Anda di halaman 1dari 96

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERANAN POLA NARATIF EKSPERIENSIAL


DALAM PROSES PENDAMPINGAN IMAN ANAK

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:
Fransiska Indraniati
NIM: 031124002

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN


KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2011

i
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

SKRIPSI

PERANAN POLA NARATIF EKSPERIENSIAL


DALAM PROSES PENDAMPINGAN IMAN ANAK

Oleh:

Fransiska Indraniati
NIM: 031124002

Telah disetujui oleh:

Pembimbing

F.X. Dapiyanta, SFK., M. Pd. Tanggal, 23 Juni 2011

ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

SKRIPSI
PERANAN POLA NARATIF EKSPERIENSIAL
DALAM PROSES PENDAMPINGAN IMAN ANAK

Dipersiapkan dan ditulis oleh


Fransiska Indraniati
NIM: 031124002

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji


Pada tanggal 23 Juni 2011
Dan dinyatakan memenuhi syarat

SUSUNAN PANITIA PENGUJI


Nama Tanda Tangan
Ketua :Drs. H.J. Suhardiyanto, S.J. .........................
Sekretaris : F.X. Dapiyanta, SFK., M. Pd. .........................
Angota : 1. F.X. Dapiyanta, SFK., M. Pd. .........................
2. Yoseph Kristianto, SFK .........................
3. P. Banyu Dewa, H.S., S.Ag, M.Si. .........................

Yogyakarta, 23 Juni 2011


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Dekan,

Drs. T. Sarkim, M. Ed., Ph. D

iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada


Mama dan Papa
yang telah memberikan dukungan moral, spiritual dan finansial,
Adik-adikku, seluruh keluargaku dan seluruh sahabatku
yang selalu memotivasi diriku,
serta
para dosen yang telah memberi dukungan
dan semangat bagi studiku

iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

MOTTO

“Jangan Berhenti Berusaha dan Selalu Mengandalkan Allah”

v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat

karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebut dalam kutipan dan daftar

pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 23 Juni 2011

Penulis,

Fransiska Indraniati

vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Fransiska Indraniati

Nomor Mahasiswa : 031124002

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan


Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
PERANAN POLA NARATIF EKSPERENSIAL DALAM PROSES
PENDAMPINGAN IMAN ANAK
Berdasarkan perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain
untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun pemberian
royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal, 23 Juni 2011

Yang menyatakan

Fransiska Indraniati

vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRAK

Judul skripsi PERANAN POLA NARATIF EKSPERIENSIAL DALAM


PROSES PENDAMPINGAN IMAN ANAK dipilih berdasarkan keprihatinan penulis
selama menjadi pendamping PIA. Proses dalam Pendampingan Iman Anak (PIA)
semakin memprihatinkan, sehingga anak-anak menjadi malas mengikuti kegiatan PIA.
Bertitik tolak dari kenyataan ini, skripsi ini dimaksudkan untuk membantu para
pendamping PIA mendapatkan salah satu metode yang efektif dalam pendampingan
PIA dengan menggunakan Pola Naratif Eksperiensial.
Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah apa yang dimaksud dengan
Pendampingan Iman Anak? Apa yang dimaksud dengan Pola Naratif Eksperiensial?
Bagaimanakah peranan Pola Naratif Eksperiensial dalam proses Pendampingan Iman
Anak?
PIA merupakan salah satu bentuk karya pewartaan Gereja untuk memperdalam
iman dan membantu anak semakin masuk dan terlibat dalam hidup menggereja. Dalam
pendampingan PIA tersebut dibutuhkan metode-metode yang sesuai dengan dunia
anak. Salah satu pola atau metode yang baik untuk PIA adalah Naratif Eksperiensial.
Hasil studi pustaka menunjukkan bahwa Pola Naratif Eksperiensial merupakan suatu
metode pendampingan yang bersifat komunikasi iman. Pola Naratif Eksperiensial,
adalah dapat menumbuhkan daya imajinasi anak, kreativitas dan kemampuan berpikir
abstrak, cerita mampu menjalin hubungan yang akrab antara anak dengan pencerita,
cerita meningkatkan serta menunjang perkembangan moral anak, cerita bermanfaat
untuk menanamkan motivasi dan proses identifikasi, cerita berperan mengembangkan
iman anak. Selaras dengan perkembangan anak yang berada pada fase mitis harafiah,
maka Naratif eksperiensial sangat relefan untuk mengenalkan tokoh-tokoh iman. Pola
naratif eksperiensial dapat menjadi sarana reflektif bagi anak-anak peserta PIA
sekaligus memberikan sentuhan emosi bagi perkembangan iman anak, sehingga anak
dapat mewujudkan nilai-nilai cerita dalam kehidupan sehari-hari. Pola Naratif
Eksperiensial mempunyai lima langkah pokok ialah penampilan cerita kehidupan/cerita
rakyat, pendalaman cerita, peneguhan cerita Kitab Suci atau Tradisi Gereja dan
rangkuman. Oleh karena itu seorang pendamping PIA perlu mengenal dan memahami
Pola Naratif Eksperiensial. Untuk keperluan itu penulis memberikan contoh persiapan
pembelajaran dengan pendekatan Pola Naratif Eksperiensial. Harapan penulis contoh
ini dapat ditelaah, dikembangkan, dan dimanfaatkan oleh para pendamping PIA di
Paroki.

viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

ABSTRACT

The title of thesis THE ROLE OF EXPERENTIAL NARRATIVE


PATTERNS IN THE PROCESS OF FAITH CHILD ASSISTANCE was chosen
based on the concern of the researcher during a PIA’s companion. Faith Mentoring
Process to Children (PIA) has become increasingly serious, so that children become
lazy to follow the activities of PIA. Besed on this fact, this thesis is intended to help a
PIA chaperone to get one of the methods that are effective in assisting the PIA using an
experiential narrative pattern.
The main issues in this thesis are what is Faith Mentoring to Children is, what a
Narrative Pattern experiential, is and what the role of narrative pattern in the
experiential process of Faith Mentoring to Children is?
PIA is one of the forms of the church’s preaching to deepen our faith and help
more children enter and engage in Church’s life. The assistance of PIA needs the
methods according to the child's world. One of pattern or a good method for PIA is an
experiential narrative. The results of the literature study showed that the pattern of
experiential narrative is a method of mentoring that is the communication of faith. The
narrative experiential patterns cultivate children's imagination, creativity and ability to
think abstractly, the story is able to establish a close relationship between children and
storytellers, to enhance and support the moral development of children, is useful to
instill motivation and identification process, and has a role to develop child’s faith.
Harmoniously with the development of children who are at literal mythic phase, then
the experiential narrative is very relevant to introduce the Fathers of the church faith.
The role of experiential narrative can be a reflective means for children as a PIA
participants, while providing a touch of emotion to the faith development of children,
so the children can realize the values of the story in their daily life. The experiential
narrative pattern has five basic steps is the appearance of life story/folklore, deepening
the story, a story affirmation of Scripture or the Church's Tradition and the summaries.
Therefore, a PIA’s mentor needs to know and understand the experiential narrative
pattern. For this purpose the author provides examples of the preparation of learning
with The experiential Narrative Patterns approach. Hopefully these examples can be
explored, developed, and utilized by the PIA mentors in the parishes.

ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah Bapa atas berkat dan kasih-Nya yang melimpah,

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PERANAN POLA NARATIF

EKSPERIENSIAL DALAM PROSES PENDAMPINGAN IMAN ANAK (PIA).

Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan penulis bahwa banya

dari anak-anak PIA kurang tertarik mengikuti kegiatan PIA. Permasalahannya dari

pihak pendamping kurang bervariasi dalam mengolah bahan dengan menggunakan

berbagai metode. Pendamping PIA sudah berusaha memberikan motivasi kepada anak-

anak PIA dalam kegiatan PIA. Tetapi pada kenyataannya masih banyak anak-anak

peserta PIA tidak memperhatikan ketika pendamping memberikan materi. Menjawab

keprihatinan itu, penulis mengusahakan suatu usaha untuk meningkatkan ketertarikan

anak untuk ikut kegiatan PIA. Usaha yang dimaksudkan adalah penggunaan metode,

Pola Naratif Eksperiensial dalam proses Pendampingan Iman Anak (PIA).

Skripsi ini disusun tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak baik

secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini penulis dengan tulus hati

mengucapkan terimakasih kepada:

1. Romo Drs. H.J. Suhardiyanto, S.J. Sebagai Kaprodi IPPAK yang telah memberikan

dukungan dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak F.X. Dapiyanta, SFK., M. Pd. Selaku dosen pembimbing utama yang telah

meluangkan waktu, membimbing, memberikan perhatian dan sumbangan

x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

pemikiran serta motivasi bagi penulis dalam menuangkan gagasan-gagasan dari

awal hingga akhir skripsi ini.

3. Bapak Yoseph Kristianto, SFK, selaku dosen pembimbing akademik yang terus

menerus membimbing dan mendampingi penulis dengan penuh kesetiaan dan

kesabaran selama menjalani studi di kampus IPPAK Universitas Sanata Dharma

4. Bapak P. Banyu Dewa, H.S., S.Ag, M.Si. Yang telah mendampingi, memberikan

perhatian dan dukungan serta meluangkan waktu dengan sabar dan setia sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini pada waktunya.

5. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan membimbing penulis selama

belajar hingga selesainya skripsi ini.

6. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaaan Prodi IPPAK, dan seluruh karyawan

yang telah ikut memberi dukungan kepada penulis selama belajar dan dalam

penulisan skripsi ini.

7. Seorang sahabat yang tak pernah berhenti memberikan semangat dan motivasi

sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan skripsi ini pada waktunya.

8. Mama, Papa dan segenap keluarga yang ikut membantu mendoakan sehingga

penulis dapat menyelesaikan studi dan skripsi ini.

xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9. Teman-teman mahasiswa IPPAK-USD yang telah memberikan motivasi, berbagai

pengalaman hidup, berjuang bersama dalam semangat persaudaraan dan

kekeluargaan untuk menjadi katekis yang bermutu dan bijaksana.

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan

dukungan dan bantuan kepada penulis sehingga selesainya skripsi ini.

Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman sehingga

penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, penulis sangat

mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi perbaikan skripsi

ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi

semua pihak yang berkepentingan.

Yogyakarta, 23 Juni 2011

Penulis

Fransiska Indraniati

xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... iv

MOTTO ............................................................................................................... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .............................................................. vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .............................. vii

ABSTRAK ........................................................................................................... viii

ABSTRACT ........................................................................................................... ix

KATA PENGANTAR ......................................................................................... x

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii

DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xvii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .............................................................................. 6

C. Pembatasan Masalah ............................................................................. 6

D. Perumusan Masalah ............................................................................... 6

E. Tujuan Penulisan .................................................................................... 7

F. Manfaat penulisan ................................................................................... 7

BAB II PENDAMPINGAN IMAN ANAK ....................................................... 9

A. Pendampingan ....................................................................................... 9

xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1. Arti Pendampingan Pada Umumnya................................................. 9

2. Ciri Khas Pendampingan .................................................................. 9

3. Tujuan Pendampingan ..................................................................... 10

B. Pemahaman Tentang Anak Usia 5-13 Tahun......................................... 10

1. Perkembangan Psikomotorik ............................................................ 11

2. Perkembangan Emosi........................................................................ 13

3. Perkembangan Sosialitas .................................................................. 16

4. Perkembangan Moralitas ................................................................. 17

C. Iman........................................................................................................ 22

1. Pengertian Iman Secara Umum ........................................................ 23

2. Pengertian Iman Kristiani ................................................................. 23

a. Iman Sebagai Jawaban Manusia Terhadap Wahyu Allah .......... 24

b. Iman Sebagai Penyerahan Diri Manusia Kepada Allah............... 24

D. Hal Ikhwal Tentang Pendampingan Iman Anak (PIA ........................... 25

1. Sejarah Pendampingan Iman Anak (PIA) ........................................ 25

2. Kekhasan, Dasar dan Tujuan Pendampingan Iman Anak (PIA ....... 29

a. Kekhasan Pendampingan Iman Anak (PIA) ............................... 29

b. Dasar Pendampingan Iman Anak (PIA) ...................................... 30

1) Dasar Biblis/Kitab Suci ......................................................... 31

2) Dasar Dokumen Gereja ......................................................... 32

3) Dasar Teologis ........................................................................ 34

4) Dasar Psikologis ..................................................................... 34

c. Tujuan Pendampingan Iman Anak (PIA)..................................... 35

3. Ciri Khas Pendampingan Iman Anak (PIA) .................................... 36

xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

a. Santai............................................................................................ 36

1) Gembira .................................................................................. 36

2) Bebas .................................................................................... 37

3) Bermain ................................................................................. 37

b. Mendalam ................................................................................... 38

1) Berpola Pada Yesus Kristus ................................................. 38

2) Menjemaat ........................................................................... 39

3) Terbuka ................................................................................. 39

4. Spiritualitas Pendampingan Iman Anak (PIA) ................................ 39

a. Kerendahan Hati .......................................................................... 39

b. Beriman Dewasa .......................................................................... 40

c. Kristosentris ................................................................................. 40

d. Keterbukaan ................................................................................. 40

e. Kerjasama Dan Saling Melengkapi............................................... 41

f. Mencintai Kitab Suci .................................................................... 41

BAB III POLA NARATIF EKSPERIENSIAL .................................................. 42

A. Latar Belakang Munculnya Pola Naratif Eksperiensial ......................... 42

B. Pengertian Pola Naratif Eksperiensial ................................................... 44

C. Tujuan Pola Naratif Eksperiensial.......................................................... 47

D. Manfaat Pola Naratif Eksperiensial ....................................................... 47

E. Bentuk-Bentuk Pola Naratif Eksperiensial............................................. 48

1. Cerita ................................................................................................ 49

a. Cerita Kanonis/Cerita Alkitab ..................................................... 49

b. Cerita Rakyat ............................................................................... 50

xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

c. Cerita Pengalaman/Cerita Kehidupan .......................................... 50

2. Nyanyian .......................................................................................... 51

3. Drama............................................................................................... 52

4. Dongeng........................................................................................... 55

F. Langkah-Langkah Pola Naratif Eksperiensial ........................................ 57

BAB IV PERANAN POLA NARATIF EKSPERIENSIAL

DALAM PERKEMBANGAN IMAN ANAK (PIA) ……..…………. 59

A. Cerita Menumbuhkan Daya Imajinasi Anak, Kreativitas dan

Kemampuan Berpikir Abstrak ................................................................ 59

B. Cerita Mampu Menjalin Hubungan Yang Akrab Antara Anak Dengan


Pencerita................................................................................................ 60

C. Cerita Meningkatkan Serta Menunjang Perkembangan Moral Anak .... 62

D. Cerita Bermanfaat Untuk Menanamkan Motivasi dan Proses

identifikasi.............................................................................................. 63

E. Cerita Berperan Mengembangkan Iman Anak ....................................... 63

F. Persiapan PIA Dengan Menggunakan Metode Cerita ........................... 75

BAB V PENUTUP ............................................................................................... 75

Kesimpulan .................................................................................................. 75

Saran ............................................................................................................ 76

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 78

xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan dalam Alkitab
Deoterokanonika, Lembaga Biblika Indonesia, 2009.

B. Singkatan Resmi Dokumen Gereja

GE : Gravissimum Educationes

DCG : Directorium Catechisticum Generale.

CT : Catechesi Tradendae

DV : Dei Verbum

C. Singkatan-Singkatan Lain

PIA : Pendampingan Iman Anak

No : Nomor

TK : Taman Kanak-Kanak

SD : Sekolah Dasar

SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

Komkat KWI : Komisi Kateketik Konferensi Wali Gereja Indonesia

xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengambil judul “Peranan Pola Naratif

Eksperiensial Dalam Proses Pendampingan Iman Anak (PIA)”. Pada bagian

pendahuluan ini, penulis akan menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan judul

skripsi tersebut, yakni: latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah,

rumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan. Untuk lebih jelasnya akan

diuraikan satu per satu.

A. Latar Belakang

Merupakan kewajiban bagi Gereja dalam mewartakan kabar keselamatan

dan suka cita kepada semua orang, seperti yang telah diajarkan Yesus kepada para

rasul “…pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan babtislah mereka dalam

nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu

yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19-20), Tugas perutusan ini

merupakan tangung jawab bagi Gereja dalam melaksanakan tugas mengajar yang

telah dilaksanakan sebelumnya oleh para rasul.

Yesus juga pernah bersabda demikian, “Biarlah anak-anak itu, janganlah

menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku…” (Mat 19:14). Yesus sangat

menghendaki agar anak-anak dekat pada-Nya. Gereja juga mengikuti sabda Yesus

dengan mewujudkannya melalui kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA). Kegiatan

ini bertujuan membantu anak-anak semakin mengenal keselamatan dan dapat hidup

sesuai dengan kehendak Allah. Kegiatan yang dilaksanakan dalam Pendampingan

Iman Anak (PIA) antara lain adalah berdoa bersama, bernyanyi bersama, membaca
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2

Kitab Suci, mendengarkan cerita, menggambar, permainan, mewarnai gambar,

melipat kertas, perlombaan dan sebagainya. Semua diajarkan untuk membantu anak

menemukan nilai-nilai imannya sendiri.

Pendampingan Iman Anak (PIA) merupakan tanggung jawab seluruh jemaat

beriman. Pendampingan Iman Anak (PIA) merupakan kegiatan rutin yang diadakan

oleh Gereja dan diikuti oleh anak-anak yang berusia antara 5-13 tahun, yang duduk

di bangku sekolah antara Taman Kanak-Kanak (TK) sampai dengan tingkat Sekolah

Dasar (SD). Usia anak seperti ini memaparkan masa di mana mereka senang

bermain, bertemu, dan berkumpul bersama teman-temannya. Melalui pengalaman

dalam mendampingi PIA, penulis melihat situasi yang terjadi adalah terkadang

jumlah anak peserta PIA di setiap lingkungan dalam suatu paroki tidak terlalu

banyak, sehingga tidak jarang pelaksanaan PIA dilakukan dengan cara

menggabungkan peserta PIA dari beberapa lingkungan menjadi satu. Selain itu orang

tua kadang tidak mengijinkan anak mengikuti kegiatan PIA karena orang tua

berbeda keyakinan. Sebagian besar anak masih harus diantar dan ditunggu oleh

orang tuanya yang terkadang mendadak ada keperluan lain sehingga tidak dapat

mengantar anak mengikuti kegiatan PIA. Dalam proses pelaksanaan PIA, peserta

aktif menjawab setiap pertanyaan yang diberikan pendamping jika pertanyaan

tersebut dalam bentuk pilihan dan mereka menjawab pertanyaan dengan serempak.

Namun dengan pertanyaan yang membutuhkan pemikiran, tidak semua peserta dapat

menjawab pertanyaan tersebut.

