Anda di halaman 1dari 11

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Administrasi Publik


3.1.1 Pengertian Administrasi Publik
Administrasi Publik menurut Chandler dan Plano (dalam Keban,
2014:3) mengartikan sebagai proses dimana sumber daya dan personel publik
diorganisir dan dikoordinasikan untuk diformulasikan, mengimplementasikan dan
mengelola keputusan- keputusan dalam kebijakan publik dengan menggunakan
seni dan ilmu yang ditujukan untuk mengatur public affairs. Menurut Nigro dan
Nigro (dalam Keban, 2014:5), administrasi publik adalah usaha kerjasama
kelompok dalam suatu lingkungan publik yang mencakup ketiga cabang yaitu
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga kelembagaan itu memiliki peranan
penting dalam memformulasikan kebijakan publik sehingga menjadi bagian dari
proses politik yang sangat berbeda dengan cara yang ditempuh oleh administrasi
swasta dan berkaitan erat dengan beberapa kelompok swasta dan individu dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pfiffner dan Presthus (dalam Pasolong, 2013: 7) mendefinisikan
administrasi publik adalah (1) meliputi impelementasi kebijaksanaan pemerintah
yang telah ditetapkan oleh badan-badan perwakilan politik, (2) koordinasi usaha-
usaha perseorangan dan kelompok untuk melaksanakan kebijaksanaan pemerinah.
Hal ini terutama meliputi pekerjaan sehari- hari pemerintah, (3) secara global,
administrasi publik adalah suatu proses yang bersangkutan dengan pelaksanaan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah, pengarahan kecakapan, dan teknik-
teknik yang tidak terhingga jumlahnya, memberikan arah dan maksud terhadap
usaha sejumlah orang.
Nicholas Henry (dalam Pasolong, 2013: 8) mengemukakan bahwa
administrasi publik adalah suatu kombinasi yang kompleks antara teori dan
praktik, dengan tujuan mempromosikan pemahaman terhadap pemerintah dalam
hubungannya dengan masyarakat yang diperintah, dan juga mendorong kebijakan
publik agar lebih responsif terhadap kebutuhan sosial. Menurutnya, terdapat ruang
lingkup administrasi publik yang meliputi:
1. Organisasi Publik, pada prinsipnya berkenaan dengan model-model
organisasi dan perilaku birokrasi.
2. Manajemen Publik, yaitu berkenaan dengan sistem dan ilmu manajemen.
3. Implementasi, yaitu menyangkut pendekatan terhadap kebijakan publik
dan implementasinya, privatisasi, administrasi antar pemerintah, dan etika
birokrasi.
3.1.2 Paradigma Administrasi Publik
Nicholas Henry (dalam Susiani, 2019:8) dengan mengutip pandangan
R.T Golembiewski, Administrasi Publik akan dapat dikaji melihat perubahan
paradigma ditinjau dari pergeseran locus dan focus suatu disiplin ilmu. Fokus
mempersoalkan “what of the field” atau metode dasar yang digunakan atau
cara-cara ilmiah apa yang dapat digunakan untuk memecahkan suatu persoalan.
Sedangkan, lokus mencakup “where of the field” atau tempat dimana metode
tersebut diterapkan. Nicholas Henry dalam Keban (2014: 31-33), mengemukakan
enam paradigma administrasi publik, yaitu :
1. Dikotomi Politik dan Administrasi (1900-1926)
Frank J. Goodnow dan D. White. Goodnow dalam tulisannya
yang berjudul “Politics and Administration” tahun 1900 mengungkapkan
bahwa politik harus memusatkan perhatiannya pada pelaksanaan atau
implementasi dari kebijakan dan kehendak tersebut. Pemisahan antara
politik dan administrasi dimanifestasikan oleh pemisahan antara Badan
Legislatif yang bertugas mengekspresi kehendak rakyat, Badan
Eksekutif yang bertugas mengimplementasikan kehendak tersebut, dan
Badan Yudikatif dalam hal ini berfungsi membantu Badan Legislatif
dalam menentukan tujuan dan merumuskan kebijakan. Implikasi dari
paradigma tersebut adalah bahwa administrasi publik harus dilihat sebagai
suatu yang bebas nilai, dan diarahkan untuk mencapai nilai efisiensi dan
ekonomi dari government bureaucracy. Sayangnya, dalam paradigma ini
hanya ditekankan aspek “lokus” saja, yaitu government bureaucracy,
tetapi lokus atau metode apa yang harus dikembangkan ke dalam
administrasi publik kurang dibahas secara jelas dan terperinci.
2. Prinsip – prinsip Administrasi Negara (1927-1937)
Tokoh- tokoh terkenal dari paradigma ini adalah Willoughby,
Gullick & Urwick yang sangat dipengaruhi oleh tokoh – tokoh
manajemen klasik seperti Fayol dan Taylor, memperkenalkan Prinsip
Administrasi sebagai fokus Administrasi Publik. Prinsip itu dituangkan
dalam apa yang disebut “POSDCORB” (Planning, Organizing, Staffing,
Coordinating, Directing, Reporting, Budgeting) yang menurut mereka
dapat diterapkan dimana saja, sedangkan fokus Administrasi Publik
tidak pernah diungkapkan secara jelas karena mereka menganggap bahwa
prinsip tersebut dapat berlaku dimana saja termasuk diorganisasi
pemerintah dengan demikian dalam paradigma ini, fokus lebih ditekankan
daripada lokus.
