Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH INTERMEDIATE TRAINING

Representasi Pancasila sebagai pembumian nilai-nilai ke-Islaman dalam


konteks Kebangsaan

KODE MAKALAH: J

Diajukan Untuk Mengikuti Intermediate Training (LK II) HMI Cabang Konawe

Disusun Oleh:

Wahyu ismaman

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)

KOMISARIAT BINTANG ARASY

CABANG GOWA RAYA

2020
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,


taufik, dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga tersusunlah makalah ini
dengan berjudul “Representasi Pancasila sebagai pembumian nilai-nilai ke-
Islaman dalam konteks kebangsaan” sebagai syarat mengikuti internediate
Training (LK 2) yang dilaksanakan oleh HMI Cabang Konawe .
Sholawat serta salam tak lupa senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar
Muhammad saw, sang pelopor dari segala pelopor, yang luar biasa dalam hal
kebaikan, kasih sayang, pembebasan dari belenggu kekafiran dan kemunafikan,
serta keberhasilan perjuangannya menghantarkan manusia dari kegelapan kepada
cahaya yang sungguh merupakan rahmat Allah SWT yang tiada kemuliaan serupa.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ketua Umum beserta jajarannya dan
Master Of Training yang telah memberikan waktu dan ruang Kepada kader-kader
insan cita Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam mengikuti Intermediate
Traning LK 2 .
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makala ini,
oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membagun
dari semua pihak sehingga penulis dapat menambah grade pengetahuan dan
kemampuan penulis. Semoga makala ini bermanfaat bagi pembaca. Amin.

Gowa, 22 November 2020.


Penulis

Wahyu ismaman
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pancasila sebagai dasar negara lahir dalam proses pergulatan panjang,
mengatasi pertempuran ideologi yang berlangsung kala itu. Ia mula-mula muncul
sebagai refleksi bangsa di tangan Soekarno, kemudian perlahan merambat masuk
kedalam sanubari masyarakat Indonesia. Pancasila memang bukanlah originalitas
olah fikir Soekarno sebagai mana iya akui sendiri, ia merupakan endapan nilai dan
jati diri bangsa yang telah berpuluh-puluh tahun tertancap dalam di bumi pertiwi,
soekarno adalah penggali dan penemu. Namun soekarno adalah sosok penting
dalam proses penemuan bersejarah ini.
Diketahui bahwa konseptualisasi Pancasila mula-mula merupakan kreasi
Bung Karno, tetapi ia bukanlah karya individual. Dalam fase perumusan,
penyempurna hingga pengesahannya terdapat banyak perkawinan gagasan,
pendapat, masukan dan perubahan, sebelum akhirnya mencapai konsensus
bersama.
Karena pancasila adalah hasil karya bersama, secara otomatis ia memiliki
daya perekat yang9 sangat kuat. Pancasila tidak hendak mengakui satu kelompok
di atas kelompok lain, tidak juga mengakomodir manyoritas di atas minoritas
yang lain. Pancasila tepatnya sebagai alat pemersatu bangsa, di mana semua
golongan yang hidup di dalam negara pancasila, indonesia diakui hak dan
keberadaannya .
Lahirnya negara pancasila didasari semangat kolektif untuk bebas dari
penjajah dengan terbentuknya negara merdeka, adil, berdaulat, dengan pengakuan
tegas adanya Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip ketuhanan menjadi causa prima dari
elemen terbentuknya negara Pancasila, Indonesia.1 Dalam artian, terbentuknya
negara Pancasila berbeda dengan cara pandang liberal yang melihat negara
sebagai status tertentu yang terbentuk atas perjanjian masyarakat dari individu-
individu yang bebas. Pernyataan diatas ingin menyatakan bahwa manusia
dilahirkan dengan hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hal itu dikuatkan

1
Mahfud MD, “strategi pelembagaan Nilai-Nilai Pancasila”
pula sebagaimana pembukaan UUD, yang menyatakan bahwa negara terbentuk
atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas.2
Negara pancasila tidak berhenti pada tujuan untuk mendirikan negara dalam
bentuk negara yang berdaulat, namun yang paling penting adalah negara
memperhatikan warganya untuk menjadi individu - individu yang mampu berlaku
adil kepada lingkungan sosial atas dasar maniefestasi sifat-sifat Tuhan Yang Maha
Esa. Sesuai dengan sila – sila yang terkandung dalam Pancasila, manusia
Indonesia bukan saja menjadi manusia yang taat kepada tuhannya, namun juga
menjadi manusia yang adil – berdab (sila kedua), manusia yang mengedepankan
persatuaan (sila ketiga), mendahulukan musyawarah dalam setiap persoalan
negara (sila keempat), dan insan yang berlaku adil kepada seluruh elemen bangsa
(sila kelima).
Negara pancasila secara nomenklatur memang bukanlah negara Islam, akan
tetapi esensinya sama dengan perjuangan menegakkan nilai-nilai Islam. Itu
mengafirmasikan bahwa Islam merupakan sebuah agama universal, ia bukan saja
hanya sekedar pelaksanaan ibadah kepada Tuhan, melainkan merupakan bentuk-
bentuk pelaksanaan hubungan memanusiakan manusia, atau dalam hal ini adalah
memperbaiki hubungan kepada sesama manusia, tampa melihat apa agamanya,
suku, budaya, bahasa dan ras.
Dalam telaah islam sebagai konsep yang utuh tersebut telah menimbulkan
perdebatan ideologis filosofis dalam hubungannya dengan dengan negara. Telaah
atas hubungan antara islam dengan pancasila menjadi menarik untuk sama-sama
kita dudukkan, setidaknya disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu; Islam
dan pancasila kerap kali dibeturkan keduanya acap kali dipersepsikan sebagai dua
cara pandang yang berbeda dan saling besebrangan.
Maka dalam makala ini akan mengungkap nilai-nilai Islam yang terkandung
dalam setiap hukum yang berlaku dan Jika kita telaah lebih mendalam lima sila
pancasila betapapun sangatlah Islami, dan bahkan dikonfirmasikan oleh ayat-ayat
Alquran .

2
Lihat pembukaan UUU 1945 .
B. Rumusan masalah

1. Bagaimana sejarah perumusan Pancasila?


2. Apa korelasi antara nilai-nilai Pancasila dengan ke-Islaman?

3. Bagaimana konsep pancasila dan islam sebagai titik temu ideologi besar
dunia?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui korelasi antara nilai-nilai pancasila dengan nilai-nilai
ajaran Islam .
2. Mengetahui bahwa Pancasila dan Islam sebagai simpul yang menyatukan
ideologi-ideologi besar dunia
3. Mengetahui wawasan negara dalam al-Qur’an
4. Mengetahui negara Pancasila dan negara Islam esensial

D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah metode penelitian
kualitatif, artinya metode yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara
mendalam terhadap suatu masalah yang ingin dikaji, sehingga menekankan
pencarian makna, konsep, karakteristik gejala, maupun deskripsi tentang suatu
fenomena.
Dengan melalui pendekatan studi pustaka yaitu suatu jenis penelitian yang
dilakukan dengan meneliti secara mengumpulkan data-data dan referensi dari
literatur-literatur atau buku-buku akademik, dan data-data tersebut kemudian
dianalisis, serta disajikan dalam bentuk naratif.
PEMBAHASAN

