Anda di halaman 1dari 19

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penilaian

Penilaian pendidikan untuk siswa SD sebagai proses pengumpulan dan

pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik

dapat dilakukan secara holistik komprehensif dengan menggunakan berbagai

teknik penilaian sesuai dengan kompetensi yang harus dikuasai siswa, baik

domain pengetahuan, sikap, maupun keterampilan yang melibatkan penilaian

oleh pendidik, penilaian oleh satuan pendidikan, maupun penilaian oleh

Pemerintah. Penilaian oleh pendidik dilakukan untuk memantau proses,

kemajuan belajar, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara

berkesinambungan.

Penilaian oleh pendidik dapat dilakukan untuk mengukur pencapaian

kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran dan

untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik. Penilaian

oleh pendidik merupakan penilaian otentik dan komprehensif artinya pendidik

melakukan berbagai teknik penilaian terhadap peserta didik secara

komprehensif mulai dari awal, proses, dan akhir pembelajaran secara terus-

menerus sehingga mencerminkan suasana pembelajaran dan penilaian yang

realisitis dan sesungguhnya. Semakin sering pendidik melakukan penilaian

atau lebih dikenal dengan minute by minute assessment, maka akan semakin

banyak informasi yang diperoleh pendidik sebagai umpan balik perbaikan

proses pembelajaran dengan demikian pendidik akan menata ulang metode

dan teknik pembelajaran agar lebih aktif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan

6
7

sesuai dengan kebutuhan dan posisi peserta didik. Dalam konteks ini,

penilaian tidak hanya berasal dari pendidik, tetapi siswa diberikan ruang dan

waktu yang cukup untuk melakukan penilaian diri secara reflektif untuk

mengetahui posisi dirinya terhadap acuan kriteria yang ditetapkan. Selain itu,

penilaian diri dapat memberikan informasi yang berguna sebagai umpan balik

untuk melakukan inovasi aktivitas pengajaran dan pembelajaran atau lebih

dikenal dengan penilaian formatif (AfL).

Penilaian oleh pendidik merupakan penilaian yang dilakukan secara

terencana yaitu menyatu dengan kegiatan pembelajaran, berkesinambungan,

berimbang antara kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan, serta

memotivasi siswa dan pendidik. Teknik dan instrumen penilaian oleh pendidik

disesuaikan dengan ranah kompetensinya. Penilaian kompetensi sikap bisa

dilakukan melalui observasi, penilaian diri, peer assessment, dan jurnal.

Penilaian kompetensi pengetahuan melalui tes tulis, tes lisan, dan penugasan.

Pendidik melakukan penilaian kompetensi keterampilan melalui penilaian

kinerja dalam bentuk tes praktik, projek, dan penilaian portofolio. Selain itu,

pendidik dapat melakukan ulangan. Ulangan harian dilakukan secara periodik

untuk menilai kompetensi peserta didik setelah menyelesaikan satu

Kompetensi Dasa (KD) atau lebih. Ulangan tengah semester dilakukan untuk

mengukur pencapaian kompetensi peserta didik setelah melaksanakan

kegiatan pembelajaran satu semester. Ulangan akhir semester dilakukan untuk

mengukur pencapaian kompetensi peserta didik di akhir semester. Deskripsi

pencapaian kompetensi peserta didik disajikan dalam bentuk rapor.


8

Agar penilaian hasil belajar oleh pendidik berjalan maksimal dan

menghasilkan informasi akurat, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan,

pemerintah wajib meningkatkan kompetensi pendidik terhadap pemahaman

dan implementasi teknik dan prosedur penilaian melalui berbagai kebijakan

dan program penguatan penilaian internal. Selain itu, pemerintah perlu segera

menyusun petunjuk teknis penilaian hasil belajar oleh pendidik untuk seluruh

mata pelajaran.

