Anda di halaman 1dari 8

Jurnal Sumberdaya HAYATI Januari 2015

Available online at:


Vol. 1 No. 1, hlm 7-14 http://biologi.ipb.ac.id/jurnal/index.php/jsdhayati

Perspektif Kultural Pengelolaan Lingkungan pada Masyarakat


Adat Cikondang Kabupaten Bandung Jawa Barat
BILLYARDI RAMDHAN1,2, TATIK CHIKMAWATI1*, EKO BAROTO WALUYO3

1
Program Studi Biologi Tumbuhan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor, Kampus Dramaga, Bogor 16680
2
Program Studi Pendidikan Biologi, FKIP Universitas Muhammadiyah Sukabumi, Sukabumi 43113
3
Bidang Botani Puslit Biologi LIPI Cibinong

Diterima 28 November 2014/Disetujui 5 Januari 2015

Peoples of Traditional Cikondang Village, located in the village of Lamajang, Pangalengan, Bandung City West
Java have a very close relation to the environment along with its natural resources. This relation is expressed in the
form of procedures and rules on the management and utilization of landscape units as well as the diversity of plants
as a form of adaptation to the natural environment. This research was conducted through ethnographic method for
photographing people’s lives and ethnobotany to know the biological resources that are important to Cikondang’s
people’s daily lives. Descriptive and analytical methods are used through interviews with 87 respondents and 4 key
informants. Results of research on landscape units that were identified by the community, indicates that in terms of
the character, function, and its management there are 9 units of landscape that is both natural landscape and which
has been modified by Cikondang community activities. Each unit of the landscape is characterized by vegetation
cover according to the type of value in order for daily life. Meanwhile, cultural factors, economic, and political could
be a trigger to the landscape transformation of one type of landscape into other landscapes.

Key words: Landscape, Ethnobotany, Indigenous Village Cikodang


___________________________________________________________________________

PENDAHULUAN pengetahuan tentang alam dan lingkungan (Walujo, et


al 1991). Manusia secara naluriah banyak mengambil
Isu global tentang budaya dan keanekaragaman manfaat terhadap alam lingkungan, terutama untuk
hayati selalu muncul dan menjadi pembicaraan bahan bangunan, air, sumber pangan, sumber obat-
dalam berbagai kovensi, seperti Ramsar (1975), obatan, dan sumber bahan kerajinan (Sastrapraja et al.
CITES (1975), CBD (1992), dan konvensi tentang 1979). Oleh karena itu berbagai unsur sosial, budaya,
perubahan iklim yang kemudian diperbaharui ekonomi, teknologi, dan politik yang tumbuh dan
dalam Protokol Kyoto (1997) serta Protokol berkembang di setiap kelompok etnik mempengaruhi
Cartagena (2004). Sejauh ini perhatian para ahli cara pandang dan pengelolaan terhadap alam
mengenai ancaman terhadap kehidupan flora, fauna lingkungan. Pengetahuan tersebut membangun
dan mikroba yang diakibatkan kegiatan manusia system tata nilai budaya sebagai satuan ide dan
telah banyak dilakukan. Kartawinata & Whiten gagasan dalam kebudayaan yang mempengaruhi
(1991) menjelaskan Hilangnya Keanakeragaman aktivitas dalam system social (tata cara, perilaku,
Biologi memberikan gambaran tentang pentingnya dan cara hidup kelompok), serta mempengaruhi
keanekaragaman hayati beserta ekosistem dalam kreativitas dalam sistem teknologi (Suparlan 1980).
setiap aspek kehidupan. Pengetahuan masyarakat lokal terhadap lingkungan
Banyak cara untuk mengungkapkan bahwa alam sekitarnya merupakan produk sampingan dari
Indonesia adalah negara yang memiliki karakteristik salah satu upaya dalam mempertahankan kelangsungan
unik. Selain kaya sumberdaya hayati, Indonesia juga hidup serta mengembangkan keturunannya (Waluyo
memiliki kelompok-kelompok etnis yang jumlahnya et al. 1991). Proses pemenuhan kebutuhan melalui
ratusan. Setiap kelompok etnis memiliki kehidupan seleksi dan upaya mengenal tumbuhan yang
social, ekonomi, budaya yang berbeda dan sangat bermanfaat menjadi pengetahuan yang terus
bergantung pada ekosistem tempat mereka bermukim dijaga dan diteruskan secara turun temurun. Setiap
(Waluyo 2008). Kekhasan masing-masing kelompok waktu, pengetahuan yang dibentuk leluhurnya akan
etnis ini juga berpeluang melahirkan berbagai
_________________
terus dicek kebenarannya dan akan terus menerus