1. Sejarah perumusan Pancasila dan perkawinan ideologi besar dunia


Penerimaan Pancasila saat itu bukanlah serta merta diterima begitu saja
sebagai dasar negara, banyak perdebatan di antara berbagai kalangan sebelum
akhirnya Pancasila diputuskan dan diakui sebagai dasar negara.
Yudi Latif, seorang pemikir bangsa, membagi sejarah perumusan Pancasila
ke dalam tiga momen pembabakan: pertama, fase pembuahan; kedua, fase
perumusan, dan ketiga, fase pengesahan. Ketiga fase perumusan Pancasila tidak
berlangsung mulus, sebab mengalami banyak hambatan yang kerap menguras
waktu, energi, dan sumber daya yang ada.
Sebelum Soekarno mengumandangkan pandangannya tentang dasar dan
ideologi negara dalam sidang BPUPKI-kerap mengkristal dalam konsepsi
Pancasila telah berlangsung perkelahiaan pemikiran seputar bentuk dan dasar
negara, ideologi politik, falsafah hidup dan pandangan dunia. Bahkan, upaya
sintesis ideologi sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa tokoh seperti HOS
Tjokroaminoto, H. Misbach, dan yang lainnya baik secara eksplisit maupun
implisit.
Pada tahun 1926, Soekarno menulis essai dalam majala Indonesia Moeda,
berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Ini serupa dengan para
pendahulunya yang kerap kali melakukan sintesa ideologi-ideologi politik dunia,
bung karno lewat tulisannya itu mencoba mengawinkan ketiga pengaruh ideologi
kedalam suatu semangat gerakan kemerdekaan Indonesia. Menurutnya baik
pendukung ideologi Nasionalisme, Marxisme, dan Islamisme dapat disatu
padukan dalam semangan gerakan yang solid. Optimisme bung Karno mencoba di
tuangkan dalam majala tersebut, yang kemudian hari dibakukan dalam kerangka
Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (NASAKOM).
Sebagai penyatuan simpul, Pancasila lahir sebagai kristalisasi atas berbagai
anasir pandangan dan pemikiran yang bergumul kala itu. Diketahui pada era
prakemerdekaan, yakni pada dasawasa 1910-an hinggah memasuki alam
kemerdekaan, Indonesia telah menjadi medan pertempuran ideologi yang dahsyat.
Lahirnya organisasi Budi Utomo, Serikat Islam, Indische partij, Perhimpunan
Indonesia, Partai Komunis Indonesia, dan berbagai organisasi politik lainnya,
yang telah berkonstribusi dalam pembabakan awal perumusan ide Pancasila.
Kristalisasi nilai dan pemikiran itu kembali menguat dalam peristiwa Sumpah
Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Semangat Sumpah Pemuda ini membawah pengaruh cukup besar, baik
dalam semangat awal membangun cita-cita Indonesia merdeka, merajut anasir
gerakan sosial, menyatukan simpul kebangsaan, serta peletakkan nilai-nilai
fundamental bagi perumusan ide Pancasila dikemudian hari. Yudi Latif menulis,
“melalui Sumpah Pemuda, kaum muda berusaha menerobos batas-batas sentimen
etno-religius (etno-nationalisme) dengan menawarkan fantasi inkorporasi baru
berdasarkan konsepsi kewargaan yang menjalin solidaritas atas dasar kesamaan
tumpah darah , bangsa, dan bahasa persatuan (civis-nationalism)”.3
Benih-benih awal penyemaiaan Pancasila juga dapat ditelusuri dalam
konsepsi Ideologi Perhimpunan Indonesia sejak 1924. Menurut Perhimpunan
Indonesia atau (PI) tujuan kemerdekaan politik haruslah diakarkan pada empat
prinsip, yakni persatuan nasional, solidaritas, non-koperasi, dan kemandirian.
Keempat prinsip itu bertautan erat dengan platform perjuangan yang digelorakan
oleh indische partij, gerakan Komunis, dan Serikat Islam. Kesimpulannya
ideologi gerakan dari ketiga itu coba di rajut dengan baik dalam rumusan ideologi
politik PI.
Pintalan ideologi tersebut baru kian terjalin apik membentuk suatu untaiaan
yang padu dan solid, saat dilangsungkannya sidang pertama BPUPK (badan
penyelidik usaha persiapan kemerdekaan) yang berlangsung pada tanggal 29 Mei-
1 Juni 1945 yang dinahkodai oleh Radjiman Wediodiningrat bersama dua wakil
ketua, Itibangase Yosio dan R.P Soeroso. Adapun jumlah anggota BPUPK ini
semula berjumlakan 63 orang, kemudian bertambah menjadi 69 orang.4
Selama berlangsung sidang pertama sebelum Soekarno menyampaikan
pandangannya pada 1 Juni 1945, para anggota BPUPK lainnya telah mencoba
mengemukakan gagasan mereka terkait dasar negara Indonesia sebgaimana yang
3
Yudi Latif, Negara Paripurna: historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta:
Grmedia Pustaka Utama, 2011) h. 7-8.
4
A.B. Kusuma, lahirnya undang-undang dasar 1945, (jakarta: badan penerbit fakultas hukum
Universitas Indonesia, 2004) h. 85-86
diminta oleh Radjiman Wediodiningrat selaku ketua BPUPK. Hasil dari
permintaannya tersebut dapat diperas dalam lima konsepsi dasar: nilai ketuhanan,
disampaikan oleh Muhammad Yamin, Soerio, Agues salim, Ki Bagus hadi
koesoemo, Soepomo, Muhammad Hatta; nilai kemanusiaan, oleh Radjiman
Wediodiningrat, Soesanto Tirtoprojo, Muhammad Yamin, Wiranatakoesomo,
Soepomo, Liem Koen Hian, dan Ki Bagus Hadikoesomo; nilai persatuan oleh
Muhammad Yamin, Sosrodiningrat, Wiranatakoesomo, Woerjaningrat, Soerio,
dan Soesanto, Soekiman, Abdul Kadir, Soepomo, Dahler, dan Ki bagus
Hadikoesomo; nilai demokrasi permusyawaratan, oleh Muhammad Yamin,
Woerjaningrat, Soesanto, A. Rahim Pratlykrama, Ki Bagus Hadikoesomo, dan
Soepomo; nilai keadilan dan kesejahteraan sosial, oleh Muhammad Yamin,
Soerio, A. Rachim Pratalykrama, Abdul kadir, Soepomo, dan Ki Bagus
Hadikoesomo.5
Dari kontribusi para pemikir faunding fathers kita, terlihat jelas bahwa
percikan awal gagasan pancasila sudah mulai tampak terkerangkakan dalam
rumusannya yang solid. Setidaknya sila-sila yang kelak terangkai dalam rumusan
final Pancasila sudah mulai terlihat dengan jelas, sebelum Soekarno mengusung
gagasannya lewat pidatonya yang spektakuler. Kalau kita perhatikan dengan
seksama, gagasan Muhammad Yamin, dan Soepomo barang kali lebih mendekati
apa yang kemudian hari ditetapkan sebagai dasar dan Ideologi negara. Namun
perlu di catat, bahwa tawaran-tawaran diatas masih tumpang tindih dan belum
memiliki sistematika yang runtut dan koheren.
Rumusan pancasila yang lebih sistematis dan diterima oleh mayoritas
anggota BPUPK adalah yang diusung oleh Bung Karno. Soekarno memang
banyak mengambil masukan dari pandangan-pandangan sebelumnya. Namun ia
tidak pernah mengambil pemikiran tertentu dengan cara menjiplaknya begitu saja.
Soekarno terkenal sebagai sosok pemikir cemerlang yang sulit mengekor pada
pemikiran tertentu, meskipun besar kecilnya pemikiran tersebut mempengaruhi
cara pandangnya. Itu Soekarno buktikan dalam berbagai tulisan dan pidatonya

