerak plantar fleksi adalah otot
gastrknemius yang disarafi oleh n. tibialis dan otot soleus disarafi juga oleh n.
tibialis. Sedang penggerak eversi adalah otot peroneus longus dan peroneus brevis
yang keduanya disarafi n. peroneus superficialis (Chusid, 1993).

B. Tinjauan Kasus
1. Definisi
Congenital Talipes Equino Varus adalah fiksasi dari kaki pada posisi adduksi,
supinasi dan varus. Tulang calcaneus, navicular dan cuboid terrotasi ke arah medial
terhadap talus, dan tertahan dalam posisi adduksi serta inversi oleh ligamen dan tendon.
Sebagai tambahan, tulang metatarsal pertama lebih fleksi terhadap daerah plantar.
CTEV bisa disebut juga dengan clubfoot, merupakan suatu kombinasi
deformitas yang terdiri dari supinasi dan adduksi forefoot pada sendi midtarsal, heel
varus pada sendi subtalar, equinus pada sendi ankle, dan deviasi pedis ke medial
terhadap lutut (1,6). Deviasi pedis ke medial ini akibat angulasi neck talus dan sebagian
internal tibial torsion(Salter, 1999). Terdapat banyak klasifikasi dalam pembagian
CTEV, tetapi belum terdapat satu klasifikasi yang digunakan secara universal.
8

Pembagian yang sering digunakan adalah postural atau posisional, serta fixed rigid.
Clubfoot postural atau posisional bukan merupakan clubfoot yang sebenarnya.
Sedangkan clubfoot jenis fixed atau rigid dapat digolongkan menjadi jenis yang fleksibel
(dapat dikoreksi tanpa operasi) dan resisten (membutuhkan terapi operatif, walaupun hal
ini tidak sepenuhnya benar menurut pengalaman dr. Ponseti).

Gambar 2.7 Clubfoot Gambar 2.8 Tulang Pedis Normal dan


Clubfoot

Gambar 2.8 Perbandingan kaki normal dan clubfoot


(Sumber : Abnormal Skeletal Phenotypes ; From Simple Signs to Complex Diagnoses)

Beberapa jenis klasifikasi lain yang dapat ditemukan, antara lain :


 Pirani
 Goldner
 Di Miglio
 Hospital for Joint Diseases (HJD)
 Walker
9

Deformitas CTEV meliputi tiga persendian, yaitu inversi pada sendi subtalar, adduksi
pada sendi talonavicular, danequinus pada ankle joint.Komponen yang diamati dari
clubfoot adalah equinus, midfoot cavus, forefoot adduction, dan hindfoot varus (Meena
et al, 2014)
2. Etiologi
Etiologi yang sebenarnya dari CTEV tidak diketahui dengan pasti akan tetapi
banyak teori mengenai etiologi CTEV, antara lain :
a) Faktor Mekanik Intra Uteri
Ini adalah teori tertua dan diajukan pertama kali oleh Hipokrates. Dikatakan bahwa
kaki bayi ditahan pada posisi equinovarus karena kompresi eksterna uterus. Parker
(1824) dan Browne (1939) mengatakn bahwa adanya oligohidramnion mempermudah
terjadinya penekanan dari luar karena keterbatasan gerak fetus.
b) Defek Neuromuscular
Beberapa peneliti percaya bahwa CTEV selalu dikarenakan adanya defek
neuromuskular, tetapi banyak penelitian menyebutkan bahwa tidak ditemukan adanya
kelainan histologis dan eektromiografik.
c) Defek Plasma Sel Primer
Irani & Sherman telah melakukan pembedahan pada 11 kaki dengan CTEV dan 14
kaki normal. Ditemukan bahwa pada kasus CTEV leher dari talus selalu pendek,
diikuti rotasi bagian anterior ke arah medial dan plantar. Mereka mengemukakan
hipotesa bahwa hal tersebut dikarenakan defek dari plasma sel primer.
d) Perkembangan Fetus yang Terhambat
e) Herediter
Wynne dan Davis mengemukakan bahwa adanya faktor poligenik mempermudah
fetus terpapar faktor-faktor eksterna (infeksi Rubella, penggunaan Talidomide).
f) Hipotesis Vaskular
Atlas dkk (1980), menemukan adanya abnormalitas pada vaskulatur kasus-kasus
CTEV. Didapatkan adanya bloking vaskular setinggi sinus tarsalis. Pada bayi dengan
CTEV didapatkan adanya muscle wasting pada bagian ipsilateral, dimana hal ini
10

kemungkinan dikarenakan berkurangnya perfusi arteri tibialis anterior selama masa


perkembangan.
3. Tanda dan Gejala
Cari riwayat adanya CTEV atau penyakit neuromuskuler dalam keluarga.
Lakukan pemeriksaan keseluruhan agar dapat mengidentifikasi ada tidaknya kelainan
lain. Periksa kaki dengan anak dalam keadaan tengkurap, sehingga dapat terlihat bagian
plantar. Periksa juga dengan posisi anak supine untuk mengevaluasi adanya rotasi
internal dan varus.
Deformitas yang serupa dapat ditemui pada myelomeningocele dan
arthrogryposis. Pergelangan kaki berada dalam posisi equinus dan kaki berada dalam
posisi supinasi (varus) serta adduksi.
Tulang navicular dan kuboid bergeser ke arah lebih medial. Terjadi kontraktur
pada jaringan lunak plantar pedis bagian medial. Tulang kalkaneus tidak hanya berada
dalam posisi equinus, tetapi bagian anteriornya mengalami rotasi ke arah medial disertai
rotasi ke arah lateral pada bagian posteriornya.
Tumit tampak kecil dan kosong. Pada perabaan tumit akan terasa lembut
(seperti pipi). Sejalan dengan terapi yang diberikan, maka tumit akan terisi kembali dan
pada perabaan akan terasa lebih keras (seperti meraba hidung atau dagu).
Karena bagian lateralnya tidak tertutup, maka leher talus dapat dengan mudah teraba
pada sinus tarsalis. Normalnya leher talus tertutup oleh navikular dan badan talus.
Maleolus medial menjadi susah diraba dan pada umumnya menempel pada navikular.
Jarak yang normal terdapat antara navikular dan maleolus menghilang. Tulang tibia
sering mengalami rotasi internal.
4. Patofisiologi
Deformitas mayor clubfoot termasuk hindfoot varus dan equinus dan forefoot
adductus dan cavus. Kelainan ini merupakan hasil abnormalitas intraosseus (abnormal
morfologi) dan abnormalitas interosseus (hubungan abnormal antar tulang)
(Hoosseinzaideh, 2014). Deformitas intraosseus paling sering muncul di talus, dengan
necktalar yang pendek dan medial dan plantar deviasi dari bagian anterior. Pada
permukaan inferior talus, facet medial dan anterior belum berkembang. Kelainan pada
11

