Anda di halaman 1dari 4

Nama : Anjar Susanti

Nim : 2902150012

Prodi : Akuntansi Reguler Plus

Mata Kuliah : Etika Bisnis

Dosen Pengampu :

Artikel Permasalahan Etika Dalam Bisnis Yang Ada Di lingkungan Masyarakat

A. Latar Belakang

Membahas korupsi perusahaan BUMN rasanya belum lengkap jika tidak membahas PLN. Sejak
awal 2000-an, sudah ada tiga Direktur Utama PLN yang diringkus akibat korupsi: Eddie Widiono
(sudah bebas), Nur Pamudji, dan Sofyan Basir.

Eddie dihukum karena korupsi proyek Rencana Induk Sistem Informasi, Nur Pamudji akibat
korupsi pengadaan bahan bakar minyak High Speed Diesel, dan terakhir Sofyan Basir sedang
disidang akibat kasus suap PLTU.

Eddie mengklaim apa yang telah diperbuatnya adalah perbuatan yang menguntungkan negara,
karena hingga 2011 pekerjaan yang dilakukan itu masih dinikmati oleh PLN.
Sebenarnya apa yang dilakukan Eddie sampai dirinya divonis lima tahun?

Berikut kronologi kasus Eddie Widiono :

Terdakwa mengundang Gani Abdul Gani, Direktur Utama PT Netway Utama untuk presentasi atas
penawaran PT Netway untuk pengadaan proyek Customer Information System-Rencana Induk
Sistem Informasi (CIS-RISI) di PLN Disjaya Tangerang.

Setelah presentasi tersebut terdakwa mengatakan ini adalah peluang PT PLN dengan resiko
kegagalan di tanggung oleh PT Netway Utama dan juga dapat menguntungkan dua belah pihak
dengan sistem joint venture.

Terdakwa mengirim surat kepada General Manager PLN meminta PLN melanjutkan proses
dengan PT Netway Utama.

Terdakwa meminta CIS-RISI yang ditawarkan Netway segara dilaksanakan secepat mungkin.

Mei 2001
Dalam rapat dengan jajaran PLN Pusat untuk membahas roll out CIS-RISI dengan PT Netway
Utama. Direktur Perencanaan menyarankan supaya melalui tender. Tapi terdakwa tetap
mempertahankan PT Netway sebagai pelaksana dan kemudian General Manager PLN Disjaya
Tangerang Margo Santoso melanjutkan proses negosiasi.

22 Mei 2001
Margo mengirimkan surat kepada kantor hukum reksa paramita yang melampirkan dokumen
proposal dengan PT. Netway Utama. Dengan permintaan dilakukan dengan kajian hukum yang
berlaku.

29 Mei 2001
Reksa Paramita menerbitan memorandum. Yang menyatakan CIS-RISI dapat dilakukan setelah
rapat umum pemegang saham.

10 Agustus 2001
Terdakawa menemui Sofyan Djalil untuk meminta persetujuan roll out CIS-RISI yg menunjuk PT
Netway Utama hanya dewan komisiaris meminta supaya diajukan dalam bentuk tertulis.

Terhadap surat terdakwa tersebut dewan komisaris mengirim surat tgl 22 Agustus 2001 yang
berisi bahwa kajian hukum belum komprehensif. Sehingga perlu dilengkapi dengan aspek harga
yang masih tinggi dan waktu pengerjaan.

11 September 2001
Terdakwa kembali mengrimkan surat ke dewan komisaris yang isinya pemilik intelektual atas
aplikasi CIS RISI adalah PT Netway Utama dan penunjukkan langsung telah berdasarkan
keputusan direksi. Padahal waktu itu belum ada kajian hukum dan CIS yang kata terdakwa PT
Netway Utama belum terdaftar di Dirjen HAKI.

11 November 2001
Terdakwa mengirimkan surat sebagai jawaban dewan komisaris. Terdakwa mengatakan proyek
roll out CIS RISI yang paling memungkinkan saat itu dan penunjukkan langsung telah usai.

Walaupun tanpa persetujuan dekom, tanggal 23 November terdakwa memberi tahukan kepada
Margo Santoso melalui surat yang isinya menyatakan dekom telah menerima dan mendukung
rencana CIS RISI dan menyetujui rencana tersebut.

Kemudian Margo membuat tim negosiasi dan reevaluasi. Tim tersebut sejak 1 Januari 2002
melakukan pertemuan dengan Gani yang biayanya di tanggung oleh PT Netway Utama.

Margo membentuk tim penunjukkan langsung tgl 17 Februari 2003 yang isinya memerintahkan tim
penunjukkan langsung membuat perencanaan.

9 Oktober 2003
Terdakwa menerbitkan SK PLN yang menganggap saksi Fahmi Mochtar menggantikan saksi
Margo Santoso. Dan memerintahkan Margo yang isinya seolah-olah menerangkan proses kajian
PT Netway Utama dan penunjukan langsung sudah sesuai ketentuan.
14 Oktober 2003
Terdakwa kembali mengajukan ijin prinsip kepada dewan komisaris PLN untuk penunjukkan
langsung. Dengan anggaran tahun 2004 sebesar Rp. 100 M.

