Anda di halaman 1dari 53

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Bendungan

Menurut Kementrian Pekerjaan Umum Indonesia bendungan adalah

bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, beton, atau pasangan batu yang

dibangun selain untuk menahan dan menampung air, dapat pula dibangun untuk

menahan dan menampung limbah tambang (tailing), atau menampung lumpur.

2.2. Anlisis Hidrologi

Hidrologi adalah suatu ilmu yang mempelajari sitem kejadian air di atas,

pada permukaan, dan di dalam tanah (Soemarto, 1999). Analisa hidrologi adalah

salah satu tahapan yang membahas debit banjir dan debit andalan. Debit banjir

rencana diperlukan dalam pendimensian kontruksi bendung dan tubuh bendungan.

Sedangkan debit andalan lebih mengarah ke optimasi penggunaan air tampungan

untuk memenuhi kebutuhan air yang ada.

2.2.1. Uji Konsistensi Data

Data hujan yang akan dipergunakan dalam suatu analisis sebelumnya harus

dilakukan uji konsistensi atau data dimana data yang tidak sesuai akibat kesalahan

pencatatan dan gangguan alat pencatat perlu dikoreksi dan data yang hilang atau

kosong diisi dengan menggunakan perbandingan pos hujan sekitar yang terdekat

dan dianggap memiliki karateristik sama (Sri Harto. 1993).


Dalam penelitian ini, metode yang akan digunakan adalah metode RAPS

(Rescale Adjusted Partial Sums). Metode RAPS (Rescale Adjusted Partial Sums),

merupakan pengujian konsistensi data dengan menggunakan data dari stasiun itu

sendiri (uji homogenitas), yaitu pengujian kumulatif penyimpangan terhadap nilai

rata-rata dibagi dengan akar kumulatif rerata penyimpangan kuadrat terhadap nilai

reratanya.(Sri, Harto 1993).

Uji konsistensi data dapat dilakukan dengan persamaan berikut ini :


k
Sk*= ∑ ¿¿), dengan nilai k = 1,2,3,…,n.................................................................(2.1)
i=1

S0* = 0......................................................................................................................(2.2)

Sk ¿
Sk** = , dengan nilai k = 0,1,2,3,….,n................................................................(2.3)
Dy

n
2
Dy =∑ ¿¿ ¿.............................................................................................................(2.4)
i=1

dengan :

Yi = data hujan ke-i

Ý = data hujan rerata-i

Dy = deviasi standar

n = jumlah data

untuk uji konsistensi data digunakan cara statistik :

Q = maks¿Sk**¿, 0 ≤ k ≤ n, atau...............................................................................(2.5)

R = maksimum Sk** - minimum Sk**, dengan 0 ≤ k ≤ n ..........................................(2.6)


Tabel 2.1. Nilai kritik Q dan R
Q R
N √n √n
90% 95% 99% 90% 95% 99%
10 1,05 1,14 1,29 1,21 1,28 1,38
20 1,10 1,22 1,42 1,34 1,43 1,60
30 1,12 1,24 1,46 1,40 1,50 1,70
40 1,13 1,26 1,50 1,42 1,53 1,74
50 1,14 1,27 1,52 1,44 1,55 1,78
100 1,17 1,29 1,55 1,50 1,62 1,86
∞ 1,22 1,36 1,63 1,62 1,75 2,00
(Sumber : Sri Harto, 1993)

2.2.2. Curah Hujan Rata-rata

Data curah hujan dan debit merupakan data yang paling fundamental dalam

perencanaan/penelitian pembuatan bendungan. Dalam menentukan lokasi dan

peralatan baik curah hujan maupun debit merupakan faktor untuk menentukan data

yang diperoleh. Analisis data hujan yang dimaksudkan untuk mendapatkan

besaran curah hujan. Perlunya menghitung curah hujan wilayah adalah untuk

penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir

(Sosrodarsono & Takeda. 2003).

Adapun metode yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rata-rata

wilayah daerah aliran sungai (DAS) ada tiga macam cara :

1. Metode rata-rata aritmatik (Aljabar)

2. Metode Poligon Thiessen

3. Metode Isohyet

2.2.2.1. Pemilihan Metode Analisa Hujan


Faktor-faktor yang digunakan untuk mempertimbangkan dalam

menganalisa suatu DAS harus dilihat luas dari DAS tersebut. Untuk

mempermudah analisa dan menentukan metode yang tepat. Menurut Suripin

(2014) penentuan metode analisa yang mesti diperhatikan antara lain, yaitu :

a. Jaring-jaring pos penakar hujan dalam DAS, yaitu :

1) Jika jumlah pos penakar hujan cukup, maka Metode Isohyet, Polygon

Thiessen atau rata-rata Aljabar dapat dipakai,

2) Jika pos penakar hujan terbatas, maka Metode Rata-rata Aljabar dan Polygon

Thiessen dapat dipakai,

3) Jika hanya terdapat pos penakar hujan tunggal, maka metode hujan titik yang

dapat dipakai.

b. Luas DAS

1) DAS besar (>5000 km2), dengan Metode Isohyet

2) DAS sedang (500-5000 km2), dengan Metode Polygon Thiessen

3) DAS kecil (<500 km2), dengan Metode Rata-rata Aljabar

c. Topografi DAS

1) Daerah pegunungan, dengan Metode Rata-rata Aljabar

2) Daerah dataran, dengan Metode Polygon Thiessen

3) Daerah berbukit dan tidak beraturan, dengan Metode Isohyet.

Pada studi rehabilitasi ini perhitungan curah hujan rata-rata dilakukan

dengan menggunakan Metode rata-rata aritmatik (aljabar)

2.2.2.2. Metode Rata-Rata Aritmatik (Aljabar)


Metode ini adalah yang paling sederhana untuk menghitung hujan rerata

pada suatu daerah. Pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu

yang bersamaan dijumlahkan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun. Stasiun

hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya yang berada dalam DAS, tetapi

stasiun diluar DAS tangkapan yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan.

Metode rerata aljabar memberikan hasil yang baik apabila :

1. Stasiun hujan tersebar merata di DAS

2. Distribusi hujan relatif merata pada seluruh DAS

Hujan rerata pada seluruh DAS dihitung dengan persamaan sebagai berikut

(Triatmodjo Bambang, 2008) :

P1 + P2+ …+ Pn
Ṕ= ..................................................................................................(2.7)
n

dimana :

Ṕ = hujan rerata kawasan

P1,P2…Pn = hujan stasiun 1,2, …, n

n = jumlah stasiun

2.2.3. Curah Hujan Rancangan

Menurut Sri Harto Br. Dalam bukunya Analisis Hidrologi (1993:244)

dalam pengujian data hujan dan debit di Pulau Jawa ditemukan bahwa distribusi

Gumbel hanya sesuai dengan 7% kasus, demikian pula untuk Distribusi Normal

bahwa sangat jarang dijumpai data yang sesuai dengan Distribusi Normal

sedangkan 90% lainnya ternyata mengikuti Distribusi Log Normal dan Distribusi
Log Person Type III. karena hal inilah maka dalam perencanaan ini digunakan

Distribusi Log Person Type III.

Bentuk dari Distribusi Log Person III merupakan hasil transformasi dari

distribusi Person Tipe III dengan menggantikan variat menjadi nilai logaritmik.

Langkah-langkah perhitungan dengan cara ini adalah sebagai berikut (Soewarno,

1995) :

1. Mengubah data debit banjir tahunan sebanyak n buah X 1, X2, X3, . . . , Xn menjadi

log X1, log X2, log X3,…, log Xn

2. Hitung harga rata-rata


n

Log
∑ log X i .......................................................................................................(2.8)
x́= i=1
n

3. Hitung harga standar deviasi

n
S=
√∑
i=1
¿ ¿ ¿ ¿.....................................................................................................(2.9)

4. Hitung koefisien kemencengan


n
Cs = n ∑ ¿ ¿ ¿....................................................................................................(2.10)
i=1

5. Hitung logaritma hujan atau banjir dengan periode ulang T dengan rumus :

Log XT = Log x́ + K S......................................................................................(2.11)

6. Hitung anti log XT untuk mendapatkan curah hujan rencana dengan kala ulang

T.

dimana :

Xt = curah hujan harian maksimum pada periode ulang T tahun,


S = standar deviasi,

Log x́ = harga rata-rata log dari curah hujan harian maksimum,

Cs = koefisien Kepencengan,

n = jumlah T yang di observasi

XT = curah hujan yang diperkirakan dengan periode ulang tertentu

Dalam statistic dikenal beberapa parameter yang berkaitan dengan analisis

data yang meliputi rata-rata, simpangan baku, koefisien variasi, koefisien

skewness (kecondongan atau kemencengan) dan koefisien kurtosis. Parameter

statistic yang di perlukan untuk pemilihan distribusi yang sesuai dengan sebaran

data adalah sebagai berikut (Triatmodjo,Bambang2008) :

a. Rata-rata hitung (x́)


n
1
X́ = ∑ X i.....................................................................................................(2.12)
n i=1

dimana :

X́ = nilai rerata curah hujan (mm)

i = data curah hujan (mm)

n = jumlah data

b. Standar deviasi (S)

n
S= √∑i=1
¿¿ ¿ ¿..................................................................................................(2.13)

c. Koefisien variasi ( Cv)

S
Cv= ............................................................................................................(2.14)

d. Koefisien kemencengan (Cs)


n
Cs=n ∑ ¿ ¿ ¿..................................................................................................(2.15)
i=1

e. Koefisien kurtosis (Ck)


n
Ck=n 2 ∑ ¿ ¿ ¿................................................................................................(2.16)
i=1

