Salah satu aspek kemukjizatan al-qur’an adalah sari segi pemberitaannya tentang hal-hal yang
gaib. Hal itu menunjukkan sebuah tanda yang jelas dan pasti bahwa al-qur’an bukanlah ucapan
seorang manusia, melainkan ucapan dari Yang Maha Mengetahui Hal-hal Ghaib.
Ghaib adalah sesuatu yang tidak diketahui, tidak nyata atau tersembunyi. Penulis buku Mukjizat
al-qur’an, Muhammad Quraish Shihab, memberikan sebuah ilustrasi tentang pengertian gaib.
Misalnya, jika anda menyimpan sesuatu dalam saku anda, maka sesuatu itu adalah gaib bagi
orang lain, tetapi tidak bagi anda. Suatu ketika apabila yang berada dalam saku anda diketahui
oleh mereka yang tidak mengetahuinya sebelum ini, maka ketika itu apa yang ada dalam saku
anda bukan lagi merupakan sesuatu yang gaib bagi orang itu.
Akan tetapi ada sekian banyak hal yang tidak mungkin diketahui manusia dalam kehidupan ini,
misalnya kapan terjadinya hari kiamat, atau kapan datangnya kematian. Dari sini terlihat bahwa
gaib bertingkat-tingkat, ada yang nisbi, dalam arti ia gaib bagi seseorang tapi bagi lainnya tidak,
atau pada waktu tertentu gaib dan pada waktu lain tidak. Misalnya, dulu orang mengetahuinya
tetapi kini, setelah berlalu sekian lama waktu, tidak diketahui lagi, atau sebaliknya. Ada juga
gaib yang sifatnya mutlak.
Dalam makalah ini, insya Allah akan dijelaskan seputar mukjizat al-qur’an dari aspek
pembertiaan gaib. Dan penyusun sengaja mengambilkan materi ini dengan meringkas tulisan
Quraish Shihab dari bukunya yang berjudul Mukjizat Al-Qur’an karena didalamnya dijelaskan
dengan cukup lengkap. Semoga dapat memberikan manfaat dan pencerahan.
Dan kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut. Merekapun diikuti oleh Fir’aun dan
tentaranya, karena mereka hendak menganiaya dan menindas (Bani Israil). Ketika Fir’aun telah
hampir tenggelam, berkatalah dia, “saya percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang
disembah oleh Bani Israil dan Saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya)”.
(Allah menyambut ucapan Fir’aun ini dengan berfirman), “Apakah sekarang (baru kamu
percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-
orang yang berbuat kerusakan. Hari ini kami selamatkan badanmu, supaya kamu menjadi
pelajaran bagi (generasi) yang adatang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan manusia
lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami. (QS Yunus [10] :90-92)
Yang perlu digarisbawahi dalam konteks pembicaraan kita adalah firmnan-Nya: Hari ini kami
selamatkan badanmu agar engkau menjadi pelajaran bagi generasi yang datang sesudahmu”
Memang orang mengetahui bahwa Fir’aun tenggelam di Laut Merah ketika mengejar Nabi Musa
dan kaumnya. Tetapi menyangkut keselamatan badannya dan menjadi pelajaran bagi generasi
sesudahnya merupakan suatu hal yang tidak diketahui siapapun pada masa Nabi Muhammad,
nahkan tidak disinggung oleh Perjanjian Lama dan Baru.
Maspero, seorang pakar sejarah Mesir kuno, menjelaskan dalam petunjuk bagi pengunjung
Museum Mesir, setelah mempelajari dokumen-dokumen yang ditemukan di Alexandria Mesir,
bahwa penguasa mesir yang tenggelam itu bernama Maneptah (atau Memptah?) yang kemudian
oleh Sejarawan Driaton dan Vendel, melalui dokumen-dokumen lain, membuktikan bahwa
penguasa Mesir itu memerintah antara 1224 SM hingga 1214 SM, atau 1204 menurut pendapat
lain.
