Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Manusia dalam berinteraksi satu sama lainnya dalam kehidupan masyarakat sering
menimbulkan konflik. Konflik ini adakalanya dapat diselesaikan secara damai, tetapi adakalanya
konflik tersebut menimbulkan ketegangan yang terus menerus sehingga menimbulkan kerugian
pada kedua belah pihak. Hukum materiil di Negara kita, baik yang termuat dalam suatu bentuk
perundang-undangan maupun yang tidak tertulis, merupakan pedoman atau pegangan ataupun
penuntun bagi seluruh warga masyarakat dalam segala tingkah di dalam pergaulan hidup, baik
itu perseorangan, masyarakat maupun dalam bernegara, apa yang dapat ia lakukan dan apa yang
tidak boleh dilakukan. Ketentuan-ketentuan tersebut misalnya antara lain, “tidak boleh mencuri
barang orang lain, tidak boleh mengganggu hak orang lain, ataupun tidak boleh kita berbuat
dalam melaksanakan hak kita secara sewenang-wenang tanpa memperhatikan hak orang lain, dan
sebagainya.1

Agar dalam mempertahankan hak masing-masing pihak itu tidak melampaui batas-batas
dari norma yang ditentukan, maka perbuatan sekehendaknya sendiri harus dihindarkan. Jika kita
melaksanakan hukum materiil itu sendiri menurut kehendak sendiri atau pihak yang
bersangkutan, maka dalam hal ini akan timbullah apa yang dikenal dengan istilah “Main Hakim
Sendiri”. Inilah yang justru sangat dikhawatirkan oleh kita semua, sebab dengan keadaan
demikian itu tentu saja ketertiban dalam masyarakat tidak akan terjamin lagi, sedangkan
ketertiban ini merupakan salah satu tujuan daripada hukum. Maka dari itu, apabila para pihak
merasa hak-haknya terganggu dan menimbulkan kerugian, maka orang yang merasa haknya
dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama sesuai dengan prosedur yang
berlaku.

Hukum acara perdata bisa juga disebut dengan hukum perdata formil, namun sebutan
hukum acara perdata lebih lazim dipakai. Hukum acara perdata atau hukum perdata formil pada
dasarnya merupakan bagian dari hukum perdata. Sebab, di samping hukum perdata formil, juga

1
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah,
2000), hal 1

1
ada hukum perdata materil. Hukum perdata materil ini lazimnya hanya disebut dengan hukum
perdata saja.

Dalam rangka menegakkan hukum perdata materiil, fungsi hukum acara perdata sangat
menentukan. Hukum perdata materiil tidak dapat dipaksakan berlakunya tanpa adanya dukungan
dari hukum acara perdata ini. Oleh karena itulah maka dalam hal ini diperlukan sekali suatu
bentuk perundang-undangan yang akan mengatur dan menetapkan tentang cara bagaimanakah
melaksanakan hukum materiil ini. Sebab tanpa adanya aturan tersebut, maka hukum materiil ini
hanya merupakan rangkaian kata-kata yang indah dan enak dibaca saja, tapi tidak dinikmati oleh
warga masyarakat.2 Hukum yang mengatur tentang cara mempertahankan dan menerapkan
hukum materiil ini, dalam istilah hukum sehari-hari dikenal dengan sebutan Hukum Formil atau
Hukum Acara Perdata. Hukum perdata yang ingin dipertahankan dengan hukum acara perdata
tersebut meliputi peraturan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan
seperti, KUHPerdata, Undang-Undang Pokok Agraria, Undang-Undang Perkawinan dan
sebagainya) dan hukum yang tidak tertulis berupa hukum adat yang hidup dalam masyarakat.3

Jadi, diharapkan dengan adanya hukum acara perdata ini, para pihak yang bersengketa
dapat memulihkan hak-haknya yang telah dirugikan oleh pihak lain melalui pengadilan, tidak
main hakim sendiri (eigenrigthing). Dalam hukum acara perdata ini diatur hak dan kewajiban
yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak yang berperkara secara seimbang di depan
sidang pengadilan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Harus disadari bahwa hukum acara perdata dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
hukum acara perdata di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan hukum acara perdata
dalam lingkungan Peradilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.4

Untuk lebih jelasnya, berikut ini pemakalah akan membahas lebih ulas mengenai hukum acara
perdata beserta ketentuan-ketentuan lain yang mengikutinya.

B. Rumusan Permasalahan
1. Bagaimana yang dimaksud dengan hukum acara perdata?
2. Apa sumber berlakunya hukum acara perdata di Indonesia?
2
M.Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: S inar Grafika, 2008), hal 2
3
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004) hlm. 2
4
Ibid,. hlm. 1

2
3. Bagaimana cara mengajukan gugatan atau permohonan?
4. Pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam perkara perdata?
5. Apakah perkara perdata dapat diwakilkan oleh pihak ketiga?
6. Kemana perkara perdata dapat diajukan?
7. Bagaimana proses penyelesaian perkara perdata?
8. Apa saja alat bukti yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara perdata?
9. Bagaimana kedudukan arbitrase dalam hukum acara perdata?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan pengertian dari hukum acara perdata
2. Untuk menyebutkan sumber berlakunya hukum acara perdata di Indonesia
3. Untuk menjelaskan cara mengajukan gugatan atau permohonan
4. Untuk menyebutkan pihak-pihak yang terlibat dalam perkara perdata
5. Untuk menjelaskan apakah perkara perdata dapat diwakilkan oleh pihak ketiga
6. Untuk menjelaskan kemana perkara perdata dapat diajukan
7. Untuk menjelaskan proses penyelesaian perkara perdata.
8. Untuk menyebutkan alat bukti yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara perdata
9. Untuk mendeskripsikan kedudukan arbitrase dalam hukum acara perdata

BAB II

3
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA

Hukum acara sering disebut sebagai “hukum proses”. Proses artinya rangkaian pembuatan
atau rangkaian cara-cara berbuat atau bertindak, mulai dari memasukkan gugatan/permohonan
sampai selesai diputuskan dan dilaksanakan (di eksekusi).5

Hukum acara sering disebut juga hukum formal. Formal artinya bentuk atau cara, jadi
hukum formal maksudnya hukum yang mengutamakan pada kebenaran bentuk atau kebenaran
cara. Itulah sebabnya ber-Acara di muka pengadilan tidak cukup hanya tahu dengan materi
hukum tetapi lebih dari itu, sebab ia terikat pada bentuk-bentuk atau cara-cara tertentu yang
sudah diatur. Keterikatan kepada bentuk atau kepada cara ini, berlaku bagi pencari keadilan
terutama, juga bagi pengadilan (maksudnya hakim-hakimnya) sehingga tidak bisa semuanya
sendiri atau seenaknya. Oleh karena itu hukum acara perdata disebut sebagai hukum perdata
formil, karena ia mengatur tentang proses penyelesaian perkara melalui Pengadilan sesuai
dengan norma-norma yang telah ditentukan secara formal. 6 Hukum acara perdata termasuk
dalam ruang lingkup hukum privat (Private law) di samping hukum perdata materiil.

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., hukum acara perdata adalah peraturan
hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan
perantaraan Hakim.7

Prof. DR. Wirjono Projodikoro, SH, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan hukum
acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang membuat cara bagaimana orang harus
bertindak di muka pengadilan dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak satu sama lain
untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. 8

Prof. Subekti, S.H. dan R. Tjitrosoedibio merumuskan Hukum Acara Perdata adalah
“keseluruhan daripada ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana tertib
hukum perdata dapat ditegakkan dalam hal penegakan dikehendaki, berhubung terjadinya suatu

5
Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 8
6
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan... hlm. 2
7
M.Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata... hlm. 2
8
Opcit,. hlm. 1

4
pelanggaran dan bagaimana ia dapat dipelihara dalam hal suatu tindakan pemeliharaan
dikehendaki, berhubung terjadinya suatu peristiwa perdata”.9

Dari rumusan-rumusan di atas, maka dapat diketahui bahwa hukum acara perdata
merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan,
bagaimana pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan penggugat, bagaimana para hakim
bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim
memutus perkara yang diajukan oleh penggugat tersebut serta bagaimana cara melaksanakan
putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan
kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam Hukum Perdata dapat berjalan sebagaimana
mestinya.10

Hukum Acara Perdata itu sebenarnya mempunyai unsur (objek) yang diaturnya, yaitu: (1)
orang yang maju bertindak ke muka pengadilan karena terjadinya pelanggaran atau peristiwa
perdata yang perlu ditertibkan kembali, (2) pengadilan itu sendiri, yang akan menertibkan
kembali hukum perdata yang telah dilanggar dimaksud. 11

Jadi tampaklah di sini, bahwa terdapat hubungan yang erat antara hukum perdata (hukum
materiil) dengan hukum acara perdata (hukum formil), dimana secara garis besarnya dapatlah
dikemukakan di sini bahwa hukum acara perdata berfungsi untuk mempertahankan atau
menegakkan hukum perdata, sehingga dengan adanya hukum acara perdata ini maka hukum
perdata benar-benar akan dirasakan manfaatnya oleh semua orang. Karena hukum acara perdata
ini memberikan jalan atau petunjuk pada orang-orang (pihak) bagaimana cara menyelesaikan
suatu perkara yang sedang ia hadapi dengan melalui jalur hukum sesuai dengan cara yang telah
ditentukan dalam hukum acara yang bersangkutan.12 Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum
acara perdata ini menunjukkan jalan yang harus dilakukan oleh orang (pihak) agar soal yang
sedang di hadapi dapat diperiksa dan diselesaikan oleh pengadilan.

Akhirnya dapatlah disimpulkan bahwa objek daripada ilmu pengetahuan hukum acara
perdata ialah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau
menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan Negara. Perantara kekuasaan
9
Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama... hlm. 7-8
10
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan... hlm. 2
11
Ibid, hlm. 8
12
M.Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata... hlm. 3-4

5
Negara disini maksudnya dengan melalui badan atau lembaga peradilan, yaitu suatu badan yang
berdiri yang diadakan oleh Negara yang bebas dari pengaruh siapapun atau lembaga apapun
juga, yang memberikan putusan yang mengikat bagi semua pihak yang bertujuan mencegah
eigenrichting (menghakimi sendiri).13

B. SUMBER-SUMBER HUKUM ACARA PERDATA

Berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) dan pasal 6 UU No. 1 tahun 1951 tentang tindakan
sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara peradilan sipil, maka
sumber dasar penerapan Hukum Acara Perdata dalam praktik peradilan adalah:14

1. HIR (het Herzine Indonesisch Reglement/Reglemen Indonesia Baru Stb. 1848


No.16, Stb.1941 No. 44)

Yaitu reglemen tentang tugas kepolisian, mengadili perkara perdata dan penuntutan perkara
pidana golongan Bumi Putera dan Timur Asing di Jawa dan Madura). Pemberlakuan UU No.8
tahun 1981 tentang KUHAP maka sebagian ketentuan HIR khusus untuk Acara Pidana dicabut,
sedangkan ketentuan HIR untuk Acara Perdata masih berlaku yaitu dalam Bab IX “Perihal
Mengadili Perkara Dalam Perkara Perdata yang Diperiksa oleh Pengadilan Negeri” yang terdiri
dari:

 Bagian Pertama, tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan dari pasal 115-161.
 Bagian Kedua, tentang bukti mulai pasal 162-177.
 Bagian ketiga, tentang musyawarah dan putusan mulai pasal 178-187.
 Bagian Keempat, tentang banding mulai pasal 188-194.
 Bagian kelima, tentang menjalankan putusan mulai pasal 195-224.
 Bagian keenam, tentang hal-hal yang menjadi perkara istimewa mulai pasal 225-236.
 Bagian ketujuh, tentang izin berpekara tanpa ongkos perkara mulai pasal 237-245.
HIR hanya diberlakukan untuk daerah Jawa dan Madura seperti tertera dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung RI No.19/1964 dan putusan Mahkamah Agung RI No.1099 K/Sip/1972.

13
Ibid, hlm. 4
14
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teory dan Praktik Peradilan Indonesia, (Jakarta: Djambatan,
2005), hlm. 10.

6
2. RBg (Reglement Buitengewesten, Staatsblad 1927 No. 227)15

Diterapkan untuk wilayah luar Jawa dan Madura. Pada bab II RBg bagian Hukum Acara
Perdata terdiri dari 7 titel (I,II,III,VI, dan VII) tidak digunakan lagi karena ada beberapa
pengadilan yang sudah dihapus, sehingga hanya title IV dan V yang berlaku yaitu:

 Bagian pertama, tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan dari pasal 142-188.
 Bagian kedua, tentang musyawarah dan putusan mulai pasal 189-198.
 Bagian ketiga, tentang banding mulai pasal 199-205.
 Bagian keempat, tentang menjalankan putusan mulai pasal 106-258.
 Bagian kelima, tentang beberapa hal mengadili perkara istimewa mulai pasal 259-272
 Bagian keenam, tentang izin berperkara tanpa ongkos perkara ulai pasa 273-281.
 Bagian ketujuh, tentang bukti mulai pasal 282-314.16

3. Rv (Reglement op de burgerlijke rechtsvordering voorderaden van Justitie opa Java


en het hoogerechtshof van indonesie, alsmede voor de residentiegerechten op Java
en Madura) atau Reglement Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa.
Rv adalah reglament yang berisi ketentuan hukum acara perdata yang berlaku khusus bagi
golongan Eropa dan orang yang dipersamakan dengan mereka. Menurut Prof. Dr. R. Supomo
S.H dihapusnya Raad van Justitie dan Hoogerechtshof maka Rv tidak berlaku dan hanya HIR
dan Rbg saja yang berlaku. Tapi dalam praktik peradilan (Pengadilan Negeri dan pengadilan
Tinggi) serta Mahkamah Agung RI tetap digunakan dan dipertahankan.