Ada juga anak yang begitu malas mengikuti kegiatan PIA karena bagi

mereka ikut PIA bukanlah suatu hal yang menarik. Mereka lebih memilih untuk

berada di rumah bermain game atau menikmati acara televisi, hal ini juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3

dipengaruhi oleh perkembangan zaman yang semakin maju serta berbagai

perkembangan teknologi dan informasi yang begitu canggih, sehingga membawa

dampak sangat besar terhadap perkembangan setiap anak. Berbagai alat elektronik

yang ditawarkan seperti hand phone, playstation, komputer, Televisi, radio, dan

sebagainya begitu melekat dan sudah menjadi bagian dari kehidupan setiap anak.

Situasi masyarakat yang beragam, dengan keadaan lingkungan yang kurang

mendukung bagi perkembangan mereka, terkadang membawa dampak negatif bagi

kehidupan mereka. Selain itu bagi anak yang tinggal di dalam keluarga dengan

tingkat perekonomian menengah ke bawah, menuntut kedua orang tua untuk bekerja

keras dalam mencari nafkah. Tentunya hal ini menyebabkan anak berkembang

dengan cara mereka sendiri, sehingga perkembangan iman mereka terkadang kurang

begitu diperhatikan dan tak jarang dari anak-anak kadang tidak mengenal Kristus

secara lebih dekat.

Dalam hal ini peranan orang tua sangat penting dalam memperhatikan serta

mendukung perkembangan iman mereka. Diharapkan orang tua tetap mendampingi

anak-anak mereka untuk selalu pergi ke Gereja, serta rajin mengikuti kegiatan PIA.

Sehingga perkembangan iman mereka lebih terarah.

Anak membutuhkan orang tua dalam membantu mereka untuk semakin

mencintai Kristus secara lebih dekat, sehingga sangat penting sekali pengaruh orang

tua bagi perkembangan iman setiap anak lewat kehidupan doa serta lewat kegiatan-

kegiatan Gereja, dan mendorong anak agar mau terlibat di dalam kegiatan PIA.

Sangat disayangkan apabila kesempatan bagi anak-anak untuk mengenal Kristus

secara lebih dekat lagi diabaikan begitu saja.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4

Salah satu faktor lain yang menyebabkan anak menjadi malas ikut kegiatan

PIA adalah dana yang disediakan untuk melaksanakan pendampingan PIA masih

sangat kurang sehingga fasilitas yang dapat digunakan untuk melaksanakan

pendampingan PIA terbatas. Ditambah lagi dari pendamping sendiri kurang memiliki

ketrampilan dalam memberikan materi bagi peserta PIA. Terkadang materi

pendampingan PIA tidak dipersiapkan dengan baik, sehingga proses pendampingan

PIA terasa membosankan. Kebanyakan para pendamping yang terlibat dalam

pendampingan PIA adalah muda-mudi katolik, ada juga sebagian yang sudah

berkeluarga di mana mereka melaksanakan tugas mereka sebagai pendamping PIA

berdasarkan kerelaan untuk memenuhi kebutuhan paroki. Dengan latar belakang

pendidikan dan kemampuan yang berbeda-beda dan banyak juga dari antara para

pedamping PIA yang belum memahami tentang PIA, sehingga dalam melaksanakan

tugas mereka sebagai seorang pendamping PIA, terkadang kurang mempersiapkan

terlebih dahulu sehingga proses pelaksanaan PIA menjadi tidak berkualitas dan

berjalan asal-asalan.

Melihat kenyataan ini, Gereja bertanggungjawab memberikan pembekalan

bagi pendamping PIA untuk memperoleh pengetahuan tentang keterampilan yang

seharusnya dimiliki oleh pendamping PIA seperti keterampilan bermain,

keterampilan bercerita, keterampilan bernyanyi dan keterampilan menggunakan

sarana-sarana seperti teks cerita, gambar, kertas gambar, kertas lipat (Origami),

pensil warna dan sebagainya.

Setiap orang punya pengalaman yang berbeda ketika mengambil keputusan


mengajar di Sekolah Minggu. Ada pengalaman yang berbeda-beda yang
membuat seseorang tertarik mengajar anak-anak di Gereja. Ada beberapa
alasan antara lain: ada guru lain yang mengajak mengajar, atau orang lain
menghendaki diri kita mengajar, atau lain sebagainya. Semuanya itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5

membuat orang menjadi tertarik, menggumulinya dan selanjutnya


memutuskan untuk mengajar (Kadarmanto, 2004; 27).

Dengan segala permasalahan yang ada, penulis mencoba memanfaatkan

pendekatan Pola Naratif Eksperiensial, dengan pendekatan Pola Naratif

Eksperiensia, pendampiangan PIA dapat memberikan kegembiraan kepada anak-

anak PIA. Adapun yang dimaksud dengan Pola Naratif Eksperiensial adalah cerita

yang bersifat pengalaman, selain itu Pola Naratif Eksperiensial juga dapat diartikan

sebagai suatu pendekatan yang mengutamakan cerita. Cerita sangat efektif dan begitu

diminati. Karena mendengarkan cerita merupakan suatu hal yang sangat

menyenangkan, sangat disukai berbagai kalangan dari anak-anak sampai orang

dewasa. Dengan mendengarkan cerita, anak diajak untuk berimajinasi serta

membangkitkan daya khayal dan rasa ingin tahu yang mereka miliki untuk

menangkap hal yang positif dari cerita yang disampaikan. Selain itu lewat imajinasi

yang mereka miliki, akan memberikan inspirasi yang menyegarkan. Hal ini

dilakukan, agar anak-anak PIA dibentuk supaya mengenal dan mencintai Kristus

secara lebih dekat dengan cara yang menyenangkan. Selain itu juga dimaksudkan

agar dapat membantu orang tua Kristiani untuk mendampingi serta membina dalam

pertumbuhan dan perkembangaan iman anak-anak mereka. Tentunya hal ini di

harapkan hidup beriman anak menjadi lebih baik dan penghayatan iman anak akan

Yesus Kristus dapat semakin nyata.

Dengan cerita juga dapat membantu anak-anak memainkan khayalan

mereka terhadap suatu peristiwa yang sedang didengarnya. Mengingat anak memiliki

rasa ingin tahu yang sangat besar, dengan mendengarkan cerita, anak mendapatkan

pengalaman belajar dan tidak menutup kemungkinan untuk tumbuhnya minat dalam

diri anak terutama untuk mengenal Kristus secara lebih dekat lagi. Dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6

memanfaatkan Pola Naratif Eksperiensial, anak-anak tidak lagi merasa bahwa

mengikuti PIA merupakan hal yang sangat membosankan.

Bertitik tolak dari apa yang ditemukan di atas, maka penulis mengambil

judul “PERANAN POLA NARATIF EKSPERIENSIAL DALAM PROSES

PENDAMPINGAN IMAN ANAK (PIA)”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasikan

beberapa permasalahan dalam skripsi ini yaitu:

1. Banyak peserta tidak senang ikut PIA.

2. Materi dalam pendampingan PIA tidak didisain secara baik.

3. PIA kurang terorganisasi secara rapi

4. Pendanaan bagi pelaksanaan PIA kurang diperhatikan.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan atas permasalahan-permasalahan tersebut di atas, dan oleh

karena keterbatasan serta luasnya pembahasan, maka pembatasan masalah terfokus

pada ”Pola Naratif Eksperiensial dalam proses pendampingan iman anak”.

D. Perumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Pendampingan Iman Anak (PIA) ?

2. Apa yang dimaksud dengan Pola Naratif Eksperiensial ?

3. Bagaimana peranan Pola Naratif Eksperiensial dalam proses pendampingan

Iman Anak (PIA) ?


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7

E. Tujuan Penulisan

1. Memaparkan tentang Pendampingan Iman Anak (PIA).

2. Memaparkan tentang Pola Naratif Eksperiensial.

3. Menjelaskan tentang peranan Pola Naratif Eksperiensial dalam pendampingan

PIA.

F. Manfaat Penulisan

Penulisan ini akan bermanfaat secara teoritis maupun praktis di bidang

Pendampingan Iman Anak (PIA).

1. Manfaat secara teoritis:

Skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi mata kuliah Pendampingan Iman

Anak (PIA).

2. Manfaat secara praktis bagi:

a. Pendamping

Pendamping akan mengetahui kekurangan dan kelebihan cara mendampingi

anak-anak peserta Pendampingan Iman Anak (PIA), sehingga akan

meningkatkan kualitas sebagai pendamping PIA.

b. Orang tua

Skripsi ini dapat dijadikan informasi bagi orang tua tentang visi dan misi

Pendampingan Iman Anak (PIA) sehingga orang tua semakin bertanggung jawab

dalam mendidik anak.

c. Gereja

Gereja semakin memberi dukungan dan perhatian dalam pendampingan

Pendampingan Iman Anak (PIA).


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8

d. Penulis

Penulis akan memperoleh pengetahuan dan pengalaman-pengalaman baru,

khususnya dalam mempelajari tentang peranan Pola Naratif Eksperiensial dalam

Pendampingan Iman Anak (PIA).


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9

BAB II

PENDAMPINGAN IMAN ANAK

A. Pendampingan

Untuk menguraikan tentang pendampingan, penulis akan menjabarkan arti,

ciri khas, tujuan dan bentuk pendampingan pada umumnya.

1. Arti Pendampingan Pada Umumnya

Pendampingan berasal dari kata dasar ”damping”. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, kata damping mempunyai arti dekat, karib atau akrab. Sedangkan

arti kata ”mendampingi” dalam pendampingan dapat diartikan sebagai ”menyertai

dekat-dekat: istri yang setia selalu terhadap suaminya” (Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 2005: 234).

Dapat dimengerti sebagai suatu usaha yang dilakukan untuk menemani

seseorang dari dekat untuk mencapai maksud dan tujuan tertentu.

Milton Mayerof (1993: 55) memberikan arti pendampingan adalah

”menolong sang lain bertumbuh”. Berdasarkan arti tersebut pendampingan adalah

suatu usaha untuk membantu orang lain agar dapat tumbuh dan mengembangkan

dirinya.

2. Ciri Khas Pendampingan

Dalam hal menolong sang lain untuk bertumbuh, pendamping mempunyai

ciri khas bahwa sang lain merupakan pribadi yang bebas dan berdiri sendiri. Peserta

bukan merupakan penerima yang pasif yang dapat menerima materi dan menelan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10

mentah-mentah apa yang di berikan oleh pendamping. Justru pendamping harus

dapat menciptakan suasana yang menyenangkan yang membuat mereka berada pada

posisi sejajar dengan pendamping artinya tidak ada batasan antara peserta dan

pendamping, hal ini juga sangat menentukan keberhasilan suatu proses

pendampingan. Pendamping merupakan alat yang dapat menolong peserta dalam

mengembangkan potensi mereka, sehingga orang lain tumbuh dan dapat

mengembangkan potensi yang dimilikinya (Milton Mayerof, 1993: 53).

3. Tujuan Pendampingan

Pendampingan pada hakekatnya bertujuan untuk membantu dan mendorong

seseorang untuk dapat mengembangkan dirinya secara jelas memiliki tujuan

membantu mereka untuk dapat memperoleh pengetahuan, informasi, kecakapan,

sikap, perbuatan, dan prilaku hidup, sehingga dapat menyesuaikan diri melalui hidup

bersama orang lain di dalam masyarakat, bangsa dan dunia (Mangunhardjana, 1986:

26). Tujuan dari pendampingan sangat penting bagi pendamping maupun yang

didampingi, dengan begitu seorang pendamping akan tahu tugasnya dalam

membantu mengembangkan subyek yang didampingi. Artinya tujuan pendampingan

bukan sekedar untuk mengerti tentang teori, tetapi juga dapat menerapkan teori

tersebut dalam perbuatan mereka di lingkungan masyarakat.

B. Pemahaman Tentang Anak Usia 5-13 Tahun

Ketika melihat situasi anak dan dunianya, seorang pendamping dituntut

memahami anak dengan baik sehingga seorang pendamping dapat membantu anak

mengembangkan dirinya lewat pelayanan bagi anak-anak yang didampingi.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11

Secara psikologis, usia antara 5-13 tahun adalah masa peka bagi anak yang

menyebabkan gampang sekali kena pengaruh dari luar bagi perkembangan anak.

Segala sesuatu yang diterima dari luar oleh anak akan di rekam dan tersimpan di

dalam memori bawah sadar anak. Sehingga hal ini sanggat menentukan untuk

perkembangan anak selanjutnya.

Usia anak antara 5-13 tahun adalah usia yang biasa juga dikatakan usia

masa sekolah. Maka dengan usia mereka, pendamping perlu memahami anak-anak

untuk menjawab kebutuhan mereka, pemahaman yang dapat diusahakan meliputi:

1. Perkembangan Psikomotorik

Perkembangan motorik berarti perkembangan pengendalian gerakan

jasmaniah melalui kegiatan pusat urat syaraf dan otak yang terkoordinasi (Hurlock,

1991: 150). Secara fisik anak usia 5-13 tahun sudah dianggap sudah matang untuk

bersekolah dan bergaul bersama teman-temannya. Hal ini dapat dilihat melalui fisik

yang berfungsi dengan baik.

Agar dapat diterima di lingkungan teman sebayanya baik di sekolah maupun

dimasyarakat, anak harus memiliki suatu keterampilan tertentu yang membuat anak

dapat diterima oleh lingkungannya. Salah satunya adalah keterampilan berbicara,

karna dengan berbicara, anak dapat berkomunikasi dengan baik dan menyampaikan

apa yang diinginkan oleh anak. Ciri yang paling terlihat adalah anak senang

menggunakan kata-kata yang tidak biasa atau pantang dan kata-kata rahasia untuk

menarik perhatian, senang bercerita dan dapat mencapai prestasi akademik (Hurlock,

1991: 176-180). Dengan kemampuan bicara tentunya anak sudah dapat


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12

berkomunikasi dengan baik, artinya anak siap didampingi dan bersosialisasi di dalam

lingkungannya.

Keterampilan yang lain yang dibutuhkan anak pada usia sekolah adalah

keterampilan menolong diri sendiri. Bentuk fisik yang semakin sempurna dan kuat

serta mulai berfungsi dengan baik, memungkinkan anak membiasakan diri untuk

menolong dirinya sendiri. Keterampilan tersebut meliputi makan, berpakaian, mandi

dan keperluan lainnya (Hurlock, 1991: 163). Dengan masuknya anak ke dunia

sekolah dan kelompok teman sebaya, mereka dituntut mandiri dan bertanggung

jawab.

Selain memiliki kertampilan menolong diri sendiri anak juga dituntut

memiliki keterampilan membantu orang lain. Untuk menjadi anggota kelompok

sosial baik di dalam keluarga, sekolah dan teman sebaya. Anak harus siap menjadi

anggota yang siap memberi bantuan baik di rumah, sekolah, maupun masyarakat

pada umumnya, khususnya pada teman sebayanya. Tentunya hal ini mempersiapkan

anak masuk dalam suasana kerja sama, kekeluargaan dan rasa saling membantu.

Keterampilan lain yang harus dimiliki anak pada usia sekolah adalah

keterampilan bermain, anak mulai bergabung bersama teman sebayanya yang

terbentuk dalam kelompok bermain. Maka anak dituntut siap secara fisik dan mental

untuk terlibat dalam permainan kelompok (Hurlock, 1991: 163,322). Anak dituntut

menguasai permainan seperti naik sepeda, berenang, main sepak bola, main sepatu

roda dan lain-lain. Dengan bermain dan bergabung bersama teman-temannya, anak

dapat mengembangkan keterampilan yang membuat anak dapat memasuki hidup

sosial dan memperoleh pengakuan yang pada akhirnya mendorong anak berkembang

ke tahap berikutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13

Kemampuan anak mengembangkan keterampilan dalam kelompok dapat

membantu anak menyadari hidup serta tanggung jawabnya sebagai bagian dari

keluarga, sekolah dan masyarakat. Dalam kelompok anak memahami bahwa dalam

hidup harus saling membantu, bekerja sama, jujur, disiplin dan saling menghormati.

Sikap-sikap tersebut dapat ditekankan dalam Pendampingan Iman Anak (PIA)

dengan menciptakan suasana kerjasama, saling melayani di dalam permainan, diskusi

dan sebagainya. Anak disadarkan pada pengalaman merasakan kehadiran Allah di

dalam suasana kebersamaan tersebut.

2. Perkembangan Emosi

Emosi merupakan unsur yang dimiliki oleh setiap manusia, sehingga

manusia memiliki keinginan untuk berbuat sesuatu serta mempertahankan hidupnya.

Sejak lahir setiap orang memiliki emosi yang ada pada dirinya. Hal ini sudah terlihat

sejak bayi, di mana bayi mampu mengungkapkan emosinya apabila ia lapar, lelah,

dingin dan lainnya lewat ekspresi wajah, tangisan, tidak mau tidur, bahkan sakit.

Tapi ketika bertambahnya usia mulai tampak ekspresi yang berbeda dari emosi

seseorang (Hurlock, 1991: 210-212). Bersamaan dengan itu muncul pula

pengendalian emosi.

Masa kanak-kanak dikenal sebagai masa ingin tahu dan pada akhirnya

mereka dapat meniru apa yang mereka lihat dan mereka dengar, tentunya hal ini

sangat mempengaruhi perkembangan mereka. Perkembangan emosi pada setiap anak

berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya, hal ini disebabkan adanya

proses belajar melalui lingkungan sekitar. Tentunya emosi masa kanak-kanak dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14

orang dewasa sangat berbeda sehingga anak-anak memerlukan pendampingan dari

orang dewasa.

Ada beberapa unsur emosi yang terlihat pada usia anak antara 5-13 tahun.

Di mana unsur emosi itu menjadi sarana bagi anak untuk mengungkapkan kehendak

dan keinginannya. Rasa takut adalah salah satu unsur emosi yang nampak pada diri

anak usia ini. Rasa takut dipengaruhi oleh daya khayalan mereka dan fantasi anak. Di

satu sisi anak mendapat masukan yang baik untuk perkembangannya. Namun disisi

lain kesukaan mereka akan cerita-cerita mistis menciptakan perasaan takut dan ngeri.

Perasaan takut ini disebut rasa takut fantasi (Hurlock, 1991: 215-217). Rasa takut

pada anak dapat muncul secara mendadak namun pertambahan usia dan kematangan

pada anak dapat mengatasi keadaan tersebut melalui penyesuaian diri.

Selain dipengaruhi daya fantasi, rasa takut anak dipengaruhi oleh

perkembangan sosialnya. Pengalaman hubungan dengan orang lain dapat

menimbulkan rasa khawatir, rasa canggung, rasa cemas, rasa malu dan juga rasa

takut yang bersifat traumatis yaitu rasa takut yang ditimbulkan oleh suatu

pengalaman pahit dalam diri anak. Berhadapan dengan anak yang memiliki rasa

takut dan traumatis yang berlebih, tentunya seorang pendamping dituntut untuk

bijaksana dalam mendampingi. Pendekatan secara pribadi akan sangat membantu

anak mengembalikan kepercayaan dirinya sehingga perlahan-lahan anak dapat

membuang rasa takut yang dimilikinya.