Sekali lagi pada masa turunnya al-Qur’an lima belas abad yang lalu, tidak seorang pun yang
mengetahui dimana sebenarnya penguasa yang tenggekam itu berada, dan bagaimana pula
kesudahan yang dialaminya. Namun pada 1986, Purbakalawan Lorent, menemukan jenazah
tokoh tersebut dalam bentuk Mumi di Wadi al-Muluk (Lembah Para Raja) berada di daerah
Thaba, Luxor, di seberang sungai Nil Mesir. Kemudian pada 8 Juli 1907, Elliot Smith membuka
pembalut-pembalut mumi itu dan ternyata badan Fir’aun tersebut dalam keadaan utuh.
Pada Juni 1975, ahli bedah Perancis, Maurice Bucaille, mendapat izin untuk melakukan
penelitian lebih lanjut tentang Mumi tersebut dan menemukan bahwa Fir’aun meninggal di Laut.
Ini terbukti dari bekas-bekas garam yang memenuhi sekujur tubuhnya, walalupun sebab
kematiannya-menurut para pakar tersebut- diakibatkan oleh shock. Bucaille pada akhirnya
berkesimpulan bahwa:
Alangkah agungnya contoh-contoh yang diberikan oleh ayat-ayat al-Qur’an tentang tubuh
Fir’aun yang sekarang berada di Ruang Mumi Museum Mesir di kota Kairo. Penyelidikan dan
penemuan modern telah menunjukkan kebenaran al-qur’an.
Betapa ia tidak menunjukkan kebenaran kebenarannya, sedangkan informasi-Nya tentang
diselamatkannya jasad Fir’aun untuk menjadi pelajaran bagi generasi sesudahnya terbukti
dengan sangat jelas. Sayang sekitar pada tahun 1985, pemerintah mesir menutup kamar tempat
penyimpanan mumi itu untuk umum, karena rupanya pengaruh udara dari luar dan polusi yang
disebabkan oleh mikro-organisme telah memengaruhi keadaan mumi itu. Namun demikian
kebenaran pemberitaan ghaib al-Qur’an telah dapat dibuktikan.
c. Ashab al-kahfi
Keraguan masyarakat Arab Makkah tentang kenabian Muhammad saw dan kebenaran al-qur’an
terus berlanjut. Mereka mengutus tiga orang untuk menemui tokoh agama Yahudi Najran guna
meminta tanggapan mereka tentang Muhammad. Para tokoh Yahudi tersebut mengusulkan agar
kaum musyrik mekkah bertanya kepada Nabi tentang tiga hal. Jika menjawabnya dengan baik,
maka dia seorang Nabi. “Lalu tanyakan pula satu hal lain, dan jika dia menduga tahu dia
berbohong.” Demikian ucap orang-orang Yahudi. Ketiga hal tersebut adalah, pertama, kisah
sekelompok pemuda yang masuk berlindung dan tidur sekian lama. Berapa jumlah mereka san
siapa atau apa yang bersama mereka? Kedua, kisah Musa, ketika diperintahkan Tuhan untuk
belajar. Ketiga, kisah seorang penjelajah ke Timur dan ke Barat.
Adapun keempat, yang ia berbohong kalau mengetahui jawabannya, adalah kapan terjadinya hari
kiamat.
Benarkah informasi atau jawaban al-qur’an bahwa terdapat tujuh orang pemuda bersama seekor
anjing yang berlindung dari kekejaman penguasa masanya menuju gua? (QS al-Kahfi [18]:22)
Benarkah mereka tertidur di gua selama 300 tahun menurut erhitungan syamsiyah atau 309 tahun
menurut perhitungan Qamariah? (QS al-Kahfi [18] :21) Benarkah ketika mereka terbangun dan
diketahui oleh masyarakat, mereka disambut baik, karena ketika itu penguasa tidak lagi
menindas penganut-penganut agama Kristen (QS al-Kahfi [18]: 21)? Benarkah bahwa diatas
lokasi gua mereka kemusian dibangun tempat peribadatan? (QS al-Kahfi [18] : 21).