Anda di halaman 1dari 7

Tugas Manajemen Operasi

Achmad Gunawan Wibisono (2106662973)

Resume & Review Case of Coffee 2016


Latar Belakang

Pada Studi kasus ini didasari oleh salah seorang pecinta kopi yaitu Andrea Illy selaku
CEO dari perusahaan global kopi yang menggunakan nama keluarganya untuk usaha
kopi ini. Andrea illy memiliki passion seputar kopi, terutama dibagian sains, kesehatan,
kecantikan, dan rasa. Andrea Illy ingin merubah pandangan tentang kopi menjadi
produk premium seperti wine. Namun tidak semudah itu, banyak masalah yang terjadi
petani kopi, hingga kopi tersebut disajikan.
Banyak hal yang harus dipersiapkan oleh Andrea Illy, terutama dari sisi yaitu petani kopi
dimana sangat kurang dalam hal pengetahuan tentang kopi. Dan terdapat masalah
iklim cuaca yang buruk yang menyebabkan panen kopi yang buruk sehingga
berdampakdapat mengakibatkan supply dari kopi ini menurun. Petani kopi tidak
mengetahui next process setelah panen kopi.
Hal ini yang menyebabkan terdapat gap antara konsumen, dan petani kopi. Konsumen
ingin mendapatkan kualitas biji kopi yang terbaik, namun petani kopi kurang
mengetahui apa yang diinginkan konsumen. Dalam menyelesaikan masalah tersebut
terdapat beberapa tantangan atau tugas yang harus dikerjakan, Beberapa permasalah
yang harus dipecahkan adalah sebagai berikut
• Meningkatkan kualitas hidup petani kopi dan memberikan penghargaan pada
mereka untuk kualitas kopi yang lebih baik
• Meningkatkan keahlian roaster barista dan petani dan meningkatkan
kemauan pelanggan untuk membayar
• Memiliki pengaruh yang subtansial pada struktur pasar saat ini daripada
hanya memilih beberaa kelompok tani kopi saja.
Case Kopi dalam Jurnal

Rantai Pasok Kopi


Kehidupan Industri kopi, sebagian besar, adalah produk era kolonial dan masih
mempertahankan perbedaan antara negara-negara yang memproduksi kopi dan
negara-negara yang mengkonsumsinya (pola yang sama dengan komoditas lain seperti
teh, gula, dan cokelat). Penanaman kopi memerlukan kondisi lingkungan tertentu yang
hanya ada di daerah tropis,
Hal ini sesuai dengan jurnal Geographical indications and value capture in the
Indonesia coffee (Jeffrey Neilsona,∗, Josephine Wrighta, Lya Aklimawatib) bahwa
Indikasi Geografis (IG) adalah bentuk kekayaan intelektual kolektif dimana produsen
dapat menjadikan nilai lebih terkait tempat yang terkandung dalam suatu produk.
Karena itu, produsen tersebut sering dipromosikan sebagai inisiatif pembangunan untuk
masyarakat pedesaan yang tertinggal untuk meningkatkan mata pencaharian dan
mengentaskan kemiskinan. Didalam Jurnal tersebut menerapkan konsep Jaringan
Produksi Global (GPN) untuk menilai dampak perkembangan IG yang secara resmi
(dilindungi) untuk sektor kopi Indonesia. Berdasarkan penilaian indikator terdapat
manfaat ekonomi nyata bagi petani kopi yang dihasilkan dari IG saat ini di Indonesia,
pengaturan kelembagaan yang mendukung IG untuk secara strategis berpasangan
dengan praktik perusahaan penyedia kopi. Sementara salah satu peran IG adalah
untuk menegaskan properti geografis dan budaya yang diwujudkan dalam produk
konsumen, mereka membutuhkan keterlibatan yang jauh lebih besar di seluruh rantai
pasok.
Budidaya dan minum kopi pertama kali dikembangkan di Ethiopia dan Yaman dan
kemudian menyebar ke seluruh dunia Arab dan India selatan. Kopi diperkenalkan ke
Eropa pada akhir tahun 1500-an oleh pedagang Venesia dan menyebar dengan cepat
ke seluruh benua. Kedai kopi menjadi fitur dari sebagian besar kota-kota Eropa pada
pertengahan 1600-an.Saat ini kopi dibudidayakan di lebih dari 70 negara dan
dikonsumsi di seluruh dunia. Diperkirakan 25 juta orang terlibat dalam produksi kopi,
dan 10 juta lainnya di bagian lain industri ini. Ini adalah salah satu komoditas pertanian
yang paling banyak diperdagangkan di dunia dan ekspor penting bagi banyak negara
berkembang. Rantai pasokan kopi terdiri dari banyak langkah dan kualitas serta
karakter produk akhir dapat sangat berubah pada setiap langkah di sepanjang
perjalanannya.
Petani sangat menentukan karakter dari kopi tersebut Pertama mereka memutuskan
varian genetik tertentu dari tanaman kopi yang dibesarkan. Meskipun ada dua jenis
yang dominan, Robusta dan Arabika, ada banyak spesies dari kedua jenis ini (belum
lagi upaya untuk mengembangkan varietas yang lebih baru). Selanjutnya, petani
menentukan terroir – tanah, topografi, tanaman lain yang mengelilingi kopi dan iklim – di
mana tanaman kopi dibesarkan. Rasa kopi berubah banyak faktor, seperti cuaca, yang
berada di luar kendali penanam, tetapi faktor lain seperti kualitas tanah dapat
bergantung pada penggunaan pupuk yang baik oleh penanam dan hasil akan
ditentukan oleh kemampuan penanam untuk melindungi tanaman kopi dari hama dan
penyakit. Selanjutnya, kehati-hatian petani dalam memanen ceri kopi (ceri adalah
bentuk tunggal dan jamak dari kata benda) akan mempengaruhi kualitas kopi. Buah
kopi harus dipetik dengan lembut dengan tangan pada puncak kematangan.
Selanjutnya buah kopi harus digiling untuk memisahkan kulit luar dari biji dalam (biji
menjadi biji kopi hijau – umumnya ada dua biji untuk setiap buah). Cara buah kopi
digiling, dikeringkan dan disortir juga akan mempengaruhi rasa dan kualitas. Biji kopi
hasil proses penggilingan merupakan komoditas yang diekspor.

Kondisi dan Pengembangan Supplier


Kehidupan layak atau tidaknya dari para petani kopi juga memberikan dampak bagi
perusahaan kopi. Terutama dari perbedaan segi sosial bagi petani kopi dan penikmat
kopi, yang sangat jauh secara ekonomi. Penikmat kopi tidak mengetahui kopi tersebut
tumbuh dimana, dan banyak petani juga tidak familiar dengan produk yang mereka
hasilkan dari pekerjanya.
Pendapatan utama utama para petani kopi ini hanya dari penjualan kopi, namun biaya
yang dikeluarkan juga besar. Sehingga marginnya hanya sangat kecil, membuat para
petani kopi tidak bisa melakukan peningkatan kualitas. Sebuah study membahas bahwa
biaya untuk 1 hektar ladang kopi sebesar 1200USD. Dan perlu ada biaya tambahan
operasional lainnya. Namun ada hal yang menarik, di amerika selatan, rata-rata petani
mampu memproduksi 660 biji kopi per hektar. Namun ada sebuah ladang yang mampu
memproduksi 3000 biji kopi per hektar. Hal ini dihasilkan karena petani kopi tersebut
memahami proses penanaman yang lebih modern.
Kurangnya kemauan petani untuk melakukan peningkatan pengetahuan para petani
juga menjadi kunci dari permasalahan pengembangan supplier. Seperti poin diatas,
biaya yang tinggi dan keuntungan yang tipis membuat para penanam kopi tidak bisa
melakukan pengembangan produk. Illycaffe sangat peduli dengan para penanam
kopinya, seperti memberikan tambahan biaya sebesar 30% untuk mendapatkan biji kopi
yang premium dengan kualitas yang bagus. Selain uang, Illycaffe juga memberikan
insentif dan edukasi untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas dari para petani
kopi. Contoh kecilnya adalah ketika Illycaffe berhubungan dengan petani kopi dari
brazil, Illycaffe sudah membeli dari petani kopi tersebut hampir dua dekade, dan masih
berjalan hingga sekarang.
Illycaffe membeli dari petani kopi tersebut karena memproduksi dengan jumlah yang
tinggi namun memiliki kualitas menengah. Oleh karena itu, Illycaffe melakukan edukasi
kepada petani kopi tersebut, untuk memberikan biji kopi yang terbaik namun tetap
dengan volume produksi yang tinggi. Pada tahun 1991, Illycaffe mengenalkan sebuah
penghargaan untuk para petani kopi di brazil, Hal ini bertujuan untuk memberikan
kesadaran akan pentingnya kualitas sebuah biji kopi. Sejak penghargaan tersebut
dikenalkan, sudah lebih dari sepuluh ribu petani yang ikut berpartisipasi dalam kontes
tersebut. Dan Illycaffe juga sudah memberikan uang lebih dari dua juta dolar untuk
acara penghargaan tersebut. Uang yang dimenangkan oleh para petani kopi, digunakan
untuk meningkatkan lahan dan proses dari biji kopi mereka.
Pada tahun 2000, Illycaffe membangun the clube illy do cafe di brazil sebagai jaringan
untuk petani kopi berdiskusi dan memberikan dukungan untuk ke sesama petani kopi.
Dan juga, Illycafe memberikan pembelajaran sebagai bagian dari program Universita de
Caffe Untuk para petani kopi yang ada di negara tersebut. Pembelajaran tersebut
meliputi tentang bagaimana cara untuk melakukan penanaman, perawatan tanaman,
cara memanen, dan teknik manufaktur. Selain itu, Illycaffe juga dapat membantu para
supplier Serta mensejahterakan para petani kopi untuk mendapatkan kehidupan yang
layak, dikarenakan gaji dari para pekerja petani kopi cenderung murah, dan tidak layak.
(Pedroso et al., 2021, 10).
Berdasarkan jurnal The implementation of the Circular Economy: Barriers and enablers
in the coffee value chain (Maarten van Keulen, Julian Kirchherr*) Tiga Eksperimen
Model Bisnis yang dilakukan oleh importir kopi Belanda dalam rantai pasok kopi,
Pertama, peran dalam fokus sebagai matchmaker dan motivator, hal dianggap penting
bagi organisasi dan kelanjutan dalam percobaan kopi. Kedua Menyelenggarakan
lokakarya, menelepon dan mengirim informasi kepada stake holders, dan ketiga
menghubungkan koneksi, terutama antara rantai nilai pasok yang biasanya tidak
berinteraksi, membuat eksperimen mungkin dan membuat terus berjalan dari Inisiatif
CE (Circular Economy)

Harga dan Trading Kopi


Pada tahun 2000, 90% dari biji kopi bertransaksi di coffee futures exchanges yaitu di
new york international Exchange (ICE) untuk biji kopi arabica dan International
Financial futures and options Exchange (LIFFE) untuk biji kopi robusta. Dan juga
dibuatnya kontrak untuk kopi untuk mengatur risiko harga bagi pembeli dan penjual
yang dapat disebabkan oleh kondisi supply dan permintaan yang tidak bisa diantisipasi.
Untuk minimum kontrak dalam trading sebesar 37.500 pon, pasar ini di dominasi oleh
importir besar dan roaster besar. Dari yang ikut berpartisipasi di dalam global supply
chain, salah satu istilah yang terkenal adalah “C Price”. C Price sendiri merupakan
harga ditentukan dari rata-rata masa berlaku nya kontrak dengan pengiriman, proses
dari 19 negara yang berbeda yang bertransaksi di ICE.
Namun apakah C Price ini dapat membantu para penjual, atau justru merugikan mereka
? Seharusnya terdapat batas minimum untuk harga dari biji kopi, sehingga mampu
menstabilkan pasar kopi. (Muradian & Pelupessy, 2005, 2033). Regulasi bisa berupa
sertifikasi yang menggaransikan harga minimum di setiap petani kopi dengan cara
harga premium yang digunakan untuk ke para konsumen. Namun yang terjadi, setiap
kontrak dibuat berdasarkan C Price ditambah dengan harga premium untuk setiap biji
kopi dengan kualitas bagus namun dikurangi dengan diskon. Biji kopi yang terjual
melalui C Price dikategorikan sebagai “lumayan” namun tidak terlalu bagus
berdasarkan pencicip kopi di industri. Banyak dari negara-negara eksportir kopi yang
lebih menginginkan disetarakan dengan harga premium dibanding menggunakan C
Price.
Bahkan ada juga negara yang merasakan harga tersebut didiskon di bawah C Price.
Pihak dari ICE dan LIFFE seharusnya lebih bertanggung jawab atas harga kopi yang
ditransaksikan di platform mereka. Pihak ketiga seperti mereka memiliki peran yang
cukup penting dalam kelangsungan transaksi kopi. Mereka harus membuat regulasi
yang menguntungkan kedua belah pihak. Seperti misalnya membuat kelas-kelas dari
para petani kopi dengan kualitas biji kopi yang berbeda-beda, dan menuangkannya
menjadi sebuah sertifikasi dari pihak ketiga untuk para penjual.
Dan juga, ICE dan LIFFE harus mengatur dari sisi supply biji kopi. Mengatur supply
juga berguna untuk mengurangi biji kopi dengan kualitas rendah cenderung jelek.
Quality Improvement Program (QIP) bertujuan untuk meningkatkan kualitas biji yang
beredar pasar. Namun banyak faktor yang membuat tujuannya tidak tercapai. Yang
pertama adalah permintaan untuk biji kopi dengan kualitas yang buruk masih tinggi, dan
faktor kedua adalah kurangnya kekuatan dari organisasi tersebut untuk
mengimplementasikan program tersebut. (Muradian & Pelupessy, 2005, 2038).
Hal yang perlu diperhatikan berdasarkan jurnal Social brokerage: Encounters between
Colombian coffee producers and Austrian Buyers – A research-based relational
pathway (Xiomara F. Qui˜nones-Ruiz) bahwa terdapat trader didalam supply chain kopi
terdaoat peran seorang trader. Dimana perlu dijelaskan fungsi trader sebagai broker
perlu dikaji untuk dapat menjawab pertanyaan seperti “bagaimana tanggung jawab tata
kelola rantai pasok diambil, dimonitoring, dan dievaluasi?”. Dengan kehadiran trader
diharapkan terdapat ruang baru untuk meningkatkan keuntungan.
Dari kegagalan tersebut, seharusnya ICE dan LIFFE bisa belajar dari kesalahan yang
terjadi tentang bagaimana membuat regulasi yang mampu mengatur transaksi di dunia
perkopian. Karena banyak petani kopi yang merupakan “orang kecil” dan kurang paham
tentang regulasi-regulasi. Bahkan pun mereka kurang mengerti ketika melakukan
pemrosesan kopi, yaitu dengan teknik “asal-asalan”. (Neilson, 2008, 1613). Belum
ditambah dengan kondisi di negara tersebut, campur tangan pemerintah juga
memberikan dampak ekonomi serta sosial dari keberlangsungan transaksi perkopian
ini.
Referensi

- Jeffrey Neilsona,∗, Josephine Wrighta, Lya Aklimawatib (2018) Geographical


indications and value capture in the Indonesia coffee sector
- Xiomara F. Qui˜nones-Ruiz (2021) Social brokerage: Encounters between
Colombian coffee producers and Austrian Buyers – A research-based relational
pathway
- Maarten van Keulen, Julian Kirchherr* (2021) The implementation of the Circular
Economy: Barriers and enablers in the coffee value chain

Anda mungkin juga menyukai