Anda di halaman 1dari 19

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/334454369

TEORI KELUARGA

Article · July 2019

CITATIONS READS

0 26,656

1 author:

Mitha Nurjanah
Jakarta State University
3 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

MAKALAH TEORI KELUARGA View project

All content following this page was uploaded by Mitha Nurjanah on 14 July 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Teori Keluarga: Studi Literatur

Mitha Nurjanah
(1504617060)

PENDIDIKAN VOKASIONAL KESEJAHTERAAN KELUARGA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGRI JAKARTA
JULI, 2019
Ringkasan

Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam masyarakat. Pada makalah ini membahas
mengenai 7 sub materi dari teori keluarga, yang mencakup: teori struktural fungsional, sosial
konflik, gender, pertukaran sosial (social exchange), teori perkembangan (Development),
feminis, dan ekolodi. Pada suatu keluarga setiap anggota keluarga memiliti tugas dan
fungsinya masing-masing. Dimana hal ini sesuai dengan teori struktural fungsional dalam
keluarga yang menekankan pada keseimbangan sistem yang ada dalam keluarga dan
masyarakat, dan setuju dengan konsensus yang ada di masyarakat. Sedangkan teori Sosial
konflik bertentangan dengan teori srtuktural fungsional, dimana teori sosial konflik
menentang dari adanya konsensus yang ada di masyarakat dan menganggap bahwa keluarga
yang ideal adalah keluarga yang berbentuk horizontal dan tidak hierarkis. Lalu teori gender
menjelaskan mengenai perbedaan antara hak, peran dan tugasnya yang dibentuk oleh nilai-
nilai sosial, budaya, dan adat istiadat yang terdapat pada masyarakat. teori gendder memiliki
beberapa teori turunan salah satunya yaitu feminis. Dimana feminis merupak salah satu teori
yang membahas mengenai kesetaraan gender dan konsep dari feminis sendiri ingin
menghilangkan institusi dalam keluarga datu mengadakan defungsionalisasi peran keluarga,
yang menganggap bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan hanya berada pada 3M
yaitu melahirkan, menyusui dan menstruasi dan kaum feminis beranggapan bahwa aspek dari
3M. Selain itu dalam kehidupan keluarga juga tidak terlepas dari teori pertukaran sosial atau
social exchange, dimana dalam teori ini seseorang akan selalu memilirkan untung ruginya
dalam suatu pilihan. Selain itu juga terdapat teori perkembangan (Development), diaman teori
yang akan dijelaskan tahapan dalam perkembangan keluarga mulaidari pasangan baru
menikah dan setelah itu tinggal berdua dalam 1 rumah. Dan terakhir mengenai teori ekologi,
dimana teori ini membahas mengenai bahwa pengaruh lingkungan, dimana dalam lingkungan
terdapat 5 sistem yang mempengaruhinya yaitu: mikro, meso, ekso, mikro dan chrono.
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keluarga meru pakan suatu hal yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan.
Dimana keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam memulai kehidupan dan
berinteraksi antar anggotanya. Keluarga adalah institusi terkecil dari suatu masyarakat yang
memiliki struktur sosial dan sistem tersendiri dan yang merupakan sekumpulan orang yang
tinggal dalam satu rumah yang masih mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan
darah karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya (Direktorat Pembinaan
Pendidikan Masyarakat, 2013:viii dalam (Aziz, 2017). Yang dimana pada keluarga terdiri
dari suami, istri serta anak-anaknya. Sedangkan yang disebut rumahtangga yaitu merupakan
satu atau lebih sekelompok orang yang tinggal dalam satu rumah dan menghabiskan sumber
daya secara kolektif bersama-sama. Suatu keluarga dianggap sebagai suatu sistem sosial, oleh
karena memiliki unsur-unsur sistem sosial yang pada pokoknya mencakup kepercayaan,
perasaan, tujuan, kaidah-kaidah, kedudukan dan peranan (Soekanto, 2004: 1 dalam Lestari &
Pratiwi, 2018).
Keluarga adalah unit terkecil dalam institusi sosial. Dimana didalam keluarga setiap
anggotanya memiliki tugas dan fungsinya masing-masing, dan setiap anggota tersebut harus
melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut dan mencapai tujuan bersama. Selain itu jika
anggota keluarga ada yang tidak dapat menjalankan tugas ataupun fungsinya dengan baik
sehingga sistem di dalam keluarganya akan terganggu dan dapat menganggu tugas dan fungsi
anggota lainnya, sehingga dapat menimbulkan konflik di keluarga karena adanya sistem yang
terganggu.
Didalam makalah ini terdapat 7 sub materi yang akan dibahas, yaitu mencakup:
Struktural fungsional yang membahas mengenai struktur dalam keluarga yang berbentuk
hirarki atau vertikal dimana seriap anggota keluarga masing-masing memiliki tugas dan
fungsinya yang harus dijalankan dengan baik, struktural konflik yaitu teori yang menentang
adanya konsensus dan menganggap bahwa konflik adalah suatu hal yang normal, teori gender
yaitu teori yang menjelaskan mengenai perbedaan antara laki-laki dan perempuan mengenai
hak, fungsi dan kewaqjibannya, teori feminis yaitu tori yang membahas mengenai kesetaraan
gender dan konsep dari feminis yaitu ingin menghilangkan institusi atau defungsionalisasi
keluarga, teori perkembangan yaitu teori yang membahas mengenai perkembangan pada
keluarga yang terbagi menjadi 8 tahap menurut Duvall, teori pertukaran soaial adalah teori
yang memikirkan untung ruginya dalam memilih keputusan, dan terakhir teori ekologi
dimana teori ini menjelaskan mengenai perkembnagan manusia dipengaruhi oleh lingkungan
sekitarnya.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk :
1. Untuk mengetahui teori-teori keluarga

1.3 Manfaat
Adapun makalah ini memiliki manfaat baik secara praktis maupun teoritis, yaitu sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat digunakan untuk menjadi referensidan dapat
memperkuat teori yang berkaitan dengan kajian keluarga.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Mahasiswa
Makalah ini dapat dijadikan sumber informasi, serta dapat menambah wawasan
dan pengetahuan mengenai teori-teori keluarga
b. Bagi Masyarakat
Makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat mengenai teori-teori
keluarga serta dapat diterapkan pada kehidupan.
BAB II ISI