Penilaian oleh satuan pendidikan dilakukan untuk menilai pencapaian

standar kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran dengan

mempertimbangkan hasil penilaian peserta didik oleh pendidik. Penilaian hasil

belajar oleh satuan pendidikan dilakukan untuk mengukur pencapaian

kompetensi dasar yang mecerminkan setiap kompetensi inti. Karena

kompetensi dasar ditetapkan secara nasional, maka kisi-kisi penilaian

pencapaian kompetensi dasar ini disusun, ditetapkan, dan diberlakukan secara

nasional oleh pemerintah melalui keputusan menteri. Penilaian oleh satuan

pendidikan dilakukan melalui Penilaian Akhir Kelas (PAK) dan Penilaian

Akhir Sekolah (PAS). PAK merupakan penilaian pencapaian kompetensi yang

dilakukan secara periodik pada akhir kelas. PAS merupakan penilaian

pencapain kompetensi di akhir sekolah dasar. PAS dilakukan untuk

pengukuran pencapaian seluruh kompetensi baik pengetahuan, sikap, maupun

keterampilan. Hasil PAS dapat digunakan sebagai pertimbangan penentuan

kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan dengan mempertimbangkan

hasil penilaian yang dilakukan oleh pendidik.


9

B. Higher Order Thinking Skills (HOTS)

1) Definisi Higher Order Thinking Skills (HOTS)

Keterampilan/kemampuan berpikir terbagi menjadi dua, yaitu

kemampuan berpikir tingkat rendah (LOTS) dan kemampuan berpikir

tingkat tinggi (HOTS) (Coffman, 2013). Menurut Lewis & Smith (1993)

perbedaan antara lower dan higher order thinking yaitu apabila keduanya

dapat diajarkan bersama di kelas, untuk individu tertentu, kebutuhan untuk

menggunakan pemikiran tingkat tinggi akan tergantung pada sifat tugas

dan sejarah intelektual seseorang. Newman (1990) melalui penelitan

eksperimen menggunakan 5 sekolah pilihan, menjelaskan bahwa LOTS

berupa pemikiran tingkat rendah yang hanya menuntut aplikasi rutin atau

mekanis dari informasi yang diperoleh sebelumnya seperti daftar inormasi

yang sebelumnya dihafal dan memasukkan angka ke dalam formula yang

telah dipelajari sebelumnya. Di samping itu Newman (1990) memaparkan

bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi menantang siswa untuk

menafsirkan, menganalisis, atau memanipulasi informasi.

Bloom (1956) mempublikasikan taksonomi berpikir, dari berpikir

tingkat rendah hingga tingkat tinggi, yaitu: (a) pengetahuan (knowledge),

(b) pemahaman (comprehension), (c) penerapan(application), (d) analisis

(analysis), (e) sintesis (syntetis), dan (f) evaluasi (evaluation). 14 Berpikir

tingkat tinggi menurut Bloom (1956) meliputi kemampuan analisis,

sintesi, dan evaluasi. Kemampuan analisis memiliki beberapa indikator,

yaitu peserta didik dapat menganalisis bagian dari satu kesatuan,


10

mengetahui hubungan yang terjadi antar bagian tersebut, dan menyusun

struktur yang terbentuk dari bagian-bagian tersebut. Kemampuan

mensintesis mempunyai indikator dapat menyusun serangkaian rencana

untuk menciptakan sesuatu yang baru dari sesuatu yang telah ada

sebelumnya. Sedangkan kemampuan mengevaluasi memiliki indikator

dapat mengevaluasi atau memberikan umpan balik terhadap keteranngan

atau fakta-fakta berdasarkan kriteria tertentu (Bloom 1956).