4. KUHAP dan KUHD


Hukum acara perdata pada KUHP terdapat khusus didalam buku I dan IV (pasal 1865-
1993). Sedangkan dalam KUHD tedapat dalam pasal 7,8,9,22,23,32,255,258,272,273,274 dan
275. Hukum acara perdata juga diatur dalam aturan Kepailitan dan reglament tentang organisasi
kehakiman STB.1847 No.23 yang merupakan sumber dasar penerapan hukum acara perdata
dalam praktek peradilan.

15
Ibid.,hlm. 11.
16
Ibid., hlm. 12.

7
5. Undang-undang17
Undang-undang merupakan sumber hukum acara perdata dalam Undang-undang No. 20
th.1947 khusus acara banding khusus untuk daerah Jawa dan Madura. Pasal 199-205 RBg untuk
luar Jawa dan Madura. Untuk acara kasasi dalam UU No.14 tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung dan UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Ketentuan hukum acara perdata juga diatur pada UU No.14 tahun 1970 tentang ketentuan
pokok kekuasaan kehakiman, UU perkawinan beserta pelaksanaannya dan lain sebagaimya.

6. Yurisprudensi, Surat Edaran MA, Adat Kebiasaan, Doktrin, Perjanjian Bilateral


Yurisprudensi merupakan suatu kumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah
Agung dan keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam memberikan
keputusan yang sama. Perjanjian bilateral pun dapat dijadikan sebagai sumber dasar penerapan
hukum acara perdata. Hukum acara perdata ada sebagian tertulis yaitu yang termuat dalam UU
dan ada sebagian yang tidak tertulis yaitu adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam
melakukan pemeriksaan perdata.18 Adat kebiasaan yang tidak tertulis dari hakim dalam
melakukan pemeriksaan tidak dapat menjamin kepastian hukum. Doktrin juga merupakan
rujukan hakim untuk menggali hukum dalam menyelesaikan perkara dengan mempelajari ilmu
pengetahuan.19
C. ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
Asas-asas umum Hukum Acara Perdata bertitik tolak pada praktik peradilan Indonesia
sebagai berikut:
1. Hakim Bersifat Menunggu
Pelaksanaannya yaitu dengan inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak yang diserahkan
sepenuhnya kepada yang berkepentingan, kalau tidak ada tuntutan maka tidak ada hakim. Jadi
tuntutan hak diajukan oleh pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim hanya menunggu
datangnya tuntutan yang diajukan kepadanya. Seorang hakim tidak boeh menolak untuk
memeriksa dan mengadili walaupun dengan alasan hukumnya kurang jelas (pasal 14 ayat 1 UU
no.14/1970), hal ini karena adanya anggapan hakim tahu hukumnya. Jika hakim tidak

17
Ibid., hlm. 13.
18
Ibid., hlm.14-15.
19
Sudikno Menokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002), hlm. 9

8
menemukan hukum tertulis, maka ia wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat.
Seorang hakim bukan berarti mengetahui segala peraturan hukum, melainkan ia hanya
diminta untuk mempertimbangkan benar tidaknya suatu peristiwa atau salah tidaknya seseorang
lalu memberi putusan.

2. Hakim Pasif20
Hakim bersikap pasif dalam arti bahwa ruang lingkup sengketa yang diajukan kepada
hakim untuk diperiksa pada dasarnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara bukan oleh
hakim. Karena hakim hanya membantu mencari keadilan dan berusaha mengatasi segala
hambatan serta rintangan untuk tercapainya peradilan. Hakim harus aktif memimpin sidang,
melancarkan jalannya persidangan, membantu kedua pihak dalam mencari kebenaran.
Para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketanya yang telah diajukan ke
pengadilan dan hakim tidak dapat menghalanginya. Ha ini berupa pencabutan gugatan atau
perdamaian. Sedangkan hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang memutuskan
perkara yang tidak dituntut. Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan
oleh pihak bersangkutan, dan pihak tersebutlah yang wajib membuktikannya, bukan hakim.
Maka jelaslah pengertian pasif disini yaitu hakim tidak berperan dalam membatasi luas dan
sempitnya suatu sengketa, dengan tidak pula membatasi atau menguranginya sedikitpun.

3. Siat Terbukanya Persidangan21


Sidang pemeriksaan peradilan pada dasarnya terbuka untuk umum. Tujuannya adalah untuk
memberi perlindungan hak asasi manusia dibidang peradilan serta untuk lebih menjamin
obyektivitas peradilan dengan mempertanggungjaabkan pemeriksaan, tidak memihak,
memutuskan dengan adil.
Bila putusan yang diucapkan dalam sidang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti
putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya
putusan menurut hukum. Secara formil asas ini membuka kesempatan untuk “social control” dan
tidak berpengaruh terhadap berlangsungnya acara secara tertulis.

20
Ibid., hlm.12.
21
Ibid., hlm.14.

9
4. Mendengar Kedua Belah Pihak
Dalam hukum acara perdata kedua belah pihak harus diperlakukan sama, diberi
kesempatan mengemukakan pendapat, dan tidak memihak. Hakim tidak boleh menerima
keterangan dari salah satu pihak sebagai yang benar jika pihak yang lain tidak didengar atau
tidak diberi kesempatan mengeluarkan pendapatnya. Maka hal ini pula yang menyebabkan
pengajuan alat bukti harus dilakukan dimuka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak.

5. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan22


Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk
mengadili. Alasan ini sebagai pertanggungjawaban hakim dari putusannya terhadap masyarakat,
para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum. Oleh karena adanya alasan itu maka
putusan mempunyai nilai yang objektif, wibawa dan bukan karena hakim yang menjatuhkannya.
Putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan untuk kasasi.
Untuk dapat mempertanggungjawabkan putusan, sering dicari dukungan pada
yurisprudensi dan ilmu pengetahuan. Namun dukungan pada yurisprudensi bukan berarti hakim
terikat dan harus mengikuti putusan mengenai perkara sejenis yang pernah diputuskan. Begitu
pula seorang hakim juga harus mengikuti perkembanganilmu pengetahuan, yang nanti juga akan
ikut mempengaruhinya dalam memberikan putusan. Tanpa pengetahuan putusan akan
mengambang, terlalu subjektif dan tidak meyakinkan.

6. Beracara Dikenakan Biaya23


Biaya berperkara meliputi biaya kepaniteraan dan biaya panggilan, pemberitahuan para
pihak, biaya materai serta biaya pengacara jika seseorang meminta bantuan. Bagi mereka yang
tidak mampu membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma dengan
mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran dengan mengajukan surat keterangan tidak
mampu yang dibuat oleh kepala polisi. Jika penggugat ternyata terbukti bukan orang yang tidak
mampu, maka permohonan perkara akan ditolak oleh pengadilan.

7. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan24

22
Ibid., hlm.15.
23
Ibid., hlm.17.
24
Ibid., hlm.18.

10
Tidak ada kewajiban para pihak untuk mewakilkan pada orang lain, tetapi para pihak dapat
diwakilkan oleh kuasanya jika dikehendaki. Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa
sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan pada kuasanya.
Dengan memeriksa para pihak yang berkepentingan secara langsung, hakim dapat
mengetahui dengan jelas duduk persoalannya. Namun jika diwakilkan pada kuasa hukumnya
bisa jadi kuasa tersebut kurang mendalami peristiwa secara rinci. Inilah yang menyebabkan
kuasa sering hanya siap dengan surat jawabannya saja, tapi jika ada pertanyaan dari hakim ia
harus berkonsultasi dahulu dengan pihak yang berkepentingan.
Selain itu, menggunakan kuasa hukum juga bermanfaat bagi orang yang belum pernah
berperkara di pengadilan yang membuatnya gugup. Terlebih lagi seorang kuasa memiliki iktikad
baik dan lebih mengetahui konsekuensi hukum dari setiap yang ia kemukakan, sehingga ia hanya
akan menyebutkan peristiwa-peristiwa yang relevan saja. Seorang kuasa atau wakil juga dapat
mempersempit peluang bagi pihak yang buta hukum menjadi sasaran penipuan dan perlakuan
sewenang-wenang.
Tidak ada ketentuan bahwa seorang pembantu/wakil/kuasa harus seorang sarjana hukum.
Akan tetapi untuk mempermudah proses jalannya persidangan guna memperoleh putusan yang
adil, akan lebih baiknya seorang kuasa merupakan sarjana hukum karena mereka lebih paham
hukum dan dapat menjamin pemeriksaan yang obyektif.
D. PERIHAL GUGATAN

Gugatan menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH, adalah tuntutan hak yaitu tindakan
yang bertujuan untuk memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah
perbuatan main hakim sendiri (eigenrigthing). Jadi dapat diketahui bahwa gugatan adalah suatu
permohonan yang disampaikan kepada Pengadilan yang berwenang tentang suatu tuntutan
terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut.
Dalam hal gugatan kepada Pengadilan selalu ada pihak Penggugat atau para penggugat,
tergugat atau para tergugat dan turut tergugat atau para turut tergugat. Cara menyelesaikan
perselisihan lewat pengadilan tersebut diatur dalam Hukum Acara Perdata (Burgerlijke
Procesrecht, Civil Law of Procedure). 25
Dalam hukum acara perdata dikenal 2 istilah dalam mengajukan perkara, yaitu gugatan dan
permohonan. Berikut penjelasan mengenai gugatan dan permohonan:
25
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan... hlm 1

11
a. Dalam perkara gugatan ada suatu sengketa, suatu konflik yang harus diselesikan dan
harus diputus oleh pengadilan, sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa atau
perselisihan, misalnya segenap ahli waris secara bersama-sama menghadap ke pengadilan
untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian masing-masing dari warisan almarhum,
atau permohonan untuk mengganti nama dari Liem Sio Liong menjadi Sudono Salim,
atau permohonan pengangkatan seorang anak, wali dan lainnya.
b. Dalam suatu gugatan ada dua atau lebih pihak yaitu pihak penggugat dan tergugat yang
merasa haknya atau hak mereka dilanggar, sedangkan dalam permohonan hanya ada satu
pihak yaitu pihak pemohon.26
c. Suatu gugatan dikenal sebagai pengadilan contentiosa atau pengadilan sungguh-sungguh,
sedangkan suatu permohonan dikenal sebagai pengadilan voluntair atau pengadilan pura-
pura.
d. Hasil suatu gugatan adalah putusan (vonis) sedangkan hasil suatu permohonan adalah
penetapan (beschikking).

1. Cara Membuat Gugatan.

Sebuah gugatan dapat diajuakan secara tertulis (Pasal 118 HIR/Pasal 142 RBg) dan boleh
diajukan secara lisann (Pasal 120 HIR/ Pasal 144 RBg). Namun, dalam praktek peradilan
sekarang, orang sudah tidak lazim lagi mengajukan gugatan lisan. Apalagi dalam kasus-kasus
perdata yang sulit dan nilai gugatannya besar, gugatan selalu diajukan secara tertulis, sehingga
gugatan tersebut benar-benar dapat disusun secara sistematis, logis, dan lengkap.27

Hukum acara perdata yang termuat dalam HIR dan RBg tidak menyebut syarat-syarat yang
harus dipenuhi dalam surat gugatan. Akan tetapi, Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya
memberikan fatwa bagaimana surat gugatan itu disusun:

a. Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan, asal cukup memberikan
gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi dasar tuntutan (MA tanggal 15-3-1970
K/Sip/1972)

26
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata... hlm. 16
27
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara... hlm. 25

12
b. Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas (MA tanggal 21-11-1970 Nomor 492
K/Sip/1970)
c. Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap (MA tanggal 13-5-1975
Nomor 151 K/Sip/1975 dan lain-lain).
d. Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak tanah, batas-batas,
dan ukuran tanah (MA tanggal 9-7-1973 Nomor 81 K/Sip/1971).28

Sedangkan persyaratan tentang isi atau surat gugatan yang terdapat dalam Hukum Acara
Perdata adalah dalam pasal 8 ayat (3), harus memuat:

1. Identitas para pihak, meliputi nama, tempat tinggal dan pekerjaan. Dalam prakteknya
juga sering juga dicantumkan agama, umur, dan status (kawin atau belum kawin).29
2. Posita atau fundamentum petendi yaitu dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan
hukum antara penggugat dan tergugat serta alasan-alasan daripada tuntutan.