Tabel 2.2. Distribusi Log Person III untuk koefisiensi kemencengan


Periode Ulang (Tahun)
Kemencengan
2 5 10 25 50 100 200 1000
Peluang (%)
Cs
50 20 10 4 2 1 0.5 0.1
3,0 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 4,051 4,970 7,250
2,5 -0,360 0,518 1,250 2,262 3,048 3,845 4,652 6,600
2,2 -0,330 0,574 1,840 2,240 2,970 3,705 4,444 6,200
2,0 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,912 3,605 4,298 5,910
1,8 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499 4,147 5,660
1,6 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388 3,990 5,390
1,4 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271 3,828 5,110
1,2 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149 3,661 4,820
1,0 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022 3,489 4,540
0,9 -0,148 0,769 1,339 2,018 2,498 2,957 3,401 4,395
0,8 -0,132 0,780 1,336 1,998 2,453 2,891 3,312 4,250
0,7 -0,116 0,790 1,333 1,967 2,407 2,824 3,223 4,105
0,6 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 2,755 3,132 3,960
0,5 -0,083 0,808 1,323 1,910 2,311 2,686 3,041 3,815
0,4 -0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 2,615 2,949 3,670
0,3 -0,050 0,824 1,309 1,849 2,211 2,544 2,856 5,525
0,2 -0,033 0,831 1,301 1,818 2,159 2,472 2,763 3,380
0,1 -0,017 0,836 1,292 1,785 2,107 2,400 2,670 3,235
0,0 0,000 0,842 1,282 1,751 2,054 2,326 2,576 3,090
-0,1 0,017 0,836 1,270 1,761 2,000 2,525 2,482 3,950
-0,2 0,033 0,850 1,258 1,680 1,945 2,178 2,388 2,810
-0,3 0,050 0,830 1,245 1,643 1,890 2,104 2,294 2,675
-0,4 0,066 0,855 1,231 1,606 1,834 2,029 2,201 2,540
-0,5 0,083 0,856 1,216 1,567 1,777 1,955 2,108 2,400
-0,6 0,099 0,857 1,200 1,528 1,720 1,880 2,016 2,275
-0,7 0,116 0,857 1,183 1,488 1,663 1,806 1,926 2,150
-0,8 0,132 0,856 1,166 1,488 1,606 1,733 1,837 2,035
-0,9 0,148 0,854 1,147 1,407 1,549 1,660 1,749 1,910
-1,0 0,164 0,852 1,128 1,366 1,492 1,588 1,664 1,800
-1,2 0,195 0,844 1,086 1,282 1,379 1,449 1,501 1,625
-1,4 0,225 0,832 1,041 1,198 1,270 1,318 1,351 1,465
-1,6 0,254 0,817 0,994 1,116 1,166 1,200 1,216 1,280
-1,8 0,282 0,799 0,945 1,035 1,069 1,089 1,097 1,130
-2,0 0,307 0,777 0,895 0,959 0,980 0,990 1,995 1,000
-2,2 0,330 0,752 0,844 0,888 0,900 0,905 0,907 0,910
-2,5 0,360 0,711 0,771 0,793 1,798 0,799 0,800 0,802
-3,0 0,396 0,636 0,636 0,666 0,666 0,667 0,667 0,668
(Sumber : Soemarto. 1999)

Tabel 2.3. Syarat pemilihan metode frekuensi


Distribusi Syarat
Normal Cs≈ 0, Ck ≈ 3
Log normal Cs = 3 Cv
Gumbel Css = 1.14, Ck = 5.4
Log person III Selain nilai diatas
(Sumber : Triatmodjo, Bambang. 2008)

2.2.4. Uji Kesesuaian Distribusi

Uji Kesesuaian ini di maksudkan untuk menentukan apakah persamaan

distribusi peluang yang terpilih dapat mewakili dari distribusi statistic sampel data

yang dianalisis. Ada dua cara yang dapat digunakan untuk menguji apakah jenis

distribusi yang dipilih sesuai dengan data yang ada. Untuk melakukan uji ini, maka

data dan hasil yang diperoleh secara teoritik harus diplot pada kertas distribusi

frekuensi sesuai dengan metode yang digunakan. (Triatmodjo,Bambang2008)

2.2.4.1. Uji Chi-kuadrat (Chi-Square)

Metode ini digunakan untuk menguji simpangan secara vertical, yang di

tentukan menggunakan persamaan berikut ini (Triatmodjo, Bambang. 2008) :


N
X 2 h=∑ ¿ ¿ ¿.........................................................................................................(2.17)
i=1

dengan :
X2 h = parameter Chi kuadrat hitungan

N = jumlah sub kelompok dalam satu grup

Of = jumlah nilai pengamatan pada sub

Ef = jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke-i

Jumlah kelas distribusi dihitung dengan rumus :

K = 1 + 3.332 log n...............................................................................................(2.18)

Sedangkan harga derajat kebebasan dapat dicari dengan rumus

Dk = k – (α+1)......................................................................................................(2.19)

dengan :

Dk (v) = derajat kebebasan

K = jumlah kelas distribusi

α = parameter, untuk chi-kuadrat = 2

Interpretasi hasil uji adalah sebagai berikut :

1) Jika hasil uji peluang ≥ 5%, maka persamaan distribusi teoritis yang

digunakan dapat diterima

2) Jika hasil uji peluang berada di antara 1-5%, maka tidak mungkin mengambil

keputusan, misal perlu data tambahan,

3) Jika hasil uji peluang ≤1%, maka persamaan yang digunakan dapat diterima.

Tabel 2.4. Nilai X2kritis untuk uji kecocokan Chi-Square


α Derajat Kepercayaan
Dk
0,995 0,99 0,975 0,95 0,05 0,025 0,01 0,005
1 0,0000393 0,000157 0,000982 0,00393 3,841 5,024 6,635 7,879
2 0,0100 0,0201 0,0506 0,103 5,991 7,378 9,210 10,597
3 0,0717 0,115 0,216 0,352 7,815 9,348 11,345 12,838
4 0,207 0,297 0,484 0,711 9,488 11,143 13,227 14,860
5 0,412 0,554 0,831 1,145 11,070 12,832 15,086 16,750
6 0,676 0,872 1,237 1,635 12,592 14,449 16,812 18,548
7 0,989 1,239 1,690 2,167 14,067 16,013 18,475 20,278
8 1,344 1,646 2,180 2,733 15,507 17,535 20,090 21,955
9 1,735 2,088 2,700 3,325 16,919 19,023 21,666 23,598
10 2,156 2,558 3,247 3,940 18,307 20,483 23,209 25,188
11 2,603 3,053 3,816 4,575 19,675 21,920 24,725 26,757
12 3,074 3,571 4,404 5,266 21,026 23,337 26,217 28,300
13 3,565 4,107 5,009 5,892 22,362 24,736 27,688 29,819
14 4,075 4,660 5,629 6,571 23,685 26,119 29,141 31,319
15 4,601 5,229 6,262 7,261 24,996 27,488 30,578 32,801

α Derajat Kepercayaan
Dk
0,995 0,99 0,975 0,95 0,05 0,025 0,01 0,005
16 5,142 5,812 6,908 7,962 26,296 28,845 32,000 34,267
17 5,697 6,408 7,564 8,672 27,587 30,191 33,409 35,718
18 6,265 7,015 8,231 9,390 28,869 31,526 34,805 37,156
19 6,844 7,663 8,907 10,117 30,114 32,852 36,191 38,582
20 7,434 8,260 9,591 10,851 31,41 34,170 37,566 39,997
21 8,034 8,897 10,283 11,591 32,671 35,479 38,932 41,401
22 8,643 9,542 10,982 12,338 33,924 36,781 40,289 42,796
23 9,260 10,196 11,698 13,091 36,172 38,076 41,683 44,181
24 9,886 10,856 12,401 13,848 36,415 39,364 42,980 45,558
25 10,520 11,524 13,210 14,611 37,652 40,646 44,314 46,928
26 11,160 12,198 13,844 15,379 38,885 41,923 45,642 48,290
27 11,808 12,879 14,573 16,151 40,113 43,194 46,963 49,645
28 12,461 13,565 15,308 16,928 41,337 44,461 48,278 50,993
29 13,121 14,256 16,047 17,708 42,557 45,772 49,588 52,336
30 13,787 14,953 16,791 18,493 43,773 46,979 50,982 53,672
(Sumber : Soewarno, 1995)

2.2.4.2. Uji Smirnov-Kolmogorov

Pengujian kecocokan Smirnov-Kolmogorov sering juga disebut uji

kecocokan (non parametik test), karena pengujiannya tidak menggunakn fungsi

distribusi tertentu. Dan pengujian ini dimaksudkan untuk mencocokkan sebaran

yang telah dibuat pada perhitungan sebelumnya benar, yaitu berupa garis yang

telah dibuat pada kertas distribusi peluang. Namun sebelum melakukan uji

kecocokan dilakukan plotting data dengan tahapan sebagai berikut :

1. Data hujan maksimum tahunan disusun dari kecil ke besar

2. Menghitung probabilitas empiris dengan rumus weilbull ( Sri Harto,1993)


m
P= ..........................................................................................................(2.20)
n+1

dimana :

P = probabilitas

m = nomor urut data

n = jumlah data

3. Menghitung probabilitas distribusi teoritis :

P=100−¿P’%..................................................................................................(2.21)

Dalam bentuk persamaan dapat ditulis (Triatmodjo, Bambang 2008) :

∆ max❑=maksimum [ P−P' ].................................................................................(2.22)

dengan :

∆ max ❑ = penyimpangan absolut peluang teoritis dan pengamatan,

P = peluang teoritis,

P’ = peluang empiris

Tabel 2.5. Tabel nilai kritis Do untuk Uji Smirnov-kolmogorov


Level of signifikan α (%)
N
20 10 5 1
5 0,45 0,51 0,56 0,67
10 0,32 0,37 0,41 0,49
15 0,27 0,30 0,34 0,40
20 0,23 0,26 0,29 0,35
25 0,21 0,24 0,27 0,32
30 0,19 0,22 0,24 0,29
35 0,18 0,20 0,23 0,27
40 0,17 0,19 0,21 0,25
45 0,16 0,18 0,20 0,24
50 0,15 0,17 0,19 0,23
1,07 1,22 1,36 1,63
n>50
√n √n √n √n
(Sumber : Triatmodjo, Bambang. 2008)
2.2.5. Distribusi Hujan Jam-jaman

Sebaran hujan per jam dihitung dengan menggunakan rumus Dr.

