Anda di halaman 1dari 6

BAB 1

SEJARAH SASTRA INDONESIA

A. DEFINISI SEJARAH SASTRA INDONESIA


Secara umum, pengertian sejarah berarti suatu peristiwa yang benar- benar
terjadi pada masa lampau (KBBI, 1999: 891). Dengan kata lain dapat disebut dengan
fakta, dalam sejarah sastra mengkaji data yang berasal dari fakta lisan atau pun
tertulis. Sastra merupakan suatu karya estetis imajinatif yang sangat sulit untuk
didefinisikan, Teori sastra dalam perkembangannya selalu mengikuti perkembangan
kreasi sastra yang konvensinya selalu berkembang dan berubah. Akan tetapi, apabila
dijabarkan karya sastra tersebut akan terdapat beberapa hal khusus yang membedakan
dari bidang lain. Berdasarkan pernyataan diatas, sejarah sastra merupakan
pembicaraan tentang segala sesuatu yang terkait dengan dinamika pertumbuhan dan
perkembangan dunia sastra Indonesia mulai lahir sampai perkembangan terakhir.
Sedangkan pengertian Sastra Indonesia merupakan sastra yang ditulis dalam bahasa
nasional bahasa Indonesia.
Latar belakang masyarakat nusantara lama, antara lain sebagai berikut:
1. Kehidupan masyarakat nusantara pada masa kerajaan.
2. Masa Kolonialisme bangsa Eropa.
3. Kolonialisasi Belanda ( Proses Indonesia masuk dan menjadi korban yang
dilakukan bangsa Eropa dalam rangka menyebar kekuasaan dan mengambil
rempah- rempah)
4. Perlawanan terhadap Belanda.
5. Politik tanam paksa ( Culturstelsel) dan politik etik.
Politik etik disebut juga Politik Balas Budi, yaitu sebagai bentuk balas jasa pihak
penjajah selepas penerapan politik tanam paksa yang mengeruk kekayaan
Indonesia, melalui bidang pendidikan. Dengan tujuan agar bangsa Indonesia lebid
dekat dengan pihak Belanda. Dalam pendidikan Belanda menggunakan bahasa
Belanda, agar mendapat tenaga terdidik yang murah untuk penjajah.
B. PERLAWANAN SASTRA DAN BAHASA

Hal ini menimbulkan kesadaran sebagai pihak terjajah dan membangkitkan


perlawanan dalam kebijakan dan penggunaan bahasa dalam kehidupan sosial politik di dunia
sastra. Terlebih pada saat politik etis, dimana adanya kebijakan Belanda yang hendak
menggunakan dan memaksakan penggunaan bahasa Belanda mendapat perlawanan dari
seluruh kalangan. Terlebih pada pemimpin bangsa pada masa itu, tak terkecuali para
sastrawan. Pada saat itu masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa Melayu sebagai
bentuk perlawanan dengan semangat dan spirit kebangsaan yang semakin kuat.

C. SPIRIT KEBANGSAAN (NASIONALISME)

Spirit atau semangat nasionalisme ini yang kemudian dianggap sebagai warna dan roh di
dalam penandaan dan identifikasi sastra Indonesia, di samping aspek bahasa yang digunakan
sebagai mediumnya.

BAB II

KELAHIRAN SASTRA INDONESIA

Sastra Indonesia merupakan Sastra yang ditulis menggunakan bahasa nasional bahasa
Indonesia. Dapat diketahui bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, tetapi Sastra
Indonesia bukanlah kalanjutan dari sastra Melayu.

A. PERIHAL KELAHIRAN SASTRA INDONESIA


 Umar Junus
Menurut pendapat Umar Junus adalah Kesusastraan baru ada setelah adanya bahasa
Indonesia, karena sastra ada setelah bahasa ada. Pada tahun 1928, bahasa Melayu
berakhir dan digantikan menjadi bahasa Indonesia. Dan pada tahun tersebut menjadi
pegangan titik tolak sastra Indonesia. Pada tahun 1933, Sastra Indonesia baru dengan
tegas memperlihatkan dirinya.
 Ajip Rosidi
Ajip Rosidi setuju dengan pendapat Umar Junus yaitu sastra ada stelah bahasa ada.
Perlu diketahui bahwa bahasa Indonesia ada sebelum sumpah pemuda. Versi negara
tahun 1908 (Budi Utomo) adalah tonggak kebangkitan kesadaran manusia, dan
dengan dasar tersebut ia berpendapat bahwa sastra Indonesia lahir pada tahun 1902
an. Pendapat Ajip Rosidi tersebut disertai dengan beberapa dasar dan diperkuat
dengan kehadiran karya- karya pada masa itu sudah menunjukan adanya warna
dengan spirit atau semangat kebangsaan.

