Anda di halaman 1dari 5

PERKEMBANGAN PERPUSTAKAAN DI INDONESIA

Sejarah perkembangan perpustakaan di Indonesia beriringan dengan sejarah perjuangan


bangsa Indonesia. Maka perpustakaan di Indonesia tergolong masih muda dibandingkan
dengan negara di Eropa dan Arab. Keberadaan perpustakaan di Indonesia tidak diketahui
secara pasti. Tetapi ada yang menyatakan bahwa perpustakaan dikenal dengan adanya sistem
tulisan, tetapi pernyataan tersebut tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Perjalanan sejarah
Indonesia adalah perjalanan yang sangat panjang, yang diawali dengan hubungan dagang
Indonesia dengan hindia selatan dan cina. Dengan adanya hubungan dagang tersebut
membawa pengaruh diberbagai bidang di Indonesia misalnya dalam bidang ekonomi, politik,
dan sosial budaya. Dimana hal- hal tersebut membawa perkembangan dan keberagaman
kebudayaan di Indonesia. Dengan adanya pernyataan diatas dapat diketahui bahwa pada
zaman itu membutuhkan alat atau sarana guna melakukan pelestarian kebudayaan dan
keagungan bangsa yang mulai dirasakan sehingga usaha-usaha untuk menuangkan
kebudayaan dan keagungan dalam bentuk tertulis.

Perkembangan perpustakaan di Indonesia dapat dibagi dalam lima (5) periode, yaitu:
1. Periode sebelum zaman penjajahan atau kerajaan- kerajaan lokal
2. Periode Penjajahan Hindia-Belanda
3. Periode Penjajahan Jepang
4. Periode sesudah kemerdekaan
5. Periode orde baru

Periode sebelum zaman penjajahan atau kerajaan-kerajaan lokal


Kepastian bahwa kapan perpustakaan resmi didirikan di Indonesia, khususnya pada
periode sebelum zaman penjajahan ada beberapa pendapat baik dari sejarawan ataupun
pustakawan Indonesia. Ada pendapat yang menyatakan bahwa awal mula perpustakaan
ditandai dengan adanya tulisan. Pendapat ini tidak banyak yang membenarkan dengan alasan
bahwa institusi berupa perpustakaan tidak selalu dikaitkan dengan pengenalan penulisan,
walaupun nantinya perpustakaan fungsinya untuk menyimpan tulisan . Dengan demikian jika
awal perpustakaan dikaitkan dengan tulisan, berarti sejarah perpustakaan di Indonesia
dimulai sejak ditemukannya beberapa prasasti yang di pahat di atas tiang batu di Kerajaan
Kutai pada abad ke-5M. Tiang 4 batu itu disebut dengan Yupa. Huruf yang dipakai pada
Yupa adalah huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta, isinya tentang Raja Kutai. Tulisan
tersebut tidak disimpan di sebuah tempat melainkan di perlihatkan di tempat yang terbuka
agar terlihat oleh rakyat. Bila berpedoman pada definisi bahwa perpustakaan adalah sebuah
ruangan, bagian atau subbagian dari sebuah gedung ataupun gedung itu sendiri untuk
menyimpan buku, biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu serta digunakan untuk
anggota perpustakaan. Karena itu pendapat atau tanggapan bahwa Indonesia telah mengenal
perpustakaan sejak zaman kerajaan Kutai tidak dapat diterima.
Pendapat selanjutnya mengatakan bahwa perpustakaan sudah mulai dikenal di
Indonesia sejak zaman Sriwijaya sejak tahun 692M. Pendapat para pustakawan tersebut tidak
ditunjang oleh penelitian yang mendalam, hanya berdasarkan asumsi bahwa Sriwijaya
merupakan salah satu kerajaan besar pada masa lalu sehingga dianggap pasti memiliki
perpustakaan. Hal ini didukung oleh adanya informasi dari seorang musafir Cina, I-Tsing
menyatakan bahwa sekitar tahun 695M di ibukota kerajaan Sriwijaya hidup lebih dari seribu
orang biksu. Di samping tugas keagamaan, biksu ini bertugas mempelajari agama Budha
melalui berbagai buku. Jika dikaji lebih lanjut, tentunya seribu biksu itu memerlukan buku
agama Budha yang masih ditulis tangan dan disimpan diberbagai Bihara. Apabila hal ini
benar, maka mungkin saja waktu itu sudah ada perpustakan dengan alasan naskah agama
Budha disimpan disebuah tempat serta digunakan oleh para Biksu. Pendapat bahwa di zaman
kerajaan Sriwijaya telah ada perpustaakan lebih berdasarkan analogi daripada penelitian.
Setelah kerajaan Sriwijaya, kemudian muncul berbagai kerajaan di pulau Jawa seperti
kerajaan Mataram pada abad ke-6 dan berpusat di Jawa Tengah kemudian pindah ke Jawa
Timur, pada masa itu mulai dikenal pujangga Keraton yang menulis berbagai karya sastra.
Yang pertama adalah naskah Sang Hyang Kamahayanikan yang memuat uraian tentang
agama Budha Mahayana. Selanjutnya muncul 2 buah kitab keagamaan yaitu kitab
Brahmandapurana dan Agastyapurana.
Pada zaman kerajaan majapahit, adanya kitab yang dikarang oleh mpu prapanca Mpu
Prapanca mengarang buku Negarakertagama sedangkan Mpu Tantular menulis buku
Sutasoma. Tercatat pula karangan lain seperti Kidung Harsawijaya, Kidung Ranggalawe,
Sorandaka dan Sundayana.
Kegiatan menulis dan penyimpanan naskah masih dilanjutkan oleh para Raja dan
Sultan yang tersebar di Nusantara misalnya zaman kerajaan Demak, Banten, Mataram Islam,
Pakualaman, Mangkunegoro, Cirebon, Melayu, Jambi, Mempawah, Makasar, Maluku, dan
Sumbawa. Kerajaan Cirebon adalah salah satu penghasil buku terbanyak sehingga Cirebon
dapat dikatakan sebagai pusat perbukuan pada masanya. Umumnya buku-buku tersebut
disimpan di Istana. Tradisi budaya Indonesia yang lebih mementingkan budaya lisan daripada
tulisan menyulitkan peneliti untuk membukukan penelitiannya secara akurat mengenai
perpustakaan pada zaman kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara.