calcaneus, cuboid, dan navicular tidaklah terlalu parah dibandingkan talus. Pada
calcaneus ditemukan lebih kecil dari kaki normal, dansustentaculum yang belum
berkembang (Herring, 2014). Deformitas interosseus terlihat seperti medial
displacement dari navicular pada talar head dan cuboid padacalcaneus, secara berurutan.
Herzenberg dkk menunjukkan bahwa talus dan calcaneus lebih internal rotasi sekitar
20oterhadap aksis tibiofibular pada clubfoot dibandingkan dengan kaki normal.
Pada studinya, body of the talus dilaporkan eksternal rotasi di dalam ankle
mortise. Adanya internal tibial torsion padaclubfoot masih kontroversial
(Hoosseinzaideh, 2014). Kontraktur dan fibrosis ligament sisi medial kaki, termasuk
spring ligament, master knot of Henry, ligament tibionavicular, dan fascia plantaris, juga
berkontribusi dalam abnormalitas clubfoot (Hoosseinzaideh, 2014).Abnormalitas otot
telah diamati selama operasi release deformitas clubfoot. Dobbs dkk melaporkan bahwa
flexor digitorum accesorius longus muscle terlihat pada anak-anak yang menjalani
operative release sekitar 6,6% dan lebih banyak lagi padaanak-anak dengan adanya
riwayat keluarga (prevalensi 23%). Flexor digitorum accesorius longus dilaporkan ada
sekitar 1% sampai 8% pada cadaver dewasa normal. Anomalous soleus muscle juga
telah dijelaskan dan dilaporkan berhubungan dengan tingginya angka rekurensi
(Hoosseinzaideh, 2014). Studi pada suplai darah telah menunjukkan abnormalitas atau
tidak adanya arteri tibialis anterior sekitar 90% dari clubfoot. Tidak adanya arteri tibialis
anterior juga dilaporkan namun jarang. Arteri anomaly ini meningkatkan risiko
komplikasi vaskuler jika salah satu arteri dominan terkena saat comprehensive soft-
tissuerelease atau Achilles tenotomi (Hoosseinzaideh, 2014). Beberapa teori yang
mendukung patogenesis terjadinya CTEV, antara lain :
 Terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular
 Kurangnya jaringan kartilagenosa talus
 Faktor neurogenic. Telah ditemukan adanya abnormalitas histokimia pada kelompok
otot peroneus pada pasien CTEV. Hal ini diperkirakan karena adanya perubahan
inervasi intrauterine karena penyakit neurologis, seperti stroke. Teori ini didukung
dengan adanya insiden CTEV pada 35% bayi dengan spina bifida.
12

 Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di otot dan ligamen.
Pada penelitian postmortem, Ponsetti menemukan adanya jaringan kolagen yang
sangat longgar dan dapat teregang pada semua ligamen dan struktur tendon (kecuali
Achilees). Sebaliknya, tendon achilles terbuat dari jaringan kolagen yang sangat
padat dan tidak dapat teregang. Zimny dkk, menemukan adanya mioblast pada fasia
medialis menggunakan mikroskop elektron. Mereka menegemukakan hipotesa bahwa
hal inilah yang menyebaban kontraktur medial.
 Anomali pada insersi tendon. Inclan mengajukan hipotesa bahwa CTEV dikarenakan
adanya anomali pada insersi tendon. Tetapi hal ini tidak didukung oleh penelitian
lain. Hal ini dikarenakan adanya distorsi pada posisi anatomis CTEV yang membuat
tampak terlihat adanya kelainan pada insersi tendon.
 Variasi iklim. Robertson mencatat adanya hubungan antara perubahan iklim dengan
insiden epidemiologi kejadian CTEV. Hal ini sejalan dengan adanya variasi yang
serupa pada insiden kasus poliomielitis di komunitas. CTEV dikatakan merupakan
keadaan sequele dari prenatal poliolike condition. Teori ini didukung oleh adanya
perubahan motor neuron pada spinal cord anterior bayi-bayi tersebut.

C. Tinjauan Pengukuran Fisioterapi


1. Pemeriksaan Tonus Otot (Skala Asworth)
Skala asworth adalah skala yang digunakan untuk mengukur tonus otot (P
Hartati 2011). Skala ini digunakan untuk menilai tonus otot, jika ada problem
spastisitas/diplegi. Adapun penatalaksanaannya teridiri dari : Lakukan gerakan pasif
sepanjang gerakan pada ektremitas, kemudian nilai tahanan yang diberikan oleh otot
sepanjang fisioterapis memberikan gerakan pasif tersebut. Kemudian jadikan parameter
asworth scale sebagai acuan dalam menilai tonus otot pasien.

Score
0 Tidak ada peningkatan tonus otot.
1 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan terasanya tahanan
minimal (cath and release) pada akhir ROM pada waktu sendi digerakkan
fleksi atau ekstensi.
13

+1 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya pemberhentian


gerakan (catch) dan diikuti dengan adanya thanan minimal spenajang sisa
ROM, tetapi secara umum sendir tetap mudah digerakkan.
2 Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian besar ROM, tapi sendi
masih mudah digerakkan.
3 Peningkatan tonus otot sangat nyata, gerak pasif sulit dilakukan.
4 Sendi atau ekstremitas kaku/rigid pada gerakan fleksi atau ekstensi.
Tabel 2.4 Modified Ashworth Scale (Sumber: Bohannon and Smith, 2016)
2. Range of Motion (ROM)
Range of Motion (ROM) adalah suatu teknik dasar yang digunakan untuk
menilai gerakan dan untuk gerakan awal ke dalam suatu program intervensi terapeutik.
Gerakan dapat dilihat sebagai tulang yang digerakkan oleh otot atau pun gaya ekternal
lain dalam ruang geraknya melalui persendian. Bila terjadi gerakan, maka seluruh
struktur yang terdapat pada persendian tersebut akan terpengaruh, yaitu: otot, permukaan
sendi, kapsul sendi, fasia, pembuluh darah dan saraf.
Gerakan yang dapat dilakukan sepenuhnya dinamakan range of motion
(ROM).Untuk mempertahankan ROM normal, setiap ruas harus digerakkan pada ruang
gerak yang dimilikinya secara periodik.Faktor-faktor yang dapat menurunkan ROM,
yaitu penyakit-penyakit sistemik, sendi, nerologis ataupun otot; akibat pengaruh cedera
atau pembedahan; inaktivitas atau imobilitas.
Dari sudut terapi, aktivitas ROM diberikan untuk mempertahankan mobilitas
persendian dan jaringan lunak untuk meminimalkan kehilangan kelenturan jaringan dan
pembentukan kontraktur.Teknik ROM tidak termasuk peregangan yang ditujukan untuk
memperluas ruang gerak sendi.
Cara pengukuran Lingkup Gerak Sendi dengan Goniometer, menurut
(Trisnowiyanto, 2012) : 1) Posisikan pasien pada posisi tubuh yang benar, yaitu posisi
anatomis. Pengecualian untuk pengukuran rotasi sendi bahu, panggul, dan lengan
bawah. Bagian yang diukur harus terbuka. 2) Jelaskan dan peregakan gerakan yang akan
dilakukan kepada pasien. 3) Lakukan gerakan pasif 2 atau 3 kali untuk meng-hilangkan
gerakan substitusi dan ketegangan-ketegangan karena kurang bergerak. 4) Berikan
stabilisasi pada segmen bagian proksimal. 5) Tentukan aksis gerakan baik secara aktif
14