Penulis korespondensi. Phone: +62-81314215979 disempurnakan oleh generasi-generasi berikutnya
E-mail: tchikmawati@yahoo.com sebagai bagian dari budaya. Peranan sumber daya
8 RAMDHANI ET AL. Jurnal Sumberdaya HAYATI

alam yang sangat besar bagi masyarakat lokal yang turut memiliki kepentingan atas pengelolaan
memaksa mereka untuk membentuk suatu sistem lahan tersebut. Konflik ini dapat terjadi karena adanya
tata kelola akan sumber daya alam yang ada. Sistem kesenjangan (gap) antara kebijakan dan kondisi
tata kelola yang dibuat oleh masyarakat adat menjadi faktual di lapangan (Pratiwi 2008).
suatu kebiasaan adat, hukum adat, atau wasiat adat. Tulisan ini mengulas bagaimana masyarakat adat
Hal ini yang menjadi bagian penting dari pengetahuan Cikondang memahami konsep, dan jenis lanskap
masyarakat. yang ada serta dinamika lanskap yang terjadi
Kampung Adat Cikondang terletak di Selatan sebagai hasil dari pola pengelolaannya. Gambaran
Kota Bandung merupakan satu dari sembilan pengetahuan dan penataan serta cara pengelolaan
kampung adat yang ada di Jawa Barat. Pengetahuan masyarakat adat dapat menjadi suatu pertimbangan
dan interaksi masyarakat sunda di Kampung Adat bagi pemerintah setempat dalam membuat Peraturan
Cikondang dengan alam sekitar terutama hutan Daerah kaitannya dengan perlindungan lahan adat
Gunung Tilu diperlihatkan dengan adanya tata khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung.
pengaturan lansekap ekosistem yang bertingkat
yang mencerminkan kearifan terhadap lingkungan, METODE
serta aturan-aturan yang mengikat masyarakatnya
yang didasarkan atas dasar “Pamali” (hukum Penelitian dilakukan pada bulan Mei tahun
dosa). Dengan tatanan seperti ini, masyarakat tidak 2013 di Kampung Adat Cikondang, yang secara
banyak mengeksploitasi hutan, akan tetapi dituntut administratif termasuk dalam Desa Lamajang,
untuk terbiasa menanam sendiri di lingkungan Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.
sekitar tempat tinggal, bahkan harus terus menjaga Ketinggian tempat Kampung Adat Cikondang adalah
kelestarian hutannya sebagai bagian dari wasiat sekitar 700 m dpl. Kampung Adat Cikondang berada
leluhur “gunung tilu tetep lestari kaian, lahan di kaki Gunung Tilu. Secara georafis kampung Dukuh
lamping awian, lahan rata datar imahan, lahan terletak pada 6 43’ 0” S, 107 13’ 33” E. Penduduk
legok balongan, lahan lebak sengkedan sawahan, Kampung Adat Cikondang terdiri dari 290 Kepala
jeung piara jalan cai solokan” (Gunung Tilu tetap Keluarga (KK) dengan 991 jumlah jiwa.
lestari dengan pohon kayu, lahan miring tanam Metode penelitian yang dilakukan adalah
bambu, lahan rata dibuat rumah, lahan cekungan eksplorasi yang didasarkan atas pendekatan emik dan
dibuat kolam, lahan lembah dibuat sengkedan untuk etik. Pendekatan emik dilakukan untuk menggali dan
persawahan, dan pelihara saluran air) (Darsyah 2012 mendapatkan data tentang pengetahuan masyarakat
April 12, komunikasi pribadi). atas obyek yang sedang diamati dari sudut pandang
Kearifan masyarakat Cikondang dalam mengelola dan bahasa mereka (Waluyo 2004). Selanjutnya
lingkungan beserta sumber daya tumbuhannya melalui system of knowledge and cognition,
berimbas pada pola pengaturan lanskap yang diikat pengetahuan masyarakat yang berupa kaidah
oleh aturan adat yang mengikat masyarakatnya untuk konseptual, kategori, kode, dan aturan kognitif dibahas
patuh pada wasiat leluhur agar tetap terjaga. Upaya dan dianalisis berdasarkan kategori konseptual yang
mempertahankan wilayah yang menjadi tumpuan diperoleh dengan latar belakang ilmiah (etik).
kehidupan dan aktifitas masyarakat sehari-hari Pengetahuan masyarakat memanfaatkan tumbuhan
dilakukan dengan cara penataan dan pengelolaan dalam pengobatan di peroleh melalui wawancara
lanskap yang diatur oleh adat secara turun temurun. kepada responden sebanyak 30% dari total KK yaitu
Pola aturan penggunaan, pengelolaan, dan penataan 87 KK (Waluyo 2004), tokoh adat, dan informan
masih bersifat tradisional dan ditetapkan sebagai kunci. Pengumpulan data pengetahuan masyarakat
bagian dari aturan adat yang telah diuji secara lokal digunakan teknik wawancara berencana
empirik. (standardized interview), wawancara tidak berencana
Pentingya keberadaan lanskap yang menjadi (unstandardized interview), dan wawancara sambil
tumpuan dan sumber daya bagi kehidupan lalu (casual interview) kepada responden (Rugayah
masyarakat adat harusnya mendapat perlindungan et al. 2004) menggunakan lembar wawancara
dari pemerintah sebagai bagian dari hak hidup warga Semistructured Interview dan Structured Interview.
negara. Akan tetapi, kenyataannya banyak sekali Data yang dikumpulkan terdiri atas pengetahuan
kebijakan pemerintah saat ini yang bentrok dengan masyarakat tentang satuan lanskap, ekologi setiap
kepentingan masyarakat adat. Masyarakat adat satuan lanskap, keanekaragaman tumbuhan pada
banyak yang berhadapan untuk mempertahankan hak setiap satuan lanskap, dan pemanfaatan tumbuhan
wilayah adatnya karena bersilang sengketa dengan dari setiap satuan lanskap.
Departemen Kehutanan atau bahkan pihak swasta
Vol. 1, 2015 9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsepsi Satuan Lanskap dan Unit Lanskap


yang dikenali. Masyarakat Cikondang melakukan
pengelolaan dan pemanfaatan terhadap sumber daya
alam yang terdapat di sekitar wilayah kampungnya.
Interaksi tersebut melahirkan satuan-satuan lanskap.
Pola pengelolaan wilayah pada masyarakat adat
didasarkan atas pengalaman atau sejarah yang
terjadi. Berdasarkan fakta tersebut, dapat disintesis
bahwa pengertian lanskap menurut masyarakat
adat Cikondang adalah wilayah atau ruang terbuka
yang memiliki fungsi tertentu untuk menyokong
kehidupan sehari-hari, selain itu juga memiliki
sejarah yang berkaitan erat dengan keberadaan
masyarakat Cikondang.
Konsepsi masyarakat merumuskan karakter
dalam menderminasi lanskap secara tidak langsung
membuat nama lanskapnya. Nama Laskap yang dibuat
oleh masyarkat Cikondang didasarkan atas karakter
fungsi, ciri atau kepemilikan. Contoh nama lanskap
yang didasarkan atas karakter fungsi adalah Lanskap Gambar 1. Keanekaragaman lanskap kampung adat Cikondang.
Parabon berasal dari kata paranti ngebon (untuk
berkebun) merupakan lanskap yang memiliki fungsi elasticus), kondang (Ficus variegata), puspa
sebagai tempat untuk berkebun. Lanskap lamping (Schima wallichii), sarangan (Castanea argentea),
merupakan contoh nama lanskap yang dibuat dari dan handalaksa (Podocarpus neriifolius). Selain itu,
karakter cirinya. Lamping (lahan miring) merupakan keanekaragaman fauna yang ada seperti macan tutul
lanskap yang memiliki ciri lahan dengan kemiringan (Panthera pardus), kera (Macaca fascicularis), Owa
lebih dari 45o, sehingga sulit untuk dijadikan lahan (Hylobates moloch), kijang (Muntiacus muntjak),
pertanian. Adanya bagian lanskap pesawahan yang lutung (Trachypitechus auratus), Surili (Presbytis
merupakan titipan leluhur kepada adat, menjadikan comata), burung dederuk (Streptopelia bilorquata),
masyarakat menamai lanskap pesawahan atas dasar dan ular sanca (Geopelia striata).
kepemilikannya dengan sebutan Sawah Adat. Hutan Bukaan-Tutupan. Hutan ini merupakan
Berdasarkan hasil wawancara dan survey yang bagian dari Hutan Gunung Tilu seluas 25 Ha yang
dilakukan terdapat 9 lanskap di Kampung Adat dikelola oleh Perhutani sebagai hutan produksi dan
Cikondang (Gambar 1). Lebih lengkapnya penjelasan hutan penyangga (buffer zone). Dalam rangka peran
setiap lanskap fungsi, ciri, dan kepemilikan pada serta masyarakat dan turut menjaga kelestarian CA
setiap lanskap diuraikan sebagai berikut. Gunung Tilu, maka dibuat program hutan rakyat.
Hutan Gunung Tilu. Hutan Gunung Tilu berupa Melalui program ini, perhutani bekerja sama dengan
hutan alami seluas 8.000 Ha yang pengelolaannya lembaga kelompok tani hutan yang dibentuk oleh
di bawah Departemen Kehutanan. Fungsi hutan masyarakat sekitar hutan. Kelompok tani hutan
ini sebagai Cagar Alam (CA) yang tidak boleh mengkoordinasikan anggotanya untuk mengolah
diekploitasi dan dikormersialisasi berdasarkan lahan Hutan Bukaan-Tutupan agar bertani komoditas
Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 68/Kpts/ pertanian yang umurnya tahunan dan dapat panen
Um/2/78 ditetapkan tanggal 7 Februari 1978. setiap tahun. Beberapa komoditas pertanian yang
Hutan Gunung Tilu memiliki ciri hutan tipe diarahkan oleh perhutani adalah pinus (Pinus
hutan hujan tropis dengan kerapatan tumbuhan merkusii), dan kopi (Coffea sp.). Melalui program
yang tinggi dan tutupan kanopi pohon yang rapat ini diharapkan petani tidak merusak hutan dan turut
serta bagian dasar didominasi oleh keluarga jahe- menjaga kelestarian CA Gunung Tilu.
jahean (Zingiberaceae) serta talas-talasan (Araceae). Ciri lanskap ini berupa hutan homogen dengan
Sumber daya alam hutan gunung tilu masih sangat tutupan kanopi yang renggang dari Pinus (Pinus
tinggi. Banyak tumbuhan yang berpotensi seperti merkusii), sedangkan bagian tengah cukup rapat
kayu mala (Altingia excelsa), saninten (Casonopsis ditutupi perdu dari Kopi (Coffea sp.) serta bagian
javanica), Pasang (Quercus sp), Teureup (Artocarpus dasar ditutupi oleh rumput-rumput yang sesekali
10 RAMDHANI ET AL. Jurnal Sumberdaya HAYATI