Mononobe sebagai berikut (Sosrodarsono, Suyono. 2003) :

R 24
Rt = ¿.................................................................................................................(2.23)
24

dimana :

Rt = intensitas curah hujan (mm/jam)

t = lamanya curah hujan/ durasi curah hujan ( jam)

R24 = curah hujan rencana dalam suatu periode ulang, yang nilainya didapat

dari tahapan sebelumnya ( tahapan analisis frekuensi).

2.2.6. Koefisien Pengaliran

Koefisien Pengaliran adalah suatu variable yang didasarkan pada kondisi

daerah aliran sungai dan karakteristik hujan yang jatuh di daerah tersebut. Adapun

kondisi dan karakteristiknya adalah sebagai berikut :

 Keadaan hujan

 Luas dan bentuk daerah aliran

 Kemiringan daerah aliran dan kemiringan dasar sungai

 Daya infiltrasi dan perkolasi tanah

 Kelembaban tanah, suhu udara dan angin serta evaporasi

 Tata guna lahan


Tabel 2.6. Angka koefisien pengaliran
No Kondisi DAS Angka Pengaliran
1 Pegunungan 0,75-0,90
2 Pegunungan tersier 0,70-0,80
3 Tanah berelief berat dan hutan 0,50-0,75
4 Daerah pertanian 0,45-0,60
5 Daerah sawah irigasi 0,70-0,80
6 Sungai di pegunungan 0,75-0,85
7 Sungai di dataran rendah 0,45-0,75
8 Sungai besar yang sebagian alirannya 0,50-0,75
berada di dataran rendah
(Sumber :Sosrodarsono, Suyono 2002)

2.2.7. Curah Hujan Efektif

Curah hujan efektif merupakan bagian dari hujan total yang menghasilkan

limpasan langsung (direct run off). Bentuk limpasan langsung ini dapat berupa

limpasan permukaan dan interflow. Besarnya hujan efektif dapat dinyatakan sebagai

berikut (Soemarto, 1986) :

Reff = C.R................................................................................................................(2.24)

dimana :

Reff = hujan efektif (mm)

C = koefisien pengaliran

R = curah hujan nyata (mm)


2.2.8. Analisa Debit Banjir

Debit banjir digunakan sebagai dasar untuk merencanakan tingkat

pengamanan bahaya banjir pada suatu kawasan dengan penerapan angka-angka

kemungkinan terjadinya banjir terbesar.

2.2.8.1. Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

Perhitungan banjir rencana pada bendungan Greneng di hitung dengan

menggunakan unit hidrograf metode Nakayasu dengan tahapan perhitungan

sebagai berikut (Triatmodjo, Bambang 2008) :

1. Menentukan Tp , T0,3 dan Qp

Tp= Tg + 0,8 Tr................................................................................................................................................................ (2.25)

T = 0,5 Tg s/d Tg .............................................................................................(2.26)

Tg= 0,4 + 0,58 L, untuk L > 15 km................................................................(2.27)

Tg= 0,21L0,7, untuk L < 15 km........................................................................(2.28)

T0,3 = α Tg.......................................................................................................(2.29)

yaitu : α = 2 => pada daerah banjir (m3/detik)

α = 1,5 => pada bagian naik hidrograf lambat, dan turun cepat

α = 3 => pada bagian naik hidrograf cepat, turun lambat

Tr = satuan waktu dari curah hujan yang besarnya yaitu ( 0,5-1,0 ) x Tg

Q
p=
CA R 0
................................................................................................(2.30)
3,6 (0,3 T p+T 0,3 )

dimana :
Qp = debit puncak banjir (m3/det)

C = koefisien pengaliran

A = luas daerah aliran sungai (km2)

Ro = hujan satuan, 1 mm

Tp = waktu puncak (jam)

T0,3 = waktu yang di perlukan untuk penurunan debit, dari debit puncak

menjadi 30% dari debit puncak (jam)

Tr = satuan waktu hujan

Tg = waktu konsentrasi (jam), ditentukan berdasarkan L

2. Menentukan keadaan kurva sebagai berikut :

Gambar 2.2. Hidrograf satuan Metode Nakayasu


(Sumber : Triatmodjo, Bambang. 2008)

a) Keadaan Kurva naik, dengan 0 < Q < Qp

Q=Qp ¿.....................................................................................................(2.31)

b) Keadaan kurva turun Q > 0,3 Qp


t −Tp

Q=Qp . 0,3
(
T 0,3
)
.........................................................................................(2.32)
c) Keadaan Kurva Turun 0,32 Qp < Q < 0,3 Qp
t −Tp+0,5 T 0,3
(
1,5T 0,3
)
.................................................................................(2.33)
Q=Qp . 0,3

d) Keadaan kurva turun Q < 0,32 Qp


t −Tp+0,5 T 0,3
(
2 T 0,3
)
.................................................................................(2.34)
Q=Qp . 0,3

Selanjutnya hubungan antara t dan Q/Ro untuk setiap kondisi kurva dapat di

gambarkan melalui grafik.

2.2.8.2. Metode Rasional

Menurut Wanielista (1990) metode rasional adalah kaitan antara run-off

dengan intensitas curah hujan awalnya hanya digunakan untuk memperkirakan

debit puncak (peak discharge) rumus yang dipakai adalah persamaan :

Qn = 0,278 x C x I x A..........................................................................................(2.35)

R
I= x ¿................................................................................................................(2.36)
24

dimana :

Qn = debit maksimum

I = intensitas hujan selama t jam (mm/jam)

Tc = waktu konsentrasi (jam)

C = koefisien

A = luas DAM (km2)

R = curah hujan rancangan (mm/hari)

Konstanta 0,278 adalah faktor konversi debit puncak ke satuan dalam m 3/detik

(Seyhan. 1990).
2.3. Analisa Kebutuhan Air

Bendungan Greneng selain digunakan sebagai tempat penyimpanan air

juga direncanakan sebagai sarana air baku dan air irigasi.

2.3.1. Evapotranspirasi

Evapotranspirasi adalah proses menguapnya air pada lahan, permukaan air,

dan tumbuhan yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. Karena pada

kenyataannya kita tidak dapat membedakan secara jelas dan pasti berapa jumlah air

yang menguap secara evaporasi dan berapa air yang menguap secara transpirasi,

Karena itulah untuk mempermudah menghitung jumlah air yang menguap pada

suatu lahan, tercipta suatu proses evapotranspirasi.

Proses evapotranspirasi sangat membantu dalam menentukan jumlah

ketersediaan air maupun menghitung curah hujan di suatu wilayah.

Persamaan yang digunakan dalam perhitungan kebutuhan air tanaman adalah

sebagai berikut (Suhardjono,1994) :

Cu = c .Eto...............................................................................................................(2.37)

dimana :

Cu = penggunaan konsumtif

C = koefisien tanaman

Eto = evapotranpirasi potensil (mm/hari)

Eto = C (W. Rn + (1-W) . f(U) . (ea-ed)..................................................................(2.38)

dimana :

c = faktor koreksi Penman


W = faktor penimbang untuk suhu dan elevasi daerah

Rs = jumlah radiasi gelombang pendek

n
(
Rs= 0,25+ 0,54
N )
x Ra ..........................................................................................(2.39)

Ra = radiasi gelombang pendek yang memenuhi batas luar atmosfer

(mm/hari)

n = rata-rata cahaya matahari sebenarnya dalam satu hari (jam)

N = lama cahaya matahari maksimum yang mungkin dalam satu hari (jam)

Rn = radiasi bersih gelombang panjang (mm/hari)

Rn=f ( t ) x f ( d ) x f ( Nn )..............................................................................................(2.40)
f(t) = fungsi suhu

f(ed) = fungsi tekanan uap

f(n/N) = fungsi kecerahan matahari

f ( Nn )=0,1+0,9 Nn ...................................................................................................(2.41)
f(u) = fungsi kecepatan angin

f ( u )=0,27(1+u x 0,864)..........................................................................................(2.42)

ea-ed = defisit tekanan uap yaitu selisih antara tekanan uap jenuh (ea) pada T

rata-rata dalam (mbar) dan tekanan uap sebenarnya (ed) dalam (mbar)

RH
ed =ea . .............................................................................................................(2.43)
100

RH = kelembaban udara relative (%)


