Permasalahan Demokrasi Dan Solusinya: Sebuah Telaah Pemikiran Richard Rorty
Permasalahan Demokrasi Dan Solusinya: Sebuah Telaah Pemikiran Richard Rorty
SKRIPSI
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana humaniora
Setelah melalui tantangan dan godaan yang datang silih berganti, akhirnya skripsi
ini terselesaikan juga. Oleh karena itu, saya mendapat kesempatan untuk
mendedikasikan satu lembar pembuka ini bagi yang sudah membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini, kepada :
Penulis
Ottaru Gde Bramantya
vi
viii
This paper discusses about Richard Rorty’s thinking that can solve problems in a
democracy. Broadly speaking, the problems in a democracy involves three kinds,
the first is tyranny of the majority, the second is ethnic and national conflicts, and
the third is ineffective governance. These problems can be solved by the three
concepts of thought Richard Rorty. The first concept is contingency, the second
concept is irony, and the third concept is solidarity. As a result of the merger
between the issues and concepts such consideration is do not be cruelty.
ix
HALAMAN JUDUL.............................................................................................................i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME..........................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS...................................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................................iv
UCAPAN TERIMA KASIH................................................................................................v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH..........................................vii
ABSTRAK........................................................................................................................viii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................x
1. BAB 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah..................................................................................................6
1.3 Landasan Teori.........................................................................................................7
1.4 Thesis Statement......................................................................................................9
1.5 Tujuan Penulisan......................................................................................................9
1.6 Metode Penelitian....................................................................................................9
1.7 Sistematika Penulisan.............................................................................................10
5. BAB 5 Penutup
5.1 Demokrasi dan Kosa Kata Akhir………………………………………………..65
5.2 Demokrasi sebagai Negasi Finalitas…………………………………………….68
Daftar Pustaka........................................................................................................................72
xi
PENDAHULUAN
Berangkat dari zaman Yunani kuno maka tidak salah kalau Plato disebut-sebut
sebagai pencetus negara utopia. Sebenarnya ada beberapa segi terpenting dalam
filasafat Plato, poin pertama adalah gagasannya mengenai negara utopia, poin
kedua adalah mengenai teori tentang ide-ide, ketiga adalah pendapat Plato yang
mendukung imortalitas, poin keempat adalah mengenai kosmogoni, dan yang
kelima mengenai konsep pengetahuan yang lebih bersumber dari ingatan dari
pada persepsi. Karena topik pembahasan skripsi ini mengenai negara dan
demokrasi maka yang akan dibahas lebih lanjut hanya mengenai negara utopia
1
Guna mengatasi permasalahan ruang kosong yang dilontarkan oleh Lefort, saya
meminjam pemikiran Rorty yang akan menjadi dasar pemikiran dari skirpsi ini.
Rorty kembali kepada konsepsi keadilan yang tidak didasarkan pada hakekat
manusia yang bersifat tetap. Dalam hal ini Rorty mengutip pendapat dari Thomas
Jefferson, yakni bahwa "kita tidak akan melukai tetangga kita dengan mengatakan
bahwa ada dua puluh Tuhan atau tidak ada Tuhan sama sekali." Dari kutipan
tersebut dapat terlihat bahwa masyarakat tidak memerlukan kepercayaan metafisis
yang sama supaya mereka bisa hidup bersama. Semua bentuk konsepsi filosofis
tentang hakekat manusia tidaklah diperlukan untuk menata masyarakat yang
demokratis dan liberal. Sudut pandang ini mempunyai akibat penolakan terhadap
semua upaya untuk mencari dasar moral bagi kehidupan bersama dan pembedaan
tegas antara perwujudan potensi-potensi diri dengan penciptaan solidaritas sosial.
Permasalahan ini menjadi dasar dari buku Rorty yang berjudul Contingency,
Irony, and Solidarity, dalam buku ini Rorty menggunakan konsep kontingensi
yang dimana gagasan ini mengacu pada penolakan terhadap fondasi universal yang
diasumsikan secara apriori, seperti tampak dalam filsafat modern. Bagi kaum liberal
ironis, ekspektasi “non-cruelty” itu bersifat kontingen, tetapi ekspektasi itu dapat
diperluas melampaui batas-batas komunitas itu sendiri. Dari situlah terbangun
solidaritas yang semakin luas untuk mencegah terjadinya kekejaman atau
“cruelty”. Norma anti-kekerasan ini merupakan sebuah upaya, sesuatu yang
diperbincangkan dalam persentuhan dengan budaya-budaya lain, dan bukan
Demokrasi merupakan satu dari beberapa faham yang dianut oleh banyak negara,
dari mulai negara berkembang hingga negara maju. Akan tetapi, apakah negara-
negara tersebut memang cocok menganut paham demokrasi sebagai dasar negara
mereka masing-masing? Demokrasi yang merupakan suatu paham yang
mengatasnamakan rakyat, atau biasanya didengunkan dengan adagium „dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat‟ mengimplisitkan suatu kepercayaan pada
rakyat memiliki dan mengerti hak serta kewajiban masing-masing sebagai warga
negara dan mengerti batas-batas antara ruang publik dengan ruang privat.
Skripsi ini didasari dengan berbagai macam teori mengenai demokrasi. Dari mulai
asal mula terciptanya demokrasi hingga penerapannya dalam kehidupan bernegara
saaat ini. Akan disebutkan pula berbagai macam teori dari beberapa tokoh filsafat
dan tokoh besar yang mengusung istilah demokrasi. Demokrasi sebagai salah satu
dari paham besar yang dianut oleh banyak negara pun sebenarnya mempunyai
banyak kekurangan. Dalam skripsi ini akan disebutkan pula kekurangan tersebut
beserta kelebihannya, salah satu kekurangan tersebut adalah pada bagian
masyarakat suatu negara yang menganut paham demokrasi haruslah mengerti
batas-batas antara ruang publik dengan ruang privat. Bagaimana jika masyarakat
suatu negara yang menganut paham demokrasi belum bisa mengerti mengenai
batas-batas antara ruang publik dengan ruang privat? apakah demokrasi bisa
berjalan dengan semestinya? Teori mengenai permasalahan ini akan disebutkan
juga.
Di sini apa yang ditekankan oleh Rorty adalah kontingensi yang mengacu pada
penolakan terhadap fondasi universal yang diasumsikan secara apriori, seperti
tampak dalam filsafat modern. Bagi kaum liberal ironis seperti Rorty, ekspektasi
“non-cruelty” itu bersifat kontingen, tetapi ekspektasi itu dapat diperluas
melampaui batas-batas komunitas itu sendiri. Dari situlah terbangun solidaritas
yang semakin luas untuk mencegah terjadinya kekejaman atau “cruelty”. Norma
anti-kekerasan ini merupakan sebuah upaya, sesuatu yang diperbincangkan dalam
persentuhan dengan budaya-budaya lain, dan bukan sesuatu yang sudah ada atau
yang ditemukan dalam masyarakat itu sendiri. Untuk terbentuk solidaritas yang
meluas, Rorty melakukannya menyatakan suatu moralitas mendasar bahwa
kekejaman adalah sesuatu hal yang terburuk yang mampu dilakukan seorang.
Perluasan solidaritas ini diperlukan mengingat bahwa masing-masing komunitas
mempunyai kosa kata yang berbeda. Pada tingkat lanjutnya, apa yang
diungkapkan oleh Rorty itulah yang sangat bisa menguatkan demokrasi dengan
memperhitungkan kontingensi dan sekaligus mengembangkan solidaritas pada
masyarakat demokratis itu sendiri.
Penulisan ini diajukan guna memenuhi syarat kelulusan yang ditetapkan oleh
Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Penulisan skripsi ini pun adalah sebagai sarana untuk menunjukkan sebagian dari
hasil berkuliah di Jurusan Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia. Penulisan ini juga dapat menunjukkan sudut pandang apa
yang telah di dapat selama berkuliah di jurusan filsafat tersebut.
Selain itu, penulisan skripsi ini ditujukan agar pembaca dapat melihat sudut
pandang baru mengenai demokrasi, khususnya demokrasi yang terjadi di
Indonesia. Salah satu tujuan penulisan ini juga adalah untuk menunjukkan kepada
pembaca mengapa paham demokrasi mempunyai kemungkinan yang kecil untuk
berhasil dalam sistem pemerintahan dalam penerapannya pada negara-negara
berkembang atau negara dunia ketiga, yang kembali dengan contoh kasus
demokrasi yang terdapat di Indonesia. Akan tetapi pembaca diharapkan dapat
menyikapi persoalan ini dengan bijaksana.
Metode yang akan digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah metode
kritis reflektif. Permasalahan terlebih dahulu akan dikritisi baru setelah itu akan
dianalisis yang nanti pada akhirnya akan terdapat kesimpulan. Tentu saja proses
pengkritisan dan analisis itu dilakukan dengan meminjam sudut pandang dari
Rorty ditambahkan sedikit sudut pandang dari penulis. Penulisan juga akan sedikit
berbentuk eksposisi karena akan terdapat pemaparan dari pemikiran Rorty dalam
9
Penulisan skripsi ini akan dibagi dalam lima bab. Bab I sebagai bab pendahuluan
akan memaparkan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, metodologi
penelitian, tujuan penulisan, dan yang terakhir dalam bab ini adalah sistematika
penulisan.
Bab II akan menguraikan mengenai teori demokrasi yang akan dibahas dari asal
mula terbentuknya hingga penerapannya dalam kehidupan zaman sekarang. Dan
tentu saja dalam bab ini akan terdapat pemaparan mengenai permasalahan-
permasalahan dalam demokrasi, yaitu tirani mayoritas, pemerintahan yang tidak
efektif, dan konflik etnis maupun nasional.