Secara garis besar, dalam posita harus memuat antara lain:30

a) objek perkara yaitu mengenai hal apa gugatan itu diajukan, apakah menyangkut sengketa
kewarisan, sengketa perkawinan, perbuatan melawan hukum, sengketa cedera janji dan
sebagainya. Objek sengketa merupakan hal yang sangat penting dalam surat gugatan,
oleh karena itu harus diuraikan secara jelas dan rinci.

b) Fakta-fakta hukum, yaitu hal-hal yang menyebabkan timbulnya sengketa sehingga


penggugat menderita rugi dan perlu diselesaikan melalui pengadilan, misalnya apakah
ada perjanjian antara pihak penggugat dan tergugat sehingga tergugat wanpresatasi, atau
tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan timbulnya
kerugian bagi pihak penggugat dan lain-lain,

c) Kualifikasi perbuatan tergugat, yaitu suatu perumusan mengenai perbuatan materiil


maupun moril dari tergugat yang dapat berupa perbuatan melawan hukum, wanprestasi,
perselisihan dalam perkawinan dan lain-lain. Kualifikasi perbuatan tergugat ini disusun

28
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata... hlm. 25-26
29
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004) hlm. 30
30
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan,... hlm. 20

13
secara alternatif, sehingga apabila satu perbuatan tidak terbukti dapat diajukan
alternative lain sehingga segala perbuatan tergugat tidak lepas dari tuntutan penggugat.

d) Uraian kerugian yang diderita oleh penggugat, kerugian itu dapat berupa materiil dan
dapat berupa moriil. Berapa kerugian yang diderita oleh penggugat harus disebutkan
secara pasti, jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Uraian kerugian ini harus
didukung oleh bukti-bukti tertulis seperti kwitansi, faktur, nota-bon pengeluaran dan
lain-lain.

e) Hubungan posita dengan petitum harus ada kaitan yang jelas, maksudnya antara petitum
dan posita sangat erat hubungannya karena posita adalah dasar membuat petitum,
petitum tidak boleh melebihi posita, hal-hal yang tidak diuraikan dalam posita tidak
boleh dimohonkan dalam petitum. 31

3. Petitum, adalah apa yang diminta atau dituntut.

Butir pertama dari setiap petita selalu tentang formal perkara, belum boleh langsung
loncat ke materi perkara. Butir pertama itu berbunyi: “Mohon agar Pengadilan Agama menerima
gugatan penggugat”, maksudnya ialah karena syarat-syarat formal gugatan sudah cukup,
penggugat mohon agar secara formal gugatannya dinyatakan diterima.

Butir terakhir dari bagian petita selalu tentang permintaan agar pihak lawan dibebankan
biaya perkara, misalnya berbunyi “agar Pengadilan menghukum tergugat untuk membayar segala
biaya perkara”. Atau bisa juga disingkat dengan kalimat “Biaya perkara menurut hukum”,
maksudnya adalah sesuai dengan hukum, yaitu siapa yang kalah akan dihukum untuk membayar
biaya perkara.

Perlu diingatkan bahwa menurut Pasal 89 ayat (1) UU No 7 tahun 1989, khusus dalam
semua perkara di bidang perkawinan maka biaya perdata selalu di bebankan kepada penggugat
atau pemohon.

Butir ditengah-tengah dari bagian petita adalah tuntutan mengenai materi perkara (pokok
perkara). Tuntutan di sini boleh tunggal dan boleh juga terdiri dari beberapa tuntutan yang
digabung (sesuai dan asal didukung oleh posita). Gabungan tuntutan ini disebut “kumulasi
31
Ibid,. hlm 21

14
objektif”. Menurut Acara Perdata kumulasi objektif diperkenankan asal berkaitan langsung yang
erat merupakan satu rangkaian kesatuan (biasanya kausalitet). Mereka yang mengerti ber-Acara
selalu akan mempergunakan di mana mungkin kumulasi objektif itu, hal mana menghemat
waktu, biaya dan sekaligus tuntas semua.

Perlu diingatkan sehubungan dengan petita ini, yaitu pengadilan dilarang mengabulkan
tuntutan melampaui apa yang dituntut oleh penggugat, sebaliknya pengadilan dilarang tidak
mengadili semua terhadap apa yang dituntutnya, walaupun mungkin ada yang dikabulkan dan
ada yang ditolak, atau ada yang dikabulkan sebagian dan ditolak sebagian lainnya.32

Dalam Hukum Acara Perdata dikenal dua teori tentang cara menyusun gugatan kepada
pengadilan yaitu: (1) substantiering theory, teori ini menyatakan bahwa gugatan selain harus
menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebut kejadian-
kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hukum
tersebut. Bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya, di dalam gugatan itu ia tidak
cukup hanya menyebut bahwa ia hanya pemilik benda itu, tetapi juga harus menyebutkan sejarah
pemilikannya, misalnya karena membeli, mawaris, hadiah, dan sebagainya. (2)
individualiserings theorie, teori ini menyatakan bahwa dalam gugatan cukup disebut peristiwa-
peristiwa atau kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi
dasar gugatan, tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului dan menjadi
sebab timbulnya kejadian-kejadian tersebut. Sejarah terjadinya atau sejarah adanya pemilikan
hak milik atas benda itu dimasukkan dalam gugatan, karena hal itu dapat dikemukakan dalam
persidangan dengan disertai bukti-bukti seperlunya. 33

Teori mana yang paling banyak dipakai dalam praktek Peradilan selama ini, sebenarnya
sangat tergantung pada sejarah berlakunya hukum acara perdata pada zaman penjajah dahulu.
Menurut system yang dianut oleh B.Rv beracara harus dilaksanakan secara tertulis dan harus
didampingi oleh pengacara yang ahli hukum. Oleh karena itu surat gugat harus dibuat secara
tertulis, maka penyusunan surat gugat itu haruslah dibuat secara lengkap, sistematis dan yuridis
sebagaimana yang tersebut dalam teori substanstiering theorie. Menurut system HIR dan R.Bg
beracara di dalam sidang pengadilan tidak mesti harus tertulis, lisan pun diperkenankan dan juga
32
Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama... hlm. 65-66
33
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan... hlm. 17

15
tidak ada keharusan untuk mewakilkan kepada advokat atau pengacara. Oleh karena itu dalam
surat gugatan tidak ada format dan redaksi khusus yang mesti harus dituruti, tergantung pada
kondisi dan keadaan perkara yang akan dimajukan kepada pengadilan, dalam hal ini boleh
mengikuti individualiserings theorie.

Dari uraian di atas, teori mana yang harus dipergunakan sebenarnya tidaklah menjadi
persoalan. Tetapi dalam perkembangan praktek dan kemajuan dalam pendidikan hukum cukup
memberikan indikasi bahwa adanya kecenderungan untuk mengikuti teori pertama tanpa harus
mengabaikan teori kedua.

Namun, sebelum para pihak yang bermaksud mengajukan gugatan ke pengadilan, mereka
haruslah mengetahui beberapa prinsip gugatan perdata, yaitu: 34

a. Harus ada dasar hukumnya

Gugatan yang tidak ada dasar hukumnya sudah pasti akan ditolak oleh hakim dalam sidang
Pengadilan karena dasar hukum inilah yang menjadi dasar putusan yang diambilnya. Dasar
hukum dalam mengajukan gugatan diperlukan untuk meyakinkan para pihak yang terkait dengan
gugatan itu bahwa peristiwa kejadian dan peristiwa hukum benar-benar terjadi, tidak diada-
adakan atau rekayasa. Juga untuk membantu hakim dalam upaya menemukan hukum dalam
memutuskan pekara yang diajukan kepadanya. Serta untuk mencegah agar tidak semua orang
dengan mudahnya mengajukan gugatannya ke Pengadilan. Hanya kepentingan yang cukup dan
layak serta mempuyai dasar hukum sajalah yang dapat diterima sebagai gugatan di Pengadilan.

b. Adanya kepentingan hukum

Suatu tuntutan hak yang akan diajukan kepada Pengadilan yang dituangkan dalam sebuah
gugatan, pihak Penggugat haruslah mempunyai kepentingan hukum yang cukup. Orang yang
tidak mempunyai kepentingan hukum tidak dibenarkan untuk menjadi para pihak dalam
mengajukan gugatan. Hanya orang yang berkepentingan langsung yang dapat mengajukan
gugatan, sedangkan orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung haruslah mendapat
kuasa terlebih dahulu dari orang atau badan hukum untuk dapat mengajukan gugatan ke
pengadilan.

34
Ibid, hlm. 11

16
c. Merupakan suatu sengketa

Pengertian perkara sebenarnya lebih luas dari sengketa, dengan kata lain sengketa itu adalah
bahagian dari perkara, sedangkan sengketa itu belum tentu perkara. Dalam pengertian perkara
tersimpul dua keadaan yaitu ada perselisihan dan tidak ada perselisihan. Dalam perselisihan ada
suatu yang diperselisihkan dan dipertengkarkan serta disengketakan, ia tidak dapat
menyelesaikan sendiri masalah tersebut, melainkan penyelesaiannya perlu lewat Pengadilan
sebagai instansi yang berwenang. Sedangkan tidak ada perselisihan artinya tidak ada yang
disengketakan, yang bersangkutan tidak minta putusan Pengadilan melainkan hanya penetepan
saja dari hakim sehingga mendapat kepastian hukum yang harus dihormati oleh semua pihak.

Tindakan hakim yang demikian disebut Jurisdictio Voluntaria, seperti permohonan


ditetapkan sebagai ahli waris yang sah, penetapan wali adhal, isbat nikah. Pengadilan dibenarkan
memeriksa perkara yang bersifat tidak ada perselisihan (yuridictio voluntaria) itu hanya kalau
peraturan perundang-undangan memberikan kewenangan untuk menyelesaikan perkara tersebut,
jika tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya maka Pengadilan dilarang untuk
menyelesaikan perkara tersebut. 35

Sehubungan dengan hal itu, gugatan yang diajukan kepada Pengadilan haruslah bersifat
sengketa, dan persengketaan itu telah menyebabkan kerugian dari pihak penggugat, sehingga
perlu diselesaikan melalui pengadilan sebagai instansi yang berwenang dan tidak memihak. Oleh
karena itu haruslah berhati-hati dalam menyusun gugatan terhadap pihak lawan atau tergugat,
karena kalau dalam mendudukkan pihak tergugat tidak cermat maka akan mengakibatkan
gagalnya gugatan di Pengadilan.

d. Di buat dengan cermat dan terang

Gugatan secara tertulis harus disusun dalam surat gugatan yang dibuat secara cermat dan
terang, jika tidak dilakukan secaa demikian maka akan mengalami kegagalan dalam sidang
Pengadilan. Surat gugat tesebut harus disusun secara singkat, padat, dan mencakup segala
persoalan yang disengketakan. Surat gugat tidak boleh abscluur libel, artinya tidak boleh kabur

35
Ibid,. hlm. 12

17
baik mengenai pihak-pihaknya, objek sengketanya dan landasan hukum yang dipergunakannya
sebagai dasar gugat.

e. Memahami hukum formil dan materiil

Sebuah gugatan dikatakan baik dan benar apabila orang yang membuat surat gugat itu
mengetahui tentang hukum formil dan hukum materiil, sebab kedua hukum tersebut berkaitan
erat dengan seluruh isi gugatan yang akan dipertahankan dalam sidang Pengadilan. Dalam
praktek Peradilan Agama sangat sulit ditemukan pada Penggugat mengetahui hukum formil dan
materiil secara utuh, meskipun kadang-kadang perkara yang diajukan itu mempergunakan jasa
pemberi bantuan hukum. Jalan keluar yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan
terhadap orang belum memahami hukum formil dan materiil ini adalah sebagaimana disebut
dalam pasal 119 HIR dan pasal 143 R.Bg dimana dikemukakan bahwa Ketua Pengadilan
berwenang memberikan nasehat dan bantuan kepada Penggugat atau kuasanya dengan tujuan
agar tidak mengalami kesulitan dalam membuat gugatan bagi orang-orang yang kurang
pengetahuannya tentang hukum formil dan materiil itu.

2. Kemana Mengajukan Gugatan36

Secara garis besar pasal 118 HIR/142 RBg mengatur tentang kemana gugatan dapat
diajukan, diantaranya:

a. Gugatan perdata yang dalam tingkat pertama masuk wewenang Pengadilan Negeri, harus
diajukan dengan surat gugatan, yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh orang yang
dikuasakan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat
tinggal tergugat, yang bisa dilihat dari Kartu Tanda Penduduknya.
b. Jika tidak diketahui tempat tinggalnya, gugatan diajukan pada pengadilan negeri tempat
kediaman tergugat. Hal ini dilihat dapat dilihat dari rumah tempat kediamannya.
c. Apabila tergugat terdiri dari dua orang atau lebih, gugatan diajukan pada tempat tinggal
salah seorang dari para tergugat, terserah pilihan penggugat, jadi penggugat yang
menentukan dimana akan mengajukan gugatannya.

36
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata... hlm. 19-20

18
d. Apabila pihak tergugat ada dua orang, yaitu seorang misalnya adalah yang berhutang dan
yang lain penjaminnya, maka gugatan harus diajukan kepada pengadilan negeri pihak
yang berhutang.
e. Apabila tempat tinggal dan tempat kediaman tergugat tidak dikenal, gugatan diajukan
kepada ketua pengadilan negeri tempat tinggal penggugat. 37

Selain itu terdapat ketentuan lainnya tentang kemana gugatan dapat diajukan. Ketentuan-
ketentuan tersebut terdapat dalam KUHPerdata, Hukum Acara Perdata dan Undang-undang
Perkawinan (UU No. 1 tahun 1974), yaitu:

1. Apabila dalam hal tergugat tidak cakap untuk menghadap dimuka pengadilan, gugatan
diajukan kepada ketua pengadilan negeri oleh orangtuanya, walinya atau pengampunya
(pasal 21 KUHPerdata).
2. Yang menyangkut pegawai negeri, yang berwenang untuk mengadilinya adalah
Pengadilan Negeri di daerah mana ia bekerja (KUHPerdata).
3. Tentang hal kepailitan, yang berwenang untuk mengadilinya adalah Pengadilan Negeri
yang menyatakan tergugat pailit (pasal 99 ayat (15) Hukum Acara Perdata).
4. Yang menyangkut permohonan perceraian, diajukan kepada Pengadilan Negeri dalam
daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami istri
(pasal 63 (1) b UU No. 1 tahun 1974 dan pasal 38 (1) dan (2) PP No. 9 tahun 1975).
5. Dalam hal tergugat bertempat tinggal diluar negeri, gugatan diajukan di tempat kediaman
penggugat dan ketua pengadilan negeri menyampaikan permohonan tersebut kepada
tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat. (pasal 20 (2) dan (3) PP No. 9
tahun 1975.