2.1 Teori Struktural Fungsional


Keluarga merupakan unit terkecil pada masyarakat yang merupakan sekumpulan
orang yang tinggal pada satu rumah serta memiliki hubungan perkawinan, hubungan darah,
kelahiran, ataupun adopsi, yang dimana setiap anggotanya memiliki tugas dan fungsinya
masing-masing. Dimana didalam keluarga setiap anggota keluarga memiliki peran dan
fungsinya masing-masing yang harus dilakukan dan dijalankan dengan baik, sesuai dengan
prinsip, nilai yang terdapat di lingkungan masyarakat, hingga akhirnya menghasilkan warna
atau ciri yang jelas, yaitu mengakui adanya segala keberagaman dalam fungsi kehidupan
sosial. Keragaman dalam fungsi tersebut merupakan sumber utama dari adanya struktur
masyarakat, sehingga keragaman dalam fungsi sesuai dengan struktur masyarakat, seperti
adanya anggota yang menjadi ketua dan ada yang hanya menjadi anggota biasa, dan
kedudukan tersebut menentukan fungsi masing-masing yang berbeda dengan anggota
lainnya. Namun perbedaan fungsi tersebut tidak hanya untuk memenuhi kepentingan salah
satu anggota yang bersangkutan saja, akan tetapi untuk mencapai tujuan bersama sebagai
kesatuan. Dan tentunya, struktur dan fungsi yang ada di masyarakat tidak akan pernah lepas
dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang ada dimasyarakat dan dipegang teguh oleh
masyarakat setempat.
Setiap individu dalam masyarakat terdapat interaksi baik dengan individulainnya
ataupun masyarakat, dimana interaksi dan poses yang terjadi didalamnya merupakan salah
satu bentuk perhatian sosial, sehingga interaksi individu dalam keluarga dan masyarakat
merupakan bentuk realitas sosial yang sangat penting, bahkan semua teori sosial berdasarkan
pada asumsi mengenai hakikat manusia dan masyarakat, yang di dalamnya membahas bahwa
masing-masing teori cenderung kurang lebih mengarah pada positivitas atau humanistis.
Dimana Positivistik adalah keyakinan bahwa fenomena sosial itu memiliki pola dan tunduk
pada hukum-hukum deterministis selain itu keluarga merupakan unsur inti dalam struktur
sosial, kedudukan utama setiap keluarga sebagai penghubung pribadi dengan struktur sosial
yang lebih besar (Ariany, 2002).
Struktural fungsional lebih menekankan pada keseimbangan sistem dalam keluarga
dan masyarakat terkait dengan fungsi, tugas, dan tanggung jawabnya sesuai peran dan
kekudukannya. Dalam institusi keluarga, struktural fungsional terlihat pada pembagian peran
dan fungsi dalam keluarga, dimana setiap anggota keluarga memiliki tanggung jawabnya
masing-masing. Seperti ayah bertanggung jawab dalam mencari nafkah atau bekerja untuk
menghidupi keluarganya, ibu bertugas dalam urusan domesti atau rumah tangga seperti
mencuci, memasak, dan bertugas dalam perawatan anak, dan anak juga memiki tugas dan
tanggung jawabnya, baik dalam pendidikannya ataupun tugas dalam membantu orang tua.
Akan tetapi jika ada anggota keluarga yang tidak dapat menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya maka hal tersebut dapat menggangu anggota keluarga yang lainnya dan sistem
dalam keluarga tersebuat juga akan terganggu, karena hubungan antara tugas dan fungsi antar
anggota keluarga satu sama lain saling terkait.
Paul Colomy (2005) dalam Kitchen (2016) mendefinisikan lima komponen utama dari
teori-teori fungsional. Pertama, masyarakat dipandang sebagai jaringan dan praktik yang lain
berakar dalam upaya untuk memecahkan masalah institusional tertentu, yang pada intinya
lembaga merupakan suatu keberadaan yang dapat memecahkan masalah. Dimana masyarakat
modern di identifikasikan oleh lembaga khusus mengenai masalah-masalah tertentu sebagai
masalah pramodern yang terdiri dari lembaga multifungsi. Kedua, ada beberapa cara bahwa
masalah yang sama dapat diselesaikan, dan pada kahirnya perbedaan telah menetapkan
berbagai cara yang berbeda melalui fungsi yang sama. Ketiga, dimana lembaga-lembaga
yang saling berhubungan menciptakan orang lain baru dalam masalah-masalah tertentu
karena lembaga baru, atau perubahan ke institusi yang ada dan mengganggu yang lainnya.
Sehingga dengan demikian fungsi lembaga dapat diklasifikasikan menjadi dua baris,
yaitu fungsi manifes dan fungsi laten serta fungsi positif dan negatif. Dimana fungsi manifest
adalah fungsi yang jelas apa yang dimaksudkan, dan dipahami dengan jelas. Fungsi laten
adalah fungsi halus, yang tersembunyi atau tidak diinginkan. Sedangkan fungsi positif adalah
fungsi yang memungkinkan stabilitas terus memerus. Dan fungsi negatif adalah
menyebabkan kekacauan, dan menghambat pengoprasian lembaga lain dalam jaringan.
Sehinggga keempat komponen berasal dari pengakuan bahwa karakteristik institusi-institusi
di masyarakat modern memberi integrasi sosial.
Dimana hal ini selaras dengan sebuah studi literatur yang membahas mengenai
pengaruh pengasuhan orang tua terhadap kondisi psikologis anak yang di tinggalkan dalam
keluarga migran oleh Prasetyo (2017), dimana hal tersebut memiliki dampak dan pengaruh
bagi keluarga tersebuat termasuk dapat berpengaruh terhadap anak yang ditinggalkan. Salah
satunya yaitu hilangnya peran orang tua terurama peran ibu dalam menjalankan fungsi
pendidikan dan pengasuhan bagi anak, serta berpengaruh terhadap keadaan psikologis anak.
Dimana kekosongan peran ibu dalam memberikan pengasuhan kepada anak dapat
menggangu keseimbangan sistem pada anggota keluarga yang lain, dan dapat terjadinya
pergantian peran dalam keluarga tersebut, dimana peran publik atau bekerja mencari nafkah
dilakukan oleh ayah yang bekedudukan sebagai kepala rumah tangga digantikan oleh ibu, dan
sebaliknya peran perawatan anak dan pengasuhan yang seharusnya dilakukan oleh ibu
dilakukan oleh ayah. Selain berpengaruh terhadap keadaan psikis anak tetapi juga
berpengaruh terhadap membangun indentitas sosial di masyarakat selain itu juga dapat
menimbulkan depresi, kecemasan dan berpengaruh terhadap kesehatan mental dan proses
dalam menemukan jati dirinya. Selain itu kelekatan antara ibu dan anak tidak terjalin dengan
baik. Dan didukung dengan penelitian (Maulida, Mashabi, & Hasanah, 2017), yang
membahas mengenai hubungan orang tua dengan kemandirian remaja bahwa kelekatan orang
tua berpengaruh terhadap sikap kemandirian remaja, selain itu juga berpengaruh terhadap
perkembangan akademis, moral dan pembangunan emosi anak. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa hilangnya peran ibu dalam menjalankan fungsinya untuk mendidik, mengasuh dan
perawatan anak bukan hanya berdampak pada keadaan psikis pada anak saja, tetapi juga
berpengaruh terhadap perkembangan moral, akademik dan emosi pada anak, selain itu
kekosongan peran ibu juga berdampak pada sistem dalam keluarga tersebut.

