Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

KEJANG DEMAM

Disusun oleh :

Randa Aditya
1102015187

Pembimbing:
dr. Elsye Souvriyanti Sp.A

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak


Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi
Periode 6 Desember – 10 Desember 2021
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang demam pediatrik, yang merupakan gangguan kejang masa kanak-
kanak yang paling umum, hanya ada dalam hubungan dengan peningkatan suhu.
Bukti menunjukkan, bagaimanapun, bahwa mereka memiliki sedikit hubungan
dengan fungsi kognitif, sehingga prognosis untuk fungsi neurologis yang normal
sangat baik pada anak-anak dengan kejang demam.1
Kejang demam adalah gangguan kejang yang paling umum pada masa
kanak-kanak. Sejak awal abad ke-20, orang-orang telah memperdebatkan apakah
anak-anak ini akan mendapat manfaat dari terapi antikonvulsan setiap hari. Studi
epidemiologi telah menyebabkan pembagian kejang demam menjadi 3 kelompok,
sebagai berikut: kejang demam sederhana, kejang demam kompleks, dan kejang
demam simptomatik. Di Amerika Serikat kejang demam terjadi pada 2-5% anak
usia 6 bulan sampai 5 tahun di negara industri. Di antara anak-anak dengan kejang
demam, sekitar 70-75% hanya mengalami kejang demam sederhana, 20-25%
lainnya mengalami kejang demam kompleks, dan sekitar 5% mengalami kejang
demam simtomatik.1
Mortalitas/Morbiditas dari kejang demam yaitu anak-anak dengan kejang
demam sederhana sebelumnya berada pada peningkatan risiko kejang demam
berulang; ini terjadi pada sekitar sepertiga kasus. Anak-anak yang lebih muda dari
12 bulan pada saat kejang demam sederhana pertama mereka memiliki
kemungkinan 50% untuk mengalami kejang kedua. Setelah 12 bulan,
kemungkinannya berkurang menjadi 30%. Anak-anak yang mengalami kejang
demam sederhana memiliki risiko epilepsi yang sedikit meningkat. Tingkat
epilepsi pada usia 25 tahun adalah sekitar 2,4%, yaitu sekitar dua kali risiko pada
populasi umum. Literatur tidak mendukung hipotesis bahwa kejang demam
sederhana berhubungan dengan kecerdasan yang lebih rendah atau
ketidakmampuan belajar atau berhubungan dengan peningkatan kematian . Jenis
Kelamin Laki-laki memiliki insiden kejang demam yang sedikit (tapi pasti) lebih
tinggi. Usia Kejang demam sederhana paling sering terjadi pada anak usia 6 bulan
sampai 5 tahun.1

2
Dalam analisis kasus-seri dari kohort 323.247 anak-anak AS yang lahir
dari 2004 hingga 2008, Hambidge dkk menemukan bahwa menunda dosis
pertama vaksin campak-gondong-rubella (MMR) atau campak-gondong-rubella-
varicella (MMRV) di luar usia 15 bulan mungkin lebih dari dua kali lipat risiko
kejang pasca vaksinasi pada tahun kedua kehidupan. Pada bayi, tidak ada
hubungan antara waktu vaksinasi dan kejang pascavaksinasi. Pada tahun kedua
kehidupan, bagaimanapun, rasio insiden rate (IRR) untuk kejang dalam 7-10 hari
adalah 2,65 (95% confidence interval [CI], 1,99-3,55) setelah dosis MMR pertama
pada 12-15 bulan. usia, dibandingkan dengan 6,53 (95% CI, 3,15-13,53) setelah
dosis MMR pertama pada 16-23 bulan. Untuk vaksin MMRV, IRR untuk kejang
adalah 4,95 (95% CI, 3,68-6,66) setelah dosis pertama pada 12-15 bulan,
dibandingkan dengan 9,80 (95% CI, 4,35-22,06) untuk dosis pertama pada 16-23
bulan. 1

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal diatas 38,5o C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Kejang demam ini terjadi pada 2% - 4 % anak berumur 6
bulan – 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam,
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam.
Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai
dengan kejang berulang tanpa demam(3). Anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam kemudian kejang demam kembali tidak termasuk
dalam kejang demam(1). Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang
dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam Bila anak berumur
kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului
demam, kemungkinan lain harus dipertimbangkan misalnya infeksi SSP,
atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam. Definisi ini
menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis,
ensefalitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai
prognosis berbeda dengan kejang demam karena keadaan yang
mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat.2
II. EPIDEMIOLOGI
Usia yang tepat merupakan kejang demam sedikit bervariasi di
seluruh literatur medis dengan 6 bulan sampai 60 bulan (5 tahun) menjadi
definisi kerja yang umum. Kejang demam sangat umum, terjadi pada
hingga 4% anak-anak dalam kelompok usia ini. Beberapa anak memiliki
kejadian kejang demam tunggal, dan yang lain memiliki beberapa kejadian
selama masa kanak-kanak. 3
III. ETIOLOGI
Kejang demam terjadi dengan demam lebih tinggi dari 38 C atau
100,4 F dan tidak ada penyebab kejang lainnya seperti dijelaskan di atas.
Demam tertinggi yang diperlukan untuk menyebabkan kejang demam

4
spesifik untuk individu karena suhu kejang ambang setiap anak bervariasi.
Sementara derajat demam pada akhirnya merupakan faktor yang paling
signifikan dalam kejang demam, kejang ini sering terjadi saat suhu tubuh
pasien meningkat. Faktanya, kejang demam mungkin merupakan tanda
pertama bahwa seorang anak sakit, dengan adanya demam lebih dari 38
derajat yang ditemukan segera setelah itu. Tidak ada penyebab spesifik
demam yang lebih mungkin menyebabkan kejang demam, namun, infeksi
virus daripada bakteri paling sering dikaitkan dengan kejang demam.
Virus tertentu, HHV-6, paling sering dikaitkan dengan kejang demam di
Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Di negara-negara Asia, virus
influenza A sering dikaitkan dengan kejang demam. Setiap demam dengan
ketinggian yang memadai dapat menyebabkan kejang demam.3
IV. KLASIFIKASI
a. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau
klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
b. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
1. Kejang lama > 15 menit
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit
atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak
tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam. Kejang fokal
adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului kejang
parsial. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di
antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di
antara anak yang mengalami kejang demam.2

5
V. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi yang tepat dari kejang demam tidak dipahami. Ada
predisposisi genetik yang diakui dengan 10% sampai 20% kerabat tingkat
pertama pasien dengan kejang demam juga mengalami kejang demam.
Tidak ada cara khusus pewarisan yang diketahui. 3

Gambar 1. Patofisiologi Kejang Demam.4


Pada anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
tubuh, dibandingkan pada orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada
kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion
K+ maupun ion Na+ melalui membran tersebut, dengan akibat akan terjadi
lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga
dapat meluas ke seluruh sel maupun ke sel-sel tetangganya melalui
bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak memiliki
ambang kejang yang berbeda.Tergantung dari ambang kejang yang
dimilikinya, seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu.

6
Pada anak yang memiliki ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada
suhu 380C dan pada anak yang memiliki batas ambang kejang yang tinggi,
kejang baru terjadi pada suhu 400C atau lebih. Berdasarkan hal ini dapat
disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering tejadi pada
ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu
diperhatikan pada suhu berapa penderita kejang.5

Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terjadap perubahan


letupan aktivitas neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan
sitokin yang merupakan pirogen endogen, jumlah sitokin akan meningkat
seiring kejadian demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap
demam biasanya dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang
merupakan pirogen endogen atau lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri
gram negatif sebagai pirogen eksogen. LPS menstimulus magrofag yang
akan memproduksi pro- dan anti-inflamasi sitokin tumor necrosis factor-
alpha (TNF-a), IL-6, interleukin-1 receptor antagonist (IL1ra), dan
prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel
endotelial circumventicular akan menstimulus enzim cyclooxygenase-2
(COX-2) yang akan mengkatalis konversi asam arakidonat menjadi PGE2
yang kemudian menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga
terjadi kenaikan suhu tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis
sitokin di hipokampus. Pirogen endogen, yakni interleukin 1𝛽, akan
meningkatkan eksitabilitas neuronal (glutamatergic) dan menghambat
GABA-ergic, peningkatan eksitabilitas neuronal ini yang menimbulkan
kejang. 5

VI. DIAGNOSIS
Anamnesis
- Adanya kejang, jenis kejang , kesadaran, lama kejang

- Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan


anak pasca kejang

7
- Penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala infeksi
saluran napas akut/ISPA, infeksi saluran kemih/ISK. Otitis media
akut/OMA, dll)
- Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam
keluarga
- Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang
mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan
hipoksemia, asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia). 6

Pemeriksaan Fisik
- Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran

- Suhu tubuh: apakah terdapat demam

- Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kerniq,


Laseq dan pemeriksaan nervus cranial
- Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun ubun besar (UUB)
membonjol, papil edema
- Tanda infeksi di luar susunan saraf pusat seperti infeksi saluran
pernapasan, faringitis, otitis media, infeksi saluran kemih dan lain
sebagainya yang merupakan penyebab demam
- Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex
patologis.6

Seorang pasien dengan pemeriksaan umum dan neurologis normal,


yang riwayatnya konsisten dengan kejang demam sederhana, tidak
memerlukan laboratorium, pencitraan, atau evaluasi neurofisiologis lebih
lanjut. Jika riwayat pasien konsisten dengan kejang demam kompleks,
elektroensefalogram (EEG) diperoleh untuk mencari kelainan yang
mendasari yang dapat mempengaruhi pasien untuk kejang. Jika EEG awal
ini tidak normal, pencitraan adalah langkah berikutnya. Dalam kejang
demam kompleks yang kembali ke awal, seringkali ini adalah studi rawat
jalan. Pungsi lumbal dapat menjadi pertimbangan dalam pengaturan
demam dan kejang. Untuk pasien dengan riwayat kejang demam yang

8
tepat dan cepat kembali ke kondisi awal, tidak diperlukan pungsi lumbal.
Pungsi lumbal adalah rekomendasi ketika ada tanda atau gejala yang
menyebabkan kekhawatiran infeksi SSP; lebih lanjut, pungsi lumbal harus
dipertimbangkan pada bayi berusia 6 bulan sampai 12 bulan tanpa
imunisasi yang tepat terhadap Streptococcus pneumoniae atau
Haemophilus influenza tipe B dan pada pasien yang memakai antibiotik di
mana pengobatan parsial dapat menutupi meningitis atau infeksi SSP
lainnya. Studi pencitraan tidak diindikasikan untuk kejang demam
sederhana. 3

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada
kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.2
Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan
atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis
bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk
menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi
klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan 3. Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal. 2
Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat mem prediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi

9
pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak
direkomendasikan).Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada
keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam
kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.2
Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-
scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan,
tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI 3.
3. Papiledema 2
VII. DIAGNOSIS BANDING
 Diagnosis banding kejang demam meliputi:

 Meningitis aseptik

 Meningitis bakterial

 Ensefalitis 3
VIII. TATALAKSANA
Penatalaksanaan saat kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu
pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan
kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena
adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau
dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.2
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah
adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg
dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal
dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg

10
untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang
demam).2
Pemberian obat pada saat demam Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengu- rangi
risiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di Indonesia sepakat
bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang
digunakan adalah 10 –15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih
dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/ kg/kali ,3-4 kali sehari Meskipun
jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama
pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat
tidak dianjurkan.2
Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat
demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%- 60% kasus,
begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/ kg setiap 8 jam pada

suhu > 38,50C. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia,
iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital,
karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk
mencegah kejang demam.2

11
Gambar 2. Alogaritma Tatalaksana Kejang Demam.7
Pemberian obat rumat Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam
menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu):
1. Kejang lama > 15 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental,
hidrosefalus.
3. Kejang fokal
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
 Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
 Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12.2
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit
merupakan indikasi pengobatan rumat Kelainan neurologis tidak nyata

12
misalnya keterlam batan perkembangan ringan bukan merupakan indikasi
pengobatan rumat.2
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Berdasarkan bukti ilmiah
bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat
menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan
terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek.2
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gang- guan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini
adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur
kurang dari 2 tahun asam val- proat dapat menyebabkan gangguan fungsi
hati. Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan
fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis. 2
Lama pengobatan rumat
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.2
IX. PROGNOSIS
Sekitar 30% dari anak-anak dengan kejang demam sebelumnya
tetap pada peningkatan risiko kejang demam berulang. Anak-anak kurang
dari 12 bulan pada saat kejang demam pertama memiliki peluang 50%
untuk mengalami kejang kedua dalam tahun pertama. Risiko ini turun
menjadi 30% pada tahun berikutnya. Selain usia muda selama kejang
demam pertama, riwayat kejang demam dalam keluarga, demam derajat
rendah selama kejang, dan interval yang lebih pendek antara demam dan
kejang dapat mengindikasikan kemungkinan kejang demam berulang yang
lebih tinggi. Namun, gambaran yang terkait dengan kejang demam
kompleks tidak selalu meningkatkan risiko kekambuhan kejang demam.
Sekitar 1-2% anak-anak dengan kejang demam sederhana - hanya risiko
sedikit lebih tinggi daripada populasi umum - mengembangkan epilepsi

13
berikutnya. Namun, anak-anak dengan kejang demam kompleks,
perkembangan saraf abnormal, atau dengan riwayat keluarga epilepsi
memiliki risiko epilepsi yang lebih tinggi (sekitar 5-10%). Tidak ada bukti
bahwa kejang demam terkait dengan ketidakmampuan belajar atau
kecerdasan yang lebih rendah.3

X. KOMPLIKASI
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak
pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap
normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara
retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus,
dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau
kejang berulang baik umum atau fokal. 2
Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor
risiko berulangnya kejang demam adalah :
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga.
2. Usia kurang dari 12 bulan.
4.Temperatur yang rendah saat kejang.
5. Cepatnya kejang setelah demam. 2
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat fak- tor tersebut
kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan
berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.2
Faktor risiko terjadinya epilepsi
Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari.
Faktor risiko menjadi epilepsi adalah :

14
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama.
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung.2
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian
epilepsi sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut
meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%- 49%. Kemungkinan
menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada
kejang demam.2
XI. PENCEGAHAN
Edukasi pada orang tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua.
Pada saat kejang sebagian besar orang tua berang- gapan bahwa anaknya
telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang
diantaranya:
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis
baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus
diingat adanya efek samping obat. 2
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring.
Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun
kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam
mulut.
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.

15
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal dan jangan diberikan bila kejang telah
berhenti.
7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
lebih.2
Vaksinasi
Sejauh in tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi
terhadap anak yang mengalami kejang demam. Kejang setelah demam
karena vaksinasi sangat jarang. Angka kejadian pasca vaksinasi DPT
adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divak- sinasi sedangkan setelah
vaksinasi MMR 25-34 per 100.000. Dianjurkan untuk memberikan
diazepam oral atau rektal bila anak demam, terutama setelah vaksinasi
DPT atau MMR. Beberapa dokter anak merekomendasikan parasetamol
pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian .2
Beberapa intervensi farmakologis telah dipelajari untuk mencegah
kekambuhan kejang demam. Namun, potensi manfaat harus ditimbang
terhadap potensi risiko. Sebuah tinjauan Cochrane menunjukkan bahwa
diazepam intermiten secara signifikan mengurangi kejang demam
berulang hingga 48 bulan dibandingkan dengan plasebo atau tanpa
pengobatan. Fenobarbital berkelanjutan mengurangi kejang demam
berulang dibandingkan dengan plasebo pada 6, 12, dan 24 bulan tetapi
tidak pada 18 atau 72 bulan.42 Meskipun benzodiazepin intermiten atau
antiepilepsi kontinu memiliki manfaat yang signifikan secara klinis dan
statistik, efek samping terjadi pada hingga 30% dari pasien. Mengingat
sifat kejang demam yang jinak, penggunaan rutin obat ini tidak dianjurkan
untuk mengurangi kekambuhan kejang demam. Ibuprofen dan
asetaminofen dipostulatkan untuk mengurangi risiko kejang demam
dengan melemahkan efek demam sebagai pemicu penyitaan. Sebuah
tinjauan Cochrane tidak menemukan manfaat antipiretik untuk
mengurangi risiko kejang demam. Namun, uji coba acak tanpa buta Jepang

16
baru-baru ini terhadap 423 anak dengan kejang demam menemukan bahwa
asetaminofen rektal yang diberikan setiap enam jam selama 24 jam secara
signifikan mengurangi kemungkinan kejang demam jangka pendek.
kekambuhan dibandingkan tanpa antipiretik (9,1% vs 23,5%; P <.001;
jumlah yang dibutuhkan untuk mengobati = 7).43 Diduga bahwa seng
berperan dalam kejang demam karena kadar seng dalam darah dan cairan
serebrospinal secara signifikan lebih rendah pada anak yang pernah
mengalami kejang demam dibandingkan dengan kejang tanpa demam.
Namun, ulasan Cochrane tidak menemukan manfaat dari suplementasi
seng sulfat terus menerus untuk mencegah kejang demam.8

DAFTAR PUSTAKA

1. (Robert, J.B. 2019. Pediatric Febrile Seizures. Medscape dapat diakses di


https://emedicine.medscape.com/article/1176205-overview#a1)
2. (IDAI. 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Badan Penerbit
IDAI, Jakarta.)
3. (Kathryn et al. 2021. Febrile Seizure. Stat Pearls dapat diakses di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448123/)
4. (Catherine,B. 2019. Simple Febrile Seizure : Pathogenesis and Clinical
findings. Calgary Guide. Dapat diakses di
http://calgaryguide.ucalgary.ca/wp-content/uploads/2019/01/Simple-
Febrile-Seizure-Pathogenesis-and-clinical-findings-.jpg )
5. Sunartini. 2003. Simposium Ilmiah Manajemen Baru untuk Kejang
Demam dan Epilepsi pada Anak, di RS DR. Sardjito 27 Mei 2003.
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjahmada Yogyakarta.

6. Nia K. Kejang pada Anak. Bandung 2007.

17
7. Irawan M. 2013. Status Epileptikus Konvulsivus pada Anak in Penata
Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak. Jakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. p. 21-32.
8. Dustin. K. et al. 2019. Febrile Seizures: Risks, Evaluation, and Prognosis.
Am Fam Physician. South Carolina. 2019 Apr 1;99(7):445-450. Dapat
diakses di https://www.aafp.org/afp/2019/0401/p445.html

18

Anda mungkin juga menyukai