Bab III akan membahas tentang pemikiran Rorty di dalam bukunya “Contingency,
Irony, and Solidarity”.
Bab V adalah bab akhir dalam skripsi ini. Dalam bab ini akan terdapat kesimpulan
atas apa yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya
10
Konsepsi awal demokrasi bisa dilihat pada pemikir Aristoteles, walau tidak
secanggih pemikiran demokrasi sekarang, tetapi hal itu memberikan penjelasan
bagaimana sebuah ide berkembang. Menurut Aritoteles, secara umum,
pemerintahan mungkin dilaksanakan menurut oleh satu orang, beberapa orang
atau oleh banyak orang, dan setiap bentuk operasionalisasi dari pemerintahan
tersebut dapat dilaksanakan dengan tepat atau tidak tepat.
Kategori tepat pada pemerintahan itu sejalan dengan apa yang dilakukan untuk
kebaikan bersama, sementara kategori yang tidak tepat jika bertujuan untuk
melayani kepentingan-kepetingan privat, baik dari satu, beberapa, atau banyak
sendiri. Di sini, kita bisa melihat sebuah pilar bagi demokrasi di kemudian hari,
yaitu „kebaikan bersama‟. Dengan konsep kebaikan bersama ini, Aristoteles tidak
bermaksud bahwa kepentingan orang satu-satu yang diagregasi , tetapi apa yang
baik untuk komunitas mereka. Tidak heran jika apa yang dianggap sebuah
komunitas yang baik bagi Aristoteles adalah sebuah komunitas yang
mempromosikan kesejahteraan semua anggotanya dengan memungkinkan setiap
anggota untuk melaksanakan potensi yang tepat dan untuk menjalani kehidupan
yang dibimbing oleh kebijaksanaan.
11
Di kemudian hari, demokrasi lebih dikembangkan lagi dengan dasar yang sama,
yaitu kebaikan bersama. Penafsiran sederhana dan klasik dari demokrasi selalu
sandarkan pada semboyan „dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat‟. 1 Akan tetapi,
dikemudian hal ini ditantang oleh apa yang kita sebut sebagai revisionis atau
realis. Jika suatu masyarakat umumnya disebut demokratis dinilai dari bagaimana
sebenarnya fungsi-fungsi nyata dari masyrakat tersebut –penekanan pada bentuk-
bentuk kerja institusionalnya, hal ini dianggap sebagai sebuah tantangan realis
pada penafsiran demokratis. Menanggapi persoalan ini, Joseph Schumpeter pada
karyanya Capitalism, Socialism and Democracy bersikeras bahwa masyarakat
tidak diatur oleh orang atau oleh mayoritas secara keseluruhan, tetapi oleh para
pejabat terpilih bersama dengan partai politik serta petugas birokrasi. Hal ini jelas
mengungkapkan kondisi sehari-hari atau aktualitas dari kemasyarakatan itu
sendiri. Singkatnya demokrasi secara aktual seringkali dijalakan dengan
menerapkan kebijakan sesuai atas estimasi dari bentuk-bentuk institusional dari
apa yang paling baik untuk dilakukan.
Di sini, kita melihat bahwa bentuk esensial dari kebaikan bersama tidak dapat kita
tunjukkan secara gamblang, baik dalam motif orang-orang yang memilih pejabat
publik di mana masing-masing akan memilih berdasarkan preferensi pribadi atau
1
Nuansa penafsiran tradisional dari demokrasi bisa kita lihat pada pemikiran Jean-Jacques
Rousseau dan John Stuart Mill.
12
Dari uraian di atas, kita melihat bahwa ada beberapa beberapa aspek metodologi
untuk mendekati teori demokrasi itu sendiri. Sebenarnya apa yang paling banyak
berkembang adalah interpenetrasi dari pertanyaan normatif tentang nilai
demokrasi itu sendiri, pertanyaan deskriptif tentang apa yang disebut sebagai
13
Di sini, kita melihat bahwa orientasi yang berbeda terhadap teori demokrasi
menghasilkan pendekatan yang berbeda tergantung pada di mana fokusnya pada
ketiga dimensi pertanyaan atau pengambilan sudut pandang sebagai titik masuk ke
persoalan-persoalan demokrasi itu sendiri. Pada pemikiran Cunningham, kita bisa
mellihat 'segitiga' dari orientasi tentang demokrasi itu sendiri –di sisi lain, hal ini
mengungkapkan sebuah kesulitan tersendiri dari upaya untuk membandingkan
dan mengevaluasi teori-teori alternatif demokrasi (Cunningham: 2002, 11).
Dengan alasan yang sama juga, penulis lebih memfokuskan pada demokrasi yang
didasari oleh ide-ide liberal karena tujuan dari penelitian filosofis ini mengarah
kepada demokrasi liberal yang konstitusikan atau di usung oleh Richard Rorty.
Kita bisa melihat bahwa John Stuart Mill menjelaskan bagaimana kebebasan
harus dilindungi, tetapi terlihat bahwa dia secara umum berpikir harus ada bidang
kehidupan warga yang bebas dari peraturan negara dan hukum atas apa yang yang
ditetapkan oleh pemerintah demokratis, walau dapat dimandatkan pada undang-
undang. Artinya, John Struat Mill masih mempertahankan bentuk disukai
perbedaan antara ranah publik dan privat dengan aturan-aturan hukum. Pada
persoalan demokrasi itu sendiri, John Struat Mill lebih mendorong partisipasi
langsung warga dalam urusan pemerintahan. Dalam pandangan Mill, hal yang
perlu didorong terutama adalah fungsi-fungsi yang akan menimbulkan
kepercayaan pada warga tentang kemampuan mereka untuk memerintah diri
mereka sendiri dan mengembangkan bakat intelektual, nilai-nilai moral. Akan
tetapi, karena partisipasi langsung tidak mungkin pada masyarakat yang besar,
John Struart Mill menyatakan bahwa tipe ideal sebuah pemerintahan yang
sempurna harus menjadi demokrasi perwakilan (Mill: 1991, 256).
15
Kita melihat bahwa sepertinya pada abad kesembilan belas elemen liberal
memang menguasai makna demokrasi (hal ini terlihat pada pemikiran John Sturart
Mill), sementara di abad kedua puluh hal itu telah berganti, dengan demokrasi
yang menguasai elemen-elemen liberal –persoalan operasionalisasi dari ide-ide
liberal lebih banyak terjadi di demokrasi itu sendiri. Dalam pandangan yang lebih
ekstrem dari Sartori kita menghadapi dua bentuk masa depan: demokrasi dalam
liberalisme, dan demokrasi tanpa liberalisme (Sartori: 1987, 386-387).
Fokus di sini bukan isi dari komponen demokrasi liberal itu sendiri, tetapi
hubungan antara dimensi liberal dan demokratis itu sendiri. Teoretisi liberal-
demokratis mengungkapkan pandangan bersama bahwa yang utama harus ada
kekuasaan pemerintah yang terpilih secara demokratis oleh individu-individu
dengan meletakkan batasan pada tindakan negara dan pada pembatasan lingkup
tindakan negara diperbolehkan. Hal ini jelas merupakan sebuah konsepsi yang
penting antara prinsip-prinsip liberal dan praktek demokrasi, dan juga melihat
hubungan interaktif antara liberalisme dan demokrasi itu sendiri. Pada konteks
16
Selain itu, nampak jelas bahwa demokrasi memperkuat kebebasan sipil dan juga
politik. Hal ini dimungkinkan dengan merundingkan legitimasi pada hukum
liberal, di mana rakyat lebih mungkin untuk menghormati hukum tersebut jika
mereka telah diamanatkan secara populer (seperti pada sebuah konstitusi
demokratis didukungnya sendiri) dibandingkan jika dipaksakan. Pada saat yang
sama, liberalisme memperkuat demokrasi. Dengan membatasi domain kegiatan
pemerintah yang tepat untuk ranah publik, singkatnya, birokrasi bisa selalu dicek
ulang.
Dengan kata lain, tidak hanya melindungi orang dari gangguan kebebasan mereka,
tetapi juga memungkinkan warga secara luas untuk mengembangkan keterampilan
untuk pemerintahan itu sendiri. Lalu, atas dasar liberal-demokratis itu juga asumsi
bahwa orang memiliki kemampuan untuk memilih dan merevisi tujuan mereka,
maka kemampuan ini harus dipelihara dan dilindungi dengan tidak melakukan
suatu pelanggaran kepada ide-ide liberalis pada operasionalisasi atau pelaksaan
demokrasi. Pada titik ini muncul perdebatan tentang tipe demorasi liberal dalam
operasionalisasi ide-ide liberal itu sendiri, setidaknya ada dua tipe yang kemudian
di nilai sangat berperngaruh tipe demokrasi libertarian dan tipe demokrasi sosial.
17
2. 3. 1. Demokrasi Libertarian
18
Pada konsepsi demokrasi sosial yang didasarkan pada kondisi kenyataan bahwa
tidak semua warga negara berada pada posisi yang sama untuk merealisasikan
hak-haknya. Dengan begitu, negara diharuskan memenuhi kewajibannya untuk
bertindak dalam beberapa tingkatan. Negara dilihat harus menawarkan
perlindungan sosial terhadap kemungkinan-kemungkinan pelanggaran hak-hak
19
Sebuah kondisi yang dianggap bernilai dari demokrasi sosial ini adalah harus ada
sebuah hak kewarganegaraan atas pelayanan sosial yang dijamin oleh konstitusi.