Contoh: Permohonan Penggantian Nama


Jakarta, 5 September 2003

Kepada Yth,

Bapak Ketua Pengadilan Negeri

Jakarta Timur

di-

37
Ibid,. hlm. 20

19
Jakarta.

Dengan hormat,

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:

Afrisa, S.H., advokat, berkantor di Jalan Otto Iskandardinata No. 5 Jakarta Timur, berdasarkan surat
kuasa tanggal 1 Agustus 1995, (terlampir), bertindak untuk dan atas nama Agus Santoso, bertempat
tinggal di Jalan Aries No. 2 Jakarta Timur, dengan ini mengajukan surat permohonan ini, selanjutnya
disebut sebagai PEMOHON.

Adapun permohonannya adalah sebagai berikut:

Bahwa pemohon pada tanggal 30 Juli 1975 di Jakarta Timur telah menikah dengan Istri Pemohon yang
bernama Silvia, seperti terbukti dari petikan Akta Perkawinan No. 150 tahun 1975 tanggal 5 Mei 1975
yang dikeluarkan oleh Kantor Catatab Sipil di Jakarta Timur. (Foto copy, terlampir);

Bahwa selama dalam ikatan perkawinan dengan Istri Pemohon tersebut telah dilahirkan seorang anak
laki-laki yang diberi nama, Ong Bek Tiong, pada tanggal 30 Agustus 1977 pukul 23.00 WIB di Jakarta
Timur.

Bahwa kelahiran anak Pemohon tersebut telah dicatat dalam daftar buku tentang kelahiran yang
disediakan bagi warga negara Indonesia berdasarkan Lembaran Negara 1933 No. 75 juncto Lembaran
Negara 1936 No. 607 di Kantor Catatan Sipil Jakarta Timur.

Bahwa dalam akta kelahiran anak pemohon tersebut telah dicatat sebagai anak laki-laki dari suami istri
Agus Santoso dan Silvia, seperti terbukti dari petikan Akta Kelahirrran No. 100 tahun 1977 yang
dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Jakarta Timur. (Foto copy terlampir)

Bahwa kemudia terdapat keinginan Pemohon bersama Istri Pemohon untuk mengganti atau mengubah
nama anak dari Pemohon dan Istri Pemohon menjadi Agustinus.

Bahwa Pemohon sebagai ayah dari anak tersebut sangat berkepentingan sekali, agar Akta Kelahiran dari
Pemohon tersebut segera diperbaiki.

Berdasarkan segala apa yang diuraikan di atas, Pemohon mohon dengan hormat sudilah kiranya
Pengadilan Negeri Jakarta Timur berkenan menetapkan;

- Mengabulkan permohonan Pemohon tersebut di atas;


- Memerintahkan atau setidak-tidaknya memberikan kuasa kepada Pegawai Catatan Sipil Jakarta
Timur untuk memperbaiki Akta Kelahiran No. 100 tahun 1977 yang terdapat dalam daftar buku
tentang kelahiran bagi warga negara Indonesia berdasarkan Lembaran Negara 1933 No. 75 juncto
Lembaran Negara No. 607 terhadap perkataan: “anak laki-laki yang bernama Ong Bek Tiong dari
suami istri Agus Santoso dan Silvia dicoret dan sebagai gantinya ditulis: “Anak laki-laki yang
bertnama Agustinus dari suami istri Agus Santoso dan Silvia”.

Hormat Kuasa Pemohon,

20
Afrida, S.H.

===========================================================================
Contoh Surat Gugatan.

Jakarta, 23 Februari 2002

Hal: Gugatan Perceraian

Kepada Yth,

Ketua Pengadilan Agama

Jakarta Barat

di-

Jakarta

Assalamu’alaikum wr.wb

Yang bertandatangan dibawah ini:

Sukma, S.H. dan Sugito, S.H. Advokat dan Penasehat Hukum pada Pusat Pengkajian dan Pelayanan
Hukum (P3H) Fakultas Hukum Universitas Islam As-syafi’iyah Jl. Raya Jatiwaringin Po. Box 7725,
Jakarta Timur, selaku kuasa dari Ny. Darmawati, pekerjaan karyawan, umur, 25 tahun, bertempat tinggal
di Jl. Kembang Asri II/8 Rt. 011/06 Kembangan Jakarta Barat, dalam hal ini memilih domisili hukum di
Kantor Kuasanya di Pusat Pengkajian dan Pelayanan Hukum (P3H) Fakultas Hukum Universitas Islam
As-syafi’iyah Jl. Raya Jatiwaringin Po. Box 7725, Jakarta Timur.

-----------------------------------------Untuk selanjutnya disebut Penggugat-------------------------------

Bersama ini mengajukan gugatan perceraian melawan:

M. Ridwan, pekerja: tidak ada, umur: 34 tahun, beralamat di Jl. Terusan Hang Lekir IV/40 Rt. 001/08
Kelurahan Kecamatan Kebayoran Lama – Jakarta Selatan.

-----------------------------------------Untuk selanjutnya disebut Tergugat-------------------------------

POSITA

Adapun dasar-dasar atau alasan-alasan gugatan sebagaimana tersebut dibawah ini:

1. Bahwa Penggugat adalah istri dari Tergugat berdasarkan perkawinan yang dilaksanakan di
Kantor Urusan Agama (KUA) Kebon Jeruk Jakarta Barat tanggal 14 Desember 1990, (bukti P-1).
2. Bahwa dari perkawinan tersebut tidak membuahkan seorang anak sampai sekarang.
3. Bahwa walaupun perkawinan tersebut telah berlangsung selama dua tahun, akan tetapi
perkawinan tersebut selalu saja mengalami percekcokan terus menerus sehingga tidak ada lagi
kecocokan antara Penggugat dan Tergugat. (Pasal 19 huruf f PP. No. 9 tahun 1975).

21
4. Bahwa setelah perkawinan sampai sekarang (dua tahun) Tergugat tidak memberikan nafkah lahir
kepada Penggugat karena Tergugat menganggur, sehingga Penggugat mencari nafkah sendiri
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
5. Bahwa selain itu Tergugat sebagai suami tidak menunjukkan kedewasaan dan tidak bertanggung
jawab dengan selalu melakukan/main judi. (Pasal 19 huruf a PP No. 9 tahun 1975).
6. Bahwa Penggugat sudah berusaha menasehati Tergugat sejak pisah rumah dari bulan Desember
1992, namun Tergugat tetap tidak bertanggung jawab selaku suami.
7. Bahwa oleh karena hal-hal tersebut diatas, kiranya rumahh tangga Penggugat dan Tergugat tidak
dapat lagi dipertahankan karena rumah tangga yang harmonis yang menjadi tujuan dari
perkawinan seperti yang disebut didalam UU No. 1 tahun 1974 sama sekali tidak tercapai.

PETITUM

Maka berkenaan dengan hal-hal tersebut diatas mohon agar Pengadilan Agama Jakarta Barat
dapat kiranya mengadili perkara ini dan memberikan putusan sebagai berikut:

Menyatakan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat yang dilansungkan di Kantor Urusan Agama
(KUA) Kebun Jeruk Jakarta Barat tanggal 14 Desember 1990 sesuai Akta Perkawinan No.
1087/84/XII/1990, putus karena perceraian. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Kuasa Penggugat

Sukma, S.H. Sugito, S.H.

E. PIHAK-PIHAK DALAM PERKARA PERDATA

Dalam setiap perkara perdata yang berada dalam pemeriksaan pengadilan sekurang-
kurangnya terdapat 2 pihak yang berhadapan satu sama lain, yaitu pihak penggugat (erser,
plaintid) yang mengajukan gugatan dan pihak penggugat (gedaagde, defendant) yang digugat.38

Penggugat ialah orang yang menuntut hak perdatanya ke muka pengadilan perdata.
penggugat ini disebut eiser (Belanda) atau al-mudda’y (Arab). Penggugat mungkin sendiri dan
mungkin gabungan dari beberapa orang, sehingga muncullah istilah Penggugat 1, Penggugat 2,
Penggugat 3, dan seterusnya. Juga mungkin memakai kuasa sehingga ditemui istilah Kuasa
Penggugat, Kuasa Penggugat 1, Kuasa Penggugat 2, dan seterusnya. Lawan dari penggugat

38
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata...hlm. 30

22
disebut tergugat atau gedagde (Belanda), atau al-mudda’a ‘alaih (Arab). Keadaan tergugat juga
mungkin sendiri atau mungkin gabungan dari beberapa orang atau memakai kuasa, sehingga
muncul istilah Tergugat 1, Tergugat 2, Tergugat 3, dan seterusnya. Kuasa Tergugat 1, Kuasa
Tergugat 2, Kuasa Tergugat 3, dan seterusnya.

Gabungan penggugat atau gabungan tergugat seperti di atas, disebut “kumulasi subjektif”
artinya subjek hukum yang bergabung dalam perkara. Suatu perkara perdata yang terdiri dari dua
pihak, yaitu ada penggugat dan ada tergugat yang berlawanan, disebut jurisdiction contentiosa
atau “peradilan yang sesungguhnya”. Karena peradilan yang sesungguhnya maka produk
Pengadilan adalah putusan atau vonnis (Belanda) atau al-qada’u (Arab).39

1. Perwakilan dalam Perkara

Pada dasarnya beracara dimuka pengadilan dapat dilakukan secara langsung oleh pihak-
pihak yang merasa dirugikan. Namun demikian dalam HIR/RBG terdapat ketentuan yang
memberikan kesempatan kepada pihak-pihak tersebut untuk meminta bantuan atau mewakilkan
kepada seorang kuasa. Pasal 123 HIR/147 RBG menentukan: (1) kedua belah pihak jika mereka
menghendaki dapat meminta bantuan atau mewakilkan kepada seorang kuasa yang untuk
maksud itu harus dilakukan dengan surat kuasa khusus, kecuali badan yang memberi kuasa itu
hadir sendiri.

Dalam praktek biasanya jika suatu instansi pemerintah terlibat dalam suatu kasus gugatan
peradilan, maka pejabat instansi tersebut memberikan kuasa kepada bawahannya yang ahli
hukum untuk mewakili dalam perkara tersebut atau Jaksa Agung sebagai kuasa dari
pemerintahan. Namun, apabila dipandang perlu hakim berwenang memerintahkan kedua belah
pihak yang bersengketa datang menghadap sendiri ke persidangan, meskipun telah diwakili oleh
seorang kuasa. (Pasal 58 UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara).

Pemberian kuasa dengan surat kuasa khusus artinya menunjuk kepada macam perkara
tertentu dengan rincian isi kuasa yang diberikan, seperti perkara tentang masalah warisan, jual
beli tanah, perceraian, perbuatan melawan hukum. Cara memberikan kuasa dapat dilakukan
dengan akta notaris (notarial document), akta yang dibuatt oleh panitera Pengadilann Negeri,
yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal pemberi kuasa, atau dengan akta dibawah tangan
39
Roihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama... hlm. 58-59

23
yang dilegalisir serta didaftar menurut ordonansi Stb. No. 46 tahun 1916, yaitu ordonansi tentang
cara menandatangani akta dibawah tangan.40

Berikut yang perlu dicantumkan dalam surat kuasa khusus:41

1. Identitas pemberi dan penerima kuasa, yaitu nama lengkap, pekerjaan, alamat atau tempat
tinggal,
2. Hal yang menjadi persengketaan antara kedua belah pihak, misalnya perkara perdata jual
beli sebidang tanah di tempat tertentu.
3. Batasan tentang isi kuasa yang diberikan. Penerima kuasa melakukan tindakan
berdasarkan apa yang disebutkan dalam surat kuasa tersebut dan tidak diperbolehkan
melakukan sesuatu diluar surat kuasa yang diterimanya. Pembatasan tersebut juga
menyangkut apakah kuasa itu berlaku hanya di pengadilan tingkat pertama atau termasuk
juga banding dan kasasi.
4. Memuat hak substitusi (hak pengganti). Hal ini perlu apabila penerima kuasa
berhalangan, ia dapat melimpahkan kuasa kepada pihak lain untuk menjaga agar perkara
tersebut tidak tertunda, karena penerima kuasa berhalangan.

2. Penerima Kuasa

Menurut HIR/RBg tidak ada ketentuan yang mengatur tentang syarat penerima kuasa.
Jadi setiap orang dapat menjadi penerima kuasa, apakah ia sarjana hukum atau tidak, boleh saja
menjadi penerima kuasa dalam sidang pengadilan.

Sekarang ini penerima kuasa untuk beracara di pengadilan dapat diklasifikasikan menjadi
3 golongan berdasarkan kriteria pengangkatannya atau izin yang diberikan, yaitu:

1. Advokat atau procereur, yang merupakan penasehat hukum resmi. Mereka adalah sarjana
hukum yang resmi diangkat sebagai advokat oleh pemerintah (menteri kehakiman atas
persetujuan Mahkamah Agung) dan bukan pegawai negeri. Seorang advokat dapat
membuka kantor atas nama dirinya sendiri, dan izin operasionalnya diseluruh Indonesia.