Tabel 2.7. Hubungan T dengan Ea, W dan f(t)
Suhu W W (1-w) (1-w)
Ea
(t) Elevasi Elevasi Elevasi Elevasi F(t)
℃ Mbar 0 250 0 250
24 29.85 0.73 0.735 0.27 0.265 15.4
24.2 30.21 0.732 0.737 0.268 0.263 15.45
24.4 30.57 0.734 0.739 0.266 0.261 15.5
24.6 30.94 0.736 0.741 0.264 0.259 15.55
24.8 31.31 0.738 0.743 0.262 0.257 15.6
25 31.69 0.74 0.745 0.26 0.255 15.65
25.2 32.06 0.742 0.747 0.258 0.253 15.7
25.4 32.45 0.744 0.749 0.256 0.251 15.75
25.6 32.83 0.746 0.751 0.254 0.249 15.8
25.8 33.22 0.748 0.753 0.252 0.247 15.85
26 33.62 0.75 0.755 0.25 0.245 15.9
26.2 34.02 0.752 0.757 0.248 0.243 15.94
26.4 34.42 0.754 0.759 0.246 0.241 15.98
26.6 34.83 0.756 0.761 0.244 0.239 16.02
26.8 35.25 0.758 0,763 0.242 0.237 16.06
27 35.66 0.76 0.765 0.23 0.235 16.1
27.2 36.09 0.762 0.767 0.238 0.233 16.14
27.4 36.5 0.764 0.769 0.236 0.231 16.18
27.6 36.94 0.766 0.771 0.234 0.229 16.22
27.8 37.37 0.768 0.773 0.232 0.227 16.26
28 37.81 0.77 0.775 0.23 0.225 16.3
28.2 38.25 0.771 0.777 0.229 0.223 16.34
28.4 38.7 0.772 0.779 0.228 0.221 16.38
28.6 39.14 0.773 0.781 0.227 0.219 16.42
28.8 39.61 0.774 0.783 0.226 0.217 16.46
29 40.06 0.775 0.785 0.225 0.215 16.5
(Sumber: Suhardjono, 1994)

Tabel 2.8. Besaran nilai angot (Ra) dalam evaporasi ekuivalen dalam hubungannya
dengan letak Lintang
Lintang Utara Lintang Selatan
Bulan
5 4 2 0 2 4 6 8 10
Januari 13 14.3 14.7 15 15.3 15.5 15.8 16.1 16.1
Februari 14 15 15.3 15.5 15.7 15.8 16 16.1 16
Maret 15 15.5 15.6 15.7 15.7 15.6 15.6 15.5 15.3
April 15.1 15.5 15.3 15.3 15.7 14.9 14.7 14.4 14
Mei 15.3 14.9 14.6 14.4 14.1 13.8 13.4 13.1 12.6
Juni 15 14.4 14.2 13.9 13.5 13.2 12.8 12.4 12.6
Juli 15.1 14.6 14.3 14.1 13.7 13.4 13.1 12.7 11.8
Agustus 15.3 15.1 14.9 14.8 14.5 14.3 14 13.7 12.2
Lintang Utara Lintang Selatan
Bulan
5 4 2 0 2 4 6 8 10
September 15.1 15.3 15.3 15.3 15.2 15.1 15 14.9 13.3
Oktober 15.7 15.1 15.3 15.4 15.5 15.6 15.7 15.8 14.6
November 14.3 14.5 14.8 15.1 15.3 15.5 15.8 16 15.6
Desember 14.6 14.1 14.8 14.8 15.1 15.4 15.7 16 16
(Sumber : Suhardjono. 1994)

Tabel 2.9. Besar angka koefisien bulanan untuk rumus Penman


Bula
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
n
C 1.1 1.1 1 0.9 0.9 0.9 0.9 1 1.1 1.1 1.1 1.1
(Sumber: Suhardjono. 1994)

Tabel 2.10. Nilai lama penyinaran matahari (N)


Bulan 50oS 40oS 30oS 20oS 10oS 0 10oN 20oN 30oN 40oN 50oN
Jan 15.9 14.7 13.9 13.2 12.6 12.1 11.6 11.1 10.4 9.7 8.6
Feb 14.5 13.8 13.2 12.8 12.5 12.1 11.8 11.5 11.1 10.6 10.0
Mar 12.7 12.5 12.4 12.3 12.2 12.1 12.1 12.0 12.0 11.9 11.8
Apr 10.8 11.2 11.5 11.7 11.9 12.1 12.3 12.6 12.9 13.2 13.7
Mei 9.1 10.0 10.7 11.2 11.7 12.1 12.6 13.1 13.6 14.3 15.4
Jun 8.2 9.4 10.3 10.9 11.6 12.1 12.7 13.3 14.0 15.0 16.3
Jul 8.6 9.7 10.4 11.1 11.6 12.1 12.6 13.2 13.9 14.7 15.9
Agu 10.0 10.6 11.1 11.5 11.8 12.1 12.5 12.8 13.2 13.8 14.5
Sep 11.8 11.9 12.0 12.0 12.1 12.1 12.1 12.3 12.4 12.5 12.7
Okt 13.7 13.2 12.9 12.6 12.3 12.1 11.9 11.7 11.5 11.2 10.8
Nov 15.4 14.3 13.6 13.1 12.6 12.1 11.7 11.2 10.7 10.0 9.1
Des 16.3 15.0 14.0 13.3 12.7 12.1 11.6 10.9 10.3 9.4 8.2
(Sumber : Suhardjono. 1994)

2.4. Analisa Debit Andalan

Debit andalan merupakan debit minimal yang sudah di tentukan yang dapat

dipakai untuk memenuhi kebutuhan air. Perhitungan ini menggunakan cara analisis

water balance dari Dr.F.J. Mock berdasarkan data curah hujan bulanan, jumlah hari

hujan,evapotranspirasi dan karakteristik hidrologi daerah pengaliran.

Prinsip perhitungan ini adalah bahwa hujan yang jatuh dari atas tanah

(presipitasi) sebagian akan hilang karena penguapan (evaporasi), sebagian akan


hilang menjadi aliran permukaan (direct run off) dan sebagian akan masuk ke tanah

(infiltrasi). Infiltrasi mula-mula menjenuhkan permukaan (top soil) yang kemudian

menjadi pekolasi dan akhirnya keluar ke sungai sebagai base flow. Untuk dapat

melakukan studi keseimbangan air (water balance), maka perlu terlebih dahulu

diketahui besarnya ketersediaan air.

2.4.1. Metode F.J. Mock

Metode F.J. Mock ini digunakan untuk menghitung ketersediaan air pada

sungai Kali Tepas yang memiliki aliran permukaan. Neraca air diatas permukaan

tanah, meliputi daya serap (soil storage) terhadap hujan netto (hujan setelah

dikurangi evapotranspirasi actual) yang akan mempengaruhi kondisi kelembaban

tanah (soil moisture contents). Neraca air akan menyumbangkan (atau bisa juga

tidak) aliran langsung (direct run off) yang merupakan kelebihan air setelah

dikurangi dengan laju infiltrasi berdasarkan koefisien infiltrasi yang ditetapkan.

Neraca air dibawah permukaan sangat dipengaruhi oleh laju infiltrasi dan

perkolasi yang mencapai muka air tanah. Neraca air akan mempengaruhi kondisi

kandungan air tanah (storage volume) yang berubah dari waktu ke waktu sehingga

pada akhirnya akan memberikan sumbangan (bisa juga tidak) berupa aliran dasar

yang dapat menuju ke dalam sungai.

Adapun parameter Metode F.J.Mock adalah sebagai berikut :

a. Koefisien refleksi (r) yaitu perbandingan antara jumlah radiasi matahari yang

dipantulkan oleh suatu permukaan dengan jumlah radiasi yang terjadi, yang di

nyatakan dalam persen.


Tabel 2.12. Koefisien Refleksi (Nilai Albedo)
Permukaan Koef Refleksi
Rata-rata permukaan bumi 40%
Cairan salju yang jatuh diakhir musim segar 40-85%
Spesies tumbuhan padang pasir daun berbulu 30-40%
Rumput, tinggi dan kering 31-33%
Permukaan padang pasir 24-28%
Tumbuhan hijau yang membayangi seluruh tanah 24-27%
Tumbuhan muda yang membayangi sebagian tanah 15-24%
Hutan musiman 15-20%
Hutan yang menghasilkan buah 10-15%
Tanah gundul kering 12-16%
Tanah gundul lembab 10-12%
Tanah gundul basah 8-10%
Pasir, basah-kering 9-18%
Air bersih, elevasi matahari 45o 5%
Air bersih, elevasi matahari 20o 14%
(Sumber: F.J Mock, 1973)

b. Exposed surface (m)

Asumsi proposi permukaan luar yang tidak tertutupi tumbuhan hijau pada

musim kering dan dinyatakan dalam persen. Besarnya harga m ini, tergantung

daerah yang diamati. Mock mengklasikasi menjadi 3 bagian daerah, yaitu daerah

hutan primer atau sekunder, daerah tererosi dan ladang pertanian.

Tabel 2.13. Exposed surface


M Daerah
0% Hutan primer, sekunder
10-40% Daerah tererosi
30-50% Daerah ladang pertanian
(Sumber :F.J Mock, 1973)

c. Koefisien infiltrasi (if)

Koefisien yang didasarkan pada kondisi prioritas tanah dan kemiringan

daerah pengaliran.

d. Konstanta resesi aliran (K)


Proporsi dari air tanah bulan lalu yang masih ada bulan sekarang. Pada

bulan hujan nilai K ini berbeda-beda. Harga K suatu bulan relatif lebih besar jika

bulan sebelumnya merupakan bulan basah. Untuk permukaan air nilai K = 0,50

dan permukaan vegetasi nilai K = 1,0.

e. Percentage factor (PF)

Presentase hujan yang menjdi limpasan. Digunakan dalam perhitungan

storm run off pada total run off. Storm run off hanya dimasukkan ketotal run off,

bila P lebih kecil dari nilai maksimum soil moisture capacity. Besarnya PF oleh

Mock disarankan berkisar antara 5%-10%.

