Anda di halaman 1dari 14

PENDIDIKAN PANCASILA

MAKALAH FILSAFAT PANCASILA

DISUSUN OLEH

Fauzan Rizkiawan

PROGRAM STUDI BAHASA INGGRIS

FAKULTAS TARBIYAH

UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR

2020-2021
BAB I

PENDAHULUAN

 1.  Latar Belakang

Sebagai dasar negara, Pancasila kembali diuji ketahanannya dalam era


reformasi sekarang.Merekahnya matahari bulan Juni 1945, 66 tahun yang lalu
disambut dengan lahirnya sebuah konsepsi kenengaraan yang sangat bersejarah
bagi bangsa Indonesia, yaitu lahirnya Pancasila.

Sebagai falsafah negara, tentu Pancasila ada yang merumuskannya.


Pancasila memang merupakan karunia terbesar dari Allah SWT dan ternyata
merupakan light-star bagi segenap bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya,
baik sebagai pedoman dalam memperjuangkan kemerdekaan, juga sebagai alat
pemersatu dalam hidup kerukunan berbangsa, serta sebagai pandangan hidup
untuk kehidupan manusia Indonesia sehari-hari, dan yang jelas tadi telah
diungkapkan sebagai dasar serta falsafah negara Republik Indonesia.

Pancasila telah ada dalam segala bentuk kehidupan rakyat Indonesia,


terkecuali bagi mereka yang tidak Pancasilais.Pancasila lahir 1 Juni 1945,
ditetapkan pada 18 Agustus 1945 bersama-sama dengan UUD 1945.Bunyi dan
ucapan Pancasila yang benar berdasarkan Inpres Nomor 12 tahun 1968 adalah
satu, Ketuhanan Yang Maha Esa.Dua, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga,
Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.Dan kelima, Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sejarah Indonesia telah mencatat bahwa di antara tokoh perumus Pancasila


itu ialah, Mr Mohammad Yamin, Prof Mr Soepomo, dan Ir Soekarno. Dapat
dikemukakan mengapa Pancasila itu sakti dan selalu dapat bertahan dari
guncangan kisruh politik di negara ini, yaitu pertama ialah karena secara intrinsik
dalam Pancasila itu mengandung toleransi, dan siapa yang menantang Pancasila
berarti dia menentang toleransi.

Kedua, Pancasila merupakan wadah yang cukup fleksibel, yang dapat


mencakup faham-faham positif yang dianut oleh bangsa Indonesia, dan faham lain
yang positif tersebut mempunyai keleluasaan yang cukup untuk
memperkembangkan diri. Yang ketiga, karena sila-sila dari Pancasila itu terdiri
dari nilai-nilai dan norma-norma yang positif sesuai dengan pandangan hidup
bangsa Indonesia, dan nilai serta norma yang bertentangan, pasti akan ditolak oleh
Pancasila, misalnya Atheisme dan segala bentuk kekafiran tak beragama akan
ditolak oleh bangsa Indonesia yang bertuhan dan ber-agama.
Diktatorisme juga ditolak, karena bangsa Indonesia berprikemanusiaan
dan berusaha untuk berbudi luhur. Kelonialisme juga ditolak oleh bangsa
Indonesia yang cinta akan kemerdekaan. Sebab yang keempat adalah, karena
bangsa Indonesia yang sejati sangat cinta kepada Pancasila, yakin bahwa
Pancasila itu benar dan tidak bertentangan dengan keyakinan serta agamanya.

Dengan demikian bahwa falsafah Pancasila sebagai dasar falsafah negara


Indonesia yang harus diketahui oleh seluruh warga negara Indonesia agar
menghormati, menghargai, menjaga dan menjalankan apa-apa yang telah
dilakukan oleh para pahlawan khususnya pahlawan proklamasi yang telah
berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia ini. Sehingga baik golongan muda
maupun tua tetap meyakini Pancasila sebagai dasar negara Indonesia tanpa adanya
keraguan guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia.