2.2 Teori Sosial Konflik


Berbeda dengan teori sosial struktural, teori sosial konflik menganggap bahwa
perbedaan atau perubahan merupakan suatu hal yang dinamis dan biasa. Dimana konflik
merupakan suatu fenomena sosial yang muncul dalam kehidupan sehari-hari, yang dimana
merupakan salah satu bentuk proses perubahan dari tatanan sosial yang lama berubanh ke
tatanan sosial yang berbeda dari sebelumnya sesuai dengan perkembangan yang terjadi.
Dimana teori sosial konflik menentang atau tidak setuju dengan konsensus atau kesepakan
yang ada dimasyarakat. Dan teori sosial konflik lebih mementingkan dirinya sendiri atau
egonya untuk mencapai apa yang di inginkan untuk mencapai sebuah revolusi.
Pada prespektif sosial konflik, individu atau kelompok berjuang untuk
memaksimalkan keuntungan apa yang didapat, dan perubahan sosial yang besar tidak dapat
dihindari. Sosial konflik menganggap bahwa penyimpangan adalah hal yang normal dan
konflik adalah hal yang normal. Dan sosial konflik, keluarga yang ideal adalah keluarga yang
berlandasan horizontal bukan vertikal atau hirarki, dimana posisi suami dan istri ada pada
kedudukan yang sama. Dikarenakan hubungan yang hierarkis terdapat perbedaan antara laki-
laki dan perempuan dalam kepentingan dan kekuasaan tertentu. Kepentingan dan kekuasaan
yang berbeda inilah yang akan selalu menimbulkan konflik, yang satu berusaha menguasai
yang lainnya (Anita, 2015).
Pada teori sisial konflik menekankan pada kesetaraan kedudukan antara suami dan
istri, termasuk dalam bidang publik atau pekerjaan. Dimana dalam hal ini istri tidak hanya
berperan dalam domestik saja tetapi dapat berperan pada bidang publik. Sehingga istri
memiki peran ganda yaitu berperan pada bidang domestik dan berperan pada bidang publik,
yang dimana tunturan peran kedua bidang tersebut tidak jarang menimbulkan konflik.
Dimana konflik yang muncul disini adalah konflik pekerjaan-keluarga dikarenakan ketidak
mampuan seseorang dalam hal membagi waktu dan komitmen mereka untuk peran pekerjaan
dan keluarga (Susanti & Ekayati, 2013).
Konflik pekerjaan-keluarga merupakan konflik yang terjadi karena istri tidak dapat
membagi waktu antara bidang publik dan domeatiknya dalam rumah tangga. Dimana pada
akhirnya istri yang bekerja akan menghadapi konflik yang berkaitan dengan anak,
rumahtangga serta peran dalam keluarga. Sehingga istri diminta untuk menyeimbangkan
antara keluarga dengan pekerjaanya. Konflik pekerjaan-keluarga merupakan konflik yang
terjadi karena adanya tekanan pada pekerjaan dan keluarga yang tidak dapat terpenuhi dengan
baik.
Konflik yang terjadi dalam pekerjaan-keluarga juga disebabkan karena adanya konflik
atau tuntutan pada suatu sisi atau bidang tetapi tidak sesuai dengan sisi lainnya. Seperti
contohnya konflik yang terjadi karena ibu bekerja dan memiliki tuntutan pada pekerjaannya
tetapi di sisi lain ibu juga memiliki tuntutan pada bidang domestik dimana seharusnya ibu
memiliki waktu untuk mengerjakan tugasnya tetapi karena tuntutan dari pekerjaanya ibu
menjadi memiliki waktu yang sangat sedikit untuk bidang domestik dari pada publik atau
pekerjaannya, sehingga hal tersebut terjadi ketidak sesuaian antara tuntutan ibu pada bidang
publik atau pekerjaannya dengan tuntutan ibu pada bidang publik untuk mengurus
rumahtangga serta suami dan anak-anaknya. Sehingga efek yang diakibatkan dari konfik
yang ditimbulkan dari konflik pekerjaan-keluarga ini akan berakibat pada kualitas pekerjaan
dan kualitas keluarga tersebut.
Dimana keterlibatan antara penyebab pekerjaan mengganggu keluarga dapat
menyebabkan tingkat dukungan sosial dan instrumental yang rendah dari anggota keluarga,
hal ini terlihat dari orang tua yang lebih banyak terlibat dalam pekerjaan mereka sehinga
dapat mencurahkan lebih banyak waktu dan energi untuk menjalankan perannya pada
pekerjaanya dari pada menghabiskan waktunya pada keluarga untuk menjalankan peran
dalam keluarganya. Sehingga mengakibatkan adanya tekanan yang tidak seimbang pada
peran pekerjaan yang kemudian akan menyebabkan pekerjaan dapat menggangu keluarga
daan penurunan dalam dukungan sosial keluarga, karena keterlibatan keluarga disisi lain
dapat menyebabkan tingkat dukungan sosial yang lebih tinggi dari keluarga karena orang tua
atau pekerja menikmati tingkat keterlibatan keluarga yang tinggi cenderung mencurahkan
lebih banyak waktu dan energi untuk keluarga dan dengan demikian dapat meningkatkan
peluang dan motovasi keluarga untuk memberikan dukungan (Adams, King, & King, 1996).
Permasalahan sosial konflik banyak terjadi pada keluarga yang istrinya bekerja yaitu
peran yang seharusnya dilakuakan oleh istri tidak dapat berjalan secara optimal, seperti
fungsi pengasuhan yang seharusnya dilakukan oleh ibu akan terhambat dan kurang terpenuhi
secara maksimal, karena sangibu harus bekerja sehingga mengurangi waktu ibu untuk
mengasuh anaknya, yang mengakibatkan anak di asuh oleh anggota keluarganya yang lain,
pengasuh atau anak ditaruh ditempat penitipan anak atau day car. Dimana dalam salah satu
penelitian yang di lakukan oleh Mu’jizatin, Jubaedah, & Widiaty (2017) bahwa komponen
penyelenggaraan dari day care yaitu untuk pengsuhan, mendidik dan mendeteksi tumbuh
kembang anak. Dimana seharusnya fungsi pengasuhan, mendidik dan perawatan anak yang
seharusnya dilakukan oleh seorang ibu atau institusi keluarga, akan tetapi dikarenakan suami
dan istri bekerja sehingga waktu untuk mengasuh anak berkurang, serta fungsi dan peran
yang dilakukan oleh ibu atau keluarga untuk melakukan fungsi dan perannya digantikan dan
dilakukan oleh institusi diluar keluarga.
Oleh karena itu ibu yang memiliki peran ganda antara bidang domestik dan publik
memiliki keterbatasan waktu untuk menjalankan perannya sebagai seorang ibu, baik dalam
mengurus urusan domestik atau rumah tangga, ataupun mengurus suami dan bahkan anak-
anaknya yang masih memerlukan waktu kebersamaan bersama ibunya. Dimana anak masih
membutuhkan bimbingan dan waktu yang intens dari seorang ibu, selain itu managemen
waktu ibu yang bekerja juga berpengaruh terhadap lkatan emosional yang terjalin antara ibu
dengan anak dan berpengaruh terhadap kecerdasan emosional anak.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aisyah, Gede Putri, & Mulyati
(2017) mengatakan bahwa managemen waktu ibu bekerja berpengaruh terhadap kecerdasan
emosional dimana karena ketidak hadiran ibu secara teratur di tengah-tengah anak-anaknya
sehingga mengakibatkan anak-anaknya kurang mendapatkan perhatian baik secara kognitif
maupun emosional, selain itu managemen waktu ibu bekerja yang kurang baik juga akan
berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak, perkembangan kognitif dan juga emosi anak,
terutama bagi ibu yang bekerja dengan waktu penuh dengan lebih banayak menghabiskan
waktunya di bidang publik untuk bekerja. Oleh karena itu ibu harus memiliki managemen
waktu yang baik untuk dapat menjalankan perana dan tugasnya di bidang publik dan bidang
domestik.

