Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM

IMUNOLOGI DAN SEROLOGI

OBJEK 6

PEMERIKSAAN KEHAMILAN

Oleh :

NAMA : MUHAMMAD RIZKI

NO.BP : 1811011017

KELOMPOK / SHIFT : 3/3

HARI / TANGGAL : RABU/ 10 NOVEMBER 2021

ANGGOTA : HASBI (1811011011)

ANGGITA FRESILIA (1811012019)

HUSNUN AZIZAH (1811013025)

HANA NURUL SALSABILA (1811013026)

RARA ANJELI (1811013046)

LABORATORIUM IMUNOLOGI SEROLOGI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021
PEMERIKSAAN KEHAMILAN

I. Tujuan
Untuk melakukan pemeriksaan kehamilan dengan urin pagi, Kit Neo
Planotest Duocion
II. Teori
Tujuan pemeriksaan kehamilan adalah untuk mengetahui dan mencegah
sedini mungkin kelainan yang dapat timbul, meningkatkan dan menjaga kondisi
badan ibu dalam menghadapi kehamilan, persalinan, dan menyusui, serta
menanamkan penertian pada ibu tentang pentingnya penyuluhan yang diperlukan
bagi wanita hamil.Pemeriksaan kehamilan dilakukan dengan beberapa cara,
meliputi anamnesis, inspeksi, dan palpasi. Pada anamnesis yang perlu diketahui
adalah informasi mengenai pekawinan, keluhan, amenore, dan riwayat kehamilan
sebelumnya. Inspeksi dilakukan untuk mengetahui keadaan yang berhubungan
dengan kehamilan, mulai dari kepala sampai kaki.Tes kehamilan plano-test yaitu
tes kehamilan dengan menggunakan urin pagi wanita hamil dengan mereaksikan
kit neo planotest duoclon. Dengan melihat ada atau tidaknya aglutinasi saat
pencampuran. Hasil positif ditandai dengan adanya aglutinasi.[1]
Metode dengan menggunakan test urin ada yang bisa dilakukan sendiri
atau di laboratorium. Biasanya tes urin dirumah dilakukan lebih dahulu oleh para
calon ibu untuk mengetahui kehamilannya. Baru kemudian tes urin di
laboratorium untuk memastikan lagi kehamilannya. Pada saat ini, telah banyak
dijual bebas tes kehamilan dengan berbagai cara dan bentuk. Semua alat
mempunyai cara kerja yang sama, yakni melihat kadar hCG dalam urin.[2]
HCG adalah hormon yang mendukung perkembangan telur dalam ovarium
dan merangsang telur dalam pelepasan telur dalam ovulasi. Hormon HCG
tersusun atas glikoprotein yang dihasilkan oleh protoblast dan bakal plasenta.
Pembentukan HCG maksimal pada 60-90 hari, kemudian turun ke kadar rendah
yang menetap selama kehamilan. Kadar HCG yang terus menerus rendah
berkaitan dengan gangguan perkembangan plasenta atau kehamilan. Kadar HCG
memiliki struktur yang sangat mirip dengan yang bekerja pada reseptor LH
sehingga usia korpus luteum memanjang. HCG mula-mula di produksi oleh sel
lapisan luar blastokista. Sel ini berdiferensiasi menjadi sel tropoblast,
sinsitiotropoblast yang berkembang dari tropoblast, terus menghasilkan HCG
yang disekresikan dan dapat dideteksi disekresi vagina sebelum inplantasi.
biasanya HCG dapat dideteksi di darah ibu 8-10 minggu.[3]
HCG ( Human Chorionic Gonadotropin ) merupakan suatu hormon yang
dihasilkan oleh jaringan plasenta yang masih muda dan dikeluarkan lewat urin.
Hormon ini juga dihasilkan bila terdapat proliferasi yang abnormal dari jaringan
epitel korion seperti molahidatidosa atau suatu chorio carsinoma. Kehamilan akan
ditandai dengan meningkatnya kadar HCG dalam urin pada trimester I, HCG
disekresikan 7 hari setelah ovulasi. Pemeriksaan HCG dengan metode
immunokromatograp merupakan cara yang paling efektif untuk mendeteksi
kehamilan dini.[4]
Alat uji kehamilan untuk dipakai di rumah ( home pregnancy test  , HPT)
yang biasa dikenal dengan test pack merupakan alat praktis yang cukup akurat
untuk mendeteksi kehamilan pada tahap awal yang menggunakan urin. Urin yang
digunakan yaitu air seni pertama setelah bangun pagi, karena konsentrasi hormon
HCG tinggi pada saat itu. Bentuk alat tes kehamilan ( test pack) ada dua macam,
yaitu strip dan compact. Bedanya, bentuk strip harus dicelupkan ke urin yang
telah ditampung atau disentuhkan pada urin waktu buang air kecil sedangkan
compact sudah ada tempat untuk menampung urin yang akan diteteskan. Test
slide ini sangat tergantung pada kerja sama antibodi dan antigen. Antibodi ini zat
kimia yang dihasilkan oleh limfosit dan struktur lain di dalam tubuh. Sedangkan
antigen, zat asing yang masuk dan merangsang reaksi kimia tubuh. Jika antigen
masuk ke dalam jaringan tubuh, antibodi bereaksi sehingga antigen tidak
berbahaya lagi. Tiap antibodi hanya bereaksi terhadap antigen tertentu. Antibodi-
antibodi itulah yang “ditambatkan” pada media test, yang  mempunyai dua strip
(garis) indicator.[4]
Penggunaan strip HCG urine test merupakan suatu metode immunoassay
untuk memastikan secara kualitatif adanya Human Chorionic Gonadotropin
(HCG) didalam urine sebagai deteksi dini adanya kehamilan. Human Chorionic
Gonadotropin merupakan sebuah hormon glikopeptida yang dihasilkan oleh
plasenta selama kehamilan. Adanya HCG dan  peningkatan konsentrasinya secara
cepat didalam urin ibu membuatnya sebagai  penanda untuk memastikan
kehamilan.[5]
Hormon kehamilan hanya ditemukan pada tubuh seorang wanita hamil
yang dibuat oleh embrio segera setelah pembuahan dan karena pertumbuhan
jaringan plasenta. Hormon kehamilan yang dihasilkan oleh villi choriales ini
berdampak pada meningkatnya produksi progesteron oleh indung telur sehingga
menekan menstruasi dan menjaga kehamilan. Produksi HCG akan meningkat
hingga sekitar hari ke 70 dan akan menurun selama sisa kehamilan. Hormon
kehamilan HCG mungkin mempunyai fungsi tambahan, sebagai contoh
diperkirakan HCG mempengaruhi toleransi imunitas pada kehamilan. Hormon ini
merupakan indikator yang dideteksi oleh alat test kehamilan yang melalui air seni.
Jika, alat test kehamilan mendeteksi adanya peningkatan kadar hormon HCG
dalam urin, maka alat test kehamilan akan mengindikasikan sebagai terjadinya
kehamilan atau hasil test positif. Dampak kadar HCG yang tinggi dalam darah
menyebabkan mual-muntah (morning sickness).[6]
Tingkat sekresi HCG meningkat dengan cepat selama kehamilan awal
untuk menyelamatkan korpus luteum dari kematian. Sekresi puncak HCG
berlangsung sekitar 60 hari setelah periode haid terakhir. Pada minggu kesepuluh
kehamilan, pengeluaran HCG menurun sehingga tingkat sekresinya rendah yang
kemudian dipertahankan selama kehamilan. Turunnya HCG terjadi pada saat
korpus luteum tidak lagi diperlukan untuk menghasilkan hormon-hormon steroid
karena plasenta sudah mulai mengeluarkan estrogen dan progesterone dalam
jumlah bermakna. Korpus luteum kehamilan mengalami regresi parsial seiring
dengan turunnya sekresi HCG.[7]
Pengumpulan dan penyimpanan urin sebaiknya menggunakan urin pagi
hari karena berisi konsentrasi HCG yang paling tinggi sehingga baik untuk
pemeriksaan sampel urin. Meskipun demikian, urin sewaktu dapat juga
digunakan. Urin spesimen dikumpulkan pada gelas atau penampung plastik yang
bersih. Jika spesimen tidak digunakan segera maka harus disimpan pada suhu 2 -
8 C dan letakkan pada suhu temperatur sebelum digunakan, tetapi penyimpanan
ini tidak boleh lebih dari 48 jam.[7]
Pemeriksaan HCG ini berdasarkan reaksi aglutinasi yang terjadi antara
partikel lateks yang dilapisi antibodi anti-HCG dengan HCG yang terkandung
dalam sampel.[8]
Kehadiran HCG dalam sampel akan menunjukkan pembentukan matriks
aglutinasi yang secara visual dapat dibedakan dengan mudah dari kontrol negatif.
Dibutuhkan konsentrasi HCG urin yang lebih tinggi dari 200 mlU/ml untuk
mendapatkan hasil positif.[9]
III.Prosedur kerja
3.1 Alat dan Bahan
Alat : Glaas slide, piper tetes, vial, dan stop wacth.
Bahan : Urin pagi, Kit Neo Planotest Duoclon,
3.2 Cara kerja
1. Letakkan glas slide (objek glas) pada bidang datar.
2. Botol reagen dibalik beberapa kali sehingga suspense latek menjadi
homogeny.
3. Isap reagen latek danteteskan 1 tetes penuh ( 25 mikronliter) diatas test
area (objek glas).
4. Kembalikan sisa latek ke dalam botol.
5. Dengan menggunak pipet yang sama isap urin sampel dan letakkan 2
tetes penuh diatas test area dan urin sisa langsung dibuang.
6. Aduk reagen latek dengan menggunakan spatula plastic dan campuran
tersebar merata dalam seluruh test area, spatula dibuang.
7. Goyang glas slide perlahan-lahan sehingga cairan mengalir di dalam test
area sampai 3 menit.
Bila terlihat aglutinasi pada test area maka hasil dinyatakan positif
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL

Bovin albumin 1 tetes 5% eritrosit + Setelah disentrifugasi


2 tetes serum (tidak terjadi aglutinasi)

Setelah + coombs anti-B & disentrifugasi


Tidak terjadi aglutinasi

Sentrifus I Sentrifus II setelah + NaCl


4.2 PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini akan dibahas tentang crossmatching . dimana
crossmatching merupakan reaksi silang secara in vitro antara darah resipien
dengan darah donor yang akan ditransfusikan. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum
pelaksanaan transfuse darah. Transfuse darah merupakan pemindahan darah atau
komponen darah dari pendonor darah ke resipien penerima donor (resipien).
Tindakan uji silang (crossmatch) diperlukan sebelum melakukan transfuse darah
untuk melihat apakah darah resipien cocok atau sesuai dengan donor atau tidak.
Untuk tujuan tersebut, golongan darah penerima resipien harus sama dengan
golongan darah pemberi donor dan uji aglutinasi antara serum resipien dengan
SDM donor dan serum donor dengan SDM resipien.
Dalam tranfusi darah, kecocokan antara darah pendonor dengan resipien
(penerima) adalah sangat penting. Donor darah dan resipien harus sesuai
golongannya bedasarkan sistem ABO dan Rhesus faktor. Transfusi darah dari
golongan yang tidak kompatibel (tidak cocok) dapat menyebabkan reaksi tranfusi
imunologis yang berakibat anemia hemolisis, gagal ginjal, syok, dan kematian.
Uji silang serasi (Crossmatch) digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya
antibodi, baik antibodi komplet (IgM) maupun antibodi inkomplet (IgG) yang
terdapat dalam serum atau plasma pasien (resipien) maupun dalam plasma donor,
memastikan bahwa transfusi darah yang diberikan sesuai atau kompatibel dan
tidak menimbulkan reaksi apapun pada pasien serta sel-sel darah dapat mencapai
masa hidup maksimum setelah diberikan serta cek akhir uji kecocokan golongan
darah ABO.
Uji crossmatch ini penting bukan hanya pada transfusi tetapi juga ibu
hamil yang kemungkinan terkena penyakit hemolitik pada bayi baru lahir.
Tujuan dilakukan periksaan uji silang adalah
1. Untuk melihat apakah darah dari pendonor cocok dengan penerima
(resipien). Untuk tujuan tersebut, golongan darah penerima resipien harus
sama dengan golongan darah pemberi donor dan uji aglutinasi antara
serum resipien dengan SDM donor dan serum donor dengan SDM
resipien.
2. Untuk konfirmasi golongan darah.
3. Untuk mencari tahu atau apakah darah donor akan ditranfusikan itu
nantinya akan dilawan oleh serum pasien didalam tubuhnya, atau adakah
plasma donor yang turut ditransfusikan akan melawan sel pasien didalam
tubuhnya hingga akan memperberat anemia, disamping kemungkinan
adanya reaksi hemolytic transfusi yang biasanya membahayakan pasien.
4. Untuk mengetahui ada tidaknya Antibodi reaktif yang terdapat dalam
serum resepien / pendonor yang dapat menimbulkan reaksi transfuse
Pemeriksaan ini dilakukan dalam tiga fase serta dilakukan pula uji
validitas. Fase I ini dapat mendeteksi: Antibodi komplet (IgM /Antibodi
dingin),seperti : anti-A, anti-B (ketidakcocokan pada penetapan golongan darah
ABO serta adanya antibodi komplet lain seperti: anti-M, anti- Lewis, anti-N, anti-
P1, anti-A1, anti-H, anti-I). Pada fase II, antibodi inkomplet dapat mengikat sel
darah merah, sehingga pada fase III dengan bantuan penambahan Coombs serum
terjadi reaksi positip, contohnya : anti-D, anti-E, anti-e, anti-C, anti-c,
anti-Kell, anti-Kidd, anti-S. Pada fase III, semua antibodi inkomplet yang terikat
pada seldarah merah di fase II akan beraglutinasi (positif) setelah penambahan
Anti Human Globulin (Coomb’s serum), contoh : anti-Fya , anti-Fyb,
anti-Kell, anti-Rhesus.
Sampel yang digunakan adalah eritrosit yang sudah dimurnikan 5 % dari
eritrosit A,B, dan O, serta serum A,B, dan O. Pada crossmatching ini terdapat
crossmatch mayor dan crossmatch minor. Setelah itu dikerjakan masing-masing
tahap mayor dan minor. crossmatch mayor yaitu dilakukan dengan mereaksikan
sel darah merah donor dengan serum dari resepien. Sedangkan crossmatch minor
yaitu crossmatch yang dilakukan dengan mereaksikan sel darah merah resepien
dengan serum donor. Crossmatch minor adalah plasma donor dicampur dengan
sel penerima. Yang dengan maksud apakah sel pasien akan dihancurkan oleh
plasma donor. Jika golongan darah (pada sistem ABO) penerima dan donor sama,
baik mayor maupun minor tidak bereaksi, jika berlainan misalnya, donor
golongan O dan penerima golongan A, akan terjadi aglutinasi pada tes minor.
Tindakan yang melindungi keselamatan pasien disebut mayor crossmatch
yang merupakan tindakan terakhir untuk melindungi keselamatan penerima darah
dan sebaiknya dilakukan demikian sehingga Complete Antibodies maupun
incomplete Antibodies dapat ditemukan dengan cara tabung saja. Cara dengan
objek glass kurang menjaminkan hasil percobaan. Reaksi silang yang dilakukan
hanya pada suhu kamar saja tidak dapat mengesampingkan aglutinin Rh yang
hanya bereaksi pada suhu 37OC.
Disediakan serum eritrosit dan direaksikan lalu ditambahkan dengan 2
tetes serum, 1 tetes eritorsit, dan dua tetes bovin albumin. Setelah itu
disentrifugasi pada kecepatan 1000 rpm selama satu menit. Didapatkan hasil
bahwa reaksi mayor dari eritrosit A dan eritrosit B terjadi aglutinasi atau
penggumpalan, hal ini menendakan bahwa orang yang golongan darahnya A dan
orang yang golongan darahnya B tidak dapat mendonorkan darah untuk penderita
bergolongan darah 0. Dan praktikum dilanjutkan dengan sampel tahap minor.
Setelahnya tahap minor diinkubasi dalam suhu 370C selama 15 menit dan
disentrifugasi kembali, didapatkan hasil bahwa tidak terjadi aglutinasi pada
tabung reaksi. Lalu cuci dengan NaCl fisiologis dan tambahkan 2 tetes reagen
Coomb, dalam hal ini digunakan Anti A dan Anti B sentrifugasi lagi dengan
kecepatan 1000 rpm selama 1 menit. Hasil masih menunjukkan tidak adanya
aglutinasi pada tabung reaksi. Uji crossmatch ini penting bukan hanya pada
transfusi tetapi juga ibu hamil yang kemungkinan terkena penyakit hemolitik pada
bayi baru lahir. Bila ditemukan Crossmatch mayor negatif, minor positif, dan
AC(Auto Control) positif, maka dilakukan direct coombs tes (DCT) pada pasien.
Hasil DCT positif pada crossmatc minor dan AC berasal dari autoantibodi.
Apabila derajat positif pada minor sama atau lebih kecil dibandingkan derajat
positif pada AC/DCT, darah boleh dikeluarkan. Apabila derajat positif pada minor
lebih besar dibandingkan derajat positif pada AC/DCT, darah tidak boleh
dikeluarkan. Darah donor diganti dengan melakukan crossmatch lagi sampai
ditemukan positif pada minor sama atau lebih kecil disbanding AC/DCT
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
1. Crossmatching dilakukan sebelum dilakukan transfusi darah dengan
tujuan untuk melihat apakah darah dari pendonor cocok dengan penerima
(resipien) sehingga dapat mencegah terjadinya reaksi transfuse hemolitik
2. Jika terdapat aglutinasi pada saat percobaan crossmatch maka darah
tersebut tidak dapat didonorkan kepada resipien.
3. Cross matching menurut urgensi permintaan darah bagi seorang pasien
yaitu cross matching darurat, cross matching persiapan operasi, dan cross
matching rutin.
4. Metode cross matching ini dapat dilakukan dengan beberapa metode
antara lain, yaitu metode tabung, metode gel, dan metode otomatis.
5. Pendonor dengan golongan darah A tidak dapat mendonorkan darah pada
resepien dengan golongan darah 0, tetapi untuk pendonor 0 mendonorkan
darah pada resepien A bisa dilakukan
6. Pendonor dengan golongan darah B tidak dapat mendonorkan darah pada
resepien dengan golongan darah 0, tetapi untuk pendonor 0 mendonorkan
darah pada resepien B bisa dilakukan
5.2 SARAN
1. Memahami prosedur kerja yang akan dilakukan sebelum praktikum
2. Memahami materi praktikum agar diskusi berjalan aktif
3. Diperhatikan cara mencuci sampel dengan NaCl
4.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Saminem. Kehamilan Normal. Jakarta: EGC; 2009.


[2] Indiarti. Meraih Kehamilan. Penerbit Elmatera: Depok; 2018.
[3] Frandson, R.D. Anatomi dan Fisiologi Ternak.Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press; 1993.
[4] Hanifa,W dan Saifuddin,A.B.  Ilmu Kebidanan Edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2005.

[5] Prawirohardjo, S. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka; 1976.

[6] Johnson K. E. Hormon-Hormon Kehamilan. Jakarta : Binarupa Aksara; 1994

[7] Saifuddin. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka; 2002

[8] Batzer, F. R. Fertility and sterility. Jakarta: SBBI; 1980

[9] Burtis, C.A., Ashwood, E. R., Saunders, W.B. TIetz Text Book Of Clinical
Chemistry. USA: JHB; 1999

Anda mungkin juga menyukai