Abstract
The withdrawal of state domination does not necessarily lead
to the institutionalization of market. Freedom of information
also requires a new kind of societal conduct. Indonesia currcntly
faces tension in settling a triangular rclationship between state,
market and the societsz
Pendahuluan
Tulisan ini merupakan upaya pemetaan terhadap posisi media
massa Indonesia sebagai institusi sosial dalam relasinya dengan institusi
- institusi lain. Kajian semacam ini tampaknya akan sangat diperlukan,
terutama bila mengasumsikan media massa sebagai kekuatan yang
harus diperhitungkan dalam upaya menghela negara dan bangsa ini
pada kondisi yang lebih demokratis. Tatanan politik saat ini akan
dijadikan setbing dalam menggambarkan relasi yarrlg terjadi.
Tatanan politik Indonesia saat ini ditandai dengan gerakan-
gerakan pembaharuan pada berbagai aspek dalam tatanan kehidupan
Hernin Indah Wahyuni adalah staf pengajar iurusan llmu Komunikasi, Fakultas llmu Sosial
dan Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
t97
/urnal llmu fusial & Ilmu Politik VoI- 4 No Z November2000
t98
Hermin Indah Wahyuni, Relasi Media-Negara-Masyarakat dan Pasar ...
r99
/umal llmu Sosial & IImu Politih VoI. 4 No 2, November 2000
200
Hermin Indah wahyuni, Relasi Media-Negara-Masyarakaf dan pasar ...
Terjenrahan dari Gabriel Almond (2000), 'Interest Group and Interest Articulation'dalam
Mochtar, Mas'oed dan Collin McAndrews (ed.), Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, hal.66
Afnan, Malay (penyunting) (1,999), Menuju Masyarakat Kewargaan ,LP3Y, Yogyakarta, hal.
76
201
/umal llmu Sosial & ilmu Politik, Vol. 4, No 2 November 2000
sistem yang semacam ini visi pemerintah terhadap media akan sangat
menentukan kualitas media massa dalam fungsinya sebagai
infrastruktur politik. jika concern dengan sikap demokrasi yang
diikrarkan, kebebasan media harus diberikan dan tak bisa ditunda lug.
Pemerintah era reformasi tak bisa lagi menerapkan bentuk komunikasi
politik Orde Baru yang cenderung safu arah, memandang masyarakat
hanya sebagai obyek komunikasi, dan mengekang kebebasan media.
Dengan menggunakan perspektif media demokratis, akan
digambarkan mengenai relasi media dengan tiga institusi yang telah
disebutkan sebelumnya. Pola relasi antara media dengan institusi
negara, pasar dan masyarakat secara garis besar digambarkan sebagai
berikut:
NEGA RA PASAR
\
\ /
MED IA MASSA
I
MAS YA RAKAT
202
Hermin Indah wahyuni, Relasi Media-Negara-Masyarakat dan pasar ...
Hermin Indah Wahyuni, 200[, Tblevisi dan Intervensi Negara, Media Pressindo Yogyakarta,
hal.9
Dalam ketentuan umum UU No 35 tahun 1999 personifikasi dari pemerintah adalah menteri
yang ruang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang telekomunikasi.
203
/urnal llmu Sosial & IImu Politik, Vol- 4 No Z November 2000
Saat penulisan ini dibuat, Undang-Undang Penyiaran yang baru pengganti UU Penyiaran
No 24 tahun 1992 masih dalam bentuk ranc:rng:rn, itu pun masih mengalami problematika
pada masalah-masalah yang cukup substansial
Pasal lT berkait dengan pemgaturan lembaga penyiaran swasta
Dalam ketentuan umrun UU No 24 tahun 1997 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
menteri adalah menteri penerangan
204
Hermin Indah wahyuni, Relasi Meclia-Negara-Masyarakat dan pasar ...
t't
Wuluupun Pasal ini dianggap sebagai kekuatan Undang-Undang ini, sebagian pengamat
media menilainya tidak perlu tercantum dalam Undang-gndangkebebasai pers
20s
/umal llmu Sosial & IImu Politik, Vol.4, No 2, November2000
kehidupan pers. Jika pada masa Orde Baru dewan pers junh dari kondisi
ideal yang seharusnya dilakukan oleh dewan pers, maka melalui
Undang-Undang ini dilakukan upaya mengeliminasi kemungkinan
campur tangan neg;ua misalnya melalui keanggotaan, dan pembiayaan.