Tapi dewan komisaris pada tanggal 7 November 2003 memberi jawaban bahwa dewan komisaris
belum memberi persetujuan dengan harga yang diajukan terdakwa.

Saksi Sunggu Aritonang dengan sepengetahuan terdakwa meminta Dirut PLN 2008-2009 Fahmi
Mochtar melakukan negosiasi ulang dengan PT. Netway Utama.

Kemudian pada 12 November 2003, Gani menyetujui penurunan harga dari Rp142 miliar menjadi
Rp 137 miliar.

26 Maret 2004
Terdakwa menerbitkan surat kuasa khusus. Berdasarkan surat kuasa tersebut Fahmi dan Gani
menandatangani surat kerjasama dengan jangka waktu pelaksanaan 24 bulan. Padahal perjanjian
kerjasama tersebut tidak berdasarkan persetujuan pemegang saham.

Perbuatan terdakwa yang menyutujui penunjukan langsung tidak sesuai dengan keputusan direksi.

B. Teori Pendukung Untuk Menyelesaikan Masalah

Mantan Direktur Utama PLN Eddie Widiono dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Vonis itu
dibacakan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu, 21 Desember
2011.

"Menyatakan Saudara Eddie Widiono secara sah dan menyakinkan bersalah dengan vonis lima
tahun penjara," kata Ketua Majelis Hakim Tjokorda Rae Suamba. Selain itu, Eddie juga didenda
sebesar Rp 500 juta atau subsider hukuman penjara enam bulan. Ia juga diminta membayarkan
uang pengganti Rp 2 miliar atau penjara dua tahun bila tak dibayarkan dalam satu bulan.

Hakim menyatakan Eddie bersalah dalam kasus korupsi proyek outsourcing Customer


Information System-Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) di PLN Distribusi Jakarta Raya
(Disjaya) Tangerang tahun 2004-2007. Kasus ini terjadi saat Eddie menjabat sebagai Direktur
Utama PLN periode 2001-2008.

Menurut jaksa penuntut umum Muhibudin, Eddie melakukan korupsi karena memerintahkan
penunjukan langsung kepada PT Netway Utama sebagai kontraktor proyek. Eddie didakwa 
memperkaya diri sendiri dan orang lain sehingga merugikan keuangan negara setidak-tidaknya
Rp 46,1 milyar.

Dalam hal penunjukan kontraktor, Eddie tak melibatkan Komisaris PLN. Komisaris bahkan tak
pernah menyetujui penunjukan langsung terhadap PT Netway Utama, kontraktor proyek
tersebut. Jajaran komisaris sangat lama menelaah rencana proyek CIS RISI di Disjaya
Tangerang.

Bahkan, sejak dibahas tahun 2001 hingga setahun kemudian, dia dan Komisaris PLN periode
1999-2002 lainnya belum menyetujui proyek itu diadakan. Termasuk soal menunjuk langsung PT
Netway sebagai rekanan.

Perbuatan korupsi dilakukan Eddie secara sendiri ataupun bersama-sama dengan eks General
Manager PLN Disjaya Tangerang Margo Santoso, Fahmi Mochtar, serta Direktur Utama PT
Netway Utama Gani Abdul Gani. Eddie disebut jaksa memperkaya diri sendiri Rp 2 miliar,
memperkaya Margo Rp 1 miliar, Fahmi Rp 1 miliar, dan Gani Rp 42,1 miliar. Dalam perkara ini,
jaksa sebelumnya menuntut Eddie hukuman pidana tujuh tahun penjara.

Dalam dakwaan primer, Eddie dijerat Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.
20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Sedangkan dalam dakwaan subsider, Eddie dijerat Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun
2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun
penjara dan denda Rp 1 miliar.

C. Penyelesaian Masalah
Penuntasan kasus korupsi di PLN yang melibatkan Dirut PLN Eddie Widiono belum jelas, pihak
kepolisian dan kejaksaan saling lempar berkas perkaranya. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) Taufiequrrachman Ruki pun meminta agar kedua instansi tersebut duduk bersama
membicarakan penyelesaiannya."Coba diselesaikan ketidakcocokannya, apa dan di mana antara
penyidik dan jaksa. Jangan dijadikan wacana polemik, karena bisa merembet sampai bawah," kata
Ruki di Gedung Krida Bhakti, Jl Veteran III, Jakarta Pusat, Jumat (22/9/2006).Menurut Ruki, pihak
Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Mabes Polri belum memiliki kesepahaman yang sama dalam
penyelesaian korupsi di PLN tersebut. "Sebagai sesama profesional harus bisa bicara secara
profesional juga," ujarnya singkat.Eddie Widiono ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi
pengadaan mesin PLTG Borang yang merugikan negara sebesar Rp 125 miliar. Eddie ditahan
sejak 3 Mei 2006 dan dibebaskan pada 30 Agustus 2006.Penyidik Mabes Polri berpendapat Eddie
terbukti melakukan korupsi sekitar Rp 300 miliar. Namun pihak kejaksaan menilai bukti-bukti yang
disodorkan penyidik belum kuat, dan meminta agar saksi dari luar negeri juga di-BAP.

Anda mungkin juga menyukai