Tabel 2.14. Nilai SMC untuk berbagai Tipe Tanaman dan Tanah
Zona Akar Soil moisture Capacity
Tipe Tanaman Tipe Tanah
(m) (mm)
Pasir halus 0,5 50
Pasir halus dan loam 0,5 75
Tanah berakar pendek Lanau loam 0,62 125
Lempung dan loam 0,4 100
Lempung 0,25 75
Pasir halus 0,75 75
Pasir halus dan loam 1 150
Tanah berakar sedang Lanau loam 1 200
Lempung dan loam 0,8 200
Lempung 0,5 150
Pasir halus 1 100
Pasir halus dan loam 1 150
Tanah berakar dalam Lanau loam 1,25 250
Lempung dan loam 1 250
Lempung 0,67 200
Pasir halus 1,5 150
Pasir halus dan loam 1,67 250
Tanaman palm Lanau loam 1,5 300
Lempung dan loam 1 250
Lempung 0,67 200
Pasir halus 2,5 250
Pasir halus dan loam 2 300
Mendekati hutam alam Lanau loam 2 400
Lempung dan loam 1,67 400
Lempung 1,17 350
(Sumber : Tjahjadi. 1999)

Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :

 Evaporasi aktual (Eta)

Eta=Etp−E.......................................................................................................(2.44)

E=Etp . ( Ndn ) . m.................................................................................................(2.45)


Nd=N−Nr.........................................................................................................(2.46)

N −Nr
Sehingga Eta=Etp−( Etp . )....................................................................(2.47)
N .m

 Neraca air dipermukaan

Rnet =( R−Eta)..................................................................................................(2.48)

 Daya serap tanah atas air (SS), diawali simulasi jika Rnet>SMC, maka SS = 0

SS=SMt−SMT −1.............................................................................................(2.40)

 Kelembaban tanah (SM)

SM =SMT −1+ SSt, dengan 0<SM<SMC..........................................................(2.50)

 Kelebihan air (WS)

WS=Rnet −SS ,dengan WS>0............................................................................(2.51)

 Infiltrasi (I)

I =Ci . WS............................................................................................................(2.52)

 Kandungan air tanah (V)

V =0,5 (1+ k ) . I + k .Vt −1....................................................................................(2.53)

 Beda kandungan air tanah


Dv=Vt−Vt−1....................................................................................................(2.54)

 Aliran dasar (BF)

BF=I −Dv..........................................................................................................(2.55)

 Limpasan langsung (DRO)

DRO=WS−1......................................................................................................(2.56)

 Limpasan permukaan (RO)

RO=BF + DRO...................................................................................................(2.57)

dimana :

Rnet = hujan netto (mm)

R = hujan (mm)

Etp = evapotranspirasi potensial (mm)

Eta = evapotranspirasi aktual (mm)

Nd = jumlah hari kering (tidak hujan) (hari)

Nr = jumlah hari hujan (hari)

WS = kelebihan air (mm)

SS = daya serap tanah atas air (mm)

SM = kelembaban tanah (mm)

dV = perubahan kandungan air tanah (mm)

V = kandungan air tanah (mm)

I = laju infiltrasi (mm)

Ci = koefisien resapan (<1)

k = koefisien resesi aliran air tanah (<1)

DRO = aliran langsung (mm)


BF = aliran air tanah (mm)

RO = aliran permukaan (mm)

H = jumlah hari kalender dalam sebulan (hari)

A = luas DPS (km2)

Q = debit aliran permukaan (m3/det)

t = waktu tinjau (periode sekarang t dan yang lalu t-1)

2.5. Analisa Tampungan

Hal yang terpenting dari bendungan adalah kapasitas bendung atau

kapasitas tampungan yang meliputi :

 Kapasitas efektif : volume tampungan dari embung yang dapat dimanfaatkan

untuk melayani kebutuhan air yang ada.

 Kapasitas mati : volume tampungan untuk sedimen

Kapasitas tampungan tersebut perlu diketahui sebab merupakan dasar untuk

perencanaan seperti bendung.

2.5.1. Analisa Tampungan Mati

Tampungan mati adalah tampungan yang selalu tetap dalam bendungan

yang berguna untuk menampung sedimen yang lewat

2.5.1.1. Kapasitas Tampungan Sendimen

Sedimentasi pada bendung terjadi akibat adanya kegiatan erosi di daerah

DAS. Laju erosi DAS dipengaruhi beberapa faktor antara lain :


 Kondisi geologi meliputi struktur geologi, jenis bahan dan penyebarannya,

tingkat pelapukan batuan, daya tahan batuan terhadap pengaruh cuaca dan

lain-lain.

 Kondisi topografi meliputi kondisi perbukitan atau pegunungan dan tingkat

kemiringan daerah.

 Kondisi meteorologi yaitu karakteristik hujan meliputi intensitas, frekuensi

serta durasi hujan.

 Kondisi penutup permukaan tanah.

 Kondisi tata guna lahan

Karakteristik hidrolika sungai meliputi debit sungai, kecepatan aliran,

konfigurasi alur sungai, bentuk penampang melintang sungai, kemiringan dan

kekasaran batuan pembentuk alur sungai. Kegiatan manusia terdiri dari

kegiatan di DAS meliputi pengusahaan pertanian, pengusahaan hutan,

pembuatan jaringan jalan, perkampungan dan lain-lain. Sedangkan kegiatan

langsung di sungai yaitu pembuatan bangunan pada sungai. Karakteristik

bedungan meliputi kapasitas bendung, kedalaman bendung, fluktuasi

permukan di bendung dan adanya waduk-waduk di sebelah hulunya. Namun

karena pekerjaan tersebut belum pernah dilakukan, maka estimasi

sedimentasi yang terjadi dilakukan dengan perhitungan empiris, yaitu dengan

Metode USLE (Universal Soil Loss Equation).


Parameter dan perhitungan pada analisis sedimen dengan Metode

USLE (Universal Soil Loss Equation)sebagai berikut :

 Erosivitas hujan

 Erodibilitas tanah

 Faktor panjang dan kemiringan lereng

 Faktor konservasi tanah dan pengelolaan tanaman

 Pendugaan laju erosi potensial (E-pot)

 Pendugaan laju erosi actual (E-akt)

 Pendugaan laju sedimentasi potensial

2.5.1.2. Erosivitas hujan

Erovitas merupakan kemampuan hujan untuk menimbulkan atau

menyebabkan erosi. Indeks erosivitas hujan yang digunkan adalah EI30.

Kemampuan air hujan sebagai penyebab terjadinya erosi adalah bersumber dari

laju dan distribusi tetesan air hujan, dimana keduanya mempengaruhi energi

kinetik air hujan. Erosivitas hujan sangat berkaitan dengan energi kinetic atau

momentum, yaitu parameter yang berasosiasi dengan laju curah hujan atau volume

hujan. (Asdak, 1995). Persamaan yang digunakan dalam menghitung erosivitas

hujan sebagai berikut :

E I30 = E x I30 x 10-2...............................................................................................(2.58)

E = 14,374 R1,075....................................................................................................(2.59)

R
I30 = ................................................................................................(2.60)
77,178+ 1,01 R
dimana :

E I30 = indeks erosivitas hujan ( ton cm/Ha jam)

E = energi kinetik curah hujan ( tom m/Ha cm)

R = curah hujan bulanan (mm)

I30 = intensitas hujan maksimum selama 30 menit

2.5.1.3. Erodibilitas Tanah

Erodibilitas tanah adalah mudah tidaknya tanah tererosi. Tanah dengan

erodibilitas tinggu akan lebih mudah tererosi dari pada tanah-tanah dengan

erodibiltas rendah jika keduanya terdapat pada daerah yang sama ( Hudson, 1975).

Erodibilitas tanah dapat dinilai berdasarkan sifat-sifat fisik tanah sebagai berikut :

Tabel 2.15. Faktor Erodibilitas Tanah Berdasarkan Tekstur Tanah


No Tesktur tanah Kriteria K
1 Lempung Halus 0,02
2 Geluh lempungan Agak halus 0,04
3 Geluh pasiran Sedang 0,30
4 Pasir halus Agak kasar 0,20
5 Pasir Kasar 0,70
(Sumber : RKLT, Buku II. 1985)

2.5.1.4. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)

Proses erosi dapat terjadi pada lahan dengan kemiringan lebih besar dari

2%. Untuk lahan yang kemiringannya kurang dari 2%, kemungkinan terjadinya

erosi sangat kecil atau tidak terjadi. Dalam menghitung nilai LS, dengan

persamaan sebagai berikut (Hudson. 1976) :

 Untuk kemiringan lereng 2%-205

LS = L/100 ( 0,76 +0,53 + 0,76 S2)..................................................................(2.61)

Dalam sistem metrik rumus tersebut berbentuk :


LS = L/100 (0,0136 + 0,0965 S + 0,0139 S2)...................................................(2.62)

 Untuk kemiringan lereng > 20%

S 1,4
LS =¿)0,6 x ( ) ..............................................................................................(2.63)
9

dimana :

L = panjang lereng (m)

S = kemiringan lereng (%)

2.5.1.5. Faktor Konversi Tanah dan Pengelolaan Tanaman

Faktor pengelolaan tanaman (C) adalah perbandingan antara kehilangan

tanah dari lahan yang diusahakan untuk penanaman dengan suatu system

pengolahan, terhadap kehilangan tanah apabila lahan tersebut diolah secara terus

menerus tanpa di tanami. Faktor tindakan manusia dalam pengawetan tanah (P)

adalah perbandingan antara besarnya erosi tanah yang hilang pada lahan dengan

tindakan pengawetan tertentu, terhadap besarnya erosi tanah apabila pada lahan

tersebut tanpa tindakan pengawetan tanah (Soewarno. 1991).