Periode Penjajahan Hindia-Belanda


Perang salib yang terjadi di Indonesia mengakibatkan banyak korban jiwa dan penderitaan
diberbagai negara jajahan. Yang kemudian menumbuhkan semangat imperialisme pada
bangsa-bangsa eropa untuk memperluas daerah jajahannya karena beberapa factor, yaitu:
1. Jatuhnya konstantinopel kepada turki Usmani pada tahun 1453.
2. Terjadinya krisis ekonomi dan kekurangan bahan makanan.
3. Kemajuan IPTEK.
4. Adanya buku imago mundi yang berisi perjalanan marcopollo.
5. Adanya semangat reconquesta (semangat pembalasan bangsa eropa dengan kekuasaan
islam)
Pada awal abad ke-16 orang-orang eropa mulai berdatangan ke Indonesia, yang diawali
oleh portugis pada tahun 1510 dan pada tahun 1512 bangsa portugis menanamkan
imperialisme dengan semboyan “Gold, Glory, dan Gospel” . Yang selanjutnya setelah
portugis datang disusul dengan bangsa eropa lainnya seperti bangsa Inggris,Prancis,
Denmark, Spanyol, Belanda dan Jepang.
Berdasarkan sumber sekunder, Perpustakaan yang didirikan pertama kali pada zaman
Hindia-Belanda adalah sebuah perpustakaan gereja dibatavia atau Jakarta. Yang telah dirintis
pada tahun 1624 namun baru diresmikan pada tanggal 27 April 1643. Perpustakaan yang ada
digereja Batavia Jakarta waktu itu hanya meminjamkan buku yang digunakan oleh perawat
rumah sakit Batavia. Bahkan peminjaman buku -buku tersebut diperluas hingga Semarang
dan Juana. Jadi dapat dikatakan bahwa pada abad ke 17 Indonesia telah mengenal jasa
perluasan perpustakaan.
Kemudian pada tahun 1778 berdirikan perpustakaan Bataviaasche
Genoottschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) di Batavia (Jakarta) atas
prakarsa MR. J.C.M. Rademaker yang saat itu menjabat sebagai ketua Raad Van
Indie (Dewan Hindia Belanda). Dalam perkembangannya, perpustakaan ini
kemudian berganti nama menjadi Koninklijk Bataviaasche Genoottschap van
Kunsten en Wetenschappen) Perpustakaan BKGW inilah yang mejadi salah satu
cikal bakal Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Karena prestasinya yang luar biasa dalam meningkatkan ilmu dan kebudayaan, maka
Namanya diubah menjadi Koninklijk Bataviaacsh Genootschap Van Kunstenen
Watenschappen. Nama Lembaga ini berubah pada tahun 1950 menjadi Lembaga kebudayaan
Indonesia. Pada tahun1962 lembaga ini diserahkan kepada pemerintah Indonesia dan
Namanya pun diganti menjadi Museum Pusat tetapi lebih dikenal sebagai Perpustakaan
Museum Pusat. Museum ini kemudian berubah nama lagi menjadi museum Nasional dan
perpustakaannya berubah menjadi Perpustakaan museum nasional. Tahun 1950 perpustakaan
ini dilebur kepusat yang terjadi lagi perubahan menjadi Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia.
Volkbibiotheek atau perpustakaan rakyat yang didirikan oleh Volkslectuur kelak berubah
menjadi Balai Pustaka. Sejak tahun 1910 Balai Pustaka tidak hanya menerbitkan buku cerita
saja tetapi juga buku-buku pengetahuan popular. Pemerintah Hindia-Belanda mulai
mengembangkan perpustakaan umum dibeberapa kota di Indonesia. Dan mendirikan taman
baca dengan adanya taman bac aini mulailah muncul toko-toko dan penerbit yang
menyewakan buku-bukunya pada masyarakat luas.

Periode Penjajahan Jepang


Selama pendudukan Jepang, Openbare leeszalen (ruang baca terbuka atau ruang baca
umum) ditutup. Sedangkan pengurusnya yang umumnya orang Belanda dimasukkan kedalam
tahanan militer. Yang mengakibatkan perpustakaan ditutup. Pada saat Jepang membuka
Kembali sekolah, semua buku yang berbahasa belanda dilarang beredar, dan yang ada
hanyalah buku berbahasa melayu dan daerah. Hasilnya Volkbibitheek (Perpustakaan Rakyat)
lenyap dari muka bumi. Ketika Jepang membuka sekolah tinggi misalnya pelayaran atau
kedokteran. Hal ini berarti bila melanjutkan Pendidikan maka akan memerlukan buku .
Kendati kuliah dilanjutkan, buku yang berbahasa Belanda dilarang digunakan, namun
mahasiswa masih dapat menggunakan buku bahasa asing lainnya (Nurhadi, Muljani A.,1983)
Buku berbahasa asing dan koleksi yang bernafaskan politik Jepang yang hanya
beredar diperpustakaan , terkecuali buku yang berbahasa belanda. Jadi dapat dikatakan bahwa
pada zaman penjajahan Jepang, buku-buku berbahasa Belanda dilarang beredar bahkan
perpustakaan -perpustakaan khusus yang didirikan oleh Hindia-Belanda dibekukan dan tidak
dihiraukan lagi.

Periode sesudah kemerdekaan


Pada zaman ini perpustakaan tidak menjadi perhatian, dapat dimaklumi karena situasi
pemulihan dalam masa peperangan ke situasi perdamaian. Setelah negara tertata rapi dan
pemerintahan Indonesia sudah mulai stabil. Kebutuhan perpustakaan sudah mulai diraskaan.
Karena itulah kemudian pemerintah mulai merintis dan menghidupkan Kembali
perpustakaan-perpustakaan yang selama penjajahan Jepang sampai awal kemerdekaan tidak
menjadi perhatian. Pada masa ini ditandai dengan didirikannya perpustakaan Yayasan
Hatta( Hatta Foundations) pada tanggal 25 Agustus 1950. Selanjutnya pada 07 Juni 1952
didirikan perpustakaan “Stiching Voor Culturele Samenwerking” suatu badan Kerjasama
antar pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda dan diserahkan kepada pemerintah
RI. Dan kemudian pemerintah RI mengubah Namanya menjadi “Perpustakaan sejarah
politik dan sosial departemen P$K” Jumlah koleksi bukunya saat itu mencapai 15.000 buku
dan merupakan perpustakaan terbesar pada zaman itu.
Karena Usaha pemberantasan buta huruf lewat jawatan Pendidikan masyarakat ini
mendapat prioritas utama pemerintah RI, maka perkembangan perpustakaan rakyat sebagai
perpustakaan umum sangat menggembirakan. Keseriusan pemerintah RI untuk terus
mengembangkan perpustakaan di Inonesia ditandai dengan lahirnya perpustakaan negara
yang berfungsi sebagai perpustakaan umum yang didirikan di ibukota provinsi.

Periode orde baru


Empat tahun pertama setelah masa orde baru harus bekerja keras dalam rangka
pemulihan pertahanan dan keamanan dalam negeri pasca G30 S PKI berhasil ditumpas.
Dengan demikian pembangunan disektor budaya kurang mendapat perhatian pemerintah.
Perkembangan perpustakaan pada masa ini tidak terlalu menonjol, yang tampak hanya usaha
untuk mempertahankan agar perpustakaan- perpustakaan yang sudah berdiri tetap
berlangsung dan meningkatkan pelayanan pada masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai