Ada tiga aspek yang dihasilkan dari perundingan Putaran Uruguay dibidang
pertanian, yaitu: (1) Pengurangan hambatan akses pasar, berupa penurunan tarif
rata-rata 36 persen dan minimum 15 persen untuk setiap jenis tarif di
negaranegara maju selama enam tahun. Sedangkan di negara-negara
berkembang, hanya 24 persen selama 10 tahun. Disamping itu, setiap negara
diwajibkan memberikan akses minimum tiga persen dari konsumsi domestik
untuk kuota impor, dan naik menjadi lima persen pada tahun 1999; (2)
Pengurangan subsidi domestik, di mana negara-negara maju wajib mengurangi
subsidi domestiknya sebesar 20 persen tanpa batas waktu dan negara-negara
berkembang sebesar 13,3 persen dalam 10 tahun. Sedangkan subsidi di bawah
lima persen di negara-negara maju dan 10 persen di negara-negara berkembang
dari total nilai produk pertanian tidak dilarang. Disamping itu, subsidi yang
diterapkan sejak tahun 1986 dihitung sebagai kredit dalam komitmen; (3)
Pengurangan subsidi ekspor, di mana negaranegara maju dalam enam tahun
harus menurunkan subsidi ekspornya sebesar 36 persen. serta mencakup 24
persen dari seluruh kuantitas komoditas ekspor yang di subsidi. Sedangkan
untuk negara-negara berkembang pengurangan itu sebesar 20 persen dari nilai
pengeluaran subsidi, serta mencakup 16 persen dari kuantitas komoditas ekspor
yang di subsidi selama 10 tahun.
Beras
Laju pertumbuhan produksi beras selama 1995-2002 hanya 0,1 persen,
sementara impor dan ketersediaan meningkat masing-masing sebesar 226,8
persen dan 0,8. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sangat tergantung kepada
beras impor, sementara upaya peningkatan produksi beras belum berjalan
secara optimal. Kenyataan ini dicirikan oleh rata-rata produksi beras selama 5
tahun terakhir, yang hanya mampu memenuhi sekitar 90 persen dari total
perkiraan konsumsi di dalam negeri (Surono, 2001). Dengan demikian,
kebijaksanaan untuk terus meningkatkan produksi beras dalam rangka
mencapai ketahanan pangan nasional masih tetap relevan.
Jagung
Pesatnya perkembangan usaha peternakan ayam ras di Indonesia merupakan
faktor utama yang mendorong pesatnya laju permintaan jagung di pasar
domestik, sehingga volume impor terus mengalami peningkatan. Selama 1995-
2002 rata-rata konsumsi jagung nasional hanya mampu dipenuhi sekitar 92
persen dari produksi domestik. Total ketersediaan selama kurun waktu tersebut
meningkat 2,3 persen per tahun, dan angka ini sedikit di bawah laju kenaikan
produksi. Selain sebagai negara pengimpor, Indonesia juga melakukan ekspor
jagung. Selama 1995-2002 laju impor jagung meningkat sebesar 22,3 persen,
sementara laju ekspor sejak tahun 1998 menunjukkan kecenderungan yang
menurun.
Kedelai
Produksi kedelai di dalam negeri saat ini hanya mampu memenuhi sekitar
32 persen konsumsi domestik, sedangkan sisanya harus diperoleh melalui
impor. Permintaan impor selama 1995-2002 meningkat dengan laju 35,4 persen
per tahun (Tabel 4). Peningkatan volume impor yang tajam terjadi pada tahun
1999, yaitu 1,3 juta ton atau meningkat hampir 300 persen dibandingkan impor
tahun sebelumnya. Sebaliknya, produksi kedelai di dalam negeri selama kurun
waktu yang sama menurun dengan laju 12,0 persen. Impor kedelai diperkirakan
akan makin besar pada tahun-tahun mendatang, karena adanya kemudahan
tataniaga impor, berupa dihapusnya monopoli Bulog sebagai importir tunggal
serta dibebaskannya bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN) kedelai.
Gula
Konsumsi gula di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat, sebagai akibat
dari peningkatan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan masyarakat, serta
pertumbuhan industri makanan dan minuman. Selama 1995-2002 ketersediaan
gula di Indonesia meningkat dengan laju 3,5 persen per tahun. Peningkatan
ketersediaan yang kecil ini terjadi akibat kenaikan harga gula pada tahun 1998,
sehingga konsumsi per kapita pada tahun itu menurun secara drastis. Namun
terjadinya deregulasi industri gula pada tahun 1998 telah menyebabkan
terjadinya penurunan produksi, sehingga impor gula mengalami peningkatan
dengan laju 26,6 persen setiap tahun.
Daging Sapi
Permintaan daging sapi di Indonesia saat ini terus meningkat, seiring dengan
kenaikan pendapatan masyarakat dan perubahan selera ke arah daging yang
bermutu. Produksi daging sapi di Indonesia selama 1995-2002 meningkat
dengan laju 0,8 persen per tahun, sementara impor meningkat dengan laju 30,4
persen (Tabel 6). Peningkatan impor yang tinggi ini sebagian besar ditujukan
untuk daging berkualitas yang tidak dapat dipenuhi melalui produksi di dalam
negeri.