maupun pasif dengan jalan melakukan palpasi bagian tulangdi sebelah lateral sendi. 6)
Letakkan tangkai goniometer yang statik pararel terhadap aksis longitudinal pada garis
tengah segmen (tubuh) yang statik. 7) Letakkan tangkai goniometer yang statik pararel
terhadap aksis longitudinal segmen (tubuh) yang bergerak. 8) Pastikan bahwa aksis
goniometer tepat pada aksis gerakan sendi. Pegang goniometer antara jari-jari dan ibu
jari. Letak goniometer jangan sampai menekan kuat pada kulit (jaringan lunak) karena
bisa menggangu gerakan ataupun menyebabkan salah dalam membaca hasil. 9) Bacalah
pada awal dan akhir tiap gerakan. Lepaskan goniometer saat digerakkan dan pasang lagi
saat akhir gerakan. Catat hasil pengukuran LGS nya.
3. Muscle Length Test
Pengujian panjang otot melibatkan pemanjangan otot ke arah yang berlawanan
dengan aksinya sambil menilai ketahanannya terhadap pemanjangan pasif. Pengujian
yang tepat mengharuskan salah satu perlekatan tulang dari otot (biasanya asal) berada
dalam posisi tetap sementara perlekatan tulang lainnya digerakkan secara pasif ke arah
pemanjangan otot. Dengan kata lain, pengujian panjang otot menilai ketahanan terhadap
gerakan pasif. Ini berbeda dengan fleksibilitas tipikal atau pengujian ROM. ROM
sebenarnya dapat diukur untuk tujuan dokumentasi, tetapi memberikan informasi klinis
yang terbatas pada sindrom ketidakseimbangan otot. Informasi klinis yang paling
berharga adalah muscle end feel dan lokasi ROM end feel. Pemanjangan otot harus
dilakukan secara perlahan untuk menghindari terjadinya regangan yang cepat dari
spindel otot dan selanjutnya menginduksi respon kedutan dan kontraksi otot. Selain itu,
untuk akurasi dan presisi terbaik, pengujian panjang otot harus dilakukan saat pasien
tidak mengalami nyeri akut untuk menghindari penghambatan nyeri dan pelindung otot.
Singkatnya, ada empat langkah untuk menilai panjang otot:
 Pastikan pemanjangan otot secara maksimal dari awal hingga penyisipan.
 Stabilkan dengan kuat salah satu ujungnya (biasanya asal).
 Perlahan memanjangkan otot.
 Nilailah perasaan akhir.
4. Pirani Score
15

Skor Pirani adalah sistem yang sederhana dan andal untuk menentukan tingkat
keparahan dan memantau kemajuan dalam Penilaian dan Perawatan Kaki Pengkor.
Sistem Penilaian ini menggunakan pandangan yang berbeda dari kaki untuk membantu
memvisualisasikan masalah di jaringan lunak bawah dan anatomi tulang. Satu kaki dapat
dinilai dalam waktu kurang dari satu menit dan tidak diperlukan peralatan teknis.
Dikembangkan oleh Shafique Pirani, seorang Ahli Bedah Ortopedi Kanada,
yang membantu dalam pengembangan Layanan Clubfoot di Uganda dan Malawi, ini
adalah alat yang mudah digunakan, dikembangkan untuk menilai tingkat keparahan
masing-masing komponen individual dari Clubfoot. Ini digunakan baik sebagai sarana
untuk menilai keparahan Clubfoot pada presentasi awal dan untuk pemantauan
berkelanjutan kemajuan pasien. Skor Pirani Clubfoot mendokumentasikan tingkat
keparahan deformitas dan skor berurutan adalah cara terbaik untuk memantau kemajuan.
Peningkatan Skor Pirani antara kunjungan mungkin merupakan indikasi bahwa
kekambuhan pada Deformitas Kaki Pengkor sedang terjadi.
Sistem Skor Pirani didasarkan pada 6 Tanda Klinis Kontraktur yang dijelaskan
dengan baik yang mencirikan kaki pengkor yang parah :
- Jika tandanya sangat tidak normal, skornya 1
- Jika sebagian tidak normal, skornya 0,5
- Jika normal nilainya 0
Adapun pemeriksaannya terdiri dari :
a) Medial Crease (MC) : Perbaiki kaki dengan lembut, mis. dengan mengangkat kaki
sambil memegang jari kedua. Kaji kedalaman lipatan dan keberadaan lipatan lainnya.
Adanya beberapa lipatan halus diberi skor 0, dua atau tiga lipatan sedang diberi skor
0,5, dan satu lipatan dalam yang tidak terlihat bagian bawahnya diberi skor 1.
b) Curved Lateral Border (CLB) : Pastikan kaki anak rileks. Amati dari aspek plantar,
dan gunakan pena yang dipegang pada tepi lateral calcaneum. Nilai titik pada batas
lateral kaki yang menyimpang dari garis lurus. Jika batas kaki (tidak termasuk falang)
lurus dan tanpa penyimpangan, skor 0. Jika menyimpang pada tingkat metatarsal,
skor 0,5. Jika menyimpang pada sendi calcaneo-cuboid, beri skor 1.
16

c) Lateral Head Of Talus (LHT) : Palpasi kepala talus dengan kaki yang tidak dikoreksi
(mungkin lebih mudah untuk menemukan awalnya jika Anda memindahkan kaki ke
posisi yang lebih cacat). Pertahankan jari / ibu jari Anda pada talus, perbaiki kaki
dengan lembut. Jika talus benar-benar tenggelam di bawah navicular, skor 0. Jika
bergerak sebagian tetapi tidak sepenuhnya tenggelam, skor 0,5. Jika tetap dan tidak
tenggelam, skor 1.
d) Posterior Crease (PC) : Perbaiki plantarfleksi (equinus) dengan lembut. Kaji
kedalaman lipatan dan keberadaan lipatan lainnya. Adanya beberapa lipatan halus
diberi skor 0, dua atau tiga lipatan sedang diberi skor 0,5, dan satu lipatan dalam yang
tidak terlihat bagian bawahnya diberi skor 1.
e) Empty Heel (EH) : Pegang kaki dalam koreksi ringan dan palpasi dengan satu jari
telunjuk. Pastikan berapa banyak daging yang ada di tumit antara jari Anda dan
calcaneum. Jika mudah untuk meraba kalkaneum yang tidak jauh di bawah kulit, skor
0. Skor 0,5 untuk kalkaneum teraba yang hanya dirasakan melalui lapisan daging.
Jika kalkaneum berada jauh di bawah lapisan jaringan dan sangat sulit untuk
dirasakan, skor 1. (0 seperti menyentuh dagu Anda sendiri, 0,5 seperti menyentuh
ujung hidung Anda, dan 1 seperti menyentuh bagian lembut telapak tangan Anda di
bawah pangkal dari ibu jari Anda).
f) Rigid Equinus (RE): Perbaiki plantarfleksi senyaman mungkin untuk anak, pegang
lutut lurus. Kaji derajat dorsofleksi yang diperoleh: mampu dorsofleksi melebihi
plantigrade = 0, mampu mencapai plantigrade (atau 90°) = 0,5, tidak dapat mencapai
plantigrade (atau 90°) = 1.
5. Roye Score
Skor Roye adalah instrumen spesifik penyakit 10 item untuk mengukur hasil
pengobatan kaki pengkor. Skala ini dimaksudkan untuk digunakan oleh ibu dari anak-
anak dengan kaki pengkor idiopatik dan digunakan di negara-negara berpenghasilan
tinggi. Ini dapat digunakan sebagai ukuran keseluruhan hasil pengobatan kaki pengkor
dengan dua subskala yang berbeda: fungsi dan kepuasan. Instrumen khusus penyakit ini
terdiri dari 10 item yang dirancang untuk mengukur hasil pengobatan mengenai
kepuasan keseluruhan, penampilan, rasa sakit, dan keterbatasan fisik.
17

Dietz et al mendukung penggunaan Skor Roye sebagai ukuran hasil untuk kaki
pengkor idiopatik pada anak kecil dengan memberikan bukti reliabilitas, validitas, dan
kekuatan diskriminatifnya. Mereka juga menemukan bahwa skor Roye sensitif terhadap
perbedaan dalam teknik pengobatan atau tingkat keparahan penyakit yang
mendasarinya. Sebuah studi yang lebih baru oleh Smythe et al, pada tahun 2018,
membandingkan ukuran hasil setelah metode Ponsetti memiliki kesepakatan antar
pengamat yang baik antara dua ahli fisioterapi. Penelitian menemukan bahwa Roye
Score memiliki sensitivitas 31,8% (95% CI: 13,9-54,9%) dan spesifisitas 100% (95%CI:
92-100%) dalam memprediksi kebutuhan rujukan dengan nilai prediksi positif dan
negatif. masing-masing dari 100 dan 74,6%.

D. Tinjauan Intervensi Fisioterapi


1. Stretching
a) Definisi
Stretching merupakan latihan peregangan untuk memanjangkan jaringan
lunak dan kulit yang mengalami kontraktur dan merupakan suatu bentuk terapi yang
di susun untuk mengulur struktur jaringan lunak yang mengalami pemendekan secara
patologis dan dengan dosis tertentu dapat menambah range of motion. Passive
stretching dilakukan ketika pasien dalam keadaan rileks, menggunakan gaya dari
luar, dilakukan secara manual atau dengan bantuan alat untuk menambah panjang
jaringan yang memendek (Kisner & Colby, 2013).
Stretching merupakan gaya peregangan lingkup gerak akhir eksternal terus-
menerus diaplikasikan dengan tekanan berlebih dan dengan kontak atau alat mekanik,
memanjangkan unit muskulotendinosa dan jaringan ikat periartikular yang
memendek dengan menggerakkan sendi yang terbatas melewati ROM yang ada.
b) Indikasi
 ROM terbatas karena jaringan lunak kehilangan ekstensibilitasnya akibat
perlekatan, kontraktur, dan pembentukan jaringan parut.
 Keterbatasan gerak yang dapat menyebabkan deformitas structural.
18

 Kelemahan otot dan pemendekan jaringan yang berlawanan menyebabkan


keterbatasan ROM.
c) Kontraindikasi
 Bony block membatasi sendi.
 Fraktur baru.
 Terdapat nyeri tajam dan akut pada gerak sendi atau pemanjangan otot.
 Terdapat hematoma.
 Terjadi hipermobilitas.
2. TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation)
a) Definisi TENS
TENS merupakan suatu cara penggunaan energi listrik guna merangsang
sistem saraf melalui permukaan kulit dan terbukti efektif untuk merangsang berbagai
tipe nyeri. TENS mampu mengaktivasi baik saraf berdiameter besar maupun kecil
yang akan menyampaikan berbagai informasi sensoris ke saraf pusat. Efektifitas
TENS dapat diterangkan lewat teori gerbang control (William, 2003).
b) Mekanisme Teraupetik TENS
Modalitas fisioterapi berupa Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation
(TENS) dimana menggunakan energi listrik untuk merangsang sistem saraf melalui
permukaan kulit dalam hubungannya dengan modulasi nyeri. Pemberian TENS pada
kasus post ruptur anterior carciatum ligament ini bertujuan untuk mengurangi nyeri
melalui mekanisme segmental. TENS akan menghasilkan efek analgesia dengan jalan
mengaktivasi serabut A beta yang akan menginhibisi neuron nosiseptif di cornu
dorsalis medula spinalis. Teori ini mengacu pada teori gerbang control (Gate Control
Theory) bahwa gerbang terdiri dari sel internunsia yang bersifat inhibisi yang dikenal
sebagai substansia gelatinosa dan y sebagai substansia gelatinosa dan yang terletak
ang terletak di cornu po di cornu posterior dan sel T sterior dan sel T yang merelai
informasi dari pusat yang lebih tinggi. Impuls dari serabut aferen berdiameter besar
akan menutup gerbang dan membloking transmisi impuls dari serabut aferen
nosiseptor sehingga nyeri berkurang (Parjoto, 2006).
c) Indikasi (William, 2002)
19

 Sakit neurologi : Bells palsy, Erbs palsy, spinal cord injury, trigeminal
neuralgia.
 Sakit Muskuloskeletal : yang berhubungan dengan sendi seperti osteo arthrosis,
rhemathoid arthritis, sakit setelah operasi dan low back pain.
 Viseral pain dan dysmennore.
 Gangguan lain : angina pectoris, keterbatasan gerak, post fraktur.
d) Kontraindikasi
Kontraindikasi dari TENS antara lain : pacu jantung atau pace maker, kehamilan,
inflamasi terlokalisir, trombosis, metal implant, tumor, tuberculosa (William, 2002).
3. Ankle Foot Orthosis dan Dennis Brown Splint
Ankle foot orthosis (AFO) adalah perangkat biomekanik eksternal yang
digunakan pada tungkai bawah untuk menstabilkan sendi, meningkatkan gaya berjalan
dan fungsi fisik tungkai bawah yang terkena. AFO digunakan sebagai perangkat
pendukung dan bantuan untuk ambulasi melalui berbagai tahap gaya berjalan dengan
memberikan jarak kaki, digunakan untuk membatasi atau membantu ROM pergelangan
kaki dan kaki seperti; dorsofleksi, plantar fleksi, meningkatkan keseimbangan,
menurunkan risiko jatuh, membantu kelemahan otot tungkai bawah, dan untuk kembali
ke aktivitas sebelumnya atau memfasilitasi mobilitas pasien. Secara khusus, kontraktur
otot proksimal dapat mempengaruhi sejauh mana biomekanik proksimal dapat
dinormalisasi. Karena banyak dari penelitian ini hanya melibatkan peserta yang sehat,
temuan ini mungkin tidak berlaku untuk individu dengan gangguan.
Tujuan utama dalam penggunaan orthosis adalah untuk memperbaiki postur
dan kontraktur otot, untuk mendukung posisi sendi normal, dan memfasilitasi atau
meningkatkan fungsi gerak (Knutson, 1991; Fish, 2001). Selain itu fungsi dari Ankle
foot orthosis (AFO) yaitu : mengontrol pergerakan, mengoreksi alignment, Offload
weight, mengakomodasi/mencegah deformitas, dan menyediakan tekanan pada
circumferensial. Jenis Ankle foot orthosis ada : Rigid AFO, Fleksible AFO dan Jointed
AFO. Jenis jointed AFO memiliki trimline yang sama seperti AFO rigid namun terdapat
penambahan joint pada bagian ankle. Terdapat mekanisme ankle joint yang mungkin
digabungkan ke jointed AFO untuk membantu pergerakan pada 1 arah dan mencegah
20

pergerakan ke arah lain. AFO jointed biasanya menggunakan plantarfleksion stop pada
posisi 900. Jointed afo diberikan ketika memungkinkan gerakan passive dorsi fleksi.
Jointed AFO umumnya di preskripsikan untuk pasien yang membutuhkan stabilitas
subtalar tapi tidak membutuhkan kontrol dorsi fleksi dan plantar fleksi seperti
pasien dengan spastisitas ringan atau pasien dengan hyperektensi knee (Orlandi et al,
2014).
Sedangkan, Dennis Brown Splint adalah jenis alat bantu orthopedi yang
diindikasikan untuk mengkoreksi kelainan CTEV pada anak sebelum memasuki usia
jalan. Kontruksi utama alat ini adalah adanya plat yang menghubungkan kedua kaki,
sebagai koreksi pada kondisi ini.
4. Latihan Kemampuan Fungsional
Latihan kemampuan fungsional yang diberikan meliputi latihan berdiri
(standing exercise) dan ambulasi yang berupa berjalan (walking exercise). Latihan
berjalan yang dilakukan menggunakan metode penempuan berat badan berupa FWB
(full weight bearing) dan PWB (placcing weight bearing). Selain itu, saat latihan
berjalan dilakukan pula koreksi pada pola berjalan pasien dengan plantar sebagai
tumpuan sebab biasanya pada anak CTEV biasanya berjalan menggunakan punggung
kaki sisi lateral. Pada latihan standing dengan fasilitasi keseimbangan pada posisi berdiri
kemudian diberikan dorongan ke depan, ke belakang atau ke samping. Latihan ini juga
dapat dilakukan diatas tilting board dengan posisi anak berdiri di atasnya lalu gerakan
yang sama pun diberikan. Kedua latihan ini diberikan dengan tujuan agar nantinya
kemapuan fungsional anak dapat meningkat sehingga anak dapat beraktivitas dengan
normal dan tanpa hambatan.
21

BAB III

PROSES ASSESSMENT FISIOTERAPI

A. Identitas Pasien
1. Identitas Pasien
Nama : An. AFA
Tempat Tanggal Lahir : Makassar, 2 Oktober 2017
Usia : 4 tahun 2 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Jln. Raya Pendidikan Komp. UNM B5 No. 03
2. Identitas Orang Tua
Nama : Ny. AR
Usia : 35 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Guru Swasta
Alamat : Jln. Raya Pendidikan Komp. UNM B5 No. 03

B. History Taking
Keluhan Utama : Anak usia 4 tahun 1 bulan mengalami kelainan bentuk pada
kedua ankle, keseimbangan kurang baik saat berdiri dan pola
berjalan yang salah.
Penyebab : Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) atau Club Foot
Lokasi Keluhan : Kedua ankle (dextra dan sinistra)
Riwayat Penyakit Pasien : Anak memiliki kondisi dimana kedua ankle mengalami
kelainan bentuk bengkok ke arah dalam (pengkor) yang
diakui oleh ibunya dialami sejak bayi yang menyebabkan
anak kesulitan beraktivitas. Anak memakai AFO untuk
22

beraktivitas yang digunakan sejak usia ± 1 tahun 8 bulan


namun tidak rutin menjalani fisioterapi.
RP Orang Tua : Tidak ada
Riwayat Pre Natal : Pada saat hamil usia 3 bulan, ibu pasien mengalami
kecelakaan mobil sehingga mengalami guncangan yang
mengakibatkan organ pada janin berubah.
Riwayat Natal : Proses persalinan normal tetapi keadaan bayi dalam posisi
sungsang.
Riwayat Post Natal : Kelainan pada kaki anak terlihat pada saat anak dilahirkan.
Kemudian diberikan tindakan berupa pemasangan gips pada
saat usia anak 40 hari. Pada saat usia anak memasuki 3 bulan
ibu melepas gipsnya karena demam dan tidak nyaman (anak
tidak bisa tidur).

C. Inspeksi/Observasi
1. Statis :
 Ankle nampak plantar fleksi disertai disetai inversi-abduksi sendi midtarsal (talo-
calcaneal).
 Knee nampak valgus dan hiperekstensi.
2. Dinamis :
 Anak nampak kesulitan berjalan dan berlari dengan baik dan seimbang.
 Ketika berdiri bagian yang digunakan menapak punggung kaki.
 Pada saat berdiri anak belum mampu menjaga keseibangan dalam jangka waktu lama.
 Pada saat berdiri keadaan lumbal hyperextension.

D. Pemeriksaan/Pengukuran Pediatrik
1. Pemeriksaan Vital Sign
Tekanan darah : -
Denyut nadi : 100 kali/menit
Pernapasan : 25 kali/menit
23

Suhu : 36,5 0C
2. Palpasi
 Terdapat sedikit peningkatan tonus pada otot gastrocnemius, soleus serta tibialis
posterior.
3. Pemeriksaan Antropometri
Hasil
Regio
Dextra Sinistra
Panjang tungkai 46 cm 45 cm
Lingkar tungkai atas 27 cm 28 cm
Lingkar tungkai bawah 17 cm 17 cm
Panjang kaki 13 cm 13 cm
Lingkar kaki 17 cm 17 cm
4. Pengukuran ROM
Gerakan Kanan Kiri
Plantar Fleksi 70° 70°
Inversi 20° 20°

5. Pemeriksaan Refleks Fisiologis


a) Refleks Patella (KPR) : - + (Normal)
b) Refleks Achilles (APR) : - + (Normal)
6. Pemeriksaan Tonus Otot (Skala Asworth)
Skala Asworth
Ekstremitas
Dextra Sinistra
Ekstremitas bawah 1+ 1+
7. Muscle Length Test
 Prosedur :
- Anak terlentang/tengkurap di atas bed/matras posisi knee fleksi untuk memeriksa
panjang otot Soleus dan Gatrocnemius.
- Arahkan ankle ke posisi dorsofleksi. Positif memendek jika endfeel tidak terasa
“soft”.
 Hasil : endfeel “firm” indikasi adanya peningkatan tonus otot dan pemendekan otot.
8. Pirani Score
24

Pemeriksa duduk. Anak berada di pangkuan ibu. Pengukuran dilakukan saat pemeriksa
mengoreksi kaki dengan lembut dengan sedikit usaha, dan tanpa rasa tidak nyaman.
 Medial Crease (MC) - Hasil: nilai 0,5
 Curved Lateral Border (CLB) - Hasil: nilai 1

 Lateral Head Of Talus (LHT) - Hasil : nilai 0,5

 Posterior Crease (PC) - Hasil: nilai 0,5

 Empty Heel (EH) - Hasil : nilai 1

 Rigid Equinus (RE) - Hasil: nilai 0,5.


9. Roye Score
Item Kode Respon Nilai :
Seberapa puas/menerima anda 1 = sangat puas/menerima
dengan keadaan kaki anak anda? 2 = kadang-kadang puas/menerima
3 = kadang-kadang tidak 2
puas/menerima
4 = sangat tidak puas/menerima
Seberapa puas/menerima anda 1 = sangat puas/menerima
dengan penampilan kaki anak anda? 2 = kadang-kadang puas/menerima
3 = kadang-kadang tidak 2
puas/menerima
4 = sangat tidak puas/menerima
Seberapa sering anak anda terganggu 1 = tidak pernah
karena clubfoot-nya? 2 = kadang-kadang
2
3 = biasanya
4 = selalu
Seberapa sering anak anda 1 = tidak pernah
bermasalah menemukan sepatu yang 2 = kadang-kadang
2
cocok? 3 = biasanya
4 = selalu
Seberapa sering anak anda 1 = tidak pernah 2
bermasalah menemukan sepatu yang 2 = kadang-kadang
25

dia sukai? 3 = biasanya


4 = selalu

Apakah anak anda pernah (Recoded)


mengeluhkan nyeri pada kakinya? 1= tidak 4
4 = ya
Seberapa terbatas anak anda untuk 1= tidak terbatas sama sekali
berjalan? 2 = kadang terbatas
2
3 = keterbatasan sedang
4 = sangat terbatas
Seberapa terbatas anak anda untuk 1= tidak terbatas sama sekali
berlari? 2 = kadang terbatas
2
3 = keterbatasan sedang
4 = sangat terbatas
Seberapa sering anak anda 1 = tidak pernah
mengeluhkan nyeri saat beraktivitas 2 = kadang-kadang
2
berat? 3 = biasanya
4 = selalu

E. Diagnosa Fisioterapi
“Ankle Deformity with Mobility Deficit and Hypertone Muscle et causa Congenital Talipes
Equino Varus (CTEV) Bilateral”

F. Problematika Fisioterapi
Pemeriksaan/Pengukuran Yang
No Komponen ICF
Membuktikan
1. Impairment
a. Peningkatan Tonus Palpasi, Skala Asworth
b. Pemendekan Otot Muscle Length Test
c. Keterbatasan Gerak ROM Goniometer
d. Deformitas Ankle Pirani Score
2. Activity Limitation
a. Kesulitan untuk berdiri dengan Inspeksi, Roye Score
26

keseimbangan yang stabil


b. Kesulitan untuk berjalan dengan pola Inspeksi, Roye Score
yang benar
3. Participation Restriction
a. Kesulitan untuk bermain dengan Anamnesis, Roye Score
teman sebaya
27

BAB IV

INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

A. Rencana Intervensi Fisioterapi


1. Tujuan Jangka Panjang
Meningkatkan dan mengembalikan kemampuan fungsional berjalan, berlari dan bermain
bersama teman-temannya tanpa keluhan dan hambatan.
2. Tujuan Jangka Pendek
 Menurunkan tonus otot gastrocnemius dan soleus.
 Meningkatkan panjang otot gastrocnemius dan soleus.
 Meningkatan ROM.
 Memperbaiki deformitas ankle.

B. Strategi Intervensi Fisioterapi

No
Problematik Fisioterapi Tujuan Intervensi Intervensi
.
1. Impairment
a. Peningkatan Tonus Menurunkan peningkatan Stretching, TENS
tonus otot

b. Pemendekan Otot Meningkatkan panjang otot Stretching, TENS

c. Keterbatasan Gerak Meningkatkan ROM Stretching

d. Deformitas Ankle Memperbaiki deformitas AFO


ankle
2 Activity Limitation
a. Kesulitan untuk berdiri Mengembalikan Stretching, AFO, Dennis
dengan keseimbangan kemampuan fungsional Brown Splint, dan
berdiri dengan
yang stabil Standing Exercise
keseimbangan yang baik
tanpa keluhan.
b. Kesulitan untuk Mengembalikan Stretching, AFO, Dennis
berjalan dengan pola kemampuan fungsional Brown Splint, dan
28

yang benar berjalan tanpa keluhan. Walking Exercise


3.
Participan Restriction

a. Kesulitan untuk Mengembalikan Stretching, AFO,


bermain dengan teman kemampuan untuk bermain Standing Exercise,
sebaya tanpa keterbatasan Walking Exercise,
Dennis Brown Splint,
Edukasi dan Home
Program

C. Prosedur Penatalakasanaan Intervensi Fisioterapi


1. Stretching
 Posisi pasien : Serilek mungkin, terutama pada daerah yang akan diterapi.
 Posisi fisioterapis : Berada di depan pasien.
 Penatalaksanaan :
a) Elongasi otot triceps surae, kapsul posterior dan lig. ankle dan sendi subtalar.
- Os calcaneus dipegang dgn jari telunjuk dan ibu jari 1 tangan kemudian tarik ke
arah distal tumit akan tertarik ke bwh dan terdorong menjauhi maleolus medial
fibula.
- Dengan tangan lain,area calcaneocuboid didorong ke posisi dorsofleksi.
- Posisi ini dipertahankan dalam hitungan 10, lalu dilepaskan. Ulangi stretching
pasif ini 20-30 kali/sesi.
b) Elongasi otot tibialis posterior dan lig. tibionavicularis.
- Untuk stretching os.calcaneus dipegang dengan jari telunjuk dan ditarik ke
bawah ke arah distal.
- Tangan lain menjepit naviculare dengan jari telunjuk dan ibu jari menarik
naviculare dan midfoot ke arah distal ibu jari kaki dan diabduksi.
c) Elongasi ligamen calcaneonaviculare plantaris dan jaringan lunak lantar.
- Dengan 1 tangan tumit didorong naik. Dengan tangan lain, midfoot didorong
ke arah dorsofleksi.
29

- Ibu jari 1 tangan berada di atas maleolus medial dan ibu jari tangan lain di
atas naviculare.
- Posisi ini dipertahankan 10 hitungan lalu dilepas dan diulangi 20-30 kali tiap
sesi.
2. TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation)
 Posisi Pasien : Duduk dengan kedua kaki diluruskan
 Posisi Fisioterapis : Berada di samping pasien
 Penatalaksanaan : Fisioterapis memposisikan pasien duduk dengan kedua kaki
di-
luruskan di lantai. Kemudian meletakkan satu pad eletrical
stimulation pada otot abductor ankle dan satu pad lainnya
diletakkan pada otot abductor hip. Stimulasi diberikan selama
15 menit.
3. Pemasangan Ankle Foot Orthosis (AFO) dan Dennis Brown Splint
 Posisi pasien : Duduk dengan ankle diluruskan supaya rileks
 Posisi fisioterapis : Menghadap ke pasien
 Penatalaksanaan : Posiskan terlebih dahulu kaki pasien ke posisi anatomis
dengan
berlawanan arah pada kasus CTEV yaitu abduksi, pronasi, eversi
+ dorsi fleksi ankle. Kemudian pasang AFO dan dennis brown
splint dengan tetap memperhatikan kenyamanan anak.
Modifikasi AFO berupa penambahan tinggi alas pada sisi depan
AFO juga bisa menjadi metode untuk menstabilkan knee anak
yang hiperekstensi
4. Standing Exercise
 Posisi pasien : Berdiri di atas matras
 Posisi fisioterapis : Di depan pasien
 Penatalaksanaan : Fasilitasi keseimbangan pada posisi berdiri caranya posisikan
30

anak berdiri di lantai atau di matras sedang terapis berada di


depan atau di belakang anak dengan pegangan pada bahu
kemudian berikan dorongan ke depan, ke belakang atau ke
samping. Latihan ini juga bisa dilakukan di atas tilting board
dengan posisi anak berdiri di atasnya dan terapis menggoyang-
goyang ke kanan, ke kiri, setelah dilakukan tiga kali arah diganti
ke depan dan ke belakang. Latihan standing juga bisa dilakukan
di bidang miring agar dapat meningkatkan kestabilan knee anak
yang hiperekstensi
5. Walking Exercise
 Posisi pasien : Berjalan dan berlari di atas matras
 Posisi fisioterapis : Di sekitar pasien
 Penatalaksanaan : Anak dibiarkan berjalan maupun berlari baik di atas matras mau-
pun di lantai namun tetap terus diingatkan dan dikoreksi cara
berjalan dan berlari agar anak lebih perlahan dalam berjalan
maupun berlari dan tetap mengontrol posisi kaki. Seperti latihan
standing, latihan walking juga bisa dilakukan di bidang miring
agar dapat meningkatkan kestabilan knee anak yang
hiperekstensi.

D. Edukasi dan Home Program


1. Edukasi
 Orang tua diharapkan tetap menggunakan orthosis yang diberikan berupa AFO
selama anak beraktivitas di rumah dan sesekali dilepaskan ketika beristirahat.
2. Home Program
 Orang tua dapat melakukan beberapa program intervensi di rumah seperti yang telah
diberikan pada anak seperti stretching otot pergelangan kaki, pemakaian AFO ketika
anak beraktivitas atau bermain serta latihan berdiri (standing) dan berjalan (walking)
dengan tetap memperhatikan dan melakukan koreksi pada cara berdiri, berjalan
maupun berlari anak.
31

E. Evaluasi Fisioterapi
Intervensi Evaluasi
No Problematik
Fisioterapi Awal Terapi Akhir Terapi
Evaluasi Jangka Pendek
1 Hipertonus/Spastik Stretching, TENS Terdapat sedikit Terjadi penurunan
peningkatan tonus tonus otot
otot
2 Pemendekan otot Stretching, TENS Belum terdapat peningkatan panjang
otot
3 Keterbatasan gerak Stretching Belum terdapat peningkatan ROM
4 Deformitas ankle AFO Belum terdapat perbaikan deformitas
Evaluasi Jangka Panjang
5 Kemampuan Stretching, AFO, Pasien belum memiliki keseimbangan
fungsional berdiri, Standing dan yang stabil saat berdiri dan pola berjalan
berjalan dan berlari Walking Exercise yang benar, begitu pun saat berlari
32

BAB V

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Assessment Fisioterapi


1. History Taking
Anamnesis adalah cerita tentang riwayat penyakit yang diutarakan oleh pasien
melalui tanya jawab, pada saat melakukan anamnesis seorang pemeriksa sudah
mempunyai gambaran untuk menentukan strategi dalam pemeriksaan klinis selanjutnya,
karena dengan anamnesis yang baik membawa kita menempuh setengah jalan kearah
diagnosis yang tepat. Secara umum sekitar 60-70 % kemungkinan diagnosis yang
benar dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis yang benar.
2. Inspeksi
Untuk melengkapi data suatu pemeriksaan fisioterapi, diperlukan pemeriksaan
observasi. Observasi memerlukan kecermatan dan kecepatan menganalisa pasien dalam
waktu yang singkat.
3. Pemeriksaan/Pengukuran Pediatrik
a) Palpasi
Palpasi dilakukan untuk mengetahui apakah ada kelainan tonus otot dari
pasien, yaitu apakah ada peningkatan tonus otot (spastik) atau penurunan tonus otot
(flaccid).
b) Pengukuran ROM
Pengukuran ROM yang sering digunakan adalah goniometri, tapi untuk
sendi tertentu menggunakan pita ukur (misalnya pada vertebra) (Trisnowiyanto,
2012). Cara pengukuran ROM dengan Goniometer dengan hasil plantar flexion
bagian dekstra dan sinistra 700, sedangkan inteversi dextra dan sinistra 200.
c) Pemeriksaan Refleks Fisiologis
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui apakah refleks fisiologis pasien
normal atau tidak (hyporefleks/hyperrefleks).
d) Pemeriksaan Tonus Otot (Skala Asworth)
33

Skala yang dapat dipakai untuk menilai derajat spastistitas tonus otot,
Asworth scale banyak digunakan dan memiliki reabilitas cukup baik.
e) Muscle Length Test
Tes panjang otot juga harus dimasukkan dalam penilaian gerakan sendi
secara keseluruhan. Panjang hamstring biasanya dinilai pada orang dewasa
menggunakan tes angkat kaki lurus, namun pengukuran sudut popliteal (PA)
umumnya digunakan dalam pediatri. Pengukuran PA dapat digunakan dengan adanya
kontraktur fleksi lutut; oleh karena itu, hal ini berguna untuk anak-anak yang datang
dengan keterlibatan beberapa sendi. Dorsofleksi pergelangan kaki harus diukur
dengan lutut tertekuk dan ekstensi untuk menentukan kontribusi soleus dan
gastrocnemius terhadap keterbatasan. Perawatan harus dilakukan untuk menjaga
netral sendi subtalar selama pengukuran untuk meminimalkan dorsofleksi kaki tengah
yang berkontribusi pada pengukuran kaki belakang yang terlalu tinggi.
f) Pirani Score
Selama Manajemen Ponseti Kaki Pengkor, Catatan Skor Pirani menunjukkan
apakah deformitas terkoreksi secara normal atau apakah ada masalah, dan tingkat
koreksi setiap komponen kaki pengkor.
g) Roye Score
Skor Roye digunakan sebagai ukuran hasil untuk kaki pengkor idiopatik
pada anak kecil dengan memberikan bukti reliabilitas, validitas, dan kekuatan
diskriminatifnya.

B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi


1. Stretching
Mekanisme efek terapeutik teknik peregangan otot untuk meningkatkan rentang
gerak dapat dijelaskan dengan menggunakan tiga model.
a) Model biomekanik
Literatur menyarankan model biomekanik untuk menjelaskan peningkatan
ekstensibilitas otot karena peregangan berdasarkan biomekanik otot, ini termasuk
pada dasarnya, deformasi viskoelastik dan deformasi plastis :
34

 Deformasi Viskoelastik
Otot rangka dianggap viskoelastik karena mereka kembali ke panjang aslinya
setelah gaya tarik dihilangkan. Perpanjangan ini adalah deformasi viskoelastik
karena besarnya dan durasinya dibatasi oleh otot. Sebuah studi yang dilakukan
pada otot kelinci menunjukkan bahwa unit otot-tendon merespon secara
viskoelastis terhadap beban tarik dan aktivitas refleks tidak mempengaruhi
karakteristik biomekanik model.
 Deformasi Plastik
Teori ini menyatakan bahwa ketika intensitas regangan cukup untuk
memanjangkan jaringan ikat melewati batas elastisitasnya, jaringan ikat akan
terdeformasi secara permanen saat mencapai fase plastis perpanjangan regangan.
Model ini tidak memiliki bukti komprehensif untuk mendukungnya.
b) Model Sensorik
Modulasi sensorik dan perubahan persepsi sensasi subjek dikaitkan dengan perubahan
rentang gerak akibat peregangan. Teori ini disebut sebagai teori sensorik, sensasi
seperti nyeri, peregangan dan lain-lain yang menghambat rentang gerak kemudian
dapat ditoleransi setelah peregangan.
c) Model saraf
Efek penghambatan pada refleks tulang belakang monosinaptik karena
peregangan otot hadir di kedua otot yang diregangkan dan tidak diregangkan dari
kaki ipsilateral. Hal ini sebagian dapat dijelaskan oleh penghambatan oleh input
aferen dari reseptor otot (Otot Spindle dan Golgi Tendon Organ) pada refleks tulang
belakang (Masugi Y., 2017). Kumpulan saraf motorik diketahui berkurang setelah 30
sesi peregangan dan sebagian berkontribusi pada peningkatan fleksibilitas. Sebuah
tinjauan sistematis tentang efektivitas pengobatan dan pencegahan kontraktur pada
orang dengan kondisi neurologis menyimpulkan bahwa peregangan teratur tidak
menghasilkan perubahan penting secara klinis dalam mobilitas sendi, nyeri,
kelenturan, atau pembatasan aktivitas.
2. TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation)
35

Dari stimulasi elektris akan menghambat aktivitas nociceptor pada tingkat


spinal, mengaktivasi kontrol gerbang terjadilah pengurangan nyeri. Kondisi spastik
stimulus elektris menurunkan tonus otot melalui mekanisme resiprocal inhibition. Pada
saat stimulasi diberikan susunan saraf tepi kepada antagonis, jumlah besar berdiameter
muscle spindel afferen fiber akan terbangkitkan. Potensial aksi yang dibangkitkan
afferen fiber ini akan ditransmisikan ke spinal cord dan membangkitkan spinal
interneurons yang selanjutnya akan menghambat aktivitas motor neuron terhadap
peningkatan tonus otot.
3. Ankle Foot Orthosis (AFO)
Tujuan utama dalam penggunaan orthosis adalah untuk memperbaiki postur
dan kontraktur otot, untuk mendukung posisi sendi normal, dan memfasilitasi atau
meningkatkan fungsi gerak (Knutson, 1991; Fish, 2001). Selain itu fungsi dari Ankle
foot orthosis (AFO) yaitu : mengontrol pergerakan, mengoreksi alignment, Offload
weight, mengakomodasi/mencegah deformitas, dan menyediakan tekanan pada
circumferensial. Selain itu, penggunaan alat bantu juga dapat memfasilitasi ke posisi
anatomis agar dapat mempermudah program latihan yang akan diberikan.
4. Standing dan Walking Exercise
Anak dengan kondisi clubfoot dan memakai AFO cenderung memiliki
perubahan postural karena adanya adaptasi dari pemakain brace yang kemumgkinan
dapat mempengaruhi postur serta keseimbangannya sehingga dengan latihan standing
dan walking maka terdapat respond adaptasi yang dapat mengurangi adanya
keterbatasan aktivitas pada anak. Anak bisa tetap beraktivitas sesuai dengan
perkembangan motorik seusianya.
5.
36

DAFTAR PUSTAKA

Africa Clubfoot Training Project. Chapter 4 Africa Clubfoot Training Basic & Advanced
Clubfoot Treatment Provider Courses - Participant Manual. University of Oxford:
Africa Clubfoot Training Project, 2017.
Daryabor A, Arazpour M, Aminian G. Effect of different designs of ankle-foot orthoses on
gait in patients with stroke: A systematic review. Gait & posture. 2018 May
1;62:268-79.
Dietz FR, Tyler MC, Leary KS, Damiano PC. Evaluation of a disease-specific instrument
for idiopathic clubfoot outcome. Clinical orthopaedics and related research. 2009
May 1;467(5):1256-62.
Dyer P, Davis N (2006) The role of the Pirani scoring system in the management of
clubfoot by the Ponseti method. The Journal of Bone and Joint Surgery 88 (8):
1082-1084
Dyer PJ, Davis N. The role of the Pirani scoring system in the management of club foot by
the Ponseti method. Bone & Joint Journal. 2006 Aug 1;88(8):1082-4.
Goriainov V, Judd J, Uglow M. Does the Pirani score predict relapse in clubfoot?. Journal
of children's orthopaedics. 2010 Aug 29;4(5):439-44.
Goriainov V, Uglow M (2010) The value of initial Pirani score assessment of clubfoot in
predicting recurrence. (British Society for Children’s Orthopaedic Surgery
conference proceeding) in The Journal of Bone and Joint Surgery 92B, Supp_III,
376.
Guissard N, Duchateau J. Neural aspects of muscle stretching. Exercise and sport sciences
reviews. 2006 Oct 1;34(4):154-8.
Jillani SA, Aslam MZ, Chinoy MA, Khan MA, Saleem A, Ahmed SK. A comparison
between orthopedic surgeon and allied health worker in Pirani score. J Pak Med
Assoc. 2014 Dec;64(12 Suppl 2):S127-30.
37

Katalinic OM, Harvey LA, Herbert RD. Effectiveness of stretch for the treatment and
prevention of contractures in people with neurological conditions: a systematic
review. Physical therapy. 2011 Jan 1;91(1):11-24.
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Profil Kesehatan Indonesia: Kemenkes RI
Kisner, C., & Colby, L. A. (2013). Therapeutic exercise 6th edition.
Masugi Y, Obata H, Inoue D, Kawashima N, Nakazawa K. Neural effects of muscle
stretching on the spinal reflexes in multiple lower-limb muscles. PloS one.
2017;12(6).
Mejabi JO, Esan O, Adegbehingbe OO, Orimolade EA, Asuquo J, Badmus HD, Anipole
AO. The Pirani Scoring System is Effective in Assessing Severity and Monitoring
Treatment of Clubfeet in Children , British Journal of Medicine & Medical
Research 17(4): 1-9, 2016
Pirani S, Hodges D & Sekeramayi F (2003) A reliable and valid method of assessing the
amount of deformity in the congenital clubfoot deformity (The Canadian
Orthopaedic Research Society and the Canadian Orthopaedic Association
conference proceeding) in The Journal of Bone and Joint Surgery 90 (B) SUPP_1,
53
Roye BD, Vitale MG, Gelijns AC, Roye DP Jr. Patient-based outcomes after clubfoot
surgery. J Pediatr Orthop. 2001 Jan-Feb; 21(1):42-9.
Shaheen S, Jaiballa H, Pirani S. Interobserver reliability in Pirani clubfoot severity scoring
between a paediatric orthopaedic surgeon and a physiotherapy assistant. Journal of
Pediatric Orthopaedics B. 2012 Jul 1;21(4):366-8.
Smythe T, Gova M, Muzanuwi R, Foster A, Lavy C. A Comparison of outcome measures
used to report clubfoot treatment with the Ponseti method: results from a cohort in
Harare, Zimbabwe. BMC Musculoskeletal Disorders (2018) 19:450
Soetjiningsih, D. S. A. K. (2013). Tumbuh kembang anak. Jakarta: EGC.
Supriasa dkk, (2016). Tumbuh kembang. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Taylor DC, Dalton JR JD, Seaber AV, Garrett JR WE. Viscoelastic properties of muscle-
tendon units: the biomechanical effects of stretching. The American journal of
sports medicine. 1990 May;18(3):300-9.
38

Totah D, Menon M, Jones-Hershinow C, Barton K, Gates DH. The impact of ankle-foot


orthosis stiffness on gait: A systematic literature review. Gait & posture. 2019 Mar
1;69:101-11.
Weppler CH, Magnusson SP. Increasing muscle extensibility: a matter of increasing length
or modifying sensation?. Physical therapy. 2010 Mar 1;90(3):438-49.
39

DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai