Anda di halaman 1dari 7

Trump Bersumpah Penuhi Janji Kampanye nya

AS, WB - Pasca terpilih dalam pemilu Presiden, Donald Trump langsung mengirim

surat elektronik ke pendukungnya. Presiden dari Partai Republik ini dalam suratnya

bersumpah menindaklanjuti janji-janjinya semasa kampanye.

Beberapa janji yang pernah ia ucapkan adalah menyeimbangkan anggaran,

menghentikan korupsi, mengontrol perbatasan, serta menambah lapangan pekerjaan. Pesan

terakhir dalam email itu adalah persatuan Amerika Serikat.

"Kini sudah saatnya untuk mulai menyatukan negara dan mengikat luka bangsa kita,"

kata Trump seperti yang dikutip dari New York Post, Rabu (9/11/2016).

"Anda akan segera ingat bagaimana rasanya menang sebagai orang Amerika," tulis

Trump pada bagian akhir.

Donald Trump terpilih sebagai presiden Amerika Serikat mengalahkan pesaingnya

Hilarry Clinton. Setelah dinyatakan menang, Trump mengungkapkan kebahagiannya melalui

Twitter.

"Malam yang sangat indah dan penting! Pria dan wanita yang terlupakan tidak akan

pernah terlupakan lagi. Kita semua akan bersatu lebih erat dari yang sebelumnya," kicau

Trump.

Tulisan itu menjadi posting-an pertama setelah Trump terpilih menjadi presiden AS
terpilih. Kicauan Trump di-retweet lebih dari 180 ribu dan disukai 440 ribu lebih netizen.

EDITOR : Abdi Tri Laksono.

Dari berita diatas dapat disimpulkan bahwa President AS Donald Trump sampai saat

ini belum menepati seluruh janjinya. Dan berita tersebut mengandung unsur post truth.

Kemenanga Donald Trump atas Hillary Clinton memberikan banyak pertanyaan kepada

masyarakat AS dan juga di seluruh dunia. Mengapa Donald Trump bisa menang, sementara

kita tahu bahwa Donald Trump itu merupakan seseorang yang rasis. Dimana kita tahu bahwa

masyarakat Amerika itu sangat beragam sepeti halnya di Indonesia.

Fenomena ini terlihat jelas dalam masa kampanye pemilihan umum presiden Amerika

Serikat. Trump membalik semua ramalan dengan mengalahkan Hillary Clinton, meski semua

media massa ramai-ramai menelanjangi kebohongan-kebohongan Trump.  Gelombang

pemberitaan negatif itu tidak mengubah pendirian warga Amerika Serikat. Mereka tetap

memilih sang pendusta untuk memegang kekuasaan tertinggi negara.

Lalu pertanyaannya, kenapa penduduk di negara-negara maju dengan tingkat

pendidikan yang tinggi itu memilih pembohong? Dan kenapa pula tokoh-tokoh yang

menyempurnakan seni membual seperti Trump, Nigel Farage (Inggris), Marie Le Pen

(Prancis), Frauke Petry (Jerman), dan Geert Wilders (Belanda) bisa muncul dan berjaya pada

waktu yang sama?

Untuk pertanyaan kedua, jawabannya adalah momentum. Di Amerika Serikat, Donald

Trump berhasil membaca dengan baik keresahan warga soal kecenderungan globalisasi yang
membuat raksasa manufaktur seperti produsen telepon pintar Apple dan mobil Ford

memindahkan pabrik mereka ke negara-negara berburuh murah seperti China atau Meksiko.

Di balik kesuksesannya, Donald kerap mengeluarkan penyataan yang tak kalah

kontroversial. Bahkan kerap kali rasis dan menyinggung kelompok agama tertentu. Salah

satunya yang baru-baru ini dilontarkannya saat berpidato sebagai bakal calon Presiden AS

dari Partai Republik.

Dia berhasil menyulut kemarahan publik setelah mengeluarkan pernyataan tentang imigran

dari Meksiko. Dalam pernyataannya dia menyebut jika para imigran merupakan 'biang

masalah'.

"Mereka (datang ke Amerika) membawa obat-obatan terlarang, mereka membawa kriminal

dan pemerkosa, meskipun ada beberapa orang baik di antaranya," kata Trump dalam

pidatonya seperti dikutip The Australian. 

Pidatonya itu menyulut kemarahan publik, terutama dari kalangan Hispanik. The

National Hispanic Leadership Agenda, sebuah grup yang menampung 39 organisasi Latin,

meminta NBC untuk hengkang dari segala bisnis Trump. 

Dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berencana membangun tembok di

perbatasan antara Amerika dengan Meksiko. Trump beralasan Meksiko telah banyak

mengambil keuntungan dari negaranya.

