Anda di halaman 1dari 32

Nama/Kelas: M Risqy C.D.A.

W/XI MIPA 1
No Absen: 18

Resume BAB 4 : MASA KEJAYAAN ISLAM


Masa kejayaan Islam adalah masa di mana Islam mengalami perkembangan pesat
dalam berbagai bidang yang terjadi pada tahun 650‒1250. Periode ini disebut
Periode Klasik. Masa kejayaan Islam didukung oleh dua kerajaan besar, yaitu
Kerajaan Umayyah atau Daulah Umayyah dan Kerajaan Abbasiyah yang disebut
Daulah Abbasiyah.
Pembahasan
Kemajuan umat Islam pada masa Daulah Umayyah dan Abbasiyyah itu tidak
terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
1. Faktor internal, yang terdiri dari
konsistensi dan istiqamah umat Islam kepada ajaran Islam
ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk maju
Islam sebagai rahmat seluruh alam
Islam sebagai agama dakwah sekaligus keseimbangan dalam menggapai kehidupan
duniawi dan ukhrawi.
2. Faktor eksternal, yang terdiri dari
terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Seperti pengaruh Persia di
bidang pemerintahan, ilmu filsafat, dan sastra. Pengaruh Yunani melalui berbagai
macam terjemah dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
Gerakan Terjemah dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum terutama di
bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, dan sejarah.
3. Gerakan ilmiah atau etos keilmuan dari para ulama, yaitu
Melaksanakan ajaran Alquran secara maksimal.
Melaksanakan isi hadis.
Mengembangkan ilmu agama dengan berijtihad
Ulama yang berdiri sendiri serta menolak untuk menjadi pegawai pemerintahan
Periodisasi Sejarah Islam
1. Periode Klasik (650‒1250)
Periode Klasik merupakan periode kejayaan Islam yang dibagi ke dalam dua fase,
yaitu:
a. Fase ekspansi, integrasi, (650‒1000),
b. Fase disintegrasi (1000‒1250).
2. Periode Pertengahan (1250‒1800)
Periode Pertengahan merupakan periode kemunduran Islam yang dibagi ke dalam
dua fase, yaitu:
a. fase kemunduran (1250‒1500 M)
b. fase munculnya ketiga kerajaan besar (1500‒1800), yang dimulai dengan zaman
kemajuan (1500‒1700 M) dan zaman kemunduran (1700‒1800).
3. Periode Modern (1800‒dan seterusnya)
Periode Modern merupakan periode kebangkitan umat Islam yang ditandai dengan
munculnya para pembaharu Islam.
Masa Kejayaan Islam
Masa kejayaan Islam terjadi pada sekitar tahun 650‒1250. Periode ini disebut
Periode Klasik. Pada kurun waktu tersebut, terdapat dua kerajaan besar, yaitu
Kerajaan Umayyah atau sering disebut Daulah Umayyah dan Kerajaan Abbasiyah
yang sering disebut Daulah Abbasiyah.
Pada masa Bani Umayyah, perkembangan Islam ditandai dengan meluasnya
wilayah kekuasaan Islam dan berdirinya bangunan-bangunan sebagai pusat
dakwah Islam. Kemajuan Islam pada masa ini meliputi: bidang politik, keagamaan,
ekonomi, ilmu bangunan (arsitektur), sosial, dan bidang militer.
Sementara perkembangan Islam pada masa Bani Abbasiyah ditandai dengan
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Kemajuan Islam pada masa ini
meliputi bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, ilmu bangunan (arsitektur), sosial,
dan bidang militer.
Dinasti Bani Umayah berdiri selama lebih kurang 90 tahun (40-132H atau 661-750
M), dengan Damaskus sebagai pusat pemerintahannya. Muawiyah bin Abi Sufyan
(661-680 M) adalah pendiri Dinasti Bani Umayah dan penguasa imperium yang
sangat luas. Selama 20 tahun masa pemerintahannya ia terlibat dalam sejumlah
peperangan dengan penguasa Romawi baik dalam pertempuran darat maupun laut.
Wilayah kekuasaan dinasti ini meliputi daerah Timur Tengah, Afrika Utara dan
Spanyol. Muawiyah meninggal dunia pada Kamis pertengahan Rajab 60 H dalam
usia 78 tahun. Secara berturut-turut, para Khalifah Daulah Umayyah di Damaskus
adalah sebagai berikut.

Muawiyah I (41-60 H/661-680 M)


Yazid I (60-64 H/680-683 M)
Muawiyah II (64 H/683 M)
Marwan I (64-65 H/684-685 M)
Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
Al-Walid I (86-96 H/705-715 M)
Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
Yazid II (101-105 H/720-724 M)
Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
Al-Walid II (125-126 H/743-744 M)
Yazid III (126 H/744 M)
Ibrahim bin Walid (126 H/744 M)
Marwan II (127-132 H/744-750 M)
Perkembangan kebudayaan Islam masa Bani Umayyah tidak lepas dari berbagai
kebijakan yang telah diambil. Secara umum, Bani Umayyah lebih banyak
mengarahkan kebijakannya pada perluasan kekuasan politik atau perluasan
wilayah, baik ke Timur maupun ke Barat. Peranan dinasti ini dalam
menyebarluaskan Islam cukup besar. Pada masa ini banyak daerah yang dikuasai
umat Islam.
Kebijakan pemerintahan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan Islam
Bani Umayyah adalah pada saat Muawiyah bin Abi Sufyan memerintah sebagai
khalifah pertama. Kebijakan-kebijakan berikut ini menjadi fondasi Bani Umayyah
menjadi kuat dan menjadi sumber inspirasi dan motivasi besar bagi kekuasaan
Bani Umayyah di dalam menata kekuasaan selanjutnya.
Memperluas wilayah Islam di tiga wilayah yang rata-rata subur: Afrika Utara,
India dan Byzantium. Dari ketiga wilayah tersebut, Byzantium lebih dahulu
ditaklukan karena selain subur, masyarakatnya menganut Nasrani Ortodoks.
Membentuk Departemen dan Duta, tugasnya untuk mengirim beberapa duta Islam
membawa misi Islam ke beberapa wilayah; Cina, India, Indonesia, Bukara,
Tajikistan, Samarkan, Afrika Utara dan Andalusia.
(Mengangkat beberapa profesional dalam bidang Administrasi keuangan dari
orang-orang Byzantium untuk dipekerjakan dalam pemerintahan Islam.
Khalifah-khalifah Bani Umayyah lain yang ikut menetapkan beberapa kebijakan
monumental pada masa pemerintahannya, diantaranya:
Kebijakan Marwan bin Hakam (64-65 H), menetapkan mata uang sebagai alat
resmi pemerintah untuk barter atau alat tukar. Sejarah mata uang pertama kali
diciptakan di dunia dan dijadikan sebagai alat tukar.
Kebijakan Abdul Malik bin Marwan (65-86 H), antara lain: (1) Menumpas
pemberontakan yang terjadi, membuat keadaan pemerintahan menjadi kondusif
dan perkembangan peradaban menjadi lancar. (2) Merubah bahasa administrasi
dari bahasa Yunani dan bahasa Pahlawi ke bahasa Arab. Hal inilah yang
mendorong Sibawaihi menyusun Al-Kitab, yang kemudian menjadi pegangan
dalam tata bahasa Arab. (3) Pada 659 M. merubah mata uang yang dipakai di
daerah-daerah yang dikuasai Islam, yang sebelumnya menggunakan mata uang
Bizantium dan Persia berupa dinar dan dirham, dengan mata uang yang dicetak
sendiri dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab, berupa dinar yang terbuat dari
emas, dan dirham dari perak.
Kebijakan Al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H) mengirimkan 12.000 pasukan
Islam ke Eropa atau Andalusia terjadi pada tahun 711 M.
Kebijakan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H), memerintahkan gubernur Madinah
agar masyarakat Islam yang ada di Madinah, Hijaz dan sekitarnya menghimpun,
menyeleksi dan menyempurnakan hadits.
Dalam menjalankan politik pemerintahannya, Muawiyah bin Abu Sufyan
mengubah kebijakan sebelumnya. Kalau pada masa Khulafaur Rasyidin
pengangkatan khalifah dilakukan dengan cara pemilihan, Muawiyah mengubah
kebijakan itu dengan cara turun-temurun. Karenanya, khalifah penggantinya adalah
Yazid bin Muawiyah, putranya sendiri. Ada dua hal yang menarik dari sistem
pemerintahan yang dibangun oleh Bani Umayyah, yaitu politik ekspansi (perluasan
wilayah) dan sistem monarkhi (Monarchiheridetis).
Sistem politik
Perluasan wilayah begitu intens dilakukan Bani Umayyah, utamanya pada masa
pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan (40-60 H), Abdul Malik Bin Marwan
(65--86 H), dan Walid Bin Abdul Malik (86--96H). Perluasan ini dilandasi oleh
semangat dan keinginan untuk merajai dan berkuasa yang telah berkobar dalam
jiwa para khalifah untuk mendatangkan kehebatan bagi negaranya. Penaklukan ini
melibatkan sejumlah penyerangan terhadap wilayah-wilayah terpencil yang
dilaksanakan oleh sejumlah kekuatan tambahan non-Arab. Oleh karena itu, perang
yang terjadi pada masa ini bukanlah perang ekspansi kesukuan, melainkan perang
kerajaan yang berjuang untuk meraih dominasi dunia. Hal ini berbeda dengan
serangkaian penaklukan pada masa Khulafaur Rasyidin, yang lebih
dilatarbelakangi oleh sejumlah migrasi kesukuan dan pengerahan kekuatan Arab
yang berpusat di beberapa pangkalan militer.