Unsur emosi lain adalah emosi rasa marah. Di mana ketika anak marah,

merupakan salah satu cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Dalam

pergaulan segari-hari, anak mencoba mencari perhatian dan pengakuan sosial, namun

dalam kenyataannya mereka justru mendapatkan penolakan atau penerimaan yang


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15

negatif, maka sebagai protes muncul berbagai ekspresi marah seperti memukul,

menangis ataupun menarik dan mengasingkan diri. Emosi marah setiap anak

berbeda-beda. Menghadapi anak yang kemarahannya berlebih, maka seorang

pendamping dituntut memiliki kesabaran agar anak merasa tidak dimusuhi.

Unsur emosi yang lain adalah rasa cemburu. Rasa cemburu ini muncul dari

ketakutan anak karena merasa akan kehilangan kasih sayang dari orang tuanya ketika

anak mulai melihat perubahan pada sikap orang tua mereka. Orang tua mencoba

membiarkan mereka lepas dari rasa ketergantungan namun terkadang anak

menganggap orang tuanya pilih kasih dan tidak sayang lagi. Rasa cemburu itu

terkadang muncul dari rasa iri terhadap sesuatu hal yang mereka lihat. Pada usia ini

anak cenderung memiliki sifat tamak, mereka ingin memiliki sesuatu yang lebih dari

pada anak yang lainnya khususnya pada anak yang lebih kecil. Sehingga muncul

sikap memusuhi pada anak lain.

Anak juga dapat merasakan kesedihan karena kehilangan sesuatu yang

dicintainya, tentunya hal ini dapat menjadi trauma bagi anak. Namun ingatan anak

akan sesuatu yang berkaitan dengan emosi tidak dapat bertahan lama. Perasaan sedih

yang dialami anak, hendaknya segera diatasi oleh pendamping dengan cara

memberikan perhatian lebih banyak. Sehingga anak akan merasa aman dan bahagia

di masa kanak-kanaknya.

Unsur emosi selanjutnya adalah rasa ingin tahu. Hal ini terlihat dari

banyaknya pertanyaan yang mereka ajukan, terutama ketika mereka melihat hal baru,

aneh dan hebat. Tentunya hal ini membuat anak menjadi lebih kritis dan kreatif.

Hendaknya seorang pendamping mengembangkan sikap kritis, kreatif dan berani

pada anak dengan cara memberi penjelasan yang dapat diterima anak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16

Dunia anak adalah dunia gembira, maka unsur kegembiraan adalah unsur

terbesar dalam emosi anak. Hal ini terlihat dari mudahnya beralih dari perasaan sedih

ke perasaan senang dengan tanpa ada beban. Pertemuan bersama teman sebaya

membawa mereka pada kegembiraan. Di dalam kelompok inilah mereka belajar

bersikap jantan dan sportif (Hurlock, 1991: 215-229). Yaitu belajar memahami

kesusahan dan penderitaan hidup orang lain.

Dari situasi kegembiraan anak tersebut, maka seorang pendamping dituntut

untuk bersikap luwes kreatif dan selalu mengembangkan diri, sehingga dalam

melaksanakan pendampingannya dapat memberikan kebahagiaan bagi anak-anak

yang didampingi.

Unsur emosi lain yang tampak pada anak usia sekolah adalah rasa kasih

sayang. Pemberian rasa kasih sayang pada anak dapat menyingkirkan rasa takut,

kecemburuan dan rasa sedih pada anak. Selain itu dapat membangun emosi yang

positif pada anak seperti: rasa aman, rasa gembira, rasa tenang, rasa damai dan

keberanian. Pemberian rasa kasih sayang ini bisa melalui perhatian dan sikap yang

hangat pada anak.

Rasa kasih sayang pada anak usia ini muncul karena hubungan pribadi,

semakin erat dan hangat hubungan pribadi yang ada, anak semakin merasa disayang.

Maka anak pun akan membalas dengan rasa sayang dan tingkah laku yang positif

seperti mau membantu, menuruti, manja dan sebagainya.

3. Perkembangan Sosialitas

Perkembangan anak pada saat mereka masuk Sekolah Dasar (SD) adalah

anak mulai mengenal dan merasakan kehadiran orang baru di Sekolahnya. Keinginan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17

anak untuk bergabung menjadi anggota kelompok dan diterima oleh kelompok teman

sebaya makin meningkat. Anak tidak puas lagi bermain sendiri di rumah bersama

orang tua dan saudara-sauradanya. Anak mulai mencari teman sebaya di luar dan

melihat bahwa kelompok teman sebaya sebagai dunianya. Dan kehidupan anak mulai

ditentukan oleh kelompok itu. Pada usia ini anak mulai merasa nyaman bersama

teman-temannya, seringkali mereka mulai meniru kebiasaan teman-teman sebayanya

dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bersama teman sebayanya

biasanya mereka membentuk ”gang” yang bertujuan agar mereka diterima oleh

kelompoknya. Pada usia mereka anak mulai mengerti tentang peraturan, kewajiban

dan konsekuensi-konsekuensi dari tindakannya (Gunarsa, 1978: 96-99). Maka dalam

”gang” inilah mereka menerapkan nilai-nilai tersebut untuk pertama kali.

Lingkungan sosial dan sekolah menjadi tempat bagi anak untuk belajar di

luar lingkungan keluarga, di mana sekolah menjadi tempat mengembangkan potensi-

potensi anak, sehingga mereka dapat menyesuaikan diri serta mencapai kemandirian

diri (Gunarsa, 1978: 252-258). Semua pengalaman hidup anak dalam hubungannya

dengan orang lain, membantu anak memahami hubungannya dengan Allah. Anak

hadir di tengah orang lain, agar dapat menjalin relasi dan menemukan dirinya.

Pendamping Iman Anak (PIA) dapat membatu anak untuk mengetahui kehadiran

orang lain, kehadiran dunia dan kehadiran Allah.

4. Perkembangan Moralitas

Seorang anak belum bisa diharapkan dengan sendirinya untuk mengerti

tentang nilai-nilai moral yang berlaku. Mereka juga tidak mengerti akan akibat-

akibat dari pelanggaran, yang pada akhirnya akan dikenakan sanksi di dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18

kehidupan masyarakat. Maka sangat jelas bahwa dari segi moral anak, adalah suatu

yang berkembang dan kemungkinan besar datang dari orang lain serta lingkungan

sekitar di mana anak tinggal. Tentunya dalam hal ini penghayatan nilai moral dalam

lingkungan keluarga juga sangat mempengaruhi terhadap perkembangan moral anak,

bahkan akan membawa dampak yang sangat besar terhadap anak pada

perkembangan selanjutnya (Hurlock, 1991: 74).

Melihat masa perkembangan anak, moralitas anak mengalami masa

perpindahan dari moralitas kosong menuju moralitas yang berdasar. Pada masa

sebelumnya anak melakukan tindakan moral tanpa mengetahui alasannya yang

menyebabkan anak melakukan tindakan tersebut, selain itu mereka juga lebih bersifat

egosentris. Sifat egosentris ini terlihat jelas dari tujuan menghindari hukuman atau

karena anak ingin mendapat pujian dan hadiah. Namun memasuki usia ini, anak

sedikit demi sedikit sudah mulai memahami adanya nilai-nilai tertentu atas tindakan

yang mereka lakukan. Selai itu mereka mulai memahami akan pentingnya beberapa

peraturan dan akibat dari pelanggaran tersebut. Pendampingan yang baik bagi anak

sangat membantu mengarahkan anak untuk membedakam situasi yang ada, sehingga

dapat diterapkan suatu nilai secara tepat. Artinya moralitas anak mulai bersifat sosial,

di mana anak melakukan tindakan agar anak diakui, bahwa tindakannya benar

sehingga ia dianggap anak yang baik.

Dalam hal ini yang dilakukan seorang pendamping untuk mengajarkan anak

tentang nilai-nilai adalah, bukan dengan paksaan, ancaman, ataupun kekerasan.

Tetapi dengan kasih dan kesabaran untuk membuka hati anak serta mengajarkan

mereka untuk memahami tentang nilai-nilai tersebut. Di sini anak mulai ditantang

untuk berkembang, dalam hal ini pendamping juga diajak untuk menyadari bahwa,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19

anak usia ini memerlukan suatu bentuk teladan dalam bertingkah laku. Dengan kata

lain anak tidak hanya diberi nasehat dan teori tentang moral saja, tetapi dari pihak

pendamping juga perlu menyadari bahwa, tindakan yang di lakukan harus menjadi

teladan bagi anak-anak agar dapat menjadi contoh bagi kehidupan mereka. Maka

seorang pendamping hendaknya, selalu merefleksikan segala perbuatan dan tindakan,

sehingga dapat menjadi teladan yang baik bagi anak-anak (Hurlock, 1991: 78-82).

5. Perkembangan Religiositas

Sifat yang sangat menonjol dari seorang anak adalah bahwa mereka

memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar, mereka berkembang melalui sebuah

proses yang terjadi secara bertahap. Pada tahap perkembangan anak usia 5-13 tahun,

anak mulai sadar dan masuk dalam kelompok atau jemaat terdekat. Anak mulai

memiliki semangat yang tinggi untuk mempelajari adat istiadat, kebiasaan, bahasa,

cerita-cerita dari lingkungan di mana dia hidup dan menjadikannya milik pribadi. Hal

ini disebabkan karena anak mulai dapat membedakan dirinya dari kelompok. Cerita

tentang lingkungan dimengerti melalui apa yang dilihatnya. Anak memandang hidup

dengan cara apa yang terlihat olehnya, dan mereka akan sangat terkesan dengan

sesuatu yang indah yang tampak dari permukaannya yang berkilau, bersinar serta

memantulkan cahaya. Allah masih tetap dimengerti secara antropomorf yang

dipandang sebagai raja atas aturan-aturan terhadap tindakan seseorang. Oleh karena

itu maka pada tahap ini, iman bagi anak adalah iman afiliasi, yaitu anak dengan sadar

mulai menggabungkan diri dengan kelompok sosialnya yang terdekat, menerima

cerita-cerita, simbol-simbol, ajaran-ajaran dan mengartikan seperti apa yang telah

dilihat oleh anak. Perkataan orang dewasa yang dikenalnya lebih berpengaruh dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20

pada teman sebayanya. Sesuatu yang baru mulai muncul pada tahap ini, yaitu

kemampuan untuk bercerita mengenai pengalamannya, tapi karena pengalaman ini

sangat terbatas pada pengalaman hidup bersama, maka dapat timbul sikap terlalu

menguasai. Pada tahap perkembangan Mitis-Harafiah, anak memiliki ketertarikan

yang sangat besar terhadap cerita-cerita mitos, cerita bergambar, tokoh-tokoh

pahlawan, tokoh petualangan. Cerita bukan sekedar hiburan tetapi sudah berubah

fungsi menjadi sarana pendidikan dan pembelajaran (Supratiknya, 1995:177-174 ).

Perkembangan iman seorang anak tidak dapat diukur, karena iman adalah

rahasia Allah. Pada kenyataanya iman bersifat pribadi, namun perkembangan iman

anak dapat dilihat melalui tahap-tahap psikologisnya, karena kehidupan agama pada

masa kanak-kanak tampak pada ciri perkembangan kognitif, afektif, dan

psikomotorik (Crapps1993: 14-18).

Ciri agama pada masa kanak-kanak yang pertama adalah “orientasi

egosentris” di mana ciri ini terlihat dari perilaku anak yang selalu berpusat pada diri

sendiri. Dalam kehidupannya anak banyak menuntut agar kebutuhannya dipenuhi

serta menginginkan perhatian dari pihak lain. Hal ini terlihat dari kesediaan anak

untuk menghafal doa yang diajarkan agar memperoleh pujian dan hadiah. Lewat

pengalaman yang ada, mereka mulai memahami gambaran Allah (Crapps1993: 14-

18).

Dalam hal ini orang tua merupakan gambaran Allah dalam kehidupan anak

dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Melihat ciri dari orientasi egosentris tersebut,

maka seorang pendamping dapat mengusahakan suasana dan sikap yang dapat

memberikan rasa aman kepada anak, sehingga gambaran Allah dapat terlihat dengan

jelas dan tersimpan dalam diri mereka sebagai Allah Yang Maha Pengasih.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21

Ciri kedua agama masa kanak-kanak adalah “kekonkretan antropoformis”.

Ciri ini mau melihat dari pengalaman hidup anak dalam menjalin hubungan relasi

dengan orang lain. Dari pengalaman tersebut, Allah dipahami sebagai manusia biasa

seperti ayah atau kakek mereka yang punya tangan, kaki, bisa marah dan bisa juga

bersikap baik. Maka sosok ayah atau kakek menunjukkan gambaran Allah dalam diri

anak, apabilah seorang ayah atau kakek yang dilihatnya selalu bersikap baik, maka

bagi anak-anak Allah adalah sosok yang penuh kasih dan kebaikan, demikian juga

sebaliknya jika mereka menjadi sesuatu yang menakutkan dan ancaman serta suka

menghukum, maka bagi mereka Allah adalah sosok yang menakutkan, mengancam

dan suka menghukum. Dengan cara tersebut pendamping, khususnya orang tua

mempersiapkan anak sejak dini dengan memperkuat iman mereka akan gambaran

Allah melalui hidup dan tindakan mereka sehari-hari (Crapps1993: 134-135).

Ciri ketiga dari agama pada masa kanak-kanak adalah “eksperimentasi

inisiatif, dan spontanitas”. Ciri ini muncul saat sosialisasi anak mulai berkembang.

Anak usia sekolah mulai bergabung dengan kelompok teman sebayanya maupun

umat sekitar untuk menghayati kebersamaan dan merayakan liturgi (Crapps1993:

134-135).

Saat anak berusia antara sembilan tahun, kebanyakan dari mereka mulai

menyukai cerita serta dongeng, terutama yang berbau mistis dan hebat, kesukan

mereka akan hal tersebut pun mulai menghilang saat mereka memasuki usia tiga

belas tahun. Rasa senang pada mereka akan cerita dan dongeng tersebut merupakan

pengaruh dari hayalan mereka yang besar sehingga hidup agama mereka memiliki

ciri “mistis lateral”. Pengertian mereka akan cerita tersebut membawa mereka pada

dua sisi, yaitu gaib-religius dan gaib-aneh (mustahil) oleh karena itu diperlukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22

pendampingan khusus dalam pemahaman mereka akan iman Kristiani (Crapps1993:

134-135).

Ciri ketiga dari agama masa kanak-kanak yang lain adalah daya fantasi anak

yang berkembang pesat, Ciri ketiga dari agama masa kanak-kanak ini dipengaruhi

oleh rasa ingin tahu yang besar. Hal itu terlihat dari kesenangan mereka melakukan

hal-hal yang muncul secara spontan. Dengan demikian anak mendapatkan

pemahaman yang lebih jelas tentang gambaran Allah ataupun ajaran tentang agama

yang telah mereka dapatkan, sehingga anak pun merasa yakin.

Dengan memahami ketiga ciri agama pada masa kanak-kanak tersebut,

hendaknya menyadarkan mereka yang bertanggung jawab dalam mengembangkan

iman anak, sehingga dapat melaksanakan pendampingan sesuai dengan

perkembangan anak. Selain itu harus ada kesadaran dari pendamping bahwa mereka

bukan hanya menghantar anak-anak, tapi harus ada tindakan yang menjadi teladan

bagi anak-anak, sehingga mereka semakin terbantu dalam memahami dan

menghayati iman mereka.

C. Iman

Iman adalah hubungan antara manusia dengan Allah yang menuju pada

keselamatan manusia. Bagi manusia iman menjadi sesuatu yang penting dalam

hidupnya yang dapat menuntun ke arah yang lebih baik, Sehingga dibutuhkan

pengalaman iman dalam hidup manusia, untuk itu perlu diketahui:


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23

1. Pengertian Iman Secara Umum

Pada permulaannya Allah telah mewahyukan diri-Nya kepada manusia

pertama lewat sejarah Adam dan Hawa yang terus berkembang lewat perkembangan

sejarah manusia sampai sekarang. Allah mewahyukan diri-Nya dalam alam semesta,

sejarah dan hidup manusia yang menggambarkan kebaikan Allah. Manusia

menanggapi kebaikan Allah yang ditunjukkan dengan kepercayaan akan kebenaran

wahyu tersebut yang sering juga kita sebut dengan iman. Beriman berarti

mengadakan hubungan pribadi dengan Allah lewat tindakan atau perbuatan yang

berasal dari hatinya. Manusia memiliki hubungan relasi dengan Allah bukan hanya

sekedar menerima kebenaran-Nya, akan tetapi menyerahkan hidup secara penuh

(Huijbers, 1985: 76-77).

Jika manusia percaya kepada Allah, maka manusia akan mengikuti

kehendak Allah yang membawanya datang kepada Allah itu sendiri. Kepercayaan

tersebut diyakini akan kehadiran Allah dalam hidup manusia, oleh karena itu

manusia menyadari bahwa Allah adalah sumber ”kebaikan”. Allah telah hadir untuk

manusia, sehingga manusia percaya bahwa tidak mungkin manusia dapat datang

kepada Allah dengan cara menguasai Allah, tetapi hanya dengan menyerahkan diri

seutuhnya pada Allah, maka manusia dapat bertemu Allah secara lebih dekat.

2. Pengertian Iman Kristiani

Iman merupakan jawaban manusia terhadap wahyu Allah, dalam iman

kristiani telah dinyatakan lewat pewahyuan Allah dalam diri Yesus Kristus, maka

dalam agama Kristiani diakui bahwa:


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24

a. Iman Sebagai Jawaban Manusia Terhadap Wahyu Allah

Allah mewahyukan diri-Nya kepada manusia lewat perjalanan sejarah

melalui perantaraan para nabi. Dan setelah berkali-kali mengalami kegagalan,

akhirnya Allah mengutus Putra-Nya (DV: art4).

Allah telah membuktikan kasih-Nya yang begitu besar dengan

melaksanakan janji-Nya melalui wahyu yang telah menjadi sejarah untuk

keselamatan bagi umat manusia. Dalam hal ini Allah menentukan manusia untuk

datang kepada Allah sebagai jawaban tawaran untuk memperoleh keselamatan dari

Allah. Jawaban manusia tersebut dilaksanakan melalui kepercayaan tentang

kebenaran wahyu Allah dalam diri Yesus Kristus.