Dewan pers yang baru dalam era reformasi, diwarnai oleh
berbagai harapan agff d"*ut ini tidak sekedar menjadi kaki tangan
pemerintah. Pada masa Orde Baru, melalui jargon "Pers Pancasila yang
bebas dan bertanggungjawab," dewan pers acapkali mengingatkan para
pemimpin redaksi agar wartawannya tidak alpa melakukan
p errgh al: san berit-a .A hlcatr ya p ers tedc jasa m elaku kan se]f cens orship
yakni menyensor sendiri informasi yang akan mereka siarkan. Bahkan
puncak kegagalan dewan pers masa Orde Baru adalah pemberangusan
tiga medra TEMPO, Detik, dan Editor- pada 21 Juni 1994. Ketua Dewan
Pers waktu itu - Harmoko - menyatakan bahwa langkah bredel sudah
direstui dewan pers. Banyak kelompok masyarakat sangat
mengharapkan agar dewan persmasa reformasi bisa melakukan fungsi
penengah konflik antara pers dan masyarakat, Tak perlu aksi
pendudukan atau teroq, tetapi pihak yang kecewa, bisa menyampaikan
keluhannya pada dewan pers. Selanjubrya diharapkan lembaga inilah
yang akan mencari penyelesaian melalui jalur hukum .
Demikianlah UU No. 40 Tahun '1.999, sekaligus telah
mencerminkan konsep kualitas profesionalisasi pemberitaan oleh
media massa era reformasi, yang semakin baik. Profesionalitas sangat
dimaknai dalam sphere ini khususnya pada organisasi kewartawan-
annya. Organisasi profesi wartawan pun tidak lagi dibatasi. Jika selama
Orde Baru hanya dikenal PWI sebagai satu-satunya organisasi profesi
yang diakui negara, pada saat era refofmasi, muncul asosiasi-asosiasi
jurnalis yang beragam dan memaknai independensi dengan cara
mereka sendiri. Suasana semacam ini tentunya akan sangat berdampak
pada kualitas pemberitaan yang dihasilkan. Namun demikian, UIINo
401999 bukannya tanpa sisi negatif. Mereka yang pesimis memandang
bahwa undang-undang ini amat liberal, dan masih belum khusus
mengatur pada salah satu bentuk media secara khusus, demikian pula
masih terdapat kekurangan-kekurangan pada pasal-pasalnya yang
masih mengatur hal-hal y*g tidak seharusnya diatur oleh sebuah
undang-undang pers.
206
Hermin Indah wahyuni, Relasi Media-Negara-Masyarakat dan pasar ...
207
Jumal IImu Sosial & IImu PolitiN Vot. 4, No 2, November 2000
208
Hermin Indah Wahyuni, Relasi Media-Negara-Masyarakat dan Pasar ...
tt
Lubih jelas baca 'Baju Baru Pengontrol Siaran' Tempo,26 Maret 2000, hal. 73
209
/umal IImu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 4 No 2, November2000
tt
Roburt Mc.Chesney (1.998), Konglomerasi Meclia Massa dan Ancaman Tbrhadap Demokrasi,
Aliansi Jurnalis Independen, Jakarta, hal. 61, -62
210
Hermin Indah Wahyuni, Relasi Media-Negara-Masyarakat dan Pasar ...
Pihak atau aktor yang memiliki kepentingan dalam hal ini adalah
pemerintah, dan aktor politik yang seringkali tidak segan menggunakan
me dia untuk kepentingannya.
Deregulasi telah dilakukan, namun dalam prakteknya, masih
j,rga dapat ditemui serangkaian indikasi bahwa atas nama kepentingan
politik tertentu, dan juga kepentingan politik makro di tingkat nasional,
pembatasan informasi oleh aparat negara masih saja dilakukan.
