Hubungan Antara Wahyu Dan Akal Dalam Pemikiran Kalam
Hubungan Antara Wahyu Dan Akal Dalam Pemikiran Kalam
PEMIKIRAN KALAM
(Makalah Diajukan Memenuhi Tugas Individu Pada Mata Kuliah Akidah Ilmu Kalam)
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh :
11200510000080
KPI 3C
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur semata-mata hanyalah milik Allah SWT. Hanya kepada-Nya
kami memuji dan hanya kepada-Nya kami bersyukur atas berkat limpahan rahmat,
anugerah, petunjuk, dan hidayah-Nya yang telah memberikan kemudahan hingga akhirnya
penulis dapat menyelesaikan makalah Akidah Ilmu Kalam yang berjudul “ HUBUNGAN
ANTAR WAHYU DAN AKAL DALAM PEMIKIRAN KALAM ”.
Shalawat serta salam selalu tercurah limpahkan kepada junjungan Nabi Besar
Muhammad SAW. Saya haturkan terima kasih kepada semua orang yang telah membantu
dan terlibat dalam penyusnan makalah ini, khususnya kepada Bapak Prof. Dr. Yunan Yusuf
dosen mata kuliah Akidah Ilmu Kalam yang telah memberi amanat untuk menyelesaikan
tugas ini, sekaligus memberi begitu banyak materi yang menjadi sumber pengetahuan bagi
penulis.
Makalah ini disusun dengan sebaik-baiknya, tetapi sebagai manusia dengan isi
kepala yang berbeda, barangkali para pembaca merasa makalah ini terdapat kekurangan
dalam aspek apapun itu, maka saya sangat terbuka dan menerima kritik serta saran guna
kesempurnaan makalah untuk kedepannya.
Akhir kata, semoga apa yang terdapat dalam makalah ini dapat dipahami dan
dimengerti hingga akhirnya memberi manfaat, menambah wawasan, dan dapat kita
implementasikan melalui aksi dan tindakan nyata dalam kehidupan tentang Akidah Ilmu
Kalam, Khususnya pada Makalah ini yang berjudul HUBUNGAN ANTAR WAHYU
DAN AKAL DALAM PEMIKIRAN KALAM bagi penulis sendiri dan umumnya untuk
kita semua.
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.7 KESIMPULAN................................................................................................19
3
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
4
1.4 Pengertian Akal dan Wahyu
Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam dapat dibicarakan dengan
konteks, manakah yang di antara kedua akal dan wahyu itu yang akan menjadi sumber
pengetahuan manusia tentang Tuhan? tentang kewajiban berterima kasih kepada Tuhan?
tentang apa yang baik dan apa yang buruk? serta tentang kewajiban menjalankan yang
baik dan menghindari yang buruk?
Aliran Asy'ariyah merupakan sebagai penganut pemikiran kalam tradisional yang
berpendapat bahwa, akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan tiga hal lainnya,
yakni kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, baik dan buruk, serta kewajiban
melaksanakan yang baik, dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan
wahyu.
Sebaliknya Aliran Muktazilah merupakan sebagai penganut pemikiran kalam
rasional, berpendapat bahwa, akal mempunyai kemampuan mengetahui keempat hal
tersebut. Sedangkan pada Aliran Maturidiah Samarkand juga termasuk penganut pemikir
kalam rasional yang mengatakan, pada kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan
menghindari yang buruk, tetapi akan mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal
lainnya. Karena manusia dengan kemampuan akalnya dapat mengetahui bahwa itu
kekufuran yang berarti haram, karena hal tersebut dibenci Allah. Sebab itu, dengan
kemampuan akalnya manusia mampu mengetahui bahwa beriman kepada Allah adalah
wajib.1 Sebab itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan agama hanya bisa diketahui
manusia dengan perantaraan Nabi dan Rasul.
Lalu Bagaimana fungsi wahyu sebagai pemberi informasi bagi manusia. Bagi
Aliran rasional, akal manusia mengetahui empat hal tersebut (sumber pengetahuan manusia
tentang tuhan, tentang kewajiban berterima kasih kepada tuhan, apa yang baik dan buruk
dan kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk). Maka disni wahyu
berfungsi untuk memeberikan konfirmasi tantang apa yang telah dijelaskan sebelumnya
oleh akal manusia2.
1.5 Hubungan antara akal dan wahyu dalam pemikiran kalam
1
Kitab Usul, Op. Cit., hlm. 209.
22
Kitab Usul, loc.cit.