Dengan kata lain, ada asumsi dasar bahwa pemerintahan demokrasi sosial liberal
yang memiliki ketentuan pengentasan kemiskinan tanpa adanya aturan hukum
mengikat mengenai penerimanya akan gagal memenuhi kriteria demokrasi sosial
itu sendiri. Di sisi lain, warga negara juga memiliki kewajiban tertentu yang
melengkapi hak-hak dasar mereka, tidak hanya untuk menerima secara konsep
saja soal kondisi kemanusiaan, tetapi juga secara aktif memikul tanggung jawab
20
Pada subbab ini apa yang hendak diperlihatkan hanya terbatas pada bahwa
demokrasi secara umum punya permasalahan-permasalahan internal terlepas dari
contoh kasus yang diangkat oleh penulis –contoh kasus yang akan diangkat oleh
penulis adalah demokrasi Indonesia.
21
Lebih jauh, teoretisi modern tentang pilihan sosial telah menunjukkan bahwa
masalah ini lebih buruk dibandingkan apa yang dipikirkan oleh teoritikus klasik
karena apa yang diwujudkan dalam kekuasaan mayoritas dapat menyebabkan
hasil sewenang-wenang dan bahkan tirani pada minoritas. Mereka setuju bahwa
tujuan prosedur keputusan demokratis harus menemukan sesuatu seperti kehendak
umum, sebagaimana dimaksud dalam idiom modern sebagai fungsi kesejahteraan
sosial, tetapi, mengikuti pendapat Kenneth Arrow (1951), hal ini adalah mustahil.
Hasil ini dikenal sebagai siklus suara, melanggar prinsip transitivitas, yang
umumnya diambil menjadi fitur penting dari rasionalitas karena memungkinkan
peringkat kontradiktif-diri preferensi masyarakat. Selain itu, membuka
kemungkinan bahwa siapapun yang mengontrol urutan suara dapat menentukan
hasilnya, asalkan dia tahu preferensi pemilih. Bahkan jika hasil secara tidak sadar
22
Di sini apa yang penting untuk dicatat adalah hubungan kekuasaan yang masuk ke
dalam konsepsi agregatif dari kehendak umum yang baik hanya secara implisit,
akan tetapi pada modelnya sepertinya tidak masuk akal karena melibatkan
kontradiksi preferensi masyarakat. Anggapan di balik untuk membuat proyek
Rousseauian koheren adalah jika tidak dapat dilakukan, maka keputusan kolektif
yang diambil kemungkinan besar melibatkan pemaksaan terlarang yang
menyamar sebagai keputusan demokratis.
Lebih lanjut pada tataran deliberatif, memang tidak ada alasan untuk lebih
memilih suara mayoritas daripada pilihan alternatif minoritas jika mengabaikan
apa-apa yang dijadikan dasar nilai-nilai bersama. Akan tetapi, di sini pengambilan
keputusan kolektif selalu memiliki ongkos dan manfaat bagi setiap individu, dan
aturan pengambilan keputusan yang optimal akan meminimalkan jumlah "biaya
eksternal” (efek pada pihak ketiga yang mungkin terkena hasil dari negosiasi
kesepakatan) dan "biaya pengambilan keputusan" itu sendiri (efek pada orang-
orang yang di dalan negosiasi kesepakatan tentang tindakan kolektif). Namun
23
Apa yang menjadi kelemahan untuk mencari kehendak umum pada tataran
deliberatif ini adalah kurangnya perhatian pada apa bentuk ketentuan deliberasi
dalam ruang demokrasi modern. Sejauh deliberasi lebih akan menjadi hal yang
sehat dalam pembentukan kebijakan publik, kendala utama sering kurangnya
kesadaran bahwa ada perbedaan yang fundamental tentang keyakinan moral atau
lain-lain untuk membicarakan cara-cara yang dapat meminimalkan perbedaan
antara anggota deliberasi itu sendiri.
24
2. 4. 1 Tirani Mayoritas
Pembatasan pada konsepsi memang liberal tidak dapat secara langsung menjamin
bahwa orang akan segera meninggalkan dari bentuk-bentuk informal pada
persoalan operasionalisasi demokrasi. Akan tetapi, jelas teori secara teoritik
setidaknya ada hal-hal yang harus dikonstitusikan sehingga menghindari bentuk
diskriminasi terang-terangan. Dengan kata lain, teori demokrasi liberal harus
mengandung dengan bentuk-bentuk perlindungan hak-hak minoritas yang
dianjurkan oleh Mill dan semua penerusnya terhadap apa yang mereka ditakuti
sebagai tirani mayoritas. Pada konteks demokrasi Indonesia terlihat ada
kencenderungan pada persoalan tirani mayoritas ini tidak hanya pada level politik,
tetapi juga pada level kehidupan sosial budaya yang bisa diamati pada keseharian.
Walau ada perbedaan pendapat antara teoritikus demokratis tentang seberapa
parah masalah tirani mayoritas. Akan tetapi, sepertinya para teoritikus
menekankan sebuah persoalan bahwa tirani mayoritas tidak bisa dibenarkan hanya
2
Tiga persoalan mendasar demokrasi yang diungkapkan di sini sebenarnya merupakan sebuah
persoalan yang sudah lama disadari sebagai sebuah permasalahan internal mekanisme
demokrasi.
25
Di sini, kita bisa mengatahui bahwa ada dua elemen kunci yang berkaitan bentuk
perlindungan hak-hak minoritas ini, yaitu komitmen pada pluralisme untuk
memberikan tempat bagi hak-hak individu dan untuk menjamin netralitas negara
terhadap visi alternatif kehidupan yang baik atau masyarakat yang baik. Dengan
kata lain, pemahaman akan hak-hak minoritas secara normatif menempatkan
dirinya pada sebuah pertimbangan bahwa moralitas publik bisa menjadi rusak jika
orang melihat diri mereka sendiri hanya merujuk dari anggota mana komunitas
sipil mereka.
26
Memang tindakan seperti itu tidak diperlukan oleh teori demokrasi liberal pada
dirinya sendiri, tetapi tidakan-tindakan itu merupakan fokus pada bentuk
pemerintah perwakilan yang merupakan bentuk operasionalisasi dari demokrasi
liberal yang sangat berpengaruh. Selain itu, dengan menempatkan hak liberal di
luar kendali langsung demokrasi, sebuah masyarakat diaklimatisasi dengan ide
bahwa tidak semua yang berkaitan dengan pemerintahan mereka seharusnya
menjadi masalah keputusan demokratis biasa. Kesadaran masyakat bahwa apa
saja yang berkaitan dengan keputusan pemerintahan selalu melibatkan mereka,
sikap acuh tak acuh tidak bisa dikembangkan jika menempatkan ide-ide liberal di
atas operasionalisasi demokrasi itu sendiri.
Di sisi lain, salah satu masalah bagi demokrasi yang konkret adalah melemahnya
partai politik –pada konteks demokrasi Indonesia hal ini bisa dilihat pada gejala
tidak adanya ideologi yang mantap pada setiap partai politik dan banyaknya
kompromi. Akan tetapi, sebenarnya masalah tersebut biasa diatasi menunjukkan
bahwa partai politik itu memiliki potensi untuk mengatasi konflik kepentingan
27
Memang terlihat bahwa seolah ada paradoks pada keberadaan partai politik itu
sendiri. Di satu sisi partai politik dapat memperburuk masalah jika mereka
berkembang biak dan mulai bertindak sebagai senjata kepentingan sempit, tetapi
sisi lain partai politik jelas merupakan sebuah bentuk potensial penyelesaian
konflik dengan penyederhanaan. Paradoknya jelas adalah partai politik sangat
diperlukan untuk merumuskan kebijakan dan menyediakan forum untuk
musyawarah politik, sementara yang di satu sisi partai politik juga punya
kemungkinan sebagai lembaga anti demokrasi yang mendistorsi representasi
demokratis dikarenakan muatan kepentingan sempit.
28
Akan tetapi, ada bentuk pemikiran yang skeptis pada nasionalisme tentang
bagaimana bentuk kejinakan dari identifikasi kelompok dapat dimungkinkan.
Identifikasi kelompok awal biasanya memang tidak berbahaya dan, pada
kenyataannya, sesuatu yang rasional bagi teori pilihan sosial, karena mereka
mengkoordinasikan upaya-upaya antara orang yang mempunyai kesamaan
kepentingan. Akan tetapi, begitu dikoordinasikan pada kelompok, individu
mendapatkan suatu bentuk keharusan mempertahankan kelompok mereka
terhadap orang lain, termasuk terhadap kelompok-kelompok yang terlebih dahulu
ada sebelum kelompok tersebut. Dalam konteks kemasyarakatan demokrasi
Indonesia misalnya, memang memunculkan kelompok-kelompok yang
mengunakan identifikasi untuk tujuan politik atau sekedar menjadi tujuan
ekonomi. Pada sisi yang lebih ekstrem, individu-individu itu rentan terhadap
manipulasi oleh para pemimpin kelompok yang lebih mengedepankan
kepentingan privat ditutupi dengan selubung indentitas entah etnis atau sesuatu
yang lebih berbasis religi.
29
2. 5. Kesimpulan Bab
30
31
3. 1 Pengandaian-Pengandaian Epistemologis
Rorty melihat ada tiga asumsi sentral pada tradisi filsafat modern. Pertama,
kebenaran dianggap sebagai relasi khusus representasi pikiran dan dunia. Kedua,
justifikasi terhadap kebenaran itu adalah soal pengalamann khusus mendasari
yang mendasari hal tersebut. Ketiga, filsafat dilihat atau diperlukan karena
merupakan satu-satunya disiplin yang mendefinisikan kebenaran dan menentukan
jenis pengalaman apa yang menjustifikasi klaim-klaim kebenaran –di sini filsafat
lebih dilihat sebagai suatu narasi besar (Gutting: 2003, 43). Tegasnya, filsafat
tidak lebih dari sebuah pembicaraan dalam konteks bahasa tertentu.