5
Yudi Latif, Op. Cit., h. 10
ketika mengkaji pemikira-pemikiran tertentu yang beliau anggap penting, seperti
Marxisme.6
Hal yang sama Soekarno tunjukan pada saat menyampaikan isi pidatonya
pada sidang BPUPK pertama.Tampak nilai-nilai fundamen sebagai basis negara
yang di usung Bung Karno telah dilontarkan oleh para anggota BPUPK yang
lainnya sebelum beliau. Terlebih Muhammad yamin dan Soepomo, adalah dua
penggagas konsep dasar negara yang hampir menyerupai pancasila yang ia
kemukakan dikemudian hari. Tetapi konsep Pancasila yang di usung Soekarno
adalah yang mampu menarik seluruh perhatian dan berhasil menggalang
konsensus dari para anggota BPUPK sebagai common denominator.7
Tepatnya pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno dalam kesempatannya
menyampaikan konsepsi Pancasila lewat pidatonya. Ia mengatakan “dalam
mengadakan negara Indonesia merdeka itu, harus dapat meletakkan negara itu di
atasa meja statis yang dapat mempersatukan segenap elemen didalam bangsa itu,
tetapi juga harus mempunyai tuntutan dinamis kearah mana kita gerakkan rakyat,
bangsa, dan negara ini”.8
Dalam pengakuannya, ide Pancasila dia gali dalam bumi nusantara,
menembus pada zaman Hindu dan praHindu, dimana itu semua membeku dalam
lima hal. Itulah menjadi jiwa dari bangsa Indonesia. Kelima nilai dasar itu
meliputi: pertama, kebangsaan indonesia; kedua, internasionalisme, atau
prikemanusiaan; ketiga, mufakan dan demokrasi; keempat, kesejahteraan sosial,
dan; kelima, Ketuhanan yang berkebudayaan.9 Setelah mengemukakan
pandangannya yang terkait Panca sila, Soekarno juga sempat menawarkan kepada
presidium sidang, seandainya ada yang tidak senang dengan angka lima, maka iya
dapat memerasnya menjadi Tri sila atau tiga sila saja. Diantara tiga sila itu; socio-
nationalisme, socio-democratie dan ketuhanan
Namun ketika sodara tidak senag mengunakan angaka tiga maka itu bisa
diperas lagi menjadi Ekasila, yang Soekarno beri nama “gotong royong” Soekarno

6
R. Saddam AL- Jihad , Pancasila ideologi dunia, sintesis kapitalisme, sosialisme, dan islam
(Jakarta: Pustaka Alvabet, Agustus 2018) h. 151
7
Ibid., h. 152
8
Yudi Latif, Op. Cit., h. 14
9
Soekarno, Panja sila sebagai dasar negara, (Kursus Presiden Sukarno dii Istana Negara tahun
1958) bagian II, h. 8-15
menjelaskan gotong-royong adalah pembantingan tilang bersama, pemerasan
keringat bersama, berjuang bersama-sama.
Seperti yang kita saksikan, rumusan pancasila Soekarno semula tidak
tersusun seperti yang kini berlaku. Mengenai signifikansi susuna Soekarno sendiri
tidak menjadikan itu persoalan. “Urutan-urutan yang biasa saya pakai untuk
menyebut lima sila dalam pancasila sekedar urutan kebiasaan saja. Ada kawan-
kawan yang mengambil urutan-urutan lain yaitu meletakkan sila pri-kemanusiaan
sebagai sila yang kedua dan sila kebangsaan sebagai sila ketiga. Bagi saya
prinsipil tidak ada keberatan untuk mengambil urutan-urutan itu”.10
Alhasil pasca penyampaiaan pidatonya kebanyakan anggota BPUPK setuju
dengan pandangannya. Selanjutnya proses penyempurnaan rumusan Pancasila
baru di lanjutkan setelah masa persidangan pertama BPUPK.
Paca persidangan pertama ketua BPUPK langsung membentuk panitia kecil
yang beranggotakan delapan orang, yang memiliki tugas mengumpulkan tawaran-
tawaran para anggota yang nantinya akan dibahas pada sidang berikutnya, 10-17
Juli 1945. Panitia kecil itu diketuai oleh soekarno sendiri. Berselang beberapa hari
kemudian membentuk panitia kecil lagi yang beranggotakan 9 orang yang
kemudian dikenal dengan panitia sembilan. Komposisi anggota dalam panitia
sembilan itu barang kali dapat disebut sedikit berimbang antara perwakilan
golongan islam dan golongan kebangsaan. Para anggota sembilan ini terdiri dari
Soekarno selaku ketua, M. Hatta, M. Yamin, A.A Maramis, Soebardjo (golongan
kebangsaan), dan K.H Agues Salim, K.H Kahar Muzakkir, K.H Wachid Hasyim,
dan R. Abikusumo Tjokrosoejoso (golongan islam). Adapun tujuan terbentiknya
panitia ini adalah untuk menyusun rancangan UUD negara repoblik Indonesia,
yang juga didalamnya termuat dasar negara. Yang kemudian di tandatangani oleh
setiap anggota panitia sembilan pada 22 Juni 1945. Hasil rancangan ini memeiliki
beberapa penyebutan , oleh Soekarno disebutnya mukkadimah; M. Yamin
disebutnya Piagam Jakarta; sementara Sukiman menyebutnya Gentlemen’s
Agreement.
Meski demikian finalis rumusan Pancasila belum berakhir disisni. Pada
rancangan pembukaan undang-undang dasar ini, rumusan pancasila yang diusung