Sistem Pemerintahan
Adapun sistem pemerintahan yang diterapkan Bani Umayyah adalah sistem
monarkhi (Monarchiheridetis), yang mana suksesi kepemimpinan dilakukan secara
turun temurun. Semenjak Muawiyah berkuasa, raja-raja Umayyah yang berkuasa
kelak menunjuk penggantinya dan para pemuka agama diwajibkan menyatakan
sumpah setia di hadapan raja. Sistem pengangkatan penguasa seperti ini,
bertentangan dengan prinsip dasar dan ajaran permusyawaratan. Sistem ini
merupakan bentuk kedua dari sistem pemerintahan yang pernah dipraktekkan umat
Islam sebelumnya, yakni musyawarah, dimana sepeninggal Nabi Muhammad saw,
khulafur rasyidin dipilih sebagai pemimpin berdasarkan musyawarah.
Dalam menata administrasi pemerintahan, Bani Umayyah mengembangkan
administrasi pemerintahan Khulafaurrasyidin. Pada masa Umar bin Khatab, telah
ada lima bentuk departemen, yaitu Nidhamul Maaly, Nidhamul harbi, Nidhamul
Idary, Nidhamul Siashi dan Nidhamul Qadhi. Bentuk departemen ini kemudian
dikembangkan lagi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dalam bentuk yang lebih luas
dan menyeluruh, sebagai berikut.
An-Nidham Al-Idari
Organisasi tata usaha negara pada permulaan Islam sangat sederhana, tidak
diadakan pembidangan usaha yang khusus. Demikian pula keadaannya pada masa
Daulah Bani Umayyah, administrasi negara sangat simpel. Pada umumnya, di
daerah-daerah Islam bekas daerah Romawi dan Persia, administrasi pemerintahan
dibiarkan terus berlaku seperti yang telah ada, kecuali diadakan perubahan-
perubahan kecil. Ada empat organisasi tata usaha pada masa Bani Umayyah, yaitu:
Ad-Dawawin. Untuk mengurus tata usaha pemerintahan, Daulah Umayyah
mendirikan empat dewan atau kantor pusat, yaitu: diwanul kharraj, diwanur rasail,
diwanul mustaghilat al-mutanawi'ah, dan diwanul Khatim. Keempat dewan ini
memiliki tugas dan tanggung jawab mengurus surat-surat lamaran raja,
menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain dan dibalut dengan lilin
kemudian di atasnya dicap.
Al-Imarah Ala Al-Buldan. Daulah Umayyah membagi daerah Mamlakah
Islamiyah menjadi lima wilayah besar, yaitu Hijaz, Yaman dan Nejed (pedalaman
jazirah Arab), Irak Arab dan Irak Ajam, Aman dan Bahrain, Karman dan Sajistan,
Kabul dan Khurasan, negeri-negeri di belakang sungai (Ma Wara'a Nahri) dan Sind
serta sebagian negeri Punjab, Mesir dan Sudan, Armenia, Azerbaijan, dan Asia
Kecil, Afrika Utara, Libia, Andalusia, Sisilia, Sardinia dan Balyar. Setiap wilayah
besar diangkat seorang Amirul Umara (Gubernur Jenderal) yang di bawah
kekuasaannya terdapat beberapa orang amir (gubernur) yang mengepalai satu
wilayah. Dalam rangka pelaksanaan kesatuan politik bagi negeri-negeri Arab,
khalifah Umar mengangkat para gubernur jenderal yang berasal dari orang-orang
Arab. Politik ini dijalankan terus oleh khalifah-khalifah sesudahnya, termasuk para
khalifah Daulah Umayyah.
Barid. Organisasi pos dalam tata usaha pemerintahan semenjak Muawiyah bin Abi
Sofyan memegang jabatan khalifah. Setelah Abdul Malik bin Marwan berkuasa
organisasi pos dikembangkan sehingga menjadi alat penting dalam administrasi
negara.
Syurthah. Organisasi syurthah (kepolisian) dilanjutkan dan dikembangkan pada
masa Daulah Umayyah. Pada mulanya organisasi ini menjadi bagian dari
organisasi kehakiman yang bertugas melaksanakan perintah hakim dan keputusan-
keputusan pengadilan, yang kepalanya sekaligus sebagai pelaksana al-Hudud.
Kemudian organisasi kepolisian terpisah dari kehakiman dan berdiri sendiri,
dengan tugas mengawasi dan mengurus soal-soal kejahatan. Khalifah Hisyam
memasukkan dalam organisasi kepolisian satu badan yang bernama Nidhamul
Ahdas dengan tugas hampir serupa dengan tugas tentara yaitu semacam brigade
mobil.
An Nidham Al-Mali
Organisasi keuangan atau ekonomi. Sumber pemasukan keuangan pada zaman
Daulah Umayyah pada umumnya sama seperti pada masa permulaan Islam,
sebagai berikut.
Al Dharaib, yaitu suatu kewajiban yang harus dibayar oleh warga negara (Al
Dharaib) pada zaman Daulah Umayyah. Penduduk dari wilayah-wilayah yang baru
ditaklukkan, terutama yang belum masuk Islam, ditetapkan pajak-pajak istimewa.
Masharif Baitul Mal, yaitu pengeluaran keuangan pada masa Daulah Umayyah,
pada umumnya sama seperti pada masa permulaan Islam yaitu untuk: (a) Gaji para
pegawai dan tentara serta biaya tata usaha pemerintahan; (b) Pembangunan
pertanian, termasuk irigasi dan penggalian terusan-terusan; (c) Biaya orang-orang
hukuman dan tawanan perang; (d) Biaya perlengkapan perang; dan (e) Hadiah-
hadiah kepada para pujangga dan para ulama. Selain itu, para khalifah Umayyah
menyediakan dana khusus untuk dinas rahasia.
An Nidham Al-Harbi
Organisasi pertahanan pada masa Daulah Umayyah sama seperti yang telah dibuat
oleh khalifah Umar, hanya lebih disempurnakan. Bedanya, pada masa Khulafaur
Rasyidin tentara Islam adalah tentara sukarela, sedangkan pada masa Daulah
Umayyah orang masuk tentara kebanyakan dengan paksa atau setengah paksa,
yang dinamakan Nidhamut Tajnidil Ijbari, semacam undang-undang wajib militer.
Politik ketentaraan pada masa ini adalah Arab oriented, dimana anggota tentara
haruslah terdiri dari orang-orang Arab. Organisasi tentara pada masa ini banyak
mencontoh organisasi tentara Persia. Pada masa khalifah Utsman telah mulai
dibangun angkatan laut, tetapi sangat sederhana. Muawiyah membangun armada
musim panas dan armada musim dingin yang kuat dengan tujuan untuk: (1)
mempertahankan daerah-daerah Islam dari serangan armada Romawi; dan (2)
memperluas dakwah Islamiyah.-
An Nidhamm Al-Qadhai
Pada masa Daulah Umayyah kekuasaan pengadilan telah dipisahkan dari
kekuasaan politik. Kehakiman pada zaman itu mempunyai dua ciri khas yaitu: (1)
seorang qadhi memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu
belum ada lagi madzhab empat atau madzhab lainnya. Pada masa itu para qadhi
menggali hukum sendiri dari al-Qur'an dan As Sunnah dengan berijtihad. (2)
Kehakiman belum terpengaruh dengan politik, karena para qadhi bebas merdeka
dengan hukumnya, tidak terpengaruh dengan kehendak para pembesar yang
berkuasa. Para hakim pada zaman Umayyah adalah manusia pilihan yang bertakwa
kepada Allah swt dan melaksanakan hukum dengan adil, sementara itu para
khalifah mengawasi gerak-gerik dan perilaku mereka, sehingga kalau ada yang
menyeleweng langsung dipecat. Kekuasaan kehakiman di zaman ini dibagi ke
dalam tiga badan: (1) Al-Qadha, seorang qadhi bertugas menyelesaikan perkara-
perkara yang berhubungan dengan agama; (2) Al-Hisbah, seorang al-Muhtashib
bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang
memerlukan tindakan cepat; dan (3) An-Nadhar fil Madhalim yaitu mahkamah
tertinggi atau mahkamah banding.
An Nadhar fil Madhalim merupakan pengadilan tertinggi yang bertugas menerima
banding dari pengadilan yang berada di bawahnya dan mengadili para hakim dan
para pembesar tinggi yang bersalah. Pengadilan ini bersidang di bawah pimpinan
khalifah atau orang yang ditunjuk olehnya. Para khalifah Bani Umayyah
menyediakan satu hari saja dalam seminggu untuk keperluan ini dan yang pertama
kali mengadakannya adalah Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Seperti
mahkamah-mahkamah yang lain, Mahkamah Madhalim ini diadakan dalam
masjid. Ketua Mahkamah Madhalim dibantu oleh lima orang pejabat lainnya,
dimana sidang mahkamah itu tidak sah tanpa mereka yaitu: (1) Para pengawal
yang kuat, yang sanggup bertindak kalau para pesakitan lari; (2) Para hakim dan
qadhi; (3) Para sarjana hukum (fuqaha) tempat para hakim meminta pendapat
tentang hukum; dan (4) Para penulis yang bertugas mencatat segala jalannya
siding.
Selain itu, pada masa Daulah Umayyah diadakan satu jabatan baru yang bernama
al-Hijabah, yaitu urusan pengawalan keselamatan khalifah. Kebijakan ini diambil
mungkin karena khawatir akan terulang peristiwa pembunuhan terhadap Ali dan
percobaan pembunuhan terhadap Muawiyah dan Amru bin Ash. Oleh karenanya,
diadakan penjagaan yang ketat terhadap diri khalifah, sehingga siapapun tidak
dapat menghadap sebelum mendapat izin dari para pengawal (hujjab). Kepala
pengawalan keselamatan khalifah adalah jabatan yang sangat tinggi dalam istana
kerajaan. Ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan melantik kepala pengawalnya,
antara lain dia memberi amanat, "Engkau telah kuangkat menjadi kepala
pengawalku. Siapapun tidak boleh masuk menghadap tanpa izinmu, kecuali
muazzin, pengantar pos dan pengurus dapur".