Di sini, posisi Rorty menolak ketiga asumsi tersebut dan sebagai gantinya ia
memberikan tiga klaim yang bertolak belakang dengan tradisi filsafat modern
tersebut. Pertama, Rorty mengklaim bahwa tidak memerlukan suatu teori
kebenaran yang mengandung bentuk korespondensi satu-satu antara pikiran dan
dunia. Kedua, justifikasi tidak berkaitan dengan pengalaman, tetapi hanya
merupakan soal konsensus intersubjektif saja sebagai praktek sosial saja. Ketiga,
filsafat dilihat hanya merupakan suatu bentuk narasi saja, di samping narasi-narasi
yang lain yang tidak punya peranan yang lebih tinggi dari usaha kita mengetahui
dunia baik melalui ilmu pengetahuan dan puisi-puisi.
32
Walau Rorty menolak untuk mengemukakan sebuah teori kebenaran, tetapi kita
bisa tetap menyadari bahwa dia memiliki konsepsi kebenaran sendiri. Kita tentu
melihat bahwa Rorty memang lebih dekat dengan bentuk teori kebenaran
pragmatis –dan memang ia sendiri menyatakan bahwa dia merupakan seorang
pragmatis. Dengan kata lain, dia mendukung bentuk teori kebenaran dari
pragmatisme daripada bentuk korespondensi atau koherensi yang tidak bekerja
atau disandarkan pada kehidupan atau tataran praktis.
3
Di sini, Rorty menyadari ada posisi yang menganggap kebenaran sebagai suatu realitas metafisis
yang melampaui produk percapakan. Menurut Rorty, kita tidak punya sarana untuk memutuskan
apa yang diterima sebagai kebenaran selain apa yang terjadi pada percakapan.
33
Rorty terlihat masih mengikuti tradisi lama dari pragmatisme, terutama pada
Willam James yang menyatakan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang baik untuk
dipercaya (the good on the way of belief). Gagasan ini merupakan sesuatu yang
sentral dari bentuk pragmatisme yang menekankan bahwa sesuatu itu benar jika
berfungsi (something is true if it works) –berfungsi pada pengertian ini membuat
mengembagkan diri dan berguna pada persoalan-persoalan praktis (Horster: 1991,
90). Lebih jauh, kebenaran suatu pernyataan dinilai dari apa pernyataan tersebut
akan membawa hasil yang memuaskan jika diwujudkan pada tindakan. Dengan
kata lain, jika suatu pernyataan atau gagasan berhasil mengatasi sebuah tantangan
hidup yang dihadapi, maka pernyataan atau gagasan itu benar. Kosekuensinya,
kebenaran suatu ide diukur oleh tingkat efektivitasnya dalam menangani
permasalahan. Menurut Rorty, keberhasilan suatu pernyataan atau gagasan pada
tingkat menangani permasalahan merupakan alasan yang baik untuk menyakini
kebenaran suatu pernyataaan atau gagasan tersebut.
Hal yang paling mendasar dari gagasan Rorty secara umum adalah bahwa
justifikasi kebenaran merupakan suatu praktek sosial. Hal ini menunjukkan bahwa
kebenaran yang dihasilkan adalah hasil konsensus subjektif. Akan tetapi, kita
harus mengeti bahwa konsensus ini tidak bersifat arbitrer atau sewenang-wenang
karena terjadi saling koreksi yang seksama antara anggota komunitas. Dengan
begitu, kita melihat bahwa Rorty menekankan bahwa konsep kebenarannya
memperlihatkan bahwa kebenaran itu bersifat kontingen, tidak bersifat ahistoris
atau transhistoris. Dengan kata lain, apa yang baik dipercaya suatu komunitas
yang satu tidak sama dengan apa yang baik dipercaya suatu komunitas yang lain.
Kebenaran, tegasnya, bukan suatu realitas metafisis yang selalu berlaku di mana
saja atau kapan saja. Singkatnya, kebenaran merupakan sesuatu yang diciptakan,
bukan ditemukan.
34
Seperti yang telah dijelaskan di atas, Rorty membuat perbedaan antara klaim
bahwa dunia ada di luar sana dan klaim bahwa kebenaran ada di luar sana. Untuk
mengatakan bahwa dunia ada di luar sana, pada pengertian bukan penciptaan kita
adalah mengatakan bahwa kebanyakan hal yang terjadi dalam ruang dan waktu
merupakan efek dari penyebab-penyebab yang tidak mencakup mental states
manusia. Di sinilah, Rorty mengambil posisi bahwa kebenaran yang bukan
sesuatu yang di luar sana (out there) yang menyatakan bahwa di mana tidak ada
kebenaran yang keluar dari elemen-elemen bahasa manusia –pada konteks ini
bahasa adalah ciptaan manusia.
Dengan begitu, kebenaran tidak bisa dinyatakan sebagai sesuatu yang diluar sana
atau tidak dapat eksis secara independen dari pikiran manusia. Hal ini dikarenakan
kebenaran tidak bisa begitu ada, atau di luar. Pada titik ini, Rorty melihat bahwa
dunia memang di luar sana, namun deskripsi dunia tidak. Konsekuensinya adalah
hanya deskripsi tentang dunia yang bisa dikenakan kategori benar atau salah.
Dengan kata lain, dunia bisa berbicara hanya ketika kita telah mengkonstruksikan
dengan bahasa. Akan tetapi, di sini dunia tidak menawarkan sebuah bahasa yang
spesifik untuk digunakan.
Kesadaran bahwa dunia tidak memberi tahu permainan bahasa mana yang
digunakan tidak dengan serta merta, membuat kita untuk mengatakan bahwa hal
tersebut adalah sebuah keputusan arbitrari (sewenang-wenang) atau ekspresi dari
sesuatu yang ekstra-manusia. Rorty terlihat mengupayakan penggantian yang bisa
dipertukarkan antara „bahasa‟ dengan „pikiran‟ atau „kesadaran‟ sebagai medium
di mana kepercayaan dan keinginan dikonstruksi –hal ini nantinya dijadikan juga
sebagai medium dari self dengan dunia (Rorty: 1995, 10). Pada tingkat
selanjutnya, pengertian terhadap bahasa itu dianggap sebagai kesadaran yang non-
metafisik. Karena tidak menjaminkan sesuatu di luar konteks bahasa itu sendiri.
35
Pada level yang lebih tinggi, kita menyadari bahwa dua masyarakat yang punya
bahasa berbeda memiliki kesulitan bergaul karena kata-kata yang mereka gunakan
begitu sulit untuk diterjemahkan ke dalam satu sama lain, Hal ini dikarenakan
perilaku linguistik selalu tertanam pada satu komunitas sehingga ada kesulitan
bagi komunitas lain untuk memprediksikan apa tindakan atau ucapan yang
diharapkan. Di sini perlu ditekankan bahwa persoalan kontingensi bukan hanya
persoalan lokasi spatiotemporal belaka. Keadaan kontingen yang seperti itu belaka
akan mereduksi kehidupan manusia ke tingkat hewan saja. Kontingensi
memberikan pengertian bahwa untuk memahami konteks di mana manusia hidup,
melibatkan konstruksi pikiran dibangun berdasarkan bahasa dan perilaku-perilaku
yang berada pada komunitas tertentu (Rorty: 1995, 26).
36
Dalam perspektif Rorty, Freud mengajarkan untuk menafsirkan apa yang kita
lakukan atau pikir, dalam hal ini misalnya, kita merupakan sebuah proses
internalisasi atau konstelasi perilaku yang dipaksakan pada kita pada masa bayi.
Tidak heran jika, Freud menyarankan bahwa kita menguji diri kita sendiri dengan
merangkai narasi tertentu -sejarah kasus, misalnya- sebagai proses penciptaan diri.
Pada akhirnya, kemampuan kita untuk membebaskan diri dari ikatan masa lalu
hanya didasarkan pada struktur narasi itu –gagasan ini nantinya dikembangkan
oleh Rorty sebagai kosa kata.
3. 3 Manusia Ironis
37
Rorty mendefinisikan sebuah kondisi seorang „ironis‟ jika memenuhi tiga kondisi
berikut (Rorty: 1995, 73):
(1) Memiliki keraguan radikal dan berkelanjutan tentang kosa kata final yang dia
gunakan, karena dia telah terkesan dengan kosa kata lain, kosa kata yang diambil
sebagai final oleh orang atau buku-buku yang telah ia hadapi.
(2) Menyadari bahwa argumen yang diutarakan dalam kosakata akhirnya tidak
dapat mengatasi atau melarutkan keraguan tersebut.
(3) Sepanjang berfilsafat tentang situasinya, tidak berpikir bahwa kosakata dia
lebih dekat dengan kejelasan daripada orang lain, menyadari bahwa kosa kata
akhirnya tidak sepenuhnya berada pada kekusaannya sendiri.4
Dengan begitu, seorang yang ironis yang cenderung berfilsafat melihat pilihan
antara kosakata yang dibuat tidak dalam kosakata meta netral dan universal atau
oleh upaya untuk menjangkau yang nyata, tetapi hanya dengan memainkan apa
yang baru mengganti yang lama. Penjelasan Rorty yang lebih lanjut tentang
seorang ironis ini didasarkan pada semacam kesadaran bahwa apa saja dapat
dibuat untuk terlihat baik atau buruk dengan redeskripsi dan penolakan atas usaha
untuk merumuskan kriteria pilihan antara kosa kata final. Konsekuensinya, bagi
Rorty, menempatkan seseorang ironis pada posisi yang disebut Sartre „meta-
stabil‟ pada pengertian tidak cukup mampu untuk menganggap diri mereka serius
karena selalu sadar bahwa masa di mana mereka mendeskripsikan diri mereka
4
Di sini apa yang menarik adalah Rorty tidak mengunakan kata ‘he’, melainkan kata ‘she’ untuk
manusia ironis. Hal ini menguatkan pandangan Rorty tentang perempuan yang dianggap lebih
memiliki kelenturan dan keterbukaan mental yang perlu untuk bersikap ironis.