10
Ibid., h. 3
Soekarno pada pidato 1 juni telah mengalami perubahan redaksi dan
pengurutannya. Hal itu bisa dilacak dari perubahan urutan dan redaksinya yang
terbaru, yakni: sila pertama ketuhanan yang dibubuhi dengan anak kalimat
“dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” sila
kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab; sila ketiga, persatuan indonesia; sila
keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, dan; sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Sebelum rancangan diatas disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945,
terjadi perdebatan alot tentang pencantuman “tuju kata” pada sila pertama
pancasila (piagam jakarta).
Pada tanggal 12 Agustus 1945 dibentuklah Panitia Persiapan kemerdekaan
Indonesia yang bertujuan mempercepat upaya persiapan terakhir bagi
pembentuakan suatu pemerintahan Indonesia Merdeka. Pertemuan pertama PPKI
dilangsungkan pada 18 Agustus menyusul peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945.
Dalam pertemuan itu terpilihlah Soekarno sebagai presiden dan Muhammad Hatta
sebagai wakilnya. Kemudian pada waktu bersamaan, PPKI mengesahkan naska
piagam jakarta sebagai pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Namun dengan
pengecualian tuju kata yang termuat didalamnya. Dengan demikian sila pertama
Pancsila berubah dari yang semula, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”, menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kesediaan menghapus “tuju kata” itu bagi Muhhamad Hatta menurutnya tiada
lain sebagai emangat untuk menjaga persatuan bangsa. Akhirnya Pancasila yang
kini berlaku adalah buah dari penyempurnaan pidato Soekarno, 1 Juni 1945
sampai pengesahannya pada 18 Agustus 1945.
2. Pancasila sebagai ideologi negara senafas dengan spirit juang nilai-nilai
ke-Islaman
Pancasila adalah wujud kemenangan politik wakil-wakil muslim, dan
bahkan merupakan wujud dari kemenangan kaum muslim di Indonesia. Menurut
Cak Nur, dari pandangan bahwa Islam menhendaki para pengikutnya untuk
berjuang bagi kebaikan universal (rahmatan lil al-amin), dan kembali ke keadaan
nyata Indonesia, maka sangat jelas bahwa sistem yang menjamin kebaikan
konstitusional bagi keseluruhan bangsa adalah sistem yang telah kita sepakati
bersama, yakni pokok-pokok yang dikenal dengan pancasila menurut semangat
Undang-Undang Dasar 1945. Cak nur menegaskan bahwa hal stereotipikal ini
penting dan terpaksa harus sering dikemukakan, karena hal itu menyangkut
persoalan pokok yang untuk sebagian masyarakat muslim dianggap belum selesai
benar. Padahal menurut Cak Nur, kaum muslim di Indonesia seharusnya tidak
perlu menolak Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 karena telah
mengandung nilai-nilai yang sangat Islami. Sifat islami keduanya didasarkan pada
dua pertimbangan yakni; pertama, nilai-nilainya dibenarkan oleh ajaran Islam,
dan kedua, fungsinya sebagai nokta-nokta kesepakatan dari berbagai golongan
untuk mewujudkan kesatuan sosial-politik bersama.
Kedudukan serta fungsi Pancasila dan UUD 1945 bagi ummat Islam
Indonesia menurut Cak nur, sekalipun tidak dapa disamakan, sebenarnya dapat
dianalogkan dengan kedudukan serta fungsi dokumen politik pertama dalam
sejarah Islam yang kita kenal sebagai “Piagam Madina/ mitsaq al-Madinah” pada
masa masa awal setelah hijrah nabi Muhammad SAW. Perjanjian inilah yang
disebut sebagai Piagam Madina.11
Pancasila melalui slogannya Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi tetap
satu), mengandung makna bahwa meskipun masyarakat Indonesia sangatlah plural
baik dari segi agama, suku bangsa, bahasa dan sebaginya tetapi mereka diikat dan
disatukan oleh sebuah landasan hidup bersama yakni Pancasila. 12 Piagam madina
juga merupakan rumusan tentang prinsip-prinsip kesepakatan antara kaum
muslimin Madinah juga merupakan rumusan tentang prinsip-prinsip kesepakatan
antara kaum muslimin Madinah dibawah pimpinan Nabi Muhammad SAW
11
Nurcholish Madjid Agama dan Negara dalam Islam, h. 11-15
12
Najib Burhani, Piagam jakarta dan piagam Madinah
dengan berbagai kelompok non Muslim dikota itu untuk membangun tatanan
sosial politik bersama.
Didalam piagam Madinah, salah satunya dinyatakan tentang hak kewarga
negaraan dan partisipasi kaum non-Muslim dikota Madina yang dipimpin oleh
Nabi Muhammad SAW. Kaum yahudi yang semula merupakan himpunan suku-
suku juga diangkat statusnya oleh piagam Madinah untuk menjadi warga negara
yang sah. Jadi dari piagam itu nabi kemudian ingin mengproklamirkan bahwa
semua warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim, adalah satu bangsa dan
bahwa mereka semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. 13 Memang setelah
terjadinya peristiwa-peristiwa penghianatan Yahudi tersebut, resmi piagam
madina itu tidak berlaku lagi, namun prinsip-prinsipnya sebenarnya tetap sah dan
diikuti ditempat lain. Oleh karena itu menjadi jelas bahwa ketika orang-orang
Arab melakukan gerakan-gerakan pembebasan ke setiap daerah-daerah luar Arab,
dan mendapatkan masyarakat yang plural/majemuk maka yang pertama kali
mereka lakukan adalah mengatur hubungan kelompok itu dengan mencontoh
praktek dan kebijaksanaan Nabi sewaktu di Madina.
Bunyi dan spirit piagam Madina itu yang menurut Cak Nur merupakan salah
satu sumber etika politik Islam, yang gagasan pokok eksperimen politik di Madina
ini ialah, adanya suatu tatanan sosial politik yang diperintah, bukan oleh kemauan
pribadi, melainkan secara bersama-sama, jadi bukan prinsip-prinsip yang dapat
berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin, melainkan oleh prinsip-prinsip
yang telah dilembagakan didalam dokumen kesepakatan dari semua anggota
masyarakat, yang dalam zaman moderen ini konstitusi kenegaraan seperti Undang
Undang Dasar negara.14
Sebanding dengan kaum Muslimin dalam menerima Pancasila dan UUD
1945, menurut Cak Nur, orang-orang Muslim pimpinan Nabi Muhammad SAW
itu menerima konstitusi Madina adalah juga atas pertimbangan nilai-nilainya yang
dibenarkan oleh ajaran Islam. Berdasarkan hal itu, Cak Nur sampai pada
kesimpulan bahwa, sikap ummat Islam Indonesia yang menerima dan menyetujui
Pancasila dan UUD 1945, dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya dari segala

13
Suratno, kompatibilitas Islam dan Modernitas dalam neo-modernisme Nurcholis madjid, dalam
jurnal universitas paramadina., Agustus 2006, h. 332
14
Nurcholis Madjid, cita-cita politik islam era revormasi, (Jakarta: paramadina, 1999) h. 21-22
segi pertimbangan. Dari sudut pandang itu pula kita menilai kesungguhan hati
para fonding fathers dan para tokoh Islam yang selalu menegaskan bahwa antara
Islam dan dan Pancasila tidak ada masalah. artinya bahwa Pancasila sudah jelas
dan sangat kuat merupakan representasi nilai-nilai Islam.
Semangat merajut komponen bangsa hanya dapat diwujudkan apabila
semua warga negara berkomitmen akan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Adapun kelompok Islam yang menganngap pancasila sebagai ideologi
sekuler, sehingga harus digantikan dengan ideologi Islam sepenuhnya tidaklah
tepat. Terdapat pada penjelasan sebelumnya bahwa Pancasila, berikut pembukaan
Undang Undang Dasar, hinggah batang tubuhnya (konstitusi) telah mengakui
Islam sebagai agama yang punya kontribusi besar bagi kemerdekaan dan
peradaban bangsa. Islam tidak hanya tersirat dalam semangat konstitusional
negara, tetapi dengan nyata-nyata termaktub didalamnya. Alinea keempat,
preambule UUD1945, yang berbunyi; “Atas berkat rahmat Allah yang maha
kuasa” jika ditilik kebelakang, merupakan rekomendasi dari para perwakilan
kelompok Islam dalam penyempurnaan pidato Soekarno 1 Juni 1945. Karenanya,
Pancasila sendiri sebagai hal yang pokok dalam berbangsa telah mengakui sejak
awal peran dan keberadaan islam itu sendiri sebagai agama mayoritas masyarakat
Indonesia. Peradaban yang muncul belakangan terkait formalisasi islam dan islam
subtansial, adalah seputar bagaimana pengejewantahan nilai-nilai Islam dalam
membangun tatanan Indonesia yang berkeadilan sosial.
Disini sangat jelas bahwa Pancasila dan nilai-nilai Islam itu sudahlah
senyawa sejak dulu, tidak perlu dilakukan formalisasi yang terkesan kaku,
sehingga memicu benturan yang lebih luas. Bukan seberapa formal ia
dicantumkan dalama aturan hukum. Sebab, esensi Islam tidak terletak dari nilai
formalismenya, tetapi pada oprasionalnya. Pada akhirnya, Islamis tidaknya bangsa
Indonesia tergantung dari seberapa komitmen ummat Islam sendiri dalam
mengamalkan nilai-nilai Islam itu.
Walaupun negara ini mengaku sebagai negara yang berasaskan Islam tetapi
dalam praktiknya melakukan tindakan korupsi masih sering terjadi, diskriminasi
masih saja melanda masyarakat, kemiskinan semakin menjamur, utang semakin
menggunung, maka problem utama masalah itu bukan karna formal atau tidaknya
nilai-nilai Islam yang terlembagakan dalam konstitusi negara. Persoalan bangsa
ini terletak pada komitmen Rakyat Indonesia, mulai dari elite penyelenggaraan
negara sampai pada masyarakat dalam menjalankan nilai-nilai Agamanya sembari
menjunjung tinggi cita-cita bangsa mewujudkan masyarakat adil dan makmur
dalam bingkai Negara Kesatuan Repoblik Indonesia. Sehinnga kembali lagi,
Pancasila sebagai titik temu kesepahaman ide dan sikap dari masing-masing
anasir agama dan kebangsaan telah menjadi instrumen penyatu yang diyakini
mampu mengatasi perpecahan bangsa, menuju Indonesia yang berperadaban.15
Dalam dinamika kebangsaan kita dewasa ini kesadaran masyarakat
khususnya muslim perlu ditumbuhkan ditengah-tengah menurunnya rasa
tanggung jawab dalam mengamalkan, dan menjalankan pancasila karenaperasaan
khawatir bahwa Pancasila bertentangan dengan nilai syariaat Islam. Adapun
penjelasan diatas tadi menerangkan bahwa Pancasila merupakan
pengejewantahaan dari ajaran Islam. Karena islam merupakan rahma bagi seluruh
alam, mencintai kerukunan, toleransi, keadilan, dan semua sendi kehidupan dunia.
Sehingga tuduhan yang mempertentangkan antara syariaat dan kebangsaan dapat
terbantahkan, ini jelas bahwa nilai-nilai Islam secara implisit dan eksplisit terdapat
pada masing-masing sila dalam Pancasila.

a. Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa


Banyak kalangan yang menghendaki agama mayoritas-Islam-menjadi dasar
negara, tapi hal itu ditentang oleh kelompok lain yang menilai bahwa ada hak-hak
pemeluk lain yang minoritas. Sangat penting untuk mengakui bahwa ada
kelompok minoritas didalam kewarganegaraan Indonesia sehinggah jauh dari
tindakan-tindakan diskriminasi. Sila pertama ini ditetapkan sebagai alternatif dari
pembentukan Islam. Sila pertama ini menjamin hak-hak pemeluk agama lain.
Sejauh agama itu diakui oleh negara.16 Membangun Indonesia merdeka bukan atas
dasar kesamaan keagamaan, tetapi berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
yang menganugrahi bangsa Indonesia dengan kemerdekaan.
Sila pertama ini memang diakui baik secara langsung maupun tidak
langsung adalah cermin tadi ajaran Islam. Tuhan dalam agama Islam adalah Esa,
15
R. Saddam Al-Jihad, Op.Cit,. h. 176
16
Adrian Vickers, sejarah Indonesia modern (Yogyakarta: Insan Madani, 2011) h. 181
tidak ada yang menandingi maupun menyekutui-Nya. Ketuhanan Yang Maha Esa
mengandung arti bahwa meskipun Indonesia bukan negara agama, tetapi agama
merupakan nilai luhur yang dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan negara.
Penduduk yang beragama tentu memiliki ajaran luhur yang menjadikan
pemeluknya selalu berada dalam kebaikan dan kebenaran selama mengikuti ajaran
agamanya. Indonesia bukanlah ajaran sekuler yang tidak mengakui Agama dalam
pemerintahannya, dan bukan negara agama yang menjadikan agama mayoritas
sebagai agama negara. Melainkan sebagai negara yang berkeTuhanan Yang Maha
Esa yang mengakui agama sebagai spirit dalam penyelenggaraan negara.
Soekarno mengavirmasiakan bahwa kemerdekaan yang dimiliki oleh
Indonesia ini adalah berkat dan rahmat dari Tuhan. Maka dari itu prinsip
ketuhanan tidak bisa terlepas dari dasar negara Indonesia.

Indonesia dengan beragam pemeluk agama hendaknya bertuhan secara


berkeadaban, artinya saling hormat-menghormati satu sama lain antar pemeluk
agama yang berbeda. Sebagai mana yang diungkapnya dalam pidato 1 Juni 1945:
“Prinsip yang kelima hendaknya; menyusun Indonesia merdeka dengan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip ketuhanan! Bukan saja
bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya
menuhankan Tuhannya sesuai dengan nilai ajarannya. Yang kristen
menyembah Tuhan sesuai dengan petunjuk Isa al-Masih. Yang islam bertuhan
menurutpetunjuk Nabi Muhammad SAW. Orang budha menjalankan
ibadahnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita
semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia adalah negara yang tiap-tiap
orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap
rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni tidak ada egoisme
agama. Dan hendaknya negara Indonesia satu Negara ber-Tuhan! Marilah kita
amalkan, jalankan agama baik Islam, maupun kristen dengan cara berkeadaban.
Apakah cara berkeadaban itu, ialah hormat menghormati satu sama lain”.17
Pada teks pidato yang dibacakan Soekarno didepan BPUPKI ini
menempatkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila terakhir dan

17
Hamka Haq, Pancasila satu Juni dan syariat Islam (Jakarta; RM Boks, 2011)
menempatkan sila kebangsaan sebagai sila pertama. Penempatan urutan ini
banyak menyimpan teka-teki bagi seluruh warga dari dulu hingga sekarang.
Bahkan beberapa kalangan menuduh bahwa Soekarno adalah pemikir sekuler.
Bagi kalangan normatif-tekstualis penempatan sila pertama pada urutan
terakhir kurang tepat, sila ketuhanan merupakan primakuasa dari sila-sila
lainnya.
Namun Soekarno tidak bermaksud untuk menyepelekan urut-urut dengan
menempatkan sila ketuhanan pada sila terakhir. Bila melihat penempatan ini
dari kacamata filsafat, Soekarno memandang bahwa ketuhanan merupakan
final cause/ ultimate cause yang menjadikan tuhan merupakan tujuan akhir dari
pengabdian manusia didunia. Mengagungkan Tuhan tidaklah harus
menempatkan atau menyebut namanya di awal kalimat. Dalam Islam,
menyebut nama Tuhan baik diawal maupun diakhir tidaklah menjadi masalah,
karena semua arah dan tempat adalah milik-Nya, sebagaimana perkataan al-
Qur’an:
“Dialah yang awal maupun yang akhir yang zhahir dan yang bathin; dan dia
maha mengetahui segalah sesuatu” (QS. Al-Hadiid 57:3).18
Keselarasan sila pertama dengan syariaat Islam terlihat dalam al-Qur’an
yang mengajarkan kepada ummatnya untuk selalu mengesakan Tuhan, seperti
dalam surah al-Baqarah, ayat 163 yang berbunyi;
Dan Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan
melainkan dia Yang Maha Murah, lagi Maha Penyayang”. Didalam Islam
konsep ini biasa disebut Hablum min Allah yang merupakan esensi dari tauhid
berupa hubungan manusia dengan dengan Allah atau Taqwa.19