Warisan peradaban
Wujud kebudayaan fisik berupa hasil aktivitas, perbuatan, dan karya manusia
dalam masyarakat Islam pada masa Bani Umayyah tampak sekali, seperti:
bangunan istana, masjid, dan rumah sakit. Istana-istana yang didirikan sebagai
tempat beristirahat di padang pasir pada masa ini, antara lain Qusayr Amrah dan
Al-Mushatta. Masjid-masjid pertama di luar semenanjung Arab dibangun pada
masa ini, antara lain:

Katedral St. John di Damaskus dirubah menjadi masjid. Bahkan katedral yang di
Hims, di pusat kota Suriah digunakan sekaligus untuk masjid dan gereja.
Membangun masjid Sidi 'Uqbah bin Nafi' di makam 'Uqbah bin Nafi', panglima
Muawiyah yang berhasil menaklukkan Afrika pada 50 H, di Kairuwan, Tunisia.
Abdul Malik membangun masjid Al-Aqsa di Al-Quds, Jerusalem.
Membangun monument Qubbah Al-Sakhr (Kubah Batu Karang) di-Quds,
Jerusalem, di sebuah tempat yang menurut riwayat adalah tempat Nabi Ibrahim
menyembelih Islmail dan Nabi Muhammad saw memulai mi'raj ke langit.
Membangun masjid Cordova
Al-Walid Memperbaiki, mempercantik, dan memperbesar Masjid Al-Haram di
Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.
Al-Walid membangun berbagai institusi untuk melayani para penderita lepra yang
lumpuh dan buta di Suriah. Ia merupakan penguasa pertama yang membangun
rumah sakit bagi penderita penyakit kronis dan rumah-rumah penderita lepra, yang
kemudian menginspirasi dan diikuti oleh Barat.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tokoh-tokohnya masa Bani Umayyah di
Damaskus
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Bani Umayyah di Damaskus meliputi
3 bidang, yaitu bidang diniyah, bidang tarikh dan bidang filsafat. Pada masa itu
kaum muslimin memperoleh kemajuan yang sangat pesat, tidak hanya penyebaran
agama Islam saja, tetapi juga penemuan-penemuan ilmu lainnya. Pembesar Bani
Umayyah secara khusus menyediakan dana tertentu untuk pengembangan ilmu
pengetahuan. Para khalifah mengangkat ahli-ahli cerita dan mempekerjakan
mereka dalam lembaga-lembaga ilmu, berupa masjid-masjid dan lembaga lainnya
yang disediakan oleh pemerintah. Kebijakan ini mungkin karena didorong oleh
beberapa hal: (1) Pemerintah Bani Umayyah dibina atas dasar kekerasan karena itu
mereka membutuhkan ahli syair, tukang kisah dan ahli pidato untuk bercerita
menghibur para khalifah dan pembesar istana. (2) Jiwa Bani Umayyah adalah jiwa
Arab murni yang belum begitu berkenalan dengan Filsafat dan tidak begitu serasi
dengan pembahasan agama yang mendalam. Mereka merasa senang dan nikmat
dengan syair-syair yang indah dan khutbah-khutbah balighah (berbahasa indah).
Para ahli sejarah menyimpulkan bahwa perkembangan gerakan ilmu pengetahuan
dan budaya pada masa Bani Umaiyyah di Damaskus memfokuskan pada tiga
gerakan besar yaitu; (1) Gerakan ilmu agama, karena didorong oleh semangat
agama yang sangat kuat pada saat itu; (2) Gerakan Filsafat, karena ahli agama
diakhir Daulah Umayyah terpaksa menggunakan filsafat untuk menghadapi kaum
Nasrani dan Yahudi; dan (3) Gerakan sejarah, karena ilmu-ilmu agama
memerlukan riwayat.
Pengembangan ilmu pengetahuan pada masa Bani Umayyah di Damaskus tampak
pada beberapa bidang. Kegiatan-kegiatan ilmiah tersebut berpusat di Kuffah dan
Basrah, Irak.
Ilmu Tafsir
Setelah Daulah Umayyah di Damaskus berdiri, kaum muslim berhajat kepada
hukum dan undang-undang yang bersumber dari al-Qur'an, sedangkan para qurra
dan mufassirin menjadi tempat bertanya masyarakat dalam bidang hukum. Pada
zaman ini keberadaan tafsir masih berkembang dalam bentuk lisan dan belum
dibukukan. Ilmu tafsir pada saat itu belum berkembang seperti pada zaman Bani
Abbasiyah.
Ilmu Hadis
Pada saat mengartikan makna ayat-ayat al-Qur'an, kadang-kadang para ahli hadis
kesulitan mencari pengertian dalam hadis karena terdapat banyak hadis yang
sebenarnya bukan hadis. Dari kondisi semacam ini maka timbullah usaha para
muhaddisin untuk mencari riwayat dan sanad hadis. Proses seperti ini pada
akhirnya berkembang menjadi ilmu hadis dengan segala cabang-cabangnya.
Perkembangan hadist diawali dari masa khalifah Umar bin Abdul Aziz dan ulama
hadis yang mula-mula membukukan hadis yaitu Ibnu Az Zuhri atas perintah
khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Ilmu kalam
Di masa inilah dimulai ilmu kalam dan muncullah nama-nama, seperti Hasan Al-
Basri, Ibn Shihab Al-Zuhri, dan Wasil ibn Ata'. Perang yang diakhiri dengan
tahkim (arbitrase) telah menyebabkan munculnya berbagai golongan, yaitu
Muawiyah, Syiah (Pengikut) Ali, Khawarij dan sahabat-sahabat yang netral. Dari
peristiwa yang diakibatkan oleh perseteruan dalam bidang politik akhirnya
bergeser ke permasalahan teks-teks agama tepatnya masalah teologi atau ilmu
kalam. Kaum Khawarij memandang Ali telah berbuat salah dan telah berdosa
dengan menerima arbitrase itu. Menurut mereka penyelesaian dengan cara
arbitrase atau tahkim itu bertentangan dengan al-Quran. Firman Allah dalam surat
al-Maidah ayat 44, "Dan barang siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa
yang telah diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir." Dengan
landasan ayat al-Quran tersebut, mereka menghukum semua orang yang terlibat
dalam tahkim itu telah menjadi orang-orang kafir. Kafir dalam arti telah keluar dari
Islam. Orang yang keluar dari Islam di katakan murtad, dan orang murtad halal
darahnya dan wajib dibunuh. Maka dari itu mereka memutuskan untuk membunuh
Ali, Muawiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa, dan yang berhasil dibunuh hanya
Imam Ali (Yusuf, 2014: 9-10)
Persoalan ini akhirnya menimbulkan tiga aliran Ilmu Kalam dalam Islam, yaitu: (a)
Aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir,
dalam arti keluar dari Islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh. (b) Aliran
Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin dan
bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah untuk
mengampuni atau tidak mengampuninya. (c) Aliran Mu'tazilah yang tidak
menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar
bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. Orang yang serupa ini mengambil posisi di
antara ke dua posisi mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arab terkenal dengan
istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi) (Rozak, 2012:
35). Setelah ketiga aliran di atas, lalu muncul pula dua aliran Ilmu Kalam yang
terkenal dengan nama Qadariyah dan Jabariah. Menurut Qadariyah manusia
memiliki kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.Sebaliknya, Jabariyah
berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya.
Dari paparan sekilas ini, secara jelas dapat diketahui bahwa peristiwa tahkim
berdampak dan berimplikasi kepada tumbuhnya aliran-aliran dalam Ilmu Kalam.
Khawarij, Murjiah dan Mu'tazilah merupakan aliran yang pertama sekali muncul
dalam sejarah peradaban Islam. Kemudian muncul aliran Qadariyah dan Jabariyah.
Kedua aliran ini kendatipun pada awalnya muncul dengan membentuk aliran
tersendiri, tetapi dalam perkembangannya tidak lagi dapat disebut sebagai aliran.
Paham Qadariyah dan Jabariyah kemudian memasuki aliran-aliran Ilmu Kalam
yang ada (Yusuf, 2014: 13).
Ilmu Qira'at
Dalam sejarah perkembangan ilmu, yang pertama kali berkembang adalah ilmu
qiraat. Cabang Ilmu ini mempunyai kedudukan yang sangat penting pada
permulaan Islam sehingga orang-orang yang pandai membaca al-Qur'an pada saat
itu disebut para Qurra. Setelah pembukuan dan penyempurnaan al-Qur'an pada
masa Khulafaur Rasyidin dan al-Qur'an yang sah dikirim ke berbagai kota wilayah
bagian, kemudian lahirlah dialek bacaan tertentu bagi masing-masing penduduk
kota tersebut dan mereka mengikuti bacaan seorang qari' yang dianggap sah
bacaannya. Akhirnya muncul dan masyhurlah tujuh macam bacaan yang sekarang
terkenal dengan nama Qiraat sab'ah kemudian selanjutnya ditetapkan sebagai
bacaan standar.
Ilmu Nahwu
Dengan meluasnya wilayah Islam dan didukung dengan adanya upaya Arabisasi
maka ilmu tata bahasa Arab sangat dibutuhkan. Sehingga dibukukanlah ilmu
nahwu dan menjadi salah satu ilmu yang penting untuk dipelajari. Memulai
mempelajari tata Bahasa Arab yang dikenal dengan nama nahwu adalah ketika
seorang bayi memulai berbicara dilingkungannya. Tanpa tata bahasa maka
pembicaraan tidak akan baik dan benar. Setelah banyak bangsa di luar bangsa Arab
masuk Islam dan sekaligus wilayahnya masuk dalam daerah kekuasaan Islam maka
barulah terasa bagi bangsa Arab dan mulai di perhatikan dengan cara menyusun
ilmu nahwu. Adapun ilmuwan bidang bahasa pertama yang tercatat dalam sejarah
perkembangan ilmu yang menyusun ilmu nahwu adalah Abu al-Aswad al-Du'ali
yang berasal dari Baghdad. Salah satu jasa dari Al-Du'ail adalah menyusun
gramatika Arab dengan memberikan titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula
tidak ada. Abu Aswad Ad Dualy yang wafat tahun 69 H. Tercatat beliau belajar
dari shahabat Ali bin Abi Thalib, dengan demikian ada saja ahli sejarah
mengatakan bahwa sahabat Ali bin Abi Thalib-lah bapaknya ilmu nahwu.
