Anda di halaman 1dari 3

ISLAM SEBAGAI REPRESENTASI NILAI-NILAI KEINDONESIAAN DAN

KEMODERENAN
(Islam dan cita-cita politik Indonesia)

1. Nilai-nilai keIndonesiaan umum: suatu antisipasi terhadap kecenderungan


konvergensi Nasional.

Setelah 76 tahun menjadi bangsa yang merdeka, patutlah rasanya kita menengok ke
belakang dengan penuh apresiasi. Harus diakui bahwa tekanan kepada apresiasi itu
mencerminkan suatu sikap pandang yang optimis. Kita ingin mengemukakan suatu
pandangan bahwa sejarah bangsa kita, khususnya 76 tahun terakhir ini, lewat tanpa sia-sia.
Karena itu kita ingin menyatakan penghargaan kita kepada mereka semua yang telah secara
positif ikut membina bangsa Indonesia.

Tinjauaan selintas tentang Nasionalisme

Dalam mendefinisikan perkataan “Nasionalisme”, Stanley Benn menyebutkan,


paling tidak, lima hal: pertama, semangat ketaatan kepada suatu bangsa (semacam
patriotism); kedua, dalam aplikasinya terhadap politik, Nasionalisme menunjuk kepada
kecondongan untuk mengutamakan kepentingan bangsa sendiri, khususnya ketika
kepentingan bangsa sendiri itu berlawanan dengan kepentingan bangsa lain; ketiga, sikap
yang melihat amat pentingnya penonjolan ciri khusus suatu bangsa, dan karena itu; keempat,
doktrin yang memandang perlunya kebudayaan bangsa untuk dipertahankan; kelima
Nasionalisme adalah suatu teori politik, atau teori antropologi, yang menekankan bahwa
ummat manusia, secara alami terbagi-bagi menjadi berbagai bangsa, dan bahwa ada kriteria
yang jelas untuk mengenali suatu bangsa beserta para anggota bangsa itu.

Berdasarkan hal tersebut, maka pada tingkat perkembangannya sekarang ini, bangsa
Indonesia telah tumbuh secara mantap sebagai “nasion”. Modal nasionalitas kita yang sangat
berharga adalah seperti yang telah disinggung diawal yaitu keutuhan wilayah negara, Bahasa
kesatuan, konstitusi dan falsafah negara.

Kecenderungan konvergensi Nasional

Telah ditegaskan bahwa pengalaman orde baru sampai sekarang ini, bagaimanapun, tidak
dapat dipandang sebagai hal yang final untuk pertumbuhan bagsa kita. Sebaliknya
pengalaman itu harus dipandang sebagai tidak lebih dari suatu fase yang mungkin secara
historis mesti dilalui, disebabkan determinisme berbagai pengalaman historis itu sendiri
dalam kombinasinya dengan kondisi lingkungan fisik bangsa kita.

Dari sudut pandang itu, dan jika harus disebutkan sesuatu yang banyak memberi
harapan masa depan kita, maka harus disebutkan adanya kecenderungan umum bangsa kita
kearah suatu konvergensi nasional, yakni konvergensi di bidang konsep-konsep dasar social,
budaya dan politik harus di akui bahwa ungkapan ini pun bernada optimis, seperti halnya
dengan pandangan apresiatif kepada masa lalu bangsa kita sebagaimana di singgung diawal.

Namun, lepas dari nada opnimistisnya, kita ingin mengajukan beberapa bahan
argumen guna menopang pandangan itu. Konvergensi adalah suatu hasil bentuk saling
pengertian atau disebut mutual understanding, dan berakar dalam semangat kesediaan untuk
menerima dan memberi. Memberi dan menerima itu sendiri pada urutannya, berakar pada
kemantapan masing-masing kelompok kepada diri mereka sendiri.

Perataan Beban dan Kesempatan

Perataan beban dan kesempatan di segala bidang, pada individu-individu dan kelompok-
kelompok anggota bangsa, merupakan salah satu wujud nyata ide tentang keadilan social,
sehingga biasa disebut sebagai salah satu wujud langsung tujuan kita bernegara. Keadilan
dalam pengertiannya adalah memposisikan sesuatu sesuai tempatnya, dalam kaitan ini
tindakan adil kepada manusia adalah dengan memposisikan manusia sesuai kadar
kemanusiaannya tanpa adanya diskriminasi golongan, suku, dan kedudukan. Semua manusia
diharuskan untuk berbuat adil kepada dirinya dan sekitarnya.

Bentuk penyerahan terhadap sekelompok atau manusia tertentu adalah wujud dari
perbuatan di luar keadilan karena memposisikan manusia atau kelompok tersebut sebagai
tindakan pengadaan tuan tuan baru atau kaitannya dengan merendahkan nilai-nilai
kemanusiaan.

Kosmopolitisme, Bukan Nativisme

Kecenderungan konvergensi nasional itu harus diarahkan kepada penguatan pandangan hidup
yang lebih kosmopolit, yaitu suatu tata pergaulan nasional, dalam arti lahiriah maupun
maknawiah, yang berwawasan meliputi seluruh anggota bangsa. Ini mengingat bahwa, dalam
kenyataannya kebangsaan Indonesia di susun sebagai gabungan berbagai pengelompokan
etnis yang sedemikian beragamnya, jika disebutkan bahwa budaya Indonesia ialah
rangkuman puncak berbagai budaya daerah, nilai ke indonesiaan itu harus bersemangatkan
kosmopolitisme, bukan nativisme. Sebab dalam kelanjutan wajarnya, nativisme akan berakhir
pada daerahisme, jika bukan sukuisme. Jadi suatu nativisme akan merupakan penghalang
besar pertumbuhan keindonesiaan.

Saat nilai-nilai keIndonesiaan yang benar-benar diterima oleh seluruh anggota


bangsa belum terwujud dalam pola laku masyarakat Indonesia, maka nativisme akan berakhir
dengan penekanan makna penting pola budaya, kelompok, yang sedang berkuasa. Dan itu
berakhir suatu sukuisme yang dinasionalisasikan. Ini tidak saja adil bagi suku-suku lain tetapi
langsung berlawanan dengan ide semula kebangsaan kita, karena juga langsung
mengancamnya.

Anda mungkin juga menyukai