5
Aliran Muktazilah maupun Maturidiah Samarkand menambahkan penjelasan bahwa
memang betul akal bisa sampai ke penegtahuan tentang kewajiban berterima kasih kepada
tuhan serta mengerjakan kewajiban yang baik dan meninggalkan yang jahat. Namun
bukanlah wahyu dalam pandangan mereka ini tidak perlu tetapi adanya wahyu tetap
diperlukan. Sebab, untuk memberi tahu manusia bagaimana cara berterima kasih kepada
tuhan, menyempurnakan pengetahuan akan tentang mana yang baik dan yang mana yang
buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan diterima manusia di
akhirat kelak.3 Sedangkan bagi aliran kalam tradisional, saat memberikan daya yang lemah
kepada akal, maka fungsi wahyu bagi aliran ini sangat besar. Karena tanpa diberitahu oleh
wahyu, manusia tidak mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Juga manusia
tidak akan mengetahui apa saja yang menjadi kewajibannya. Atas dasar menurut pemikiran
kalam tradisional bahwa, tanpa diberitahu oleh wahyu, manusia akan bebas melakukan apa
saja yang dikehendakinya tanpa mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk,
sebab manusia belum diberitahu tuhan mana yang baik dan mana yang buruk.
Maka pemikiran tradisonal ini manusia tidak akan diazab kelak di akhirat bila ia
melakukan kejahatan. Manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Berbuat baik dan berbuat
buruk, patuh dan tidak patuh kepada tuhan adalah atas kehendak dan kemauan manusia itu
sendiri. Sedangkan daya (al- istitha’ah) untuk mewujudkan kehendak tersebut telah terdapat
dalam diri manusia sebelum manusia melakukan perbuatan.
1.6 Keadilan Tuhan
Paham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam banyak tergantung pada pandangan,
apakah manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat ataukah manusia
itu hanya terpaksa saja. Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidak bebasnya manusia
ini, menyebabkan penerapan makna keadilan, yang sama-sama disepakati arti meletakkan
sesuatu pada tempatnya, menjadi berbeda.
Tuhan bersifat adil, demikian kata Abd al-Jabbar dalam menafsirkan surah Yaasiin
(36) ayat 54, sebab di akhirat kelak seseorang tidak diminta pertanggungjawaban atas
kesalahan atau dosa orang lain. Seseorang hanya bertanggung jawab atas dosanya sendiri4.
Oleh sebab itu, demikian Abd al-Jabbar ketika memberikan komentar terhadap tiga ayat
berikut, Tuhan dipuji dengan penafian sifat zalim dari diri-Nya5. Sama dengan sikap dasar
3
Teologi Islam, hlm. 99.
4
Ibid., hlm. 576.
5
Syarh, hlm. 315.
6
terhadap kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan yang dipahami oleh
Muktazilah, aliran Maturidiyah Samarkand menggarisbawahi makna keadilan Tuhan
sebagai lawan dari perbuatan zalim Tuhan terhadap manusia Keadilan Tuhan dalam paham
ini berorientasi antroposentris. Tuhan tidak akan membalas kejahatan, kecuali dengan
balasan yang seimbang dengan kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba-hamba-
Nya dan juga tidak akan memungkiri janji-janji-Nya yang telah disampaikan kepada
manusia.6 Adapun aliran kalam tradisional, yang menekankan kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-
Nya dalam kerajaan-Nya. 7Itulah makna adil bila dikaitkan dengan Tuhan dalam pandangan
Asy'ariyah Dengan demikian ketidakadilan dipahami dalam arti Tuhan tidak bisa berbuat
sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil bila
yang terpahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.
BAB III
PENUTUP
1.7 Kesimpulan
Pada pembahasan materi ini bahwa ada dua penganut pemikiran ilmu kalam yaitu
berdasarkan pemikiran rasional dan tradisonal. Dimana pemikiran rasional ini terdiri dari
aliran muktazilah dan aliran maturidiyah samarkand. Dan pemikiran tradisonal ini terdiri
dari aliran Asy’ariyah dan aliran maturidiah bukhara. Jika ada kekurangan di dalam
pembuatan makalah ini saya sebagai penulis dan penyusun dari makalah ini memohon maaf
yang sebesar-besarnya. Saya sebagai penulis sangat terbuka untuk saran dan kritik yang
membangun, penyusun akan memperbaiki hal tersebut kepada para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
6
Muhammad Abu Zahrah, Al-Mazahib al-islamiyah, Maktabah al-Adad, t th., hlm. 308.
7
Al-Milal, hlm. 101.