BAB III
SASTRA MELAYU RENDAH, PERANAKAN TIONGHOA,
PENGARANG LIAR DAN BALAI PUSTAKA

A. LATAR BELAKANG SEJARAH


Sebuah fakta bahwa kesusastraan Indonesia yang ditulis dalam bahasa yang
berasal dari bahasa Melayu, merupakan manifestasi suatu masyarakat yang tidak
dapat dikatakan sebagai lanjutan masyarakat pendukung sastra Melayu. Dalam masa
penjajahan, masyarakat menggunakan bahasa Melayu. Bahasa inilah yang dipakai
sebagai Lingua franca di seluruh wilayah nusantara.

B. PERKEMBANGAN SASTRA DAN MASYARAKAT KOTA

Perkembangan masyarakat kota, ternyata bahasa Melayu rendah yang


dianggap nonstandar oleh penjajah Belanda abad 19. Telah dipakai untuk menulis
karya- karya yang dapat digolongkan ke dalam keusastraan. Tetapi hal itu banyak
ditentang oleh orang keturunan Cina dan Belanda seperti Lie Kim Hok, H. Krafft, Tan
Ten Kie, F. Wiggres,dengan alas an bahwa mereka bukan Pribumi. Faktor- factor
kesulitan sebagai berikut:

1. Perdebatan yang mempersoalkan masalah mutu karya- karya sastra pada


sastra Melayu rendah dan sastra Melayu tinggi.
2. Masyarakat pembaca terbelah diantara kedua produk sastra tersebut.
3. Penilitian terhadap keduanya masih sedikit.
4. Memasukkan kegiatan penulisan dalam bahasa Melayu rendah, yang akan
menyisihkan kriteria kesadaran kebangsaan.
5. Karya- karya kebanyakan merupakan terjemahan dari karya klasik dunia.
C. PENGARANG DAN KARYA- KARYA AWAL
Dibawah ini merupakan contoh karya sastra beserta pengarangnya:
1. H. Moekti menulis Hikayat Sitti Mariah, yang mula- mula menulis kehidupan
sehari- hari yang sezaman.
2. RM. Tirto Adhisoeryo (Pemimpin redaksi Medan Priyayi): Busono (1910) &
Nyai Permana (1912).
3. Mas Marco Kartodikromo: Mata Gelap (1914), Studen Hijau (1919), Syair
Rempah- rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924).
4. Semaun: Hikayat Kadirun (1924).

D. PENGARANG LIAR

Dapat disebut sebagai bacaan liar, karena sifat- sifat dan isi karangan dianggap
menghasut rakyat untuk memberontak. Dan para penulisnya disebut Pengarang Liar.
Roman- roman yang berbahasa Melayu tapi tidak menghasut, lebih dikenal sebagai
hiburan banyak ditulis dan diterbitkan penulis peranakan Cina dengan menggunakan
bahasa Melayu Cina/ pasar/ rendah. Dan juga terdapat penulis Indonesia, G. Francis
menulis Nyai Dasima (1896).

E. LATAR BELAKANG LAHIRNYA BALAI PUSTAKA

Banyaknya tulisan yang membangkitkan semangat nasionalisme, membuat penjajah


merasa khawatir, bagaimana bila hal tersebut terjadi di Indonesia. Yakni munculnya
perlawanan karena kebijakan pendidikan oleh Inggris. Kaum terpelajar Indonesia banyak
membaca tulisan orang Belanda membela hak kemerdekaan bangsa pribumi. Seperti
karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar, sangat besar pengaruhnya dalam
membangkitkan kesadaran kebangsaan. Pemerintah Belanda ingin membendung
bangkitnya kesadaran nasional itu dalam soal bacaan rakyat. Maka didirikanya Komisi
Bacaan Rakyat tahun 1908, yang pada tahun 1917 menjadi Kantor Bacaan Rakyat atau
Balai Pustaka.
BAB IV
PENERJEMAHAN SASTRA EROPA DI INDONESIA ERA 1870-
1920.