38
Kebalikan ironi adalah common sense. Dengan istilah itu, Rorty merujuk pada
orang-orang yang secara tidak sadar mendeskripsikan segala sesuatu yang penting
melalui kosa kata final yang mereka dan orang-orang di sekitar mereka
terhabituasi. Menjadi common sense adalah mengambil begitu saja bahwa
pernyataan yang dirumuskan dalam kosa kata final cukup untuk mendeskripsikan
dan membenarkan keyakinan, tindakan dan kehidupan mereka yang menggunakan
kosa kata final alternatif. Dengan kata lain, common sense mengubah apa yang
alternatif menjadi sesuatu yang absolut.
39
Sebaliknya, manusia ironis tidak melihat mencari kosa kata final sebagai sebuah
cara mendapatkan sesuatu yang berbeda dari kosa kata itu sendiri. Mereka tidak
mengambil titik pemikiran diskursif menghapuskan kontingensi, seperti yang
dijelaskan oleh gagasan seperti „realitas‟, „esensi‟, „sudut pandang obyektif‟ dan
„korespondensi bahasa realitas‟. Manusia ironis tidak berpikir pada sebuah
kemampuan untuk menemukan kosakata yang secara akurat mewakili sesuatu
medium yang transparan.
Bagi manusia ironis, „kosakata akhir‟ tidak berarti sebagai „sesuatu yang
menempatkan semua keraguan pada posisi yang tenang‟ atau „sesuatu yang
memenuhi kriteria paripurna, kecukupan atau optimal. Mereka tidak berpikir
bahwa refleksi selalu diatur dengan kriteria. Kriteria, pada pandangan mereka,
tidak pernah hampa kontekstual yang menentukan syarat dari sebuah kosa kata
akhir yang sedang mereka gunakan. Pada titik ini, Rorty terlihat menyatakan
bahwa manusia ironis setuju dengan Donald Davidson tentang ketidakmampuan
kita untuk melangkah keluar dari bahasa kita untuk membandingkan dengan
sesuatu yang lain atau dengan Heidegger mengenai kontingensi dan kesejarahan
bahasa tersebut.
40
Pada konteks ini, Rorty menjelaskan bahwa manusia ironis lebih menyukai bentuk
argumen yang dialektis dalam arti bahwa ia mengambil unit persuasi untuk
menjadi sebuah kosakata daripada sebuah proposisi. Metode yang digunakan
adalah redeskripsi bukannya inferensi. Dengan kata lain, manusia ironis
mengkhususkan diri pada rentang redeskripsi obyek atau peristiwa dalam jargon
neologistik (kata-kata baru) dengan harapan menghasut orang untuk mengadopsi
dan memperpanjang jargon itu sendiri. Sebuah harapan ironis adalah bahwa pada
saat ia telah selesai menggunakan kata-kata lama dalam kesadaran baru, belum
lagi kata-kata memperkenalkan hal-hal baru, orang tidak akan lagi mengajukan
pertanyaan dalam kata-kata lama. Jadi, manusia ironis menganggap logika sebagai
tambahan untuk dialektika, sedangkan metafisika menganggap dialektika sebagai
jenis retorika, yang pada gilirannya merupakan pengganti yang buruk untuk
logika.
Lebih jauh, menurut Rorty, tidak ada yang dapat berfungsi sebagai kritik karena
tidak ada jawaban redeskripsi yang menyelamatkan sebuah redeksripsi ulang, apa
yang ada hanya kosakata-kosakata baru. Karena tidak ada di luar kosakata yang
berfungsi sebagai kriteria pilihan di antara manusia ironis, kritisisme adalah
sebuah persoalan pencarian pada suatu deskripsi ini atau deskripsi yang itu itu,
bukan membandingkan kedua deskripsi dengan apa yang dianggap asli, realitas
atau idea misalnya. Dengan begitu, tidak ada yang dapat berfungsi sebagai kritik
seseorang menyelamatkan orang lain, atau dari suatu budaya menyelamatkan
41
Resolusi sederhana dari Rorty adalah bahwa keraguan kita tentang karakter kita
sendiri atau budaya kita sendiri dapat diselesaikan atau diredakan hanya dengan
memperbesar perkenalan kita dengan orang lain atau budaya lain –hal ini yang
akan menjadi landasan bagi konsep penting solidaritas Rorty. Apa yang
disarankan Rorty pada tingkat ini benar-benar praktis. Ia menyatakan bahwa cara
termudah untuk melakukannya adalah dengan membaca buku dan menghabiskan
lebih banyak berfokus pada buku-buku yang menempatkan orang hidup nyata.
Dengan begitu, manusia ironis takut bahwa mereka akan terjebak dalam kosakata
di mana mereka dibesarkan jika mereka hanya mengenal orang-orang di
lingkungan mereka sendiri, sehingga mereka mencoba untuk berkenalan dengan
orang-orang lain atau budaya-budaya lain.
3. 4 Konstitusi Solidaritas
Kedua konsep, kontingensi dan manusia ironis di atas menjelaskan bahwa Rorty
percaya bahwa moralitas tidak mungkin didasarkan pada suatu landasan metafisik
atau pada prinsip-prinsip umum yang mengatasi bentuk-bentuk keterbatasan
budaya atau bahasa. Apa yang diungkapkan Rorty merupakan kritiknya terhadap
gagasan Plato atau pada era modern diwakili oleh Immanuel Kant. Rorty
menyangkal gagasan Kant tentang rasionalitas yang berpusat pada gagasan bahwa
kita harus menampung tindakan-tindakan tertentu di bawah prinsip-prinsip umum
apabila kita mau bersikap moral (Rorty: 1995, 33).
Menurut Rorty, Kant bertindak dari motif yang terbaik, hal ini yang menjadi
landasan filsafat moral ke arah yang sulit bagi para filsuf moral untuk melihat
pentingnya, kemajuan moral, seperti deskripsi empiris. Kant ingin memfasilitasi
berbagai perkembangan yang sebenarnya terjadi sejak waktu –seperti
pengembangan lebih lanjut lembaga-lembaga demokrasi dan kesadaran politik
kosmopolitan. Akan tetapi, dia berpikir bahwa cara untuk melakukannya bukan
42
43
Bagi Rorty, kemampuan untuk semakin solider dengan semakin banyak orang,
terutama dengan mereka yang asing bagi kita harus diciptakan dan dikembangkan.
Singkatnya, solidaritas itu merupakan masalah kepekaan. Maka apa yang perlu
diusahakan adalah agar kepekaan itu diperluas. Dengan begitu, menurut Rorty,
kita harus menjadi lebih peka, lebih ikut merasakan, lebih ingin tahu tentang
orang lain, dan lebih ironis terhadap diri kita sendiri. Kita menjadi peka bukan
karena sebuah teori, melainkan karena kita bersentuhan dengan orang lain. Apa
yang hendak ditegaskan oleh Rorty tidak lebih dari apa yang perlu adalah agar
kita belajar untuk „ikut merasakan‟ bahwa orang lain, bahkan orang tidak kenal
juga memiliki perasaaan yang gampang terluka dan terhina.
Karena itu, Rorty berpendapat bahwa filsafat, seni berakal teoritis, tidak berguna
dalam membangun solidaritas. Tidak heran juga Rorty lebih mengharapkan peran
para penyair, penulis novel, entograf dan wartawan (Rorty: 1995, 94). Rorty
secara khusus bahkan memuji Nobokov dengan menyebutkan bahwa buku-
bukunya membantu kita menghindari kekejaman, bukan dengan memperingatkan
kita akan ketidakadilan sosial, melainkan dengan mengingatkan kita akan
kecondongan-kecondongan untuk bersikap kejam yang terkandung dalam upaya
mencapai otonomi. Kelompok ini, menurut Rorty, punya cara masing-masing
menghadapkan kita pada kehidupan konkret manusia, melalui mereka kita
44
3. 5 Kesimpulan Bab
Solidaritas ini bukan suatu yang bisa dicapai dengan pemahaman teori atau
menyadarkannya pada prinsip-prinsip umum, melainkan ikut bersentuhan dengan
kehidupan orang lain. Artinya, Rorty mempertimbangkan posisi orang lain
sebagai konstitusi diri sehingga hubungan dengan orang lain menjadi sesuatu yang
sentral, walau tanpa mengacu pada apa yang secara manusiawi universal. Rorty
menyadari sepenuhnya bahwa orang ironis mempunyai pendapat bahwa
kebebasan argumen metafisis, kecuali tentang kondisi bahwa memang ada sebuah
pengharapan akan kebebasan tersebut, yaitu kehidupan yang lebih baik.
Dengan begitu, kita bisa mendapatkan sebuah simpulan sederhana di sini, yaitu
dari sudut pandang Rorty persoalan demokrasi juga tidak ada pendasaran normatif
45
46
Pada subbab awal ini, penulis merasa perlu untuk memperlihatkan ada varian-
varian dari teori tentang demokrasi liberal yang juga mengandung banyak
perdebatan. Perdebatan ini ada pada perbedaan dalam teori demokrasi liberal di
mana alternatif konsepsi „kepribadian‟ dan bagaimana kebebasan individu dapat
tercermin dalam pandangan politik tertentu tentang apa jenis kebebasan yang bisa
diijinkan atau didorong untuk muncul. Kondisi demokratis yang terandaikan
dengan sendirinya adalah kebebasan. Akan tetapi, aksentuasi dari kebebasan itu
mendapatkan tekanan yang berbeda dari teori politik tertentu, termasuk dalam
demokrasi liberal.