dilakukan penjarangan rumput oleh petani. Pada rumah tangga yang berbahan dasar bambu. Beberapa
beberapa bagian lanskap ini sudah mulai adanya produk kreatif yang dibuat seperti adalah boboko
beberapa benih komoditas baru yang ditanam seperti (tempat nasi), nyiru, gelas bambu, sendok bambu,
cengkeh (Eugenia aromatica) dan kapol (Amomum alat musik, gantungan kunci. Aktivitas kerajinan ini
cardamomum). cukup membantu perekonomian masyarakat selama
Parabon. Parabon (paranti ngebon) artinya menunggu musim panen datang, akan tetapi aktivitas
tempat berkebun, dimaksudkan sebagai lahan ini belum dikelola dengan baik sehingga belum
berkebun bagi kepala desa. Lahan ini merupakan menjadi komoditas unggul di desa ini.
lanskap transformasi dari hutan gunung tilu yang Hutan Awisan. Hutan Awisan merupakan
diserahkan kepada pemerintahan Desa Lamajang hutan adat yang di dalamnya terdapat bumi adat,
sebagai inventaris desa. Pemerintah desa tidak leuit (lumbung padi), lisung (alat penumbuk padi),
langsung menggarapnya, akan tetapi disewakan pancuran (sumber air jamban), tampian (jamban),
kepada masyarakat, dan hasil penyewaanya sebagai dan balong (kolam) yang sifatnya ‘nu pondok tong
bagian kas pemasukan desa. Vegetasi Parabon disambung nu panjang tong dipotong’ (tidak boleh
berupa tanaman herba kecil musiman yang ditanam dirubah, ditambah, dan dihilangkan) serta di bagian
serempak seperti Kentang (Solanum tuberosum), paling atas dataran hutan awisan ini terdapat makam
Tomat (Solanum lycopersicum), Bawang Merah adat. Luas hutan Awisan sekitar 3 Ha termasuk
(Allium cepa), dan beberapa komoditas sayuran dengan Sawah adat. Karena dijadikan cagar dan
musiman lainnya. warisan budaya masyarakat Cikondang yang
Kebon. Kebon merupakan lanskap yang dimiliki ditetapkan melalui Undang-undang No 5 Tahun
masyarakat, digunakan sebagai tempat berkebun, 1992, maka tidak ada yang berani merubah bentuk
menanam sayuran, buah-buahan, dan palawija. dan tatanan di dalamnya, sehingga kebun belakang
Vegetasi untuk kebun ada dua tipe. Pertama, rumahnya menjadi belantara seakan-akan seperti
kebun sayuran memiliki vegetasi tanaman herba hutan. Dari sinilah masyarakat menyebutnya sebagai
kecil musiman seperti halnya di Parabon. Kedua, Hutan Awisan yang bermakna sebagai hutan yang
Kebon dengan vegetasi semak, perdu dan pohon harus dijaga.
yang umurnya tahunan yang termasuk kedalam Hutan awisan memiliki vegetasi seperti hutan
kelompok palawija, buah-buahan, dan jenis kayu. dengan tutupan kanopi yang rapat sedangkan di
Kebon jenis kedua ini lebih sedikit dibanding jenis bagian dasar hanya terdapat beberapa semai dan
pertama. Masyarakat lebih dominan bertani sayuran, tiang dari spesies pohon-pohon yang besar. Beberapa
karena akan memperoleh hasil panen lebih cepat pohon yang terdapat di Hutan awisan adalah Teureup
dibandingkan jika menanam palawija, buah, dan (Artocarpus elastic), Durian (Durio zibethinus),
kayu. Selain itu, kampung Cikondang dikenal sebagai Jambe (Areca catechu), Jangkurang (Schefflera
salah satu wilayah penghasil sayuran sehingga scanden), dan Kawung (Arenga pinnata). Hutan
menjual sayuran lebih mudah dibanding palawija, awisan ini milik adat, dan sumber daya di dalamnya
buah dan kayu. Aktivitas pertanian di lanskap ini digunakan untuk kegiatan upacara adat. Pengelolaan
sama dengan parabon yaitu dengan sistem semi dan penggunaan sumber daya di Hutan Awisan ini
organik. dilakukan atas kebijakan musyawarah adat yang
Lamping. Lanskap ini merupakan lahan miring dipimpin ketua adat dan sesepuh adat.
yang curam dengan sudut kemiringan lebih dari Sawah Adat. Lanskap ini merupakan bagian dari
45o. Lamping dikelola masyarakat sesuai aturan lahan adat yang terdapat di samping Hutan Awisan
adat ditanami bambu, sehingga vegetasi yang bagian lembah. Pengelolaannya ditujukan untuk
terbentuk berupa semak-semak diselingi rumput kesejahteraan pelaksanaan upacara adat. Vegetasi
dengan beberapa rumpun bambu. Tepian sungai yang yang terbentuk berupa hamparan pesawahan yang
bertopografi miring hingga curam juga merupakan terdiri dari beberapa kultivar padi lokal seperti Pare
tempat penanaman bambu (Arinasa 2005). Agogo, pare beureum jaka, Pare Cere Hideung
Beberapa spesies bambu yang ditanam pada (lokal), Pare Cere Koneng (lokal), pare gadog, pare
Lanskap ini di antaranya haur (Bambusa tuldoides), Awi gemar, Pare Hawara Geulis (lokal), Pare Hawara
koneng (Bambusa vulgaris), Awi tali (Gigantochloa Kalapa (lokal), Pare Hawara Kapas Beureum (lokal),
apus), Awi temen (Gigantochloa atter), dan Awi Pare Hawara Kapas Bodas (lokal), Pare Ketan
gombong (Gigantochloa pseudoarundinacea). Beureum (lokal), Pare Ketan Bodas (lokal), Pare
Melimpahnya bambu di Kampung ini berimbas Ketan Hideung (lokal), Pare morneng, Pare Racik
pada kegiatan industri kreatif masyarakat yang (lokal), Pare Ranggeuyan, Pare Rebon (lokal), pare
terbiasa membuat berbagai kerajinan dan peralatan sinta pendek, Pare Sri Dewi.
Vol. 1, 2015 �������
11

Perkampungan. Wasiat Uyut Pameget sebagai masyarakat adat berpindah dari petani kebon menjadi
leluhur Cikodang telah menetapkan bahwa untuk petani sawah sehingga lanskap kebon berubah
membuat rumah senantiasa pada lahan yang datar, menjadi sawah, dan masyarakat membuka kembali
sedangkan lahan yang cekung menampung air lahan kebon dari bagian lanskap hutan gunung tilu.
digunakan untuk membuat kolam. Perumahan Dalam proses pembukaan lahan gunung tilu menjadi
dan kolam berada pada satu wilayah lanskap kebon, ditemukan lanskap yang cukup curam dan
Perkampungan. Perkampungan tersusun atas 991 sulit ditanami yang disebut lamping. Kejadian
orang penduduk yang tersebar pada 290 KK, 2 RW Bandung Lautan Api menyebabkan terjadinya
dan 8 RT. Pemukiman penduduk cukup rapat dan pembumi hangusan perkampungan, dan tersisa rumah
terkumpul pada satu wilayah perkampungan. Hampir leluhur saja yang tidak terbakar. Hal ini memperkuat
setiap rumah memiliki pekarangan dan beberapa keyakinan warga kepada leluhurnya, sehingga
memiliki kolam. menjadikan rumah leluhur dikeramatkan dijadikan
Pesawahan. Lahan sebelah bawah kampung lanskap hutan awisan. Begitupun sawah leluhur
dibuatkan sengkedan membentuk terasering untuk dijadikan sawah adat. Pada transformasi selanjutnya
lahan pesawahan. Terasering pada sawah mengikuti hasil dari kebijakan pemerintah memunculkan
garis kontur dan petak yang hampir datar serta lanskap parabon yang dijadikan inventaris desa dan
pematang berfungsi untuk menahan air (Soemarwoto lanskap hutan bukaan-tutupan yang difungsikan
1983). Sumber daya yang ada pada lanskap ini sebagai hutan penyangga.
didominasi oleh pare (Oryza sativa). Pada beberapa
petak sawah ada yang memanfaatkan untuk ditanam PEMBAHASAN
palawija secara tumpang sari seperti Jagong (Zea
mays), Cabe (Solanum annum), dan Kalapa (Cocos Lanskap terbentuk sebagai akibat dari pola
nucifera) pada pematang sawahnya. intervensi masyarakat dalam mengekplorasi sumber
Dinamika Transformasi Lanskap. Dinamika daya alam dari wilayah tersebut (Rahayu et al. 2005).
kehidupan masyarakat dengan lingkungan merupakan Satuan lanskap di kampung adat Cikondang mampu
cerminan transformasi lanskap yang menjadi jati diri dideterminasi oleh masyarakat secara baik. Indikator
Kampung Adat Cikondang sampai saat ini. Proses dan untuk membedakan satuan lanskap dibedakan atas
dinamika transformasi terjadi karena adanya faktor fungsi, ciri dan kepemilikannya. Begitupun pada
internal dan eksternal. Faktor internal didefinisikan masyarakat Wawonii di Pulau Wawonii Provinsi
sebagai kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya Sulawesi Tenggara, mampu membedakan satuan
alam, yang berhubungan dengan kebutuhan dasar lanskapnya atas dasar fungsi dan penampakannya
manusia untuk hidup. Faktor eksternal di antaranya (Rahayu et al. 2005). Dasar determinasi fungsi
adalah kebijakan luar yang mengikat masyarakat dan ciri lanskap ini memang yang paling banyak
cikondang (pemerintah, dan penjajah belanda) dan dilakukan dan umum. Karakter fungsi pada lanskap
ideologi yang dapat masuk dalam bentuk budaya, selalu mengingatkan masyarakat akan manfaatnya,
intelektual, dan politik. sehingga masyarakat akan senantiasa mengingatnya
Masyarakat adat cikondang masuk pertama kali selama manfaat lanskap tersebut dibutuhkan. Selain
ke dalam wilayah kaki gunung tilu (yang sekarang itu, karakter ciri lanskap juga menjadi dasar untuk
menjadi kampung cikondang) konsep lanskap membedakan lanskap sehingga mudah menemukan
yang terbentuk sangatlah sederhana. Lanskap yang dan menunjukan batas dari lanskap tersebut. Pada
terbentuk dipengaruhi faktor internal saja, sehingga masyarakat Cikondang ditemukan juga karakter
hanya ada lanskap perkampungan, gunung tilu, kempemilikan untuk membedakan satuan lanskap
dan kebon. Namun seiring waktu faktor luar akan yang ada. Karakter kepemilikan muncul karena
mempengaruhi pemikiran masyarakat atau bahkan masyarakat mengenal lanskap tersebut dimiliki oleh
memaksa untuk menata ulang lanskap yang ada agar tokoh yang dihargai atau disegani oleh masyarakat.
kepentingan masyarakat tetap terakomodir. Kawasan CA Gunung Tilu merupakan salah satu
Gambaran hubungan antar lanskap menunjukkan sisa hutan alam di Jawa Barat yang relatif masih
bahwa setiap lanskap memiliki peranan dalam cukup lestari. Hal ini karena masyarakat sekitar
kehidupan masyarakat adat (Gambar 2). Setiap gunung yang sangat bijak menempatkan gunung
satuan lanskap lahir dari satuan lanskap yang ada tilu tidak sebagai objek eksploitasi, termasuk
sebelumnya. Awal mula masyarakat masuk ke wilayah masyarakat adat Cikondang. Banyak kelompok
sekarang hanya mengenal tiga lanskap, yaitu hutan tani hutan yang bermitra dengan dinas kehutanan
gunung tilu, perkampungan, dan kebon. Selanjutnya dalam menjaga keasrian hutan gunung tilu. Mitra
setelah masuknya padi sebagai komoditas pertanian, Pasundan merupakan salah satu kelompok tani hutan
12 RAMDHANI ET AL. Jurnal Sumberdaya HAYATI