Resnick (1987) menganggap bahwa higher order thinking skills

(kemampuan berpikir tingkat tinggi) tidak dapat didefinisikan secara tepat,

namun dapat diidentifikasi ketika hal tersebut terjadi. Beberapa indikator

HOTS menurut Resnick (1987) yaitu: (1) bersifat nonalgoritmik,

merupakan bagian dari langkah tindakan, (2) berpikir secara kompleks, (3)

memiliki banyak pemecahan masalah, (4) melibatkan interpretasi yang

berbeda, (5) melibatkan berbagai kriteria aplikasi yang melibatkan

perdebatan, (6) sering melibatkan ketidakpastian, tidak semua yang

diajarkan dapat dikuasai, (7) melibatkan pengaturan diri dalam proses

berpikir, (8) dapat menemukan struktur dalam permasalahan, (9)

melibatkan elaborasi dan penilaian yang diperlukan. Secara garis besar

Resnick (1987) mengutarakan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi

15 merupakan suatu pemikiran yang kompleks dengan melibatkan

berbagai sumber dan kriteria sehingga dapat menyelesaikan masalah.

Higher order thinking skills bila diartikan dalam bahasa Indonesia

berarti keterampilan berpikir yang lebih tinggi. Pemikiran tingkat tinggi


11

terjadi ketika seseorang mengambil informasi baru dan menyimpan dalam

memori yang saling terkait serta mengatur ulang dan memperluas

informasi untuk mencapai tujuan atau menemukan kemungkinan jawaban

dalam situasi membingungkan (Lewis & Smith, 1993). HOTS terdiri dari

berpikir kritis, pemecahan masalah, pembuatan keputusan, dan berpikir

kreatif. Secara lebih lanjut Lewis & Smith (1993) mengatakan setiap

disiplin ilmu butuh pemikiran tingkat tinggi untuk menambah

pengetahuan. Kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan proses

berpikir sehingga dapat digunakan dalam berbagai disiplin ilmu.

Haladyna (1997) menjelaskan bahwa kompleksitas berpikir dan

dimensi belajar diklasifikasikan menjadi empat level proses mental, yaitu

pemahaman, kemampuan memecahkan masalah, dapat berpikir kritis dan

berpikir kreatif yang dapat diaplikasikan pada empat konten yaitu fakta,

konsep, prinsip pokok, dan prosedur. Menggunakan serangkaian

kemapuan tersebut merupakan sebuah proses pemikiran tingkat tinggi.

Vygotsky (Crowl et al, 1997) memaparkan bahwa setiap orang memiliki

sebuah “zone of proximal development” atau zona perkembangan

proksimal, selain itu mengajukan pertanyaan ataupun memberikan saran

dapat mendorong individu pada tingkat potensi berpikir lebih tinggi.

Anderson & Krathwohl (2001) merevisi pada taksonomi Bloom

(1956) dan mengungkapkan bahwa kemampuan mensintesis adalah proses

mencipta yang dinilai lebih sulit daripada kemampuan evaluasi.

Taksonomi yang telah direvisi mendiskripsikan perbedaan antara proses


12

kognitif dengan dimensi pengetahuan (pengetahuan faktual, konseptual,

procedural dan metakognitif). Revisi taksonomi tersebut memberikan

gambaran bahwa yang termasuk dalam kemampuan berpikir tingkat

rendah yaitu mengingat, memahami dan mengaplikasikan. Sedangkan

yang termasuk dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah

menganalisis, mengevaluasi dan mencipta. Hal tersebut sesuai dengan

dimensi proses kognitif yang semakin meningkat dari mengingat sampai

mencipta/berkreasi. Secara lebih jelas, berikut ini perbedaannya:

Tabel.2.1 Revisi Taksonomi Bloom

Tingkatan Taksonomi bloom (1956) Anderson dan Krathwohl (2001)


C1 Pengetahuan Mengingat
C2 Pemahaman memahami
C3 Aplikasi menerapkan
C4 Analisis Menganalisis
C5 Sisntesis Mengevaluasi
C6 Evaluasi mencipta

Anderson & Krathwohl (2001) menjelaskan bahwa kemampuan

berpikir tingkat tinggi meliputi kemampuan menganalisis, mengevaluasi,

dan mencipta. Kemampuan menganalisis memiliki tiga indikator yaitu

dapat membedakan hal yang relevan dan tidak relevan, dapat

mengorganisasikan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber, dan

dapat menghubungkan bagian-bagian yang ada dalam suatu konsep atau

permasalahan. Di samping itu kemampuan mengevaluasi memiliki dua

indikator, yaitu mampu memeriksa fakta-fakta yang ada dan dapat

mengkritisi suatu hal yang dirasa kurang tepat atau tidak pada tempatnya.

Kemampuan mencipta merupakan kemampuan menghasilkan sesuatu yang


13

memiliki tiga indikator, yaitu menciptakan hipotesis atau pemikiran

dengan kriteria tertentu, merencanakan langkah pemecahan masalah, dan

menghasilkan produk baru (Anderson & Krathwohl, 2001).

Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat dikonseptualisasikan

sebagai cara berpikir kompleks yang tidak algoritmik dan menghasilkan

banyak solusi (Barak & Dori, 2009). King et al (2010) menjelaskan bahwa

HOTS terdiri dari kemampuan berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif,

dan kreatif. Pembelajaran yang melibatkan kemampuan berpikir tingkat

tinggi membutuhkan kejelasan komunikasi tertentu untuk mengurangi

ambiguitas dan meningkatkan sikap siswa tentang tugas berpikir. Hampir

sama dengan pendapat Brookhart (2010) bahwa HOTS didefinisikan

menjadi tiga kategori, yaitu sebagai transfer, sebagai kemampuan berpikir

kritis, dan sebagai kemampuan memecahkan masalah. Berpikir tingkat

tinggi sebagai transfer berarti menjadikan peserta didik tidak hanya

mengahafal, namun juga bisa mentrasfer pengetahuan dengan cara

mengaplikasikannya pada konteks yang baru. Berpikir tingkat tinggi

sebagai berpikir kritis berarti bahwa peserta didik dapat memberikan

penilaian yang bijaksana atau memberikan kritik yang beralasan. Berpikir

tingkat tinggi sebagai pemecahan masalah melengkapi peserta didik untuk

dapat mengidentifikasi dan memecahkan masalah dalam belajar maupun

kehidupan mereka (Brookhart, 2010).

Pemikiran tingkat tinggi adalah keterlibatan mental dengan ide,

objek, dan situasi secara logis, elaboratif menunjukkan orientasi ke arah


14

pengetahuan yang kompleks (Schraw & Robinson, 2011). Menurut

Coffman (2013) kemampuan HOTS merupakan kemampuan berpikir pada

3 tingkat teratas taksonomi Bloom, baik versi asli maupun yang telah

direvisi oleh Anderson & Krathwohl (2001) yang meliputi kemampuan

menganalisis, kemampuan mengevaluasi, dan kemampuan mencipta.

Berdasarkan pemaparan para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa

kemampuan berpikir tingkat tinggi merupakan kemampuan berpikir

dimana peserta didik harus bisa menganalisis, mengevaluasi dan

mengahsilkan suatu solusi yang baru pada permasalahan yang dihadapi,

bukan hanya sekedar mengetahui dan menghafalkan suatu konsep.

2) Indikator Higher Order Thinking Skills (HOTS)

Banyak ahli telah memaparkan tentang konsep kemampuan berpikir

tingkat tinggi (HOTS). Pada setiap definisi yang diutarakan oleh para ahli

mengandung karakteristik sebagai indikator seseorang memiliki

kemampuan berpikir tingkat tinggi. Berdasarkan Panduan Penilaian Hasil

Belajar dan Pengembangan Karakter pada SMK (Dirjen SMK, 2018)

penilaian pembelajaran yang menggunakan pendekatan saintifik

(terkandung dalam K13) maka dilakukan dengan memberikan soal-soal

evaluasi berupa soal yang memiliki karakteristik HOTS meliputi C4, C5,

19 dan C6. Panduan yang diberikan pemerintah tersebut sesuai dengan

teori HOTS dari Anderson & Krathwohl (2001) maka penelitian ini

mengacu pada teori HOTS tersebut. Berdasarkan teori HOTS dari


15

Anderson & Krathwohl (2001) maka indikator HOTS adalah sebagai

berikut:

a) Menganalisis Menurut Anderson & Krathwohl (2001) dan Brookhart

(2010) kemampuan menganalisis merupakan kemampuan

menguraikan suatu bahan atau konsep menjadi bagian-bagian dan

menjelaskan bagaimana hubungan yang terjadi antara satu bagian

dengan bagian lain secara keseluruhan. Kemampuan menganalisis

dapat klasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu (1) membedakan

(dijferentiating), (2) mengorganisasi (organizing), dan (3)

menghubungkan (attributing).

Membedakan melibatkan pembedaan bagian-bagian dari keseluruhan

struktur dalam hal relevansi atau pentingnya informasi. Pembedaan

terjadi ketika peserta didik membedakan mana yang relevan atau yang

tidak relevan, penting atau tidak penting dari informasi. Kemampuan

membedakan memiliki kecenderungan untuk memilih informasi yang

relevan atau penting saja. Membedakan berbeda dengan memahami

(understand) karena melibatkan organisasi struktural. Membedakan

berbeda dengan membandingkan dalam konteks yang lebih besar

untuk menentukan apa yang relevan dan apa yang tidak (Anderson &

Krathwohl, 2001). Contoh peserta didik dapat membedakan alat

masak panci dan penggorengan dalam konteks 20 ukurannya, bahan

pembuatannya, tetapi fungsinya tidak relevan atau berbeda. Istilah


16

alternatif untuk membedakan adalah membedakan, memilih,

mengkorelasikan atau mengaitkan, dan fokus.

Mengorganisasi (organizing) melibatkan identifikasi elemenelemen

dari suatu komunikasi atau situasi dan mengenali bagaimana elemen-

elemen itu bersatu dalam suatu struktur yang koheren. Dalam

mengorganisasi, peserta didik membangun koneksi yang sistematis

dan koheren di antara potongan-potongan informasi yang disajikan.

Mengorganisasi biasanya terjadi bersamaan dengan diferensiasi.

Peserta didik pertama-tama mengidentifikasi elemen-elemen yang

relevan atau penting dan kemudian menentukan struktur keseluruhan

di mana elemen-elemen tersebut cocok. Mengorganisasi juga dapat

terjadi dalam hubungannya dengan atribusi, di mana fokusnya adalah

pada menentukan maksud atau sudut pandang penulis. Istilah

alternatif untuk mengorganisasi adalah penataan, pengintegrasian,

pencarian koherensi, penjabaran, dan penguraian (Anderson &

Krathwohl, 2001). Mengorganisasi melibatkan pengenaan struktur

pada materi (seperti garis besar, tabel, matriks, atau diagram hierarki).

Dengan demikian, penilaian dapat didasarkan pada tugas respon

terstuktur atau soal pilihan. Pada respon terstuktur, peserta didik dapat

diminta untuk membuat tanggapan mengenai suatu informasi yang

tersaji dalam matrik, diagram ataupun tabel. Pada soal pilihan, peserta

didik dapat diminta memilih hirarki grafis alternatif yang paling sesuai

dengan organisasi dari bagian yang disajikan (Anderson & Krathwohl,


17

2001). Kemampuan menghubungkan terjadi ketika peserta didik dapat

memastikan sudut pandang, bias, nilai, atau niat yang mendasari

komunikasi. Menghubungkan melibatkan proses dekonstruksi, di

mana peserta didik menentukan niat penulis materi yang disajikan.