Iman diungkapkan, dijalani dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari,

sehingga terbentuk suatu sikap yang lebih baik, lebih adil dan damai. Dengan

demikian terbentuk rasa persaudaraan yang berdasarkan cinta kasih Allah.

b. Iman Sebagai Penyerahan Diri Manusia Kepada Allah

Allah mewahyukan diri-Nya kepada manusia dengan maksud menampakkan

dan membuka Diri-Nya sendiri serta kehendak-Nya untuk menyelamatkan manusia

(DV: art 6). Kebaikan yang telah diberikan Allah kepada umat manusia tampak

dalam diri Yesus Kristus sebagai pemenuhan janji Allah. Yesus Kristus merupakan

pewahyuan Allah yang adalah perantara agar manusia dapat bersatu dengan Allah.

Allah telah begitu baik kepada manusia sehingga rela memberikan Putra tunggal-Nya

untuk menebus dosa manusia, oleh karna itu, manusia wajib membalas kebaikan

yang datang dari Allah melalui ketaatan iman dengan menyerahkan diri sepenuhnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25

kepada Allah (DV: art 4). Hendaknya segala tindakan dan perilaku yang dilakukan

manusia mencerminkan sebagai anak-anak Allah.

Manusia yang dengan suka rela memberikan dirinya kepda Allah sebagai

sebagai pernyataan iman dan kepercayaannya. Konsili Suci sendiri telah menegaskan

arti iman tersebut yang terungkap dalam Dokumen Konsili Vatikan II, yaitu

Dokumen tentang ”Wahyu Ilahi” (DV), art 5 yang berbunyi:

”Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan


”ketaatan iman” (Rom, 16:26; lih. Rom1:5; 2Kor. 10:5-6) demikian
manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan
mempersembahkan, ”ketaatan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya
kepada Allah yang mewahyukan” dan dengan secara sukarela menerima
sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya...”

Dari artikel diatas terlihat dengan jelas bahwa iman menurut agama katolik

memiliki arti yaitu ”persaudaraan yang erat dan mesra antara manusia dengan

Allah”, yang secara jelas tergambar dalam pribadi Yesus Kristus. Dengan

persaudaraan yang erat dan mesra antara manusia dengan Allah tersebut, manusia

dianggap menjadi bagian dari Kerajaan Allah, sehingga manusia dapat merasakan

cinta kasih serta kedamaian dalam kehidupannya.

D. Hal Ikhwal Tentang Pendampingan Iman Anak (PIA)

Yang dimaksud dengan hal ikhwal Pendampingan Iman Anak (PIA) adalah

segala sesuatu pengetahuan menyangkut keberadaan PIA yang terdiri dari.

1. Sejarah Pendampingan Iman Anak (PIA)

PIA merupakan singkatan dari Pendampingan Iman Anak yang juga biasa

disebut Sekolah Minggu. Asal kata Sekolah Minggu berasal dari bahasa Inggris

Sunday School yang berarti Sunday adalah hari pertama dalam minggu yang juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26

merupakan hari istirahat dan hari ibadah bagi orang Kristen, sedangkan School

artinya suatu lembaga formal yang menangani soal pendidikan Sunday school dan

merupakan suatu kegiatan yang dihadiri oleh anak-anak dan pelaksanaannya

berlangsung di Gereja dengan bertujuan untuk mengikuti pelajaran agama (Kursus

PIA, 2001: 8).

Sekolah Minggu yang pertama dilakukan oleh Robert Raikes yang lahir di

Inggris pada tanggal 14 September 1735. Dalam kesehariannya Robert suka

menolong orang-orang yang miskin dan berada di penjara, ia mengupayakan dana

untuk menolong orang-orang yang ada di penjara bagi peningkatan kondisi kesehatan

dan perlakuan yang lebih manusiawi serta mengadakan pembinaan bagi mereka

semua yang ada di dalam penjara. Robert melihat bahwa tindak kejahatan yang

terjadi dikarnakan rendahnya pendidikan. Saat itu Sekolah yang tersedia hanya

diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai dana untuk biaya sekolah, sehingga

anak-anak yang tidak mendapatkan pendidikan menjadi liar, bertindak semaunya dan

melakukan tindakan kejahatan. Sedangkan orang tua harus bekerja 6 hari dalam

seminggu, dan hanya memiliki waktu libur pada hari Minggu sehingga perhatian

serta pendidikan bagi anak-anak kurang begitu diperhatikan. melihat kondisi yang

terjadi, Robert merasa prihatin dan mencoba untuk mengumpulkan anak-anak miskin

khususnya bagi mereka yang tidak bersekolah di hari Minggu. Robert

mengumpulkan anak-anak di Gereja dan mengajarkan mereka berbagai hal salah

satunya adalah pelajaran agama, selain itu robert juga mjengajarkan anak-anak

menulis dan membaca. Dengan apa yang dilakukan oleh Robert, Banyak orang

tertarik dan mendukung usahanya. Selain itu Robert juga menggunakan rumahnya

sebagai tempat belajar dan Robert juga mencari seorang guru wanita untuk mengajar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27

anak-anak itu pada hari Minggu. Sekolah Minggu terus berjalan dan tiga tahun

kemudian di berbagai tempat juga diadakan Sekolah Minggu lain dengan model yang

sama seperti yang dilakukan oleh Robert Raikes. Bertahun-tahun kemudian, kegiatan

ini berkembang menjadi sekolah yang dilakukan setiap hari dengan cuma-cuma bagi

anak-anak yang miskin (Kadarmanto, 2004: 26).

Lewat tradisi yang di laksanakan oleh agama Yahudi, anak-anak yang

berusia 4 tahun sudah mulai dibawa orang tuanya ke Sinagoga untuk belajar dan

beribadah. Karena bagi orang-orang Yahudi pendidikan agama bagi anak-anak

mereka amatlah penting dan harus dimulai sejak dini. Mereka mempersiapkan anak-

anak mereka agar pada usia 5 sampai 6 tahun dapat mengikuti pelajaran agama

mengenai Kitab Suci. Selain itu setiap anak yang sudah lancar berbicara, maka anak

tersebut harus menghafal bagian pertama kalimat Shema dari Kitab Ulangan. Bangsa

umat Israel, mengajarkan pendidikan agama untuk anak-anak mereka sedini mungkin

amatlah penting, karna secara religius anak adalah pewaris perjanjian, Taurad dan

tanah perjanjian dari Tuhan. Kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA) pertama kali

pun sudah ada sejak zaman kehidupan Yesus, namun belum bisa disebut sebagai

kegiatan Kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA).

Menurut Ruth S. Kadarmanto, M.A.

Bagi Yesus anak-anak memiliki nilai yang sama dengan para orang dewasa
(Mark, 10:13-16). Yesus justru memanggil anak-anak itu ketika orang
dewasa melarang anak-anak datang pada Yesus, dan Ia berkata: ”Biarkan
anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab
orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Aku berkata
kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa yang tidak menyambut Kerajaan
Allah seperti seorang anak kecil ia tidak akan masuk ke dalamnya”

Mark 10:13-16 menceritakan bahwa Yesus memarahi murid-murid-Nya

melarang anak-anak untuk datang kepada-Nya. Pada zaman penganiayaan tidak ada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28

cerita mengenai keberadaan Pendampingan Iman Anak (PIA), tetapi Gereja tetap

bertahan selama ± 300 tahun dan menunjukkan bahwa generasi penerus Gereja terus

berlangsung dengan sembunyi-sembunyi dalam melaksanakan Pendampingan Iman

Anak (PIA). Dan setelah perjanjian Milan umat Kristen mulai memperoleh

kebebasan beragama, perhatian terhadap pendidikan iman anak mulai nampak dan

dilaksanakan secara terbuka. Hak dalam mendidika anak dipegang penuh oleh

keluarga sekitar abad pertengahan (VI-XVI). Hal ini dikarnakan keluarga merupakan

tempat pertama dan utama dalam tumbuh dan kembangnya iman anak dalam hal ini

Gereja juga tidak lepas tangan. Pada tahun 1536 Gereja mulai mendirikan sekolah-

sekolah minggu, bahkan kemudian menerbitkan Katekismus Anak-Anak. Tokohnya

ialah St. Petrus Kanisius.

Dengan berkembangnya jaman menyadarkan Gereja untuk tetap

memperhatikan perkembangan iman anak. Dan pada tahun 1905 Paus Pius X dengan

Surat Anjuran Acerbo Nimis meminta perhatian Gereja kepada anak-anak secara

khusus minimal satu jam per minggu. Begitu pentingnya pembinaan iman anak

sampai anjuran ini dipertegas menjadi sebuah syarat untuk menerima Sakramen

Pengampunan. Pada akhir tahun 1981, Paus Yohanes II menulis Surat Anjuran

Keluarga (Familiaris Consortio) menekankan kembali peran orang tua dalam

mendidik iman anak-anaknya (Panduan Calon Pendamping PIA, 2003: 17).

Di Indonesia sendiri pertama-tama dipelopori oleh Gereja Kristen Protestan

dengan nama Sekolah Minggu. Kegiatan ini dilakukan untuk membina iman anak

yang sudah berlangsung sejak sebelum tahun 1965 yaitu sebagai lembaga resmi

seperti sekolah yang lain, peserta juga tidak terbatas pada anak yang belum di baptis.

Usaha Gereja Kristen ini menggelitik Gereja Katolik Malang untuk memulai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29

pelayanan iman bagi anak-anak yang dikenal dengan sebutan Sekolah Minggu,

pertemuan itu terus berlangsung secara rutin sejak tahun 1972.

Sekarang dengan berbagai keadaan yang ada kegiatan PIA dalam Gereja

Katolik telah berkembang di seluruh Indonesia dengan berbagai nama pula: Sekolah

Minggu, Bina Iman Anak, Minggu Gembira, Temu Minggu, Taman Tunas Iman dan

lain-lain (Kursus PIA, 2001: 8).

2. Kekhasan, Dasar dan Tujuan Pendampingan Iman Anak (PIA)

Pendampingan PIA merupakan kegiatan pendampingan iman anak-anak dan

mempunyai beberapa hal yang perlu diperhatikan. Adapun beberapa hal tersebut

dapat dirinci sebagai berikut:

a Kekhasan Pendampingan Iman Anak (PIA)

Anak merupakan pribadi yang memiliki ciri khusus dan tentunya sangat

berbeda dengan orang dewasa. Anak juga merupakan anggota Gereja yang

diselamatkan oleh Allah. Anak menerima rahmat Allah yang adalah iman pada saat

anak dibaptis. ”Maka anak-anak sudah sejak dini harus diajar mengenal Allah serta

berbakti kepada-Nya dan mengasihi sesama, seturut iman yang telah mereka terima

saat di baptis. Di situlah anak-anak menemukan pengalaman pertama masyarakat

manusia yang sehat serta Gereja” (GE, art.3) oleh karena itu meskipun anak masih

kecil, namun mereka memiliki hak yang sama dengan kaum muda untuk bersama-

sama mengembangkan iman. Dalam hal ini maka, gereja mengusahakan dan mulai

mengadakan kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA) yang tentunya dikhususkan

bagi anak-anak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30

Pendampingan Iman Anak (PIA) adalah salah satu bentuk pendampingan

untuk membimbing dan mengembangkan hidup anak, terutama dalam hidup

beriman. Anak-anak yang mengikuti kegiatan Pendampinga Iman Anak (PIA) pada

umumnya berusia antara 5-13 tahun, yang diikuti oleh anak-anak yang beragama

katolik yang tentunya sudah dibaptis. Pelaksanaan Pendampingan Iman Anak (PIA)

dilakukan di luar kegiatan jam Sekolah, kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada hari

Minggu dengan lama waktu pendampingan antara satu sampai dengan dua jam.

Melalui kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA), anak dibentuk untuk

mengembangkan dirinya, selain itu dalam suasana yang menggembirakan anak juga

dapat belajar menjalin hubungan yang baik dengan teman-teman sebayanya. Satu hal

yang perlu disadari oleh seorang pendamping adalah bahwa pendamping PIA

hanyalah berperan sebagai pembantu orang tua, di mana orang tua merupakan

pendidik utama dan pertama yang bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan

anak mereka. Dengan demikian perlu ada hubungan relasi serta kerja sama yang baik

antara orang tua dan pendamping.

b. Dasar Pendampingan Iman Anak (PIA)

Pendampingan Iman Anak (PIA) adalah suatu bentuk usaha untuk

mengembangkan iman anak, yang pada dasarnya merupakan tanggung jawab orang

tua sebagai pendidik utama dan pertama, tetapi orang tua juga membutuhkan bantuan

dari orang lain untuk mendidik anak-anak mereka. Gereja sendiri melihat bahwa

kehidupan kaum muda dan anak-anak sangat memprihatinkan, hal ini mendorong

Gereja membentuk kelompok untuk memberikan pendampingan iman bagi anak-

anak, sehingga iman dalam diri anak semakin diperkuat.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31

Terlaksananya pendampingan iman anak sendiri didasarkan pada perintah

dan beberapa keprihatinan Gereja maupun Kristus sendiri. Dasar-dasar tersebut

antara lain:

1) Dasar Biblis/Kitab Suci

Pendampingan iman anak merupakan cita-cita yang dikehendak Kristus

sendiri yang telah dituliskan dalam kitab suci. Antara lain seperti kita temukan dalam

injil Yoh 21:15-16, yang berbunyi:

”Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: ”Simon anak


Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” jawab
Petrus kepada-Nya: ”Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi
Engkau.” Kata Yesus kepadanya: ”Gembalakanlah domba-domba-Ku”....”

Teks tersebut di atas mau mengatakan suatu permintaan yang Yesus katakan

kepada Petrus sebelum Ia naik ke Surga, untuk menggembalakan umat-Nya agar

tetap setia kepada Kristus Sang Mesias.

Dari apa yang telah diperintahkan Yesus tersebut. Gereja yang di pimpin

oleh Paus meneruskan tugas Petrus, yaitu mengembalakan umat beriman Kristiani

melalui berbagai karya pastoral. Dan salah satu karya tersebut adalah katekese, yaitu

pewartaan tentang kabar gembira bagi semua orang agar mendapatkan keselamatan

yang datang dari pada Allah sendiri.

Pendampingan Iman Anak (PIA) merupakan salah satu karya katekese yang

diperuntukkan bagi anak-anak, agar anak-anak mengalami perkembangan dalam

imannya. Gereja secara khusus memberi perhatian bagi perkembangan iman anak-

anak, karena hal ini sesuai dengan kehendak Kristus sendiri yang juga tertulis di

dalam Injil Luk 18:15-17. yang berbunyi:


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32

”Maka datanglah orang-orang membawa anak-anaknya yang kecil kepada


Yesus, supaya Ia menjamah mereka. Melihat itu murid-murid-Nya
memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus memanggil mereka dan berkata:
”Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu
menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang
empunya Kerajaan Allah. Aku berkata kepadamu: sesungguhnya barang
siapa tidak menyambut Kerejaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak
akan masuk kedalamnya”

Dalam teks tersebut di atas mengungkapkan sikap Yesus terhadap anak-

anak. Yesus mencintai anak-anak, sehingga Ia membiarkan anak-anak datang pada-

Nya. Begitu istimewanya anak-anak di hadapan Yesus bahkan Yesus menganggap

mereka sebagai empunya Kerajaan Allah. Perhatian yang diberikan Yesus terhadap

anak-anak seperti inilah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan pendampingan iman

anak (PIA) sebagai suatu kegiatan yang memang diperuntukkan bagi anak-anak

untuk membina dan mengembangkan iman mereka. Dengan kata lain teks ini

mengajak kita sebagai umat beriman untuk memperhatikan khususnya

perkembangan iman bagi anak-anak.

2) Dasar Dokumen Gereja

Pendampingan Iman Anak (PIA) merupakan salah satu cara Gereja untuk

mengembangkan iman anak yang merupakan bentuk keprihatinan Gereja bagi

perkembangan iman anak-anak. Dalam dokumen-dokumen Gereja ditegaskan

pentingnya pendampingan iman bagi anak-anak, hal tersebut dapat kita temukan

dalam Ajaran Gereja tentang Pendidikan Kristen dalam Dokumen Konsili Vatikan II.

Dalam dokumen itu dinyatakan:

Konsili Vatikan mengungkapkan keprihatinan Gereja terhadap kehidupan

beriman anak-anak dan kaum muda terhadap perkembangan zaman yang terus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33

mengalami perubahan. Sehingga anak-anak dan kaum muda dapat belajar

menghargai dan mendengar suara hatinya. Dalam hal ini umat Kristen diajak untuk

bersama-sama memberikan perhatian kepada mereka supaya anak-anak menerima

pendidikan serta pengajaran yang pantas.

Dokumen ini berisikan tentang ajakan Gereja kepada mereka yang

bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anak dan kaum muda untuk

mengusahakan dengan berbagai macam cara dan sarana dalam mendampingi anak-

anak dan kaum muda.

Dalam pedoman umum katekese (DCG art. 79) menegaskan bahwa masa

kanak-kanak merupakan masa dimana mereka pertama kali masuk dalam lingkungan

sekolah dan masyarakat. Sehingga anak perlu mendapatkan pendampingan secara

khusus bagi perkembangan iman mereka. Keluarga merupakan tempat pertama untuk

memperkenalkan anak dengan Allah sehingga memunculkan kesadaran anak akan

hidup beriman dan menggereja.

Pada masa sekolah, anak mulai bersikap kritis terhadap sesuatu yang baru,

maka katekese yang harusnya diberikan hendaknya menyesuaikan dengan

perkembangan mereka, sehingga anak berkembang secara seimbang. Anak dalam

hidup beriman mencoba mempertanggungjawabkan imannya seperti orang dewasa

(DCG, 1971: art 79), maka dalam Pendampingan Iman Anak (PIA), seorang

pendamping perlu memiliki sikap yang menjadi teladan bagi kehidupan anak yang

didampingi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34

3) Dasar Teologis

Pendampingan Iman Anak (PIA) dalam Gereja Katolik selain didasari pada

perintahYesus yang juga terdapat di dalam injil, juga didasarkan pada ajaran-ajaran

gereja yang mendasari iman Kristiani. Secara dogmatis iman Kristiani mengakui

bahwa beriman merupakan hubungan relasi secara pribadi dengan Allah. Relasi

pribadi tersebut merupakan tanggapan manusia terhadap wahyu Allah yang telah

dilaksanakan oleh Allah sendiri lewat sejarah. Karya pewahyuan Allah ini diwujud

nyatakan melalui Pribadi Yesus yang menjelma menjadi manusia sebagai pemenuhan

janji Allah kepada umat-Nya (DV, 1993: art 4).

Dalam hal ini Gereja bertanggung jawab bagi pelaksanaan Pendampingan

Iman Anak (PIA). Secara dokmatis gereja dalam iman Kristiani diakui sebagai tubuh

mistik Kristus. Kristus hadir untuk menebus dan menyelamatkan manusia sehingga

manusia dapat bersatu dengan Bapa.

Ajaran agama Kristiani memberikan kebebasan dalam menjalankan hidup

beriman. Hal tersebut mendasari proses kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA)

dengan didampingi oleh seorang pendamping yang berperan sebagai penolong dan

pendorong bagi anak untuk mengembangkan iman mereka. Karena pada

kenyataannya, seorang anak membutuhkan seorang pendamping yang berperan

sebagai pengganti orang tua untuk mendampingi mereka dalam mengembangkan

iman dan kepribadiannya.