REFERENSI
Dalam analisis ini, komoditas ekspor hasil pertanian dibagi menjadi tiga kelompok
komoditas, yaitu kelompok komoditas tanaman semusim, tanaman tahunan, tanaman
hias dan pengembangbiakan tanaman; komoditas perikanan tangkap, perikanan
budidaya dan peternakan; dan komoditas pertanian lainnya. Total barang yang diekspor
dari komoditas ini sebanyak 49 kelompok barang. Adapun kelompok komoditas yang
memiliki kontribusi terbesar terhadap ekspor hasil pertanian pada tahun 2019 berasal
dari komoditas pertanian tanaman tahunan yaitu sebesar 59,14 persen.
Perkembangan ekspor hasil pertanian dari waktu ke waktu menunjukkan tren yang
berfluktuatif baik dari sisi berat maupun nilai. Pertumbuhan nilai ekspor hasil pertanian
pada tahun 2014 dan 2016 mengalami penurunan masing-masing sebesar 6,26 persen
dan 9,98 persen. Sementara itu, pertumbuhan nilai ekspor hasil pertanian pada tahun
2015 dan 2017 menunjukkan kinerja yang positif, yaitu masing-masing naik sebesar
10,47 persen dan 9,43 persen. Meskipun demikian, nilai ekspor hasil pertanian kembali
mengalami penurunan sebesar 6,54 persen pada tahun 2018. Akhirnya, mengalami
peningkatan kembali pada tahun 2019 sebesar 5,29 persen.
Pada tahun 2018 tanaman tahunan mengalami penurunan dari nilai ekspor
sebesar 17,98 persen, sedangkan tanaman semusim dan tanaman hias
mengalami peningkatan masing-masing sebesar 57,04 persen dan 10,25 persen.
Sebaliknya, pada tahun 2019, nilai ekspor komoditas tanaman tahunan
mengalami peningkatan sebesar 4,74 persen, sedangkan nilai tanaman semusim
dan tanaman hias mengalami penurunan, yaitu masingmasing sebesar 26,19
persen dan 5,07 persen.
b. Kopi
Komoditas kopi adalah salah satu ekspor andalan pada sektor pertanian
tanaman tahunan. Selama tahun 2012-2019, komoditas ini memiliki rata-rata
kontribusi sebesar 44,66 persen terhadap ekspor sektor pertanian tanaman
tahunan. Pada tahun 2019, kontribusi komoditas ini terhadap total ekspor sektor
pertanian tanaman tahunan adalah sebesar 40,84 persen. Pada periode 2012–
2015, pertumbuhan nilai ekspor komoditas kopi berfluktuatif setiap tahunnya.
Perkembangan ekspor komoditas ini menunjukkan tren yang cenderung
menurun.
d. Buah-buahan Tahunan
Komoditas lain yang mempunyai potensi dalam mendatangkan devisa adalah
buahbuahan tahunan seperti kelapa, manggis, nanas, dan sebagainya. Pada tahun
2012-2017, berat ekspor komoditas ini terus mengalami peningkatan dari
awalnya sebesar 291,5 ribu ton pada tahun 2012, menjadi 305,9 ribu ton pada
tahun 2013; 516,7 ribu ton pada tahun 2014; 673,3 ribu ton pada tahun 2014;
766,1 ribu ton pada tahun 2015; 766,1 ribu ton pada tahun 2016; dan mencapai
1,0 juta ton pada tahun 2017. Namun demikian, berat ekspor komoditas ini
kemudian mengalami penurunan pada tahun 2018-2019 berturut-turut menjadi
791,7 ribu ton dan 753,3 ribu ton.
e. Sayur-sayuran
Perkembangan ekspor sayur-sayuran dalam delapan tahun terakhir yaitu antara
tahun 2012–2019 menunjukkan perkembangan yang berfluktuasi. Selama
periode tersebut, terjadi kenaikan nilai ekspor kecuali pada tahun 2013, 2016,
dan 2018. Sementara itu, dari sisi berat cenderung terjadi penurunan kecuali
pada tahun 2015, 2018, dan 2019.
Pada tahun 2013, terjadi penurunan nilai ekspor komoditas sayur-sayuran dari
US$76,0 juta menjadi US$64,3 juta. Pada tahun 2014 dan 2015 tercatat nilai
ekspor sebesar US$75,1 juta dan US$92,0 juta. Selanjutnya, akibat penurunan
ekspor yang terjadi pada tahun 2016, nilai ekspor turun menjadi US$61,8 juta.
Pada tahun 2017, ekspor kembali meningkat menjadi US$71,5 juta. Ekspor
komoditas ini kemudian tercatat sebesar US$70,5 juta pada tahun 2018 dan
US$86,4 juta pada tahun 2019.
Negara utama tujuan ekspor untuk komoditas sayur-sayuran pada tahun 2019
adalah Tiongkok, Taiwan, Filipina, Singapura, dan Thailand. Nilai ekspor
komoditas ini ke negara-negara tersebut berturut-turut US$31,5 juta; US$13,0
juta; US$12,1 juta; US$11,3 juta; dan US$8,3 juta. Total nilai ekspor ke lima
negara tersebut mencapai 88,07 persen dari total ekspor komoditas sayur-
sayuran Indonesia tahun 2019.
Provinsi asal ekspor terbesar komoditas sayur-sayuran pada tahun 2019 adalah
Jawa Timur dengan nilai ekspor sebesar US$35,8 juta atau setara dengan 41,45
persen dari ekspor komoditas sayur-sayuran secara nasional. Provinsi lain yang
juga memiliki nilai ekspor sayur-sayuran yang cukup besar adalah Jawa Tengah
dengan nilai ekspor US$23,2 juta; Sumatera Utara dengan nilai ekspor US$10,5
juta; Jawa Barat sebesar US$9,6 juta; dan DKI Jakarta sebesar US$5,3 juta.
REFERENSI