2.3 Teori Ekologi


Teori ekologi diperkenalkan oleh Uri Bronfenbrenner, yang merupakan seorang ahli
psikologi dari Cornell University Amerika. Dimana teori ekologi memandang bahwa
hubungan timbal balik, dalam teori ekologi memendang bahwa hubungan timbal balik antara
individu dengan lingkungannya akan membentuk tingkah laku individu tersebut, dan
informasi lingkungan tempat tinggal anak untuk menggambarkan, mengorganisasikan dan
mengklasifikasi efek dari lingkungan yang bervariasi. (Mujahidah, 2015). Perkembangan
manusia juga merupakan sesuatu hal yang bentuknya dinamis, dimana sebuah proses
interaksi antara individu dan lingkungan mereka di berbagai tingkatan. Uri Bronfenbreenner
membaginya menjadi 5 sistem yaitu microsystem, mesosystem, eksosystem, macrosystem,
dan chronosystem.
Diaman microsystem merupakan lingkungan sekitar dimana seseorang berinteraksi
secara langsung, seperti keluaraga, sekolah dan teman sebaya. Mesosystem merupakan
hubungan antara microsystem atau merupakan pertalian antara microsystem, seperti interaksi
seseorang di dalam keluarganya dan bagaimana keluaga mendidik dan mengajarkan
bersosialisasi akan berpengaruh dalam interaksinya dengan microsystem lainnya seperti
bagaimana interaksi dan sosialisasinya di sekolah atau dengan teman seban sebayanya.
Exosystem merupakan konteks dimana hubungan yang tidak langsung dapat mempengaruhi
anak-anak, seperti tempat kerja orang tua, dimana ayah yang memiliki masalah di tempat
kerjanya lalu membawa masalah tersebut ke rumah dan melampiaskannya masalah tersebut
kepada anaknya sehingga anak yang akan menerima dampak dari pengaruh masalah
pekerjaan ayahnya padahal anak tersebut tidak berinteraksi langsung dengan tempat kerja
ayahnya tetapi ikut berdampak pada dirinya. Macrosystem, merupaka cangkupan yang
sangat luas seperti budaya, agama, ataupun masyarakat dalam lingkup yang lebih luas,
contohya seperti budaya yang diterapkan oleh masyarakat sekitar akan mempengaruhi
seseorang secara tidak langsung, diamana seseorang akan terbawa denagan keadaan di
sekitarnya dan mengikuti apa yang dilakukan oleh masyarakat sekitarnya. Sedangkan
chronosystem merupakan dimensi waktu yang dapat mempengaruhi perubahan atau
pergeseran perilaku atau perkembangan seseorang dari satu sistem ke sistem lainnya sehingga
mengalami perubahan atau transisi. Sehingga dapat di simpulkan bahwa perkembangan kita
juga tidak hanya dipengaruhi oleh keluarga kita, teman sebaya, lembaga pendidikan dan
lembaga keagamaan; kita juga berkontribusi atas perkembangan kita sendiri dengan
mempengaruhi orang dan suasana di sekitar kita (Gea, 2011).
Selain itu pandangan ekologi yang dikemukakan oleh Bronfenbrenner 1977 dalam
Andayani (2004) bahwa eklogi merupakan suatu prespektif mengenai metedologi dalam
mempelajari perkembangan diaman kepribadian yang mempertimbnagkan dan
mempengaruhi aspek-aspek diluar individu, yaitu dengan sisi lingkungan dimana individu
berada. Pandangan ekologi ini melihat individu sebagai suatu system, yang mana sistem yang
akan menjadi bagian dari sistem-sistem yang lebih besar, sehingga dengan demikian menjadi
dengan demikian manusia merupakan sebagai bagian dari suatu sisten yang akan dapat
berperan berbagai pengaruh dari berbagai lingkungan. Sehingga faktor yang langsung
berperan pada individu adalah faktor yang berhubungan atau mempengaruhi secara langsung
dengan individu, misalnya suasana rumah, aturan dalam keluarga, teman-teman bermain atau
bekerja, dan sebagainya. Sementara itu faktor yang kurang atau tidak langsung berpengaruh
pada individu misalnya adalah hukum, kondisi ekonomi Negara, sikap sosial, dan lain-
lainnya.
Dimana hal ini sejalan dan sesuai dengan salah satu penelitian yang menyebutkan
bahwa kenakalan dan kejahatan pada remaja pada awalnya di pengaruhi dari keluarga yang
berantakan dan penuh dengan konflik, sehingga mereka mencarai tempat di luar lingkungan
keluarga, sehingga anak masuk ke dalam lingkungan yang kurang baik dan memberikan
dampak negatif sehingga hal tersebut mendorong anak dalam berperilaku negatif, selain itu
terdapat pengaruh teman sebaya dengan tingakat kenakalan dan kejahatan pada remaja, yang
dimana semakin tinggi pengaruh negatif atau dampak yang diberikan oleh teman sebaya
dalam kenakalan dan melakukan tindakan kejahatan maka akan berbanding lurus dengan
berilaku yang dilakukan oleh remaja tersebut (Ummah, Nursetiawati, & Putri, 2017).
Dan dalam penelitian yang serupa juga didapatkan hasil bahwa kondisi keluarga dan
ketahanan keluarga berpengaruh terhadap kenakalan pada remaja, dimana keluarga yang
seharusnya menjadi lingkungan pertama dan utama bagi anak dan menjadikan tumbuh
kembang anak merupakan prioritas yang harus diperhatikan oleh orang tua dan pembentukan
mental anak terletak pada peran orang tuanya, dimana jika orang tuanya yang seharusnya
mencurahkan perhatiannya kepada anak-anaknya akan tetapi orang tua justru lebih sibuk
pada urusannya dilur rumah baik dalam melakukan kegiatan-kegiatan di luar rumah ataupun
bekerja, sehingga orang tua kurang memperhatikan terhadap tumbuh kembang anak dan
kurangnya pengawasan, sehingga dapat menimpulkan perilaku yang tidak diinginkan baik
oleh orang tua ataupun masyarakat, seperti kenakan dan pergaulan bebas yang berujung pada
penyalahgunaan narkoba (Respati, Muhariati, & Hasanah, 2017)
Perkembangan pada sistem ekologi dalam narasi keluarga menyediakan kerangka
kerja yang koheren untuk memahami bagaimana berbagai jenis keluarga yang dibawa ke
identitas individu untuk mengembangkan kesejahteraan, dimana pada tingkat mikro keluarga
memberikan untuk memahami pengalaman seseorang dan menciptakan riwayat keluarga
bersama. Pada tingkat eksositem, orang tua dan anggota keluarga lainnya mengalami
kejadian di luar ranah pengalaman anak yang mereka bawa ke dalam mikrosistem atau
keluarga, dimana hal ini memberikan penafsiran pada ranah yang lebih besar lagi kepada