4) Dasar Psikologis

Masa kanak-kanak adalah masa di mana mereka mulai dibentuk

kepribadiannya. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar sehingga hal-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35

hal baru yang datang dari luar, dengan gampang dapat mempengaruhi kehidupan

mereka. Namun disisi lain anak belum cukup kuat dan mandiri, anak masih perlu

didampingi oleh seseorang yang sudah dewasa untuk mengembangkan diri dan

mencapai kedewasaannya. Dalam hal ini seorang pendamping dituntut memiliki

kesabaran serta mampu melaksanakan pendampingan yang mempunyai ciri khas,

sehingga anak dengan senang hati mau dibimbing dan menghormati seorang

pendamping karna kewibawaannya (Hurlock, 1991: 25).

c. Tujuan Pendampingan Iman Anak (PIA)

Pendampingan Iman Anak (PIA) merupakan suatu kegiatan yang ada dalam

Gereja Katolik sebagai yang merupakan bentuk katekese yang diperuntukkan bagi

anak-anak, karena dalam Pendampingan Iman Anak (PIA) ditumuhkan pengertian

tentang misteri Kristus dalam cahaya firman Allah (CT,1979: art. 20). Agar iman

setiap anak semakin berkembang dan membentuk kepribadian yang mencerminkan

sebagai anak-anak Allah.

Tujuan PIA adalah agar anak-anak memiliki sikap iman Kristiani dan

bangga atas iman mereka, memiliki wawasan yang luas akan iman sesuai umur

mereka sehingga mereka dapat mengungkapkan dan mewujudkan imannya itu dalam

hidup sehari-hari sesuai umur mereka pula (Kursus PIA, 2001: 9).

Tujuan Pendampingan Iman Anak (PIA) adalah pembinaan iman anak

dalam rangka membantu orang tua Kristiani dalam usaha menciptakan dan

membimbing anak-anak yang sedang berkembang menuju kedewasaan dalam iman

maupun dalam kepribadiannya. Anak diharapkan memperoleh pengertian baru,


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36

mempunyai sikap baru dan bertingkah laku sesuai dengan imannya (Goretti, 1999:

17).

3. Ciri Khas Pendampingan Iman Anak (PIA)

Peserta Pendampingan Iman Anak (PIA) biasanya berusia antara 5-13 tahun

(TK-SLTP Kelas I). Kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA) ini mempunyai ciri

khusus yang berbeda dari sekolah formal. Perbedaan ini lebih cenderung pada

suasana yang diciptakan dalam kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA). Oleh

karena itu seorang Pendamping PIA perlu memperhatikan ciri-ciri yang khas yaitu:

Santai-Santai – Mendalam.

a. Santai

1) Gembira

Kegembiraan adalah ciri dari pendampingan PIA dan kegembiraan sangat

identik dengan anak-anak, dimana ada anak-anak maka disitu ada suasana gembira.

Anak-anak dapat merasakan kegembiraan bila mereka berkumpul bersama teman-

temannya, maka kegembiraan ini tidak boleh diabaikan dalam pendampingan, agar

kegiatan tersebut tidak ditinggalkan oleh peserta Pendampingan Iman Anak PIA.

Maka seorang pendamping PIA hendaknya dapat menciptakan suasana gembira.

Seorang pendamping yang memiliki pribadi yang menarik akan dapat membawa

suasana gembira bagi anak-anak peserta PIA sehingga anak-anak dapat merasakan

kegembiraan itu. Suasana hati dan pribadi pendamping serta acara yang menarik

yang disajikan dalam pendampingan PIA akan sangat membantu untuk menimbulkan

minat aktif anak datang pada kegiatan Pendampingan Iman Anak (Goretti, 1999: 19).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37

2) Bebas

Dalam pelaksanaan Pendampingan Iman Anak (PIA) bersifat bebas. Bebas

yang dimaksut bukan berarti anak-anak menjadi bebas tanpa kendali dan melakukan

apa saja yang mereka mau lakukan, akan tetapi anak-anak dapat secara bebas ikut

kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA) tanpa merasa ada paksaan ataupun ikatan

yang memaksa dalam kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA). Kegiatan

Pendampingan Iman Anak (PIA) ingin menjauhkan anak-anak dari rasa terpaksa dan

takut seperti absen, tes, nilai dan sanksi dalam pendampingan Iman Anak (PIA).

Justru dengan kemauan yang muncul secara bebas dari anak Pendampingan Iman

Anak (PIA) dapat berjalan terarah pada tujuannya yaitu membina iman anak.

Kehadiran anak dalam Pendampingan Iman Anak (PIA) harus dirasakan oleh setiap

anak, karena senang dan rindu untuk berjumpa dan berkumpul bersama taman-teman

yang ada di dalam Pendampinga Iman Anak (PIA). Pendamping PIA juga perlu

menciptakan suasana kasih yang penuh persaudaraan agar anak-anak selalu ingin

hadir dalam pertemuan Pendampingan Iman Anak (PIA) sehingga kebebasan tercipta

dalam Pendampingan Iman Anak (Goretti, 1999: 19).

3) Bermain

Menurut Prof. Dr. Conny R. Semiawan

Bagi anak, bermain adalah suatu kegiatan yang serius, namun mengasyikan.
Bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak, karena
menyenangkan bukan karena akan memperoleh hadiah atau pujian. Bermain
adalah salah satu alat utama yang menjadi latihan untuk pertumbuhannya.
Bermain adalah medium, di mana si anak mencobakan diri, bukan saja
dalam fantasinya tetapi juga benar nyata secara aktif
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38

Kegiatan bermain tidak dapat dipisahkan dari anak-anak. Anak usia 5-13

tahun masih senang bermain-main. Karena dengan bermain akan meningkatkan

kreatifitas dan memperluas wawasan anak. Ada kepuasan yang mereka rasakan lewat

bermain. Oleh karena itu dalam Pendampingan Iman Anak (PIA) permainan yang

mengembirakan harus ada. Dengan bermain dan melalui suatu bentuk permainan

yang menggembirakan, anak dapat berkembang kebutuhannya baik sosial, emosional

dan identitas dirinya (Goretti, 1999: 19).

b. Mendalam

1). Berpola Pada Yesus Kristus

Yesus Kristus merupakan pusat kehidupan bagi orang Kristiani. Oleh karna

itu dalam usaha pembinaan iman dan pengembangan iman harus bersumber pada-

Nya. Artinya kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA) sebagai kegiatan bina iman

anak haruslah dilaksanakan atas dasar Yesus Kristus dan mengajak semua anak yang

didampingi untuk semakin beriman kepada-Nya, untuk mengenal Yesus semakin

dalam dan hidup sesuai dengan kehendak-Nya (Kursus PIA, 2001:12).

2). Menjemaat

Beriman merupakan hubungan yang terjalin secara pribadi antara manusia

dengan Allah, pada kenyataannya hidup beriman tidak mungkin dilaksanakan

seorang diri, karena iman akan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan bersama

orang lain. Yang artinya seseorang perlu menggabungkan diri dengan kelompok

jemaat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39

Dalam kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA), anak-anak dilatih belajar

dan saling berkomunikasi dengan teman-temannya. Dengan kebiasaan yang

demikian, anak terbiasa hidup bersama dengan jemaat. Pengalaman ini diharapkan

dapat menumbuhkan minat mereka terhadap lingkungan Gereja dan masyarakat di

mana seorang anak tinggal (Kursus PIA, 2001: 12).

3). Terbuka

Dalam kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA), berusaha untuk

menciptakan suasana keterbukaan bagi peserta Pendampingan Iman Anak (PIA).

Keterbukaan dalam Pendampingan Iman Anak (PIA) nampak dari situasi pesertanya.

Bahwa peserta Pendampingan Iman Anak (PIA) tidak hanya terbatas pada anak yang

sudah dibaptis, melainkan terbuka bagi anak-anak yang belum dibaptis pula (Kursus

PIA, 2001: 12).

4. Spiritualitas Pendampingan Iman Anak (PIA)

Kata Spiritualitas berhubungan dengan kata spirit yang berarti roh atau

semangat yang merupakan daya kekuatan untuk menggerakkan seseorang untuk

bertindak demi mewujudkan cita-cita yang luhur, dalam hal ini cita-cita untuk

mewujudkan perkembangan kehidupan beriman orang lain dan imannya sendiri.

Spiritualitas yang harus dimiliki seorang pendamping PIA antara lain:

a. Kerendahan Hati

Kerendahan hati atau dengan kata lain merasul¸dalam arti bahwa sebagai

seorang pendamping PIA hendaknya memiliki sikap rendah hati di hadapan anak-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40

anak, tidak bersikap menggurui menguasai, tetapi bersikap seperti teladan Yesus

Kristus yang berkenan menghidupkan, membebaskan dan menyelamatkan manusia

(Panduan Calon Pendamping PIA, 2003: 28).

b. Beriman Dewasa

Beriman dewasa artinya memiliki keyakinan mendalam akan cinta kasih

Allah yang menyelamatkan manusia melalui Yesus Kristus, dan mampu menghayati

imannya dalam situasi apapun juga serta mampu memberikan seluruh hidupnya demi

keselamatan orang banyak (Panduan Calon Pendamping PIA, 2003: 28).

c. Kristosentris

Yang dimaksud Kristosentris artinya seluruh hidup berpusat pada Kristus,

seorang pendamping hendaknya terus menerus menimba kekuatan inspirasi dan nilai-

nilai hidup Kristus untuk ditularkan pada anak-anak yang didampingi (Panduan

Calon Pendamping PIA, 2003: 28).

d. Keterbukaan

Mampu menciptakan hubungan akrab dengan anak-anaknya, mampu

memahami situasi masing-masing anak dan kehidupan mereka. (dicintai, dilindungi,

diperhatikan, dimanja, dan seterusnya.) (Panduan Calon Pendamping PIA, 2003: 28).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41

e. Kerjasama dan saling melengkapi

Pendamping hendaknya mau dan mampu menjalin kerjasama dengan orang

lain (sesama pendamping) agar dapat saling melengkapi dalam usaha mencapai

tujuan yang diharapkan Gereja (Panduan Calon Pendamping PIA, 2003: 28).

f. Mencintai Kitab Suci

Seorang Pendamping PIA hendaknya akrab dengan Kitab Suci. Dengan

membaca, merenungkan dan menggali sabda Allah terus menerus diharapkan

pengalaman iman dalam Kitab Suci sunggu mempengaruhi hidup pendamping dalam

mendampingi hidup anak-anak, sehingga pendamping tidak hanya sekedar membagi

pengetahuan tentang kitab Suci (Panduan Calon Pendamping PIA, 2003: 28)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42

BAB III

POLA NARATIF EKSPERIENSIAL

A. Latar Belakang Munculnya Pola Naratif Eksperiensial

Munculnya Pola Naratif Eksperiensial tidak diketahui secara pasti kapan

waktu (tanggal, bulan dan tahun) dimulainya. Pada zaman dahulu disaat orang belum

mengenal budaya tulis menulis, orang masih menggunakan cerita untuk

menyampaikan hal-hal penting kepada banyak orang. Misalnya peraturan-peraturan,

upacara-upacaran dan lain sebagainya. Seiring dengan perkembangan zaman, budaya

cerita mulai tergeser dengan tumbuh dan berkembangnya budaya tulis (Komkat KWI

,1994: 2).

Dalam mewartakan Kerajaan Allah pada awal karya-Nya, Yesus juga

menerapkan Pola Naratif Eksperiensial. Yaitu mengunakan cerita/perumpamaan

dalam menyampaikan ajaran-ajarannya kepada para pendengarnya yang dilakukan di

daerah Galilea dan sekitarnya. Hal ini ditegaskan dalam Injil Matius “Semuanya itu

disampaikan Yesus kepada orang banyak dalam perumpaman, dan tanpa

perumpamaan satupun tidak disampaikanNya kepada mereka (Mat 13: 34).

Cerita/perumpamaan yang disampaikan Yesus itu sangat menarik, sehingga banyak

orang yang datang untuk mendengarkan-Nya. Melalui perumpamaan dan cerita,

pendengar dapat dengan mudah menangkap pesan yang hendak di sampaikan Yesus

tentang Rahasia Kerajaan Allah. Di dalam Injil Markus juga menjelaskan tentang

perumpamaan “Dalam banyak perumpamaan yang semacam itu Ia memberikan

Firman kepada mereka sesuai dengan pengertian mereka dan tanpa perumpaman Ia

tidak berkata-kata kepada mereka, tetapi kepada murid-murid-Nya Ia menguraikan


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43

segala sesuatu secara tersendiri” (Mrk 4:33-34). Melalui perumpamaan Yesus

berharap, agar apa yang telah disampaikan-Nya diingat secara keseluruhan oleh

pendengar. Sehingga pendengar dapat menarik kesimpulan dari cerita/perumpamaan

yang di sampaikan Yesus. Pola Naratif Eksperiensial yang digunakan Yesus dalam

bentuk cerita/perumpamaan merupakan cara yang sangat cocok untuk

menyampaikan rahasia Kerajaan Allah.

Yesus Kristus dalam melaksanakan karya-Nya, menggunakan perumpamaan

dalam bentuk cerita yang tentunya tidak secara langsung didapat begitu saja.

Kehidupan Yesus pada masa kecil tentunya tidak jauh berbeda dengan kehidupan

anak-anak pada umumnya, dibesarkan dengan cerita dongeng dari orang tua-Nya.

Cerita-cerita itu ada hubungannya dengan cerita tentang kasih sayang bapak kepada

anaknya yang terdapat dalam injil Luk 15: 11-23 yaitu “Perumpamaan tentang anak

yang hilang”, cerita tentang sepuluh gadis – lima yang bijak dan lima yang bodoh –

disuatu pesta perkawinan yang terdapat di dalam Injil Mat 25:1-13. Perumpamaan

tentang Perjamuan perkawinan terdapat di dalam Injil Mat 22: 1-14 dan lain

sebagainya. Selain itu perumpamaan tentang alam sekitar tidak lepas dari perhatian

Yesus antara lain dijelaskan di dalam Mat 13:1-23 yaitu perumpamaan tentang

seorang penabur. “Perumpamaan tentang ladang diantara gandum” terdapat di dalam

injil Mat 13:31-35, “Perumpamaan tentang pohon ara yang sudah kering” terdapat di

dalam injil Mrk 11: 20-26 dan masih banyak lagi perumpamaan yang diceritakan

Yesus dalam karya-Nya untuk mewartakan Kerajaan Allah. Pendengar mudah

menangkap cerita/perumpamaan, karena Yesus mengambil cerita/perumpamaan dari

alam sekitar. Yesus begitu pandai mengolah cerita dan bercerita. Cerita yang pernah

didengar-Nya dari ibu-Nya dan apa yang ada di lingkungan sekitar-Nya


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44

dimanfaatkan menjadi perumpamaan-perumpamaan tentang Kerajaan Allah dan

kehidupan manusia. Allah dan manusia bertemu dalam kisah-kisah perumpamaan

yang disampaikan Yesus bahkan kehidupan Yesus sendiri adalah cerita (Song,

1989:X).

B. Pengertian Pola Naratif Ekspriensial

Pelaksanaan kegiatan Pendampingan Iman Anak (PIA) merupakan salah

satu bentuk komunikasi iman. Yaitu pengalaman iman yang diungkapkan lewat

perbuatan dan tindakan secara khusus dan eksplisit yang bertujuan untuk

mengekspresikan dan menyatakan iman. Tentunya hal ini adalah bagian dari

komunikasi iman yang mengandung unsur penghayatan iman (Jacob, 1992:57).

Dalam komunikasi iman diperlukan sarana, salah satu sarananya adalah

bahan. Bahan ini bukan bahan mati dalam komunikasi iman, banah menjadi partner

dialog yang bersaksi. Agar bahan menjadi partner dialog yang hidup, menarik dan

tidak memaksa, maka bahan perlu diolah dalam bentuk cerita. Melalui cerita, anak

dapat mengekspresikan dan menyatakan iman dalam bentuk cerita pengalaman.

Dengan demikian, dalam menyampaikan cerita dibutuhkan pola yaitu pola yang

bersifat Naratif Eksperiensial. Dimana pengertian dari pola naratif-eksperiensial

adalah pola cerita pengalaman. Naratif berarti bahan yang diceritakan (narasi)

sedangkan partner yang bersaksi mengenai pengalaman serta penghayatan iman

(ekspriensi). Komunikasi tersebut berawal dari dan menuju ke pengalaman dan

penghayatan (eksperiensi) sehari-hari anak (Jacob, 1992:10-11).

Istilah naratif eksperiensial berasal dari dua kata bahasa asing dengan

memiliki arti yang berbeda. Narrative berasal dari kata “narration” yang berarti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45

cerita dan eksperiensial berasal dari kata “experience” yang berarti pengalaman.

Dalam hal ini naratif eksperiensial dimaksudkan sebagai yang bersifat cerita dan

bersifat pengalaman. “Naratif” menunjukkan bahwa pola tersebut berdasarkan cerita,

sedangkan kata “eksperiensial” menunjukkan hubungan dengan pengalaman. Di

dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata “pengalaman” mau menunjukkan

sesuatu peristiwa yang sudah pernah terjadi dalam kehidupan nyata. (Tim Penyusun

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 234)

Menurut Ruedi Hofmann (1994: 1)

dalam kurikulum 1994 untuk pendidikan agama katolik di Indonesia


dimana digunakan pola kegiatan komunikasi iman yang bersifat “naratif
eksperiensial”. “Naratif” berarti pola tersebut berdasarkan cerita, sedangkan
kata “Eksperensial” menunjukkan pada hubungannya dengan pengalaman.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dengan pola “naratif-eksperensial”
kita harapkan umat kita akan memperoleh cerita yang berhubungan dengan
pengalamannya sendiri.

Dari pernyataan di atas dijelaskan bahwa “Naratif” adalah cerita, sedangkan

“Eksperiensial” adalah pengalaman. Oleh karna itu pengertian dari Naratif

Eksperiensial adalah cerita pengalaman. Cerita pengalaman bisa berupa cerita

pengalaman hidup, cerita sejarah, kisah, tradisi. Menurut Tom Jacob, dkk (1992: 12)

di dalam bukunya Silabus Pendidikan Agama Katolik pola komunikasi naratif

eksperiensial dapat digambarkan sebagai berikut.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46

BAHAN CERITA SITUASI HIDUP


DIALAMI BERSAMA

KOMUNIKASI
NARATIF-
EKSPERIENSIAL

Guru

Obyektif
Subyektif

Murid Murid

Dari skema tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

 Cerita sebagai bahan untuk didalami dan diolah bersama, cerita tersebut bisa

berasal dari cerita Kitab Suci, Cerita rakyat maupun cerita kehidupan.