Tarikh dan Geografi
Geografi dan tarikh pada masa ini telah menjadi cabang ilmu tersendiri. Dalam
mengembangkan ilmu tarih ilmuwan pada masa ini mengumpulkan kisah tentang
Nabi dan para Sahabatnya yang kemudian dijadikan landasan bagi penulisan buku-
buku tentang penaklukan (maghazi) dan biografi (sirah). Munculnya ilmu geografi
dipicu oleh berkembangnya dakwah Islam ke daerah-daerah baru yang luas dan
jauh. Penulisan sejarah Islam dimulai pada saat terjadi peristiwa-peristiwa penting
dalam Islam dan dibukukannya dimulai pada saat Bani Umayyah dan
perkembangan pesat terjadi pada saat Bani Abbasiyah. Demikian begitu pesatnya
perkembangan sejarah Islam sehingga para ilmuan berkecimpung dalam bidang itu
dapat mengarang kitab-kitab sejarah yang tidak dapat dihitung banyaknya. Sampai
sekarang prestasi penulisan sejarah pada saat Bani Umayyah dan Abbasiyah tidak
dapat ditandingi oleh bangsa manapun, tercatat kitab sejarah yang ditulis pada
zaman itu lebih dari 1.300 judul buku.
Seni Bahasa
Umat Islam masa Bani Umayyah selain telah mencapai kemajuan dalam bidang
politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan, juga telah tumbuh dan berkembang seni
bahasa. Perhatian kepada syair Arab Jahiliyah timbul kembali dan penyair-penyair
Arab barupun timbul, seperti Umar Ibn Abi Rabi' (w. 719 M), Jamil Al-Udhri (w.
701 M), Qays Ibn Al-Mulawwah (w. 699 M) yang lebih dikenal dengan nama
Majnun Laila, Al-Farazdaq (w. 732 M), Ummu Jarir (w. 792 M), penyair yang
mendukung dan memelihara kemulian Badui dan yang syair-syairnya menonjol
karena nafas-nafas spiritualnya, dan Al-Akhtal (w. 710 M) yang beragama Kristen
aliran Jacobite. Pada masa ini seni dan bahasa mengambil tempat yang penting
dalam hati pemerintah dan masyarakat Islam pada umumnya. Pada saat kota-kota
seperti Bashra dan Kuffah adalah pusat perkembangan ilmu dan sastra. Orang-
orang Arab muslim berdiskusi dengn bangsa-bangsa yang telah maju dalam hal
bahasa dan sastra. Di kota--kota tersebut umat Islam menyusun riwayat Arab, seni
bahasa dan hikmah atau sejarah, nahwu, sharaf, balaghah dan juga berdiri klub-
klub para pujangga. Pada masa ini juga muncul terjemahan-terjemahan awal
naskah-naskah filsafat Yunani dari bahasa Suryani ke bahasa Arab
Perkembangan Islam di India
Berdasar Population by Region in India, perkembangan Islam di India melalui
empat tahap.
Tahap pertama yaitu masa sebelum Kerajaan Mogul (705-1526).
Tahap kedua, pada masa kekuasaan Kerajaan Mogul (1526-1858).
Tahap ketiga, pada masa Kekuasaan Inggris (1858- 1947).
Tahap keempat, Islam di negara India sekuler (1947-sekarang).
Namun sejak abad pertama Hijriyah, di masa Umar bin Khattab melakukan
ekspedisi, Agama Islam telah masuk ke India.
Pada 643 M, orang Arab menaklukkan Makran di Baluchistan.
Kaum muslim melanjutkan ekspedisi ini dan berhasil menguasai Sind pada masa
pemerintahan Bani Umayyah.
Akhirnya orang Arab telah menjadi penghuni tetap di sana mulai 871 M.
Mahmud Gaznawi berhasil menaklukkan raja-raja Hindu di India pada 1020 dan
membuat mereka memeluk agama Islam.
Setelah Dinasti Gaznawi runtuh, muncullah dinasti-dinasti kecil. Ketika terjadi
kekacauan, mereka mengundang Muhammad Babur dari Kabul yang lalu berhasil
mendirikan Kerajaan Mogul.
Di masa pemerintahan Kerajaan Mogul ini menjadi puncak kekuasaan umat Islam
di India. Perkembangan Islam di India ini muncul dalam seni, sastra, dan arsitektur
termasuk istana, vila dan masjid yang indah.
Masjid berlapis mutiara dibangun di masa Syah Jehan dan Taj Mahal, masjid Raya
Delhi, serta istana di Lahore.
Selanjutnya di zaman kekuasaan Inggris, sejumlah pemikir muslim mulai
memperjuangkan kemajuan umat Islam untuk melepaskan diri dari
Sejak India merdeka pada 15 Agustus 1947, India menjadi negara republik, lalu
sejumlah pemikir Islam mulai lahir.
Sejak itu dalam pengembangannya, umat Islam India yang minoritas ini, akhirnya
mendapatkan kebebasan dan hidup berdampingan bersama agama lain.
Pola Konversi di India
Pola Konversi masyarakat India menjadi Islam dalam perkembangan Islam di India
terjadi secara bertahap.
Hal ini disebabkan sebelum Islam, masyarakat India terpecah berdasarkan sistem
kasta, menjadi bagian yang terpisah. Seluruh kasta bisa saja masuk Islam pada
suatu waktu tertentu dengan berbagai alasan.
Kesetaraan dalam agama Islam dianggap lebih menarik daripada sistem kasta yang
rasial. Pada sistem kasta, tidak ada kesempatan untuk mencapai hal yang lebih
besar dibandingkan dengan pencapaian orang tua.
Dengan beragama Islam, semua orang berkesempatan untuk naik kelas sosialnya
dalam masyarakat, tidak lagi tunduk kepada kasta Brahmana. Agama buddha, yang
sebelumnya sangat populer di benua India, mati perlahan-lahan di bawah
kekuasaan Islam.
Perkembangan Islam di New Delhi, ibukota India
Di New Delhi, umat Islam tidak menjadi minoritas seperti halnya di tempat lain di
India. Islam berkembang dengan sangat baik, bahkan umat Islam menjadi pejabat
dan anggota dewan serta para cendekiawan di New Delhi.
Pemerintah India juga menetapkan hari libur pada perayaan hari besar agama Islam
di New Delhi.
New Delhi menjadi tempat berkumpulnya komunitas Muslim yang cenderung
menganut mazhab Hanafi serta sisanya penganut Syiah.
Kesadaran mempelajari Islam mulai menyebar di New Delhi sejak tahun 2000,
ditandai dengan munculnya taman pengajian Quran (TPA) yang sangat efektif.
Bukti nyata dari pesatnya perkembangan Islam di New Delhi adalah kehadiran Taj
Mahal, yang dibangun pada 1632-1654.
Salah satu keajaiban dunia ini merupakan sumbangan peradaban umat Islam di
India, sekaligus menunjukkan kepada dunia bahwa perkembangan Islam di India
sudah sangat maju.
Taj Mahal ini adalah lambang kejayaan Dinasti Mogul. Meski beragama Islam,
Dinasti Mogul tetap bertoleransi terhadap berbagai agama dan keyakinan lain.
Demikianlah perkembangan Islam di India bukanlah hasil dari kekerasan dan
pemaksaan, bukti yang ada tidak mendukung sama sekali.
Meskipun pada akhirnya para pemimpin muslim digantikan oleh raja Hindu di
sebagian besar wilayah, masyarakat Muslim tetap dibiarkan apa adanya.
Berikut adalah tokoh pembaharu islam di India:
Syah Waliyullah adalah tokoh pembaharu islam di India yang lahir di kota Delhi
tahun 1702. Orangtuanya adalah sufi serta pengelola madrasah sehingga akses ilmu
ia dapatkan dengan mudah. Bahkan setelah ia dewasa, ia turut menjadi salah satu
pengajar di madrasah tersebut. Syah Waliyullah banyak menulis kitab-kitab, yang
paling terkenal adalah Fuyun Al-Haramain dan Hujjatullah Al-Balighah.
Sayyid Ahmad Khanadalah ulama pembaharu India yang juga lahir di Delhi. Ia
tampil sebagai ulama baru setelah Kerajaan Mughal berhasil dimusnahkan oleh
Inggris. Sayyid Ahmad Khan ini berpikir dengan bekerja sama dengan Inggris
maka kedudukan umat islam yang ada di India bisa ditingkatkan.
Muhammad Iqbal, adalah salah satu pembaharu islam di India. Ia pernah
mengenyam pendidikan di Cambridge University juga di Jerman. Muhammad
Iqbal ini adalah presiden Liga Muslimin.
Perkembangan islam di Mesir
Islam masuk ke Mesir pada abad 7 ketika Khalifah Umar bin Khatab
memerintahkan
Amr bin As membawa pasukan tentara Islam untuk mendudukinya. Setelah
menduduki
Mesir, Amr bin As menjadi amir (gubernur) di sana (632-660) dan menjadikan
Fustat (dekat Kairo) sebagai pusat pemerintahan.
Pada masa-masa selanjutnya, Mesir berada di bawah pemerintahan dinasti seperti
Umayah, Abbasiyah, Tulun (868-905), Ikhsyid (935-969), Fatimiah (909-1171),
Ayubiyah (1174-1250) yang ditandai dengan Perang Salib (1096-1273), dan
Mamluk
(1250-1517). Pada masa sesudahnya, Mesir menjadi bagian dari Kerajaan Turki
Ottoman. Dalam rentang penguasaan pemerintahan dinasti itu, masa jaya Islam di
Mesir terjadi pada masa Dinasti Fatimiah ketika ibu kota pindah ke Kairo dan
Universitas Al Azhar didirikan.
Keberadaan Al Qahira atau Kairo bermula ketika Mu’izz Lidinillah, khalifah
Fatimiah, berniat melakukan ekspansi ke Mesir. Ia pun mengutus panglima
perangnya, Jauhar al Katib as Siqilli, untuk menaklukkan Mesir. Jauhar berhasil
membangun sebuah kota baru yang diberi nama Al Qahira (Kairo) pada tahun
969. Pada 973, Khalifah Mu’izz hijrah ke Mesir dan menjadikan Kairo sebagai
pusat pemerintahan.
James E Lindsay dalam Daily Life in the Medieval Islamic World bercerita tentang
Al Qahira atau Kairo ini. Ibu kota baru ini, tulis Lindsay, dibangun dengan
sangat baik. Sebuah masjid megah, yakni Masjid Al Azhar, dibangun di sana.
Istana kerajaan ada di jantung kota. Dari sisi pertahanan, Jauhar membangun
benteng tangguh yang melingkupi Kairo. Di beberapa bagian benteng itu, ada
gerbang berpelat besi. Lewat gerbang inilah, warga setempat bisa bepergian ke
Suriah dan Fustat.
Selain masjid, dibangun pula mushala. Berbeda dengan masjid yang ada di pusat
kota, mushala lebih banyak berlokasi di pinggiran kota. Penguasa Mesir saat itu
juga menyediakan lahan pemakaman untuk warga.
Di bawah Dinasti Fatimiah, Kairo mencapai kejayaan sebagai pusat pemerintahan.
Dinasti ini menorehkan kegemilangan selama 200 tahun. Wilayahnya mencakup
Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman, dan
Hijaz. Kairo pun tumbuh sebagai pusat perdagangan di kawasan Laut Tengah dan
Samudera Hindia. Sementara ibu kota Mesir sebelumnya, Fustat, menjadi bagian
dari wilayah administratifnya.
Tokoh Tokoh Pembaruan Islam Pada Masa Modern di Mesir
a. Muhammad Ali Pasya (1765 – 1849 M)
Muhammad Ali Pasya lahir di Kawala, Yunani, tahun 1765 dan meninggal di
Mesir pada tahun 1849. Ia adalah seorang keturunan Turki. Sebagai seorang raja,
Muhammad Ali memprioritaskan bidang militer. Ia berpandangan bahwa
kekuasaannya hanya dapat dipertahankan dan diperbesar dengan kekuatan militer.
Untuk menopang kekuatan militer, maka ia membangun kekuatan ekonomi. Ia
berpendapat bahwa di balik kekuatan militer pasti ada kekuatan ekonomi sebagai
penyedia biayanya. Untuk membangun kekuatan militer dan kekuatan ekonomi,
ilmu-ilmu modern diperlukan sebagaimana telah dikenal orang di eropa.
Selain pemikiran tersebut, ide dan gagasan Muhammad Ali Pasya yang dinilai
inovatif pada zamannya adalah mendirikan sekolah-sekolah modern.
Muhammad Ali Pasya memasukkan ilmu-ilmu modern dan sains ke dalam
kurikulum di sekolah-sekolah yang ia dirikan. Sekolah- sekolah inilah yang
kemudian dikenal sebagai sekolah modern di Mesir pada khususnya dan dunia
Islam pada umumnya.
Ketika Muhammad Ali Pasya memperkenalkan pendidikan sistem modern,
masyarakat Mesir saat itu masih menggunakan sistem pendidikan tradisional yaitu
kuttab, masjid, madrasah, dan Jami’ Al-Azhar (Universitas Al-Azhar). Ilmu-ilmu
yang dikembangkan di lembaga-lembaga tradisional ini hanya “ilmu keagamaan
saja”, seperti tafsir, hadis, fiqh, dan ilmu tauhid.
Muhammad Ali Pasya melihat bahwa lembaga-lembaga pendidikan tradisional
yang sudah ada tentu sulit menerima kurikulum modern ke dalam lembaganya.
Oleh karena itu, ia tidak mengubah lembaga pendidikan tradisional yang sudah
ada, tetapi menempuh jalan alternatif mendirikan sekolah modern sendiri. Ide dan
tindakan yang ditempuh Muhammad Ali Pasya ini menunjukkan adanya kemajuan
di zamannya. Ia berani berbeda dengan merealisasikan pikiran strategisnya untuk
kemajuan umat Islam.
b. Rifa’ah Baidawi Rafi’ Al-Tahtawi (1801-1873 M).
Tokoh ini sering dikenal dengan sebutan Al - Tahtawi. Ia lahir pada tahun 1801 di
Tahta, suatu kota yang terletak di Mesir bagian selatan dan meninggal di Kairo
pada tahun 1873. Al-Tahtawi mulai belajar di Universitas Al-Azhar Kairo ketika
usianya 16 tahun.
Ia menyelesaikan studi di Al-Azhar pada tahun 1822 dalam waktu lima tahun.
Beberapa pemikiran tentang pembaruan Islam yang diusungnya adalah sebagai
berikut:
Ajaran Islam bukan hanya mementingkan kesejahteraan hidup di akhirat belaka,
tetapi juga hidup di dunia.
Kekuasaan raja yang cenderung absolut harus dibatasi dengan syariat. Oleh karena
itu, raja harus bermusyawarah dengan ulama dan kaum intelektual.
Syariat harus diartikan sesuai dengan perkembangan modern.
Para ulama harus mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan modern agar syariat
dapat tegak di tengah kehidupan masyarakat modern.
Pendidikan harus bersifat universal, misalnya wanita harus memperoleh
pendidikan yang sama dengan kaum pria. Istri harus menjadi teman dalam
kehidupan intelektual dan sosial.
Umat Islam harus dinamis dan meninggalkan sifat statisnya.
c. Jamaludin Al-Afghani (1839-1897 M).
Jamaludin lahir di Afghanistan pada tahun 1839 dan meninggal dunia di Istanbul
tahun 1897. Pada usia 22 tahun, ia telah menjadi pembantu bagi Pangeran Dost
Muhammad Khan di Afghanistan. Di tahun 1864 ia menjadi penasehat Sir Ali
Khan. Beberapa tahun kemudian ia diangkat oleh Muhammad A’zam Khan
menjadi Perdana Menteri.
Pada saat ia menjadi perdana Menteri, penguasa Inggris telah mulai mencampuri
soal politik dalam negeri Afghanistan. Ketika pergolakan terjadi di Afganistan,
maka Al-Afghani memilih untuk melawan golongan yang disokong oleh Inggris.
Dalam pergolakan itu, pihak Al-Afghani kalah maka ia merasa lebih aman
meninggalkan tanah tempat kelahirnya dan akhirnya menempuh perjalanan ke
Mesir.
Beberapa pemikiran Jamaludin AlAfghani tentang pembaruan Islam adalah
sebagai berikut:
Kemunduran umat Islam tidak disebabkan karena Islamnya. Kemunduran itu
disebabkan oleh berbagai faktor yang terdapat dalam diri umat Islam sendiri.
Untuk mengembalikan kejayaan Islam di masa lalu dan sekaligus menghadapi
dunia modern, maka umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang murni.
Islam juga harus dipahami dengan akal serta kebebasan berpikir.
Corak pemerintahan otokrasi dan absolut harus diganti dengan pemerintahan
demokratis. Kepala negara harus bermusyawarah dengan pemuka masyarakat yang
berpengalaman.
Tidak ada pemisahan antara agama dan politik. Rasa solidaritas antarumat Islam
(Pan Islamisme) harus dihidupkan kembali di dunia Islam.
d. Muhammad Abduh (1849 – 1905 M).
Muhammad Abduh dilahirkan di daerah Mesir hilir pada tahun 1849. dan wafat
tanggal 11 Juli 1905. Ketika kecil, Muhammad Abduh belajar di rumah. Ia
melanjutkan belajar al-Qur’an hingga hafal dalam waktu dua tahun. Ia kemudian
meneruskan studinya ke Universitas AlAzhar. Di lembaga inilah Abduh untuk
pertama kalinya bertemu dengan Jamaludin Al-Afghani yang datang ke Mesir
dalam perjalanannya ke Istanbul. Dalam pertemuan itu, Jamaludin Al-Afghani
mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai arti beberapa ayat al-Qur’an,
kemudian Al-Afghani memberikan tafsirannya.
Perjumpaan itu menorehkan kesan yang baik dalam diri Muhammad Abduh.
Ketika Jamaludin Al-Afghani datang ke Mesir lagi untuk menetap di tahun 1871,
Muhammad Abduh menjadi muridnya yang setia. Ia mulai belajar filsafat di bawah
pimpinan Jamaludin Al-Afghani. Di masa ini ia telah mulai menulis karangan-
karangan untuk harian Al-Ahram.
Studi Abduh di Al-Azhar selesai pada tahun 1877 dengan mendapat gelar Alim.
Setelah itu, ia mulai mengajar, pertama di Al-Azhar, kemudian di Dar Al- Ulum
dan di rumahnya sendiri. Di antara sumber bahan ajarnya adalah buku akhlak
karangan Ibn Miskawaih,
Mukaddimah karya Ibn Khaldun dan Sejarah Kebudayaan ropa karangan Guizot.
Ketiga buku terebut diterjemahkan Al-Tahtawi ke dalam bahasa Arab di tahun
1857.
Adapun ide-ide pembaruan Muhammad Abduh yang membawa dampak positif
bagi pengembangan pemikiran Islam sebagai berikut.
Pintu ijtihad masih terbuka lebar bagi umat Islam. Ijtihad merupakan dasar penting
dalam menafsirkan kembali ajaran Islam.
Islam adalah ajaran rasional yang sejalan dengan akal. Dengan akal, maka ilmu
pengetahuan menjadi maju.