C.  RUMUSAN MASALAH

Dengan memperhatikan ulasan singkat latar belakang di atas, maka dapat


disusunlah rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah sebenarnya filsafat Pancasila tersebut, dan bagaimana pancasila
tersebut muncul sebagai ideologi bangsa Indonesia?
2. Apakah fungsi dari filsafat Pancasila tersebut bagi bangsa dan Negara
Indonesia?
3. Apakah yang menjadi bukti bahwa ideologi Pancasila menjadi dasar dari
filsafat Negara Indonesia?

B.  TUJUAN

1. Sebagai bahan kajian bagi para mahasiswa mengenai peranan ideologi


Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan Negara Indonesia.
2. Sebagai kajian untuk mengetahui fungsi dan peranan filsafat Pancasila dalam
kehidupan bangsa Indonesia.
3. Sebagai sarana untuk memahami filsafat Pancasila sebagai falsafah Negara
Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN FILSAFAT

Secara etimologis istilah ”filsafat“ atau dalam bahasa


Inggrisnya “philosophi” adalah berasal dari bahasa Yunani “philosophia” yang
secara lazim diterjemahkan sebagai “cinta kearifan” kata philosophia tersebut
berasal dari kata “philos” (pilia, cinta) dan “sophia” (kearifan). Berdasarkan 
pengertian bahasa tersebut filsafat berarti cinta kearifan. Kata kearifan bisa juga
berarti “wisdom” atau kebijaksanaan sehingga filsafat bisa juga berarti cinta
kebijaksanaan. Berdasarkan makna kata  tersebut maka mempelajari filsafat
berarti merupakan upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang
nantinya bisa menjadi konsep kebijakan hidup yang bermanfaat bagi peradaban
manusia.

Sesungguhnya nilai ajaran filsafat telah berkembang, terutama di wilayah


Timur Tengah sejak sekitar 6000-600 SM; juga di Mesir dan sekitar sungai Tigris
dan Eufrat sekitar 5000-1000 sM; daerah Palestina/Israel sebagai doktrine Yahudi
sekitar 4000-1000 SM (Radhakrishnan, et al. 1953: 11; Avey 1961:3-7). Juga di
India sekitar 3000-1000 SM, sebagaimana juga di China sekitar 3000-500 SM.
Nilai filsafat berwujud kebenaran sedalam-dalamnya, bersifat fundamental,
universal dan hakiki, karenanya dijadikan filsafat hidup oleh pemikir dan
penganutnya.

Pada  umunya terdapat dua pengertian filsafat, yaitu filsafat dalam arti
proses, dan filsafat dalam arti produk atau hasil. Pancasila dapat di golongkan
sebagai filsafat dalam arti produk, filsafat pancasila sebagai pandangan hidup
maupun filsafat pancasila dalam arti praktis. Oleh karena itu, berarti pancasila
memiliki fungsi dan peranan sebagai pedoman dan pegangan dalam bersikap,
bertingkah laku, dan perbuatan dalam kehidupan sehari hari dalam kehidupan
bermasyarakat maupun bernegara di manapun mereka berada.  

B. PENGERTIAN PANCASILA
Pancasila merupakan salah satu filsafat yang merupakan hasil dari
pencerminan nilai-nilai luhur dan budaya bangsa indonesia yang terkandung 5 isi
di dalamnya, yaitu satu, ketuhanan yang maha esa. Dua, kemanusiaan yang adil
dan beradab. Tiga, persatuan indonesia. Empat, kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebikjasanaan dan permusayawaratan/perwakilan. Lima, keadilan bagi
seluruh rakyat indonesia.

Secara historis pancasila muncul pada tanggal 01 Juni 1945 yang pada saat
itu presiden Ir. Soekarno berpidato tanpa teks mengenai rumusan Pancasila
sebagai Dasar Negara. Kemudian, Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan, keesokan harinya 18 Agustus 1945 disahkanlah
UUD 1945 termasuk Pembukaannya dimana didalamnya terdapat rumusan lima
Prinsip sebagai Dasar Negara yang kemudian dikenal dengan nama Pancasila.

Sejak saat itulah Pancasila menjadi Bahasa Indonesia yang umum. Jadi
walaupun pada Alinea 4 Pembukaan UUD 45 tidak termuat istilah Pancasila
namun yang dimaksud dasar Negara RI adalah disebut istilah Pancasila hal ini
didasarkan pada interprestasi (penjabaran) historis terutama dalam rangka
pembentukan Rumusan Dasar Negara.