 Cerita dihubungkan dengan pengalaman situasi konkrit kehidupan peserta PIA

sehari-hari.

 Pendamping PIA sebagai fasilitator membangun suasana yang akrab untuk

menggali, mengolah, mencari, dan menemukan makna dalam cerita tersebut

dengan melibatkan seluruh peserta PIA. Dalam proses penemuan makna cerita

pendamping PIA tidak memberikan kesimpulan, namun masing-masing peserta

didik membuat kesimpulan sendiri sesuai dengan kemampuan menangkap dan

mencerna cerita tersebut dengan bantuan dan bimbingan pendamping PIA.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47

 Dalam hal komunikasi hendaknya selalu diingat juga segi onyektif dan

subyektifnya, sehingga membuat kerangka berfikir menjadi utuh. Misalnya ada

sebuah bahan (cerita) dilihat dari segi obyektif: berbicara mengenai tradisi dan

situasi dalan sejarah Italia pada abad 12, dan segi subyektifnya: mengenai

tanggapan iman Fransiskus dari Asisi.

C. Tujuan Pola Naratif Eksperiensial

Tujuan dari cerita adalah agar setiap orang yang mendengarkan cerita dapat

mengalami perubahan melalui tindakan, Pola Naratif Eksperiensial hendak

menumbuhkan suatu sikap untuk bertindak. Dengan demikian cerita yang

disampaikan dimaksudkan agar dimiliki oleh pendengar sehingga pendengar terbuka

pikirannya untuk memikirkannya lalu terdorong untuk bertindak yang lebih baik

(Komkat KWI, 1994:39). Pada umumnya cerita mempunyai maksud dan tujuan yang

berbeda-beda. Dengan mendengarkan cerita akan dapat menimbulkan perasaan

senang karena pendengar merasa terhibur oleh cerita yang disampaikan. Cerita juga

dapat mengubah perilaku seseorang sehingga mengalami pertobatan. Misalnya cerita

yang disampaikan nabi Natan kepada Daud.

D. Manfaat Pola Naratif Eksperiensial

Mendengarkan cerita pada umumnya sangat disukai banyak orang dari

berbagai kalangan, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Dengan

mendengarkan cerita mereka tidak merasa digurui, didikte dengan suatu ajaran-

ajaran yang baru, justru pendengar diberi kebebasan untuk menarik kesimpulan

sendiri mengenai nilai-nilai yang terkandung di dalam cerita. Bagi anak-anak


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48

Pendampingan Iman Anak (PIA) mendengarkan sebuah cerita sudah tidak asing lagi

di telinga mereka. Pada saat pertemuan Pendampingan Iman Anak (PIA)

berlangsung. Saat peserta Pendampingan Iman Anak (PIA) mendengarkan cerita,

tentunya mereka dapat menarik makna yang terkandung di dalam sebuah cerita.

Cerita merupakan salah satu cara yang sangat baik untuk mengajak anak-anak

berpikir realis, karena cerita dapat menunjukkan bagaimana suatu permasalahan

dapat terpecahkan (Laurence, 2003: 93). Anak-anak suka mendengarkan cerita,

bahkan mereka tidak merasa bosan meskipun cerita tersebut sudah didengar atau

dibaca secara berulang-ulang. Cerita dapat mempengaruhi kehidupan anak-anak, saat

mendengarkan cerita imanjinasi mereka mulai berkembang.

Manfaat dari cerita disesuaikan dengan fungsi dari cerita tersebut. Fungsi

dari cerita antara lain: Fungsi edukasi, fungsi afeksi, fungsi rekreasi dan fungsi

sosialisasi (Anwar Efendi, 2006: 334). Dalam sebuah cerita fungsi edukasi adalah

menyampaikan pentingnya nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah cerita. Fungsi

afeksi berfungsi agar ketika mendengarkan cerita anak diharapkan dapat memiliki

emosi yang lebih stabil. Fungsi rekreasi bertujuan untuk ketika anak mendengarkan

cerita mereka akan merasa terhibur dan fungsi sosialisasi adalah penghubung antara

anak dan kehidupan sosialnya.

E. Bentuk-Bentuk Pola Naratif Eksperiensial

Ada banyak bentuk-bentuk dari Pola Naratif Eksperiensial, namun dibagian

bentuk-bentuk hanya akan disajikan cerita, dongeng, drama dan nyanyian saja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49

1. Cerita

Ciri khas dari carita adalah komunikasih yang baik. Ketika cerita di

sampaikan dengan benar, maka pesan dari cerita itu pun akan ditangkap dengan

benar oleh pendengar. Di dalam Kitab Suci juga tersimpan berbagai cerita dan Yesus

adalah salah satu pencerita terbaik yang banyak menyampaikan cerita sebagai

perumpamaan. Bahkan cerita tersebut masih dapat kita dengar sampai sekarang.

Dalam pengajaran Pola Naratif Eksperiensial terdapat tiga jenis cerita yang dapat

digunakan yaitu: cerita kanonik (Kitab Suci), cerita rakyat, dan cerita kehidupan.

Masing-masing cerita tersebut mempunyai kekhasannya sendiri-sendiri, dibawah ini

beberapa macam cerita antara lain adalah:

a. Cerita Kanonis / Cerita Alkitab

Cerita Kanonis merupakan cerita Alkitab yang pada umumnya merupakan

suatu peristiwa yang pernah terjadi dan di sampaikan secara lisan, kemudian

ditafsirkan oleh orang-orang yang di pakai Allah untuk menyampaikannya. Misalnya

cerita yang diambil dari Perjanjian Baru, dalam mendampingi anak-anak (PIA)

seorang pendamping dapat mengunakan cerita tentang Yesus yang mewartakan

Kerajaan Allah lewat perumpamaan-perumpamaan. Karena Kerajaan Allah adalah

misteri. Allah Bapa telah mengutus putra-Nya untuk menyelematkan umat manusia.

Selain itu hendaknya seorang pendamping dalam menyampaikan cerita kepada anak-

anak harus sesuai dengan bahasa dan usia perkembangannya. Karna cerita Kanonis

adalah cerita yang sangat penting bagi Gereja. Maka semua cerita terdapat dalam

Kitab Suci (Hofmann, 1994: 37).


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50

b. Cerita Rakyat

Cerita rakyat merupakan cerita peninggalan dari nenek moyang dari masa

ke masa. Pada umumnya orang-orang yang sudah tua yang masih hidup sampai

sekarang, masih menyimpan cerita-cerita peninggalan nenek moyang tersebut. Pada

zaman Yesus yaitu cerita rakyat dari Galilea menggambarkan bagaimana Yesus

berkomunikasi melalui cerita, hal ini dimaksudkan agar mudah di mengerti oleh

rakyat (Komkat KWI, 1994:17). Ketika menyampaikan cerita rakyat kepada anak-

anak Pendampingan Iman Anak (PIA), hendaknya seorang pendamping dapat

memanfaatkan cerita rakyat sebagai sarana untuk mengembangkan hidup beriman

anak. Selain itu pendamping juga harus mempersiapkan diri agar dapat menjadi

pencerita yang baik dan mampu menyampaikan pesan dari sebuah cerita.

c. Cerita Pengalaman/Kehidupan

Cerita pengalaman adalah cerita yang berasal dari pengalaman hidup nyata

seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Dimana merupakan suatu pengalaman yang

sungguh-sungguh dialaminya, yang kemudian di ceritakan kembali dan ditangkap

maknanya oleh pendengar. Di dalam Kitab Suci juga terdapat beberapa cerita

kehidupan, salah satunya adalah cerita tentang seorang janda yang memasukkan dua

peser ke dalam peti persembahan (Luk 21:1-2). Tujuan dari cerita pengalaman atau

kehidupan dalam pendampingan PIA adalah agar setiap setiap anak yang didampingi

semakin mampu bercerita tentang pengalaman mereka pribadi, keluarga mereka, juga

teman-temannya dengan cara membandingkan antara cerita rakyat dan cerita

Kanonis. Sehingga melalui cerita tersebut anak semakin merasakan dan melihat

kehadiran Bapa dalam kehidupannya (Hofmann, 1994: 39-40). Ketika cerita


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51

disampaikan kepada anak-anak PIA, akan lebih baik ketika cerita disampaikan secara

menarik sehingga tidak membuat anak-anak merasa bosan ketika mendengarkan

cerita. Selain itu cerita yang disampaikan dalam pertemuan Pendampigan Iman Anak

(PIA) harus sesuai dengan materi PIA yang tentunya disesuaikan dengan usia anak.

2. Nyanyian

Menurut Prier Edmund SJ, “Nyanyian biasanya berarti lagu berbentuk bait”

(Prier Edmund SJ, 1993: 620). Di dalam Kamus besar Bahasa Indonesia nyanyian

merupakan; “...komponen musik pendek yang terdiri atas lirik dan lagu” (Tim

Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988: 620). Hampir semua orang dari

berbagai kalangan, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. pasti pernah

mendengarkan sebuah lagu dan bernyanyi, ada begitu banyak cara dalam

mengekspresikan dan menyanyikan sebuah lagu, begitu juga dengan alat musik yang

dapat digunakan untuk memainkan sebuah lagu. Di dalam Ensiklopedi Alkitab Masa

Kini jilid II M-Z dikatakan bahwa:

“Nyanyian lagu pujian adalah Gejala kehidupan Gereja rasuli, sebagaimana


disampaikan dalam 1 Kor 14: 15, 26; Yak 5:13 nyanyian puji-pujian liturgis
Kristen dicatat oleh Lukas, dan banyak doksologi tercatat dalam PB. Semua
itu dipakai sebagai pengungkapan spontan dari kesukaan kristen, sebagai
cara mengajar iman (Kol 3:16), dan sama seperti kebiasaan Sinagoga,
sebagai bagian integral dari kebaktian Gereja” (Heuken SJ, 1996: 174).

Semua orang tentunya suka mendengarkan musik termasuk anak-anak,

dalam Pendampingan Iman Anak (PIA) musik memiliki arti dan peran yang sangat

penting. Banyak sekali lagu-lagu yang dapat digunakan dalam kegiatan

Pendampingan Iman Anak (PIA) yang berisikan cerita yang bagus. Tentunya

pendamping PIA dapat memanfaatkan lagu-lagu semacam ini untuk mempermudah

anak-anak untuk belajar sekaligus mengingat cerita yang didengarnya. Lewat lagu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52

yang didengarnya anak dapat dibantu untuk menghayati kesetiaannya kepada Tuhan

secara lebih baik. Lewat lagu anak juga dapat mengembangkan pemahamannya akan

sang pencipta, dirinya dan juga orang lain (Kadarmanto, 2004:134).

Salah satu contoh lagu yang memiliki unsur Pola Naratif Eksperiensial

yaitu lagu yang ditulis oleh K.E. Prier. SJ tentang (2006) “Domba Yang Hilang”

DOMBA YANG HILANG

Seekor anak domba, menyimpang sendiri

Meninggalkan gembala, kehutan yang sepi

Selama hari siang terang bercahaya,

Tak dikenalnya takut sentosa rasanya

Tetapi datang malam cahaya menghilang

Bertiup angin dingin rasanya tak sedap

Menangis anak domba menggigil badannya

Tiada tahu jalan sepi tanpa kawan

Gembala yang setia mencari dombanya

Akhirnya didapat-Nya, si domba yang malang

Didukung dibelai-Nya penuh kasih sayang

Itu gembala kita yang baik setia

3. Drama

Ada banyak pengertian dari drama yang kita ketahui, salah satunya terdapat

di dalam Kamus Istilah Sastra di mana kata “Drama” merupakan istilah lain dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53

“Teater” yang menyebutkan “Sedangkan drama berarti karya sastra yang bertujuan

menggambarkan kehidupan dengan mengemukakan tikaian dan emosi lewat lakuan

dan dialog yang lazim dirancangkan untuk pementasan pangung (Panuti, 1986: 28).

Menurut pendapat Loren E. Taylor dalam bukunya yang berjudul “DRAMA

FORMAL DAN TEATER REMAJA” mengatakan

“Drama adalah suatu seni yang menarik anak-anak. Drama merupakan


sebagian dari pada hidup mereka sehari-hari sebab kehidupan mereka
merupakan kehidupan yang penuh aktifitas. Akting, bermain, berpura-pura,
menari, berdialog dan drama merupakan kegiatan dari masa kanak-kanak.
Dikarnakan jiwa dramatik mereka, anak-anak mempunyai kecendrungan
lebih senang memproduksi drama dan bukannya hanya sekedar menonton”.

Menurut Loren E. Taylor drama merupakan kesenian yang sangat menarik.

Menyaksikan drama pada umumnya sangat disukai banyak orang dari berbagai

kalangan, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Dan ketika suatu drama

dimainkan oleh anak-anak maka akan lebih menarik untuk dinikmati. Dengan

keluguan dan sifat riang yang dimiliki anak-anak, akan menjadikan drama atau teater

menarik dan hidup. Di dalam pementasan drama, aktifitas yang paling banyak

dilakukan adalah bergerak seperti akting, bermain, berpura-pura, menari, berdialog

dan berdrama. Tentunya hal ini sesuai dengan situasi anak. Pada umumnya anak usia

antara 5-13 tahun memiliki sifat aktif, mereka suka bergerak yang dilakukan secara

terus menerus. Dengan jiwa dramatik pada anak, terkadang mereka lebih senang

untuk memerankan dari pada menjadi penonton saja. Drama atau teater adalah

bentuk seni yang merupakan bagian dari kehidupan manusia. Melalui drama atau

teater anak-anak diajak untuk belajar dari kehidupan, untuk memahami hidup dan

menjadikan hidup lebih berarti. Hal itu merupakan inti dari kehidupan untuk

mendidik kepribadian anak (Taylor, 1981:46). Dengan adanya drama atau teater

yang mereka perankan, anak-anak telah belajar banyak dari pengalaman kehidupan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54

Drama atau teater merupakan pembinaan bagi kehidupan anak-anak yang

dapat mereka pelajari melalui pendidikan formal misalnya di sekolah maupun non-

formal misalnya di dalam Pendampingan Iman Anak (PIA), drama atau teater sudah

menjadi bagian dari kehidupan anak-anak PIA. Dengan adanya kegiatan

Pendampingan Iman Anak (PIA), anak-anak dapat mengekspresikan dirinya melalui

drama atau teater.

Salah satu contoh drama atau teater yang dapat diperankan oleh anak-anak

adalah cerita yang diambil dari injil Luk 10:25-37 yaitu perumpamaan tentang

“Orang Samaria Yang Baik Hati” di mana diceritakan adalah seseorang yang turun

dari Yerusalem menuju Yerikho; ia jatuh ketangan penyamun-penyamun yang

bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulinya dan yang

sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. Kebetulan ada seorang imam

turun melalui jalan itu; ia melewati orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang

jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ketempat itu; ketika ia melihat orang itu,

ia melewatinya dari seberang jalan. Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam

perjalanan, ketempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh

belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia

menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaiki orang itu ke atas

keledai tunggangannya sendiri. Lalu membawanya ketempat penginapan dan

merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik

penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kau belanjakan lebih dari ini, aku

akan menggantikannya, waktu aku kembali (Luk 10:30-35).


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55

Lewat drama yang mereka mainkan, mereka belajar peduli akan kesusahan

orang lain dan saling membantu satu sama lain, membentuk kepribadian sekaligus

mengembangkan jiwa dramatiknya.

4. Dongeng

Sebagian besar dari masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan

yang namanya cerita rakyat lisan. Seperti kita ketahui cerita rakyat lisan terdiri atas

mite, legenda dan dongeng. Dongeng juga merupakan dalam salah satu dari cerita

rakyat lisan yang merupakan cerita rakyat yang oleh si pencerita di anggap tidak

sesungguhnya terjadi. Dongeng tidak terikat waktu dan tempat karena dongeng

diceritakan untuk hiburan, walaupun sebenarnya banyak juga dongeng yang

melukiskan tentang kebenaran yang berisikan ajaran tentang moral bahkan sindiran.

Anti Aarne dan Stith Thompson mengelompokkan dongeng menjadi empat golongan

besar, yaitu: Dongeng binatang, dongeng biasa, lelucon atau anekdot dan dongeng

berumus.

Dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi oleh binatang baik

binatang peliharaan maupun binatang liar. Biasanya tokoh binatang dalam dongeng

dapat berbicara dan berakal budi sama seperti manusia. Dongeng binatang di negara-

negara Eropa, yang sering menjadi tokoh adalah rubah. Di Amerika Serikat yang

menjadi tokoh dalam dongeng adalah Kelinci. Dan Negara Filipina tokoh dalam

dongeng adalah kera. Sedangkan untuk Indonesia sendiri binatang yang menjadi

tokoh adalah Kancil. Biasanya semua tokoh memiliki sifat yang sangat cerdik, licik

dan jenaka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56

Dongeng biasa adalah jenis yang penoklohannya oleh manusia. Yang

menceritakan tentang perjalanan hidup, suka dan duka kehidupan seseorang.

Indonesia memiliki banyak sekali dongeng biasa, misalnya dongeng Ande-Ande

Lumut, dongeng Joko Kendil, dongeng Joko Tarub, dongeng Joko Tingkir, dongeng

Sang kuriang, dongeng Malin Kundang, Dongeng Bawang Merah Bawang Putih dan

masih banyak lagi dongeng-dongeng yang lainnya.

Lelucon atau anekdot adalah dongeng yang dapat menimbulkan tawa bagi si

pendengan maupun si pencerita. Meskipun pada kenyataannya bagi masyarakat

ataupun orang yang menjadi sasaran dari dongeng yang disampaikan, mungkin dapat

menimbulkan rasa sakit hati.

Dongeng berumus adalah dongeng yang strukturnya terdiri dari

pengulangan. Dongeng ini ada tiga macam yaitu dongeng bertimbun banyak

(Cumulative tales), dongeng untuk mempermainkan orang (cath tales), dandongeng

yang tidak mempunyai akhir (endless tales).

Dongeng merupakan salah satu upaya untuk menanamkan nilai-nilai luhir

kepada anak. Lewat dongeng yang diceritakan kepada anak, nilai-nilai keutamaan

tentang moral, budi pekerti, kejujuran, kebaikan, kemandirian, atau keagamaan dapat

ditanamkan kepada anak dnegan mudah. Melalui dongeng anak dapat

mengembangan imanjinasi, mengekspresikan diri, menumbuhkan rasa hormat,

memperluas cakrawala khayalan, mengasah pengalaman emosional dan memetik

pesan yang tersirat di balik sebuah dongeng. Selain itu, melalui dongeng, anak juga

diajak untuk belajar berkomunikasi. Ketika dongeng disampaikan kepada anak, anak

akan belajar untuk mendengarkan, menyerap, mencerna, mengolah dan selanjutnya

bisa memunculkan gagasan/ide atau pemikiran dari si anak setelah mendengarkan


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57

dongeng. Dengan kata lain mendongeng juga merupakan salah satu cara untuk

belajar berbahasa, bernalar dan berekspresi. Tak jarang setelah anak-anak

mendengarkan dongeng, anak akan menceritakannya kembali kepada orang lain atau

teman-temannya. Banyak juga yang menulisnya kembali saat mereka belajar

mengarang di sekolah. (Agus, 2008:11-17).