"Meksiko telah mengambil keuntungan dari AS cukup lama. Defisit perdagangan

besar & sedikit bantuan di perbatasan sangat lemah harus berubah, sekarang," seru Trump

pada akun Twitternya @realDonaldTrump. Sebelumnya Trump mengatakan alasannya


membangun tembok untuk mencegah masuknya imigran gelap dan penyelundup narkoba.

Hal itu disampaikan saat berpidato di Kementerian Keamanan Dalam Negeri.

Trump juga telah menandatangani surat keputusan pembangunan tembok, yang

panjangnya bisa mencapai 2.000 mil dengan biaya miliaran dolar. Dia akan membebankan

biaya yang diperkirakan sekitar US$ 8 miliar pada pemerintah Meksiko.

Dalam pernyataannya, Presiden Meksiko Enrique Pena Nieto mengecam keras keputusan

Trump dan menegaskan Meksiko tidak akan pernah membayar pembangunan tembok itu.

Sumber utama persoalannya terjadi ada titik ini, diamana  media-media arus utama di

dunia Barat gagal menangkal bangkitnya politik pasca-kebenaran yang dimotori para

pendusta. Para media hanya sibuk melakukan pengecekan fakta dan cukup berbangga diri

telah berhasil membongkar kebohongan para politisi yang membual. Padahal, seorang politisi

hanya merekayasa fakta berdasarkan sentimen yang berkembang di masyarakat. Tanpa

sentimen awal, kebohongan itu akan dengan cepat menguap.

Media-media arus utama menutup mata terhadap sentimen dan praduga ini. Di Eropa,

mereka ramai mengklarifikasi kebohongan berita pengrusakan toilet, tapi tidak membahas

bagaimana proses akulturasi budaya pendatang. Media-media tersebut juga jarang mengulas

bagaimana pemerintah bisa menyediakan pekerjaan bagi pengungsi tanpa harus

menghilangkan kesempatan bagi warga lokal.

Sementara di Amerika Serikat, para juru tulis berita lebih memilih menertawakan

usulan pembangunan tembok besar di sekitar perbatasan Meksiko dan tudingan Trump soal

imigran "pemerkosa". Padahal dalam perspektif pemilih, proposal Trump hanyalah hiperbola

untuk mengatakan bahwa Amerika Serikat butuh sistem keimigrasian yang lebih baik. Media

arus utama dan politisi yang mengaku progresif gagal menangkap aspirasi ini.
Demikian pula soal kontroversi perkataan Trump soal "perubahan iklim hanyalah

berita palsu yang diciptakan China untuk menghancurkan ekonomi Amerika Serikat". Media

arus utama buta terhadap kenyataan bahwa kata kunci yang diperhatikan pemilih adalah

"China" dan "kehancuran ekonomi"--bukan "perubahan iklim."

Maka ketika para jurnalis membongkar kebohongan Trump soal perubahan iklim,

para pemilih justru menanggapinya dengan ringan,"ya media-media itu sudah dibayar oleh

petinggi China."

Masyarakat bukannya tidak sadar akan bahaya perubahan iklim. Tapi mereka lebih

risau melihat Apple mengalih dayakan ("outsource") perakitan telepon pintar iPhone ke

China sehingga penduduk Amerika Serikat hanya menjadi konsumen pasif.

Sebab itu,  tingkat kepercayaan masyarakat Barat terhadap media kini berada di titik

nadir. Mereka menganggap media gagal mewakili aspirasi dan keresahan mereka, dan lebih

tertarik untuk menjatuhkan politisi seperti Trump dengan "pengecekan fakta."

Berita palsu dan dusta dalam era pasca-kebenaran hanyalah lapisan terluar dari

kegelisahan yang nyata. Selama kegelisahan itu tidak diartikulasikan oleh para pembawa

kabar, selama itu pula masyarakat tidak akan percaya dengan gelontoran "fakta-fakta

objektif" dari media massa.

Bangkitnya era politik pasca-kebenaran ini harus menjadi pelajaran bagi media-media

arus utama di Indonesia yang juga sudah mulai kehilangan kepercayaan masyarakat--

terutama dalam kaitannya dengan isu kebangkitan komunisme, invasi China, dan kasus Ahok.
Tanda-tanda kebangkitan politik pasca-kebenaran di Indonesia sudah semakin

banyak, dan sebab itu kian banyak  masyarakat lebih percaya dengan situs-situs berita

penyebar dusta dibanding institusi warta konvensional. Disis lain,  para intelektual lebih

tertarik mengklarifikasi kebohongan remeh temeh yang sebenarnya hanya merupakan lapisan

terluar dari keresahan yang lebih dalam.

Jadi, yang perlu kita antisipasi adalah jangan sampai rekayasa fakta menjadi industri

baru di Indonesia.
UAS
MEDIA HABIT

O
L
E
H

WINDY KATHARINE MAILANGKAY

20160502031

ILMU KOMUNIKASI/PUBLIC RELATION

UNIVERSITAS ESA UNGGUL

2018

Anda mungkin juga menyukai