3. Administrasi Negara sebagai Ilmu Politik (1950-1970)
Morstein Marx seorang editor buku “Element of Public
Administration”, mempertanyakan pemisahan politik dan administrasi
sebagai sesuatu yang tidak mungkin/realitis, sementara Hebert Simon
mengarahkan kritikannya terhadap ketidak-kosistennya prinsip
administrasi dan menilai bahwa prinsip tersebut tidak berlaku universal.
Dalam konteks ini, administrasi negara bukan bebas nilai/universal, justru
selalu dipengaruhi nilai tertentu. Disini terjadi pertentangan antara
anggapan administrasi yang bebas nilai di satu pihak dengan anggapan
kedua yang bermuatan politik di lain pihak. Dalam praktek, anggapan
kedua yang berlaku John Gaus secara tegas menyatakan teori administrasi
publik sebenarnya teori politik. Akibatnya, muncul paradigma baru yang
menganggap administrasi publik sebagai ilmu politik. Birokrasi
pemerintah (lokus), fokusnya menjadi kabur karena prinsip administrasi
publik mengandung banyak kelemahan. Sayangnya, mereka yang
mengajukan kritikan terhadap prinsip administrasi tidak memberi jalan
keluar tentang fokus yang bisa digunakan. Pada masa tersebut
administrasi publik mengalami krisis identitas karena ilmu politik
dianggap disiplin yang sangat dominan dimana dalam dunia administrasi
publik.
4. Administrasi Publik sebagai Ilmu Administrasi (1954-1970)
Dalam paradigma ini, prinsip manajemen yang pernah popular
sebelumnya dikembangkan secara ilmiah dan mendalam. Perilaku
organisasi analisis manajemen, penerapan metodologi modern, seperti
metode – metode kuantitatif, analisis sistem, riset operasi merupakan
fokus dari paradigma itu. Ada 2 arah perkembangan terjadi dalam
paradigma ini:
1) Berorientasi perkembangan ilmu administrasi murni yang
didukung oleh disiplin psikologi sosial.
2) Berorientasi pada kebijakan publik. Semua fokus yang
dikembangkan disini diasumsikan dapat diterapkan tidak hanya
dalam dunia bisnis. Lokus tidak jelas.
5. Administrasi Publik sebagai Ilmu Administrasi Publik (1970-Sekarang)
Pada paradigma ini telah memiliki lokus dan fokus yang jelas.
Fokus administrasi publik pada paradigma ini adalah teori organisasi, teori
manajemen, dan kebijakan publik. Lokus adalah masalah – masalah dan
kepentingan publik, urusan publik, kebijakan publik.
6. Good Governance (1990)
Paradigma good governance muncul sekitar tahun 1990 atau akhir
1980-an. Paradigma tersebut muncul karena adanya anggapan dari Bank
Dunia bahwa apapun dan berapapun bantuan yang diberikan kepada
negara-negara berkembang, pasti habis tanpa bekas dan tidak dapat
membawa negara-negara tersebut ke keadaan yang lebih baik. Good
Governance merupakan suatu paradigma baru yang berorientasi kepada
hubungan yang sinergik dan konstruktif di antara pemerintah, sektor
swasta dan masyarakat, dalam rangka melaksanakan penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan bertanggungjawab. Paradigma good
governance sudah mengarah kepada Shared Governance sebagai tuntutan
penting yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan menekan penataan
secara bersama dalam birokrasi, menghadirkan pola baru dalam
pelaksanaan pelayanan publik. Good governance memunculkan tuntutan
baru pada sebuah tatanan pemerintahan diantaranya :
1) Clean Governance. Yaitu, sebuah tuntutan melakukan
pemerintahan yang bebas dari korupsi atau bebas dari tindakan –
tindakan gratifikasi.
2) Open Governance. Yaitu, sebuah tuntutan menciptakan atau
memudahkan sebuah transparansi dalam pemerintahan baik dalam
perencanaan kebijakan, perencanaan anggaran, hingga data lain
pada masyarakat sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dan
mengawasi dalam kegiatan pemerintahan.
3.3. Kebijakan Publik
Kebijakan Publik merupakan aturan-aturan dan merupakan bagian dari
keputusan politik yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau
bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Dalam rangkaian
kata public policy memiliki tiga konotasi, yaitu pemerintah, masyarakat, dan
umum. Hal ini dapat dilihat dalam dimensi subjek, objek, dan lingkungan dari
kebijakan. Dalam dimensi subjek, kebijakan publik adalah kebijakan dari
pemerintah, sehingga salah satu ciri kebijakan adalah “What Government Do Or
Not To Do”. Kebijakan dari pemerintahlah yang dapat dianggap sebagai kebijakan
yang resmi, sehingga mempunya kewenangan yang dapat memaksa masyarakat
untuk mematuhinya (Abidin, 2012: 7).
Menurut Thomas R. Dye (dalam Pasolong, 2013 : 39), kebijakan publik
adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dye
mengatakan bahwa bila pemerintah memilih melakukan sesuatu maka harus ada
tujuannya (obyektifnya) dan kebijakan publik itu meliputi semua tindakan
pemerintah, jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah
atau pejabat pemerintah saja.