40
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Putra Aditya Bakti, 2010), hlm. 71
41
Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata... hlm. 21

24
2. Pengacara praktek, yaitu penasehat hukum resmi atau pembela umum (public defender).
Mereka diangkat oleh pengadilan tinggi berdasarkan Peraturan Menteri Kehakiman No.
1 tahum 1975, setelah mengikuti ujian. Mereka dapat membuka kantor atas nama mereka
dan beroperasi hanya di provinsi tempat mereka mendapatkan izin.
3. Penasehat hukum insindental. Pengacara insindentil diizinkan oleh ketua pengadilan.
Mereka ini terdiri dari siapa saja, sarjana hukum atau tidak, pegawai negeri atau bukan.
Dengan syarat sudah dewasa dan memenuhi syarat-syarat untuk melakukan perbuatan
hukum.42

Contoh Surat Kuasa: Gugatan Utang Piutang.

SURAT KUASA

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya: Marulloh, bertempat tinggal di Jalan Raya Jatiwaringin No. 125
Bekasi;

Dengan ini menerangkan memberikan kuasa kepada:

Zulfan, SH, Penasehat Hukum, berkantor di Jalan Juanda No.1 Bekasi.

--------------------------------------Khusus------------------------------------

Untuk dan atas nama pemberi kuasa mewakili sebagai Penggugat, mengajukan gugatan terhadap Asrori,
di Pengadilan Negeri Bekasi mengenai utang piutang;

Untuk itu yang diberi kuasa dikuasakan untuk menghadap dan menghadiri semua persidangan Pengadilan
Negeri di Bekasi, menghadap instansi-instansi, jwatan-jawatan, hakim, pejabat-pejabat, pembesar-
pembesar, menerima, mengajukan kesimpulan-kesimpulan, meminta sitaan (sita jaminan), mengajukan
atau menolak saksi-saksi, menerima atau menolak keterangan saksi-saksi, meminta atau memberikan
segala keterangan yang diperlukan, dapat mengadakan perdamaian dengan syarat-syarat yang dianggap
baik oleh yang diberi kuasa, menerima uang pembayaran dan memberikan kuitansi tanda penerimaan
uang, meminta penetapan-penetapan, putusan, pelaksanaan putusan (eksekusi), melakuakan peneguran-
peneguran, dapat mengambil segala tindakan yang penting, perlu dan berguna sehubungan dengan
menjalankan perkara, serta dapat mengerjakan segala sesuatu pekerjaan yang umumnya dapat dikerjakan
oleh seorang kuasa/wali guna kepentingan tersebut diatas, juga untuk mengajukan permohonann banding
atau kasasi.

Kekuasaan ini diberikan dengan upah (honorarium) dan hak retensi (hak menahan barang milik orang
lain) serta dengan hak untuk melimpahkan (substitusi) baik sebagian maupun seluruhnya yang dikuasakan
ini kepada orang lain.

42
Ibid,. hlm. 24-25

25
Bekasi, 26 Agustus 2002

Penerima Kuasa Pemberi Kuasa

Materai Rp 6000

Zulfan, S.H. Marulloh

Contoh Surat Kuasa Substitusi

SURAT KUASA SUBSTITUSI

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Didit Azis, S.H.

Pekerjaan : Advokat/Penasehat Hukum

Alamat : Jl. Kramat Raya No.1 Jakarta Pusat

dengan ini menyatakan memindahkan/mengalihkan/mengsubstitusikan kuasa yang telah diberikan oleh:

Nama : Zaenab

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jl. Merdeka No.100 Bogor

dengan Surat-Kuasa tertanggal 5 Agustus 1995 tentang perkara perdata/wan prestasi No.
100/Pdt/G/95/PN.Bogor, yang akan dialihkan kepada yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Mafulloh, S.H.

Pekerjaan : Asisten Advokat

Alamat : Jl. Kramat Raya No. 1 Jakarta Pusat.

Jakarta, 10 September 2002

Penerima Substitusi Pemberi Substtitusi

Materai Rp 6000

Mafulloh, S.H. Didit Azis, S.H.

26
F. PEMERIKSAAN DI DEPAN PENGADILAN
1. Penentuan sidang dan pemanggilan43

Dalam pasal 121-122 HIR, 145-146 RBg diatur mengenai penentuan waktu sidang dan
pemanggilan pihak-pihak yang berperkara. Setelah perkara didaftarkan di kepaniteraan
pengadilan negeri, ketua menetapkan majelis hakim yang akan memeriksa perkara. Ketua
majelis hakim bersangkutan menentukan hari dan jam perkara akan diperiksa di muka sidang.

Kemudian panggilan dilaksanakan oleh jurusita atau petugas lain yang bertindak sebagai
pengganti dan harus dilakukan sesuai dengan surat perintah pemanggilan. Apabila pihak yang
dipanggil tidak diketahui kediamannya atau pihak yang bersangkutan tidak dikenal, maka
menurut Pasal 390 HIR, 718 RBg pemanggilan harus dilakukan dengan perantaraan
Bupati/walikota yang dalam daerah hukumnya Penggugat bertempat tinggal.

2. Pemeriksaan perkara

Pemeriksaan perkara di muka sidang pengadilan dilakukan oleh satu tim hakim yang berbentuk
majelis hakim yang terdiri dari tiga orang hakim, seorang bertindak sebagai hakim ketua dan
lainnya sebagai hakim anggota. Hal itu diatur dalam undang-undang No. 2 tahun 1986 tentang
Peradilan Umum. Sidang majelis hakim yang memeriksa perkara dibantu oleh seorang panitera
atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera yang lazim disebut panitera
pengganti.

3. Sita Jaminan44

Sita jaminan adalah sita yang dapat dilakukan oleh pengadilan atas permohonan Penggugat
untuk mengamankan barang yang sedang dipersengketakan agar tidak rusak, dihilangkan atau
dipindahtangankan sebelum perkara itu berakhir.45 Permohonan penyitaan biasanya
dicantumkan dalam surat gugatan dengan menyebuutkan alasan-alasannya. Akan tetapi
ketentuan dalam Pasal 226, Pasal 227 HIR/Pasal 260, Pasal 261 RBg memberikan kemungkinan

43
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia... hlm. 79-80
44
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata...hlm. 55
45
Opcit,. hlm. 57

27
kepada Penggugat untuk mengajukan permohonann penyitaan secara terpisah dengan surat
gugatan.

4. Acara verstek (tanpa hadir)

Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak menyuruh
wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan patut. Apabila pada hari sidang pertama
yang telah ditentukan Penggugat tidak hadir dan tidak pula menyuruh wakilnya untuk hadir,
maka gugatannya dinyatakan gugur dan dia dihukum membayar biaya perkara. Akan tetapi dia
berhak melakukan gugatan sekali lagi setelah membayar lebih dahulu biaya perkara tersebut
(pasal 124 HIR, 148 RBg).

Apabila pada hari pertama pihak Tergugat tak datang, begitu juga dengan wakilnya walau
sudah dipanggil dengan patut, maka gugatan dikabulkan tanpa hadirnya Tergugat (verstek,
default), kecuali itu melawan hukum atau tidak beralasan. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 126
HIR/150 RBg majelis hakim masih bisa memerintahkan untuk memanggil Tergugat sekali lagi
agar hadir pada sidang berikutnya dan majelis hakim menyatakan sidang ditunda. Verstek sendiri
berarti pernyataan bahwa Tergugat tidak hadir pada hari pertama sidang.46

5. Perdamaian di muka pengadilan

Dalam hukum acara perdata berlaku, upaya perdamaian diatur dalam pasal 130 HIR, 154 RBg.
Menurut ketentuan pasal 130 ayat (1) HIR, 154 ayat (1) RBg, bila pada hari sidang yang telah
ditentukan kedua belah pihak hadir, ketua perupaya untuk mendamaikan mereka. Upaya
mendamaikan tersebut tidak hanya pada sidang pertama, melainkan juga sepanjang pemeriksaan
perkara, bahkan sampai pada sidang terakhir pun sebelum ketua mengetok palu putusannya.

6. Jawaban tergugat

Dalam pemeriksaan perkara di muka sidang Peradilan Negeri, jawab-menjawab antara kedua
belah pihak merupakan hal yang amat penting. Namun demikian, apa yang dikemukakan
tergugat merupakan hal yang lebih penting lagi karena tergugat menjadi sasaran penggugat.
Jawaban tergugat dapat perupa pengakuan, bantahan atau tangkisan (eksepsi), dan referte.

46
Ibid,. hlm. 86-87

28
Eksepsi yang diajukan adalah dalam bentuk:47

- Ditujukan kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan, yaitu
jiika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang
mengakibatkan gugatan tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima
(inadmissible).
- Dengan demikian, keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi tidak ditujukan dan
tidak menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale).
7. Replik dan Duplik

Setelah tergugat mengajukan jawaban, tahap selanjutnya adalah replik, yaitu jawaban
penggugat terhadap jawaban tergugat atas gugatannya. Replik ini juga dapat diajukan, baik
secara tertulis maupun secara lisan. Replik diajukan oleh penggugat untuk meneguhkan
gugatannya, dengan mematahkan alasan-alasan penolakan yang dikemukakan tergugat dalam
jawabannya.

Setelah penggugat mengajukan replik, tahapan pemeriksaan selanjutnya adalah dublik,


yaitu jawaban tergugat terhadap replik yang diajukan oleh penggugat. Sama halnya dengan
replik, dublik ini pun dapat diajukan secara tertulis maupun secara lisan. Duplik diajukan
tergugat untuk meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi penolakan terhadap gugatan
penggugat.48

Jika perkara perdata tidak dapat diselesaikan secara damai, tahapan-tahapan pemeriksaan
di Pengadilan Negeri dapat digambarkan sebagai berikut:

1) Penggugat mengajukan gugatan (di kepaniteraan, diproses).


2) Tergugat menyampaikan eksepsi/jawaban.
3) Penggugat menyampaikan replik.
4) Tergugat menyampaikan duplik.
5) Penggugat dan tergugat menyampaikan alat-alat bukti.
6) Penggugat dan tergugat menyampaikan tanggapan terhadap alat bukti yang diajukan
pihak lawan.

47
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 418
48
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata...hlm 80-81

29
7) Penggugat dan tergugat menyampaikan kesimpulan, dan
8) Hakim membacakan keputusan.

G. PEMBUKTIAN
1. Pengertian Pembuktian
Menurut M. Yahya Harahap, SH. (1991:01) dalam pengertian yang luas, pembuktian
adalah kemampuan penggugat atau tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk
mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau
dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit,
pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih
disengketakan atau hanya sepanjang yang menjadi perselisihan diantara pihak-pihak yang
beperkara.
Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu daya upaya para
pihak yang beperkara untuk meyakinkan tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakannya di
dalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan dimuka pengadilan, atau yang diperiksa oleh
hakim.
Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pembuktian adalah upaya para
pihak yang beperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang
diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan oleh
undang-undang.
Pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang
diajukan kepada hakim. Para praktisi hukum membedakan tentang kebenaran yang dicari dalam
hukum perdata dan hukum pidana. Dalam hukum perdata, kebenaran yang dicari oleh hakim
adalah kebenaran formal, sedangkan dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari oleh hakim
adalah kebenaran materil. Didalam praktik peradilan sebenarnya hakim dituntut mencari
kebenaran materil terhadap perkara yang sedang diperiksanya, karena tujuan pembuktian itu
adalah untuk mayakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya
peristiwa-peristiwa tertentu, sehingga hakim dapat mengonstatir, mengualifisir dan
mengkonstituir, serta mengambil keputusan berdasarkan kepada pembuktian tersebut.49

49
Abdul Manan, Penerapan hukum acara perdata... hlm. 227

30
2. Macam-macam Alat-alat Bukti dalam Perkara Perdata

Alat-alat bukti sah dalam pasal 164 HIR/ 284 RBg/Pasal 1866 BW, yaitu:

1. Bukti Surat/ Tulisan;


2. Bukti Saksi;
3. Bukti Persangkaan;
4. Bukti Pengakuan;
5. Bukti Sumpah;

Sistem HIR/ RBg dalam acara perdata menyebutkan bahwa hakim terikat pada alat-alat
bukti yang sah dalam Undang-undang, sehingga putusan Hakim juga didasarkan pada Undang-
undang atas alat-alat bukti tersebut. Dalam pasal tentang alat-alat bukti tersebut ditentukan,
bahwa di dalam segala hal dengan memperhatikan aturan/ ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam pasal-pasal berikutnya.

1) Alat Bukti Surat/ Tulisan

Alat bukti surat atau tulisan diatur dalam Pasal 138, Pasal 165 dan Pasal 167 HIR/Pasal
164, Pasal 285 dan Pasal 305 RBg/Stb. 1867 Nomor 29 dan Pasal 1867 sampai dengan Pasal
1894 BW.50

Surat/tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan dengan maksud
mencurahkan isi hati atau guna menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipakai sebagai
pembuktian.51 Surat sebagai alat bukti tertulis dapat dibedakan dalam akta dan surat bukan akta.
Akta dapat dibedakan menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.