Penerjemahan merupakan Tindakan yang bersifat ideologis dan politis. Pada


penerjemah di era kolonial Hindia- Belanda [1880- 1930-an] sebagai satu mediator
dan bagian dari tindakan yang menjadi kunci dalam menegosiasikan identitasnya.
Teks- teks yang diterjemahkan telah melalui berbagai seleksi, baik secara ideologis,
kultural, dan politis. Penerjemahan juga berhubungan dengan persoalan negosiasi
identitas. Sang penerjemah dihadapkan pada “perjumpaan kebudayaan”. Sang
pembaca juga demikian. Dalam proses negoisasi identitas itu terdapat satu strategi
tertentu dalam menghadapi kontruksi identitas yang ditawarkan oleh teks asalnya.
Kelahiran satu teks dapat dipandang sebagai bentuk partisipasi kultural dan sebagai
bentuk perjuangan terhadap batas- batas yang dibuat oleh ruang kuasa [bdk. Bromley,
2003:3].

A. PENERJEMAHAN SASTRA EROPA ERA KOLONIAL


Penerjemah sastra Eropa sangat cukup beragam. Keragaman ini dapat dilihat
dari latar belakang etnik atau ras, pekerjaan, dan ruang geografisnya, baik fisik dan
budaya. Latar etnik atau ras pada awalnya didominasi oleh orang Eropa dan
peranakan Tionghoa. Penerjemah yang terkenal pada masa awal adalah Carel
Frederick Winter [1799- 1859] yang menerjemahkan Kisah Seribu Satu Malam dalam
bahasa jawa [Serat cariyos sewu satunggil dalu]. Generasi selanjutnya adalah A.F.
von de Wall, G.C.T. Van Dorp, W.N.J.G. Claasz, Ferdinand Winggers. Para
penerjemah ini adalah bagian dari sistem pemerintah kolonial Belanda.
Ferdinand Wiggers, lahir sekitar tahun 1862 [ Adam, 1984:48]. Bersama
dengan Lie Kim Hok, dia menerjemahkan Le Comte de Monte Cristo [Salmon,
1981:228-232]. Ferdinand Wiggers juga menerjemahkan Van Slaaf tot Vorst dalam
judul [ Melati van Java]. Ferdinand Wiggers adalah seorang jurnalis dan aktif dalam
bidang kesenian dan ikut membantu perkembangan dari Komedie stamboel
[Sykoersky, 1980:500].
Lie Kim Hok, merupakan seorang beretnis peranakan Tionghoa. Ia memiliki
pemikiran yang konservatif terhadap budaya Tionghoa. Lie Kim Hok tergabung
dalam organisasi yakni recinanisasi melalui Tiong Hua Hui Kwan dan tercatat bahwa
ia adalah pendirinya [ Kwee, 1997, Salmon, 1981]. Hal ini dibuktikan dengan
terjemahannya yang akrab dengan karya- karya Barat seperti Thacheray, dan dari
Latontaine hingga Emilie Zola dan Thalers hingga Daum.
Wakil dari generasi selanjutnya adalah Lauw Giok Lan atau Liu Njuk Lan
[1882- 1953]. Karirnya menunjukan bahwa ia seorang yang lebih menyukai gerakan
Tiongkok yang moderat, seperti revulusi Sun Yat Sen. Hal ini dibuktikan dengan
pengabdiannya di surat kabar Sin Po, yang ketika itu dibawah pemimpin redaksinya
adalah J.R. Razoux Kuhlr [ seorang Jerman, sekitar 1916]. Karir jurnalistiknya tidak
hanya di Sin Po saja, tetapi pernah bergabung dengan Penghiboer, Sin Bin, Lay Po,
dan Keng Po.

B. KARYA TERJEMAHAN
Menurut catatan dari Jedamski (2009: 173), terjemahan teks Eropa ke dalam bahasa
pribumi atau bahasa Melayu berhubungan dengan kepentingan kolonial dan misi
Kristen. Masa awal dari proses terjemahan teks eropa ini tidak terorganisasi secara
kelembagaan. Meskipun demikian, karya Barat yang diterjemahkan untuk pementasa
drama juga cukup beragam, seperti karya dari William Shakespeare [1881] dan karya
dari Victor Ido [Sumarjo, 1992, 91, 112].

Anda mungkin juga menyukai