Tabel 2.16. Faktor CP untuk berbagi jenis penggunaan lahan di pulau jawa
Nilai
Konservasi dan pengelolaan tanaman
CP
Hutan :
a. Tak terganggu 0,01
b. Tanpa tumbuhan bawah, disertai seresah 0,05
c. Tanpa tumbuhan bawah, tanpa seresah 0,5
Kebun :
a. Kebun talun 0,02
b. Kebun pekarangan 0,2
Perkebunan :
a. Penutupan tanah sempurna 0,01
b. Penutupan tanah sebagian 0,7
Perumputan :
a. Penutupan tanah sempurna 0,01
b. Penutupan tanah sebagian : di tumbuhi alang-alang 0,02
c. Alang-alang : pembakaran sekali setahun 0,06
d. Serai wangi 0,65
Tanaman pertanian :
a. Umbi-umbian 0,51
b. Biji-bijian 0,51
c. Kacang-kacangan 0,36
d. Campuran 0,43
e. Padi irigasi 0,02
Peladangan :
a. 1 tahun tanam - 1 tahun bero 0,28
b. 1 tahun tanam – 2 tahun bero 0,19
Pertanian dengan konservasi :
a. Mulsa 0,14
b. Teras bangku 0,04
c. Contour cropping 0,14
(Sumber : Chay Asdak. 1995)

2.5.1.6. Pendugaan Laju Erosi Potensial (E-Pot)

Erosi potensial adalah erosi maksimum yang mungkin terjadi pada suatu

tempat dengan keadaan permukaan tanah gundul sempurna, sehingga terjadinya

erosi disebabkan oleh faktor alam (tanpa keterlibatan manusia, tumbuhan, dan

sebagainya), yaitu iklim, khususnya curah hujan, sifat-sifat internal tanah dan

keadaan topogarfi tanah. Pendugaan erosi potensial dapat di hitung dengan rumus

sebagai berikut :

E-Pot = R x K x LS x A.......................................................................................(2.64)

dimana :

E-Pot = erosi potensial (ton/tahun)

R = indeks erotivitas hujan

K = erodibilitas tanah

LS = faktor panjang dan kemiringan lereng

A = luas daerah aliran sungai ( Ha)


2.5.1.7. Pendugaan laju Erosi Aktual ( E-akt)

Erosi aktual terjadi adanya campur tangan tangan manusia dalam

kegiatannya sehari-hari, misalnya pengolahan tanah untuk pertanian. Erosi

potensial adalah hasil ganda antara erosi potensial dengan pola penggunaan lahan

tertentu, sehingga dapat dihitung dengan rumus (Weischmeier dan Smith. 1958) :

E- Akt = E-Pot x CP..............................................................................................(2.65)

dimana :

E-Akt = erosi aktual

E-Pot = erosi potensial

CP = faktor tanaman dan pengawetan tanah

2.5.1.8. Pendugaan Laju Sedimentasi Potensial

Sedimen potensial adalah proses pengangkutan sedimen hasil dari proses

erosi potensial untuk diendapkan ke jaringan irigasi dan lahan persawahan atau

tempat –tempat tertentu. Niali SDR (Sedimen Delivery Ratio)tergantung dari luas

DAS yang erat hubungannya dengan penggunaan lahan.

Rumus SDR adalah sebagai berikut :

S (1−0,8683 A−0,2018 )
SDR = + 0,8683 A-0,2018......................................................(2.66)
2(S +50 n)

dimana :

SDR = rasio pelepasan sedimen, 0<SDR<1

A = luas DAS

S = kemiringan lereng rata-rata permukaan DAS (%)

n = koefisien kekasaran manning


Pendugaan laju potensial yang terjadi di suatu DAS dapat dihitung dengan

rumus sebagai berikut (Weischmeier dan Smith. 1958) :

S-Pot = E-Akt x SDR............................................................................................(2.67)

dimana :

SDR = Sedimen delivery ratio

E-Pot = sedimentasi potensial

E-Akt = erosi aktual

2.5.2. Lengkung Kapasitas Bendung

Lengkung kapasitas bendung merupakan grafik yang menghubungkan luas

daerah genangan dengan volume tampungan terhadap elevasinya berhubung fungsi

utama bendung untuk menyediakan tampungan, maka ciri fisik utama yang

terpenting adalah kapasitas tampungan. Secara sistematis volume tampungan

bendung dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut

(Soedibyo. 1988) :

1
V n= x ∆ h x ¿)......................................................................................................(2.68)
3

dimana :

Vn = volume genangan pada elavasi ke-n

∆ h = perbedaan tinggi antara dua kontur/elevasi

F n−1 = luas genangan sebelum elevasi ke-n

Fn = luas genangan pada elevasi ke-n


2.5.3. Analisa Tampungan Efektif

Tampungan efektif merupakan volume tampungan dari bendung yang

dapat dimanfaatkan untuk melayani kebutuhan air yang ada. Maka tampungan

efektif dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

V hidup =V elevasi spillway −V elevasi outlet................................................................................(2.69)

Neraca air di bendung menggambarkan suatu kondisi seimbang antara air yang

masuk (inflow) dengan air yang keluar (outflow) di bendung. Maka akan di ketahui

perubahan volume tampungan (∆ s ¿ bendung. Dengan persamaan kontinuitas

sebagai berikut (Triatmodjo. 2008) :

I −O=± ∆ S

R+Qi+Gi−ETo−Qo−Go ± ∆ S=0........................................................................(2.70)

dimana :

R = hujan

Qi,Qo = debit aliran masuk dan keluar

ETo = evapotranspirasi

Gi, Go = aliran air tanah masuk, dan keluar

∆S = perubahan volume tampungan

2.5.4. Kapasitas Tampungan Banjir


2.5.4.1. Menentukan Kapasitas Pelimpah

Pelimpah di rencanakan untuk dapat menampung debit banjir dengan

periode perulangan t tahun, dengan persamaan sebagai berikut (Sosrodarsono,

Kensaku Takeda. 1989) :


3
Q=C . L . H 2 .............................................................................................................(2.71)

dimana :

Q = debit (besarnya debit rencana)

C = koefisien limpasan

L = lebar efektif mercu pelimpah

H = total tinggi tekanan air diatas mercu bending

Koefisien limpasan (C) dari tipe standart suatu pelimpah di hitung dengan

persamaan Iwasaki (Sosrodarsono, Kensaku Takeda, 1989) :

Cd=2.200−0.0416 ¿...............................................................................................(2.72)

h
1+2 a(
)
Hd
C=1,6 x ................................................................................................(2.73)
h
1+ a( )
Hd

dimana : C = koefisien limpahan (m0.5.det-1)

Cd = koefisien limpahan pada saat h = Hd (m0,5.det-1)

h = tinggi air diatas mercu bending (m)

Hd = tinggi tekanan rencana di atas mercu bending (m)

W = tinggi bending bagian hulu (m)

a = konstanta (diperoleh pada saat h = Hd, yang berarti c = Cd)

2.5.4.2. Menentukan Kapasitas Banjir


Untuk menentukan kapasitas bendung terhadap banjir rencana yang terjadi

dengan flood routing atau penelusuran banjir. Metode penelusuran banjir yang biasa

digunakan adalah sebagai berikut (Sosrodarsono, Suyono 2006) :

ds
I −Q= .................................................................................................................(2.74)
dt

dimana :

I = debit air yang masuk ke dalam waduk (m3/detik)

Q = debit yang keluar dari waduk ( m3/detik)

ds/dt = debit air yang tertahan di dalam waduk (m3/detik)

Metode penulusuran banjir di waduk yang sering di gunakan adalah ”Modifield

Pul’s Method” dengan persamaan sebagai berikut (Soedibyo. Hal:198) :

I 1 + I 2 Q 1 +Q 2
− =S 2−S1..........................................................................................(2.75)
2 2

dimana :

I1,I2 = inflow pada waktu t1,t2

Q1,Q2 = outflow pada waktu t1,t2

S1,S2 = volume tampungan pada waktu t1,t2


2.6. Perencanaan Tubuh Bendung

2.6.1. Tipe Bendung

Tipe bendung di kelompokkan menjadi 4 yaitu :

1. Tipe bendung berdasarkan tujuan pembangunannya

Ada 2 tipe yaitu bendung dengan tujuan tunggal dan bendung serba guna

(Soedibyo. 1993) :

1) Bendung dengan tujuan tunggal (single purpose dams) adalah bendung yang

dibangun untuk memenuhi satu tujuan saja, misalnya untuk kebutuhan baku

atau irigasi (pengairan) atau pengendalian banjir atau tujuan lainnya tetapi

hanya satu tujuan saja.

2) Bendung serbaguna (Multipurpose Dams) adalah bendung yang dibangun

untuk memenuhi beberapa tujuan misalnya pembangkit tenaga listrik

(PLTA) dan irigasi (pengairan), pengendalian banjir dan PLTA, air minum

dan air industri, PLTA, pariwisata, dan irigasi dan lain-lain.

2. Tipe bendung berdasar penggunaannya

Di bedakan menjadi menjadi 3 yaitu (Soedibyo. 1993) :

1) Bendung penampung air (storage dams) adalah bendung yang digunakan

untuk menyimpan air pada masa surplus dan dipergunakan pada masa

kekurangan. Termasuk dalam bendung penampung air adalah untuk tujuan

rekreasi, perikanan, pengendalian banjir dan lain-lain.

2) Bendung pembelok (diversion dams) adalah bendung yang digunakan untuk

meninggikan muka air, biasanya untuk keperluan mengalirkan air kedalam

system aliran menuju ketempat yang memerlukan.


3) Bendung penahan (detention dams) adalah Bendung yang digunakan untuk

memperlambat dan mengusahakan seminimal mungkin efek aliran banjir

yang mendadak. Air ditampung secara berkala/sementara, dialirkan melalui

pelepasan (outlet). Air ditahan selama mungkin dan dibiarkan meresap di

daerah sekitarnya.

3. Tipe bendung berdasarkan jalan airnya

Ada 2 tipe yaitu bendung untuk dilewati air dan bendung untuk menahan air

(Soedibyo. 1993) :

1) Bendung untuk dilewati air (overflow dams) adalah bendung yang dibangun

untuk dilimpasi air misalnya pada bangunan pelimpah (spillway)

2) Bendung untuk menahan air (non overflow dams) adalah bendung yang sama

sekali tidak boleh dilimpasi air. Kedua tipe ini biasanya dibangun berbatasan

dan dibuat dari beton, pasangan batu atau pasangan bata.

4. Tipe bendung berdasarkan material pembentuknya

Ada 2 tipe yaitu bendung urugan dan bendung beton (Soedibyo. 1993) :

1) Bendung urugan (fill dams, embankment dams) adalah bendung yang

dibangun dari hasil penggalian bahan (material) tanpa tambahan bahan lain

yang bersifat campuran secara kimia, jadi betul-betul bahan bendung

pembentuk asli. Bendung ini masih dapat dibagi dua yaitu :

a. Bendung urugan serba sama (homogeneus dams) yaitu apabila bahan

yang membentuk tubuh bendung tersebut terdiri dari tanah yang hamper

sejenis dan gradasinya ( susunan ukuran butiran) hamper seragam.


b. Bendung zonal adalah apabila timbunan yang membentuk tubuh bendung

terdiri dari batuan dengan gradasi ( susunan ukuran butiran) yang

berbeda-beda dalam urutan-urutan pelapisan tertentu.

2) Bendung beton (concrete dams) adalah embung yang dibuat dari kontruksi

beton baik dengan tulangan maupun tidak. Kemiringan permukaan hulu dan

hilir tidak sama pada umumnya bagian hilir lebih landau dan bagian hulu

mendekati vertical dan bentuknya lebih ramping. Bendung ini masih dibagi

lagi menjadi : bendung beton berdasar berat sendiri stabilitas tergantung

pada masanya, bendung beton dengan penyangga (buttress dam) permukaan

hulu menerus dan di hilirnya pada jarak tertentu ditahan, bendung beton

berbentuk lengkung dan bendung beton kombinasi.

Faktor yang menentukan dalam pemilihan tipe bendung adalah (Soedibyo. 1993) :

1. Tujuan pembangunan proyek

2. Keadaan klimatologi setempat

3. Keadaan hidrologi setempat

4. Keadaan di daerah genangan

5. Keadaan geologi setempat

6. Tersedianya bahan bangunan

7. Hubungan dengan bangunan pelengkap

8. Keperluan untuk pengoperasian waduk

9. Keadaan lingkungan setempat

10. Biaya proyek


2.6.2. Tinggi Jagaan

Tinggi jagaan adalah perbedaan antara elevasi permukaan maksimum

rencana air dalam waduk dan elevasi mercu bendung. Elevasi permukaan air

maksimum rencana biasanya merupakan elevasi banjir rencana waduk

(Sosrodarsono dan Takeda. 1989).

Dengan persamaan rumus sebagai berikut (Sosrodarsono dan Takeda. 1989) :

he
(
H r ≥ ∆ h+ hw atau
2 )
+h a+ hi...................................................................................(2.76)

he
H r ≥ hw + +h i.........................................................................................................(2.77)
2

dimana :

Hf = tinggi jagaan

∆h = tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air waduk yang terjadi

akibat timbulnya banjir abnormal

hw = tinggi ombak akibat tiupan angin

ha = tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air waduk, apabila terjadi

kemacetan-kemacetan pada pintu bangunan pelimpah

 Tinggi kenaikan permukaan air yang disebabkan oleh banjir abnormal (∆ h) di

hitung dengan persamaan sebagai berikut (Sosrodarsono dan Takeda, 1989) :

2 aQ h
∆ h= x 0 x
3 Q Axh ......................................................................................(2.78)
1+
QxT

dimana :

Qo = debit banjir rencana


Q = kapasitas rencana

α = 0,2 untuk bangunan pelimpah terbuka

α = 0,1 untuk bangunan pelimpah tertutup

h = kedalaman pelimpah rencana

A = luas permukaan air waduk pada elevasi banjir rencana

T = durasi terjadinya banjir abnormal (∆ h)

 Tinggi ombak yang disebabkan oleh gempa (he) di hitung dengan persamaan

sebagai berikut ( Soedibyo. 1993) :

e .τ
h e= g . h o.....................................................................................................(2.79)
π √

dimana :

e = intensitas seismis horizontal

τ = siklus seismis (biasanya sekitar satu detik)

ho = kedalaman air di dalam waduk

atau menggunakan data pada tabel berikut ini :

Tabel 2.17.Faktor koreksi


Tipe batuan Faktor (V)
Rock foundation 0,9
Diluvium ( rock fill dam) 1,0
Aluvium 1,1
Soft alluvium 1,2
(Sumber : DHV Consultant. 1991)

Tabel 2.18. Percepatan dasar gempa


Percepatan dasar gempa (Ac)
Periode ulang (tahun)
(cm/dt2)
10 98,42
20 119,62
50 151,72
100 181,21
200 215,81
500 217,35
Percepatan dasar gempa (Ac)
Periode ulang (tahun)
(cm/dt2)
1000 322,35
5000 482,80
10000 564,54
(Sumber : DHV Consultant. 1991)

 Tinggi ombak yang disebabkan oleh angin (hw)

Tinggi ombak yang disebabkan oleh angin ini perhitungannya sangat

dipengaruhi oleh panjang lintasan ombak (F) dan kecepatan angin di atas

permukaan air waduk perhitungan tinggi ombak (hw) ini menggunakan grafik

metode SMB (Sverdup Munk Bretscneider) yang dikombinasikan dengan metode

Saville.

Gambar 2.6. Grafik metode perhitungan SMB (Sverdup Munk Bretsneider)


(Sumber : Sosrodarsono, Suyono. 1989)

2.6.3. Tinggi Bendungan

Tinggi bendungan adalah perbedaan antara elevasi permukaan pondasi dan

elevasi mercu bendung. Apabila pada bendung dasar dinding kedap air atau zona

kedap air, maka yang dianggap permukaan pondasi adalah garis perpotongan antara
bidang vertikal yang melalui mercu bendung dengan permukaan pondasi alas

bendung tersebut. Tinggi maksimal untuk bendung adalah 15 m (Loebis. 1984).

Tinggi tubuh bendung dapat dicari dengan persamaan berikut ini (Soedibyo. 1993) :

Hd = Hk + Hb + Hf + 0,25......................................................................................(2.80)

dimana :

Hd = tinggi tubuh bendung desain (m)

Hk = tinggi muka air kolam pada kondisi penuh (m)

Hb = tinggi tampungan banjir (m)

Hf = tinggi jagaan (m)

2.6.4. Lebar Mercu Bendungan

Untuk memperoleh lebar mercu bendung digunakan rumus sebagai berikut

(Sosrodarsono dan Takeda. 1989) :


1
b=3,6 H −3............................................................................................................(2.81)
3

dimana :

b = lebar puncak (meter)

H = tinggi bendungan (meter)

Untuk bendungan kecil atau embung yang diatasnya akan di gunakan sebagai jalan

raya, lebar minimumnya adalah 4 m, sementara untuk jalan biasa hanya 2,5 m. lebar

embung dapat menggunakan pedoman sebagai berikut

Tabel 2.19. Lebar puncak bendungan kecil (embung) yang dianjurkan


Tinggi embung (m) Lebar puncak (m)
2,0 – 4,5 2,50
4,5 – 6,0 2,75
6,0 – g7,5 3,00
7,5 – 9,0 4,00
(Sumber : Sosrodarsono dan Takeda. 1977)

2.6.5. Kemiringan Lereng Bendung

Kemiringan tanggul adalah perbandingan antara panjang garis vertical yang

melalui puncak dengan panjang garis horizontal yang melalui tumit masing-masing.