F. Langkah-Langkah Pola Naratif Eksperiensial

Secara garis besar langkah-langkah Pola Naratif Eksperiensial adalah

sebagai berikut: (Komkat KWI, 1994).

1. Langkah pertama: Penampilan cerita rakyat/cerita kehidupan

Ceritera ini berfungsi membuka wawasan anak terhadap situasi yang ada

disekitar kehidupannya baik melalui cerita rakyat maupun peristiwa kehidupan

yang ada di sekitar lingkungannya.

2. Langkah kedua: Pendalaman cerita rakyat/cerita kehidupan

Melalui cerita yang ditampilkan, anak diajak untuk mengenal, mengerti,

memahami dan mendalami isi cerita serta nilai-nilai yang terkandung di dalam

cerita tersebut.

3. Langkah ketiga: Cerita di dalam Kitab Suci

Setelah anak memiliki pemahaman terhadap peristiwa kehidupan yang ada di

sekitarnya. Anak perlu diberi arah pemahaman yang benar sebagai seorang

kristiani dengan penampilan cerita Kitab Suci atau Tradisi Gereja.

4. Langkah keempat: Proses pergumulan

Dalam proses ini anak yang sudah memiliki konsep atau pengalaman dari cerita

rakyat/kehidupan perlu memperoleh pigura yang sesuai dengan iman kristiani,


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58

maka pengalaman itu perlu dikonfrontasikan dengan peristiwa yang terjadi di

dalam Kitab Suci. Dengan demikian pengalaman/nilai yang terdapat dalam

cerita rakyat/kehidupan memperoleh makna baru setelah direfleksikan dalam

terang iman. Penginternalisasian makna yang baru inilah menjadi kekuatan

dalam penghayatan imannya sehari-hari.

5. Langkah kelima: Rangkuman

Rangkuman dibuat dengan melibatkan anak, dalam hal ini pendamping berperan

aktif sebagai fasilitator dalam merumuskan kalimat dan rangkuman ini hanya

berupa pokok-pokok atau garis besarnya saja.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59

BAB IV

PERANAN POLA NARATIF EKSPERIENSIAL

DALAM PERKEMBANGAN IMAN ANAK

A. Cerita Menumbuhkan Daya Imajinasi Anak, Kreativitas, Dan Kemampuan

Berpikir Abstrak.

Bercerita merupakan suatu hiburan yang sangat menyenangkan bagi anak.

Tidak hanya sebagai sarana komunikasi yang efektif, tetapi juga memberikan

manfaat yang sangat positif bagi anak. Karena itulah, agar cerita memberikan

dampak positif dalam penyampaian moral, maka para pendidik, orang tua atau siapa

saja harus mampu mengembangkan cerita yang hidup agar mudah dipahami dan

mengena bagi dunia anak.

Kehadiran tokoh-tokoh dalam cerita yang disajikan mampu membangkitkan

daya imaginasi anak. Dan dengan daya imajinasinya anak akan mencerna cerita serta

mengidentifikasi si tokoh dalam diri anak. Apa yang dibayangkannya seolah-olah

menjadi kenyataan. Contohnya, ketika si anak membayangkan sedang berada di laut,

maka ia akan merasakan seperti sedang berayun dengan gelombang air. Ketika ia

membayangkan sedang berada di bulan, maka ia akan merasakan seperti sedang

melayang. Ia mengenakan pakaian astronot sekenanya, yaitu jas hujan ayahnya dan

helem kakaknya.

Atau seperti yang dikemukakan Dra. Indri Laksmi Gamayanti, M.Psi,

Psikolog Perkembangan Anak (Familia No.06 th ke-4 April 2003), si anak

merasakan dirinya sebagai Supermen atau Gatotkaca yang bisa terbang. Kain sarung

dan taplak dijadikan sarana untuk terbang meyerupai tokoh cerita. Ia tidak terbang,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60

tetapi berlari di halaman, kamar tamu dan meloncat di kasur kamar tidurnya. Artinya

pada tahap tertentu kemampuan imaginasi dan abstraksi yang baik dapat berkembang

pada ketajaman dalam menganalisis suatu peristiwa secara konprehensif, sehingga

dapat mendorong serta melahirkan perkembangan kreativitasnya.

Dengan demikian, cerita mampu mengembangkan daya imaginasi anak

dengan membayangkan seolah-olah ia bisa terbang. Kemudian daya kreativitasnya

muncul seiring dengan mengikatkan sarung atau taplak meja di lehernya. Selanjutnya

anak akan beraksi, sama seperti yang dilihatnya di televisi (Agus, 2009: 53-54).

B. Cerita Mampu Menjalin Hubungan Yang Akrab Antara Anak Dengan

Pencerita

Tidak seperti televisi, bercerita merupakan media komunikasi intensif

dialogal. Mengapa demikian? Karena melalui media bercerita, guru atau orang tua

dapat menjajaki pemahaman anak tentang suatu hal. Saat bercerita, sebelum

berhadapan dengan anak, kita tidak tahu kondisi dan pikiran mereka. Akan tetapi,

begitu mamasuki suasana bercerita, setidaknya kita akan tahu keadaan si anak, baik

dari perhatian, sikap, sifat, bahkan sampai ke tabiatnya. Kita bisa melihat langsung

dari ekspresinya, ungkapan-ungkapan emosinya. Biasanya kalau kita sedang

bercerita, dari sejumlah anak yang kita hadapi, akan muncul pula anak-anak yang

berpenampilan beda. Misalnya anak yang punya sifat pemalu, pendiam,

temperamental, pemberani, atau bahkan yang hanya biasa-biasa saja.

Atau bisa juga sebaliknya, dari anak yang tadinya tidak punya rasa percaya

diri, maka pada saat itu akan berubah menjadi anak yang bisa memiliki kepercayaan

diri, walau tidak secara langsung 100 persen. Hal ini disebabkan oleh emosi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61

spontan muncul saat mendengarkan cerita, juga keadaan si anak itu sendiri. Pada

umumnya, hal-hal yang terjadi merupakan peristiwa spontan dan tentu bukan hal

yang dipersiapkan atau direkayasa.

Jadi dengan bercerita, tidak menutup kemungkinan anak akan berubah. Ia

akan bisa dan terbiasa serta berani mengungkapkapkan pendapatnya. Dalam hal ini,

tentu guru atau orang tua dapat lebih memahami apa saja yang dipikirkan, dirasakan,

dan diinginkan anak. Artinya melalui kegiatan bercerita, secara disadari atau tidak,

kita dapat meningkatkan interaksi dengan anak dan menjadikan suasana lebih akrab

dan hidup.

Dalam konteks ini jelas, bercerita menjadi sarana yang ampuh untuk

mengajak anak-anak belajar bersosialisasi. Jika tema cerita tersebut menceritakan

tokoh yang bermurah hati, dan pencerita menekankan isinya secara akrab, maka anak

belajar berempati pada orang lain. Anak juga belajar untuk bersikap optimis dalam

menghadapi masalah. Oleh karena itu pencerita atau penutur cerita diharapkan tidak

hanya sekedar menjadi penghibur semata dalam menyajikan cerita, tetapi juga

sekaligus harus mampu membawa misi dalam menerpkan pendidikan.

Pencerita juga diharapkan pandai membaca hati pendengarnya. Secara halus

dan tanpa sadar, sesungguhnya anak sedang belajar dan dibiasakan memahami situasi

sosialnya. Ia belajar mengerti dan berusaha tenang dalam menghadapi dan menerima

berbagai situasi lingkungan sosialnya. Dengan kata lain melalui cerita dan kejelian

pencerita anak belajar mengasah kepekaannya terhadap kepentingan sosial yang ada

(Agus, 2009: 54-55).


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62

C. Cerita Meningkatkan Serta Menunjang Perkembangan Moral Anak

Proses pembelajaran moral, pada dasarnya tidak mudah. Kadang-kadang

mengajarkan moral dan memberikan pemahaman tentang moral, kita sering

kehabisan akal. Melalui cerita kita dapat menggelar begitu banyak nilai moral, agar

nilai itu dapat diidetifikasikan menjadi miliknya. Memang kata-kata yang

berhubungan dengan nilai moral masih sangat abstrak bagi anak, misalnya soal

kejujuran, kesetiakawanan, sopan-santun, empati dan segala yang menyangkut soal

moral.

Oleh karena itu, bercerita dapat menjadi salah satu cara untuk mengajarkan

hal tersebut. Saat bercerita, kita bisa memilih tema tentan kebaikan yang dialami

dalam kehidupan sehari-hari, misalnya tentang menolong sesama yang kesusahan

atau terkena musibah. Dengan cara itu pencerita diharapkan dapat menjelaskan dan

mengajak si anak untuk lebih bersikap peduli dengan sesama secara lebih mudah.

Dengan menampilkan tokoh-tokoh yang disukai anak, maka anak pun akan lebih

memperhatikan cerita yang disampaikan oleh pencerita. Pencerita perlu menceritakan

pula mengapa kita harus menolong dan saling menghormati. Sebisa mungkin

pencerita harus mampu membahasakan ha-hal yang abstrak menjadi lebih mudah

dimengerti dan dipahami (Agus, 2009: 56-57).

D. Cerita Bermanfaat Untuk Menanamkan Motivasi Dan Proses Identifikasi

Menentukan tokoh yang dapat diteladani, merupakan pilihan bijaksana

dalam bercerita. Melalui kegiatan bercerita atau membacakan buku-buku cerita

kepada anak-anak, kita berharap adanya suatu perubahan dalam diri anak. Anak-anak

dapat meniru keteladanan dari tokoh-tokoh cerita yang disampaikan. Dengan sifat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63

teladan si tokoh diharapkan anak akan lebih mudah meniru dan memotivasi dirinya.

Untuk mewujudkan semua itu, guru atau orang tua yang bercerita dituntut untuk

selektif dan mengerti akan kepentingan pendidikan pada anak-anak. Oleh karena itu

penokohan dalam sebuah cerita sangat diperlukan suatu isi cerita yang dapat

memberi motivasi sukses dalam berbuat baik.

Pada cerita-cerita yang tokohnya begitu mengesankan atau diidolakan oleh

anak, pasti akan menjadikan sebuah proses identifikasi yang positif. Misalnya si anak

menokohkan Krisna, Bima, Pangeran Diponegoro atau lebih dikenal dengan sebutan

Pangeran dari Gua Selarong, Ksatria Garuda Perkasa. Dengan mengidolakan tokoh

kesanyanagnnya, secara tidak langsung si anak pun akan meniru segala yang ada

pada diri si tokoh tersebut. Mulai dari kostumnya, cara bicaranya, tingkah lakunya

sikap dan sifat yang dimilikinya (Agus, 2009: 57).

E. Cerita Berperan Mengembangkan Iman Anak

Perkembangan anak berada pada fase mitis harafiah. Mitis harafiah berarti

iman mereka hayati seperti dalam cerita, cerita mereka pahami secara harafiah,

apaadanya. Naratif Ekperiensial adalah pendekatan yang berbasis cerita dengan

demikian cerita relefan atau sesuai dengan perkembangan iman anak dalam hal

dengan cerita anak mengenal tokoh-tokoh iman, dengan cerita anak akrab dengan

teman sebaya dan lain-lain. Bercerita dapat membangun dan mengembangkan iman

anak. Melalui cerita-cerita yang bertemakan kerohanian, misalnya cerita tentang

santo santa. Sebuah cerita merupakan refleksi kehidupan nyata, sehingga memiliki

daya tarik tersendiri bagi pendengar dan pembacanya, termasuk anak-anak. Alur dan

tutur cerita memberikan sentuhan emosi yang luar biasa dalam kesehariaan anak,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64

sehingga cerita memberikan banyak manfaat khususnya bagi perkembangan iman

anak.

Dalam bercerita ada prinsip-prinsip tertentu yang harus dipegang oleh

pencerita. Prinsip yang utama dalam bercerita ialah sebuah cerita harus memiliki

nilai yang mencerminkan tanggung jawab khususnya dalam mengembangkan iman

anak. Dalam hal ini, pencerita harus cerdas untuk memilah cerita yang mengandung

pesan dan nilai positif bagi perkembangan iman anak. Sebagai sebuah metode dan

media komunikasi, cerita yang di bacakan juga harus memberikan efek fun and

learning bagi anak agar pesan dan nilai-nilai yang terkandung mudah diserap anak.

Selain itu, kemampuan bercerita juga merupakan hal penting dalam menunjang

kemanfaatan sebuah cerita.

Dengan bercerita merupakan salah satu cara untuk mengajak anak belajar

yang memiliki kekuatan immaginatif, aktif dan kognitif. Cerita menjadi sarana yang

efektis untuk menstranfer dan menanamkan nilai-nilai dalam diri anak. Apakah kalau

cerita itu tentang kitab suci, anak dituntut untuk mengenal Tuhannya. Menumbuhkan

iman dan mempertanggungjawabkannya dalam kehidupan sehari-hari.

F. Persiapan PIA Dengan Menggunakan Metode Cerita

Berikut ini penulis uraikan persiapan pendampingan bagi Pendampingan

Iman Anak (PIA)

1. Contoh persiapan pendampingan Iman Anak (PIA)

a. Tema : Menabur Kebaikan Kepada Sesama


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65

b. Tujuan : Membantu anak-anak untuk menyadari sikap peduli

kepada sesama, sehingga anak-anak mau membantu orang

lain yang mengalami kesusahan tanpa menganggap anak-

anak tidak mampu.

c. Peserta : Anak-anak PIA

d. Waktu : 60’

e. Metode : - Cerita

- Gerak dan lagu

- Tanya Jawab

- Penguasaan informasi

f. Sarana : - Gambar Yesus

- Cerita “Tikus dan Singa”

- Teks Lagu: ”Aku di brkati”

- Teks/Kitab Suci Perjanjian Baru

- Tape dan Kaset suara.

g. Sumber bahan : - Mat.13:24-43

- BERGANT, D., - KARRIS, R.J., Tafsir Alkitab Perjanjian

Lama, Kanisius 2002. 168.

- Kitab Suci komunikasi Kristiani, Edisi Pastoral Katolik,

Obor 2002. 234.

- Agus DS. Mendongeng Bareng Kak Agus Yuk..

Yogyakarta: Kanisius 2008

-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66

h. Pemikiran Dasar

Ketika pulang dari sekolah dengan badan penuh keringat, Andi berlari dan

mendekati adiknya yang sedang menikmati sebungkus es krim. Tanpa sepatah kata,

adiknya langsung munyuapi es krim itu ke mulut Andi. Kenyataan seperti ini sudah

sangat jarang kita temui di dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kenyataan hidup

sehari-hari di lingkungan hidup bermasyarakat baik lingkungan pemerintahan,

lingkungan keluarga bahkan juga dalam lingkungan Gereja yang sering terjadi justru

sebaliknya.

Banyak dari sebagian anak tidak mau berbagi, mereka lebih senang

menikmati apa yang dimilikinya sendiri, terlebih lagi jika sesuatu itu sungguh

berharga baginya. Anak mulai tidak perduli dengan keadaan sekitarnya. Kenyataan

lain di mana pada saat anak sedang tertarik akan sesuatu, atau ada anak yang merasa

lebih baik dari temannya, maka anak akan senang melakukan sendirian saja. Anak

merasa mampu untuk mengerjakan sesuatu sesuai kemampuannya. Anak mulai

merasa berkuasa dan pada akhirnya menjadi sombong.

Tentu saja Yesus tidak menginginkan hal ini. Dalam bacaan Injil

Matius.13:24-43 yang akan diolah dalam pertemuan ini. Yesus telah memberikan

teladan bagai mana cara bersikap kepada sesama, Yesus mengajarkan melalui sikap

dan tingkah lakunya untuk berbuat baik kepada sesama. Betapa sedih hati Yesus

ketika melihat anak-anak mulai tidak perduli kepada teman-temannya, tentunya

Yesus tidak menginginkan anak-anak memiliki sifat yang buruk.

Yesus kecil adalah Yesus yang baik hati, ramah dan suka menolong, maka

Ia disenangi oleh banyak orang. Melalui karya-karya-Nya, Yesus menabur kebaikan


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67

kepada sesama sehingga kini Ia begitu dicintai karena cinta-Nya yang tidak terbatas

kepada kita.

Tema Pendampingan Iman Anak (PIA) mengenai menabur kebaikan kepada

sesama mau mengajak anak-anak peserta Pendampinga Iman Anak (PIA) untuk

memiliki sikap peduli pada orang lain, sehingga dalam sikap dan tingkah laku

sehari-sehari mereka disenangi banyak orang.

Metode cerita yang digunakan dalam Pendampingan Iman Anak (PIA)

dimaksudkan untuk menanamkan tentang nilai-nilai dari tema yang ditawarkan

dalam pendampingan. Sebuah cerita singkat yang mengisahkan tentang Tikus Dan

Singa, di mana seekor Tikus yang pada awalnya diremehkan bahkan hampir dimakan

oleh seekor Singa, pada akhirnya justru Tikuslah yang menjadi penolong bagi Singa

saat Singa terperangkap di dalam jaring yang dipasang oleh pemburu. Tikus tidak

menyimpan dendam kepada Singa, bahkan sebaliknya Tikus justru menabur

kebaikan yang pada akhirnya berdampak bagi penghuni hutan yang lain. Peserta

Pendampingan Iman Anak (PIA) diharapkan memiliki sikap yang mau mengasihi

dengan cara menabur kebaikan kepada sesama.

Besama dengan cerita, proses Pendampingan Iman Anak (PIA) juga

diberikan beberapa lagu. Selain membawa suasana yang segar, syair lagu juga ada

hubungannya dengan isi tema dari Pendampingan Iman Anak (PIA) sehingga

mendukung nilai-nilai yang akan diberikan kepada peserta Pendampingan Iman

Anak (PIA). Dengan demikian setelah peserta mengikuti Pendampingan Iman Anak

(PIA) peserta semakin memiliki sikap kasih dengan cara menabur kebaikan kepada

sesama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68

i. Pengembangan langkah-langkah

1) Langkah I: Salam pembuka

Untuk mengakrabkan suasana, maka pembimbing Pendampingan Iman

Anak (PIA) menyapa anak-anak. Sapaan ini selain bertujuan untuk membawa peserta

Pendampingan Iman Anak (PIA) pada kegiatan yang akan segera dimulai. Misalnya:

Selamat pagi adik-adik! bagaimana kabarnya hari ini? siapa yang hari mau

berangkat ikut PIA berdoa dulu? Siapa yang hari ini mau makan berdoa dulu? Kalau

kita berdoa bertemu dengan siapa? Ya, kalau kita berdoa kita bertemu dengan Tuhan.