Persoalan kebebasan ini bisa dirujuk pada Isaiah Berlin yang berpendapat bahwa
penganut konsepsi „otonomi' kebebasan harus dijauhi karena dinilai sebagai
pendahuluan yang berbahaya untuk totalitarianisme. Tidak heran dia
merekomendasikan dalam sebuah konsepsi 'negatif' yang sesuai dengan
kebebasan politik (atau pada kebebasan umumnya, istilah yang digunakan secara
47
Hal ini membuka pintu untuk mengendalikan bentuk otoriter paternalistik yang
dibenarkan atas nama kebebasan sejati itu sendiri. Dengan demikian, apa yang
menjadi perhatian pada bentuk negatif kebebasaan ini adalah ketidakterhalangan
dari apa saja baik bentuk institusi yang dibenarkan atas nama kebebasan itu
sendiri. Kritik ini sebenarya terarah pada bentuk totaliter ini lebih lanjut, yaitu
bahwa semua makhluk rasional harus punya kebutuhan yang dapat menjadi
sebuah pola tunggal yang harmonis.
48
Taylor berpikir bahwa tidak ada alternatif yang dipertahankan untuk konsep
positif kebebasan, namun hal itu tidak sama sekali langsung merujuk kepada
bahaya totalitariansime, misalnya. Di sini terlihat bahwa Taylor percaya bahwa
teori politik harus mengintegrasikan konsep kebebasan dan kebijakan yang
ditujukan untuk mencapai hal tersebut dengan pertimbangan tentang apa yang
membuat hidup manusia berharga. Dalam hal ini, dia sependapat dengan saham
orientasi lain pembela kebebasan positif, yaitu C.B. Macpherson.
49
Kita bisa melihat bahwa Macpherson dan Taylor merupakan orang-orang yang
pro dengan demokrasi dan mereka juga pembela hak-hak liberal standar, sehingga
mereka tidak ingin konsepsi kebebasan positif digunakan untuk memberikan
bantuan dan kenyamanan pada bentuk otoriter. Salah satu cara Macpherson untuk
mencegah hal tersebut dengan menyatakan bahwa kebebasan demokrasi
merupakan prasyarat bagi kebebasan perkembangan. Artinya, individu
berpartisipasi dalam keputusan kolektif adalah salah satu bentuk realisasi
kebebasan perkembangan. Lebih jauh, tidak ada gerakan politik untuk
mengamankan kondisi sosial dan ekonomi yang kondusif untuk kebebasan
perkembangan yang berhasil, kecuali demokrasi kuat dan efektif.
5
Gagasan ini sebenarnya tidak terlalu baru karena gagasan ini membentang dari Aristoteles
sampai demokrat liberal, John Stuart Mill.
50
Artinya, Mill terlihat tidak terlalu konsisten dengan dukungan tentang pluralisme
di mana negara tidak ikut menentukan kehidupan macam apa yang menjadi tujuan
orang untuk dikejar. Pada saat yang sama, seperti teorikus liberal-demokrasi
lainnya, Mill mengakui bahwa kadang-kadang perlu untuk membatasi beberapa
kebebasan, seperti ketika menghadapi „paradoks toleransi‟ yang (dibahas dalam
pemikiran inti Rorty ), dan mungkin terlibat dalam norma-norma positif konsepsi-
liberal.
Pada titik ini, Rorty dengan konsepsi demokrasi liberal yang berbeda mencoba
menjembati paradoks toleransi dan menentukan batasan-batasan di dalam
kerangka demokrasi dan pluralisme. Rorty jelas merupakan seorang pendukung
konsep „perkembangan‟ dari kebebasan dalam rangka membuat kehidupan
bersama yang lebih baik. Tujuan ini, bagi Rorty harus dicapai tanpa
mengorbankan nilai kebebasan dan kemungkinan-kemungkinan deskripsi
kehidupan serta sekaligus menghindarkan dari bentuk totalitarianisme atau
otoriter baik dalam bentuk epistemologi dan juga praktek-praktek. Dengan begitu,
sangat penting membahas kebebasan dan toleransi pada konteks demokrasi di
mana kebebasan telah dianggap sebagai kondisi yang memungkinkan demokrasi
itu sendiri.
51
52
Secara umum, kita bisa memikirkan perangkat kelembagaan yang berusaha untuk
memaksakan musyawarah sebagai bentuk peralihan dari peraturan intervensi ke
penghormatan penuh kepada orang dalam kebijaksanaan. Dengan begitu, ketika
kepentingan mendasar itu terancam, maka hal itu menjadi alasan yang kuat untuk
menekankan pada musyawarah, akan tetapi hal ini tentu belum cukup.
Untuk mengatakan di mana terletak ambang ancaman jauh lebih sulit dan sering
tergantung pada faktor-faktor kontekstual. Kasus-kasus seperti perbudakan,
misalnya memang secara konseptual mudah. Akan tetapi, ketegangan antara
melindungi dasar kepentingan rakyat sehingga untuk membatasi dominasi dan
mengejar kebaikan-kebaikan yang lebih tinggi.
53
Ruang inilah yang menjadi tempat bersaing dengan bebas dan sehat. Sebab apa
yang disebut sebagai kesukarelaan, keswasembadaan, dan kemandirian sebagai
kandungan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai toleransi, trust,
terbuka, dan penghargaan atas hukum. Hal ini bukan saja menjadi modal untuk
mendorong masyarakat berkumpul dan berasosiasi secara sukarela dan melahirkan
kerja sama masyarakat, tetapi juga menjadi landasan bagi masyarakat untuk
berpartisipasi, baik secara sosial maupun politik.
54
Persoalan demokrasi dan non-dominasi ini, pada konteks Rorty merupakan sebuah
pembahasan mengenai kekejaman sebagai sebuah batasan dari demokrasi. Pada
pengertian itu, kekejaman adalah sebuah bentuk pelanggaran arti demokrasi dan
merupakan bentuk dominasi. Rorty juga menyadari empat indikasi bahwa
konsepsi non-dominasi berperan besar dalam demokrasi. Penjelasan yang lebih
lengkap akan dijelaskan pada subbab selanjutnya dengan mengaitkan persoalan
tersebut dengan pandangan Rorty sendiri tentang kekejaman.
Para pemikir cenderung berpikir bahwa ada perbedaan dan konsekuensi penting
dalam posisi liberal yang dianjurkan oleh J.S. Mill, Isaiah Berlin, dan John Rawls.
Akan tetapi, Richard Rorty berpikir bahwa, sebagai kaum liberal, mereka kurang
lebih mengatakan hal yang sama. Richard Rorty berusaha untuk melampaui
posisi-posisi liberal yang ditawarkan oleh mereka. Dalam Contingency, Irony, and
Solidarity, Rorty menyatakan bahwa sesungguhnya dia menyakini pemikiran
sosial-politik mungkin harus mengalami revolusi konseptual terakhir yang
dibutuhkan. Saran dari J. S, Mill bahwa pemerintah mengabdikan diri untuk
mengoptimalkan keseimbangan antara kehidupan pribadi masyarakat sendiri dan
mencegah penderitaan bagi individu yang lain merupakan sebuah tahap akhir.
55
Rorty menekankan bahwa untuk ironis liberal, tidak ada jawaban atas pertanyaan
"Mengapa tidak boleh menjadi kejam?". Rorty menegaskan bahwa tidak ada
landasan teoritis yang tidak singular untuk keyakinan bahwa kekejaman adalah
sesuatu yang mengerikan. Juga tidak ada jawaban untuk pertanyaan "Bagaimana
Anda memutuskan kapan untuk berjuang melawan ketidakadilan dan kapan ketika
Anda mengabdikan diri untuk proyek pribadi?" Bagi liberal ironis, pertanyaan-
56
Jika demikian, pertanyaannya menjadi apa nilai-nilai yang benar dari seseorang
itu dan pertanyaan kapan yang ada kondisi yang memungkinkan anggota dari satu
keluarga atau komunitas mendukung satu manusia lebih dari manusia yang lain,
yang dipilih secara acak. Bagi Rorty, siapa saja yang berpikir bahwa ada alasan
teoritis yang berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan semacam ini atau
menyediakan algoritma untuk menyelesaikan dilema moral semacam ini pastilah
seseorang itu teolog atau metafisikus.
Rorty punya posisi yang bertentang dengan posisi teolog dan metafisikus yang
percaya ada hukum moral yang melampaui waktu dan perubahan yang
menentukan titik eksistensi manusia serta menetapkan hierarki tanggung jawab
(Rorty 1995 : xv). Bagi Rorty, kita tidak harus berpikir kebiasaan dan institusi-
institusi masyarakat tertentu sebagai suatu kondisi aksindental yang berdiri di
samping inti rasionalitas moral universal atau sejenis hukum moral transendental.
Sebaliknya, bagi Rorty, kita harus berpikir dari seperangkat kebiasaan dan
institusi seperti sebagai titik tolak di mana semua aturan moral termaktub.
Tidak heran jika bagi Rorty bukannya teori liberal dan demokrasi lebih baik dan
lebih canggih, tetapi lebih bentuk-bentuk sastra, jurnalisme kebudayaan, dan
artikel-artikel keragaman yang bisa mencapai lebih banyak prestasi untuk
memperkuat dan memperbaiki institusi liberal daripada traktat akademis yang tak
ada habisnya dari filsuf politik. Hal ini sangat cocok dengan keyakinan lain dari
Richard Rorty. Bagi Rorty, masyarakat liberal tergantung pada rasa solidaritas dan
simpati untuk makhluk sesama manusia.
Dari hal ini Rorty punya pijakan masuk untuk berbicara tentang simpati universal
sebagai pengembangan dari solidaritas tersebut, bukan prinsip-prinsip yang
universal. Lebih jauh, bagi Rorty, oral dan kemajuan liberal melibatkan kondisi
57
Hal ini memang merupakan tema utama dari Contingency, Irony, and Solidarity
karya Rorty yang berusaha untuk membongkar sosok yang dia sebut „intelektual
ironist‟ yang menjadi sentral dari „liberal utopia‟. Hal ini menunjukkan bahwa
pada satu sisi, untuk liberal ironis, pertanyaan-pertanyaan tertentu tidak masuk
akal dan mereka hanya putus asa untuk menemukan jawaban pasti. Artinya tidak
ada respon yang bisa diberikan untuk pertanyaan seperti "Mengapa tidak menjadi
kejam?" atau “Kriteria apa untuk menentukan kapan harus berjuang melawan
ketidakadilan?”. Menjawab pertanyaan ini tidak lebih menegaskan sebuah bentuk
pengabsolutan atau menghadirkan bentuk metafisika.
Dengan begitu, pusat proyek ironis adalah penerimaan dari berbagai macam
kontingensi bahwa orang-orang terikat pada bahasa, indentitas yang bergantung
dengan masyarakat atau komunitas. Tentu saja, hal ini bukan sesuatu baru untuk
membahas kontingensi tersebut. Agustinus pada abad keempat telah
mengungkapkan bahwa manusia tidak tahu apa yang dia akan melakukan pada
keesokan harinya. Akan tetapi, Agustinus percaya bahwa ada tujuan, bahwa ada
cara yang lebih baik dan lebih buruk secara normatif dan ada satu jenis self. Rorty
secara unik menafsirkan dan tidak mendukung satu jenis self.
Bagi Rorty, self adalah apa yang terus-menerus ironis tentang pengesahan dirinya
sendiri, termasuk sebagai liberal ironis. Pada konteks ini apa yang hendak
ditekankan oleh Rorty adalah bahwa aspek bahwa kita terbatas pada bahasa yang
kita tahu atau yang kita kenal untuk waktu yang lama. Jika kita menentukan salah
satu bentuk bahasa dari komunitas sebagai suatu objektivitas, hal itu tidak lebih
dari sebuah kekeliruan dan hanya akan menimbukan segala macam kesulitan
untuk mengembangkan solidaritas.
58
Akan tetapi, bagi Rorty, solidaritas harus dilakukan dengan ikatan kontingen
tertentu. Hal itu juga ada hubungannya dengan gerakan yang kebanyakan filsuf
yang mempertimbangkan suatu teleologis terhadap solidaritas manusia yang lebih
besar‟ sebagai bagian dari sesuatu yang Rorty menyebutnya, „kemajuan moral‟
(Rorty 1995 : 192). Di sini, hal tersebut dilihat memang terjadi atau bekerja secara
begitu. Kita mengidentifikasikan diri dengan masyarakat tertentu terutama karena
kontingensi, tetapi semua ini bekerja ke arah kondisi di mana manusia ironis
liberal mendukungnya.
Setidaknya itulah satu-satunya cara yang agar bisa menafsirkan pernyataan Rorty
seperti suatu masyarakat liberal adalah salah satu masyarakat yang menekankan
konten „benar‟ dengan pertimbangan bahwa sesuatu itu bergerak atau menjadi
59
Ketika Rorty berbicara tentang demokrasi liberal, hal itu memberikan citra
progresif, dan politik reformis yang selalu berlatar belakang memberitahukan apa
yang ia hargai dan ingin dikembangkan. Rorty menegaskan bahwa apa yang
paling dibutuhkan saat ini tidak „berteori‟ –di sini nuansa pragmatisme jelas
terasa. Rorty tanpa malu-malu membela kesesuaian retorika dan apa yang dia
sebut redeskripsi dalam rangka untuk membuat keyakinan liberal semenarik
mungkin.
Rorty hampir bisa cocok gagasan para filsuf dalam kerangka pragmatisme.
Dengan begitu, Rorty menolak peran istimewa bentuk argumen yang dikaji
filsafat analitik sebagai suatu yang memajukan. Bagi Rorty apa yang menjadi
60
Rorty jelas memperhatikan detail atau kemahiran dari Rawls dan Habermas dalam
mengartikulasikan serta membela keyakinan liberal mereka sendiri. Kekuatan
teori Rawls tentang keadilan dan etika diskursus Habermas dapat ditemukan
dalam rincian mereka masing-masing yang menunjukkan kehati-hatian mereka
dalam mengerjakan proyek mereka. Baik Rawls dan Habermas, walau dengan
cara yang berbeda, berusaha untuk menyelesaikan berbagai masalah yang
kompleks tentang hak, hukum, pembangkangan sipil, konstitusi, dan seterusnya
dalam teorinya tentang keadilan. Rorty terlihat jelas lebih tertarik pada posisi
pemikiran yang bisa diaplikasikan. Bagi Rorty munculnya masyarakat liberal
sebenarnya tidak lebih sebuah kondisi aksidental saja –dapat juga kita sebut
sebagai sebuah kontingensi historis. Rorty menolak semua narasi besar yang
menunjukkan bahwa ada sebuah keniscayaan atau determinasi pada kemenangan
kebebasan liberal. Di sini, Rorty mengkritik Habermas karena dia masih, menurut
Rorty, memiliki keinginan besar untuk sesuatu seperti fondasi-fondasi Kantian
dan klaim validitas universal.
Pada konteks ini, penulis melihat bahwa setiap kali Habermas berbicara tentang
norma-norma universal-transenden, Rorty melancarkan kritik-kritiknya. Di sini,
Rorty jelas mempertajam polemiknya melawan sisa-sisa ini yang tidak perlu dari
Platonisme dan Kantianisme. Rorty curiga tentang apa saja yang terlihat seperti
„teori‟ atau „pembenaran rasional‟. Untuk mengungkapkan kecurigaan itu, Rorty
menyebutnya sebagai tidak lebih dari redeskripsi-redeskripsi. Walau Rorty sering
berbicara tentang komitmen terhadap keadilan sosial, dia merujuk pada apa
tepatnya yang dia maksud, kecuali melalui beberapa frase umum.
Hal ini akan menjatuhkan atau menafsirkan kembali secara drastis bahwa gagasan
ada sesuatu yang ekstra manusia yang bertanggung jawab atas kehidupan manusia
tidak lebih dari sekedar cara untuk menghindar dari tanggung jawab itu sendiri.
Bagi Rorty, proses penjelasan ekstra manusia hanya akan berujung
61
Hal ini untuk memungkinkan agar diskusi bisa dijalankan pada tataran kehidupan
baik secara sosial, politik dan budaya. Hal ini, bagi Rorty menjadi suatu tuntunan
bagi masyarakat yang liberal mencoba untuk menghindari bentuk-bentuk retorika
yang tidak punya relevansi pada kehidupan. Dengan begitu, Rorty berusah untuk
menunjukkan bahwa pusat gagasan tentang masyarakat liberal adalah kondisi
kehidupan bersama yang lebih baik.
Dari pembahasan di atas, kita bisa mengkonstitusi demokrasi dari sudut pandang
Richard Rorty yang disandarkan pada pemahamannya tentang kontingensi,
manusia liberal ironis dan perkembangan solidaritas. Bagi Rorty, demokrasi akan
berkisar pada pengurangan kekejaman dan eskpresi kebebasan serta B
menciptakan bentuk solidaritas dalam masyarakat.
Di sisi lain, demokrasi liberal dari sudut pandang Rorty menyarankan bahwa
semua perekat sosial masyarakat liberal perlu tunduk pada dua hal utama, yaitu
kebebasan dan menghindari kekejaman. Memang ada keberatan tertentu pada
pandangan Rorty ini, yaitu: Pertama, mengenai bahwa demokrasinya yang lebih
disandarkan pada hal-hal praktis yang tidak mengandung retorika metafisis.
Kehidupan publik dalam demokrasi disadari sangat bergantung pada institusi-
institusinya. Di sini, peran retorika metafisis adalah untuk mempertahankan
62
Rorty juga menjelaskan bahwa manusa liberal ironis selalu meyadari bahwa apa
yang menjadi keyakinan belum tentu benar. Dengan menyadari kondisi seperti itu,
manusia liberal menyadari bahwa kehidupan demokrasi adalah tempat yang
paling pas untuk dirinya. Demokrasi dengan pemahaman manusia liberal Rorty
memusatkan perhatian dari kehidupan manusia dengan tidak bertindak kejam dan
menyediakan ruang untuk memahami apa yang membuat kehidupan seseorang itu
berharga. Demokrasi liberal, bagi Rorty, bukanlah sebuah konsepsi yang berada
dalam suatu defenisi yang tetap, tetapi pada kemampuannya untuk memahami
banyaknya keragaman tentang posisi manusia yang kontingensi dan
pengembangan solidaritas. Kehidupan demokrasi liberal, dengan begitu bagi
Rorty adalah menjaga kondisi pluralis dengan batasan toleransi adalah kekejaman.
Argumen sederhananya, kita tidak mungkin mentoleransi orang yang jelas-jelas
hendak menghancurkan sendi-sendi kehidupan demokrasi itu sendiri.