Dalam hukum pembuktian, bukti tulisan atau surat merupakan alat bukti yang diutamakan
jika dibandingkan dengan alat bukti yang lain.52

a. Akta

Akta adalah suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu
peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya. Dengan demikian, unsur-unsur yang penting
50
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata...hlm. 91
51
Soeparmono, Hukum Acara Perdata, dan Yurisprudensi (Bandung: Mandar Baru, 2005) hlm. 119
52
Abdul Manan, Penerapan hukum acara perdata... hlm. 240

31
untuk digolongkan dalam pengertian akta adalah kesengajaan untuk membuatnya sebagai suatu
bukti tulisan tersebut. Yang dimaksud dengan penandatangan ialah membubuhkan nama si
penanda tangan, sehingga membubuhkan paraf (singkatan tanda tangan) dianggap belum cukup.
Nama itu harus ditulis tangan oleh si penanda tangan sendiri atas kehendaknya sendiri.53

Akta dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:

a) Akta Otentik

Akta otentik termuat dalam Pasal 165 HIR/ 285 RBg. Yang disebut akta otentik adalah akta yang
dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwewenang membuatnya dan merupakan bukti
sempurna bagi kedua pihak dan ahli warisnya dan sekaligus orang yang mendapat hak
daripadanya, juga tentang pokok soal yang tercantum di dalamnya serta apa yang tercantum pada
akta itu sebagai pemberitahuan.

Pejabat yang berwenang membuat akta otentik adalah notaris, pegawai pencatatan sipil,
panitera, camat, dan sebagainya. Pada umumnya akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum,
berkekuatan sebagai keterangan resmi (akta resmi) ialah apa-apa yang dialami oleh pejabat
sendiri, misalnya pihak-pihak yang menghadap kepadanya mengucapkan kata-kata yang
kemudian ditulis oleh pejabat tersebut. Ini termasuk Akta Relas misalnya berita acara sidang.
Keterangan resmi ini dianggap benar dan berlaku terhadap semua orang. Sedang kekuatan
mengikatnya yaitu terhadap para pihak, ahli warisnya, dan pendapat hak.

Kekuatan Pembuktian Akta Otentik54

- Kekuatan pembuktian formil. Di sini membuktikan bahwa pihak-pihak telah menerangkan


apa yang termuat dalam akta tersebut, tanpa menghiraukan kebenaran isinya akta itu.
- Kekuatan pembuktian meteriil. Di sini membuktikan bahwa antar pihak-pihak benar bahwa
hal atau peristiwa dalam akta tersebut benar-benar terjadi menurut isinya.
- Kekuatan pembuktian mengikat. Di sini membuktikan antara pihak-pihak dan pihak ke tiga,
bahwa pada tanggal tersebut dalam akta telah benar dan menerangkan apa yang tertulis di

53
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia... hlm. 106
54
Soeparmono, Hukum Acara Perdata, dan Yurisprudensi... hlm 121

32
dalam akta tersebut. Oleh karena itu akta otentik mempunyai kekuatan bukti terhadap pihak
ke tiga (pihak luar)55
Sebuah akta otentik haruslah memenuhi unsur-unsur:
1. Dibuat oleh atau dihadapan penjabat resmi atau berwenang
2. Sengaja dibuat akta tersebut untuk surat bukti
3. Bersifat partai
4. Atas permintaan partai
5. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan meningkat.56

b) Akta di Bawah Tangan

Akta dibawah tangan adalah suatu akta yang ditanda tangani dan dibuat dengan maksud
dijadikan bukti suatu perbuatan hukum tanpa bantuan seorang pejabat.

Apabila suatu akta di bawah tangan, isi dan tandatangan akta itu telah diakui oleh yang
membuatnya, maka akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian seperti halnya pada akta
otentik, yaitu mempunyai kekuatan bukti sempurna. Hal itu mempunyai kekuatan bukti terhadap
pembuat akta, ahli warisnya, dan pendapat haknya.

Apabila tandatangan dalam akta disangkal (dibantah) oleh pihak yang menandatangani,
maka pihak yang mengajukan akta tersebut harus berusaha membuktikan dan Hakim harus
memeriksa kebenaran tanda tangan tersebut. Akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan
pembuktian kepada pihak ketiga.

Kekuatan bukti akta di bawah tangan:

- memenuhi perumusan dalam undang-undang seyogyanya dalam pertimbangan yang terlepas


dari dalam kasasi yang diajukan ditambahkan, bahwa hal itu dilakukan berdasarkan alasan
kasasi mahkamah agung sendiri.
- Nampak kwitansi dianggap sebagai akta di bawah tangan yang bersifat sepihak dan
kewajiban untuk melunaskan hutangnya (pasal 291 ayat (1) RBg).

b. Surat/tulisan Bukan Akta


55
Ibid,. hlm. 121
56
Abdul Manan, Penerapan hukum acara perdata... hlm 241

33
Surat-surat non-akta sebagaimana yang diatur dalam pasal 294 ayat (2) RBg dan pasal
1881 ayat (2) KUHPerdata, bentuknya dapat berupa surat biasa/koresponden, catatan harian, dan
sebagainya. Surat-surat tersebut tidak sengaja dibuat sebagai surat bukti atau tidak sengaja dibuat
untuk alat bukti. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim. Jika isinya
mengandung fakta maka dapat dipergunakan sebagai bukti permulaan atau sebagai surat
keterangan yang memerlukan dukungan alat bukti lain.57

Ada beberapa tulisan bukan akta yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai alat bukti
yang mengikat, artinya harus dipercaya oleh hakim, yang disebut dalam Pasal 1881 ayat (1) sub
1 dan sub 2 serta Pasal 1883 BW, yaitu:58

a. Surat-surat yang dengan tegas menyebut tentang suatu pembayaran yang telah diterima.
b. Surat-surat yang dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah dibuat adalah untuk
memperbaiki suatu kekurangan di dalam sesuatu alas hak (titel) bagi seorang untuk
keuntungan siapa surat itu menyebutkan suatu perikatan.
c. Catatan yang dicantumkan oleh seorang kreditur pada suatu alas hak yang selamanya
dipegangnya jika apa yang ditulis itu merupakan suatu pembebasan terhadap debitur.
d. Catatan-catatan yang dicantumkan kreditur pada salinan suatu alas hak atau tanda
pembayaran, asal saja salinan atau tanda pembayaran ini berada dalam tangan debitur.

2) Alat Bukti Saksi

Alat bukti saksi diatur dalam Pasal 139-152 HIR/168-172 RBg, dan Pasal 1902 sampai
1908 BW. Keterangan saksi adalah kesaksian tentang hal-hal atau peristiwa dan kejadian yang
dialami sendiri, yaitu apa-apa yang dialami, dilihat dan didengar sendiri perihal kepastian yang
diberiakan dipersidangan. Keterangan saksi harus lisan dan pribadi didepan sidang, bukan yang
diperoleh secara pikiran atau dugaan atau yang didengar dari pihak ketiga atau orang lain.

Tiap kesaksian harus disebutkan sebab-sebab ia mengetahui itu, jadi tidak cukup
keterangan bahwa ia telah tahu, sebab kalau hanya demikian bukan kesaksiaan dan tidak
mempunyai nilai bukti dan tidak mempunyai kekuatan bukti sempurna.

57
Ibid,. hlm. 243
58
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata...hlm 98

34
Orang-orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi:

- Tidak mampu absolut (mutlak) yaitu keluarga sedarah atau perkawinan dalam keturunan
lurus salah satu pihak dan suami/istri salah satu pihak, meskipun bercerai.
- Tidak mampu relatif (nisbi) yaitu anak belum berumur 15 tahun dan orang gila, meskipun
kadang-kadang ingatannya sehat.
Kewajiban saksi adalah:
1. Saksi wajib datang dipersidangan : Pasal 139-141 HIR/165-167 RBg
2. Saksi wajib untuk bersumpah atau janji: Pasal 147 HIR/175 RBg
3. Saksi wajib memberikan kesaksian secara benar: Pasar 150 HIR/178RBg.

Menurut rangkaian Pasal 140, Pasal 141, dan Pasal 148 HIR/Pasal 166, Pasal 167, dan
Pasal 176 RBg, seseorang yang bukan karena sesuatu alasan yang sah tidak dapat memenuhi
panggilan menjadi saksi dapat dikenakan sanksi-sanksi sebagai berikut:

a. Dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggilnya


menjadi saksi.
b. Secara paksa dibawa menghadap pengadilan, kalau perlu dengan bantuan Polri.
c. Dimasukkan dalam penyanderaan.59

Tujuan undang-undang mengharuskan saksi untuk bersumpah atau berjanji sebelum


memberikan keterangannya adalah agar saksi tersebut betul-betul memberikan keterangan yang
sebenarnya. Meskipun demikian, belum tentu sumpahnya tersebut merupakan jaminan
sepenuhnya bahwa semua keterangan saksi benar dan dapat dipercaya. Oleh karenanya, dalam
mempertimbangkan nilai kesaksian, Pasal 172 HIR/Pasal 309 RBg menentukan, agar hakim
memperhatiakan benar-benar kecocokan keterangan saksi yang satu dengan saksi yang lain.

Pemeriksaan saksi harus dilakukan seorang demi seorang, tidak boleh dilakukan
pemeriksaan terhadap 2 orang saksi sekaligus atau lebih secara bersama-sama (Pasal 144 ayat
(1) HIR/Pasal 171 ayat(1) RBg). Maksudnya tidak lain adalah agar saksi-saksi tersebut tidak
menyesuaikan keterangan mereka satu sama lain.60

3) Bukti Persangkaan (dugaan)


59
Ibid,. hlm. 101
60
Ibid,. hlm. 105

35
Diatur dalam pasal 173 HIR/310 RBg serta pasal 1912-1922 BW. Yang dimaksud dengan
persangkaan adalah kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang dikenal atau dianggap
terbukti, dengan mana diketahui adanya suatu peristiwa yang tidak dikenal. Jika yang menarik
kesimpulan tersebut adalah undnag-undang, maka disebut dengan persangkaan undang-undang.
Sedangkan jika yang menarik kesimpulan itu alah hakim, maka disebut dengan persangkaan
hakim.

Persangkaan sebagai alat bukti bersifat sementara, tetapi tidak dapat berdiri sendiri, tetapi
diambil dari alat-alat bukti lainnya.61 Menurut ilmu pengetahuan persangkaan merupakan alat
bukti yang tidak langsung dibedakan atas 2 macam, yaitu persangkaan berdasarkan kenyataan
dan persangkaan berdasarkan unndnag-undang.

4) Bukti Pengakuan

Dasar hukum pengakuan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 174 HIR dan pas 311 RBg.
Serta pasal 1923-1928 KUH Perdata. Bukti pengakuan dibedakan menjadi 2 yaitu:

 Pengakuan di muka sidang


 Pengakuan di luar sidang

Pengakuan merupakan alat bukti maka, demi kepastian hukum harus dinyatakan bahwa
pengakuan itu merupakan alat bukti yang sah menurut hukum, setiap pengakuan yang telah
diucapkan di depan sidang oleh salah satu pihak yang berperkara sendiri atau kuasa hukumnya,
maka pengakuan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Hal ini berarti
apabila tergugat telah mengakui segala dalil gugat maka pengakuan itu membebaskan penggugat
untuk membuktikan lebih lanjut. Konsekuensi dari hal ini, hakim harusmengabulkan tuntutan
penggugat dan perkara dianggap selesai.

Pengakuan di luar sidang sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 175 HIR dan Pasal
312 RBg hanya menyangkut pengakuan lisan saja. Oleh karena Hakim tidak mendengar sendiri
pengakuan tersebut maka diperlukan alat bukti lain yaitu alat bukt saksi. Dari keterangan saksi
itu Hakim dapat menilai pengakuan lisan di luar sidang itu, apakah mempunyai kekuatan
pembuktian atau tidak.62
61
Soeparmono, Hukum Acara Perdata, dan Yurisprudensi... hlm. 126
62
Abdul Manan, Penerapan hukum acara perdata, hal. 258

36
5) Bukti Sumpah

Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 182-185 dan 314 RBg, pasal 155-158 dan177 HIR
dan pasal 1929-1945 KUH perdata. Menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, S.H sumpah
adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diucapkan pada waktu memberi janji atau
keterangan dengan mengingat akan sifat Maha Kuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa
yang memberikan keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Jadi, sumpah
merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam persidangan majelis hakim.

Sumpah sebagai alat bukti berbeda dengan sumpah yang diucapkan sanksi sebelum
memberi keterangan di depan majelis hakim. Sumpah tersebut bukan sebagai alat bukti, tetapi
kesaksiannya itulah yang menjadi bukti, sebaliknya sumpah yang diucapkan para pihak dalam
perkara adalah menjadi alat bukti.

Sumpah saksi hanya menyatakan benar apa yang dikethui,sumpah didengar dan dilihat
oleh saksi sesuai dengan apa yang diterangkannya di depan sidang pengadilan. Sebaliknya
sumpah sebagai sebagai alat bukti isinya tentang kebenaran apa yang dilakukan pihak yang
bersupah itu.