anak mengenai dunia luar dan tempat mereka tinggal (Fivush & Merrill, 2016).
2.4 Teori Pertukaran Sosial
Pertukaran sosial atau social exchange merupakan perilaku dimana manusia yang
pada dasarnya bersifat universal dimana jika seseorang diberikan pengaruh positif maka akan
baik dan jika diberikan pengaruh negatif akan kurang baik. Pertukaran sosial merupakan
sebuah teori yang fokus utamanya adalah motivasi atau hal yang mendorong untuk
melakukan sesuatu yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Dimana teori ini didasarkan pada
utilitarianisme, yang dimana individu akan menentukan suatu pilihan secara rasional dengan
memikirkan antara imbalan yang didapat dengan biaya yang harus dikeluarkan. Menurut
Homans, manusia dalam interaksinya akan selalu terlibat pada proses menilai perilaku-
perilaku alternatif, degan pilihan yang mencerminkan "cost (biaya) dan reward (imbalan)"
atau profit yang diharapkan. (Salman & Taryoto, 1992).
Teori pertukaran sosial memandang bahwa manusia merupakan makhluk yang
rasional, dimana setiap aktivitas yang dilakukan oleh individu berkaitan dengan tujuan untuk
maksimalkan imbalan yang didapat dengan meminimalkan biaya yang harus dikeluarkan.
Penghargaan yang didapat oleh individu dapat berupa fisik seperti materi dan dapat pula
berupa non fisik seperti emosi ataupun perasaan seseorang. Teori ini percaya bahwa setiap
interaksi sosial menggunakan biaya, dimana biaya yang paling minimal adalah waktu dan
tenaga dan yang lainnya adalah uang dan emosi negatif seperti marah,frustasi ataupun
depresi. Akan tetapi interaksi sosial juga mendatangkan penghargaan yang didapat seperti
rasa tenang, pandangan positif mengenai hidup, serta perasaan berguna dan dibutuhkan.
Selain itu teori pertukaransosial juga memandang bahwa konflik terjadi karena masing-
masing pihak merasasakan lebih besarnya biaya yang dikeluarkan dibandingkan manfaat
yang diperolehnya (Hukma, 2016).
Salah satu contoh pertukaran sosial yang terjadi dalam keluarga adalah adanya
keuntungan yang didapat antara suami dan istri dalam menikah, seperti seorang istri
mendapatkan keuntungan berupa materi dari suaminya karena suaminya kaya, sedangkan
suami mendapatkan keuntungan karena istrinya cantik, sehingga kedua belah pihak sama-
sama mendapatkan keuntungan dari pernikahanya. Namun apabila salah satu diantara
keduanya sudah tidak merasa mendapatkan keuntungan dari pasangannya, seperti suaminya
yang tadinya kaya kemudian jatuh miskin karena terlilit hutang, maka istri yang sudah tidak
mendapatkan keuntungan dari suaminya bisa saja berpisah atau bercerai dengan suaminya,
dimana hal tersebuat didasarkan pada pemikiran imbalan yang didapat sudah tidak ada.
Selain itu pertukaran sosial yang terjadi dalam keluarga juga terdapat pada benefits
dan cost pada istri yang bekerja. Adapun penelitian yang menjelaskan bahwa terdapat
benefits dan cost pada istri bekerja sebagai TKW, dimana benefits atau keuntungan yang
didapat dari istri bekerja sebagai TKW adalah istri dapat berkontribusi terhadapt
kesejahteraaan keluarga dengan merasa bahwa dirinya berguna dalam keluarga selain itu juga
untuk mengaktualisasikan potensi pada dirinya dan sebagai kompetensi diri, selain itu istri
yang bekerja juga dapat berinteraksi dengan orang lain ditempat kerjanya sehingga dapat
menambah wawasan dan pembelajaran hidup, serta mempertuas jaringan kerja. Sedangkan
cost yang didapatkan istri harus meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang cukup lama
sehingga meninggalkan anak dan suaminya, serta tidak dapat merawat anak. Sehingga
ketidak hadiran istri didalam keluarga tersebut dapat membuat tumbuh kembang anak
terganggu, adanya resiko suami yang tidak bahagia dalam pernikahanya, dan tidak ada yang
mengurus rumah atau bidang domestik lainnya. Dimana hal tersebuat terjadi karena adanya
rasa ketidak puasan istri dengan ekonomi yang didapat dari suaminya sehingga istri memilih
bekerja untuk meningkatkan perekonomian keluarganya sehingga akan berpengaruh terhadap
kepuasan pernikahan yang didapat dari suami ataupun istri (Silitonga, Puspitawati, &
Muflikhati, 2018).
Diaman terdapat salah satu penelitian yang membahas mengenai pengaruh kepuasan
pernikahan, dimana kepuasan pernikahan bergantung pada kepuasan salah satu pasanganya
dalam hubungan pernikahannya, sehingga terjadi pertengkaran atau konflik dalam keluarga
tersebuat terjadi ketidaksetaraan persoalan salah satu pasangan ataupun keduanya yang
muncul karana terlalu sibuk diluar rumah atau bekerja sehingga tidak mempunyai waktu yang
cukup untuk berinteraksi dalam keluarga sehingga menimbulkan konflik yang dapat berujung
pada perceraian (Sutarjo, Hasanah, & Artanti, 2017).
Dimana pada dasarnya, apa yang dipertukarkan dalam interaksi suami-istri dan
pengambilan keputusan keluarga adalah kepuasan dan kewajiban, yang dikeluarkan oleh
pihak lain. seperti suami yang dengan enggan memenuhi permintaan istri untuk mengunjungi
keluarganya yang berorientasi, sedangkan istri berkewajiban kepada suaminya untuk
membalas dengan memenuhi harapan atau permintaan suaminya. Di mana norma-norma
kesetaraan berlaku, pertukaran mungkin menjadi salah satu dari jenis yang identik; yaitu, istri
dapat setuju untuk mengunjungi keluarga orientasi suami. Jika ideologi seperti itu tidak
berlaku, kepuasan dari suatu kewajiban menimbulkan sifat yang lebih memberatkan.
Misalnya, jika seorang pria ragu-ragu mengunjungi keluarga istrinya, karena biaya yang
harus dikeluarkan untuk transaksi dalam jangka panjang kemungkinan akan melebihi
kepuasan yang didapat dari kunjungan tersebut. Suaminya, setelah kembali, mungkin "merasa
bebas" untuk mencurahkan lebih dari jumlah waktu normal untuk terlibat dalam kegiatan
dengan teman-teman prianya. Dengan tidak adanya ideologi kesetaraan, transaksi semacam
itu merupakan pertukaran yang adil, setidaknya dari perspektif subkultur laki-laki (Edwards,
2006).