b. Sila kedua; Kemanusiaan yang adil dan beradab


Nilai kemanusiaan dalam sila kedua Pancasila menunjukkan sebuah
sikap penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan tampa memandang suku,
agama, bangsa dan negara. Kemanusiaan melampaui batas negara. Ia adalah
sikap untuk dengan sadar menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Nilai
kemanusiaan menolak sikap chauvinisme yang mementingkan kebenaran
18
Ibid., h. 132
19
Ibid., h. 211
dirinya dibanding manusia yang lain. Penghargaan atas manusia ini menuntut
sikap perilaku manusia yang adil. Adil terhadap dirinya, adil terhadap manusia
lain, karena adil merupakan ketaqwaan seseorang kepada Tuhan artinya bahwa
sifat adil itu adalah sifat Tuhan.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengilhami sila-sila berikutnya, dengan
demikian dapat dikatakan bahwa, nilai tauhid Islam mewarnai sila-sila dalam
Pancasila. Dalam konteks kemanusiaan yang adil dan beradab maka Islam juga
turut memasukkan nilai-nilai dasarnya yaitu sifat adil yang merupakan sifat
utama Allah Swt yang wajib diteladani oleh manusia. Sifat beradab merupakan
lawan dari sifat zalim, dan sifat adil serta beradab terdapat secara tegas dalam
al- Qur’an surah an-Nahl (16);90: “sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari berbuat keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengammbil pengajaran”
Ayat tersebut diatas mengandung garis hukum. yaitu pertama,
“sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan”.
Merupakan perintah berlaku adil dan berbuat kebajikan kepada manusia yang
berasal dari Allah Swt. Terdapat dua perintah Allah Swt, berlaku adil dan
berbuat kebajikan. Keduanya merupakan perinta setaraf dan seimbang. Dimana
seseorang wajib berbuat adil dan berbuat kebajikan. Berbuat kebajikan
merupakan bentuk dari nyata manusia yang telah dikeluarkan dari kegelapan
masa jahiliah. Sebuah masa dimana manusia berbuat menyimpang dari
ketentuan Tuhan. Masyarakat manusia mengalami proses pencerahan ketika
berada dalam kondisi yang tercerahkan secarapola pikir dan perbuatan”.
Kedua, Allah melarang dari berbuat keji, kemungkaran dan
permusuhan”, mengandung perintah berupa larangan bagi kaum muslim untuk
melakukan perbuatan-perbuatan keji. Sebab perbuatan keji merupakan sebuah
pekerjaan yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Perbuatan keji berupa
pembunuhan, perzinahan, kejahatan akan manusia dan makhluk hidup,
menjatuhkan manusia kedalam kehancurannya. Pembangunan manusia Islam
menciptakan manusia berbuat adil, menjauhkan manusia dari perbuatan keji,
yang tentunya menuntut manusia untuk berbuat kemungkaran, dan
permusuhan.
Sikap manusia yang menghargai manusia lainnya, menghargai hak azasi
manusia sebagai hal yang paling mendasar tampak nyata pula dalam al-Qur’an.
Tuhan berfirman: “Dan sungguh kami telah memuliakan anak-adam adam.”
(qs. Al- Isra [17]: 70). Firman tuhan ini menunjukkan sebuah ketegasan bahwa
Tuhan memuliakan manusia semuanya. Tuhan memuliakan siapapun yang
tidak merendahkan manusia yang lain. Manusia apapun keyakinan yang
dianutnya merupakan anak-anak Adam,dan tuhan memuliakan mereka semua.
Ayat tuhan tersebut berkaitan erat dengan firman Tuhan didalam al-Qur’an:
“Dan janganlah kamu membunuh nyawa yang diharamkan Allah, kecuali
dengan alasan yang benar..” (Qs. Al-Israa [17]: 33). Perintah Allah ini
merupakan perintah larangan tegas untuk membunuh nyawa yang diharamkan,
kecuali dengan alasan yang dibenarkan. Alasan yang dibenarkan tentunya
berkaitan dengan hukuman atas pelaku kejahatan (Qishas) yang telah
menimbulkan kerusakan dimuka bumi.
Ketiga firman Allah Swt tersebut menunjukkan sebuah perilaku
kesusilaan, sebuah sikap manusia Indonesia yang berbudi luhur, menghargai
manusia tampa memandang keyakinan religiusnya. Inilah sumbangsi Islam
guna mewujudkan manusia yang tak terpisahkan dari dunia internasional yang
menghargai hak azasi manusia. Islam bukanlah agama yang merusak
kemanusiaan, islam adalah agama yang membangun peradaban manusia. Islam
sangatlah menghargai nilai-nilai kemanusiaan, rasulullaw Muhammad Saw
sangat menghormati pemeluk agama lainnya dimana di kota Madina hidup
masyarakat Islam dan Yahudi.
Sikap dan perilaku manusia yang adil dan beradab adalah pencerminan
sikap Tuhan yang maha adil, dan maha memuliakan hamba-Nya. Sifat inilah
yang wajib diteladani oleh manusia Indonesia yang menyatakan keadilan dan
keberadaban sebagai sebuah ideologi. Ideologi manusia yang mengutamakan
penghormatan dan penghargaan atas manusia setelah ia mengakui Keesahan
Tuhan. Inilah penjelasan hablum minallah dan hablumminannas dalam ideologi
Pancasila.20 Manusia melihat melihat dirinya sebagai kreasi Tuhan Yang Maha
Esa, dan untuk itu dia wajib menyadari dan sekaligus meneladani sifat-sifat
keadilan dan kebajikan-Nya.
Manusia Indonesia dengan ideologi Pancasila telah mampu diterima
ditengah-tengah kanca pergulatan masyarakat internasional. Bangsa Indonesia
dengan konsep penghargaan dan penghormatan yang tinggi atas nilai
kemanusian menolak penjajahan, sifat perilaku destrukstif baik atas dasar agma
maupun atas dasar kesukaan. Manusia diciptakan sederajat, dan manusia
terbaik adalah manusia yang bertaqwa kepada-Nya. Sifat penghargaan Islam
yang tertuang dalam ideologi Pancasila sila kedua ini menghargai sebuah nilai
persaudaraan dan perdamaiaan antar manusia. Persaudaraan dan perdamaian
tersebut tertuang dalam sila ketiga Pancasila.

c. Sila ketiga; Persatuan Indonesia


Pengertian persatuan Indonesia terutama dalam proses merdeka, sebagai
faktor kunci, sumber semangat, dan sumber tercapainya Indonesia merdeka. 21
Dengan demikian dapat diartikan bahwa sila persatuan Indonesia tidak
menghendaki perpecahan baik sebagai bangsa, maupun sebagai negara. Karena
bangsa Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku dan keturunan berdiam
diatas suatu wilayah luas yang terdiri dari beribu-ribu pulau tetapi karena sifat
kesatuan, maka tidak dapat dibagi-bagi, menjadi utuh, satu dan tidak terpecah-
pecah untuk menyeluruh22
Penghargaan atas keberagaman dalam persatuan dalam Islam tergambar jelas
dalam firman Allah SWT:
“Wahai manusia! Sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari laki-laki
dan perempuan, kemudian kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal” (Qs. al- Hujuurat [49]: 13)
berkenaan dengan ayat ini yang menerangkan bahwa didalam agama Islam