William N. Dunn dalam Pasolong (2013:39) mendefinisikan kebijakan
publik adalah suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling berhubungan yang
dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang
menyangkut tugas pemerintahan, seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan,
pendidikan, kesejahteraan masyarkat, kriminalitas, perkotaan, dan lain-lain.
Adapun tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai
berikut (Budi Winarno, 2012: 35-37):
1. Tahap Penyusunan Agenda
Dalam tahap ini berbagai masalah akan berkompetisi dahulu agar
dapat masuk kedalam agenda kebijakan. Pada tahap ini dimungkinankan
ada masalah yang tidak tersentuh sama sekali, sementara masalah lainnya
akan menjadi fokus pembahasan, atau ada masalah-masalah tertentu yang
akan tertunda dalam waktu yang lama.
2. Tahap Formulasi Kegiatan
Di tahap ini, masalah-masalah didefenisikan kemudian dicarikan
pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan permasalahan tersebut
berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Dalam
tahap ini, para aktor penentu kebijakan tersebut masing-masing juga akan
ikut dalam menentukan kebijakan yang akan dibuat.
3. Adopsi Kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para
perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari kebijakan tersebut akan
diadopsi. Dengan dukungan dari pihak legislatif, konsensus antara direktur
lembaga atau keputusan peradilan.
4. Implementasi Kebijakan
Kebijakan yang diambil akan dilaksanakan oleh badan-badan
administrasi maupun agen-agen pemerintah. Dalam tahap ini kemungkinan
yang terjadi adalah ada beberapa kebijakan yang diterima atau
dilaksanakan oleh para implementor (pelaksana), ada pula yang tidak
mendapat dukungan dari pelaksana sehingga kebijakan yang telah diambil
tidak dilaksanakan di lapangan.
5. Evaluasi Kebijakan
Pada tahap ini, kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau
di evaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan tersebut dapat
menyelesaikan masalah yang ada.
3.4. Jejak Karbon
Jejak karbon adalah ukuran dampak aktivitas manusia terhadap
lingkungan, dan perubahan iklim tertentu. Hal ini terkait dengan jumlah gas
rumah kaca yang dihasilkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pembakaran
bahan bakar fosil, listrik, transportasi dan hal lainnya. Jejak karbon (carbon
footprint) adalah suatu ukuran jumlah total emisi karbon dioksida baik secara
langsung maupun tidak langsung yang berasal dari aktivitas atau akumulasi dari
kegiatan sehari-hari. Jejak karbon dihitung dalam ukuran unit ton CO 2 dan
memberikan dampak pada kenaikan Gas Rumah Kaca (GRK).
Jejak karbon ini dijadikan acuan untuk mengukur seberapa banyak emisi
GRK yang dihasilkan dari suatu kegiatan sehari-hari, baik dari kegiatan industri,
kegiatan rumah tangga dan lain sebagainya (Hairiah, 2007). Jejak karbon terbagi
menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1. Jejak Karbon Primer
Jejak karbon primer merupakan ukuran emisi CO2 yang bersifat langsung.
Jejak karbon primer didapat dari hasil pembakaran bahan bakar fosil,
sebagai contohnya penggunaan bahan bakar untuk kegiatan memasak dan
transportasi.
2. Jejak Karbon Sekunder
Jejak karbon sekunder adalah jumlah emisi karbon dioksida yang
diemisikan secara tidak langsung, dihasilkan dari peralatan-peralatan
elektronik yang menggunakan daya listrik. Saat ini sebagian besar
kebutuhan energi manusia diperoleh dari konversi sumber energi fosil,
misalnya pembangkitan listrik dan alat transportasi yang menggunakan
energi fosil sebagai sumber energinya.
Setiap orang dalam aktivitasnya sehari-hari akan menggunakan energi dan
menghasilkan emisi karbondioksida (CO2), semakin banyak aktivitas manusia
maka semakin banyak energi yang digunakan sehingga semakin besar nilai jejak
karbonnya (Rahayu, 2011). Saat ini, seseorang cenderung untuk hidup senyaman
mungkin sehingga mendorong munculnya kebiasaan hidup yang berdampak pada
lingkungan. Bentuk kebiasaan hidup senyaman mungkin apabila tidak diimbangi
dengan pelestarian lingkungan maka dapat berkontribusi terhadap banyaknya nilai
jejak karbon.
Nilai emisi karbon yang ditimbulkan dari suatu peristiwa, produk, ataupun
aktivitas manusia disebuat dengan Jejak karbon. Jejak karbon merupakan besaran
dari aktivitas manusia yang menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Semakin
banyak aktivitas yang dilakukan maka semakin tinggi nilai emisi yang dihasilkan.
Sepertihalnya kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan dengan
kendaraan umum, perjalanan dengan pesawat udara, penggunaan pendingin atau
pemanas ruangan, penggunaan perangkat komputer, televisi, radio, dan perangkat
hiburan lainnya adalah bentuk kebiasaan hidup yang berkontribusi terhadap
banyaknya nilai jejak karbon. (Atmaja dkk., 2018).
Jejak karbon merupakan besaran dari aktivitas manusia yang menimbulkan
dampak terhadap lingkungan. Semakin banyak aktivitas yang dilakukan maka
semakin tinggi nilai emisi yang dihasilkan. Kebiasaan menggunakan kendaraan
pribadi dibandingkan dengan kendaraan umum, perjalanan dengan pesawat udara,
penggunaan pendingin atau pemanas ruangan, penggunaan perangkat komputer,
televisi, radio, dan perangkat hiburan lainnya adalah bentuk kebiasaan hidup yang
berkontribusi terhadap banyaknya nilai jejak karbon.
3.5. Energi Baru dan Terbarukan
Istilah energi berasal dari bahasa Yunani, yaitu energia yang berarti
aktivitas (energos yang berarti aktif). Energi adalah sumber daya yang dapat
digunakan untuk melakukan berbagai proses kegiatan termasuk bahan bakar,
listrik, energi mekanik dan panas. Energi selalu berasal dari sumber energi,
sumber energi adalah sesuatu yang dapat menghasilkan energi, baik secara
langsung maupun melalui proses konversi atau transformasi. Sumber energi
merupakan sebagian dari sumber daya alam yang meliputi minyak dan gas bumi,
batu bara, air, panas bumi, gambut, biomassa, dan sebagainya, baik secara
langsung atau tidak langsung dapat dimanfaatkan sebagai energi. Pengertian
energi terdapat pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, yang
tercantum pada bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka (1) yakni Energi adalah
kemampuan untuk melakukan kerja yang dapat berupa panas, cahaya, mekanika,
kimia, dan elektromagnetika.
Sumber energi merupakan salah satu sumber daya alam. Sebagai sumber
daya alam, energi harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran
masyarakat dan pengelolaanya harus mengacu pada asas pembangunan
berkelanjutan. Jadi, sumber daya energi adalah sumber daya alam yang dapat
diolah oleh manusia sehingga dapat digunakan bagi pemenuhan kebutuhan energi.
Sumber daya energi ini disebut sumber energi primer, yaitu sumber daya energi
dalam bentuk apa adanya yang tersedia di alam. Sumber daya energi merupakan
kekayaan alam sebagaimana diamanatkan oleh segenap rakyat Indonesia melalui
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berisikan negara memiliki kuasa terhadapnya dan wajib dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Peranan energi sangat penting artinya bagi
peningkatan kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional, sehingga pengelolaan
energi yang meliputi penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaannya harus
dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, optimal, dan terpadu
Energi baru adalah energi yang dikembangkan dari hasil ristek dan
pengembangan teknologi yang tidak dapat dimasukkan dalam kelompok energi
fosil atau energi terbarukan, contohnya seperti energi nuklir, energi plasma
(magneto hidro dinamika), atau energi cell bahan bakar (fuel cell). Energi baru
merupakan jenis-jenis energi yang perkembangannya di dorong oleh intervensi
teknologi. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi,
pengertian Energi Baru terdapat pada pasal 1 ayat (5) yakni energi yang berasal
dari sumber energi baru. Sedangkan, sumber energi baru adalah sumber energi
yang dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi
terbarukan maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas
metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan
batu bara tergaskan (gasified coal). Dalam hal penguasaan dan pengaturannya,
sumber energi baru diserahkan oleh rakyat kepada negara dan dimanfaatkan
sebesar-besanya untuk sebesar-besarkemakmuran rakyat.
Pengertian energi terbarukan adalah energi yang berasal dari sumber
energi terbarukan. Sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang dapat
digunakan tanpa batas waktu dan tidak akan pernah habis karena dapat dipulihkan
dalam waktu relatif singkat. Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun tentang
Energi, pengertian energi terbarukan tercantum pada pasal 1 ayat (6), yakni
“Sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika
dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bio energi, sinar matahari,
aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut.”
Sumber energi terbarukan adalah sumber energi yang sangat ramah
lingkungan, karena tidak menghasilkan pencemaran lingkungan dan tidak
termasuk salah satu penyebab dari perubahan iklim dan pemanasan global, karena
energi yang dihasilkan berasal dari proses alam yang berkelanjutan seperti angin,
air, sinar matahari, panas bumi, dan biofuel. Negara Indonesia adalah negara yang
memiliki potensi sumber energi terbarukan dalam jumlah yang sangat besar
karena pengaruh astronomis dan geografis negara Indonesia. Potensi sumber
energi terbarukan yang terkandung di Indonesia seperti energi panas bumi, surya,
air, laut/samudra, bioenergi.
DAFTAR PUSTAKA