Fenomena ini masih terjadi khususnya di daerah-daerah. Sebut saja
pembredelan terselubung surat kabar mingguan Tifa lrian oleh
Komando Daerah Militer, dengan melarang beberapa percetakan di
Irian untuk mencetak surat kabar tersebut. Alasan pembredelan
terselubung itu diduga karena Tifa diartggap sebagai corong perjuangan
kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM), karena
seringnya menampilkan hasil wawancara dengan Theys H. Eluai,
pemimpin organisasi tersebut.
Gejala intervensi aktor yang memiliki kepentingan politik
tertentu, kini sudah mulai tampak taktik " blocking timd' pada beberapa
media massa elektronik oleh tokoh politik tertentu. Penggunaan media
massa sebagai sarana untuk memperbaiki citra, individu atau bahkan
sebagai vpaya perlawanan berita sudah mulai tampak dalam kasus
Wiranto setelah penonaktifannya sebagai Menko Polkam. Dua hari
setelah penonaktifannya sebagai Menko Polkam, ia hadir dalam acara
on air "Morning Shovy'' radio M 97 yang j.tgu direlay oleh beberapa
radio lain. Selanjutnya Jenderal Wiranto j.,gu tampil dalam acara
wawancara eksklusif di SCTV dan RCTI.'" Setelah Wiranto, Setiawan
Djodi lngu tampil di tiga stasiun televisi nasional SCTV, TPI, dan Indosiar
melakukan wawancara untuk memberi kesan kepada masyarakat
bahwa dirinya bukan lagi bagian dari Soeharto. Untuk tujuan tersebut
para tokoh ini berani memb ayau" mahal.
Kemunculan para aktor politik tersebut banyak diperdebatkan
oleh beberapa kalangan yang menilai bahwa hal semacam ini telah
melanggar etika karena termasuk dalam praktek "beli waktu",
melanggar hak publik untuk memilih inJormasi, dan pembatasan atas
to
'S.ruru Wiranto, Suatu Pagi di Radio,' Tbmpo,27 Februari 2000, hal.26-27 dan 'Kampanye
Pribadi di Balik Layar Kaca,' Tempo, 5 Maret 2000, hal.85
2tl
/urnal ilmu Sosial & Ilmu Politik Vol. 4, No 2, November 2000
212
Hermin Inclah Wahyuni, Relasi Media-Negara-Masyarakat dan Pasar ...
tt
Dicatat dari berbagai media massa terbitan nasional diantaranya Kompas danMajalah Tbmpo
213
Jurnal ilmu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 4, No 2, November 2000
214
Hermin Indah Wahyuni, Relasi Media-Negara-Masyarakat dan Pasar ...
radio dengan jumlah plf dengar yang diperkirakan 800 ribu or-
ang itu merugi 100 juta .
' Koran Suara Indonesia sejak kejatuhan rezim Orde Baru telah
mengalami intervensi massa tiga kali. Salah satunya
menyangkut pemberitaan calon Wali Kota Surabaya. Mengutip
hasil penyaringan tim Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Tingkat il Surabaya terhadap para calon walikota Surabaya,
Suara Indonesia memberitakan bahwa calon walikota tidak
lulus seleksi karena pernah menjadi narapidana kasus
pencurian. Berita itu menyulut protes 50 orang pendukung
Sutikno.
Dari berbagai peristiwa yang terjadi, dapat dikatakan, bahwa
pada satu sisi media memang bukan cermin yang tanpa cacat.
Sedangkan pada sisi lain, masyarakat pun memang memiliki hak untuk
mengoreksi informasi media yang salah. Bahkan secara formal, Undang-
Undang Pers No 40 tahun 7999 pun memberikan hak koreksi terhadap
suatu informasi dan opini yang tidak benar oleh media massa. Namun
memang harus ada aturan main yang jelas tentang cara koreksi yang
benar di alam demokrasi .
Berkait dengan relasi media-masyarakat, fenomena tindakan
"brntal" masyarakat terhadap pers, perlu jrgu dilihat sebagai tanda
adanya sebuah fungsi yang bidak berjalan dalam konteks hubungan
yang lebih makro. Dalam hal ini bisa dikatakan, adanya sinyal
keputusasaan masyarakat dalam memaknai hubungan mereka dengan
pers. Bisa saja diharapkan agar pers lebih jauh berfungsi sebagai sarana
penghubung antara masyarakat dengan para pengambil kebijakan di
tingkat negara, namun justru fungsi ini belum mewujud. Media justru
lebih mengutamakan peranan sebagai pressure group. Dalam kondisi
inilah, media dapat dikatakan belum berfungsi dan gagal sebagai
jembatan pembawa aspirasi yang bijak kepada negarafpemerintah.
Selanjutnya hal ini memicu ketegangan-ketegangan dan konflik antara
masyarakat dan pers. Frustasi dan keputusasaan tersebut akhirnya
muncul dalam serangkaian protes dan aksi pendudukan oleh
masyarakat.
2t5
/umal llmu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 4 No 2, November 2000
2t6
Hermin Indah Wahyuni, Relasi Media-Negara-Masyarakat dan Pasar ...
Catatan Penutup
Perubahan politik di tingkat makro pada setting pasca Orde Baru
telah melahirkan relasi yang mengkhawatirkan antara media massa-
negara, media massa-pasar, dan media massa- masyarakat.
Tampaknya harus ada upaya serius dari media massa Indonesia untuk
memaknai perannya dalam setting yang begitu dinamis dan terus
mengalami perubahan pada masa-masa mendatang.
Dalam relasi yang masih selalu bergeser akibat kondisi politik
yang jngu masih belum stabil, dapat dikatakan relasi media dengan
negara, masyarakat, dan pasar, masih belum secara utuh mampu
mewujudkan media sebagai infrastruktur komunikasi politik
pendorong demokrasi. Indikasinya tampak pada adanya tekanan-
tekanan tertentu pada media baik oleh kelompok pemilik modal yang
memiliki kepentingan tertentu, pemerintah yang masih ingin agar
media massa turut mendukung legihimasinya, dan masyarakat yang
sedang menikmati euphoria demokrasi. Pada batas tertentu tampaknya
media Indonesia masih sulit menolak dan melepaskan diri dari campur
tangan (encroachment) yang tidak seharusnya terjadi. Demikian pula
kekerasan terhadap media massa ataupun praktek pembredelan
terselubung yang masih saja terjadi di berbagai wilayah Indonesia,
semuanya ini merupakan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Tampilan media dan representasi wacana melalui pesan-
pesannya sesungguhnya menggambarkan pertarungan wacana pada
tingkat elit ataupun di tingkat masyarakat yang sangat serius. Hal ini
sekaligus menuntut media massa untuk memperlihatkan kualitasnya
dalam memposisikan diri pada hiruk pikuknya politik di tingkat makro.
Bukan saatnya la gi untuk menggantungkan solusin y a pada p emerintah.
Sebab, pemerintah sendiri tampaknya harus menempuh perjalanan
217
Jurnal llmu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 4, No Z November 2000
t'
Ch"r.r"y, op.cit.,hal.99
2t8
Hermin Indah Wahyuni, Relasi Media-Negara-Masyarakat dan Pasar ...
Daftar Pustaka
tt'
Ch.rr,"y, ibict. gg
219
/umal ilmu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 4, No 2, November 2000
James, Pierre (1990), ' State Theories And New order Indonesia,' dalam
Arief Budiman (ed.), State and Civil Society In Indonesia,
Monash Papers On Shoutheast Asia - No 22, Melbourne.
Maray, Afnan (penyunti.g.) (1999), Menuju Masyarakat Kewargaan ,
LP3Y Yogyakarta.
McChesney, Robert (1998), Konglomerasi Media Massa dan Ancaman
Tbrha d ap Dem okrasr, Aliansi furnalis Independen, ]akarta.
Perundang-undangan :
Undang-Undang Telekomunikasi No 3 tahun 7989
Undang-Undang Penyiaran No 24 Tahun 7997
Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2000
Majalah :
Lain-Lain
Rose, Jonathan , Sylabus of PoJitical communication - Department of
Political Studies Queen's Universi ty,'1,999
220