Berbeda dengan menafsirkan, di mana peserta didik berusaha untuk

memahami makna materi yang disajikan, menghubungkan melibatkan

perpanjangan di luar pemahaman dasar untuk menyimpulkan maksud

atau sudut pandang yang mendasari materi yang disajikan.

Kemampuan menghubungkan dapat dinilai dengan menyajikan

beberapa materi tertulis atau lisan dan kemudian meminta peserta

didik untuk membangun atau memilih deskripsi dari sudut pandang

penulis, maksud, dan sejenisnya (Anderson & Krathwohl, 2001).

b) Mengevaluasi Mengevaluasi didefinisikan sebagai membuat penilaian

berdasarkan kriteria dan standar. Kriteria yang paling sering

digunakan adalah kualitas, efektivitas, efisiensi, dan konsistensi.

Kriteria tersebut dapat ditentukan peserta didik atau orang lain.

Standar dapat berupa kuantitatif atau kualitatif. Standar diterapkan

pada kriteria. Kategori kemampuan evaluasi meliputi proses kognitif

untuk memeriksa penilaian tentang konsistensi internal dan

mengkritik penilaian berdasarkan kriteria eksternal. 22 Fokus dalam

kemampuan mengevaluasi yang dibuat oleh peserta didik adalah

penggunaan standar kinerja dengan kriteria yang jelas. Apakah suatu

alat bekerja seefisien seharusnya, apakah metode yang dilakukan


18

adalah cara terbaik untuk mencapai tujuan, apakah pendekatan yang

digunakan lebih hemat biaya daripada pendekatan lain, pernyataan

tersebut ditanggapi oleh orang yang terlibat dalam kegiatan

mengevaluasi. Secara lebih mendakam, kemampuan mengevaluasi

diklasifikasikan menjadi kemampuan mengecek (checking) dan

mengkritik (critiquing) (Anderson & Krathwohl, 2001). Kritik

melibatkan penilaian suatu produk atau operasi berdasarkan kriteria

dan standar yang tidak diketahui secara eksternal. Dalam mengkritik,

seorang peserta didik mencatat sisi positif dan negatif dari suatu

produk dan membuat penilaian. Mengkritik terletak pada inti dari apa

yang disebut pemikiran kritis (Anderson & Krathwohl, 2001). Contoh

kemampuan mengkritik adalah menilai manfaat dari penggunaan

bahan pewarna sintesis pada produk makanan ataupun minuman

dalam hal kesehatan masyarakat dan kemungkinan pembatasan

penggunaannya. Peserta didik dapat diminta untuk memberikan

hipotesisi atau pendapat pribadi. Kritik dapat didasarkan pada kriteria

positif, negatif, atau keduanya dan menghasilkan konsekuensi positif

dan negatif (Anderson & Krathwohl, 2001). 23 c) Mencipta

Kemampuan mencipta (create) melibatkan penyatuan elemen untuk

membentuk keseluruhan yang koheren atau fungsional. Tujuan dari

kemampuan mencipta yakni agar peserta didik membuat produk baru

dengan menata ulang. Proses yang terlibat dalam kemampuan

mencipta umumnya dikoordinasikan dengan pengalaman belajar siswa


19

sebelumnya. Meskipun kemampuan mencipta membutuhkan

pemikiran kreatif dari peserta didik, hal ini tidak sepenuhnya ekspresi

kreatif bebas yang tidak dibatasi oleh tuntutan tugas atau situasi

belajar namun juga memerlukan batasan tertentu. Kemampuan

mencipta diklasifikan memunculkan (generating), merencanakan

(planning), dan menghasilkan (producing) (Anderson & Krathwohl,

2001). Ketika proses mengadakan (generating) dapat mengatasi

kendala atau masalah yang ada sebelumnya maka proses generating

itu melibatkan pemikiran yang berbeda dan membentuk inti dari apa

yang bisa disebut pemikiran kreatif. Untuk menilai generating dapat

dengan memberi peserta didik pertanyan sehingga memunculkan

hipotesis (Anderson & Krathwohl, 2001).

3) Menyusun Instrumen Tes HOTS

Soal-soal yang berbasis HOTS sangat direkomendasikan untuk digunakan

dalam berbagai bentuk penilaian kelas. Hal tersebut dikarenakan soal-soal

berbasis HOTS memiliki banyak keunggulan dalam mengukur

kemampuan tingkat tinggi peserta didik, seperti halnya yang telah

dipaparkan pada subbab sebelumnya. Berdasarkan panduan yang

diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan SMA, ada beberapa karakteristik

soal HOTS yang dapat menjadi panduan pengajar dalam menulis soal.

a) Mengukur Kemampuan Tingkat Tinggi

Berdasarkan pemaparan dari subbab sebelumnya bahwa kemampuan

berpikir tingkat tinggi merupakan kemampuan yang meliputi 3 level


20

teratas dari Taksonomi Bloom yang direvisi. 3 level kemampuan

tersebut yaitu kemampuan menganalisis (analyzing), kemampuan

mengevaluasi (evaluating), dan kemampuan mencipta (creating)

(Anderson & Krathwohl, 2001). Berdasarkan panduan yang diterbitkan

oleh Direktorat Pembinaan SMA (2017), kemampuan berpikir tingkat

tinggi termasuk di dalamnya adalah kemampuan memecahkan masalah,

kemampuan berpikir kritis, kemampuan berpikir kreatif, mampu

membuat argumen, serta mampu membuat atau mengambil keputusan.

Soal dengan karakteristik HOTS belum tentu merupakan soal yang

sulit. Tingkat kesukaran soal berbeda dengan tipe soal, sehingga soal

yang sulit belum tentu merupakan soal HOTS. Sehingga soal HOTS

bukan merupakan soal yang sulit, namun membutuhkan proses analisis

terlebih dahulu.

b) Berbasis Permasalahan Kontekstual

Soal-soal HOTS merupakan alat penilaian yang berlandaskan pada

keadaan atau situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari, sehingga

peserta didik dapat menggunakan konsep pembelajaran di kelas dalam

menyelesaikan permasalah yang ada di kehidupan nyata. Permasalahan

yang ada di dunia nyata dapat berhubungan dengan lingkungan alam,

lingkungan sosial, teknologi informasi, ekonomi, bahkan politik dan

budaya. Soal HOTS dapat menjadi alat untuk melatih peserta didik

dengan dunia nyata agar mampu menghubungkan, menginterpretasi,

menerapkan, dan memecahkan permasalahan. Berdasarkan panduan


21

penyusunan soal HOTS yang diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan

SMA (2017), ada beberapa karateristik soal HOTS yang berlandaskan

pada permasalahan kontekstual: (a) relating, berhubungan langsung

dengan konteks pengalaman kehidupan nyata; (b) experiencing,

menekankan penemuan, pencipataan, ekplorasi; (c) applying,

mengarahkan peserta untuk menerapkan konsep pembelajaran dalam

hidup nyata; (d) communicating, instrumen dapat melatih peserta

mengkomunikasikan pendapat, gagasan atau ide sebuah konsep; (e)

transferring, instrumen dapat mentransformasi materi pembelajaran di

kelas pada keadaan atau konteks yang baru.

c) Menggunakan Beragam Bentuk Soal

Soal-soal yang disusun sebagai instrumen tes berbasis HOTS

membutuhkan beragam bentuk soal. Hal tersebut memiliki maksud agar

dapat mengetahui secara menyeluruh kemampuan peserta tes. Yang

perlu menjadi perhatian adalah cara penskoran yang harus betul-betul

objekif sesuai dengan kunci jawaban atau rubrik penskoran yang telah

ada. Penskoran yang objektif akan memiliki tingkat keandalan yang

baik untuk menilai kemampuan peserta tes. Berbagai bentuk soal yang

dapat digunakan sebagai instrumen tes HOTS diantaranya bentuk

pilihan ganda, pilihan benar/salah atau ya/tidak, isian

singkat/melengkapi, jawaban singkat, dan uraian.

C. Konsep Dasar Bimbingan Berkelanjutan

1) Pengertian Bimbingan
22

Konsep Dasar Bimbingan 2.1.1. Pengertian Bimbingan Menurut

Prayitno dan Amti (2008 ; 99) menjelaskan bahwa bimbingan adalah

proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli

kepada seorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja,

maupun dewasa agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan

kemampuan dirinya dan mandiri dengan memanfaatkan kekuatan

kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan

berdasarkan norma-norma yang berlaku. Pelayanan bimbingan

diberikan tidak hanya diberikan kepada satu atau beberapa individu

tersebut untuk mempersiapkan memasuki suatu jabatan atau pekerjaan

tertentu, namun pemberian bantuan juga diberikan dalam pengentasan

masalah-masalah di berbagai bidang, seperti masalah-masalah

pendidikan, sosial, dan pribadi. Menurut Crow dan Crow (dalam

Prayitno dan Amti, 2008 ; 94) menjelaskan bahwa bimbingan adalah

bantuan yang diberikan oleh seseorang, laki-laki atau perempuan,

yang memiliki kepribadian yang memadai dan terlatih dengan baik

kepada individu-indivu setiap usia untuk membantunya mengatur

kegiatan hidupnya sendiri, mengembangkan pandangan hidupnya

sendiri, membuat keputusan sendiri, dan menanggung bebannya

sendiri. Menurut Dewa (2008 ; 37) menjelaskan bahwa pengertian

bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada seseorang atau

sekelompok orang secara terus menerus dan sistematis oleh guru

pembimbing agar individu atau sekelompok individu menjadi pribadi


23

yang mandiri. Bimbingan juga dapat diartikan Suatu proses pemberian

bantuan kepada individu secara berkelanjutan dan sistematis, yang

dilakukan oleh seorang ahli yang telah mendapat latihan khusus untuk

itu, dimaksudkan agar individu dapat memahami dirinya,

lingkunganya serta dapat mengarahkan diri dan menyesuaikan diri

dengan lingkungan untuk dapat mengembangkan potensi dirinya

secara optimal untuk kesejahteraan dirinya dan kesejahteraan

masyarakat.

Dari beberapa pengertian bimbingan yang dikemukakan oleh para ahli

maka dapat diambil kesimpulan tentang pengertian bimbingan yang

lebih luas, bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang

dilakukan oleh seseorang yang ahli, laki-laki atau perempuan, secara

berkelanjutan dan sistematis kepada individu-individu setiap usia

dengan tujuan agar individu-individu tersebut dapat mengembangkan

pandangan hidupnya sendiri, membuat keputusan sendiri, dan

menanggung bebannya sendiri untuk kesejahteraan dirinya dan

kesejahteraan masyarakat.

2).Tujuan Bimbingan

Dalam suatu bimbingan, pasti terdapat tujuan bimbingan. Dalam

bukunya Yusuf dan Nurihsan (2010 ; 13) menyebutkan ada beberapa

tujuan dalam pelaksaan bimbingan, yaitu :


24

 Agar individu dapat merencanakan kegiatan penyelesaian studi,

perkembangan karir serta kehidupannya di masa yang akan

datang.

 Mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya

seoptimal mungkin

 Menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan

masyarakat, serta lingkungan kerjanya.

 Mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi,

penyesuaian dengan lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun

lingkungan kerja.

D. Kerangka Pikir Penelitian

Berdasarkan kajian teori di atas, maka kerangka berpikir dalam penelitian

ini dapat dijelaskan dalam bagan sebagai berikut:

Gambar : 2.1 Bagan Kerangka Pikir Penelitian

Anda mungkin juga menyukai