Kekuasaan negara harus dibatasi oleh konstitusi yang dibuat oleh negara yang
bersangkutan.
e. Muhammad Rasyid Rida (1865 – 1935 M).
Muhammad Rasyid Rida adalah murid Muhammad Abduh yang paling dekat. Ia
lahir pada tahun 1865 di Al- Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak
jauh dari kota Tripoli (Syria). Semasa kecil, ia dimasukkan ke madrasah tradisional
di Al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung, dan membaca al-Qur’an. Pada
tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di Madrasah Al-Wataniah Al-Islamiyah
(Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Di madrasah ini, selain diajarkan bahasa Arab,
Turki dan Perancis, juga diajarkan pengetahuan-pengetahuan agama dan
pengetahuan-pengetahuan modern.
Meskipun Muhammad Rasyid Rida sudah belajar kepada guru-guru
sebelumnya.Dalam perjalanan pemikirannya, ia banyak dipengaruhi juga oleh ide-
ide Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah Al-rwah Al-
u£qa. Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan Al-Afghani di Istanbul, tetapi
niat itu tidak terwujud.
Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, Muhammad
Rasyid Rida mendapat kesempatan untuk berjumpa dan berdialog dengan murid
Al-Afghani ini. Dialog-dialog ilmiah itu meninggalkan kesan yang baik dalam diri
Muhammad Rasyid Rida. Muhammad Rasyid Rida mulai menjalankan ide-ide
pembaruan ketika masih berada di Syria. Usaha-usaha itu mendapat tantangan dari
pihak Kerajaan Usmani. Ketika masih berada di Syria, ia merasa terikat dan tidak
bebas. Akhirnya, ia berketetapan hati untuk pindah ke Mesir agar dapat dekat
dengan Muhammad Abduh. Muhammad Rasyid Rida tiba di Mesir pada bulan
Januari 1898.
Beberapa bulan kemudian Muhammad Rasyid Rida mulai menerbitkan majalah
yang termasyhur berjudul Al-Manar. Isi majalah ini banyak diilhami oleh
pemikiran Muhammad Abduh. Pada edisi nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan
Al-Manar sama dengan tujuan Al-rwah Alu£qa. Tujuan tersebut antara lain
mengadakan pembaruan dalam bidang agama, sosial, dan ekonomi. Tujuan kedua
majalah tersebut yaitu memurnikan tauhid umat Islam dari unsur-unsur ajaran yang
bukan Islam, menghilangkan paham fatalisme yang bersarang di tengah kehidupan
umat Islam, meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam dari
permainan politik negara-negara Barat.
Beberapa pemikiran Rasyid Rida tentang pembaruan Islam adalah sebagai berikut:
Di tengah kehidupan umat Islam harus ditumbuhkan sikap aktif dan dinamis.
Umat Islam harus meninggalkan sikap dan pemikiran kaum fatalis, Jabariyah
(yaitu kaum yang hanya pasrah pada keadaan).
Akal dapat dipergunakan untuk menafsirkan ayat dan hadis tanpa meninggalkan
prinsip umumnya.
Umat Islam harus menguasai sains dan teknologi untuk mencapai kemajuan.
Kemunduran umat Islam disebabkan karena ada banyak unsur ajaran bukan Islam
yang sudah masuk terlalu jauh ke dalam ajaran Islam, sehingga ajaran Islam di
tengah kehidupan umat Islam tidak murni lagi. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pemurnian ajaran Islam di tengah kehidupan umat Islam.
Perkembangan Islam di Turki
Masa awal
Pada awalnya wilayah Turki dikuasai oleh Kekaisaran Romawi Timur, sebuah
kerajaan pada masa awal abad Masehi. Kerajaan Bizantium ini dikuasai oleh
kerajaan Romawi selama kurang lebih 4 abad.
Pada tahun 395 Kekaisaran Romawi terpecah dua, Romawi Barat dan Romawi
Timur. Kemudian di tangan kerajaan Romawi timur, Bizantium itu kemudian
diubah namanya menjadi Konstantinopel dan dijadikan ibu kota. Sebaliknya
Romawi Barat kala itu jatuh ke kekuasaan barbar (Goth) sekitar tahun 476 M.
Kemudian pada abad ke dua belas, wilayah Konstantinopel ini kemudian dikuasai
oleh Kesultanan Utsmaniyah. Yang pada saat penaklukannya itu dipimpin oleh
Muhammad al-Fatih. dan menurut sejarah pada masa raja inilah masa keemasan
Kerajaan Turki Ottoman karena ditopang oleh rasa keagamaan Islam yang kental.
Istanbul kemudian menjadi ibu kota Turki Usmani.
Era Utsmaniyah
Pada tahun 1453 saat Kesultanan Utsmaniyah mulai berkuasa di Turki, Islam
makin dominan di Turki. Gereja-gereja di Turki yang merupakan peningalan
Bizantium termasuk Hagia Sophia banyak diubah menjadi masjid. Islam menjadi
sangat dominan hingga tahun 1920an.
Era Modern
Saat Kesultanan Utsmaniyah runtuh dan diteruskan oleh Republik Turki pada
1923, Islam menjadi sedikit mundur karena perubahan Turki dari kesultanan
menjadi negera sekuler.
Efek lainnya adalah dimulainya penggunaan Kalender Masehi seperti di negara-
negara Barat ketimbang Kalender Hijriyah, dan penggunaan kata Tanrı ketimbang
Allah. Kemudian Hagia Sophia yang diubah lagi menjadi museum, pelarangan
pengajaran agama Islam, dan pembatasan jumlah masjid.
Pada masa Reformasi Turki pada 1945, setelah peringanan kontrol politik otoriter
pada tahun 1946, banyak orang mulai memanggil secara terbuka untuk kembali ke
praktik keagamaan tradisional. Selama tahun 1950-an, bahkan pemimpin politik
tertentu merasa bijaksana untuk bergabung dalam advokasi para pemimpin agama
untuk menghormati agama. Para reintroduksi agama ke dalam kurikulum sekolah
mengangkat masalah pendidikan tinggi agama. Para elit sekuler, yang cenderung
tidak percaya para pemimpin agama tradisional, percaya bahwa Islam bisa
"direformasi" jika pemimpin masa depan telah dilatih dalam seminari yang
dikontrol pemerintah. Untuk mewujudkan tujuan ini, pemerintah pada tahun 1949
mendirikan sebuah fakultas keilahian di Universitas Ankara untuk melatih guru
Islam dan imam. Pada tahun 1951 pemerintah mendirikan Partai Demokrat sekolah
menengah khusus (imam hatip okulları) untuk pelatihan imam dan pendeta.
Awalnya, sekolah imam hatip tumbuh sangat lambat, tetapi jumlah mereka
berkembang pesat menjadi lebih dari 250 pada tahun 1970-an, ketika pro-Islam
Partai Keselamatan Nasional berpartisipasi dalam pemerintahan koalisi. Setelah
kudeta 1980, militer, meskipun sekuler dalam orientasi, agama dilihat sebagai cara
yang efektif untuk melawan ide-ide sosialis dan dengan demikian dasar
pembangunan sembilan puluh imam hatip lebih sekolah tinggi.
Selama tahun 1970-an dan 1980-an, Islam mengalami semacam rehabilitasi politik
karena para pemimpin sekuler kanan-tengah menganggap agama sebagai benteng
potensi dalam perjuangan ideologis mereka dengan pemimpin sekuler kiri-tengah.
Sebuah kelompok advokasi kecil yang menjadi sangat berpengaruh adalah Hearth
Cendekiawan, sebuah organisasi yang menyatakan bahwa budaya Turki benar
merupakan sintesis tradisi Turki 'pra-Islam dan Islam. Menurut Hearth, Islam tidak
hanya merupakan suatu aspek penting dari budaya Turki tetapi adalah kekuatan
yang dapat diatur oleh negara untuk membantu mensosialisasikan orang-orang
untuk menjadi patuh warga sepakat untuk tatanan sekuler secara keseluruhan.
Setelah kudeta militer 1980, banyak usulan Hearth untuk restrukturisasi sekolah,
perguruan tinggi, dan penyiaran negara diadopsi. Hasilnya adalah pembersihan dari
lembaga-lembaga negara lebih dari 2.000 intelektual dirasakan sebagai
mengemban ide-ide kiri tidak sesuai dengan visi Hearth tentang kebudayaan
nasional Turki.
Meskipun tarikah (istilah ini kadang-kadang dapat digunakan untuk mengacu pada
setiap 'kelompok atau sekte' yang beberapa di antaranya bahkan mungkin tidak
Muslim) telah memainkan peran mani dalam kebangkitan agama Turki dan di
pertengahan 1990-an masih terbit beberapa negara yang paling beredar luas jurnal
keagamaan dan surat kabar, sebuah fenomena baru, İslamcı aydın (intelektual
Islam) yang tidak berafiliasi dengan perintah Sufi tradisional, muncul selama tahun
1980-an. Para penulis produktif dan populer seperti Ali Bulaç, Rasim Özdenören,
dan İsmet Özel mengambil dari pengetahuan mereka tentang filsafat Barat,
sosiologi Marxis, dan teori politik Islam radikal untuk melakukan advokasi
perspektif Islam modern yang tidak ragu-ragu untuk mengkritik penyakit
masyarakat asli sedangkan secara bersamaan tetap setia kepada nilai-nilai etika dan
dimensi spiritual agama. Intelektual Islam mengkritik keras para intelektual sekuler
Turki, yang mereka salahkan karena mencoba melakukan di Turki apa yang
dilakukan oleh para intelektual Barat di Eropa: menggantikan materialisme
duniawi, dalam versi kapitalis atau sosialis, untuk nilai-nilai agama.