Adik-adik, sebelum kita memulai kegiatan hari ini, maka marilah kita berdoa terlebih

dahulu. Siapa yang berani memimpin doa pembukaan? (Bila para peserta tidak ada

yang berani, maka pendampinga PIA bisa memimpin. Doa pembukaan yang diikuti

oleh semua peserta harus jelas dalam pengucapannya dan jelas cara

pemenggalannya)

2) Langkah 2: Doa Pembukaan (ditirukan oleh anak)

“Tuhan Yesus yang baik hati.., kami bersyukur dan berterimakasih kepada-

Mu.., karena Tuhan Yesus.., telah memberikan kemi kesehatan.., Tuhan Yesus..,

kami mohon bimbingan Mu.., agar kami dapat mengikuti.., kegiatan hari dengan

baik.., Tuhan Yesus yang baik.., terimakasih atas semua ini. Amin”

3) Langka 3: Lagu Pembukaan

Pada Sesion ini, lagu yang digunakan sebaiknya lagu-lagu yang sudah biasa

dan mudah dinyanyikan oleh peserta. Lagu yang mudah ini dengan harapan agar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69

suasana menjadi riang dan tidak membawa suasana yang bagi peserta menjadi beban.

Dalam hal ini bisa menggunakan lagu “Bila Kau Suka Hati”

BILA KAU SUKA HATI

Bila kau suka hati tepuk tangan 2x

Bila kau suka hati mari kita lakukan

Bila kau suka hati tepuk tangan

Bila kau suka hati hentak kaki 2x

Bila kau suka hati mari kita lakukan

Bila kau suka hati hentak kaki

Bila kau suka hati goyang pinggul 2x

Bila kau suka hati mari kita lakukan

Bila kau suka hati goyang pinggul

4) Langkah 4: Introduksi Singkat

Pendamping memberikan informasi tentang karya-karya dan sifat-sifat

Yesus yang perlu di contoh. Karya-karya Yesus misalnya: menyembuhkan orang

buta, menyembuhkan orang lumpuh, member makan lima ribu orang, mengajar

orang banyak, dll. Sedangkan sifat-sifat Yesus misalnya: penyayang, penolong,

pengampun, mencintai anak-anak dll.

5) Langkah 5: Pemberian materi cerita “Tikus dan Singa”


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70

TIKUS DAN SINGA

Di suatu hutan yang lebat, tinggalah seekor Singa yang besar dan gagah

perkasa. Semua binatang yang ada di dalam hutan takut padanya. Pada suatu siang

saat Singa sedang tidur pulas, tiba-tiba saja seekor Tikus kecil berlari melintasi

hutan itu dan menginjak tubuhnya. Di saat yang bersamaan Seekor Burung kecil

yang sedang bertengger di sebuah ranting pohon memperingatkan Tikus dan berkata:

“hati-hati loh . . . . binatang besar tidak pernah ramah pada binatang kecil.” Memang

Tikus tidak sengaja menginjak tubuh Singa, tetapi hal itu membuat Singa terbangun.

Secara tiba-tiba, si Singa itu langsung menerkam si Tikus dengan tangan besarnya

yang mengerikan lalu dengan suaranya yang keras, Singa itu berteriak. “Kurang ajar .

. . . !!!!, engkau berani menggangu ku . . . . akan ku makan kamu.” “ Maaf, Tuan

Singa . . . . Maaf, saya tidak sengaja. Jangan marah pada saya, tolong izinkan saya

pergi, Tuan. Ampuni saya. Bila Tuan Singan melepaskan saya, saya berjanji apabila

ada kesempatan, maka saya akan menolong Tuan” Setelah mendengar si Tikus kecil

itu bicara dan memohon-mohon kepadanya, si Singa menghempaskan tubuh si Tikus

itu lalu berkata: “Kamu adalah binatang yang kecil . . . . !!!!. apa yang dapat kamu

perbuat kepada ku . . . ??? saya adalah raja di seluruh hutan ini . . . .pergilah, saya

tidak mau melihat kamu ada di hadapan ku lagi”

Pada suatu hari Singa terperangkap dalam jaring-jaring pemburu dan ia pun

di ikat dengan tali-tali besar yang amat kuat. Singa berusaha melepaskan diri, tapi si

Singa tidak dapat melepaskan diri dari ikatan tali-tali tersebut, karna semakin ia

bergerak, ikatan itu semakin melilit tubuhnya. Singa amat ketakutan karena khawatir

pemburu segera datang dan mengangkapnya. Singa merasa lelah setelah meronta-

ronta dan menarik-narik jaring sekuat tenaga. Jaring itu memang terlalu kuat. Dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71

putus asa Singa itu mengaung sekeras-kerasnya hingga terdengarlah aumannya oleh

si Tikus yang pada saat itu sedang asyik menikmati perjalanannya mengelilingi

hutan, si Tikus kecil segera bergegas mencari suara auman si Singa dan akhirnya ia

menemukan si Singa yang sedang terlilit oleh tali-tali. Kemudian si Tikus mendekati

Singa dan berkata: “engkau besar dan kuku-kuku mu sangat kuat . . . tetapi saya

memiliki gigi mungil, dan dengan gigi-gigi ku yang mungil ini, aku akan

membebaskan engkau.” Kemudian si Tikus mulai menggigiti tali-tali yang melilit di

tubuh singa dan akhirnya tali-tali itu terlepas. Melihat hal itu, si Singa tidak lagi

bersikap garang. Ia hanya bertanya dalam hati: mengapa Tikus itu menolong dia?

Dan Singa berterima kasih karena ia telah di tolong oleh Tikus yang sebelumnya ia

remehkan. Sejak peristiwa itu, mereka menjadi sahabat dan hukum baru berlaku di

hutan itu yakni: semua binatang sama-sama mempunyai hak dan kewenangan satu

terhadap yang lain untuk saling menghargai, menghormati dan saling membantu.

6) Langkah 6: Penggalian Cerita

Setelah menceritakan cerita “Tikus dan Singa”, pendamping memberikan

beberapa pertanyaan sederhana tentang cerita tersebut kepada anak:

a) Siapakah yang merasa paling kuat dan paling lemah dalam cerita ini?

b) Apa yang dilakukan singa terhadap tikus?

c) Apa yang dilakukan tikus terhadap singa?

d) Bagai mana akhir dari cerita tersebut?

7) Langka 7: Peneguhan cerita

Pendamping memberikan peneguhan atas jawaban anak-anak sbb:


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72

Singa adalah binatang yang paling menakutkan, sedangkan Tikus adalah

binatang yang lemah. Di antara Singa dan Tikus ada perbedaan yang sangat

mencolok. Singa yang kuat merasa Tikus tidak dapat menolong dirinya karena Tikus

adalah binatang yang lemah. Namun apa yang terjadi setelah singa masuk

perangkap? Ternyata Tikus yang di anggap lemah oleh Singa justru menjadi

penolong bagi Singa yang terperangkap. Tikus yang lemah mampu merubah keadaan

dengan melakukan sesuatu tindakan yang membuat Singa dan binatang lain turut

merasakan hasilnya. Kesombongan Singa mampu diluluhkan oleh Tikus kecil dan

lemah itu. Sejak kejadian itu, Singa menjadi binatang yang mau menghargai dan

menolong. Dan pada akhirnya antara Tikus dan Singa terjadi persahabat yang erat.

8) Langkah 8: Pendalaman Kitab Suci

Adik-adik, siapa yang disini tidak mengenal Tuhan Yesus..? adik-adik pasti

sudah mengenal Tuhan Yesus lewat gambar yang dipasang di rumah adik-adik. Siapa

yang di rumahnya tidak ada gambar Tuhan Yesus? Kalau belum ada, bilang bapak

atau ibu untuk membelikan gambar Tuhan Yesus di rumah.

Adik-adik, kakak mohon adik-adik mendengarkan cerita kakak. Nanti

setelah selesai bercerita, kakak juga akan bertanya kepada adik-adik. Maka kakak

mohon adik-adik jangan rebut dan semua harus mendengarkan. Kalau adik-adik

sudah mengenal Tuhan Yesus, maka adik-adik pasti tenang.

Pendamping menceritakan kisah “perumpamaan tentang seorang penabur”

(Mat 13:24-43) dengan kata-katanya sendiri yang sederhana dan dapat dimengerti

oleh anak-anak. Setelah selesai, anak-anak diajak mendalami cerita Injil itu dengan

bantuan pertanyaan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73

a) Apa saja sifat-sifat Yesus yang kamu dengar melalui kisah tadi?

b) Apa artinya baik hati

c) Bagaimana cara berbuat baik kepada sesama?

9) Langkah 9: Peneguhan dari pendamping atas jawaban dari peserta, sbb:

Yesus memiliki sifat yang baik hati, ramah, suka menolong dan tanpa

pamrih. Yesus mau menolong orang lain bahkan terhadap musuh-Nya sekalipun dan

ia tidak mengharapkan balasan dan imbalan. Kita semua tahu bahwa Yesus

menghendaki agar kita juga dapat berbuat baik terhadap semua orang dan mencontoh

apa yang telah Yesus lakukan. Cara-cara agar kita dapat berbuat baik kepada sesama

adalah: patuh terhadap nasehat orang tua, bersikap manis dan sopan terhadap orang

lain, suka menolong, menghargai dan menghormati orang yang berbeda keyakinan

dengan kita, dll. Dengan demikian kita pun akan mendapatkan banyak teman dan

saudara, karena banyak orang yang ingin berteman dan merasa damai dan bahagia

bersama dengan kita.

10) LAngkah 10: Penutup

Nah adik-adik, kegiatan kita sudah selesai. Kakak sarankan agar adik-adik

rajin ikut PIA. Biar nanti kakak akan ceritakan cerita yang baru lagi. Sebelum kita

tutup dengan doa, mari kita bernyanyi agar kita tetap semngat. Lagunya: “Aku

diberkati”

AKU DIBERKATI

Aku diberkati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74

sepanjang hidup ku diberkati

dari bangun pagi-pagi siang berganti malam

aku diberkati

kakek-kakek, nenek-nenek, tante-tante, om-om

pemudanya, pemudinya

semua diberkati Tuhan

Baik adik-adik, marilah sebelum kita pulang, kita mempersiapkan diri untuk

berdoa bersama. Kita berdoa seperti pembukaan tadi, adik-adik tirukan doa kakak:

Tuhan Yesus.., kami bersyukur kepada Mu.., karena Tuhan Yesus.., telah

membimbing kami.., dalam pertemuan kami hari ini.., berkatilah kami.., agar kami

dapat saling mengasihi.., trimakasih Yesus.., atas segala kebaikan Mu.., Amin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75

BAB V

PENUTUP

Pada bagian ini disampaikan dua bagian pokok yaitu kesimpulan dan saran

berkaitan dengan “Peranan Pola Naratif Eksperiensial Dalam Proses Pendampingan

Iman Anak (PIA)”

A. Kesimpulan

Pada bagian ini akan disampaikan beberapa pokok pikiran dari uraian

sebelumnya bahwa Pendampingan Iman Anak (PIA) adalah salah satu bentuk karya

katekese yang diperuntukkan bagi anak-anak yang berusia antara 5-13 tahun yang

sudah dibaptis secara Katolik, di mana pada usia tersebut anak sudah mulai

memasuki lingkungan sekolah dan masyarakat sekitar. Pendampingan Iman Anak

(PIA) diadakan untuk membimbing dan mengembangkan hidup anak, terutama

dalam hidup beriman. Gereja secara khusus memberi perhatian bagi perkembangan

iman anak, karena hal ini sesuai dengan kehendak Kristus sendiri. Tujuan

Pendampingan Iman Anak (PIA) sendiri adalah agar anak-anak memiliki sikap iman

Kristiani dan bangga atas iman mereka, memiliki wawasan yang luas akan iman

sesuai umur mereka sehingga dapat mengungkapkan dan mewujudkan imannya itu

dalam kehidupan sehari-hari sesuai umur mereka pula.

Pendampingan Iman Anak (PIA) dengan Pola Naratif Eksperiensial

merupakan pendekatan dengan bahan yang disampaikan melalui cerita (narasi)

sebagai partner dialog dalam pengalaman hidup anak yang dialami bersama sebagai

saksi penghayatan iman anak (ekseriensial) sehingga memperoleh pengalaman dan


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76

penghayatan iman dalam kehidupan sehari-hari. Pendampingan Iman Anak (PIA)

merupakan salah satu bentuk komunikasi atau interaksi iman yang mengandung

unsur pengetahuan iman, pergumulan iman, dan unsur penghayatan iman dalam

berbagai bentuk. Dalam pola komunikasi, bahan diharapkan menjadi partner dialog

yang hidup, menarik, dan tidak memaksa bagi peserta, maka bahan dialog diberikan

dalam bentuk cerita. Cerita dapat membantu anak dalam membuka dan menyapa

pengalamannya secara terbuka, mereka tidak merasa dipaksa ataupun didikte.

Dalam rangka meningkatkan minat anak untuk ikut kegiatan Pendampingan

Iman Anak (PIA). Seorang pendamping PIA dapat menggunakan Pola Naratif

Ekspeiensial untuk meningkatkan keterlibatan anak secara aktif dalam proses

Pendampingan Iman Anak (PIA)

B. Saran

1. Saran bagi Gereja

Dalam rangka pendampingan PIA dengan Pola Naratif Eksperiensial,

penulis menyarankan agar Gereja menyediakan fasilitas yang dapat menunjang atau

mendukung pengembangan dalam pendampingan PIA lewat metode Pola Naratif

Eksperiensial. Di samping itu juga hendaknya Gereja memberi dukungan, perhatian,

dan kesempatan kepada para pendamping PIA untuk menggunakan Pola Naratif

Eksperiensial dalam proses pendampingan Iman Anak. Dengan demikian

pendamping PIA yang menggunakan Pola Naratif Eksperiensial dapat menggali

pengalaman anak melalui kehidupan sehari-hari yang nyata dialami oleh anak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77

2. Saran Bagi Pendamping PIA

Pelayanan yang dilakukan oleh pendamping PIA merupakan sumbangan

yang sangat berharga bagi Gereja. Oleh karena itu, penulis menyarankan kepada

pendamping PIA agar selalu membuka diri teradap perkembangan zaman dan

perkembangan anak-anak PIA agar terjadi komunikasi iman antara pendamping dan

anak-anak PIA. Penulis juga menyarankan agar para pendamping PIA bisa

menggunakan cara baru dalam proses kegiatan PIA sehingga anak-anak memiliki

kesan menarik dan menyenangkan terhadap kegiatan PIA.


PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78

DAFTAR PUSTAKA

Agus, DS. (2008). Mendongeng Bareng Kak Agus Yuk... Yogyakarta: Kanisius.
_______. (2009). Tips Jitu Mendongeng. Yogyakarta: Kanisius.
Anwar, Efendi. (2006). Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak (Insania, Vol.
II. No. 3). Purwokerto: P3M STAIN.
Crapps, Roberth, W. (1993). Perkembangan Kepribadian Dan Keagamaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Douglas, J.D. (1996). Ensiklopedi Alkitab Masa Kini. Jakarta Yayasan Komunikasi
Bina Kasih/OMF.
Elizabeth B Hurlock. (1991). Psikologi Perkembangan Anak: cetakan I. Terj. Med
Meitasari Tjadrasa. Jakarta: Erlangga.
Fowler, Jemes W. (1995). Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan. Editor: A.
Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius.
Goretti, Sr. Maria AK. Ed. (1999). ”Pendampingan Iman Anak”. Diktat Mata Kuliah
Pendampingan Iman Anak bagi mahasiswa semester IV. Fakultas Ilmu
Pendidikan Agama, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Gunarsa. Singgih. (1983). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta:
Gunung Mulia.
Hofmann, Ruedi. (1994). Pola Naratif Eksperiensial dalam Pendidikan Agama.
Ekawarta. No. 4/XIV. Hal. 10-13.
Huijbers, Theo. (1985). Manusia Mencari Allah Suatu Filsafat Ketuhanan.
Yogyakarta: Kanisius.
Jacobs, Tom. (1992). Silabus Pendidikan Agama Katolik. Yogyakarta: Kanisius.
Kadarmanto, Ruth S. (2004). Tuntunlah ke Jalan Yang Benar, Panduan Mengajar
Anak di Jemaat. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Komkat KWI. (1994). Naratif Eksperiensial. Yogyakarta: Puskat.
_______. (2004). Persekutuan Murid-Murid Yesus: Pendidikan Agama Katolik
Untuk SMP, Buku Guru 3. Yogyakarta: Kanisius.
Konggergasi Suci Para Klerus. (1993). Directorium Catechisticum Generale. Terj.
J.S. Setyakarjana. SJ, Yogyakarta: Pradnyawidya.
Konsili Vatikan II. (1993). Dei Verbum Dalam Dokumen Konsili Vatikan II. Terj R.
Hardawiryana. SJ, Jakarta: Obor.
_______. (1993). Gravisium Edukation. Terj R. Hardawiryana. SJ, Jakarta: Obor.
Krisantus Kwen dkk. (2001). PPL Pendidikan Kader Kaderisasi Pendampingan
Para Pembina PIA Paroki Karang Anyar Stasi Juma Polo-Solo.
Yogyakarta: IPPAK.
Lembaga Alkitab Indonesia. (2009). Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Jakarta.
Mangunhardjana, A.M. SJ. (1986). Pendampingan Kaum Muda. Yogyakarta:
Kanisius.
Mayeroff, Milton. (1993). Mendapingi Untuk Menumbuhkan. Yogyakarta: Kanisius.
Pendampingan Calon Pendamping PIA. (2003). Menjadi Pendamping PIA Yang
Berkualitas. Dalam Diktat Mata Kuliah Pendidikan Kader Fakultas Ilmu
Pendidikan Agama, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (1988). Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Pusat Kateketik. (2001). Kursus Pendampingan Iman Anak Bagi Para Novis dan
Postulan. Yogyakarta: IPPAK.
Pusat Musik Liturgi. (2006). Gembala Setia Lagu Rohani Anak-Anak. Cetakan xx.
Yogyakarta: PML.
Semiawan, Conny R. (1998). Belajar Dan Pembelajaran Dalam Taraf Pendidikan
Usia Dini (Pendidikan Prasekolah dan Sekolah Dasar). Editor:
Theodorus Immanuel Setiawan. Yogyakarta.
Shapiro, Lawrence E. (2003). Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Soetrisman, AJ. (1981). Drama Formal dan Teater Remaja, terj. Tailor, E Loren.
Yogyakarta: Taman Bina Siswa.
Song, C.S. (1989). Sebutkan Nama-Nama Kami. Terj. Ny. Yohana Sidarta. Jakarta:
PT BPK Gunung Mulia.
Sudjiman, Panuti. (1986). Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Yohanes Paulus II. (1992). Catechesi Tradendae. Terj. R. Hardawiryana, SJ. Dalam
Dokumen Gerejani. Jakarta: KWI.

Anda mungkin juga menyukai