2.5 Teori Feminis


Teori feminis merupakan salah satu pecahan dari teori gender dimana teori feminis
ingin menuntut dan membongkar adanya ketidak setaraan gender antara kaum perempuan
dan laki-laki. Gerakan feminis menjelaskan adanya ketidak setaranan dan ketimpangan antara
kaum perempuan dan laki-laki, salah satunya pada bidang publik atau pekerjaan, dimana
perempuan seharusnya memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan laki-laki, sehingga
teori ini tidak menyetujui kedudukan antara laki-laki atau suami dengan perempuan atau istri
berada dalam bentuk patriarki, dimana ayah memiliki kedudukan paling tinggi diantara
anggota keluarga lainnya termasuk istri. Sehingga para feminis ingin menyadarkan bahwa
wanita dalam hal ini istri bukan kaum lemah yang hanya mengandalkan pada suami dan
hanya bergantung pada suami saja akan tetapi istri dapat mandiri serta berdiri sendiri dan
dapat mengembangkan dirinya termasuk pada bidang publik dan bukan hanya berada dirimah
mengurus suami dan rumah tangga saja. Karena pandangan dan asumsi yang ada
dimasyarakat bahwa istri yang baik adalah istri yang dapat mengurus dan mengerjakan
pekerjaan di bidang domestik atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dimana hal
tersebut dapat dilihat dari beberapa iklan produk makanan atau minuman, dimana istri
membuatkan minum untuk suminya padahal suaminya tersebut sedang tidur, dimana hal
tersebut merupakan sebuah penindasan bagi para istri dan para feminis ingin menyadarkan
hal tersebut. Para feminis berjuang dalam banyak cara untuk membangun praksis feminis
yaitu, untuk mewujudkan keyakinan mereka. Dalam tema komitmen terhadap kesetaraan
gender dan perubahan sosial (Thompson & Walker, 1995)
Konsep dari feminise sendiri merupan ingin menghilangkan institusi keluarga atau
setidaknya mengadakan defungsionalisasi atau mengurangi fungsi pada keluarga sehingga
mengurangi adanya peran keluarga dalam kehidupan masyarakat. Dimana perempuan yang
pada zaman dahulu hanya bekerja dirumah sebagai ibu rumahtangga mengurus suami dan
anak-anaknya kini dengan adanya emansipasi maupun feminisme wanita memiliki peran
keduaya itu sebagai perempuan yang bekerja diluar rumah (Aisyah et al., 2017). Dan pada
bidang domestik bukan hanya tanggung jawab istri saja tetapi suami juga memiliki andil
didalamnya. Begitu juga dalam hal pengasuhan anak, dimana fungsi keluarga sebagai tempat
pengasuhan yang utama bagi anak dapat dilakukan di luar institusi keluarga, karena hal
tersebut merukan adanya defungsionalisasi atau pengurangan fungsi keluarga secara
tradisional fungsi dan tugas mengasuh dan mendidik anak anak merupakan tanggung jawab
keluarga tersebut. Akan tetapi orang tua yang bekerja dan menyerahkan tanggung jawab
untuk mengurus rumah serta mengasuh anak, membuat asisten rumah tangga memiliki
kecenderungan untuk bersikap menyimpang dan berujung pada tindak kriminal (Armaina et
al., 2018).

2.6 Teori Gender


Konsep gender dan sex memiliki perbedaan, wal;aupun keduanya memiliki arti yang
sama yaitu jenis kelamin akan tetapi antara gender dan sex tetap berbeda, dimana hal tersebut
banayak kekeliruan yang dipahami oleh mayarakat. Diman Gender adalah perbedaan peran,
fungsi, persifatan, kedudukan, tanggung jawab dan hak perilaku, baik perempuan, maupun
laki-laki yang dibentuk, dibuat, dan disosialisasikan oleh norma, adat kebiasaan, dan
kepercayaan masyarakat setempat (Puspitawati, 2010). Akan tetapi gender dapat berubah
sesuai dengan berjalannya waktu dan kondisi setempat. Selain itu konsep gender berkaitan
mengenai tentang pantas atau tidak pantas suatu tugas atau peran antara laki-laki dan
perempuan. Sedangkan sex meruakan jenis kelamin biologis yang merupakan pensifatan
dua jenis kelamin manusia yang melekat pada jenis kelamin tertentu yang merupakan
seperangkat alat reproduksi yang secara biologis melekat pada masing-masing jenis
kelamin tertentu, untuk selamanya tidak dapat dipertukarkan karena merupakan ketentuan
Tuhan atau kodrat. Prespektif gender menolak gender sebagai norma statis atau ideal, yang
disebut peran jenis. Dan bukanya mendefinisikan gender sebagai hubungan sisial yang
ditandai dengan keridaksetaraan kekuasaan yang kanan dan mengevaluasi maskulin dan
pengabdian masyarakat, sedangkan ingin mengevaluasi maskulinitas dan femininitas melalui
praktik-praktik yang diperebutkan tetapi mengendalikan individu, organisasi,dan masyarakat.
Perbedaan antasira dan di antara wanita andmen demikian tidak hanya dilihat sebagai
konstruksi sosial tetapi juga sebagai politik yang berarti (Ferree, 2010).
Dimana hal ini terlihat pada semakin majunya pendidikan dan sejalan dengan semakin
majunya teknologi sekarang ini serta komitmen untuk mewujudkan emansipasi yang dapat
membuat kesetaraan jender dalam aspek kehidupan masyarakat di Indonesia, salah satunya
dalam bidang pekerjaan atau industri. Sehingga wanita memiliki kesempatan yang sama
dengan para pria dalam hal mendapatkan pekerjaan, dimana hal tersebut akan sangat berbeda
dengan peran wanita pada masa lalu, wanita akan cenderung tidak bekeja dan untuk mencari
nafkah akan tetapi dilakukan oleh suami, dimana wanita atau seorang istri akan bertugas pada
bidang domestik saja untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan melayani segala kebutuhan
suami dan anak. Sehingga masyarakat menganggap bahwa jika wanita atau seorang istri
bekerja untuk mendapatkan penghasilan itu merendahkan martabat suami. Sehingga
anggapan masyarakat yang seperti itu membuat wanita menjadi tidak berkembang, karena
dipaksa mengikuti kebiasaan serta adat istiadat yang berlaku di masyarakat bahwa wanita
tidak perlu berpendidikan tinggi, karena pada akhirnya akan tetap tinggal di rumah dan hanya
mengerjakan tugas rumah saja.
Namun sekarang ini anggapan seperti itu sudah tidak berlaku lagi, karena munculnya
kesadaran bahwa untuk membangun keluarga yang sejahtera merupakan tanggung jawab
bersama antara suami dan istri. Sehingga hal tersebut memunculkan sebuah fenomena baru
dalam kehidupan keluarga, yang dimana sekarang tidak hanya suami saja yang dapat bekerja
akan tetapi istri juga dapat bekerja untuk mendapatkan penghasilannya sendiri. Sehingga hal
tersebut juga merubah pandangan bahwa wanita juga memiliki kesempatan untuk
melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi bahkan hingga sampai ke
Universitas atau perguruan tinggi, lalu kemudian bekerja dan memperoleh penghasilan, baik
bekerja sebagai pegawai atau karyawan. Sehingga istri mempunyai peran ganda yaitu
mengurus rumah tangga dan segala hal didalamnya serta memiliki tanggung jawab dengan
pekerjaannya di bidang publik atau industri. Meskipun demikian, terkadang hasil dari
pekerjaan tidak mendapatkan penghargaan. Dimana hal itu disebutkan bahwa pekerjaan
wanita cenderung berkaitan dengan pekerjaan ruamah atau domestik, sedangkan suami lebih
banyak dikaitkan dengan melakukan pekerjaan diluar rumah atau sektor publik (Agiani,
Nursetiawati, & Muhariyati, 2015).