Tohoh Islam di Turki
Bediüzzaman Said Nursî (bahasa Arab: ‫ )بديع الزمان سعيد النورسي‬dikenal sebagai tokoh
pembaharu Islam di Turki yang berfikiran modern dan moderat.[1] Pemikiran
Nursi membawa pengaruh tidak hanya dalam bidang pendidikan, tapi dalam
berbagai bidang antara lain tasawuf, akidah, ilmu kalam, sejarah, dan bahasa.[1]
Said Nursi adalah ulama yang cukup disegani, [2]dan merupakan sosok yang
memiliki perhatian besar terhadap perdamaian dan kemajuan pendidikan di dunia.
[1] Setiap malam selalu ada kajian-kajian tentang pemikiran-pemikiran Said Nursi
yang diikuti ratusan orang.[2] Bediüzzaman atau "kekaguman zaman" adalah gelar
yang diberikan kepadanya oleh gurunya sendiri, yakni Syeikh Fathullah Effendi,
sebab kecermelangannya.[3]
Sampai dengan tahun 1950, Ustad Nursi terus menulis berbagai risalah hingga
jumlahnya mencapai lebih dari 130 risalah, dan dikumpulkan dengan judul
Kulliyat Rasa'il al'Nur (Koleksi Risalah Nur) yang berisi empat seri utama, yaitu
al-Kalimat, al-Maktubat, al-Lama'at dan al-Syu'a'at.[4]
Namık Kemal (21 Desember 1840-2 Desember 1888) yang dijuluki sebagai
penyair kebebasan, adalah seorang penulis dan penyair Turki yang memiliki nama
asli Kemal Bek.
Pada 1863 ditunjuk menjadi penulis biografi. Ia menulis di surat kabar Tashwir
Afkar yang diterbitkan penulis Kesultanan Utsmaniyah Syunasi, penyokong dan
pembaharu sastra Turki dan berorientasi pada sastra Eropa. Namik Kemal
mengelola surat kabar ini setelah Syunasi pergi ke Eropa. Ia bergabung dengan
Gerakan Turki Muda dan melarikan diri bersama Ziya Paşa ke Eropa, lalu bekerja
sama dalam menerbitkan surat kabar Hürriyet di London (1868).
Ia diizinkan kembali ke Istanbul dan menerbitkan surat kabar Ibrat pada 1870. Ia
diangkat menjadi penguasa Gelibolu, lalu diberhentikan dan kembali ke Istanbul,
dan menerbitkan naskah dramanya al-Wathon, diasingkan ke Siprus pada 1873.
Lalu kembali ke Istambul setelah Perjanjian al-Masyruthiyah I diumumkan.
Ia menulis makalah, syair, drama, serta cerita dan merupakan orang pertama yang
menulis syair terlepas dari kaidah syair dan terpengaruh sastra Eropa. Karya-
karyanya yang menonjol saat itu di Eropa ialah Jalaluddin Khowarizmsyah, al-
Wathon, ‘Akif Bek (drama), Intibah, Mughamara Ali Bek, Jazmi (cerita), Bariqozh
Zhafar, as-Sulthon Selim I, dan Selestra.
Namık Kemal dianggap sebagai orang pertama yang menabur benih nasionalisme
dalam sastra Turki Islami. Ia juga merupakan aktivis yang menginginkan
pemerintahan Turki Ustmani menjadi pemerintahan yang konstitusional dan
Islamiah.
Salah satu tokoh pembaharuan islam yang terkenal adalah Sultan Mahmud II.
Mahmud lahir di Saray Juli 1785, ia adalah putra Sultan Abd al-Hamid dan selain
memperoleh pendidikan tradisional dibidang agama, juga memperoleh pendidikan
pemerintahan, sejarah dan sastra Arab, Turki dan Persia. Dia tidak mmiliki
pengetahuan tentang dunia Barat secara langsung dan tidak mengetahui satu pun
bahasa Eropa. Ia diangkat menjadi Sultan di tahun 1807 dan meninggal di tahun
1839.
Dibagian pertama dari masa kesultanannya ia disibukkan oleh peperangan dengan
Rusia dan usaha menundukkan daerah-daerah yang mempunyai kekuasaan otonom
besar. Memang kerajaan Turki pada abad kesembilan belas dalam kondisi yang
berantakan dan terpecah-pecah. Ini dikarenakaan minimnya kontrol politik
pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Di Mesir, wakil pemerintahan Turki
saat itu, Muhammad Ali, justru meletakkan dasar bagi kekuatan politik yang
mandiri. Para Pasya di Irak bahkan hanya tunduk kepada pemerintah Turki secara
nominal.
Di Siria telah muncul gubenur-gubenur lokal yang mengatakan kemerdekaannya.
Peperangan dengan Rusia itu sendiri selesai di tahun 1812 dan kekuasaan otonom
daerah akhirnya dapat ia perkecil kecuali kekuasaan dari Muhammad Ali Pasya di
Mesir dan satu daerah otonom lain di Eropa.
Setelah kekuasaannya sebagai pusat pemerintahan kerajaan Usmani bertambah
kuat, Sultan Mahmud II melihat bahwa telah tiba waktunya untuk memulai usaha-
usaha pembaharuan yang telah lama ada dalam pikirannya. Dan pembaharuan yang
dilakukannya secara sungguh-sungguh, seperti dalam bidang militer,
tradisi,pendidikan, hukum, dan ekonomi.
Perkembangan Islam di Indonesia
Salah satu teori menyebutkan bahwa agama Islam di Indonesia masuk lewat jalur
perdagangan. Ketika Islam menyebarkan agama dan kebudayaannya ke Indonesia,
prosesnya cenderung berjalan dengan damai. Karena itu, raja hingga rakyat biasa
menerimanya dengan hangat.
Selain perdagangan, ada saluran lain yang menyebabkan agama Islam dapat masuk
dan berkembang di Indonesia. Saluran tersebut di antaranya adalah saluran
perkawinan, pendidikan, dan seni budaya.
Ada teori-teori yang menyebutkan tentang asal penyebar Islam di Indonesia, yaitu
teori Gujarat, teori Arab, dan teori Persia.
Teori Gujarat ini diajukan oleh kalangan sejarawan Belanda, seperti Jan Pijnappel,
Snouck Hurgronje, dan Jean Piere. Menurut teori ini, penyebar Islam di Indonesia
berasal dari Gujarat (India) antara abad ke-7 hingga abad ke-13 M. Kalangan yang
berperan khususnya adalah para pedagang. Sejak abad ke-7, mereka telah memeluk
Islam dan di tengah kegiatannya berdagang, mereka turut mengenalkan agama
Islam, termasuk di Indonesia.
Sementara itu, teori Arab diajukan oleh Jacob Cornelis van Leur dan Buya Hamka.
Teori ini menyebutkan bahwa pengaruh Islam dibawa langsung oleh pedagang
Arab sekitar abad ke-7. Teori Arab didukung dengan adanya pemukiman Islam di
Barus, pesisir barat Sumatera, di abad ke-7. Ada pula nisan pada makam wanita di
Gresik, Jawa Timur, yang ditulis dengan huruf Arab bergaya Kufi.
Teori lainnya adalah teori Persia yang didukung oleh Hoesein Djajadiningrat. Teori
ini berpendapat bahwa pengaruh Islam di Indonesia dibawa masuk oleh orang-
orang Persia sekitar abad ke-13. Argumen yang diajukan oleh teori ini adalah
terdapat kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Persia
dan Indonesia, seperti peringatan 10 Muharram, kesamaan ajaran sufi, kesamaan
seni kaligrafi pada nisan makan, dan terdapat perkampungan Leran yang sempat
menjadi perintis penyebaran Islam di Jawa.
Perkembangan agama Islam di Indonesia semakin pesat dengan berdirinya
kerajaan-kerajaan Islam. Perkembangan kerajaan Islam di Indonesia berlangsung
antara abad ke-13 hingga abad ke-18. Kerajaan tersebut dapat dibagi berdasarkan
lokasi pusat pemerintahan mereka, yaitu di Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Maluku.
Kerajaan Islam yang didirikan pertama kali adalah Kerajaan Perlak. Bukti sejarah
yang menunjukkan terdapat masyarakat dan kerajaan Islam dilaporkan oleh Marco
Polo dari Venesia yang singgah di Kerajaan Perlak dalam perjalanan pulang ke
Italia tahun 1292. Di perlak, Marco Polo juga menjumpai adanya penduduk yang
telah memeluk Islam dan pedagang Islam dari India yang menyebarkan agama
Islam.
Menyusul Kerajaan Perlak, berdiri pula Kerajaan Samudra Pasai. Bukti sejarah
adanya kerajaan ini ditulis oleh Ibnu Batutah, seorang utusan kerajaan Delhi ke
Tiongkok. Dalam perjalanan dari India ke Tiongkok, Ibnu Batutah singgah di
Samudra Pasai dan mengunjungi istana Sultan Malik Az-Zahir. Dari hasil
kunjungannya ke kerajaan Islam di Samudra Pasai, diketahui bahwa Samudra Pasai
merupakan pelabuhan penting tempat kapal-kapal India dan Tiongkok berlabuh.
Selain kedua kerajaan tersebut, kerajaan Islam lain yang pernah berdiri di
Indonesia di antaranya adalah Kerajaan Demak, Kerajaan Banten, Kerajaan
Mataram, Kerajaan Makassar, Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore, dan Kerajaan
Aceh Darussalam.
Tokoh Perkembangan Islam di Indonesia
Empat tokoh Islam berikut ini berperan besar dalam menjaga dan memperbarui
Islam di Indonesia. Mereka mendirikan organisasi Islam sebagai sarana perubahan
dalam berbagai bidang kehidupan.
KH Ahmad Dahlan Melampaui Abduh
”Sejak umur 15 tahun, saat saya berdiam di rumah Tjokroaminoto,” cerita Bung
Karno, “saya telah terpukau dengan KH Ahmad Dahlan.” Bung Karno bahkan
menjadi anggota Muhammadiyah dan pernah menyatakan keinginan “dikubur
dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan.”
Muhammadiyah, salah organisasi Islam terpenting di Indonesia, didirikan Ahmad
Dahlan pada 18 November 1912. Tujuannya, “menyebarkan pengajaran Kanjeng
Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputera” dan “memajukan hal agama
Islam kepada anggota-anggotanya”. Organisasi ini bergerak di bidang
kemasyarakatan, kesehatan, dan pendidikan ketimbang politik. Dari ruang gerak
terbatas di Kauman, Yogyakarta, organisasi ini kemudian meluas ke daerah lain,
termasuk luar Jawa.
Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 1 Agustus 1868 dengan menyandang
nama kecil Muhammad Darwis. Ayahnya, KH Abubakar, seorang khatib masjid
besar di Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ibunya, Siti Aminah, putri seorang
penghulu. Praktis, sejak kecil, dia mendapat didikan lingkungan pesantren serta
menyerap pengetahuan agama dan bahasa Arab.
Ketika menetap di Mekah, di usia 15 tahun, dia mulai berinteraksi dan tersentuh
dengan pemikiran para pembaharu Islam. Sejak itu, dia merasa perlunya gerakan
pembaharuan Islam di kampung halamannya, yang masih berbaur dengan
sinkretisme dan formalisme. Mula-mula dengan mengubah arah kiblat yang
sebenarnya, kemudian mengajak memperbaiki jalan dan parit di Kauman. Robert
W Hefner, Indonesianis asal Amerika Serikat, menyebut Dahlan merupakan sosok
pembaharu Islam yang luar biasa di Indonesia, bahkan pengaruhnya melampaui
batas puncak pemikiran Muhammad Abduh dari Mesir.
Ahmad Surkati Mempercepat Kemerdekaan
Dalam Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922, terjadi perdebatan antara Ahmad
Surkati dari Al-Irsyad dan Semaun dari Sarekat Islam Merah. Temanya mentereng:
“Dengan apa Indonesia ini bisa merdeka. Dengan Islamismekah atau
Komunisme?” Perdebatan berlangsung alot. Masing-masing kukuh pada
pendapatnya. Toh, ini tak mengurangi penghargaan di antara mereka.
“Saya suka sekali orang ini, karena keyakinannya yang kokoh dan jujur bahwa
hanya dengan komunismelah tanah airnya dapat dimerdekakan,” ujar Surkari.
Ahmad Surkati dilahirkan di pulau Arqu, daerah Dunggulah, Sudan, pada 1875.
Sempat mengenyam pendidikan di Al-Azhar (Mesir) dan Mekah, Surkati
kemudian datang ke Jawa pada Maret 1911. Ini bermula dari permintaan Jami’at
Khair, organisasi yang didirikan warga keturunan Arab di Jakarta, untuk mengajar.
Karena ketidakcocokkan, dia keluar serta mendirikan madrasah Al-Irsyad Al-
Islamiyah di Jakarta pada 6 September 1914. Tanggal pendirian madrasah itu
kemudian menjadi tanggal berdirinya Perhimpunan Al-Irsyad. Tujuan organisasi
ini, selain memurnikan Islam, juga bergerak dalam bidang pendidikan dan
kemasyarakatan.
Sejarawan Belanda G.F. Pijper dalam Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di
Indonesia 1900-1950 memandang hanya Al-Irsyad yang benar-benar gerakan
pembaharuan yang punya kesamaan dengan gerakan reformis di Mesir
sebagaimana dilakukan Muhammad Abduh dan Rashid Ridha. Dengan demikian,
Surkati juga seorang pembaharu Islam di Indonesia. Sukarno bahkan menyebut
Surkati ikut mempercepat lahirnya kemerdekaan Indonesia.
Ahmad Surkati wafat pada 6 September 1943. Sejak itu, perkembangan Al-Irsyad
tersendat, sekalipun tetap eksis hingga kini.
Ahmad Hasan Rujukan Kajian Islam
Sekalipun kerap berpolemik, Bung Karno pernah berpolemik dan melakukan surat-
menyurat dengan Ahmad Hassan, sebagaimana tersurat dalam surat-surat dari
Endeh dalam buku di Bawah Bendera Revolusi. Tak heran jika Bung Karno begitu
menghargai pemikiran Islam Hassan.
Nama kecilnya Hassan bin Ahmad, lahir di Singapura pada 1887 dari keluarga
campuran, Indonesia dan India. Semasa remaja dia melakoni beragam pekerjaan;
dari buruh hingga penulis, di Singapura maupun Indonesia. Hassan pernah tinggal
di rumah Haji Muhammad Junus, salah seorang pendiri Persatuan Islam (Persis), di
Bandung.
Ketika pabrik tekstilnya tutup, dia mengabdikan diri di bidang agama dalam
lingkungan Persis, dan segera popular di kalangan kaum muda progresif. Di
Bandung pula Hassan bertemu dengan Mohammad Natsir, kelak jadi tokoh penting
Persis, yang kemudian bersama-sama menerbitkan majalah Pembela Islam dan Al-
Lisan. Dia juga mendirikan pesantren Persis, di samping pesantren putri, untuk
membentuk kader, yang kemudian dipindahkan ke Bangil, Jawa Timur.
Persis didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh aktivis keagamaan yang
dipimpin Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus, keduanya pedagang. Dalam
Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonsia Abad XX, Howard M. Federspiel
menulis bahwa Persis adalah organisasi biasa, kecil, tak kukuh serta tak bergigi
dalam percaturan politik saat itu. Namun, Persis berusaha keras memperbarui umat
Islam saat itu yang mengalami stagnasi pemikiran dan penuh bid’ah, tahayul, dan
khurafat.
Ahmad Hasan dikenal sebagai ulama pembaharu. Pikiran-pikirannya sangat tajam
dan kritis terutama dalam cara memahami nash (teks) Alquran maupun hadits.
Keahliannya dalam bidang hadits, tafsir, fikih, ushul fiqih, ilmu kalam, dan mantiq
menjadikannya sebagai rujukan para penanya dan pemerhati kajian Islam. Dia juga
ulama yang produktif menulis.
Ahmad Hassan tutup usia pada 10 November 1958 dalam usia 71 tahun.
KH Hasyim Asy'ari Menjaga Tradisi Pesantren
“Jangan kamu jadikan semuanya itu menjadi sebab buat bercera-berai, berpecah-
belah, bertengkar-tengkar, dan bermusuh-musuhan... Padahal agama kita hanya
satu belaka: Islam!” ujarnya dalam kongres Nahdlatul Ulama di Banjarmasin,
Kalimantan, pada 1935. KH Hasyim Asy’ari sadar perlunya menghapus
pertentangan antara kalangan tradisi maupun pembaharu.
Lahir pada 14 Februari 1871 di Desa Nggedang-Jombang, Jawa Timur, Hasyim
Asy’ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama, artinya kebangkitan ulama, organisasi
Islam terbesar di Indonesia. Dia mendirikannya bersama Kyai Wahab Chasbullah
pada 31 Januari 1926 guna mempertahankan faham bermadzhab dan membendung
faham pembaharuan.
Hasyim pernah belajar pada Syaikh Mahfudz asal Termas, ulama Indonesia yang
jadi pakar ilmu hadis pertama, di Mekah. Ilmu hadits inilah yang kemudian
menjadi spesialisasi Pesantren Tebuireng, yang kelak didirikannya di Jombang
sepulangnya dari Tanah Suci. Lewat pesantren inilah Hasyim melancarkan
pembaharuan sistem pendidikan keagamaan Islam tradisional. Dia
memperkenalkan pengetahuan umum dalam kurikulum pesantren, bahkan sejak
1926 ditambah dengan bahasa Belanda dan sejarah Indonesia. Dalam buku Tradisi
Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Zamakhsyari Dhofier
manggambarkan Hasyim Asy’ari sebagai sosok yang menjaga tradisi pesantren.
Di masa Belanda, Hasyim bersikap nonkooperatif. Dia mengeluarkan banyak fatwa
yang menolak kebijakan pemerintah kolonial. Yang paling spektakuler adalah
fatwa jihad: “Wajib hukumnya bagi umat Islam Indonesia berperang melawan
Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan menjelang meletusnya Peristiwa 10 November di
Surabaya.
Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947. Dalam perjalanannya, Nahdlatul Ulama
larut dalam politik praktis hingga akhirnya kembali ke khitah 1926.
Nilai-Nilai Perkembangan Masa Islam pada Masa Modern
Nilai Persatuan
Gerakan modernisasi dunia Islam mempunyai nilai dasar untuk menjalin persatuan
dan kesatuan umat Islam yang selama ini terpecah-pecah karena perbedaan paham
dan aliran.
Nilai Soladaritas
Gerakan modernisasi dunia Islam mengandung nilai ukhuwah Islamiah, yaitu
persaudaraan berdasarkan rasa senasib seperjuangan untuk membela Islam dalam
suka dan duka.
Nilai Pembaruan
Gerakan modernisasi dunia Islam mempunyai nilai-nilai tajdid yang meliputi aspek
agama yang bebas dari tahayul, bid’ah, dan kufarat.
Nilai Jihad
Gerakan modernisasi dunia Islam mengandung nilai perjuangan karena ingin
menemukan kembali ajaran Islam yang penuh dengan dinamika perjuangan.
Nilai Kemerdekaan
Gerakan modernisasi dunia Islam mengandung nilai kemerdekaan, terutama
kemerdekaan berpikir.
Kerukunan
Para ulama menjaga kerukunan antarsesama meskipun berbeda pendapat dalam
memajukan Islam pada masa modern. Mereka menunjukkan akhlak mulia dalam
menghadapi perbedaan dengan pemikirannya secara santun dengan menyusun
kitab.
Kompetitif dalam kebaikan
Para ulama pada masa modern menunjukka semangat perubahan yang luar biasa.
Mereka saling berkompetisi dalam kebaikan. Mereka berusaha mewujudkan ide2
perubahan yang dimiiki dengan segenap kemampuan. Semangat tersebut
menyebabkan muncul banyak organisasi Islam yang konsen dalam berbagai bidang
seperti politik dan kemasyarakatan

Anda mungkin juga menyukai