20
Azhari, Negara Hukum, “studi tentang prinsip-prinsipnya, dilihat dari segi hukum Islam,
implementasinya pada preode Negara Madina dan masa kini”, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang,
1992)
21
Kaelan, filsafat Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2002), h. 183.
22
Kabul Budiyono, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Alfabeta, 2009) h. 148.
tidak mengenal diskriminasi. Ukuran kemanusiaan seseorang hanyalah
tergantung ketaqwaan seseorang kepada Tuhan.
Ibnu Asakir berkata didalam mubhimatnya: saya mendapati khath Ibnu
Basyukual, bahwa Abubakar Bin Abu Daud mengemukakan didalam tafsirnya:
bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Abi Hindun. Olah Rasul
Allah menyuruh kaum bani bayadla untuk mengawinkan salah seorang
perempuan mereka dengannya. Mereka berkata: “Ya Rasulullah, pantaskan
kami mengawinkan putri-putri kami dengan muala-muala kami?” Maka
turunlah ayat tersebut (Juz 26, Qs. al-Hujuurat [49]: 13) berkenaan dengan
peristiwa itu bahwa Islam tidak mengenal perbedaan antara bekas budak
dengan orang merdeka.23
Ayat tersebut diatas menggambarkan bagaimana Tuhan menciptakan
manusia dengan ragam budaya (mulikultural). Bangsa indonesia diciptakan-
Nya dalam beragam suku, dan tentunya setiap suku dibekalinya dengan alat
komunikasi berupa bahasa kaumnya. Beragamnya suku bangsa dari manusia
ciptaan tuhan ini menyadarkan kita bahwa kita hidup bersamadengan manusia
lainnya yang beragam suku bangsa. Menyatunya suku bangsa dalam bingkai
Indonesia ini adalah akibat terjadinya penjajahan yang telah menyengsarakan
manusia Indonesia.
Masyarakat dan bangsa Indonesia menciptakan kesadaran dalam sikap
batin akan kesamaan nasib yang menyatukan semuah komponen anak bangsa
dalam sebuah semangat nasional. Faham Nasionalisme dalam konteks Islam
juga dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw ketika mengadakan sebuah
perjanjian perdamaian dalam sebuah piagam yang dikenal dengan nama
Piagam Madina. Piagam madina memuat hubungan persaudaraan antara Kaum
Muslimin dengan Kaum Yahudi yang bersama-sama tinggal di Madina.24
Kedua belah pihak bersepakat untuk saling membantu dalam hal terjadinya
peperangan yang mereka hadapi. Piagam madina menjadi contoh hubungan
baik yang terjadi antara ummat beragama yang dicontohkan oleh Rasulullah
Muhammad Saw. Hubungan antara ummat beragama terjalin dengan sebuah
kesadaran bahwa sanya kita hidup atap langit yang sama.
23
Ahmad Mustafa Al- Maragi, Tafsir Al-maragi, (Semarang : CV Toha Putra, 1986) h.234
24
Muhammad Ali Hasyimi, Musyawarah Dalam Islam (Jakarta: Islam House, 2009)
Kehancuran antara ummat beragama perlu dijalin dengan menghilangkan
bergam prasangka buruk terhadap pemeluk agama lain. Konsep persaudaraan
antara ummat beragama membolehkan kita untuk saling bekerja sama,
bermuamalah, saling tolong menolong yang dilandasi oleh semangat
persaudaraan dan persatuan seperti yang terangkum dalam perjanjian antara
ummat Islam dan Yahudi. Dalam lapangan muamalah kita diwajibkan untuk
menciptakaan rasa persaudaraan, dan Rasulullah Saw melarang ummat Islam
untuk menggangu orang yang berbeda agama/keyakinan karena Islam
merupakan rahmat bagi seluruh alam.
Sikap destruktif dengan saling menghancurkan adalah sebuah sikap yang
jauh dari nilai-nilai Islam. Islam diwajibkan berperang ketika kaum muslimin
terusir dari tanah-tanah yang mereka tempati. Kewajiban tersebut berkaitan
dengan hak untuk hidup sebagai hak azasi manusia. Peperangan ataupun sikap
destruktif oleh ummat Islam lebih disebabkan oleh ketidak adilan sosial yang
terjadi akibat karena terusirnya mereka akibat terjadinya eksploitasi besar-
besaran oleh oligarki. Dalam konsep persaudaraan antar ummat beragama, nilai
keimanan dengan mengakui Tuhan yang maha esa sebagai konsep tauhid
adalah sebuah kesadaran mutlak religiusitas ummat Islam dimanapun dan
kapanpun. Kesadaran pengakuan Tuhan Yang Maha Esa tidak menjadikan
ummat Islam menyatakan sikap permusuhan terhadam ummat beragama lain.
Pengakuan atas nilai religius yang berbeda diakui dalam Islam itu
terdapat dalam al-Qur’an surah al-Kafirun ayat satu sampai enam. Konsep
penghormatan kepada ummat beragama lainnya menjadikan ummat Islam
mengedepankan kerjasama sosial atau dalam konsep pancasila itu desebut
dengan gotong royong dengan pemeluk agama lain.
Nilai persatuan antar ummat beragama diletakkan sebagai basis falsafa
bangsa. Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang terdiri atas
beragam etnik, suku maupun keyakinan. Keberagaman masyarakat yang
multikultural ini menjadikan kita semakin menyadari bahwa setiap ummat
beragama di Indonesia harus terjalin persaudaraan walaupun tidak serumpun
keyakinan, etnis dan budaya. Kesadaran akan persamaan kebutuhan,
kepentingan, tidak menjadikan kita bermusuhan, sebab karena permusuhan
akan membuat kehancuran peradaban Indonesia.
Perbedaan agama, kultur, etnik menjadi salah satu faktor
penyatusekaligus menjadi titik tolak terjadinya perpecahan bangsa. Kehancuran
peradaban bangsa indonesia dengan mudah terjadi apabila setiap komponen
bangsa mengutamakan garis-garis perbedaan atau mengutamakan kepentingan
pribadi, dan kelompoknya dibandingkan titik-titik persamaan antar komponen
bangsayang berbeda dan beragaam. Beragam sengketa mudah terjadi akibat
adanya egosentris kesukuan yang tinggi, egosentris keagamannya dan
mengesampingkan rasa Ketuhanan.
Masyarakat Indonesia sebagai bagian dari sebuah bangsa yang besar
melihat adanya sebuah nilai –nilai kesadaran bangsa melalui nilai-nilai yang
terkandung dalam Islam. Mengutamakan basis ideologi yang yang kontruktif
dalam Islam akan menjadikan masyarakat Muslim Indonesia jauh dari
semangat saling menghancurkan satu sama lain. Sebagai masyarakat yang
beragama, maka setiap komponen bangsa menyadari bahwa setiap masalah
yang dihadapi selayaknya diselesaikan melalui mekanisme musyawarah.
Prinsip musyawarah begitu diutamakan dalam al-Qur’an, dan hal tersebut telah
diletakkan dalam pondasi ideologi permusyawaratan rakyat yang tertuang
dalam sila keempat Pancasila.

d. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam


Permusyawaratan dan Perwakilan.
Sila keempat Pancasiala menekankan pentingnya kehidupan yang
dilandasi oleh permusyawaratan memang selaras dengan nilai-nilai luhur ajaran
Islam. sikap bijak dalam menyelesaikan suatu masalah adalah dengan
musyawarah. Musyawarah merupakan jalan terbaik dalam menemukan solusi
dari masalah yang sedang menggerogoti bangsa Indonesia. 25 Hasil dari pada
musyawarah merupakan kesepakatan bersama yang harus dijalankan dengan
penuh keihlasan.