2.7 Teori Perkembangan


Teori Perkembangan atau Development merupakan teori yang mengamilisi
perkembangan atau perubahan yang ada di institusi keluarga dan masyarakat dengan melihat
perubahan pada individu, keluarga atau masyarakat baik itu perkembangan unilinear yang
merupakan perkembangan satu jalur saja dalam sepanjang waktu ataupun perkembangan
multilinear atau perkembangan dalam berbagai jalur dalam sepanjang waktu. Dimana
perkembangan keluarga dapat dilihat dari perkembangan anak-anaknya,mulai dari baru
mnikah, lalu memiliki bayi, anak-anak, remaja, dewasa, hingga menikah dan hidup nersama
keluarga barunya sehingga meninggalkan orang tuanya.
Konsep perkembangan sendiri dibagi menjadi 2 yaitu perkembangan statis dan
dinamis, konsep statis yang meliputi nilai norma, moral, posisi, tingkatan, kejadian, gagasan
sejarah keluarga yang ada dimasyarakat. Seperti nilai norma yang mempengaruhi
perkembangan dimana mengikuti norma yang ada dan cenderung tidak mengalami perubahan
karena sesuai dengan norma yang ada dimasyarakat, peran dan posisi yang ada dikeluarga
juga dapat dipengaru oleh nilai-nilai norma yang ada dimasyarakat sehingga mempengauhi
peran, tugas, fungsi dan posisinya dalam keluarga. Sedangkan dalam konsep dinamis
perkembangan dalam keluarga meliputi peralihan transisi dan pemilihan waktu. Dimana
dalam keluarga terjadi pergerakan atau perubahan dalam perkembangan keluarga yang
menyebabkan terjadinya peralihan dan perubahan yang terjadi dengan perubahan waktu antar
tahapnya.
Perkembangan atau Development dalam keluarga merupakan perkembangan siklus
kehidupan dalam sebuah keluarga, selain itu tahapan atau siklus pada keluarga juga dapat
menentukan dan mengetahui apa yang diharapkan dan dan kebutuhan dalam keluarga
tersebut. Misalnya seperti keluarga yang baru menikah dan belum memiliki bayi atau anak
pastinya memiliki harapan dan kebutuhan yang berbeda dengan keluarga yang memiliki anak
pada usia sekolah. Dimana setiap tahap dalam perkembangan keluarga memiliki tugas yang
harus dijalankan pada tahap tersebuat diaman tugas dalam suatu tahap tersebut dapat
mempengaruhi tugas-tugas pada perkembangan selanjutnya yang juga harus dijalankan
sehingga tugas perkembangan dalam suatu tahap saling berkesinambungan dengan tugas
perkembangan yang lain dan pada akhirnya mempenaruhi perkembangan pada keluarga
tersebut. Dimana keluarga dapat tumbuh melalui berbagai tahap dalam setiap siklus
keluarga, dimana karena tugas tertentu dan persyaratan pada setiap faktor keluarganya,
seperti komposisi penduduk, usia dan beban keluarga membuat perbedaan dan menunjukan
perubahan tahap siklus keluarga tetapi juga sagat mempengaruhi tugas,tekanan dan tututan
individu dalam keluarga (Yan & Zhou, 2016).
Dimana tahap perkembangan dalam keluarga menurut Duvall dibagi menjadi 8
tahapan yaitu:
1. Pasangan nikah (belum memiliki anak). Pada tahap ini individu baru menikah
2. Keluarga dengan anak usia bayi. Pada tahap ini individu yang sebelumnya sudah menikah
kemudian memililiki anak pertama yang masih bayi.
3. Keluarga dengan anak usia pra-sekolah. Dimana pada keluarga ini anak yang tadinya
masih bayi mulai memasuki usia pra-sekolah
4. Keluarga dengan anak usia sekolah. Pada tahap ini keluarga yang anak pertamanya mulai
memasuki sekolah dasar.
5. Keluarga dengan anak usia remaja. Keluarga pada tahap ini anak pertama dalam keluarga
tersebut mulai beranjak remaja.
6. Keluarga yang anaknya dewasa. Pada tahap ini anak pertama dalam keluarga tersebut yang
sebelumnya masih remaja sudah memasuki usia dewasa.

7. keluarga yang anaknya sudah mandiri dan meninggalkan rumah. Pada tahap ini keluarga
yang anaknya sudah dewasa dan mandiri serta siap untuk menikah dan tinggal dengan
keluarga barunya sehingga anak tersebut meninggalkan rumah orang tuanya
8. Pasangan orang tua manula. Keluarga pada tahap ini kedua orang tuanya sudah tidak
bekerja dan sudah tidak produktif, tahap ini terjadi hingga kematian.
Selain itu ada beberapa faktor dalam menyusun pembagian keluarga menurut Duvall
1962 dalam Siregar (2017) yaitu:
1. Keberagaman pola keluarga yang ada,
2. Usia anak pertama atau anak tertua,
3. Tahap pendidikan anak pertama, dan
4. Fungsi dan status keluarga sebelum dan setelah anak meninggalkan orangtua
Dimana dari hasil penelitian yang telah dilakukan (Anindani, Hasanah, & Cholilawati,
2017) bahwa Kelompok sebaya menyediakan suatu lingkungan, yaitu tempat teman
sebayanya dapat melakukan sosialisasi dengan nilai yang berlaku, bukan lagi nilai yang
ditetapkan oleh orang dewasa, melainkan oleh teman seusianya, dan tempat untuk
menentukan jati dirinya. Namun, apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebaya
adalah nilai negatif maka akan menimbulkan bahaya bagi perkembangan jiwa individu
begitupun sebaliknya.
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Keluarga merupakan salah unit sosial terkecil dalam masyarakat. Dimana keluarga merupan
tempat pertama dan utama dalam memulai kehidupan dan berinteraksi dengan orang lain.
Dimana didalam keluarga setiap anggotanya memiliki tugas dan fungsinya masing-masing,
dan setiap anggota tersebut harus melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut untuk mencapai
tujuan bersama. Berdasarkan pada kajian yang telah dilakukan, bahwa teori keluarga yang
dibahas dalam makalah ini memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Seperti
teori struktural fungsional berkaitan dengan keseimbangan antara sistem yang ada di keluarga
dan masyarakat serta keluarga mengikuti konsensus atau kesepakatan yang ada pada
masyarakat. sedangkan teori sosial konflik bertentangn dengan teori struktural fungsional,
dimana sosial konflik tidak setuju dengan konsensus yang ditawarkan oleh masyarakat dan
memandang konflik dan perubahan merupakan hal yang normal. Teori gender dan feminis
membahas mengenai kesetaran gender antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal
termmasuk pekerjaan dan pendidikan. Teori ekologi membahas mengenai interaksi dan
pengaruh antara individu dengan lingkungannya, dimana lingkungan dapat mempengaruhi
pertumbuhan individu tersebut. Dan teori perkembangan membahas mengenai perkembangan
pada keluarga memalui tahapan-tahapan tertentu. Konflik atau permasalahan yang terjadi
dalam keluarga dapat bermacam-macam, sehingga keluarga perlu memiliki ketahanan
keluarga yang baik untuk menghadapi segala permaslah yang ada agar dapat mencapai tujuan
bersama yang diinginkan oleh keluarga.
Daftar Pustaka