Gambar 2. Proses terbentuknya satuan lanskap serta transformasinya.

yang senantiasa melakukan penanaman sekaligus mengambil kayu bakar dari ranting yang patah,
menyediakan bibit untuk penghijauan di Hutan mengambil beberapa tumbuhan untuk ritual seperti
Gunung Tilu sebagai kewajiban dari hak mendapat daun pisang kole (Musa acuminata), dan sisanya
lahan kelola hutan produksi. Namun dilain pihak, kegiatan konservasi untuk senantiasa menjaga
masih ada pula beberapa permasalahan perusakan kelestarian gunung tilu agar ketersediaan air
dan pembalakan hutan di beberapa titik seperti ke kampung dapat terjaga. Beberapa kegiatan
kasus di Desa Gambung (Kawasan Cagar Alam konservasi yang dilakukan, antara lain menanam
Gunung Tilu Terancam Rusak, Pikiran Rakyat, pohon, karena ada aturan adat yang mengharuskan
04/11/12). Besarnya potensi sumber daya alam menanam 10 pohon apabila mendapatkan adanya
hutan gunung tilu dan mulai munculnya beberapa pohon yang tumbang. Selain itu, dalam ritual adat
permasalahan serta peranannya sebagai daerah ada juga kegiatan hajat cai dan solokan (Syukuran
resapan untuk sumber air citarum medesak untuk air dan saluran air), kegiatan ini dilakukan dengan
adanya penangan yang bersifat komprehensif. Salah melakukan pembersihan saluran air dan diakhiri
satu bentuk penangannnya adalah dengan Program dengan syukuran di mata air yang dilakukan setiap
Desa Konservasi, program ini merupakan kerjasama tahun.
Kementrian Kehutanan, BKSDA Jabar, dan Asean Pengelolaan Hutan Bukaan-Tutupan merupakan
Development Bank (ADB). Program ini mengagas bagian dari pemberdayaan masyarakat Cikondang
desa-desa di kawasan penyangga hutan gunung tilu dalam kegiatan hutan kerakyatan. Selain sebagai
dijadikan sebagai desa konservasi. bagian dari tuntutan adat untuk menjaga Gunung Tilu,
Kegiatan masyarakat pada lanskap Hutan Gunung ada manfaat secara materil dengan mengolah lahan
Tilu hanya terbatas memanfaatkan tumbuhan obat Hutan Bukaan-tutupan. Pada beberapa kampung adat,
di sekitar CA Gunung Tilu (Oktaviana 2008), dikenal juga sistem hutan produksi ini. Kelompok
Vol. 1, 2015 �������
13

adat Ciptagelar mengenal Hutan Bukaan-Tutupan waktu, dinamika masyarakat akan mungkin terus
sebagai hutan bukaan. Marina dan Dharmawan mengembangkan munculnya lanskap baru atau
(2011) menjelaskan bahwa masyarakat Ciptagelar mungkin pula akan merubah tatanan lanskap yang
mengenal tiga jenis hutan yang dikategorikan oleh ada.
adat, yaitu Leuweung tutupan (hutan tutupan), Setiap satuan lanskap memberikontribusi yang
Leuweung titipan (hutan titipan), dan Leuweung penting bagi kehidupan masyarakat karena terdapat
bukaan (hutan bukaan). Pemeliharaan hutan melalui pola hubungan dinamika masyarakat dan satuan
penyediaan hutan bukaan-tutupan memberikan lanskap. Dinamika perubahan penduduk, seperti
pengaruh positif, antara lain 1) Menjaga stabilitas pertambahan penduduk, kegiatan ekonomi dan sosial
dan perlindungan tanah dari erosi, 2) mencegah banjir budaya, aturan baru dari pemerintah dan kemajuan
dan menyediakan tanah subur, 3) Mengatur suhu teknologi melahirkan satuan-satuan lanskap yang
udara pada daerah sekitarnya, 4) Pemeliharaan serta berbeda antar tempatnya (Rahayu et.al 2005; Waluyo
tempat hidup dan berkembang biaknya jenis hewan 2000).
yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi, Pola transformasi dan lahirnya lanskap di
5) Menghindari pendangkalan sungai, danau, Kampung Adat Cikondang menunjukkan adanya
waduk dan lain-lain (Berthe and Freidberg 1995). transformasi lanskap gunung tilu yang senantiasa
Pelaksananaan program ini di kampung adat tidak dibuka oleh masyarakat. Ketinggian lanskap
sepenuhnya berjalan dengan lancar, ada beberapa pesawahan sampai ke gunung tilu menunjukkan
permasalahan yang muncul seperti petani menjual adanya runtutan posisi dari dataran rendah ke bukit-
hak pengolahan lahan kepada perusahaan. Hal ini bukit kecil, ke kaki gunung dan akhirnya masuk ke
menyebabkan pertani akhirnya hanya sebagai buruh bagian gunung (Gambar 4).
tani saja dan yang mendapatkan keuntungan adalah
perusahaan tersebut.
Aktivitas masyarakat dalam mengolah lahan
parabon tidak jauh berbeda dengan mengolah kebon,
yang membedakan adalah kepemilikannya saja.
Pertanian sayur masyarakat cikondang masih semi
konvensional, tidak banyak teknologi yang dipakai.
Penggunaan bahan kimia sudah mulai berkurang,
dibarengi dengan penggunaan pupuk kandang.
Setiap awal tanam, setiap masyarakat adat senantiasa
melakuan ritual di rumah masing-masing dengan
harapan agar musim tanam yang akan dilakukan
menghasilkan panen yang melimpah.
Secara garis besar manajemen pengelolaan lahan
berdasarkan perspektif masyarakat Kampung Adat
Gambar 3. Manajemen pengelolaan lahan berdasarkan perspektif
Cikondang Cikondang dikelompokkan menjadi masyarakat kampung adat cikondang. tipe lahan,
empat tipe lahan, hal ini untuk menunjukkan adanya satuan lanskap, fungsi lahan, kepemilikan.
beberapa kesamaan dari sembilan lanskap yang
ada (Gambar 3.). Kesamaan tipe lahan terlihat dari
vegetasinya seperti pada tipe lahan hutan yang terdiri
dari hutan gunung tilu, dan hutan bukaan-tutupan.
Adapula yang memiliki kesamaan dalam fungsi
sebagai sumber kehidupan yaitu tipe lahan garapan
yang terdiri dari lanskap parabon, lamping, kebon, dan
sawah. Tipe lahan adat lebih pada kepemilikannya,
yaitu milik adat yang pengelolaannya terikat pada
adat seperti lanskap hutan awisan dan sawah adat.
Tipe lahan kampung hanya terdiri dari lanskap
perkampungan karena untuk tempat tinggal pada
masyarakat Cikondang berkumpul pada satu titik
di bukit yang sekarang disebut sebagai kampung
cikondang. Setiap tipe lahan dan satuan lanskap Gambar 4. Topografi satuan lanskap dan karakteristik lahan
terbentuk dari dinamika masyarakat. Seiring dengan Kampung Adat Cikondang.
14 RAMDHANI ET AL. Jurnal Sumberdaya HAYATI

Posisi Hutan Bukaan-Tutupan dan Parabon Dasyah I. 2004. Mutiara Ilmu Masyarakat Hukum Adat Kampung
merupakan lanskap yang paling dekat dengan Cikondang. Dokumen Pribadi Tidak Diterbitkan.
Dasyah I. 2006.Situs Cagar Budaya Rumah Adat KiSunda
lanskap Hutan Gunung Tilu (Gambar 4). Hutan Kampung Cikondang.Dokumen Pribadi Tidak Diterbitkan.
Gunung Tilu menjadi lahan produktif (parabon dan Marina I, Dharmawan AH. 2011. Analisis Konflik Sumberdaya
hutan bukaan-tutupan) memperlihatkan bahwa hutan Hutan di Kawasan Konservasi. Jurnal transdisiplin sosiologi,
bukaan-tutupan, dan parabon berada pada topografi komunikasi, dan ekologi manusia. 5(1): 90-96.
Oktaviana LM. 2008. Pemanfaatan Tradisional Tumbuhan Oba-
yang miring sebagai bagian wilayah kaki gunung tilu.
tOleh Masyarakat Di Sekitar KawasanCagar Alam Gunung
Sedangkan lanskap lainnya berada pada topografi Tilu, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan,
yang sesuai dengan aturan adat, seperti lamping Institut Pertanian Bogor.
berada pada topografi yang curam, kebun berada pada Pratiwi S. 2008. Model pengembangan institusi ekowisata untuk
topografi yang terjal, hutan awisan tepat berdekatan menyelesaikan konflik di Taman Nasional Gunung Halimun
Salak [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut
dengan perkampungan yang datar, dan pesawahan Pertanian Bogor.
dengan topografi yang terjal di bawah perkampungan. Rahayu M, Rugayah dan Sukardi. 2005. Etnobotani Masyarakat
Wawonii Pulau Wawonii Sualwesi Tenggara. Laporan Teknik
UCAPAN TERIMA KASIH 2005 Bidang Botani, Puslit Biologi LIPI.
Sastrapradja et al. 1979. Tanaman Pekarangan. Bogor (ID):
Lembaga Biologi Nasional-LIPI.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Waluyo EB, Soedjito H, Widjaja EA, Rifai MA. 1991. Pen-
masyarakat kampung adat Cikondang Des Lamajang guasaan Etnoekologi Secuplikan Masyarakat Etnik di
Kabupaten Bandung yang telah memberikan Indonesia. Makalah Utama pada KIPNAS V. LIPI Jakarta
dukungan dan kerjasamanya selama pengambilan 3-7 September 1991.
Waluyo EB. 2000. Memanfaatkan Isu Etnik Melalui Penelitian
data di lapangan. Secara khusus, ucapan terimakasih Etnobotani Untuk Pelestarian Plasmanutfah: Pengetahuan
disampaikan kepada Bapak Ilin Darsyah, Bapak Sispa Dan Sumber Daya Siapa. Makalah pada Simposium
Engkan Karsono dan Bapak Ano yang telah banyak Nasional Pengelolaan Plasma Nutfah dan Pemuliaan. Bogor
membantu dalam memberikan informasi dan 22-23 Agustus 2000.
Waluyo EB. 2004. Pengupulan Data Etnobotani. Di dalam: Ru-
mendampingi selama penelitian.
gayah, Widjaja EA, Praptiwi, editor. Pedoman Pengumpulan
Data Keanekaragaman Flora. Bogor (ID): Pusat Penelitian
DAFTAR PUSTAKA Biologi-LIPI.
Waluyo EB. 2008. Review: Research Ethnobotany in Indonesia
[BKDJB] Bidang Kebudayaan Disbudpar Jawa Barat. 2009. Data and the Future Perspective. Biodiversitas 9:59-63.
Kampung Adat di Jawa Barat, Bandung. http://www.dispar- Waluyo EB. 2009. Etnobotani: Memfasilitasi Penghayatan, Pe-
bud.jabarprov.go.id/wisata/fupload/Data%20Kampung%20 mutakhiran Pengetahuan dan Kearifan Lokal dengan Meng-
Adat%20di%20Jawa%20Barat.pdf [13 Februari 2013]. gunakan Prinsip-prinsip Dasar Ilmu Pengetahuan. Prosiding
Arinasa IBK. 2005. Keanekaragaman Dan Penggunaan Jenis-Je- Seminar Nasional Etnobotani.Puslit Biologi Cibinong 12-20
nis Bambu DiDesa Tigawasa, Bali.Biodiversitas.6(1): 17-21. Mei 2009.

Anda mungkin juga menyukai