25
Prof. Dr. Hamka Haq, MA., Pancasila 1 Juni dan syariat Islam (Jakarta : RM Books , 2011) h.
212
Konsep Islam mengenai musyawarah dalam menyelesaikan segala
persoalan dikenal dengan nama syuura (musyawarah), konsep ini tercermin
dalam beberapa surah dalam al-Qur’an salah satunya dalam surah Ali Imron,
ayat 159;
“maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi, berhati kasar tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau membulatkan tekad, maka
bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.” (qs. Ali Imron[3]:159).

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan


mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dngan musyawarah
antara mereka; dan mereka menafkakan sebagian dari rezki yang kami
berikan kepada mereka” (Qs. asy- Syuura [42]: 38)
Dari ayat diatas sangat jelas bahwa Islam adalah agama yang
mengutamakan kemashalatan ummat, dengan demikian sangat logis bahwa
Islam mengutamakan musyawarah dan kerja sama untuk mencapai suatu
tujuan yang diharapkan. Kerja sama dan sikap saling menolong begitu urgen
dalam Islam sehingga Rasulullah Saw dalam menghadapi beberapa peperangan
perlu mengundang para sahabat untuk melaksanakan musyawarah. Rasulullah
adalah orang yang sangat suka bermusyawarah dengan para sahabatnya,
bahkan beliau adalah orang yang paling banyak bermusyawarah dengan
sahabat. Beliau bermusyawarah pada saat diperang badar, bermusyawarah
dengan mereka di perang Uhud, beliau mengalah dan mengambil pendapat
para pemuda untuk membiasakan mereka bermusyawarah dan berani
menyampaikan pendapat dengan bebas sebagiman di perang uhud. Beliauh
bermusyawarah dengan para sahabatnya di perang khandak, beliau pernah
berniat hendak melakukan perdamaiaan dengan suku ghatafan dengan imbalan
sepertiga hasil buah Madina agar mereka tidak berkomplot dengan Quraisy.26
26
Muhammad Ali al-Hasyimi, Musyawarah dalam Islam, terjemahan oleh Muzafar Sahidu,
( Jakarta : Islam House, 2009)
Islam mewarnai nilai-nilai ideologi bangsa melalui proses
bermusyawarah dalam penyelesaiaan setiap masalah yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia. Mengedepankan perkelahian akal sehat dalam proses dinamika
intelektual dibanding mengutamakan kekerasan yang berdampak pada
kehancuran bangsa. Proses musyawarah yang demokratis tidak sekedar
mengutamakan suara rakyat semata-mata tetapi juga mengedepankan
penghormatan terhadap nilai-nilai hukum yang sudah terlembagakan.
Berbagai pertikaian dan sengketa yang terjadi di seantero Nusantara pada
umumnya adalah sebuah cara keluar dari tekanan ekonomi yang menimpa
bangsa ini. Islam bukanlah agama yang mengutamakan kepentingan pribadi
semata, tetapi lebih jauh menjangkau keadilan bagi banyak pihak.
Ketimpangan sosial dan ekonomi bangsa menjadi titik kembali kepada idologi
bangsa yaitu menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

e. Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia


Keadilan sosial berkaitan dengan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh
rakyat Indonesia, dan Islam telah mencanagkan bentuk masyarakat yang
berkeadilan. Allah Swt berfirman dalam Qs. Az-Dzariyat [51]: 19) ;
“Dan pada harta-harta mereka, ada hak untuk orang miskin yang meminta
dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” Berdasarkan ayat ini
sangatlah mengafirmasikan bahwa harta harus terbagi dengan adil kepada
masyarakat keseluruhan. Harta yang diditribusikan oleh manusia adalah harta
milik manusia lainnya. Konsep pemusatan harta hanya ditangan golongan
tertentu tidak dapat diterima, karena akan menimbulkan ketimpangan ekonomi
yang menjadikan jurang pemisah antara kaya dan miskin semakin menjamur.
Keadilan sosial adalah tujuan terciptanya keadilan dalam Islam, Islam menolak
sistem kapitalisme yang memusatkan harta hanya ada ditangan para pemilik
modal. Islam adalah agama adil, karena keadilan adalah sifat Tuhandan berbuat
adil akan mendekatkan diri kepada taqwa dan taqwa adalah wujud kedekatan
hamba kepada Tuhan.
Jika ditilik secara mendalam tentang keadilan sosial Islam dengan
pancasila sila kelima, maka sila pertama pancasila (tauhid) mewarnai setiap
sila,maka sebagai bangsa kita menyakini bahwa harta yang kita peroleh adalah
karunia Tuhan Yang Maha Esa dan untuk itu maka kekayaan negara harus
dirasakan oleh setiap warga Indonesia.
Konsep keadilan sosial dalam Islam diterapkan secara kongkrit dalam
bentuk zakat. Harta didistribusikan kepada seluruh rakyat ploletar, dan zakat
adalah bersifat Wajib mengandung makna pembersihan menuju kesucian.
Harta diperoleh dengan cara-cara yang dibenarkan oleh Islam serta
didistribusikan secara adil. Pada al-Qura’an Allah Swt berfirman:
“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bahagian tertentu, bagi
orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang
tidak mau meminta).” (Qs. al-Ma’rij [70]: 24-25)
Ayat tersebut diatas menegaskan kembali Qur’an surah 51:19 bahwa setiap
tetesan harta yang diturunkan tuhan kepadanya terdapat bagian orang miskin.
Penerapan keadilan sosial haruslah dimaknai bukan hanya sekedar
mebangun lembaga-lembaga keuangan yang berbasis Islam (syariah), akan
tetapi keadilan sosial adalah pendistribusian kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia pada umunya.

PENUTUP

A. Kesimpulan
Akhirnya harus dikatakan bahwa Weltanschauung Pancasila merupakan
yang tidak hanya kreatif dalam melakukan sintesis ideologi besar dunia, tetapi
sekalipun yang paling berhasil dalam mengatasi problem mendasar yang
melibatkan Agama dan negara itu sendiri. Pancasila bukan hanya sebagai “jalan
tengah” seperti yang disinyalir oleh Russel, tetapi satu-satunya ideologi nasional
yang mampu melampai ideologi-ideologi besar lainnya yang pernah ada. Sebagai
karya bersama, Pancasila sebagai genuitas kearifan bangsa yang darinya Indonesia
merdeka diletakkan.27 Membangun Indonesia merdeka bukan atas dasar kesamaan
keagamaan, tetapi berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa yang
menganugrahi bangsa Indonesia dengan kemerdekaan.
Pancasila sebagai dasar negara atau ideologi negara tidaklah bertentangan
dari nilai-nilai ajaran Islam. sebagai agama yang rahmatan lil alamin (rahmat
bagi semesta alam), Islam sangat relevan dalam segalah bidang kehidupan. Islam
mengatur para pemeluknya dalam segala hal, baik itu menyangkut kehidupan
individu, maupun sosial kemasyarakatan. Kedalaman nilai filosofis Pancasila
yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai ajaran Islam hendaknya memperkuat
posisi kita sebagai warga negara Indonesia yang beragama. Beragama dengan
berkeadaban dengan menghormati semua pemeluk agama yang ada, sebagai mana
yang dicita-citakan oleh Soekarno.
Oleh karena itu kita sebagai Masyarakat Indonesia senantiasa
melaksanakan, menjaga, dan mengaplikasikan nilai-nilai luhur Pancasila dalam
setiap pola laku kita sebagai generasi bangsa sehingga kita menyadari bahwa
Islam dan Pancasila tidak perlu lagi dibenturkan karena sudah sangat jelas antara
persenyawaan diantara keduanya.

27
R. Saddam Al-Jihad, Op.Cit,. h. 183

Anda mungkin juga menyukai