63
Tujuan kehidupan bersama yang lebih bagi, bagi Rorty, harus dicapai tanpa
mengorbankan nilai kebebasan dan kemungkinan-kemungkinan deskripsi
kehidupan serta sekaligus menghindarkan dari bentuk totalitarianisme atau
otoriter baik dalam bentuk epistemologi dan juga praktek-praktek. Tawarannya
Rorty pada demokrasi liberal adalah kebebasan yang dimuati oleh solidaritas. Di
sisi lain, Rorty menolak bertindak kejam dengan menyatakannya sebagai sesuatu
yang melanggar kehidupan demokrasi itu sendiri. Artinya, ketika kekejaman
terjadi selalu sebagai pelanggaran kehidupan bersama -apalagi kekejaman yang
jelas-jelas hendak menghancurkan sendi-sendi kehidupan demokrasi itu sendiri,
contohnya terorisme.
Pada titik ini, penulis bisa menyimpulkan bahwa demokrasi liberal dari sudut
pandang Rorty menyarankan bahwa semua perekat sosial masyarakat liberal
disandarkan pada dua hal utama, yaitu kebebasan dan penolakan akan kekejaman.
Sudut pandang ini jelas menunjukkan posisi yang khas dari Richard Rorty di
antara pemikir-pemikir demokrasi liberal lainnya. Pada bab selanjutnya, yaitu bab
kesimpulan, penulis akan memberikan penjelasan yang lebih detail dan tentang
demokrasi liberal dari sudut padang Rorty ini dalam dua subbab, yaitu demokrasi
dan kosakaka akhir serta mengaitkannya dengan bentuk negasi atas finalitas
deskripsi demokrasi itu sendiri.
64
Rorty membedakan dirinya dari para relativis dengan menolak untuk menjelaskan
secara lebih detail konsepsi rasionalitas dan sama sekali berusaha menghindari
penggambaran subyek-obyek dari kondisi mental kita. Dalam bentuk skeptis
seperti itu, Rorty melihat sosok filsuf terkurung di dalam menara gading mereka
dan dengan sistemnya mengklaim satu kebenaran untuk semua kontekstual dan
berlaku sepanjang waktu.
65
Di titik ini, Rorty membedakan secara jelas antara filsafat politik tradisional di
satu sisi, dan pragmatisme teoritisnya di sisi lain. Filsafat politik tradisional
berfokus pada hasrat untuk mencapai obyektifitas pemahaman (desire for
objectivity). Sementara, pragmatisme teoritis yang menjadi posisi argumentatif
Rorty lebih berfokus pada hasrat untuk mencapai solidaritas (desire for
solidarity). Hasrat untuk mencapai obyektifitas ditandai dengan upaya untuk
memberikan fondasi yang kuat bagi semua bentuk praktek sosial di dalam
masyarakat dengan mengacu pada prinsip-prinsip metafisis, seperti kebenaran,
rasionalitas, ataupun prinsip-prinsip lainnya.
Kontras dengan itu, hasrat untuk mencapai solidaritas lebih ditandai dengan upaya
untuk mencari kerangka etis yang berguna bagi kerja untuk memajukan kehidupan
bersama. Yang penting adalah perumusan kerangka kerja yang memungkinkan
solidaritas di antara orang-orang yang berbeda bisa tercipta. Persis, di sinilah
menurut Rorty demokrasi harus bekerja yang sebagai wadah perumusan yang
memungkinkan solidaritas di dalam masyarakat.
Konsekuensi dari pandangan ini adalah penolakan terhadap semua upaya untuk
mencari dasar moral bagi kehidupan bersama, distingsi yang tegas antara
kehidupan publik dan kehidupan privat, dan pembedaan tegas antara perwujudan
potensi-potensi diri dengan penciptaan solidaritas sosial. Ruang privat adalah
ruang yang bersifat personal. Sementara, ruang publik adalah tempat untuk
berbicara mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan keadilan dan
solidaritas sosial.
66
Rorty menjelaskan ironis sebagai orang yang memenuhi tiga kondisi dasar.
Pertama, dia memiliki keraguan tentang kosakata terakhirnya sendiri. Kedua, dia
menyadari bahwa setiap argumen diutarakan dalam kosakata tersebut dia tidak
dapat melarutkan keraguan itu. Ketiga, dia tidak berpikir bahwa kosakatanya lebih
mendekati kenyataan daripada kosakata yang orang lain punya. Ironis liberal
menekankan pada pemisahan yang kuat antara publik dan privat. Dia memiliki
banyak tujuan privat, tetapi tidak memiliki hubungan dengan tindakan publiknya
(Rorty: 1995, 73)
Masyarakat liberal adalah masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang punya
gaya berpikir ironis liberal semacam itu. Di dalam masyarakat itu, semua bentuk
kekejaman dihilangkan, dan solidaritas sosial akan tercipta. Pusat proyek ironis
liberal tidak lain sebuah penerimaan berbagai macam kontingensi -orang-orang
dari berbagai suku, bahasa, ras, dan masyarakat.
Rorty juga menjelaskan bahwa manusa liberal ironis selalu meyadari bahwa apa
yang menjadi keyakinan atas kosa kata akhirnya belum tentu benar. Dengan
67
Gagasan tentang konsensus dibangun atas harapan bahwa ada standar metafisik di
luar waktu, budaya dan keadaan, dan standar ini telah menjadi objek pencarian
ribuan tahun. Akan tetapi untuk menemukan standar ini, para pencari harus sudah
pada titik konsensus yang sedang dicari, mereka sudah harus tahu apa itu untuk
menemukan hal tersebut. Rorty menganggap hal semacam itu bentuk Platonis
yang bersifat lingkaran setan yang saling mengasumsikan bahwa ada sudut
pandang obyektif yang eksis –suatu sudut pandang ekstra manusia. Rorty
menyebut bahwa ketertarikan akan kebenaran objektivitas merupakan pandangan
tradisional tentang kebenaran. Untuk menghindari ini, Rorty sendiri menyajikan
sebuah pandangan non-fondasional.
68
Dengan menyadari sisi kontingensi dari diri manusia, maka kebenaran pun
sebenarnya bukan sesuatu yang ditemukan di dalam realitas, tetapi sesuatu yang
diciptakan. Dan karena kebenaran sendiri adalah sesuatu yang diciptakan, maka
hakekat dari diri kita dan komunitas di mana kita hidup pun sebenarnya
diciptakan. Dengan bekal kesadaran semacam ini, kita akan memperoleh lebih
banyak kebebasan. Solidaritas kita terhadap manusia lain meningkat. Manusia
tidaklah memiliki esensi yang tetap. Tidak ada kodrat manusia yang bersifat
metafisis yang mengikat seluruh manusia di muka bumi ini di dalam konsep yang
sama. Sikap solider kita terhadap manusia lain pun tidak lagi didorong oleh
kesamaan kodrat, tetapi oleh kebersamaan di dalam menciptakan diri yang
kontingen secara terus menerus.
Rorty meyakinkan ada batasan atas apa yang orang bisa lakukan secara pribadi.
Bagi Rorty batasannya jelas yaitu tidak boleh kejam. Lebih lanjut, orang harus
bersimpati terhadap nasib orang lain ke titik melarutkan batas-batas tradisional
antara „kami‟ dan „mereka‟. Kesenjangan terjadi ketika orang mendefinisikan
manusia yang sejati sebagai "kami" dan sub-manusia yang dibenci sebagai
69
Hal ini jelas menolak secara drastis bahwa gagasan ada sesuatu yang ekstra
manusia yang bertanggung jawab atas kehidupan manusia. Gagasan seperti itu
tidak lebih dari sekedar cara untuk menghindar dari tanggung jawab itu sendiri.
Bagi Rorty, proses penjelasan ekstra manusia hanya akan berujung
ketidakmampuan penerapannya pada kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata
lain, penjelasan ekstra manusia pada tidak lagi bisa digunakan karena tidak
melihat bahwa sebuah penjelasan selalu yang terbatas, fana, kontingen dari posisi
manusia itu sendiri. Dengan demikian, tidak mungkin memberikan makna hidup
manusia kecuali secara terbatas, fana dan kontingen.
Yang terpenting adalah bagaimana membuat kondisi kehidupan bersama itu itu
menjadi lebih baik. Artinya, jika ada kesepakatan umum dalam suatu masyarakat
selalu yang menjadi titiknya adalah apa pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa
berguna bagi kehidupan manusia itu sendiri. Tujuan kehidupan bersama yang
lebih bagi, bagi Rorty, harus dicapai tanpa mengorbankan nilai kebebasan dan
kemungkinan-kemungkinan deskripsi kehidupan serta sekaligus menghindar dari
bentuk totalitarianisme atau otoriter baik dalam bentuk epistemologi dan juga
praktek-praktek. Tawarannya Rorty pada demokrasi adalah kebebasan yang
dimuati oleh solidaritas. Di sisi lain, Rorty menolak semua tindakann kejam
dengan menyatakannya sebagai sesuatu yang melanggar kehidupan demokrasi itu
70
Pada akhirnya, kita bisa mengkonstitusi demokrasi dari sudut pandang Richard
Rorty yang disandarkan pada pemahamannya tentang kontingensi, manusia liberal
ironis dan perkembangan solidaritas. Bagi Rorty, demokrasi berkisar pada
pengurangan kekejaman dan eskpresi kebebasan serta menciptakan bentuk
solidaritas dalam masyarakat. Di sisi lain, demokrasi dari sudut pandang Rorty
menyarankan bahwa semua perekat sosial masyarakat liberal perlu tunduk pada
dua hal utama, yaitu kebebasan dan menghindari kekejaman. Sudut pandang ini
jelas menunjukkan posisi yang khas dari Richard Rorty di antara pemikir-pemikir
demokrasi lainnya.
71
Primer :
Sekunder :
Charles Guignon dan David R. Hiley (Ed.). 2003. Richard Rorty. New
York. Cambridge University Press.
73