‌Admaja, Wikan & Nasirudin, Nasirudin & Sriwinarno, Handayani. (2020).


Identifikasi Dan Analisis Jejak Karbon (Carbon Footprint) Dari
Penggunaan Listrik di Institut Teknologi Yogyakarta. Jurnal Rekayasa
Lingkungan. 18. 10.37412/jrl.v18i2.28.

Daryanto. 2007. Energi: Masalah dan Pemanfaatannya Bagi Kehidupan


Manusia, Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Hasna, Alifa Nurul (2021) TA: Analisis Emisi Karbondioksida (CO 2) Dari


Aktivitas Penduduk Kota Melalui Jejak Karbon Di Swk Cibeunying Kota
Bandung. Skripsi Thesis, Institut Teknologi Nasional Bandung.

Muhamad Azhar, & Dendy Adam Satriawan. (2018). Implementasi Kebijakan


Energi Baru dan Energi Terbarukan Dalam Rangka Ketahanan Energi
Nasional. Administrative Law and Governance Journal, 1(4), 398–412.
https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/alj/article/view/3837/2153

Pasolong, Harbani. 2013. Metode Penelitian Administrasi Publik. Bandung:


Alfabeta

Paulus Basuki Kuwat Santoso, P., & Ninin Gusdini, N. (2016). Laporan
Penelitian: Analisis Emisi Co2 Berdasarkan Jejak Karbon Sekunder.

Sutarno, 2013. Sumber Daya Energi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi

YT, Keban. 2014. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori
dan Isu. Jakarta: Gava Media.

Anda mungkin juga menyukai