Dalam praktik Peradilan Agama Islam, dikenal beberapa sumpah sebagai alat bukti, yaitu:

a. Sumpah pelengkap

Agar sumpah pelengkap dapat dijadikan alat bukti, maka harus memenuhi syarat-syarat
formal dan materil sebagai berkut:

1. Syarat formal sumpah pelengkap


 Sumpah tersebut untuk melengkapi atau menguatkan pembuktian yangsudah ada,
tetapi belum mncapaibatas minimal pembuktian.
 Bukti yang sudah ada baru bernilai bukti permulaan
 Para pihak yang berperkara sudah tidak mampu lagi menambah alat bukti yang ada
dengan alat bukti yang lain
 Sumpah dibebankn atas perintah hakim dan diucapkan didepan sidang majelis hakim
secara person.
2. Syarat materil sumpah pelengkap;

37
 Isi lafadz sumpah harus mengenai perbuatan yang dilakukan sendiri oleh pihak yang
beperkara atau yang berperkara atau yang mengucapkan sumpah tersebut.
 Isi sumpah harus berkaitan langsung dengan pokok perkara dan tidak bertentangan
dengan agama, moral dan kesusilaan.

b. Sumpah Pemutus

Sumpah pemutus atau juga sering disebut dengan sumpah yang menenukan diatur dalam
pasal 156 HIR, pasal 183 RBg dan pasal 1930 KUH Perdata. Dalam pasal-pasal ini dikemukakan
bahwa jika tidak ada sesuatu keterangan untuk menguatkan gugatan atau jawaban atas gugatan
itu, maka salah satu pihak dapat meminta pihak lain bersumpah dimuka hakim.jadi sumpah
pemutus ini dapat dibebankan kepada salah satu pihak walaupun sama sekali tidak ada bukti,
pembebanan tersebut atas permohonan salah satu pihak yang berperkara.

Tujuan dari pelaksanaan sumpah pemutus adalah untuk menyelesaikan perkara. Oleh
karena itu, pihak yang telah mengucapkan sumpah tidak boleh lagi diperintahkan memberikan
bukti-bukti lagi untuk membenarkan apa yang dinyatakan dengan sumpahnya itu.63

3. Pemeriksaan Setempat

Pemeriksaan setempat diatur dalam Pasal 153 HIR/Pasal 180 RBg yang menetukan demikian:

1. Jika dianggap perlu dan berguna, ketua dapat mengangkat seorang atau dua orang komisaris
pada pengadilan itu, yang dengan bantan panitera akan memeriksa sesuatu keadaan
setempat, sehingga menjadi keterangan.
2. Tentang pekerjaan dan hasilnya dibuat oleh panitera surat berita acara atau relas yang
ditandatangani oleh komisaris dan panitera tersebut.
3. RBg: Jika tempat yang akan diperiksa itu terletak diluar daerah hukum tempat kedudukan
pengadilan itu, ketua dapat minta kepada pemerintah setempat supaya melakukan atau
menyuruh melakuakn pemeriksaan itu dan mengirimkan dengan selekas-lekasnya berita
acara pemeriksaan tersebut.

63
Ibid,. hlm.267

38
Dalam praktek pemeriksaan setempat dilakukan sendiri oleh hakim ketua sidang, hakim-
hakim anggota (jika majelis), dan panitera pengganti, serta dihadiri oleh pihak-pihak yang
berperkara. Pemeriksaan setempat pada hakikatnya tidak lain daripada pemeriksaan perkara
dalam persidangan, hanya saja persidangan itu berlangsung diluar gedung dan tempat
kedudukan penagdilan, tetapi masih didalam wilayah hukum pengadilan yang bersangkutan.64

4. Keterangan Ahli

Keterangan ahli diatur dalam Pasal 154 HIR/Pasal 181 RBg yang menentukan bahwa jika
menurut pertimbangan pengadilan suatu perkara dapat menjadi lebih jelas kalau dimintakan
keterangan ahli, atas permintaan pihak yang berperkara atau karena jabatan, pengadilan dapat
mengangkat seorang ahli untuk dimintakan pendapatnya mengenai sesuatu hal pada perkara yang
sedang diperiksa.

Pendapat ahli dikuatkan dengan sumpah, maksudnya tidak lain agar pendapat tersebut
disampaikan seobjektif mungkin. Namun, hakim tidak mewajibkan untuk menuruti pendapat ahli
jika pendapat ahli itu berlawanan dengan keyakinannya.

H. PUTUSAN PENGADILAN DALAM PERKARA PERDATA

Setelah pemeriksaan perkara selesai dan oleh pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada
lagi yang ingin dikemukakan maka hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara itu.

Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang
terbuka untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata. 65 Perlu diketahui, bahwa putusan
disini adalah putusan peradilan tingkat pertama.66

1. Asas Putusan

Pembahasan mengenai asas yang mesti ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan tidak
mengandung cacat. Asas tersebut dijelaskan dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG, dan Pasal 19
UU No. 4 Tahun 2004 (dulu dalam Pasal 18 UU No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan
Kehakiman).

64
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia... hlm. 143
65
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata...hlm 126
66
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata... hlm. 797

39
 Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci

Menurut asas ini putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan
cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan itu dikatagorikan putusan yang tidak cukup
pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd (insufficient judgement. Alasan-alasan hukum
yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan: Pasal-pasal tertentu peraturan
perundang-undangan, Hukum kebiasaan, Yurisprudensil, atau Doktrin hukum.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan
UU No. 35 Tahun 1999 sekarang dalam Pasal 25 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004, yang
menegaskan bahwa segala putusan Pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar
putusan dan mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-undangan tertentu yang
disangkutan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tertulis maupun
yurisprudensil atau doktrin hukum. Bahkan menurut Pasal 178 ayat (1) HIR, hakim karena
jabatannya, wajib mencukupkan segala cara alasan hukum yang tidak dikemukakan para pihak
yang berperkara.67

 Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan

Asas kedua, digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) RBG, dan Pasal 50 Rv.
Putusan harus total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan.
Tidak boleh hanya memeriksa dan memutus sebagian saja, dan mengabaikan gugatan selebihnya.
Cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang digariskan undang-undang.

 Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan

Asas lain, digariskan pada Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189 ayat (3) RBG dan Pasal 50
Rv. Putusan tidak boleh mengabulakn melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan.
Larangan ini disebut ultra petitum partium. Hakim yang mengabulkan melebihi posita maupu
petitum gugat, dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultra vires yakni bertindak
melampaui wewenangnya (beyond the powers of his authority). Apabila putusan mengandung
ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun hal itu dilakukan hakim dengan iktikad
baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest). Mengadili dengan

67
Ibid,. hlm.789

40
cara mengabulkan melebihi dari apa yang digugat, dapat dipersamakan dengan tindakan yang
tidak sah (ilegal) meskipun dilakukan dengan iktikad baik.

 Diucapkan di Muka Umum

Persidangan dan putusan diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum
atau di muka umum, merupakan salah satu bagian yang tidak terpsahkan dari asas fair trial.
Menurut asas fair trial, pemeriksaan persidangan harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal
sampai akhir. Dengan demikian, prinsip peradilan terbuka untuk umum mulai dari awal
pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan, merupakan bagian asas fair trial. Dalam literatur disebut
the open justice principle. Tujuan utamanya, untuk menjamin proses peradilan terhindar dari
perbuatan tercela dari pejabat peradilan.68

2. Susunan dan Isi Putusan Pengadilan


1) Kepala putusan

Berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

(Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004).

Kepala putusan memberikan kekuatan eksekutorial kepada putusan pengadilan. Apabila kepala
putusan pengadilan tidak mencantumkan bunyi tersebut, maka putusan pengadilan tidk dapat
dilaksanakan.

2) Identitas pihak-pihak yang berperkara


3) Pertimbangan (alasan-alasan). Terdiri atas 2 bagian, yaitu: pertimbangan tentang duduk
perkaranya, dan pertimbangan tentang hukumnya.
4) Amar putusan. Amar (dictum) merupakan jawaban terhadap petitum dalam gugatan
penggugat.
3. Macam-macam Putusan Pengadilan69

Pasal 185 ayat (1) HIR/Pasal 1996 ayat (1) RBg membedakan putusan pengadilan menjadi 2,
yaitu:

68
13 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, hlm. 803
69
Opcit,. hlm. 131

41
 Putusan sela (tussenvonnis), adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang
diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau memudahkan kelanjutan
pemeriksaan perkara.
 Putusan akhir (eindvonnis), adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata pada
tingkat pemeriksaan tertentu. Perkara perdata dapat diperiksa di tiga tingkat
pemeriksaan, yaitu di Pengadilan Negeri, tingkat banding di Pengadilan Tinggi, dan
pemeriksaan tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
4. Kekuatan Putusan Pengadilan
 Kekuatan mengikat bagi pihak yang berperkara
 Kekuatan pembuktian, karena menggunakan akta otentik yang dapat digunakan sebagai
alat bukti oleh pihak yang berperkara.
 Kekuatan eksekutorial (kekuatan memaksa).

5. Upaya Hukum Melawan Putusan

Yang dimaksud dengan upaya hukum ialah suatu usaha setiap pribadi atau badan hukum
yang merasa dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan
perlindungan atau kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang.

Dalam Hukum Acara Perdata diatur dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum biasa,
yang terdiri dari perlawanan (verzet), banding dan kasasi, serta upaya hukum luar biasa yang
terdiri dari peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dan derden vervet.70

1) Perlawanan (Verzet)

Pasal 129 ayat (1) HIR/Pasal 83 Rv menegaskan:

“tergugat yang dihukum sedang ia tidak hadir (verstek) dan tidak menerima keputusan itu, dapat
mengajukkan perlawanan atas putusan itu”

Perlawanan terhadap putusan verstek dapat diajukan dalam tenggang 14 hari sejak
pemberitahuan diterima tergugat pribadi. Namun apabila tidak diberitahukan maka masih dapat

70
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata...hlm. 140

42
diajukan sampai hari ke-8 setelah teguran untuk melaksanakan putusan verstek itu. Perlawanan
terhadap putusan verstek diajukan seperti mengajukan gugatan biasa.

Jika dalam acara perlawanan Penggugat tidak datang pada sidang yang ditentukan, hakim dapat
memerintahkan kepada juri sita untuk memanggil Penggugat seperti dalam perkara yang telah
diputus verstek, dan dapat mengajukan banding. Berbeda dengan Tergugat, apabila ia tak dapat
menghadiri persidangan pertamanya, maka berlaku verstek, dan hanya boleh mengajukan verzek,
bukan banding.

2) Banding71

Apabila pihak-pihak yang berperkara perdata merasa tidak puas terhadap putusan
Pengadilan Negeri, ia dapat mengajukan permohonan banding pada tingkat kedua yaitu di
Pengadilan Tinggi.

Permohonan banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan
putusan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan dijatuhkan. Permohonan banding dapat
diajukan secara tertulis maupun lisan, baik oleh orang yang berkepentingan sendiri maupun
orang yang telah mendapat kuasa khusus untuk itu.

Permohonan banding dari salah satu pihak yang berperkara diberitahukan oleh panitera
kepada pihak lawan selambat-lambatnya 14 hari setelah permohonan banding diterima dan kedua
belah pihak (pembanding dan terbanding) diberi kesempatan untuk melihat surat-surat serta
berkas perkaranya di kantor Pengadilan Negeri selama 14 hari.

Putusan Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara perdata pada tingkat banding dapat
berupa menguatkan putusan PN, atau membatalnya atau memperbaiki putusan PN. Dan setiap
putusan tersebut akan diberitahukan kepada para pihak melalui Pengadilan Negeri yang
memnutuskan perkara pada tingkat pertama.72

3) Kasasi

71
Ibid,. hlm. 142
72
Ibid,. hlm. 149

43
Apabila pihak-pihak yang berperkara perdata merasa tidak puas terhadap putusan
Pengadilan Tinggi tempat ia mengajukan banding, ia dapat mengajukan permohonan kasasi pada
tingkat ketiga yaitu kepada Mahkamah Agung.

Putusan MA dalam pemeriksaan kasasi dapat berupa permohonan kasasi tidak dapat
diterima (karena diajukan setelah lewat waktu yang ditentukan), atau permohonan kasasi ditolak
(jika alasan-alasan atau keberatan-keberatan yang dikemukakan dalam memori kasasi tidak ada
sangkut pautnya dengan pokok perkara), atau permohonan kasasi dikabulkan (jika alsan-alasan
yang dikemukakan oleh pemohon dalam memori kasasi dibenarkan oleh MA dan MA
membatalkan putusan yang dimohonkan kasasi.

4) Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum


tetap.

Dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

 Apabila keputusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan
yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang
kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
 Apabila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan
yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
 Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
 Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbbangkan
sebab-sebabnya.
5) Derdenverzet

Adalah perlawanan melawan pihak ketiga yang bukan pihak dalam perkara yang
bersangkutan oleh karena ia merasa dirugikan oleh suatu putusan pengadilan. Perlawanan ini
tidak dapat mencegah atau menanggguhkan pelaksanaan putusan (eksekusi), kecuali Ketua
Pengadila Negeri memerintahkan supaya pelaksanaan putusan ditunda dengan menantikan
putusan Pengadilan Negeri dalam perkara derdenverzet.

I. PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM

44
Pelaksanaan putusan /eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan. Dan
putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap (in kracht van gewijsde). Putusan yang sudah berkekuatan tetap adalah putusan
yang sudah tidak mungkin lagi dilawan dengan upaya hukum verzet, banding, dan kasasi.
Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dapat
melaksanakan segala putusan yang dijatuhkannya secara mandiri tanpa harus melalui bantuan
Pengadilan Negeri. Hal ini berlaku setelah ditetapkannya UU No. 7/1989. Dan sebagai akibat
dari ketentuan UU Peradilan Agama diatas adalah:
a. Ketentuan tentang eksekutoir verklaring dan pengukuhan oleh Pengadilan Negeri
dihapuskan
b. Pada setiap Pengadilan Agama diadakan Juru Sita untuk dapat melaksanakan putusan-
putusannya
Pelaksanaan putusan hakim dapat secara sukarela, atau secara paksa dengan menggunakan
alat negara, apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela. Semua keputusan
pengadilan mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa
oleh alat-alat negara. Keputusan pengadilan bersifat eksekutorial adalah karena pada bagian
kepala keputusannya berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ”.73
Akan tetapi, tidak semua putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tettap memerlukan pelaksanaan secara paksa oleh alat-alat negara, tetapi hanyalah putusan
pengadiilan yang diktumnya bersifat condemnatoir. Sedangkan putusan yang bersifat declaratoir
dan constitutief tidak diperlukan eksekusi. Karena kedua putusan tersebut tidak memuat adanya
hak atas suatu prestasi dan akibat hukumnya adalah berupa keadaan yang sah menurut hukum.
Terdapat beberapa macam pelaksanaan putusan,yaitu:
1. Putusan yang menghukum salah satu untuk membayar sejumlah uang. Hal ini diatur
dalam pasal 197 HIR, pasal 208 R.Bg
2. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini
diatur dalam pasal 225 HIR, pasal 259 R.Bg
3. Putusan yang menghukum salah satu pihak untuk mengosongkan suatu benda tetap.
Putusan ini disebut juga Eksekusi Riil. Hal ini diatur dalam pasal 1033 Rv.

73
Ibid,. hlm. 161

45
Pasal 197 HIR/208 R.Bg mengatur tentang pelaksanaan putusan yang diakibatkan dari
tindakan tergugat/enggan untuk secara suka rela melaksanakan isi putusan untuk membayar
sejumlah uang, sehingga pihak penggugat sebagai pihak yang dimenangkan mengajukan
permohonan secara lisan atau tertulis kepada Ketua Pengadilan Agama agar putusan dapat
dijalankan.
Pasal 225 HIR/259 R.Bg berkaitan dengan pelaksanaan putusan untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu yang tidak ditaati, sehingga dapat dimintakan pemenuhan tersebut dinilai
dalam bentuk uang. Maksud pelaksanaan putusan yang diatur dalam ketentuan ini adalah untuk
menguangkan bagian tertentu dari harta kekayaan pihak tergugat sebagai pihak yang dikalahkan
dengan tujuan guna memenuhi isi putusan sebagai termuat dalam amarnya, yang telah
memenangkan pihak penggugat sebagai pemohon eksekusi.
Yang dimaksudkan eksekusi riil dalam ketentuan pasal 1033 Rv. adalah dilaksanakan
putusan yang memerintahkan pengosongan atas benda tidak bergerak. Dalam praktek di
pengadilan, tergugat yang dihukum untuk mengosongkan benda tidak bergerak tersebut setelah
terlebih dahulu ditegur, untuk mengosongkan dan menyerahkan benda tidak bergerak tersebut
kepada penggugat selaku pihak yang dimenangkan.Apabila tidak bersedia melaksanakan
perintah tersebut secara sukarela, maka Ketua Pengadilan dengan penetapan akan
memerintahkan Panitera atau juru sita, kalau perlu dengan bantuan alat negara (Polisi/ABRI)
dengan paksa melakukan pengosongan terhadap tergugat dan keluarga serta segenap penghuni
yang ada, ataupun yang mendapat hak dari padanya, dengan menyerahkannya kepada Penggugat
selaku pemohon eksekusi.

J. PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE

Di dalam proses pengadilan itu memakan waktu yang lama, karena prosedurnya dalam
formalitas yang kaku. Dimulai dari sejak dimasukkan surat gugatan perkara dalam pengadilan
sampai kepada putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap memakan waktu yang
lama.

Dalam dunia usaha memerlukan keahlian khusus untuk memutuskan sengketa-sengketa


khusus bagi dunia usaha yang tidak selalu dihayati atau dikuasai oleh setiap hakim, seperti
misalnya dalam berbagai macam kontrak atau perjanjian, asuransi, pengangkutan baik dari laut,

46
darat maupun udara, dunia makelar dan lain-lain. 74 Untuk menyelesaikan perselisihan yang
demikian ini, yaitu yang bersifat ekonomis, maka hakim pengadilan negeri merasa kaku
menghadapinya.

Oleh karena itu hal-hal yang diuraikan diatas ini maka dibutuhkan cara penyelesaian
sengketa itu di luar pengadilan berdasarkan perjanjian antara pihak yang bersangkutan untuk
menyerahkan penyelesaian sengketa mereka kepada suatu lembaga yang bertugas
menyelesaikan sengketa diluar pengadilan.

1. Pengertian Arbitrase

Arbitrase/perwasitan adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa diluar pengadilan berdasarkan


persetujuan para pihak yang bersengketa diserahkan kepada seorang atau beberapa orang wasit. 75
Sedangkan menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 dirumuskan:

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibaut secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.76

Menurut pasal 130 HIR RBg diberikan kesempatan bagi para pihak yang bersangkutan
untuk mengadakan penyelesaian perkara atau perdamaian di luar pengadilan. Sedangkan
menurut pasal 377 atau pasal 705 RBg menentukan bahwa apabila orang bumi putra dan orang
timur asing menyuruh menyelesaikan perselisihannya maka dalam hal itu mereka wajib menurut
peraturan mengadili perkara yang berlaku bagi golongan Eropa, sedangkan HIR sendiri tidak
mengatur tentang perwasitan.

Disamping itu masih ada pengaturan lain yang mengatur tentang perwasitan yaitu UU
mahkamah agung (UU No. 1 tahun 1950; pasal 15, 108 s.d. 111) kemudian masih dikenal
perwasitan atau arbitrase perburuhan yang diatur dalm UU No. 22 tahun 1957 yaitu mengenai
penyelesaian perburuan di Indonesia.77

74
M. Rasaid Nur, Hukum Acara pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003) hlm. 83
75
Ibid,. hlm. 84

76
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata...hlm 189
77
Opcit,. hlm. 85

47
2. Penunjukan dan Pengangkatan Arbiter/wasit

Sebutan untuk orang yang memeriksa dan memutuskan sengketa melalui arbitrase adalah
arbiter (wasit). Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh pihak yang bersengketa atau
yang ditunjuk oleh pengadilan negeri atau lembaga arbitrase untuk memberikan putusan melalui
arbitrase (Pasal 1 angka 7).

Jadi, arbiter yang memeriksa dan memutuskan sengketa melalui arbitrase itu bisa orang
perorangan dan bisa lembaga arbitrase. Seseorang yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai
arbiter harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Cakap melakukan tindakan hukum.


b. Berumur paling rendah 35 tahun.
c. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat kedua dengan
salah satu pihak bersengketa.
d. Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase.
e. Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.

Pada dasarnya setiap orang dapat menjadi wasit sesuai dengan pasal 617 RV. Larangan
untuk diangkat menjadi wasit berlaku untuk para hakim, pegawai penuntut umum dan panitera
berdasarkan pasal 34 RV.

Kemudian, yang dimaksud dengan lembaga arbitrase adalah badan yang ditunjuk oleh para pihak
yang bersengketauntuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu dan juga dapat
memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum
timbul sengketa (Pasal 1 ayat (8)).

Apabila para pihak tidak dapat mencapai kata sepakat tentang penunjukan atau pemilihan
wasit, maka atas permintaan para pihak yang bersangkutan wasit diangkat oleh hakim yang
berwenang memeriksa perkaranya sekiranya diajukan baginya (ini berdasarkan pasal 619 RV).
Bagi wasit yang tidak diangkat oleh hakim tidak dapat diajukan keberatan kecuali karena alasan
timbul sesudah pengangkatan (menurut pasal 621 RV).78

78
M. Rasaid Nur, Hukum Acara pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003) hlm.86

48
Bahwa seseorang yang menerima penunjukannya sebagai wasit harus menyatakan
kesediaaanya itu secara tertulis atau kesediaannya itu dimuat dalam akta pengangkatannya dan
dalam hal ini diartur pada pasal 622 RV. Apabila tugas sudah diterimanya maka wasit tidak
boleh menarik diri kecuali dengan alasan yang disetujui oleh hakim sesuai dengan pasal 623 RV.

Dalam perwasitan ini dapat dilakukan dengan dua jalan:

1. Dinamakan pactum de compromittendo


2. Dinamakan akta compromise
Ad. 1. pactum de compromittendo adalah suatu klausula dalam perjanjian dimana
ditentukan bahwa para pihak diharuskan mengajukan perselisihanya kepada
seorang atau majelis wasit. pactum de compromittendo ini hanyalah merupakan
sebahagian saja dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian. Dalam
waktu membuat pactum de compromittendo sama sekali belum terjadi
perselisihan.

Ad. 2. Akta kompromis itu merupakan perjanjian khusus yang dibuat setelah terjadinya
perselisihan untuk mengatur tentang cara mengajukan perselisiahna yang telah
terjadi kepada seorang wasit untuk diselesaikan .dalam akta kompromis
ditentukan batas waktu untuk memutuskan sengketa oleh wasit dan batas
waktunya adalah 6 bulan sesuai dengan pasal 620 RV.

Berakhirnya tugas wasit disebabkan karena :


a. Putusan telah dijatuhkan berarti sengketanya telah diselesaikan
b. Lewatnya waktu yang ditetapkan dalam akta komprmis tanpa menghasilkan keputusan.
c. Lewatnya waktu 6 bulan setelah wasit menerima pengangkatannya jika tidak ditetapkan
batas waktu.
d. Pencabutan oleh para pihak
e. Meninggalnya seorang wasit atau karena ditolaknya wasit itu

Berdasarkan surat keputusan dari Kamar Dagang dan Industry Indonesia (KADIN) No.
SKEP/152/DPH/1977 tanggal 30 november 1977 didirikan Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) sebagai badan arbitrase dalam sengketa-sengketa perdata yang timbul tentang soal-soal

49
perdagangan, industry dan keuangan baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat
internasional. 79

Kemudian syarat yang harus dipenuhi dalam permohonan arbitrase adalah :

1. Nama lengkap dan tempat tinggal kedua belah pihak


2. Suatu uraian singkat tentang duduknya sengketa
3. Apa yang dituntut harus didaftarkan ke secretariat BANI yang bersangkutan.

Dan dalam biaya yang dikenakan dalam arbitrase adalah :

1. Uang pendaftaran
2. Biaya administrasi/pemeriksaan
3. Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau ahli,biaya ini dipikul oleh pihak yang meminta
dipanggilnya saksi atau ahli tersebut dan biaya ini harus di bayar lebih dahulu kepada
secretariat.
4. Biaya perjalanan dari arbiter atau majelis arbiter untuk melakukan perjalanan dibebankan
kepada kedua belah pihak masing-masing separuh dan harus di bayar lebih dahulu kepada
secretariat.
5. Honorarium arbiter ditetapkan untuk setiap sengketa oleh ketua BANI tetapi jumlahnya tidak
melebihi yang ditetapkan untuk sengketa terssebut/
6. Biaya pelaksanaan putusan arbiter dibebankan kepada pihak yang telah dikalahkan.

79
Ibid,. hlm. 90

50
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Hukum Acara Perdata merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara mengajukan
gugatan kepada pengadilan, bagaimana pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan
penggugat, bagaimana para hakim bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan
dan bagaimana cara hakim memutus perkara yang diajukan oleh penggugat tersebut serta
bagaimana cara melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan
yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam Hukum Perdata
dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Para pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain dalam permasalahan perdata dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan atau permohonan jika tidak melibatkan orang lain.
Setelah gugatan diajukan, maka pengadilan akan memeriksa berkas-berkas yang dilampirkan
oleh Penggugat (orang yang mengajukan gugatan) dan mulai menginterogasi Tergugat (orang
yang digugat).

51
Apabila Tergugat merasa keberatan atas perkara yang ditujukan kepadanya, maka ia
dapat menangkis (eksepsi) jawaban dari pihak Penggugat.
Setiap Penggugat dan Tergugat diberi kesempatan yang sama untuk menjelaskan
pendapat mereka dimuka pengadilan baik dengan mereka sendiri maupun melalui wakilnya dan
diperbolehkan membawa alat-alat bukti sebagai keakuratan penjelasan mereka.
Tergugat juga dapat mengajukan perlawanan (verzet) atas verstek yang ia lewati pada
sidang pertama pada Pengadilan Negeri tempat ia digugat, banding di tingkat Pengadilan Tinggi
dan juga kasasi pada Mahkamah Agung.
Selain penyelesaian di pengadilan, perkara perdata juga dapat diselesaikan antara sesama
kedua belah pihak melalui arbitrase. Penunjukan arbiter harus memenuhi syarat tertentu dan
berpengalaman dibidangnya.

DAFTAR PUSTAKA

A.Rasyid, Roihan. 2006. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Harahap, Yahya. 2009. Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika
Makarao, Moh. Taufik. 2004. Pokok-pokok Hukum Acara Perdata. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Manan, Abdul. 2000. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan. Jakarta:
Yayasan Al-Hikmah.
Menokusumo, Sudikno. 2002 Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Muhammad, Abdulkadir. 2010. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: Putra Aditya Bakti
Mulyadi, Lilik. 2005 Hukum Acara Perdata Menurut Teory dan Praktik Peradilan Indonesia,
Jakarta: Djambatan
Rasaid, M.Nur. 2008. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika
Soeparmono. 2005. Hukum Acara Perdata, dan Yurisprudensi, Bandung: Mandar Baru

52
Syahrani, Riduan. 2004. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti

53

Anda mungkin juga menyukai