Adams, G. A., King, L. A., & King, D. W. (1996). Relationships of job and family
involvement, family social support, and work-family conflict with job and life
satisfaction. Journal of Applied Psychology, 81(4), 411–420.
https://doi.org/10.1037/0021-9010.81.4.411
Agiani, P., Nursetiawati, S., & Muhariyati, M. (2015). ANALISIS MANAJEMEN WAKTU
PADA IBU BEKERJA. Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan, 4(1), 27–35.
https://doi.org/https://doi.org/10.21009/JKKP.021.05
Aisyah, S. N., Gede Putri, V. U., & Mulyati, M. (2017). Pengaruh Manajemen Waktu Ibu
Bekerja Terhadap Kecerdasan Emosional Anak. JKKP (Jurnal Kesejahteraan Keluarga
Dan Pendidikan), 3(1), 38–43. https://doi.org/10.21009/jkkp.031.08
Andayani, B. (2004). Tinjauan pendekatan ekologi tentang perilaku pengasuhan orangtua.
Buletin Psikologi, 12(1), 44–60.
Anindani, D. G., Hasanah, U., & Cholilawati, C. (2017). Hubungan Konformitas Peer Group
Dengan Perilaku Berpacaran Pada Remaja. JKKP (Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan
Pendidikan), 1(2), 58–67. https://doi.org/10.21009/jkkp.021.08
Anita, R. (2015). Harmoni dalam Keluarga Perempuan Karir : Upaya Mewujudkan
Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Keluarga. Palastren, 8(1), 1–34.
Ariany, I. S. (2002). KELUARGA DAN MASYARAKAT: Persfektif Struktural-Fungsiona.
ALQALAM, 19(93), 151–166.
Armaina, Y. N., Mashabi, N. A., Doriza, S., Vokasional, P., Keluarga, K., Teknik, F., …
Kekerasan, P. (2018). TANGGA TERHADAP PERILAKU KEKERASAN ( Studi
Kasus Komplek Bina Marga Cipayung , Jakarta Timur ). JKKP: Jurnal Kesejahteraan
Keluarga Dan Pendidikan, 5(2), 121. https://doi.org/http://doi.org/10.21009/JKKP
Aziz, A. (2017). Relasi Gender Dalam Membentuk Keluarga Harmoni (Upaya membentuk
keluarga Bahagia). HARKAT: Media Komunikasi Islam Tentang Gebder Dan Anak,
12(2), 27–37.
Edwards, J. N. (2006). Familial Behavior as Social Exchange. Journal of Marriage and the
Family, 31(3), 518–526. https://doi.org/10.2307/349775
Ferree, M. M. (2010). Filling the glass: Gender perspectives on families. Journal of Marriage
and Family, 72(3), 420–439. https://doi.org/10.1111/j.1741-3737.2010.00711.x
Fivush, R., & Merrill, N. (2016). An ecological systems approach to family narratives.
Memory Studies, 9(3), 305–314. https://doi.org/10.1177/1750698016645264
Gea, A. A. (2011). Enculturation Pengaruh Lingkungan Sosial terhadap Pembentukan
Perilaku Budaya Individu. Humaniora, 2(1), 139–150.
Hukma, H. (2016). KONFLIK PADA KELUARGA DI KUANTAN SINGINGI (Studi
Keluarga Yang Mempunyai Anak dan Tidak Mempunyai Anak Di Desa Munsalo). JOM
FISIP, 4(2), 1–15.
Kitchen, D. P. (2016). Structural Functional Theory. Encyclopedia of Family Studies, 1–7.
https://doi.org/10.1002/9781119085621.wbefs273
Lestari, P., & Pratiwi, P. H. (2018). PERUBAHAN DALAM STRUKTUR KELUARGA.
Jurnal Dimensia, 7(1), 23–44.
Maulida, S., Mashabi, N. A., & Hasanah, U. (2017). Hubungan Kelekatan Orang Tua Dengan
Kemandirian Remaja. JKKP (Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan), 4(1), 1–
5. https://doi.org/10.21009/jkkp.041.01
Mu’jizatin, N., Jubaedah, Y., & Widiaty, I. (2017). Perancangan Program Day Care Berbasis
Experiential Learning di Prodi Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. JKKP (Jurnal
Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan), 4(02), 102–109.
https://doi.org/10.21009/jkkp.042.08
Mujahidah. (2015). Implementasi Teori Ekologi Bronfenbrenner Dalam Membangun
Pendidikan Karakter Yang Berkualitas. Implementasi Teori Ekologi, 19(2), 171–185.
Retrieved from
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=400630&val=8781&title=IMPLEM
ENTASI TEORI EKOLOGI BRONFENBRENNER DALAM MEMBANGUN
PENDIDIKAN KARAKTER YANG BERKUALITAS
Prasetyo, D. T. (2017). Pengasuhan Orangtua Terhadap Kondisi Psikologis Anak Yang
Ditinggalkan Dalam Keluarga Migran : Sebuah Studi Literatur. JKKP (Jurnal
Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan), 4(02), 58–61.
https://doi.org/10.21009/jkkp.042.01
Puspitawati, H. (2010). PERSEPSI PERAN GENDER TERHADAP PEKERJAAN
DOMESTIK DAN PUBLIK PADA MAHASISWA IPB Herien. Jurnal Studi Gender
Dan Anak, 5(1), 17–34.
Respati, A. D., Muhariati, M., & Hasanah, U. (2017). Hubungan Antara Ketahanan Keluarga
Dengan Kenakalan Remaja. JKKP (Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan),
1(2), 41. https://doi.org/10.21009/jkkp.012.07
Salman, D., & Taryoto, A. H. (1992). PERTUKARAN SOSIAL PADA MASYARAKAT
PETAMBAK: Kajian Struktur Sosial Sebuah Desa Kawasan Pertambakan di Sulawesi
Selatan. Agro Ekonomi, 11(1), 1–18.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.21082/jae.v11n1.1992.1-18
Silitonga, M., Puspitawati, H., & Muflikhati, I. (2018). Modal Sosial, Coping Ekonomi,
Gejala Stres Suami Dan Kesejahteraan Subjektif Keluarga Pada Keluarga Tkw. JKKP
(Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan Pendidikan), 5(1), 20–30.
https://doi.org/10.21009/jkkp.051.03
Siregar, M. J. (2017). KAJIAN DAN PERUMUSAN MODEL ARSITEKTUR Housing for
Young Urban Family : Analysis and Architectural Model Formulation Mohammad
Jehansyah Siregar. Aspirasi, 8(2), 179–193.
Susanti, S., & Ekayati, I. N. (2013). Peran Pekerjaan, Peran Keluarga Dan Konflik Pekerjaan
Pada Perawat Wanita. Persona:Jurnal Psikologi Indonesia, 2(2), 183–190.
https://doi.org/10.30996/persona.v2i2.118
Sutarjo, A. A., Hasanah, U., & Artanti, G. D. (2017). Hubungan Antara Coping Dengan
Kualitas Perkawinan Pada Ibu Rumah Tangga. JKKP (Jurnal Kesejahteraan Keluarga
Dan Pendidikan), 3(2), 55–61. https://doi.org/10.21009/jkkp.032.02
Thompson, L., & Walker, A. J. (1995). The Place of Feminism in Family Studies. Journal of
Marriage and the Family, 57(4), 847–165. https://doi.org/10.2307/353407
Ummah, Z. N., Nursetiawati, S., & Putri, V. U. G. (2017). PENGARUH PERAN TEMAN
SEBAYA TERHADAP TINGKAT KENAKALAN REMAJA DI LAPAS ANAK
WANITA KELAS II B TANGERANG. JKKP: Jurnal Kesejahteraan Keluarga Dan
Pendidikan, 3(1), 28–32. https://doi.org/doi.org/10.21009/JKKP.031.06
Yan, S., & Zhou, Y. (2016). Research of Work-Family Balance Based on Family Life Cycle.
Open Journal of Social Sciences, 4(11), 218–224.
https://doi.org/10.4236/jss.2016.411018

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai