Anda di halaman 1dari 55

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan tepat waktu meskipun masih jauh dari tahap kesempurnaan. Praktek klinik
(Komprehensif) ini merupakan salah satu mata kuliah yang wajib ditempuh di
Kampus Jurusan Fisioterapi. Adapun sub bagian dari laporan ini adalah beberapa
pengetahuan umum terkhusus mengenai Manajemen Fisioterapi Pada Gangguan
tumbuh kembang anak (usia 4 tahun 4 bulan dengan usia perkembangan 6 bulan )
et causa cerebral palsy athetoid dengan terselesaikannya laporan praktek klinik ini
tidak terlepas dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan masukan-
masukan kepada penulis.

Untuk itu penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada :

1. Pembimbing Klinik (Clinical educator) YPAC Makassar

2. Pembimbing Akademik

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari laporan ini, baik
dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya pengetahuan dan
pengalaman penulis. Olehkarenaitu, kritikdan saran yang membangun sangat
penulis harapkan. Terimakasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Makassar, November 2021

Penulis

1
DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................6
TINJAUAN KASUS...............................................................................................6
A. Tinjauan Anatomi Fisiologi....................................................................6
B. Tinjauan Cerebral Palsy Athetoid.......................................................13
C. Tinjauan Pengukuran Fisioterapi........................................................17
D. Tinjauan Intervensi Fisioterapi...........................................................20
BAB III..................................................................................................................29
PROSES ASSESMEN FISIOTERAPI...............................................................29
A. Identitas Pasien......................................................................................29
B. History Taking.......................................................................................29
C. Inspeksi/Observasi.................................................................................30
D. Pemeriksaan/Pengukuran Fisioterapi.................................................30
E. Diagnose Fisioterapi (ICF-ICD) :........................................................33
F. Problematik Fisioterapi........................................................................33
BAB IV..................................................................................................................37
INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI............................................37
A. Rencana Intervensi Fisioterapi............................................................37
B. Strategi Intervensi Fisioterapi..............................................................37
C. Prosedur Pelaksanaan Intervensi Fisioterapi.....................................39
D. Edukasi dan Home Program................................................................42
E. Evaluasi..................................................................................................43
BAB V....................................................................................................................45
PEMBAHASAN...................................................................................................45
A. Pembahasan Assesmen Fisioterapi......................................................45
B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi (kaitannya dengan clinical
reasoning)..........................................................................................................49
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................54

3
BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu masalah tumbuh kembang yang sering muncul adalah cerebral
palsy, yaitu sekelompok gangguan neuromuscular non progresif yang disebabkan
oleh kerusakan otak yang terjadi pada saat pre, peri atau pasca natal pada saat
pembentukan otak belum sempurna.(Syarif, 2013).

Prematuritas dan berat badan lahir rendah merupakan faktor risiko penting
untuk CP. Dalam kebanyakan penyebab kasus CP, cedera awal pada otak terjadi
selama awal perkembangan otak janin, pendarahan intraserebral dan leukomalasia
periventrikular adalah temuan patologis utama yang ditemukan pada bayi
prematur yang mengalami CP. Diagnosis CP lebih didasarkan pada temuan klinis
yang utamanya dapat diandalkan pada usia 2 tahun (Patel et al., 2020).

Cerebral palsy merupakan disabilitas fisik yang paling umum diderita pada
masa kanak-kanak (Byrne et al., 2017). Dikutip dari laporan World Health
Organization tentang disabilitas pada tahun 2011, sebanyak 15% dari populasi
global hidup dengan berbagai bentuk disabilitas, sementara 2-4% mengalami
kesulitan yang signifikan dalam berfungsi. Insiden cerebral palsy adalah 2-3 per
1000 kelahiran hidup di dunia (Patel et al., 2020). Menurut data Eropa, prevalensi
rata-rata CP adalah 2,08 per1000 kelahiran hidup, namun pada kelompok anak
lahir dengan berat badan di bawah 1500 g, frekuensinya 70 kali lebih tinggi bila
dibandingkan dengan kelompok anak dengan berat badan lebih dari 2500 g saat
lahir (Disease et al., 2020). Sementara itu, diperkirakan antara 700.000 dan 1 juta
orang dewasa di United States memiliki cerebral palsy (Lomax & Shrader, 2020).

Prevalensi anak penderita cerebral palsy di Indonesia berkisar antara 1-5


per 1.000 kelahiran hidup dengan rata-rata 70% tipe spastik. Otak yang
mengalami gangguan saat berkembang dan rusaknya neurologis pada bayi yang
lahir prematur menyebabkan angka prevalensi pada 30 tahun terakhir mengalami

4
peningkatan. Terhitung 50% kasus tergolong ringan pada pasien cerebral palsy,
sehingga mampu mengurus dirinya sendiri, sedangkan 30% lainnya tergolong
berat dan membutuhkan bantuan orang lain (Selekta et al., 2018).

Berdasarkan pengamatan di lahan praktek, problematic dari pasien dengan


cerebral palsy diskinetik/athetoid antara lain : terdapat spastisitas, gerak
involunter, gangguan control postural, gangguan perkembangan motoric
(merangkak, duduk stabil, transfer dari duduk ke berdiri, berdiri dan berjalan
secara mandiri ).

Terdapat berbagai intervensi fisioterapi berdasarkan evidence based yang


dapat diberikan pada kasus gangguan tumbuh kembang et causa cerebral palsy
athetoid . oleh karena itu, penulis melalui laporan ini akan menguraikan
menagemen fisioterapi pada kasus cerebral palsy athetoid di YPAC Makassar.

5
BAB II

TINJAUAN KASUS

A. Tinjauan Anatomi Fisiologi


Menurut kamus kedokteran Dorlan (2005) definisi spastik adalah
bersifat atau ditandai dengan spasme hipertonik, dengan demikian otot-
otot dan gerakan kaku. Sedangkan athetoid dikenal juga dengan istilah
diskinetik atau gerak yang gerakannya tidak terkontol, sikapnya abnormal,
dan gerakannya involunter atau dengan sendirinya. Reflex neonatalnya
menetap dikarenakan kerusakan terjadi di ganglia basalis (daerah yang
mengatur gerakan). Quadriplegi, keempat anggota gerak tubuh terserang
semuanya (Mangunsong, 2011). Jadi, CP spastic athetoid quadriplegi
adalah gerakan yang tidak terkontrol yang bersifat involunter dan
hipertonus pada keempat anggota gerak terserang semua. (Ichsan, 2014).
1. Ventrikulomegali

Ventrikulomegali adalah suatu kondisi otak yang terjadi ketika lateral


ventrikel menjadi membesar. Pada janin, definisi yang paling umum
menggunakan lebar atrium ventrikel lateral lebih besar dari 10 mm. Hal ini
terjadi di sekitar 1% dari kehamilan. Ketika pengukuran ini adalah antara
10 dan 15 mm, ventrikulomegali yang dapat digambarkan sebagai ringan
sampai sedang.Ketika pengukuran lebih besar dari 15mm,
ventrikulomegali yang dapat diklasifikasikan sebagai lebih parah.

6
2. Atrofi Otak

a. Hemisfer kiri dan kanan

Kerusakan otak unilateral akan memberikan gejala berbeda.


Hemisfer kiri merupakan hemisfer dominan untuk orang tangan
kanan (right handed). Orang kidal 80% hemisfer dominan tetap
dikiri. Kerusakan hemisfer kiri akan memberi gejala gangguan
bahasa / aphasia, sedang hemisfer kanan terutama visuospatial.

1) Lobus Fronto

Terdapat 5 area pada lobus frontal yaitu presental gyrus


area, area brocca, presental gyrus merupakan area motor
kontralateral dari wajah, lengan, tungkai, tubuh.

a) Area Brocca's merupakan pusat bicara motorik pada lobus


dominan.

b) Suplementari motor area untuk gerakan kontralateral kepala


dan lirikan mata

7
c) Area prefrontal merupakan area untuk kepribadian dan
inisiatif.

d) Lobulus parasental merupakan pusat kontrol inhibisi untuk


miksi dan defikasi.

Gangguan lobus frontal

a) Presentral gyrus: monophlegi atau hemiplegia

b) Area Brocca disfasia

c) Suplementari motor area: paralysis kepala dan gerakan bola


mata berlawanan arah lesi, sehingga kepala dan mata kearah
lesi hemisfer

d) Area prefrontal: kerusakan sering bilateral karean gangguan


aneurisma communican anterior, mengakibatkan gangguan
tingkab laku. (Japardi, 2003)

2) Lobus Parietal .

Terdapat 5 area di lobus parietal yaitu:

a) Gyrus postcentral: merupakan kortek sensoris yang


menerima jaras afferent dari posisi, raba dan gerakan pasif.

b) Gyrus angularis dan supramarginal: hemisfer dominan


merupakan bagian area bahwa Wernic’s, dimana masukkan
auditori dan visual di integrasikan. Lobus non dominan
penting untuk konsep " body imge", dan sadar akan
lingkungan luar.

8
c) Kemampuan untuk kontruksi bentuk, menghasilkan visual
atau ketrampilan proprioseptik. Lobus dominan berperan
pada kemampuan menghitung atau kalkulasi. Jaras visual
radiatio optika melalui bagian dalam lobus parietal.

Gangguan lobus parietal

a) Gangguan korteks sensoris dominan / non - dominan


menyebabkan kelainan sensori kortikal berupa gangguan:
sensasi postural, gerakan pasif, lokalisasi akurat raba halus,
" two points discrimination", astereognosia," sensory
inattention"

b) Gyrus angularis dan supramarginal: aphasia Wernicke's

c) Lobus non - dominan: anosognosia (denies), dressing


apraksia, geografikal agnosia, konstruksional apraksia.
d) Lobus dominan: Gerstsman sindroma : left & right

disorientasi, finger agnosia, akalkuli dan agrafia.

e) Gangguan radiasio optika: homonim kuadrananopsi bawah.

(Japardi, 2003)

3) Lobus Temporal

a) Kortek auditori terletak pada permukaan gyrus temporal


superior (gyrus Heschl). Hemisfer dominan penting untuk
pendengaran bahasa, sedang hemisfer non - dominan untuk
mendengar nada, ritme dan musik.

b) Gyrus temporalis media & inferior berperan dalam fungsi


belajar & memori

9
c) Lobus limbic: terletak pada bagian inferior medial lobus
temporal, termasuk hipokampus & gyrus parahipokampus.
Sensasi olfaktoris melalui jaras ini, juga emosi / sifat efektif.
Serabut olfaktori berakhir di uncus.

d) Jaras visual melalui bagian dalarn lobus temporal sekitar


cornu posterior ventrikel lateral.

Gangguan lobus temporal

a) Kortek auditori: tuli kortikal. Lobus dominan ketulian untuk


mendengar pembicaraan atau amusia pada lobus non –
dominan
b) Gyrus temporal media & inferior: gangguan memori /
belajar

c) Kerusakan lobus limbik: halusinasi olfaktori seperti pada


bangkitan parsia komplek. Agresif / kelakuan antisosisal,
tidak mampu untuk menjaga memori baru.

d) Kerusakan radiasi optika: hemianopsi


homonim kuadranopia bagian atas. (Japardi, 2003)

4) Lobus Occipital

Lesi Kortikal memberikan gejala homonim dengan / tanpa


kelainan macula. Bila hanya kutub occipital terkena maka
kelainan macula dengan penglihatan perifer normal.

a) Buta kortikal: Karena lesi kortikal yang luas, reflek pupil


normal & persepsi cahaya (- ).

10
b) Anton's sindroma: Kerusakan striata dan para striata
menyebabkan kelainan interpretasi visual. Pasien tidak
sadar buta dan menyangkal. Karena kelainan arteri cerebri
posterior, juga dapat mengikuti hipoksia & hipertensi
ensefalopati.

c) Balin sindroma: tidak bisa melirikkan mata volunteer


disertai visual agnosia, karena lesi parieto-occipital bilateral.

d) Halusinasi visual: Halusinasi karena lesi occipital biasanya


sederhana, tampak sebagai pola (zigzag, kilatan) dan
mengisi lapangan hemianopsi, sedang halusinasi karena
lobus temporal berupa bentuk komplek clan mengisi seluruh
lapang pandang

e) Ilusi visual: distoris bentuk, hilangnya warna, makropsia /


mikrosia, sering pada lesi non - dominan.

f) Prosopagnosia: pasien mengenal wajah orang tidak bisa


menyebutkan namanya.

g) Diagnosa dysphasia: Dengarkan isi dan kelancaran bahasa,


amati dengan perintah sederhana sampai komplek Penilaian
ditujukan pada bicara spontan, penamaan, pengulangan,
baca dan tulis.

h) Brocca dysphasia: bicara tak lancar, tertahan, pengertian


baik.

i) Wernicke dysphasia: pengertian terganggu, bicara lancar


tapi tak bearti, neologisme, paraphrasia, tulisan jelek.

11
j) Global dysphasia: bicara tak lancar, pengertian jelek. Area
reseptif dan ekspresi dihubungkan melalui fasikulus arkuata
untuk menjalankan fungsi intergrasi.

k) Dysphasia: kelainan dapatan yang ditandai dengan


hilangnya kemampuan produksi atau pengertian terhadap
pembicara dan/tulisan karena kerusakan otak sekunder.
(Japardi, 2003)

a. Anatomi Fisiologi Athetoid

Bagian otak yang mengenai cerebral palsy yaitu cortex


menyebabkan terjadi spastik, bangsal ganglia menyebabkan terjadi

CP atetoid:

1) Cortex

(Menurut Untari, 2012 dalam Debbita, 2016) cerebrum


berfungsi untuk mengatur semua aktivitas mental yang
berkaitan dengan kepandaian, ingatan, kesadaran, dan
pertimbangan. Menurut Snell (2009) lobus frontalis dibagi
menjadi beberapa area. Area precentralis dibagi menjadi
daerah anterior dan posterior. Area anterior disebut area
pramotorik/ motorik sekunder (area Brodman 6) dan sebagian
dari area 8, 44, 45 berfungsi menyimpan program aktivitas
motorik berdasarkan pengalaman, mengontrol gerakan postural
kasar melalui hubungannya dengan ganglia basal. Area
posterior disebut area motorik primer (area Brodman 4)
berfungsi menimbulkan gerakan-gerakan individual pada
berbagai bagian tubuh.

2) Ganglia Basal

12
Nukleus basal atau ganglia basal berperan dalam
mengontrol gerakan selain memiliki fungsi non motorik yang
belum dipahami. Nukleus bangsal berfungsi menghambat
tonus otot diseluruh tubuh (tonus otot yang sesuai normal
dipertahankan oleh keseimbangan antara input eksitatorik dan
inhibitorik ke neuron-neuron yang mensarafi otot rangka),
mempertahankan aktivitas motorik yang bertujuan menekan
pola gerak yang tidak berguda dan tidak diinginkan, memantau
dan mengoordinasikan kontraksilambat yang menetap terutama
yang berkaitan dengan postur dan penopangan (Sherwood,

2014 am Debbita, 2016).

B. Tinjauan Cerebral Palsy Athetoid


1. Definisi
Cerebral palsy adalah bentuk kelainan yang terjadi pada aspek
motorik yang disebabkan oleh disfungsinya sistem persarafan di otak.
Gambaran klinis yang diakibatkan oleh luka pada otak, di mana salah
satu komponennya menjadi penghalang dalam gerak sehingga timbul
kondisi yang tampak semenjak kanak-kanak dengan sifat-sifat sifat
seperti lumpuh, lemah, tidak adanya koordinasi atau penyimpangan
fungsi gerak disebabkan oleh patologi pusat kontrol gerak di otak.
Jenisjenis cerebral palsy yang dapat kita kenali dalam kehidupan
sehari-hari antara lain spasticity, atbetosis, ataxia, tremor, dan rigidity
(Patton,1991 dalam Abdullah, 2013).
Cerebral palsy (CP) merupakan kumpulan gejala kelainan
perkembangan motorik dan postur tubuh yang disebabkan oleh
gangguan perkembangan otak sejak dalam kandungan atau di masa
kanak-kanak. Kelainan tersebut kerap dibarengi dengan gangguan
sensasi, persepsi, kognisi, komunikasi, tingkah laku, epilepsi, dan
masalah muskuloskeletal. Gejala CP mulai dapat diamati pada anak-
anak di bawah umur 3 tahun, yaitu manifestasi berupa hipotonia awal

13
pada 6 bulan pertama hingga 1 tahun dan umumnya diikuti spastisitas.
(Merlina, Kusnadi, 2012).
a. Definisi Athetoid
Athetoid berarti gerakan gerakan yang tidak terkontrol.
Biasanya pada lengan, tungkai kaki, tangan, wajah dan
berkedutkedut (meliuk-liuk) juga kepala. Gerakan-gerakan ini
hamper selalu terjadi jika anak dalam keadaan akan ataupun sudah
melakukan kegiatan / gerak. Dan gerakan-gerakan itu akan menjadi
lebih parah bila anak terlalu lebih bergairah / bersemangat atau
marah dan akan jauh menjadi lebih berkurang jika anak dalam
kondisi tenang.Posisi tubuh yang abnormal timbul dan hilang
sesuai dengan perubahanperubahan otot yang kaku menjadi lemas
dan sebaliknya perubahan-perubahan ini membuat anak sulit untuk
memantapkan posisinya sehingga keseimbangannya untuk
dikendalikan. Anakanak yang menyandang athetoid biasanya
lemas seperti bayi. (Gilette Childen’s Specailty Healthcare, 2009)
2. Etiologi
Cerebral palsy adalah penyakit dengan berbagai macam penyebab.
Halhal yang diperkirakan sebagai penyebab cerebral palsy adalah
sebagai berikut:(Fitriadi, 2014).
1. Prenatal
Penyebab utama cerebral palsy pada periode ini adalah
malformasi otak kongenital. Sedangkan penyebab lainnya adalah:
infeksi intrauterin (infeksi Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus,
Herpes virus dan sifilis), trauma, asfiksia intrauterin (abrupsio
plasenta, plasenta previa, anoksia maternal, kelainan umbilikus,
perdarahan plasenta, ibu hipertensi, dan lain- lain), toksemia
gravidarum, maternal seizure disorder, dan sangat jarang yaitu
faktor genetik, kelainan kromosom.
2. Perinatal

14
Penyebab cerebral palsy dalam periode ini antara lain:
anoksia / hipoksia yang dialami bayi selama proses kelahiran,
trauma (disproporsi sefalopelvik, sectio caesaria), prematuritas,
dan hiperbilirubinemia.
3. Postnatal
Penyebab cerebral palsy dalam periode ini yaitu trauma
kepala, infeksi (meningitis / ensefalitis yang terjadi 6 bulan
pertama kehidupan), dan anoksia.
3. Patofisiologi
1. Bayi Prematur
Otak pada bayi prematur rentan terhadap dua patologi
utama yaitu Intraventrikular Hemorrhage (IVH) dan Periventricular
Leukomalacia (PVL). Meskipun kedua patologi meningkatkan
angka kejadian cerebral palsy, PVL lebih beresiko menyebabkan
cerebral palsy dan merupakan penyebab utama pada bayi prematur.
(Wilson, 2008).
2. Perdarahan intraventrikular (IVH)

IVH adalah perdarahan dari matriks subependymal (sel-sel


otak janin) ke dalam ventrikel otak.Pembuluh darah di sekitar
ventrikel terbentuk di akhir trimester ketiga, sehingga bayi
prematur memiliki perkembangan pembuluh darah periventrikel
yang tidak sempurna.Tingkat keparahan IVH menyebabkan
peningkatan resiko cerebral palsy.(Wilson, 2008)

3. Periventrikel leukomalacia (PVL)

IVH merupakan faktor risiko timbulnya PVL, tapi PVL adalah


proses patologis yang terpisah. Patogenesis PVL muncul dari dua
faktor penting, yaitu iskemia/hipoksia dan infeksi/peradangan.
Leukomalasia periventrikular umumnya simetris dan menyebabkan
cedera iskemik substantia alba pada bayi prematur. Cedera
asimetris pada substantia alba periventrikular dapat menghasilkan

15
satu sisi tubuh yang lebih terpengaruh dari yang lain. Hasilnya
hampir sama dengan hemiplegi spastik tetapi lebih terlihat sebagai
kejang diplegia asimetris. Matriks germinal di daerah
periventrikular sangat rentan terhadap cedera hipoksiaiskemik
karena lokasinya di zona perbatasan vaskular antara zona akhir
arteri striata dan thalamik.

4. Cedera vaskuler serebral dan hipoperfusi


Saat matur, ketika sirkulasi ke otak hampir menyerupai
sirkulasi serebral dewasa, cedera pembuluh darah pada saat ini
cenderung terjadi paling sering pada distribusi arteri serebral
tengah, mengakibatkan palsi serebral tipe spastik
hemiplegi.Ganglia basal juga dapat terkena, sehingga terjadi
cerebral palsy tipe ekstrapiramidal atau diskinetik.
4. Gambaran Klinis
Tanda-tanda dan gejala cerebral palsy athetoid bervariasi dengan
setiap anak berdasarkan tingkat keparahan kondisi dan lokasi gerakan.
Gejala yang paling umum dari cerebral palsy athetoid adalah:
1. Gerakan involunter
2. Tremor
3. Postur tubuh yang buruk
4. Adanya ketidakseimbangan postur
5. Gerakan memutar dari trunk
6. Lambat, gerakan menggeliat
7. Gerakan tiba-tiba
Gejala yang dialami tergantung pada letak kerusakan. CP
athetoid terjadi karena adanya kerusakan pada basal ganglia atau
pada cerebelum dan ganglia basalis. Jika cerebellum juga
mengalami kerusakan, anak akan memiliki masalah dengan
keseimbangan dan koordinasi.(Bochek, 2016)
Gejala cerebral palsy athetoid adalah adanya masalah pada
ton us otot yang tinggi ataupun rendah dan dapat berubah-ubah

16
setiap saat. Tonus otot yang tinggi menyebabkan kekakuan dan
gerakan yang menyentak. Sedangkan tonus otot yang rendah
menyebabkankelemahan pada otot dan ditandai dengan kesulitan
gerak seperti kesulitan duduk.(Bochek, 2016)

C. Tinjauan Pengukuran Fisioterapi


1. Skala Asworth
Skala Ashworth yang dimodifikasi adalah alat klinis yang
paling diterima secara universal yang digunakan untuk mengukur
peningkatan tonus otot. Spastisitas didefinisikan oleh Jim Lance
pada tahun 1980, sebagai kecepatan-tergantung peningkatan refleks
peregangan otot yang terkait dengan peningkatan tonus otot
sebagai komponen sindrom neuron motorik atas. Spastisitas
memiliki berbagai macam etiologi, termasuk cedera otak, stroke,
cerebral palsy, multiple sclerosis, trauma, dan cedera sumsum
tulang belakang (Harb dan Kishner, 2021) .
Dampak dari spastisitas parah pada kehidupan pasien
mempengaruhi segala sesuatu mulai dari aktivitas kehidupan
sehari-hari hingga kesehatan mental dan bahkan pendapatan. Di
sisi lain, spastisitas dapat membantu pasien dengan anggota tubuh
yang lemah, terutama di ekstremitas bawah, dengan
memungkinkan pasien untuk berpindah atau berjalan dengan
sedikit bantuan. Oleh karena itu, penilaian spastisitas menjadi
penting agar praktisi dapat menentukan apakah terapi pengobatan
mereka efektif (Harb dan Kishner, 2021).
Pada tahun 1964, Bryan Ashworth menerbitkan Skala
Ashworth sebagai metode penilaian spastisitas saat menangani
pasien multiple sclerosis. Skala Ashworth asli adalah 5 poin skala
numerik yang menilai kelenturan dari 0 sampai 4, dengan 0 tidak
ada resistensi dan 4 adalah ekstremitas kaku dalam fleksi atau
ekstensi. Pada tahun 1987, saat melakukan studi pemeriksaan antar
penilai reliabilitas tes manual spastisitas otot fleksor siku,

17
Bohannon dan Smith memodifikasi skala Ashworth dengan
menambahkan 1+ ke skala untuk meningkatkan sensitivitas. Sejak
modifikasinya, skala Ashworth yang dimodifikasi (MAS), telah
diterapkan dalam praktik klinis dan penelitian sebagai ukuran
spastisitas. Tujuan skala Ashworth yang dimodifikasi adalah untuk
menilai otot spastisitas (Harb dan Kishner, 2021). Skalanya adalah
sebagai berikut:
 0: Tidak ada peningkatan tonus otot
 1: Sedikit peningkatan tonus otot, dengan catch and release
atau resistensi minimal di akhir rentang gerak ketika bagian
yang terpengaruh digerakkan dalam fleksi atau ekstensi
 1+: Sedikit peningkatan tonus otot, dimanifestasikan
sebagai tangkapan, diikuti dengan minimal resistensi
melalui sisa (kurang dari setengah) rentang gerak
 2: Peningkatan tonus otot yang nyata di sebagian besar
rentang gerakan, tetapi bagian yang terkena masih mudah
dipindahkan
 3: Peningkatan tonus otot yang cukup besar, gerakan pasif
sulit
 4: Bagian yang terpengaruh kaku dalam fleksi atau ekstensi
2. Bobath Assesment
Bobath Assesment digunakan untuk mengetahui kualitas
fungsional dari pasien cerebral palsy :

Test Item Skor


Spasticity Severe -20
Moderate -10
Motivation Pore -5
None
Postural
Total Patern Moderate -5
Tone
Severe

18
Associated Moderate -5
Reaction Severe
Asymmetry -5
(Trunk,Pelvis)
Inactive Trunk -5

Shoulder -5

Postural (Prot,Retrak)
Spine -5
Patern
(Kyposis,Lordosis
)
Pelvis Immobility -5

Head Control Poor -5


Severe
Arm Movement No Dissociation -5
&Suport Y,N
Hand Grasping No Dissociation -5
Y,N
Trunk Conntrol No Dissociation -5

Functional Y,N
Hip Movement No Dissociation -5
Activity
Y,N
Knee Movement No Dissociation -5
Y,N
Ankle Movement No Dissociation -5
Y,N
Contracture & -5
Deformity
Dislocation

Total skor :100 +( -50) = 50


*Aktivitas fungsional : No = -5 , Yes = 0

Aktivitas Fungsional Skor Catatan

Level V Walking 100

19
Level IV Standing 80

Level III Sitting 50

Level II Crepping/Crawlling 40

Level I Lying/Prone Lying 10

Total skor

D. Tinjauan Intervensi Fisioterapi


1. Stretching
Peregangan mengacu pada tindakan dan efek peregangan,
dan kita dapat mendefinisikan peregangan sebagai memanjangkan
atau melebarkan sesuatu, menariknya dengan paksa sehingga
melepaskan dirinya sendiri; itu seperti merentangkan atau
menggerakkan lengan atau kaki kita untuk menghangatkannya dan
menghilangkan kekakuan. (Moran,2012).
Teori ambang rangsangan dalam latihan fisik juga berlaku
dalam peregangan. Ini dapat dengan mudah dipahami dengan
contoh-contoh berikut:
 Peregangan yang terlalu ringan akan menghasilkan hampir
tidak ada efek pada organisme, atau peningkatan mobilitas
sendi.
 Peregangan yang terlalu keras atau terlalu ekstrem dapat
menyebabkan cedera, atau dalam kasus terbaik, kontraktur
otot pelindung yang dapat mencegah Anda meningkatkan
kelenturan.
 Peregangan yang tepat, memaksa mobilitas tetapi tanpa
mencapai rasa sakit atau batas bahaya (Moran,2012)

Peregangan secara pasif dilakukan ketika alat atau orang


lain membantu mempertahankan postur peregangan. Ini terdiri

20
dari: 1. Lakukan peregangan perlahan sampai batas sebelum
nyeri. 2. Tahan posisi itu selama kurang lebih 20 detik. 3. Jeda
selama sekitar 20 atau 30 detik (selama waktu itu Anda dapat
meregangkan kelompok otot yang berbeda, sebaiknya
antagonis). 4. Ulangi proses ini 3 atau 4 kali (Moran, 2012).

a. Indikasi

1) Terbatasnya ROM akibat ekstensibilitas jaringan lunak


yang hilang karena perlekatan kontraktur dan adanya
pembentukan jaringan parut.

2) Deformitas structural karena keterbatasan ROM

3) Kelemahan otot dan pemendekan jaringan yang


berlawanan menyebabkan keterbatasan ROM.

b. Kontraindikasi

1) Bony block membatasi sendi,

2) Fraktur baru

3) Nyeri tajam dan akut pada gerak sendi atau pemanjangan


otot

4) Hematoma

5) Hipermobilitas

2. Neuro Development Treatment (NDT)

a. Definisi

Neuro-Developmental Treatment (NDT) atau dikenal


juga Bobath Approach dikembangkan oleh Bobath di Inggris
pada awal tahun 1940-an. Fokus tretament ini adalah dengan
pendekatan pemecahan masalah untuk assessment dan treatment
pada individu dengan gangguan fungsi, gerakan dan kontrol

21
postural karena lesi dari sistem saraf pusat (SSP), dan dapat
diterapkan untuk individu dari segala usia serta semua derajat
kecacatan fisik dan fungsional. Tujuan dari teknik ini adalah
meningkatkan kualitas dan efisiensi pergerakan fungsional pada
anak dengan gangguan neuromotorik. Fokus NDT adalah
memfasilitasi kontrol postural dan sikap postur yang optimal.

Teori yang mendasari konsep Bobath adalah sistem


motor control, konsep plastisitas, prinsip motor learning, serta
pemahaman dan penerapan gerakan fungsional manusia. NDT
bukanlah sebuah teknik tapi lebih ke proses perkembangan dari
motor control dan motor komponen yang diperlukan untuk
aktivitas fungsional. (KEMENKES, 2012)

b. Prinsip utama yang mendasari metode NDT

1) Normalisasi tonus otot

2) Fasilitassi pola gerakan normal dalam aktifitas keseharian.

3) Variasi gerakan yang mengarah pada fungsional.

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan sebelum


dilakukan penanganan antara lain abnormalitas pola gerakan
yang disebabkan oleh pola patologis dan postur yang
abnormal sertatonus otot yang berubahubah. Tetapi harus
bersifat fungsional dan berhubungan dengan aktivitas
keseharian, serta terapi harus bersifat multidisipliner
(pendekatan tim) dan harusmenyatu dengan keseharian anak
dengan kondisi cerebral palsy (Rood, 2000).

c. Prinsip Teknik NDT

1) Patterns of movement

22
2) Use of handling

3) Prerequisites for movement

d. Teknik NDT

1) Inhibisi

Inhibisi adalah penghambatan atau penurunan


pola-pola sikap dan gerakan abnormal dengan
menggunakan sikap hambat reflek atau Reflek Inhibitory
Postures (RIP). Dengan memberikan posisi RIP yang
benar dan arah yang benar maka sekuensis dari
abnormlitas tonus otot postural akan terjadi dan sekuensis
ini secara terus menerus diikut sertakan pada terapi. Pada
kondisi CP spastic quadriplegi terdapat pola spastisitas
pada lengan dan tungkai. Pola spastisitas pada lengan
dngan pola adduksi dan internal rotasi shoulder, fleksi
elbow, pronasi lengan bawah, fleksi dan ulnar deviasi
wristdan fleksi jari-jari. Sedangkan pola spastisitas yang
terdapat pada kedua tungkai dengan pola adduksi dan
internal rotasi hip, fleksi knee, plantar fleksi dan inverse
ankle serta fleksi jari-jari. Maka diperlukan inhibisi kea
rah kebalikan dari pola spastic tersbut (Sidarta, 1997)

2) Key Point of Control: titik yang digunakan terapis dalam


inhibisi dan fasilitasi. KPoC harus dimulai dari proksimal ke
distal.

3) Fasilitasi

Fasilitasi adalah upaya untuk mempermudah reaksi-


reaksi automatik dan gerak motorik yang sempurna pada

23
tonus otot normal.Tekniknya disebutkey point of control.
Reaksi sikap dan gerak normal dengan fasilitasi terdiri atas :

a) Fasilitasi duduk dari posisi tengkurap

b) Fasilitasi kepala tegak

c) Fasilitasi badan tegak

d) Fasilitasi keseimbangan duduk

e) Fasilitasi merangkak dari duduk

f) Fasilitasi berlutut dari merangkak

g) Fasilitasi keseimbangan berlutut

h) Fasilitasi berdiri dan berlutut

i) Fasilitasi keseimbangan berdiri

j) Fasilitasi berjalan

Tujunnya dari fasilitasi yaitu untuk memperbaiki


tonus postural yang normal, untuk memelihara dan
mengembalikan kualitas tonus normal, untuk
memudahkan gerakan-gerakan yang disengaja, diperlukan
dalam aktifitas sehari-hari (Tromboly, 1989).

4) Stimulasi

Stimulasi taktil dan proprioseptif: untuk


meningkatkan sensorik dan motorik. Stimulasi juga dapat
merangsang sel otak (sinaps) . Tujuan dari stimulasi :

24
a) meningkatkan reaksi anak untuk memelihara posisi &
pola gerak yg dipengaruhi oleh gaya gravitasi secara
otomatis.

Jenis stimulasi :

(1) Tapping →grup otot antagonis.

(2) Placcing & holding→penempatan pegangan

(3) Placcing Weight Bearing→penumpuan badan

Gambar 2.4
Sweap pada tangan→ stimulasi tangan
membuka→fasilitasi supporting reaction pada tangan

Gambar 2.5 Stimulasi berguling

25
Gambar 2.6 Fasilitasi duduk dari posisi tengkurap

Gambar 2.7
Fasilitasi reflek tegak pada kepala & supporting reaction ke depan

Gambar 2.8
Fasilitasi ekstensor vertebrae & supporting reaction pada lengan ke
depan

26
Gambar 2.9
Fasilitasi reaksi keseimbangan badan ke depan belakang

3. Neuro Senso (Stimulasi Taktil)

a. Defenisi

Menurut (Masgutova & Sadowska, 2015) Neuro senso


atau neuro senso motor reflek development & synchronization
(NSMRD&S) adalah suatu intervensi dengan memberikan
stimulasi sensoris berupa taktil (seluruh tubuh) sebagai pintu
utama semua rangsangan atau stimulus yang masuk. Neuro senso
bertujuan melatih proses persepsi, integrasi dan asosiasi sensoris
melalui aktivitas gerak, diharapkan dapat memperbaki sikap,
perilaku gerak dan sensory feedback sehingga anak dapat
menjalankan fungsi dan tugas perkembangan sesuai dengan
tahanpan perkembangan. Selain itu pemberian stimulasi juga
bertujuan sebagai relaksasi dan meningkatkan hubungan antar
pasien dan terapis.

b. Kelebihan dan kekurangan metode neuro senso

Kelebihan metode neuro senso yaitu dapat merileksasi


otot-otot tubuh, meningkatkan kemampuan agar terjadi
perubahan positif pada struktur, postur dan, gerak tubuh yang
terkoordinasi dan mengaktifkan kerja reseptor yang berhubungan
dengan sentuhan dalam dan tekanan. Kekurangan metode neuro

27
senso yaitu metode ini tidak bisa diberikan kepada anak dengan
kondisi umum yang kurang baik, misalnya pada anak yang masih
demam.

4. Orthosis (AFO dan Splint)

Backslab atau splint merupakan alat bantu berfungsi untuk


memberikan support pada sendi lutut atau sendi siku dengan cara
melimitasi gerakan. Ankle foot orthosis (AFO) adalah alat bantu
orthopaedi berbentuk splint (menutupi sebagian area lesi/kecacatan)
yang dipasangkan pada ankle foot. AFO berbentuk seperti kaki,
fungsi utama dari Ankle foot orthosis (AFO) , Adalah salah satu
jenis alat penguat anggota gerak yang berfungsi untuk kondisi Flatt
Foot, Genu Varus (pergelangan kaki “O”), genu Valgus
(pergelangan kaki “X”), Drop Foot, Congenital Talipes Equino
Varus (CTEV), koreksi kaki pada anak Cerebral palsy serta untuk
membantu mobilitas pasien Drop foot pasca stroke, Genu Varus,
Genu Valgus. AFO ini dibuat dari bahan polyetilene dan
polypropilen. Alat bantu ini di desain dengan memperhatikan aspek
patologis, biomekanis dan mekanis. (Pratomo, 2012).

Tujuan utama dalam penggunaan orthosis adalah untuk


memperbaiki postur dan kontraktur otot, untuk mendukung posisi
sendi normal, dan memfasilitasi atau meningkatkan fungsi gerak
(Knutson, 1991; Fish, 2001). Selain itu fungsi dari Ankle foot
orthosis (AFO) yaitu : mengontrol pergerakan, mengoreksi
alignment, Offload weight, mengakomodasi/ mencegah deformitas,
dan menyediakan tekanan pada circumferensial. Jenis Ankle foot
orthosis ada : Rigid AFO, Fleksible AFO dan Jointed AFO. Jenis
jointed AFO memiliki trimline yang sama seperti AFO rigid namun
terdapat penambahan joint pada bagian ankle. Terdapat mekanisme
ankle joint yang mungkin digabungkan ke jointed AFO untuk
membantu pergerakan pada 1 arah dan mencegah pergerakan ke

28
arah lain. AFO jointed biasanya menggunakan plantarfleksion stop
pada posisi 90o . Jointed afo diberikan ketika memungkinkan
gerakan passive dorsi fleksi. Jointed AFO umumnya di
preskripsikan untuk pasien yang membutuhkan stabilitas subtalar
tapi tidak membutuhkan kontrol dorsi fleksi dan plantar fleksi
seperti pasien dengan spastisitas ringan atau pasien dengan
hyperektensi knee (Orlandi et al, 2014).

29
BAB III

PROSES ASSESMEN FISIOTERAPI

A. Identitas Pasien
Nama : H.

T.T.L : Makassar, 07-07-2017

Agama : Islam

Nama Ayah : Tn.A

Nama Ibu : Ny.S

Alamat : Jl. Teuku Umar

B. History Taking
Keluhan Utama : Anak belum mampu merangkak, berdiri
dan berjalan.

Riwayat Penyakit Sekarang : Saat usia 1 tahun anak belum mampu


berguling dan merangkak, sehingga dibawa
ke dokter dan dirujuk ke Fisioterapi. Sejak
usia 1 tahun anak mulai terapi hingga
sekarang. Namun sempat berhenti terapi saat
usia 3tahun dan sekarang usia 4tahun lanjut
terapi lagi.

Riwayat Pre-Natal : Ibu umur 20th dan kehamilan pertama, tidak


ada riwayat infeksi dan ibu tidak pernah
mengonsumsi obat hamil ataupun vitamin
yang diberikan dokter.

Riwayat Perinatal : lahir cukup bulan dengan persalinan


normal, proses persalinan lama dan saat

30
keluar anak tidak menangis. PB: 60cm, BB:
3,8kg. Anak di inhibitor selama 1 bulan.

Riwayat Post-Natal : saat bayi, anak sering mengalami kejang.

C. Inspeksi/Observasi
Inspeksi Statis :

 Anak terlihat kurus dan sering mengisap tangan.


 Anak tidak dapat berbicara ( hanya mengeluarkan kata Ma, Pa )
 Tangan sering menggenggam
 Tangan kanan semifleksi
 Kurang handsupport.

Inspeksi Dinamis :

 Nampak asosiasi movement berupa hiperekstensi cervical (kepala


menengadah ke atas) dan fleksi elbow ketika anak dalam posisi duduk
dan berusaha untuk mempertahankan posisinya.
 Saat diposisikan tengkurap anak belum mampu dengan kedua tangan
dan mengangkat panggulnya dan hanya mampu menggerakkan
keempat anggota geraknya.

D. Pemeriksaan/Pengukuran Fisioterapi
1. Pemeriksaan Vital Sign :
a. Denyut Nadi : 100x/menit
b. Tekanan Darah :-
c. Pernapasan : 60x/menit
d. Suhu : 360C
2. General Impression :
a. Kognitif : anak cukup mampu merespon instruksi secara
baik.
b. Komunikasi : anak merespon dengan memberikan senyuman
atau suara dengan kata yang tidak jelas ketika di beri instruksi

31
yang ia paham (seperti anak disuruh manyun-kan bibirnya) tapi
tidak merespon jika namanya dipanggil.
c. Adaptasi : anak kooperatif ketika diberikan intrevensi kadang
menangis ketika bosan.
3. Palpasi :
a. Suhu : tidak ada peningkatan suhu
b. Nyeri : tidak ada nyeri
c. Oedema : tidak ada oedema
4. Pemeriksaan Refleks Primitif :
a. Moro refleks (-)
b. ATNR (-)
c. STNR (-)
d. Graps Refleks (+)
5. Pemeriksaan Fungsi Sensorik :
a. Visual : eye contact baik.
b. Auditory : tidak menoleh saat dipanggil.
c. Tactil : bisa merasakan sentuhan dan nyeri.
d. Propioceptif : belum mampu hand support saat posisi
merangkak.
6. Pemeriksaan Tonus Otot (Skala Asworth) :

Skala Asworth
Ekstremitas
Dextra Sinistra
Ekstremitas atas 2 1
Ekstremitas bawah 2 2

7. Bobath Assesment
Bobath Assesment digunakan untuk mengetahui kualitas fungsional
dari pasien cerebral palsy :

Test Item Skor


Spasticity Severe -20

32
Moderate -10
Motivation Pore -5
None
Postural Total Patern Moderate -5
Tone Severe
Associated Moderate -5
Reaction Severe
Asymmetry -5
(Trunk,Pelvis)
Inactive Trunk -5

Shoulder -5

Postural (Prot,Retrak)
Spine -5
Patern
(Kyposis,Lordosis
)
Pelvis Immobility -5

Head Control Poor -5


Severe
Arm Movement No Dissociation -5
&Suport Y,N
Hand Grasping No Dissociation -5
Y,N
Trunk Conntrol No Dissociation -5

Functional Y,N
Hip Movement No Dissociation -5
Activity
Y,N
Knee Movement No Dissociation -5
Y,N
Ankle Movement No Dissociation -5
Y,N
Contracture & -5
Deformity
Dislocation

Total skor :100 +( -35) = 65

33
*Aktivitas fungsional : No = -5 , Yes = 0

Aktivitas Fungsional Skor Catatan

Level V Walking 100

Level IV Standing 80

Level III Sitting 50

Level II Crepping/Crawlling 40

Level I Lying/Prone Lying 10

Total skor 65

E. Diagnose Fisioterapi (ICF-ICD) :


Gangguan Tumbuh Kembang Anak
dalam Merangkak, Berdiri, dan
Berjalan (Usia 4 tahun 4 Bulan
Dengan Usia Perkembangan 6
Bulan) et causa Cerebral Palsy
Athetoid

F. Problematik Fisioterapi
No Komponen ICF Pemeriksaan/Pengukuran Yang
. Membuktikan
1. Impairment
a. Adanya pola spastisitas Skala Asworth
pada kedua tungkai
bawah
b. Adanya abnormalitas Inspeksi
tonus postural tubuh
yang bersifat fluktuatif
(bisa terjadi hipertonus
saat tegang atau kaget
dan bisa terjadi

34
hipotonus saat rileks)
c. Adanya gerak involunter Inspeksi
yang tidak terkontrol
d. Gangguan control Inspeksi
postural
e. Tidak ada hand support
2. Activity Limitation
a. Kesulitan merangkak Pemeriksaan inspeksi, bobath
secara mandiri assesment quality movement
b. Kesulitan duduk secara Pemeriksaan inspeksi, bobath
mandiri assesment quality movement
c. Kesulitan untuk transfer Pemeriksaan inspeksi, bobath
dari duduk ke berdiri assesment quality movement
secara mandiri
d. Kesulitan untuk berjalan Pemeriksaan inspeksi, bobath
secara mandiri dengan assesment quality movement
pola yang benar
3. Participan Restriction
a. Kesulitan untuk bermain Anamnesis
seperti teman sebaya

35
36
BAB IV

INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI


A. Rencana Intervensi Fisioterapi
1. Tujuan Jangka Panjang :
 Meningkatkan kemampuan untuk merangkak, duduk tegak
tanpa support, transfer dari duduk ke berdiri, berdiri, dan
berjalan secara mandiri serta dapat bermain dengan teman
sebaya tanpa hambatan.
2. Tujuan Jangka Pendek :
 Mengontrol pola spastisitas
 Meningkatkan control postural
 Mengontrol gerak involunter
 Meningkatkan handsupport

B. Strategi Intervensi Fisioterapi


No Problematika Tujuan Intervensi Jenis Intervensi
. Fisioterapi
1. Impairment
a. Adanya pola Mengontrol Pola stretching
spastisitas pada Spastisitas
kedua tungkai
bawah
b. Adanya Memperbaiki Splint
abnormalitas abnormalitas tonus yang
tonus postural bersifat fluktuaktif
tubuh yang
bersifat
fluktuatif (bisa
terjadi
hipertonus saat
tegang atau

37
kaget dan bisa
terjadi
hipotonus saat
rileks)
c. Adanya gerak Mengontrol gerak NDT (Inhibisi dan
involunter involunter key point of
yang tidak control), dan
terkontrol penggunaan AFO
serta splint
d. Gangguan Meningkatkan control NDT (Inhibisi dan
control postural key point of
postural control), eletrical
stimulation dan
penggunaan AFO
serta splint
2. Activity Limitation
a. Kesulitan Meningkatkan kemapuan NDT (Fasilitasi),
merangkak merangkak penggunaan AFO
secara mandiri dan home program
b. Kesulitan Meningkatkan NDT (Fasilitasi),
duduk secara kemampuan duduk penggunaan AFO
mandiri dan home program
c. Kesulitan Meningkatkan kemapuan NDT (Fasilitasi),
untuk transfer transfer dari duduk ke penggunaan AFO
dari duduk ke berdiri secara mandiri dan home program
berdiri secara dengan pola gerakan
mandiri yang benar
d. Kesulitan Meningkatkan kemapuan NDT (Fasilitasi),
untuk berjalan untuk beridir secara penggunaan AFO
secara mandiri mandiri dan home program
dengan pola
yang benar
e. Kesulitan Meninkatkan kemapuan NDT (fasilitasi),

38
untuk berjalan untuk berjalan secara penggunaan AFO
mandiri dan splint pada
kedua tungkai dan
home program
3. Participan
Restriction
a. Kesulitan Mengembalikan Edukasi dan home
untuk bermain kemapuan untuk bermain program
seperti teman tanpa keterbatasan
sebaya

C. Prosedur Pelaksanaan Intervensi Fisioterapi


1. Stretching
 Stretching pasif otot Gastrocnemius
Pasien berbaring tengkurap dengan kaki lurus dan melewati
tepi meja. Terapis menerapkan tekanan pada telapak kaki pasien
dengan menggunakan paha sambil menggunakan kedua telapak
tangan untuk meregangkan body of muscle menjauh dari tendon-
sambungan otot. Dilakukan selama 30 detik dengan 8 kali
pengulangan.
 Stretching pasif otot Semitendinosus dan Semimembranosus
Pasien berbaring telentang dengan kaki lurus. Terapis
mengangkat satu kaki di bahunya dan menggenggam lutut untuk
fiksasi dalam posisi ekstensi. Kaki digerakkan ke arah abduksi
sekitar 30-45°. Terapis menggunakan tenar tangan lain untuk
melakukan peregangan ke arah body of muscle dari
tendonsambungan otot. Dilakukan selama 30 detik dengan 8 kali
pengulangan.
 Stretching pasif otot Biceps Femoris

39
Pasien berbaring tengkurap dengan satu kaki lurus dan satu
lagi dengan lutut ditekuk ke 45°. Terapis mencengkeram di atas
pergelangan kaki untuk meregangkan lutut sekaligus memberikan
tekanan dengan hipotenar tangan lain di sepanjang muscle belly
menjauhi insersio. Dilakukan selama 30 detik dengan 8 kali
pengulangan
2. Pemasangan AFO
Posisi pasien : Supine lying
Posisi fisioterapis : Menghadap ke pasien
Penatalaksanaan : Fisioterapis mefleksikan knee dan ankle pasien.
Kemudian pasang AFO dengan erat.
3. Pemasangan Splint
Posisi pasien : Supine lying
Posisi fisioterapis : Menghadap ke pasien
Penatalaksanaan : Fisioterapis memposisikan kedua ekstremitas atas
Fdan bawah netral kemudian memsang splint.
4. Neuro Devolpment Treatment (NDT)/Bobath
a. Fasilitas head control dan mobilisasi trunk
Posisi Pasien : Tidur terlentang
Posisi Fisioterapis : Berada di depan pasien
Tekhnik Pelaksanaan : Fisioterapis memegang kedua tangan
pasien,secara perlahan-lahan fisioterapis menarik lengan pasien
secara bergantian kiri dan kanan sehingga trunk pasien
termobilisasi dan kepala serta badannya ikut terangkat (posisi
duduk/setengah duduk).
b. Key point of control dan fasilitasi head control
Posisi Pasien : Duduk
Posisi Fisioterapis : Berada di belakang pasien
Tekhnik Pelaksanaan : Fisioterapis memegang kepala sebagai key
point of control untuk memfasilitasi kepala anak tetap tegak,

40
kemudian menggerakkan kepala ke samping kiri dan kanan yang
dikombinasikan dengan aproksimasi pada kepala anak.
c. Fasilitasi hand support dan posisi merangkak
Posisi Pasien : Prone lying
Posisi Fisioterapis : Berada di depan pasien
Tekhnik Pelaksanaan : Fisioterapis memposisikan pasien tengkurap
dengan area dada di sanggah menggunakan bantal kemudian
fisioterapis memposisikan kedua lengan untuk merangkak
(menumpu) dan diberi stimulasi dengan memeberikan tekanan
pada otot paravertebrae dan diberi stimulasi mainan/suara agar
pasien dapat mengangkat kepalanya dengan tegak saat posisi
tengkurap. Fisioterapis menjaga agar pasien tetap meumpukan
kedua tanggannya. Latihan dilakukan selama 15 menit.
d. Key point of control dan Inhibisi association movement posisi
duduk
Posisi Pasien : Duduk di atas kursi
Posisi Fisioterapis : Berada di belakang pasien
Tekhnik Pelaksanaan : Fisioterapis memegang kedua shoulder
pasien sebagai key point of control untuk menginhibisi gerakan
asosiasi berupa hiperekstensi head dan trnk saat pasien berusaha
mempertahankan posisi kepalanya. Inhibisi dilakukan dengan cara
kedua tangan fisioterapis menekan area di bawah clavicula.
e. Fasilitasi duduk + eletrical stimulation
Posisi Pasien : Duduk di atas kursi
Posisi Fisioterapis : Berada di belakang pasien
Tekhnik Pelaksanaan : Fisioterapis memposisikan pasien duduk
dengan kedua kaki menumpu di lantai. Kemudian meletakkan satu
pad eletrical stimulation pada otot paravertebrae dan satu pad
lainnya diletakkan pada otot sekitar pelvic. Stimulasi diberikan
selama 15 menit. Kedua tangan pasien diposisikan menumpu di

41
samping badan. Kedua tangan fisioterapis berada pada pelvic
pasien untuk menjaga agar pasien tetap duduk stabil.
f. Fasilitasi transfer dari duduk ke berdiri
Posisi Pasien : Duduk di atas kursi
Posisi Fisioterapis : Berada di belakang pasien
Tekhnik Pelaksanaan : Fisioterapis memposisikan pasien duduk
dengan kedua kaki menumpu di lantai menggunakan AFO. Key
point of control fisioterapis berada di pelvic dan knee. Satu orang
fisioterapis berada dibelakang pasien memegang pelvic dan
memfasilitasi pasien untuk berdiri dan fisioterapis lainnya berada
di depan pasien memegang kedua lutut pasien saat pasien bergerak
dari duduk ke berdiri.
g. Fasilitasi berdiri
Posisi Pasien : Berdiri pada standing frame
Posisi Fisioterapis : Berada di samping pasien
Tekhnik Pelaksanaan : Pasien dipasangkan AFO dan splint pada
kedua tungkai kemudian pasien di posisikan berdiri pada standing
frame. Fisioterapis mengoreksi postur pasien dan mengawasi agar
tetap berdiri dengan stabil.
h. Dosis latihan : F : 3 kali seminggu
I : 8 x hitungan/repetisi
T : Latihan aktif yang terkontrol dan berulang
T : 45Menit

D. Edukasi dan Home Program


1. Edukasi
a. Mengedukasi ibu untuk membiasakan anak menggunakan lengan
dan tangan dalam aktivitas sehari-hari
b. Mengedukasi ibu memposisikan anak dengan pola yang benar
( duduk, merangkak)
2. Home Program

42
a. Minta ibu untuk melalukan latihan tummy time di rumah dengan
memberikan stimulasi berupa mainan/suara
b. Minta ibu memberikan stimulasi berupaka tekanan ringan pada
otot-otot panggul
c. Minta ibu untuk melakukan latihan merangkak dengan pola yang
benar
d. Minta ibu untuk melakukan latihan duduk di kursi dengan kedua
tangan menumou disaping badan dan anak dapat mempertahankan
posisi kepalanya

E. Evaluasi
Evaluasi Jangka Evaluasi Jangka Panjang
Pendek
Skala gerak
involunter Postural
Asworth
Ext Gerak Pasien belum mapu merangkak,
atas, involunter duduk ke berdiri, dan berjalan
sinistra; masih tinggi secara mandiri.
1, ext
Postur saat
atas
duduk retraksi
M1 sinistra,
ext
bawah
sinistra
dan
dextra 2
Ext Gerak Anak sudah mampu merangkak

atas, involunter 1-2x berpindah namun masih

sinistra; masih tinggi Postur saat dengan pola yang salah, belum
M2 bisa duduk ke berdiri dan
1, ext duduk retraksi
atas berjalan secara mandiri.

sinistra,

43
ext
bawah
sinistra
dan
dextra
2
Ext Gerak Anak sudah mampu duduk
atas, involunter secara mandiri dengan pola dari
sinistra; masih tinggi merangkak ke duduk, jika diberi
1, ext latihan berjalan anak sudah bisa
atas melangkahkan kaki dengan
sinistra, Postur sudah bantuan terapis.
M3
ext nampak normal
bawah
sinistra
dan
dextra
2

44
BAB V

PEMBAHASAN
A. Pembahasan Assesmen Fisioterapi
1. History Taking

Anamnesis adalah cerita tentang riwayat penyakit yang diutarakan


oleh pasien melalui tanya jawab, pada saat melakukan anamnesis seorang
pemeriksa sudah mempunyai gambaran untuk menentukan strategi dalam
pemeriksaan klinis selanjutnya, karena dengan anamnesis yang baik
membawa kita menempuh setengah jalan kearah diagnosis yang tepat.
Secara umum sekitar 60-70 % kemungkinan diagnosis yang benar dapat
ditegakkan hanya dengan anamnesis yang benar.

2. Inspeksi/Observasi

Untuk melengkapi data suatu pemeriksaan fisioterapi, diperlukan


pemeriksaan observasi. Observasi memerlukan kecermatan dan kecepatan
menganalisa pasien dalam waktu yang singkat.

3. Pemeriksaan/Pengukuran Pediatrik

a. Palpasi

Palpasi dilakukan untuk mengetahui apakah ada kelainan tonus


otot dari pasien, yaitu apakah ada peningkatan tonus otot (spastik)
atau penurunan tonus otot (flaccid).

b. Pemeriksaan Refleks Primitif

Refleks primitif adalah gerakan reflektorik yang bangkit secara


fisiologik pada bayi dan tidak dijumpai lagi pada anak-anak yang
sudah besar. Bilamana pada orang dewasa refleks tersebut masih dapat

45
ditimbulkan, maka fenomena itu menandakan kemunduran fungsi
susunan saraf pusat. Adapun refleks-refleks yang menandakan proses
regresi tersebut ialah refleks menetek, snout reflex, refleks memegang
(grasp refleks), refleks glabella dan refleks palmomental.

1) ATNR (Asymetrical Tonic Neck Reflex) adalah refleks yang di


tandai dengan responberupa gerakan fleksi tungkai pada satu sisi
sedangkan tungkai sisi yang berlawanan ekstensi, terhadap
stimulus berupa rotasi kepala ke salah satu sisi.

2) STNR (Symetrical Tonic Neck Reflex) adalah refleks yang


ditandai dengan respon berupa gerakan fleksi kedua lengan dan
ekstensi kedua tungkai terhadap stimulus berupa fleksi kepala
bayi atau respon berupa gerakan ekstensi kedua lengan dan fleksi
kedua tungkai terhadap stimulus berupa ekstensi kepala bayi.

3) Moro Reflex adalah refleks yang di tandai dengan respon berupa


gerakan ekstensi lengan dan tungkai terhadap stimulus tiba-tiba
berupa tepukan atau hentakan tangan ringan disamping kepala
bayi.

4) Extensor Thrust Reflex adalah reflex primitif yang ditandai


dengan gerakan ekstensi tungkai terhadap stimulus sentuhan pada
telapak kaki dan tungkai yang sama. Reflex ini muncul dari usia
0-2 bulan.

5) Neck Righting Reflex ditandai dengan respon berupa ikut


berputarnya seluruh badan sesuai arah stimulus berupa rotasi
kepala pada satu sisi secara aktif atau pasif. Refleks ini muncul
dari 0 bulan sampai dengan 6 bulan.

46
d. Pemeriksaan Tonus Otot (Skala Asworth)

Skala yang dapat dipakai untuk menilai derajat spastistitas


tonus otot, Asworth scale banyak digunakan dan memiliki reabilitas
cukup baik.
1) Nilai 0 : tidak ada kenaikan dalam tonus otot (normal) .

2) Nilai 1 : Kenaikan ringan dalam tonus otot muncul ketika


dipegang dan dilepas atau dengan tahanan minimal pada 1/3 akhir
dari LGS.

3) Nilai 1+ : Kenaikan ringan dalam tonus otot, muncul ketika di


pegang diikuti dengan tahanan minimal pada sisa.

4) Nilai 2 : kenaikan yang lebih jelas dalam tonus otot, pada


sebagian besar LGS sampai bagian yang terkena dapat di
gerakkan dengan mudah (sedang).

5) Nilai 3 : Kenaikan yang besar dalam tonus otot, dimana gerakan


pasif sulit dilakukan (agak berat).

6) Nilai 4 : Bagian yang terkena kaku dalam gerakan fleksi dan


ekstensi

(berat).

e. Pemeriksaan Fungsi Sensorik

Kemampuan sensorik dapat dilakukan dengan memeriksa


visual, auditory, tactile, dan proprioceptif. Apabila kemampuan
sensorik pasien baik maka pasien dapat merasakan input yang
diberikan oleh fisioterapis.

j. Bobath Assesment Quality Movement

47
Bobath Assesment digunakan untuk mengetahui kualitas
fungsional dari pasien cerebral palsy :

Test Item Skor


Spasticity Severe -20
Moderate -10
Motivation Pore -5
None
Postural
Total Patern Moderate -5
Tone
Severe
Associated Moderate -5
Reaction Severe
Asymmetry -5
(Trunk,Pelvis)
Inactive Trunk -5

Shoulder -5

Postural (Prot,Retrak)
Spine -5
Patern
(Kyposis,Lordosis
)
Pelvis Immobility -5

Head Control Poor -5


Severe
Arm Movement No Dissociation -5
&Suport Y,N
Hand Grasping No Dissociation -5
Y,N
Trunk Conntrol No Dissociation -5

Functional Y,N
Hip Movement No Dissociation -5
Activity
Y,N
Knee Movement No Dissociation -5
Y,N
Ankle Movement No Dissociation -5

48
Y,N
Contracture & -5
Deformity
Dislocation

Total skor :100 +( -50) = 50


*Aktivitas fungsional : No = -5 , Yes = 0

Aktivitas Fungsional Skor Catatan

Level V Walking 100

Level IV Standing 80

Level III Sitting 50

Level II Crepping/Crawlling 40

Level I Lying/Prone Lying 10

Total skor

B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi (kaitannya dengan clinical reasoning)

1. Stretching
Peregangan mengacu pada tindakan dan efek peregangan, dan kita
dapat mendefinisikan peregangan sebagai memanjangkan atau
melebarkan sesuatu, menariknya dengan paksa sehingga melepaskan
dirinya sendiri; itu seperti merentangkan atau menggerakkan lengan atau
kaki kita untuk menghangatkannya dan menghilangkan kekakuan.
(Moran,2012).
Teori ambang rangsangan dalam latihan fisik juga berlaku dalam
peregangan. Ini dapat dengan mudah dipahami dengan contoh-contoh
berikut:

49
 Peregangan yang terlalu ringan akan menghasilkan hampir tidak
ada efek pada organisme, atau peningkatan mobilitas sendi.
 Peregangan yang terlalu keras atau terlalu ekstrem dapat
menyebabkan cedera, atau dalam kasus terbaik, kontraktur otot
pelindung yang dapat mencegah Anda meningkatkan kelenturan.
 Peregangan yang tepat, memaksa mobilitas tetapi tanpa mencapai
rasa sakit atau batas bahaya (Moran,2012).

Peregangan secara pasif dilakukan ketika alat atau orang lain


membantu mempertahankan postur peregangan. Ini terdiri dari: 1.
Lakukan peregangan perlahan sampai batas sebelum nyeri. 2. Tahan
posisi itu selama kurang lebih 20 detik. 3. Jeda selama sekitar 20 atau
30 detik (selama waktu itu Anda dapat meregangkan kelompok otot
yang berbeda, sebaiknya antagonis). 4. Ulangi proses ini 3 atau 4 kali
(Moran, 2012).

2. Neuro Development Treatment (NDT)/Bobath

Tujuan dari NDT itu yaitu menghambat pola gerak yang abnormal,
gangguan gross motor, dan gangguan postur terutama pada anak cerebral
palsy spastic. Teknik inhibisi pada NDT ini bertujuan untuk menghambat
pola gerak abnormal, dimana anak cerebral palsy yang spastic akan
muncul gerakan yang susah dikontrol. Ketika inhibisi diberikan maka
akan stimulasi dari propioceptive akan membawa implus sampai otak
untuk diterjemahkan menjadi suatu memori bahwa gerakan yang normal
itu adalah yang saat dirasakan (Ikay, et.al, 2016).

Mekanisme Neurodevelopment Treatment (NDT) terhadap


peningkatan gross motor baik crawling, kneeling, standing dan walking,
mekanismenya berupa : adanya input aferen dari medula spinalis lewat
serarcuatus externus dorsalis. Dari medula spinal aferen melalui dua
neuron yaitu ganglion spinale dan ser. Arcuatus eternus doralis

50
(homolateral) yang tujuannya yang satu ke cerebellumdan yang satu
diteruskan ke thalamus. Jalur aferen yang menuju cerebellum dibawa
kembali ke medula spinalis dan dilanjut ke thalamus. Sesampainya di
thalamus aferen dihantarkan melalui dua cabang yaitu menuju motor
cortex dan sensori cortex . pada motor cortex afren dibawa ke brainstem,
sedangkan aferen yang menuju sensori cortex melanjutkan perjalannan ke
cortical asosiasi area. Eferen melanjutkan stimulasi ke basal ganglia dan
kembai ke thalamus hingga kembali ke otot.

Ekstroreseptif yang didapat dari kontak tubuh pasien dengan


tangan fisioterapi (pegangan fisioterapis), bola, maupun guling terhadap
tubuh. Dimana reseptor ini melalui 3 neuron, yaitu neuron satu pada
ganglion spinale, columna grisea posterior, dan nukleus anterolateral
thalami. Pada neuron pertama memberikan kontribusi untuk traktus
posterolateral dari lissouer. Akson neuron ordo kedua menyilang oblique
kesisi yang berlawanan dalam komisura grisea dan alba anterior dalam
segmen spinal. Lalu naik dalam kolumna alba anterioateral ketiga dalam
nukleus posterolateralis ventralis thalamus melalui posterior kapsul
internadan kororna radiata mencapai daerah somastetik dalam girus
postsentralis korteks cerebri. berlawanan sebagai traktus, lalu naik melalui
medula oblongata bersama dengan traktus spinothalamicus lateral dan
spinotektalis membentuk lemnikus spinalis (untuk taktil dan tekanan).
Lalu input menuju neuron ketiga berupa nucleu anteroposteriolateralis
thalamimenuju radiata thalami yang berakhir di cortex cerebri pada area 1,
2, dan 3. Selain mendapatkan prorioseptif (posisi sendi) dan ekstroreseptif
(stimulasi tekan dan sentuhan), pasien mendapatkan stimulasi dari
kesadaran akan posisi bagian tubuh yang diperoleh dari visual. Dimana
impuls yang datang dari ujung-ujung saraf yang beradaptasi lambat di
sionovia dan ligamentum. Ketika kesadaran akan posisi sendi timbul
diharapkan otot-otot terstimulasi untuk berkontraksi sehingga
menimbulkan respon otot dan adaptasi sistem dalam mempertahankan
keseimbangan.

51
Selain itu NDT dapat menurunkan spastisitas dengan mekanisme
secara langsung, motor unit yang berperan meningkat seiring dengan
motor learning. Setelah itu peningkatan signifikan dari frekuensi motor
unit karena latihan yang terus-menerus menyebabkan terbentuknya
gerakan yang semakin cepat dan lancar, oleh karena adanya proses
reorganisasi dan adaptasi maka peningkatan fungsi-fungsi sensorik dan
motorik akan mempengaruhi komponenkomponen yang berperan dalam
fungsi prehension, seperti meningkatnya koordinasi gerakan dan
meningkatnya kekuatan otot. Pada otot juga terdapat reseptor yaitu muscle
spindle dan organ tendo Golgi. Muscle spindle mempunyai peranan dalam
pengaturan motorik yaitu dalam mendeteksi terhadap perubahan panjang
serabut otot dan kecepatan perubahan panjang otot, sedangkan organ tendo
Golgi dalam mendeteksi ketegangan yang bekerja pada tendo otot selama
kontraksi otot atau peregangan otot. Kedua reseptor tersebut akan
mengirimkan informasi ke dalam medulla spinalis dan juga serebelum
sehingga membantu system saraf untuk melakukan fungsi dalam mengatur
kontraksi otot (Guyton, 1991).

Eun-Young Park, dan Won-Ho Kim (2017) melakukan penelitian


dengan judul “Effect of neurodevelopmental treatment-based physical
therapy on the change of muscle strength, spasticity, and gross motor
function in children with spastic cerebral palsy”. Penelitian yang
dilakukan di korea ini didapatkan hasil penelitian bahwa pemberian
intervensi NDT/bobath selama 1 tahun pada pasien dengan kondisi
cerebral palsy efektif dalam menurunkan spastisitas, kekuatan dan level
fungsional (GMFCS).

Mi-Ra Kim, MS, PT a , Byoung-Hee Lee, PhD a, Dae-Sung Park,


PT, PhD (2016) menghasilkan penelitian dengan judul “Effects of
combined Adeli suit and neurodevelopmental treatment in children with
spastic cerebral palsy with gross motor function classification system
levels I and II”. Pada penelitian ini menggunakan sampel anak dengan

52
cerebral palsy yang terbagi menjadi dua kelompok. Kedua kelompok
diberikan intervensi NDT dan salah satu kelompok tersebut diberi
intervensi tambahan berupa adesuit neuro develompment treatment. Dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemberian intervensi

NDT berpengaruh terhadap nilai GMFM, PBS (keseimbangan) dan TUG


(mobilitas fungsional) pada pasien dengan cerebral palsy. Pada kelompok
yang diberi tambahan intervensi adesuit neuro development menunjukkan
efek yang signifikan pada gaya berjalan temporospatial.

53
DAFTAR PUSTAKA
Berker, N., & Yalçin, S. (2010). The Help Guide To Cerebral Palsy (Second).
Istanbul, Turkey.

Cathleen, E B., 2004; Comparison of three ankle-foot orthosis configuration for


children with spastic diplegia. USA : Department, shriners hospitals for
children. Developmetal Medicine & Child neurology 2004, 46:590-

Freeman Miller. (2004). Cerebral Palsy. Springer. USA.

Hariandja, Andy M.A. dan Suharto, 2014. Diktat Fisioterapi Pediatrik


( Physiotherapy For Pediatric), Jurusan Fisioterapi Poltekkes Kemenkes
Makassar.

Soetjiningsih., Ranuh, IG.N Gde. (2017). Tumbuh Kembang Anak, Edisi 2.


Jakarta : EGC.

Takarini, N. (2018, April 8). Pendekatan Brain Development (Neuro Senso


Motor Reflex Development and Synchronization).

Welfare, C., & Gateway, I. (2015). Understanding the Effects of Maltreatment on


Brain Development.

Ichsan, M. K., Studi, P., Iii, D., Kesehatan, F. I., & Surakarta, U. M. (2014).
CEREBRAL PALSY SPASTIC ATHETOID QUADRIPLEGI DI PEDIATRIC
AND NEURODEVELOPMENTAL THERAPY CENTRE ( PNTC ).

Kim, S. J., Kwak, E. E., Park, E. S., & Cho, S.-R. (2012). Differential Effects of
Rhythmic Auditory stimulation and Neurodevelopmental Treatment/Bobath on
Gait Patterns in Adults with Cerebral Palsy Adults with Cerebral Palsy: a
Randomized Controlled Trial. Clinical Rehabilitation, 904-914

54
Sarathy, K., Doshi, C., & Aroojis, A. (2019). Symposium - Cerebral Palsy
Clinical Examination of Children with Cerebral Palsy.
https://doi.org/10.4103/ortho.IJOrtho

55

Anda mungkin juga menyukai