Tabel 2.20. Kemiringan tanggul yang dianjurkan


Kemiringan lereng
Material urugan Material utama vertical : horizontal
Hulu Hilir
1. Urugan homogeny
CH
1:3 1 : 2,25
CL
SC
GC
GM
2. Urugan majemuk SM
a. Urugan batu dengan inti
lempeng atau dinding Pecahan batu
1 : 1,50 1 : 1,25
diafragma
b. Kerikil-kerikal dengan inti Kerikil-
1 : 2,50 1 : 1,75
lempeng atau dinding kerukal
diafragma
(Sumber : Soedibyo. 1993)

2.6.6. Stabilitas Tubuh Bendung

2.6.6.1. Stabilitas Lereng Bendung

Menurut Soedibyo (1993) faktor keamanan kemungkinan terjadinya

longsoran dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

Pada saat gempa (Fs = 1,5)

Fs=∑ ¿ ¿ ¿..............................................................................................................(2.82)

¿ ∑ C . L+ ∑ ¿ ¿ ¿ ¿.............................................................................................(2.83)

Pada saat normal (Fs = 1,2)


Fs=∑ ¿ ¿ ¿..............................................................................................................(2.84)

dimana :

Fs = faktor keamanan

N = beban komponen vertical yang timbul dari setiap irisan bidang luncur (

¿ γ . A . cos α)

T = beban komponen tangesial yang timbul dari berat setiap irisan bidang

luncur¿

U = tekanan air pori yang bekerja pada setiap irisan bidang luncur

Ne = komponen vertical beban seismis yang bekerja pada setiap irisan

bidang luncur ¿

Te = komponen tangesial beban seismis yang bekerja pada setiap irisan

bidang luncur ¿

θ= sudut gesekan dalam bahan yang membentuk dasar setiap irisan bidang

luncur

C = angka kohesi bahan yang membentuk dasar setiap irisan bidang luncur

Z = lebar irisan setiap bidang luncur

e = intensitas seismis horizontal

γ = berat isi dari setiap bahan pembentuk irisan bidang luncur

A = luas dari setiap bahan pembentuk irisan bidang luncur

α = sudut kemiringan rata-rata dengan setiap irisan bidang luncur

V = tekanan air pori


Gambar 2.8. Cara menentukan harga-harga N dan T
(Sumber : Soedibyo. 1993)

Prosedur perhitungan metode irisan bidang luncur bundar :

1. Andaikan bidang luncur bundar di bagi menjadi beberapa irisan vertical dan

walaupun bukan merupakan persyaratan yang mutlak, biasanya setiap irisan

lebarnya dibuat sama. Disarankan agar irisan bidang luncur tersebut dapat

melintasi perbatasan dari dua buah zone penimbunan atau supaya memotong

garis depresi aliran filtrasi.

2. Gaya-gaya yang bekerja pada setiap irisan adalah sebagai berikut :

a. Berat irisan (W), dihitung berdasarkan hasil perkalian antara luas irisan (A)

dengan berat bahan pembentuk irisan ( γ ) jadi W= A.γ

b. Beban berat komponen vertical yang bekerja pada dasar irisan (N) dapat

diperoleh dari hasil perkalian antara berat irisan (W) dengan cosinus sudut rat-

rata tumpuan (α) pada dasar irisan yang bersangkutan jadi N = W. cosα

c. Beban dari tekanan hidrostatis yang bekerja pada dasar irisan (U) dapat

diperoleh dari hasil perkalian antara panjang dasar irisan (b) dengan tekanan

air rata-rata (U/cosα) pada dasar irisan tersebut, jadi U = U.b/cosα


d. Beban berat komponen tangensial (T) diperoleh dari hasil perkalian antara

berat irisan (W) dengan sinus sudut rata-rata tumpuan dasar irisan tersebut

jadi T= Wsinα

e. Kekuatan tekanan kondisi terhadap gejala perubahan (C) diperoleh dari hasil

perkalian antara angka kohesi bahan (c’) dengan panjang dasar irisan (b) di

bagi lagi dengan cosα, jadi C = c’.b/cosα

f. Kekuatan tahanan geseran terhadap gejala peluncuran irisan adalah kekuatan

tahann geser yang terjadi pada saat irisan akan meluncur meninggalkan

tumpuannya

3. Kemudian jumlahkan semua kekuatan-kekuatan yang menahan (T) dan gaya-

gaya yang mendorong (S) dari setiap irisan bidang luncur, dimana (T) dan (S)

dari masing-masing irisan dinyatakan sebagai T = W sinα dan S = C + ( N-U)

tanθ

4. Faktor keamanan dari bidang luncur tesebut adalah perbandingan antara jumlah

gaya pendorong dan jumlah gaya penahan yang dirumuskan (Soedibyo, 1993):

Fs=
∑ S .................................................................................................................(2.85)
∑T
dimana :

Fs = faktor keamanan

∑S =jumlah gaya pendorong

∑T = jumlah gaya penahan


Gambar 2.9. Skema perhitungan bidang luncur dalam kondisi waduk penuh air
(Sumber : Sosrodarsono dan Takeda. 1977)

2.6.6.2. Stabilitas Bendungan Terhadap Aliran Filtrasi

Baik bendung maupun pondasinya harus mampu menahan gaya-gaya yang

di timbulkan oleh adanya aliran filtrasi yang mengalir melalui celah-celah antara

butiran tanah pembentuk tubuh bendung dan pondasinya.

Hal tersebut dapat diketahui dengan mendapatkan formasi garis depresi

(seepage flow-net) yang terjadi dalam tubuh bendung dan pondasi bendung tersebut.

Garis depresi didapat dari persamaan parabola bentuk dasar seperti gambar berikut

ini.

Gambar 2.10. Garis depresi pada bendung homogen


(Sumber : Soedibyo. 1993)
Untuk perhitungan selanjutnya maka digunakan rumus sebagai berikut (Soedibyo.

1993) :

y 2− y 02
x= ...............................................................................................................(2.86)
2 y0

y 0= √h 2+ d 2 – d.........................................................................................................(2.87)

Untuk zona inti kedap air garis depresi digambarkan sebagi kurva dengan

persamaan sebagai berikut (Soedibyo, 1993) :

y= √ 2 y 0 x + y 0 .........................................................................................................(2.88)
2

dimana :

h = jarak vertical antara titik A dan B (m)

d = jarak horizontal antara titik B2 dan A (m)

I1 = jarak horizontal antara titik B dan E (m)

I2 = jarak horizontal antara titik B dan (m)

A = ujung tumit hilir bendung (m)

B = titik perpotongan antara permukaan air waduk dengan lereng hulu

bendung

A1 = titik perpotongan antara parabola bentuk besar garis depresi

dengan garis vertical melalui titik B (m)

B2 = titik yang terletak sejauh 0,3 I1 horisontal kea rah hulu dari titik B (m)

Akan tetapi garis parabola bentuk dasar (B 2-C0-A0) diperoleh dari

persamaan tersebut, bukanlah garis depresi sesunguhnya, masih diperlukan

penyesuaian menjadi garis B-C-A yang merupakan bentuk garis depresi yang

sesungguhnya tertera pada gambar 2.11.


Gambar 2.11. Garis depresi pada bendung homogen
(sesuai dengan garis parabola yang dimodifikasi)
(Sumber : Sosrodarsono dan Takeda. 1977)

 Pada titik permulaan, garis depresi berpotongan tegak lurus dengan lereng hulu

bendung dan demikian titik C0 dipindahkan ke titik C sepanjang ∆ a

 Panjang ∆ a tergantung pada kemiringan lereng hilir bendung, dimana air filtrasi

tersembul keluar yang dapat di hitung dengan persamaan sebagai berikut :

y0
a+ ∆ a= .................................................................................................(2.89)
1−cos α

dimana :

a ´
= jarak AC

∆a = jarak C ´0 C

α = sudut kemiringan lereng hilir bendung

Untuk memperoleh nilai a dan ∆ a dapat dicari berdasarkan nilai α dengan

menggunakan grafik sebagai berikut :


∆a
Gambar 2.12. Grafik hubungan antara sudut bidang singgung (α) dengan
a+ ∆ a
(Sumber : Sosrodarsono dan Takeda. 1977)

2.6.6.3. Kapasitas Aliran Filtrasi

Adalah besarnya rembesan air yang menuju ke hilir tubuh bendungan dan

pondasi bendung, filtrasi harus memiliki batsan tertentu.

Besarnya kapasitas filtrasi yang melalui tubuh bendung dapat di tentukan dengan

rumus sebagai berikut (Sosrodarsono dan Takeda. 1977) :

Nf
Qf = . K . H . L.....................................................................................................(2.90)
Np

dimana :

Qf = kapasitas aliran filtrasi (kapasitas rembesan) ( m3/dt)

Nf = angka pembagi dari garis trayektori aliran filtrasi

Np = angka pembagi dan garis equi-potensial

K = koefisien filtrasi

H = tinggi tekan air total

L = panjang profil melintang tubuh bendung


Gambar 2.13. Jaringan trayokteri aliran filtrasi dalam tubuh bendung
(Sumber : Sosrodarsono dan Takeda. 1977)

2.6.6.4. Gejala Sufosi (piping) dan Sembulan (boiling)

Adalah erosi yang cepat sebagai akibat rembesan terpusat berat tubuh atau

pondasi bendung. Air meresap melalui timbunan tanah lapisan kedap air atau

pondasi bendung. Dengan adanya tekanan air di sebelah hulu maka ada

kecenderungan terjadinya aliran melalui pori-pori didalam tanah. Kecepatan aliran

keluar keatas permukaan lereng hilir yang komponen vertikalnya dapat

mengakibatkan terjadinya perpindahan butiran-butiran bahan bendung,

kecepatannya dapat dirumuskan sebagai berikut (Sosrodarsono dan Takeda. 1977) :

wi . g
C=
√ F .γ
................................................................................................................(2.91)

dimana :

C = kecepatan kritis

WI = berat butiran bahan dalam air

g = gravitasi

F = luas permukaan yang menampung aliran filtrasi (m2)


y = berat isi air

Anda mungkin juga menyukai