Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH TAFSIR AYAT EKONOMI ISLAM

{AYAT – AYAT TENTANG IJARAH}

Dosen pengampu
“ TGH.Suparman LC.M.A”

DISUSUN OLEH
Kelompok III:
Nasyida Putri
Sonia Hariani
Lale Sri Astutik Fauziah

PROGRAM PENDIDIKAN PERBANKAN SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI NW PANCOR
TAHUN PENDIDIKAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada ALLAH SWT karena atas nikmat,rahmat dan karunia serta
kasih sayang-nyalah Makalah tentang al-mudharabah ini bisa terselesaikan . dan juga
usaha dan kerja keras dari masing-masing anggota kelompok dalam mencari materi dan
menyusun makalah ini.

Makalah ini hanyaa meliputi pembahasan tentang ayat- ayat Al-Qur’an tentang
ijarah atau sewa menyewa serta pengertian,syarat-syarat dari ijarah itu sendiri. Dimana
di makalah ini akan dijabarkan dan diberikan penjelasan tambahan disetiap poin materi.

Kami sangat menyadari betapa banyak kekurangan dan kesalahan yang ada pada
makalah kami ini.mulai dari Bahasa yang digunakan yang mungkin tak sesuai dengan
aturan KBBI ,struktur yang masih tak teratur .dan masih banyak lagi.karna itu kami dari
kelompok yang menyusun makalah ini dengan permohonan maaf yang sebesar –
besarnya atas kesalahan yang ada di makalah kami ini.

Pancor,24 oktober 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...........................................................................................i
B. Rumusan Masalah.....................................................................................ii
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................iii

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijarah........................................................................................1
B. Syarat, Rukun, dan Macam-macam Ijarah................................................3
C. Ayat tentang Ijarah....................................................................................5

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...............................................................................................8
B. Saran..........................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Syari’at Islam membolehkan akad sewa untuk memenuhi kebutuhan manusia, namun
aktivitas ini terikat dengan yang namanya akad. Perjanjian sewa menyewa disebut ijarah
yang berarti perjanjian sewamenyewa yang dilakukan oleh penyewa dan pemilik
terhadap suatu barang dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa. Sedangkan
Ujrah adalah perjanjian sewa-menyewa yang dilakukan oleh penyewa dan pemilik jasa
terhadap jasa yang dibutuhkan dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa.

Risiko mengenai barang yang dijadikan objek dalam perjanjian sewa-menyewa


dipikul oleh pemilik barang (yang menyewakan) sebab penyewa hanya menguasai
untuk mengambil manfaat dari barang yang disewakan. Perjanjian sewamenyewa ini
dapat berakhir ketika terdapat aib pada barang sewaan, rusaknya barang sewaan..
Tulisan ini bertujuan untuk menginformasikan pembaca tentang hukum konkrit yang
terdapat pada akad Ijarah (sewa-menyewa).

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Ijarah?
2. Apa syarat, Rukun Dan macam-Macam Ijarah?
3. Apa Ayat-Ayat Tentang Ijarah?

C. Tujuan
1. Memahami Pengertian ijarah.
2. Mengetahui Syarat, Rukun Dan macam-Macam Ijarah.
3. Memahami Ayat-Ayat Tentang Ijarah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijarah
Menurut bahasa kata ijarah berasal dari kata “alajru”yang berarti “al-iwadu”

(ganti)dan oleh sebab itu “ath-thawab”atau (pahala) dinamakan ajru (upah). 1

Lafal al-ijarah dalam bahasa arab berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Al-ijarah

merupakan salah satu bentuk muamalah dalam memenuhi keperluan hidup manusia, seperti
sewa-meyewa, kontrak, atau menjual jasa perhotelan dan lain-lain.2

Secara terminology, ada beberapa definisi al-ijarah yang dikemukakan para ulama fiqh.:

1. Menurut ulama Syafi‟iyah, ijarah adalah akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti

2. Menurut Hanafiyah bahwa ijarah adalah akad untuk membolehkan pemilikan manfaat

yang di ketahui dan di sengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan.

Jadi dapat disimpulkan, ijarah adalah pemindahan hak guna suatu barang dengan
pembayaran sewa menyewa tanpa diikuti pemindahan kepemilikan atas barang tersebut.

B. Rukun,Syarat Dan Macam-Macam Ijarah


1. Rukun Ijarah
Menurut Hanafiyah, rukan dan syarat ijarah hanya ada satu, yaitu ijab dan qabul,
yaitu pernyataan dari orang yang menyewa dan meyewakan karna itu akad ijarah
sudah dianggap sah dengan ijab qabul tersebut.3.Sedangkan menurut jumhur ulama,
Rukun-rukun dan syarat ijarah ada empat, yaitu Aqid (orang yang berakad), upah, dan
manfaat. Ada beberapa rukun di atas akan di uraikan sebagai berikut:

a. Aqid (Orang yang berakad)

1
Sayyid sabiq, fikih sunnah 13,pene pundi aksara,Jakarta,2006,hal.203
2
Nasrun haroen, fikih muamalah, gaya media pratama,Jakarta,hal.228.
3
Qomarul huda fikih muamalah…,hal.80
Orang yang melakukan akad ijarah ada dua orang yaitu mu’jir (Orang yang
memberikan upah) dan mustajir (Orang yang menerima upah untuk melakukan
sesuatu dan yang menyewa sesuatau). Bagi yang berakad ijarah di syaratkan
mengetahui manfaat barang yang di jadikan akad sehingga dapat mencegah terjadinya
perselisihan.
b. Ijab qabul
Sama dengan syarat ijab-qabul pada jual beli, hanya saja ijab dan qabul dalam
ijarah harus menyebutkan masa atau waktu yang ditentukan.Ujroh (upah) Ujroh yaitu
sesuatu yang diberikan kepada musta’jir atas jasa yang telah diberikan atau diambil
manfaatnya oleh mu’jir.

2. Syarat Ijarah
Menurut M. Ali Hasan syarat-syarat ijarah adalah :4
a. Syarat bagi kedua orang yang berakad adalah telah baligh dan berakal
(Mazhab Syafi‟i Dan Hambali). Dengan demikian apabila orang itu belum
atau tidak berakal seperti anak kecil atau orang gila menyewa hartanya, atau
diri mereka sebagai buruh (tenaga dan ilmu boleh disewa), maka Ijarah nya
tidak sah.
b. Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan kerelaannya untuk
melakukan akad Ijarah itu, apabila salah seorang keduanya terpaksa
melakukan akad maka akadnya tidak sah.
c. Manfaat yang menjadi objek Ijarah harus diketahui secara jelas, sehingga
tidak terjadi perselisihan dibelakang hari jika manfaatnya tidak jelas. Maka,
akad itu tidak sah.
d. Objek Ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak
ada cacatnya.
3.Macam-Macam-Ijarah
Ijarah terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut :
a. Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa.
b. Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah .

4
M.Ali Hasan, berbagai macam transaksi dalam islam, raja grafindo perseda,Jakarta,2003,hal.227.
Dalam ijarah bagian kedua ini, objek akadnya adalah amal atau pekerjaan
seseorang.5 Al-ijarah yang bersifat manfaat, umpamanya adalah sewa menyewa
rumah, kendaraan, pakaian, dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan
manfaat yang dibolehkan syara‟ untuk dipergunakan, maka para ulama fiqh
sepakat menyatakan boleh dijadikan objek sewa-menyewa. Al-ijarah yang
bersifat pekerjaan ialah dengan cara memperkerjakan seseorang untuk
melakukan suatu pekerjaan. Al-ijarah seperti ini, hukumnya boleh apabila jenis
pekerjaan itu jelas, seperti buruh bangunan, tukang jahit, buruh pabrik, tukang
salon, dan tukang sepatu. Al-ijarah seperti ini biasanya bersifat pribadi, seperti
menggaji seorang pembantu rumah tangga, dan yang bersifat serikat, yaitu
seseorang atau sekelompok orang yang menjual jasanya untuk kepentingan
orang banyak, seperti tukang sepatu, buruh pabrik, dan tukang jahit. Kedua
bentuk terhadap pekerjaan ini menurut ulama fiqh hukumnya boleh. 6

C. Ayat – Ayat Tentang Ijarah


a. QS. al-Baqarah (2):233

“Hendaklah para ibu menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan

5
Ibid ., hal.329
6
Nasrun haroen, op.cit. hal 236.
karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban
demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika
kalian ingin agar anak-anak kalian disusui oleh orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan bayaran menurut yang patut. Bertakwalah
kepada Allah Swt; dan ketahuilah bahwa Allah Swt. Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.”
 Asbabun-Nuzul
Ayat ini tidak memuat riwayat asbabun nuzulnya, namun pemahaman
ayatnya bisa ditelusuri berdasarkan munasabahnya. Pada masa Rasulullah
Saw telah berlaku tradisi dan aturan yang mengatur hak menyusui dan
upahnya, ayat ini menjadi dasar bahwa air susu dan pemilik rahim anak
yang dilahirkan adalah pemiliknya, jika tidak maka ia tidak berhak dan
tidak boleh mengambil upah penyusuan.
 Tafsir Ayat
o Tafsir Al-misbah
Surat al-Baqarah ayat 233,Dalam Tafsir al-Misbah disebutkan
jika ayat ini merupakan rangkaian ayat tentang keluarga, tepatnya
membahas tentang tugas istri dan suami selama masa pertumbuhan
anak “batita” (bawah tiga tahun).Dalam surat al-Baqarah ayat 233
diatas, disebutkan bahwa “ibu-ibu hendaklah menyusui anak-
anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara
sempurna”. Kata Ibu dalam ayat tersebut menggunakan ‫ت‬ ُ ‫ ْال ٰولِ ٰد‬yang
menurut Quraish Shihab berarti ibu secara umum, tidak harus ibu
kandung. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya air susu ibu
untuk pertumbuhan anak hingga tidak harus diperoleh dari ibu
kandung. Namun, air susu ibu kandung tentu lebih diutamakan,
karena membuat anak merasa nyaman dan mendekatkan ikatan
batin antara ibu dan anak.Kemudian terkait lamanya menyusui
anak, dalam Surat al-Baqarah ayat 233 disebutkan selama dua tahun
penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna.

Dalam Tafsir Kemenag dikatakan hal itu berarti membolehkan


ibu menyusui anaknya kurang dari dua tahun, apabila bersepakat
dalam diskusi suami istri. Hal tersebut berlaku jika ada alasan
khusus seperti, anjuran dokter untuk mempersingkat waktu
menyusui demi kesehatan ibu ataupun bayi. Namun, al-Qur’an tetap
menganjurkan, dengan penekanan, untuk menyusui. Mengutip
Tafsir al-Misbah, dari penggalan ayat tersebut juga dapat dipahami
bahwa tolok ukur menyusui anak adalah selama dua tahun, tidak
lebih.
Tugas Ayah dalam Masa Pertumbuhan Anak Selain
membicarakan tentang anjuran menyusui anak, Surat al-Baqarah
ayat 233 juga membahas tentang tugas ayah selama masa
pertumbuhannya. Penggalan ayatnya adalah, “Dan kewajiban ayah
menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut”.
Dalam hal ini ayah wajib menanggung nafkah istri dan anaknya
dengan cara yang baik, serta sesuai kemampuannya. Alasan
mengapa harus suami yang menanggung disini,
menurut Quraish Shihab merupakan kebaikan yang timbal baik
karena istri sudah menyusui, maka suami yang memenuhi
kebutuhannya. Selain itu, anak nanti akan mendapat nasab dari
ayahnya. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban ayah untuk
menafkahi dan mendidiknya menjadi hamba Allah dengan jiwa
yang baik, salah satunya dengan memenuhi kebutuhan air susu ibu
(ASI) demi kebaikan tumbuh kembangnya. Setelah membahas
tentang kewajiban ibu dan ayah diatas, terdapat penggalan ayat
“Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah
seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang
ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban)
seperti itu pula.” dalam Surat al-Baqarah ayat 233.
Dalam Tafsir al-Misbah dikatakan bahwa dari sini dapat dilihat
jika kewajiban tersebut dilakukan sesuai dengan kemampuan ibu,
ayah ataupun ahli warisnya (dalam hal ini anak dari suami istri).
Tidak ada paksaan dalam melaksanakannya. Selain itu disebutkan
terdapat tiga tahapan anjuran menyusui anak. Pertama, tingkatan
sempurna yaitu dua tahun penuh atau tiga puluh bulan dikurangi
masa kehamilan. Kedua, tingkatan standar, yaitu kurang dari dua
tahun. Ketiga, tingkatan kurang yang mana dapat mengakibatkan
dosa, yaitu enggan menyusui anaknya. Maka dari itu, jika ibu tidak
mampu menyusui anaknya, paling tidak pada tingkatan standar,
baik dengan alasan yang dapat dibenarkan (seperti sakit) atau tidak
patut (seperti meminta bayaran untuk menyusui anaknya), maka
diwajibkan bagi ayah untuk mencari orang yang mau menyusui
anaknya, dengan memberi imbalan yang sepadan.
Kalimat dalam Surat a-Baqarah 233, “Dan jika kamu ingin
menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu…”, dalam hal ini tidak adanya dosa berlaku bagi ayah
sebab mencarikan air susu lain karena istrinya tidak mampu
menyusui anaknya. Namun, apabila sang ibu dengan tanpa alasan
khusus tidak menyusui anaknya, maka akan mengakibatkan
terbuangnya air susu yang mana sebagai bentuk kasih sayang
kepada anaknya, dan menjadi mubadzir sehingga berlaku dosa
untuknya.

o Tafsir jalalain
Para ibu menyusukan), maksudnya hendaklah menyusukan
(anak-anak mereka selama dua tahun penuh) sifat yang
memperkuat, (yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan
penyusuan) dan tidak perlu ditambah lagi. (Dan kewajiban yang
diberi anak), maksudnya bapak (memberi mereka (para ibu)
sandang pangan) sebagai imbalan menyusukan itu, yakni jika
mereka diceraikan (secara makruf), artinya menurut
kesanggupannya. (Setiap diri itu tidak dibebani kecuali menurut
kadar kemampuannya, maksudnya kesanggupannya. (Tidak boleh
seorang ibu itu menderita kesengsaraan disebabkan anaknya)
misalnya dipaksa menyusukan padahal ia keberatan (dan tidak pula
seorang ayah karena anaknya), misalnya diberi beban di atas
kemampuannya. Mengidhafatkan anak kepada masing-masing ibu
dan bapak pada kedua tempat tersebut ialah untuk mengimbau
keprihatinan dan kesantunan, (dan ahli waris pun) ahli waris dari
bapaknya, yaitu anak yang masih bayi dan di sini ditujukan kepada
wali yang mengatur hartanya (berkewajiban seperti demikian),
artinya seperti kewajiban bapaknya memberi ibunya sandang
pangan. (Apabila keduanya ingin), maksudnya ibu bapaknya
(menyapih) sebelum masa dua tahun dan timbul (dari kerelaan) atau
persetujuan (keduanya dan hasil musyawarah) untuk mendapatkan
kemaslahatan si bayi, (maka keduanya tidaklah berdosa) atas
demikian itu. (Dan jika kamu ingin) ditujukan kepada pihak bapak
(anakmu disusukan oleh orang lain) dan bukan oleh ibunya, (maka
tidaklah kamu berdosa) dalam hal itu (jika kamu menyerahkan)
kepada orang yang menyusukan (pembayaran upahnya) atau upah
yang hendak kamu bayarkan (menurut yang patut) secara baik-baik
dan dengan kerelaan hati. (Dan bertakwalah kamu kepada Allah
dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan) hingga tiada satu pun yang tersembunyi bagi-Nya.
 MunasabahAyat
Ayat ini dalam rangkaian ayat sebelum dan sesudahnya memuat aturan
hukum keluarga yang memuat tentang hak dan kewajiban dalam
pernikahan, perceraian, pengasuhan anak dan konsekuensinya serta batasan
waktu menyusui anak. Ayat ini juga memperbolehkan memperjual belikan
air susu serta menghimbau agar memberikan honor yang layak dan telah
disepakati oleh masyarakat setempat. Ayat ini mengingatkan agar tidak ada
yang dirugikan dan terancam jiwanya dalam melakukan hubungan sosial
dan ekonomi (Buku Ajar, 2019:131-132). Berhubungan dengan penyusuan
(ar-radha’) yang merupakan kata yang bersifat umum, mencakup satu kali
hisapan atau lebih sampai masa penyusuan benar-benar sempurna, yakni
dua tahun. Bisa juga mencakup semua jenis susuan meskipun telah lewat
usia dua tahun. Namun Imam Syafi’i mengatakan bahwa, jika demikian,
maka para ulama harus mempunyai dalil tentang kasus tersebut (Al-Farran,
2008: 418). Sufyan pernah menyampaikan hadits kepada kami, dari Yahya
bin Sa’id dari Umrah dari Aisyah ra, bahwa dia berkata “al-Qur’an
menjelaskan bahwa sepuluh kali susuan dapat menyebabkan kemuhriman,
kemudian berubah menjadi lima susuan. Setelah itu, tidak ada yang masuk
menemui Aisyah, kecuali mereka yang telah mendapatkan lima kali susuan
(Al-Farran, 2008: 419)..” Berdasarkan perintah Rasulullah Saw terhadap
Hindun binti Utbah tersebut menunjukkan bahwa orang tua wajib
menyusukan anaknya dan menanggung biayanya bisa dihubungkan dengan
firman Allah Swt dalam surah at-Thalaq (65):6 “Jika mereka telah
menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka.” Bila dikaji dari sisi
munasabah ayat, maka ayat ini memuat aturan terkait dengan konsekuensi
hubungan perceraian suami istri sedangkan anak masih menyusui dan
membutuhkan pengasuhan ibu maka ibu berhak atas ujrahnya. Karena
anak adalah bagian dari orang tua sehingga orang tua harus mengusahakan
kemaslahatan anaknya ketika si anak belum mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya. Begitu sebaliknya, ketika orang tua sudah tidak mampu bekerja
dan memenuhi kebutuhannya maka anak harus memenuhi semua
kebutuhan hidup orang tua baik nafkah atau pakaian. Karena kebutuhan
hidup orang yang tidak mampu harus dipenuhi oleh orang yang mampu
(Al-Farran, 2008: 425). Penentuan masa penyusuan tersebut bukanlah batas
minimal yang tidak boleh dilanggar, melainkan hal itu diperuntukkan bagi
orang yang ingin menyempurnakan masa penyusuannya. Jadi masa
penyusuan tersebut ditujukan untuk menjelaskan tempo yang menjadi
acuan ketika terjadi perselisihan serta mencegah penyengsaraan dari salah
satu pihak
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Secara etimologis, ijarah diambil dari kata ajru yang berarti pengganti.
Karena itu, kata tsawab bermakna ganjaran. Sebuah perbuatan dikenal pula dengan
sebutan al-ajru. Menurut istilah, ijarah adalah akad untuk mengambil manfaat dengan
kompensasi upah. Ijarah ada dua bentuk manfaat yang bisa diambil, yaitu manfaat
barang dan manfaat jasa.

Ijarah merupakan kegiatan ekonomi dan bisnis yang bertujuan saling memenuhi
kebutuhan dalam menunjang kehidupan yang baik. Dasar hukum ijarah terdapat dalam
beberapa surah di antaranya surah al-Baqarah (2):233, surah at-Thalaq (65):6, surah az-
Zukhruf (43):32, surah al-Qashash (28):26 dan beberapa riwayat hadits.

Surah-surah yang menggambarkan ijarah (sewa menyewa) tidak semua ayatnya


terdapat asbabun nuzul, namun ayat tersebut bisa dikorelasikan dengan melihat kepada
munasabahnya dan beberapa kejadian yang terjadi pada saat itu.

B. Saran

Kami sebagai penulis dari makalah ini berharap semoga makalah yang kami buat
ini bisa memberikan mamfaat bagi para pembaca sekalian. dan kami berharap para
pembaca memberi kritik dan saran untuk maklah yang kami buat ini . dan semoga para
pembaca bisa memahami pembahasan yang ada dimakalah kami ini dan bisa diterapkan
didunia pekerjaan terima kasih kapada para pembaca yang mau meluangkan waktu
untuk membaca makalah singkat dari kami ini.
DAFTAR PUSTAKA

Az-zuhaili,wahbah.2013.tafsir al-munir:aqidah,syariah manhaj(al-fatihah - al-


baqarah ).abdul hayyie al kattani,dkk,penerjemah.jakarta:gema insani.

Dhaifina fitriani.magister ilmu syariah konsentrasi hukum ekonomi syariah, UIN


sunan kalijaga Yogyakarta.VOL,2,NO,1.

Sayyid sabiq, fikih sunnah 13,pene pundi aksara,Jakarta,


Nasrun haroen, fikih muamalah, gaya media pratama,Jakarta,

M.Ali Hasan, berbagai macam transaksi dalam islam, raja grafindo


perseda,Jakarta,

https://tafsir.learn-qur’an.com.

https://muslim.okezone.com.

https://m.merdeka.com.

Anda mungkin juga menyukai