C. PENGERTIAN FILSAFAT PANCASILA

Filsafat Pancasila secara umum adalah hasil berpikir/pemikiran yang


sedalam-dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya dan diyakini
sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai) yang paling benar, paling
adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai bagi bangsa Indonesia.
Filsafat pancasila mempunyai tujuan yang sesuai dengan dasar filsafat tersebut.
Pancasila dengan dasar sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar filsafat negara,
maka tujuan filsafat pancasila secara umum adalah untuk menandingi filsafat
komunis dan filsafat liberalis, tujuan ini berhasil atau tidaknya tergantung dari
ketangguhan pancasila yang di dukung oleh penalaran kefilsafatan.

Tujuan khusus filsafat Pancasila yaitu untuk memahami dan menjelaskan


lima prinsip kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara, mengajukan
kritik dan menilai prinsip tersebut, menemukan hakikatnya secara manusiawi serta
mengatur semuanya itu dalam bentuk yang sistematik sebagai pandangan dunia.

D. PENGERTIAN PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

Pancasila yang terdiri dari atas lima sila pada hakikatnya merupakan
sistem filsafat. Yang dimaksud dengan sistem adalah suatu kesatuan bagian-
bagian yang saling bekerja sama untuk satu tujuan tertentu dan secara keseluruhan
merupakan suatu kesatuan yang utuh.

Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian yaitu sila-sila pancasila setiap


sila pada hakikatnya merupakan suatu asa sendiri. Dasar filsafat Negara Indonesia
terdiri atas lima sila yang masing-masing merupakan suatu asas peradaban. Sila-
sila pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu
kesatuan organis. Antara sila-sila pancasila itu saling berkaitan, saling
berhubungan bahkan saling mengkualifikasi. Secara demikian ini maka pancasila
pada hakikatnya merupakan sistem, dalam pengertian bahwa bagian sila-silanya
saling berhubungan secara erat hingga membentuk suatu struktur yang
menyeluruh.

Pancasila sebagai suatu sistem juga dapat dipahami dari pemikiran dasar
yang terkandung dalam pancasila, yaitu pemikiran tentang manusia dalam
hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa dengan dirinya sendiri, dengan
sesama manusia, dengan masyarakat bangsa yang nilai-nilainya telah dimiliki oleh
bangsa Indonesia. Dengan demikian Pancasila merupakan suatu sistem dalam
pengertian kefilsafatan sebagaimana sistem filsafat lainnya antara lain
matrealisme, idealisme, rasioanlisme, liberalisme, sosialisme dan sebagainya.

E. KARAKTERISTIK SISTEM FILSAFAT PANCASILA

Sebagai filsafat, Pancasila memiliki karakteristik sistem filsafat tersendiri


yang berbeda dengan filsafat lainnya, yaitu Sila-sila Pancasila merupakan satu-
kesatuan sistem yang bulat dan utuh (sebagai suatu totalitas).

1. Aspek Ontologis Pancasila

Dasar-dasar ontologis Pancasila menunjukkan secara jelas bahwa


Pancasila itu benar-benar ada dalam realitas dengan identitas dan entitas (satuan
yang berwujud) yang jelas. Melalui tinjauan filsafat, dasar ontologis Pancasila
mengungkap status istilah yang digunakan, isi dan susunan sila-sila, tata
hubungan, serta kedudukannya. Dasar ontologis Pancasila pada hakekatnya adalah
manusia yang memiliki hakekat mutlak mono-pluralis. Manusia Indonesia
menjadi dasar adanya Pancasila. Manusia Indonesia sebagai pendukung pokok
sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas
susunan kodrat raga dan jiwa, jasmani dan rohani, sifat kodrat manusia sebagai
makhluk individu dan sosial, serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk
pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Pancasila amat bergantung pada manusia Indonesia. Selain ditemukan


adanya manusia Indonesia sebagai pendukung pokok Pancasila, secara ontologis,
realitas yang menjadikan sifat-sifat melekat dan dimiliki Pancasila dapat diungkap
sehingga identitas dan entitas Pancasila itu menjadi sangat jelas. Jika ditinjau
menurut sejarah asal-usul pembentukannya, Pancasila memenuhi syarat sebagai
dasar filsafat negara. Ada empat macam sebab (causa) yang menurut Notonagoro
dapat digunakan untuk menetapkan Pancasila sebagai Dasar Filsafat Negara, yaitu
sebab berupa materi (causa material), sebab berupa bentuk (causa formalis),
sebab berupa tujuan (causa finalis),dan sebab berupa asal mula karya (causa
eficient).

Selanjutnya Pancasila sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia


memiliki susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan serta
mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak yaitu berupa sifat kodrat
monodualis, sebagai makhluk individu sekaligus juga sebagai makluk sosial, serta
kedudukannya sebagai makluk pribadi yang berdiri sendiri juga sekaligus sebagai
makhluk Tuhan. Konsekuensinya segala aspek dalam penyelenggaraan negara
diliputi oleh nilai-nilai  Pancasila yang merupakan suatu kesatuan yang utuh yang
memiliki sifat dasar yang mutlak berupa sifat kodrat manusia yang monodualis
tersebut.

Kemudian seluruh nilai-nilai Pancasila tersebut menjadi dasar rangka dan


jiwa bagi bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa dalam setiap aspek
penyelenggaraan negara harus dijabarkan dan bersumberkan pada nilai-nilai
Pancasila, seperti bentuk negara, sifat negara, tujuan negara, tugas dan kewajiban
negara dan warga negara, sistem hukum negara, moral negara dan segala aspek
penyelenggaraan negara lainnya. Hal yang sama juga berlaku dalam konteks
negara Indonesia, Pancasila adalah filsafat negara dan pendukung pokok negara
adalah rakyat (manusia).

2. Aspek Epistemologis Pancasila

Epistemologis Pancasila terkait dengan sumber dasar pengetahuan


Pancasila. Eksistensi Pancasila dibangun sebagai abstraksi dan penyederhanaan
terhadap realitas yang ada dalam masyarakat bangsa Indonesia dengan lingkungan
yang heterogen, multikultur, dan multietnik dengan cara menggali nilai-nilai yang
memiliki kemiripan dan kesamaan untuk memecahkan masalah yang dihadapi
masyarakat bangsa Indonesia.
Masalah-masalah yang dihadapi menyangkut keinginan untuk
mendapatkan pendidikan, kesejahteraan, perdamaian, dan ketentraman. Pancasila
itu lahir sebagai respon atau jawaban atas keadaan yang terjadi dan dialami
masyarakat bangsa Indonesia dan sekaligus merupakan harapan. Diharapkan
Pancasila menjadi cara yang efektif dalam memecahkan kesulitan hidup yang
dihadapi oleh masyarakat bangsa Indonesia.

Pancasila memiliki kebenaran korespondensi dari aspek epistemologis


sejauh sila-sila itu secara praktis didukung oleh realita yang dialami dan
dipraktekkan oleh manusia Indonesia. Pengetahuan Pancasila bersumber pada
manusia Indonesia dan lingkungannya. Pancasila merupakan pedoman atau dasar
bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia,
masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi
manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan
kehidupan.

Epistemologis sosial Pancasila juga dicirikan dengan adanya upaya


masyarakat bangsa Indonesia yang berkeinginan untuk membebaskan diri menjadi
bangsa merdeka, bersatu, berdaulat dan berketuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
serta ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sumber pengetahuan Pancasila dapat ditelusuri melalui sejarah


terbentuknya Pancasila. Akar sila-sila Pancasila ada dan berpijak pada nilai serta
budaya masyarakat bangsa Indonesia. Nilai serta budaya masyarakat bangsa
Indonesia yang dapat diungkap mulai awal sejarah pada abad IV Masehi di
samping diambil dari nilai asli Indonesia juga diperkaya dengan dimasukkannya
nilai dan budaya dari luar Indonesia. Nilai-nilai dimaksud berasal dari agama
Hindu, Budha, Islam, serta nilai-nilai demokrasi yang dibawa dari Barat.

Berdasarkan realitas yang demikian maka dapat dikatakan bahwa secara


epistemologis pengetahuan Pancasila bersumber pada nilai dan budaya tradisional
dan modern, budaya asli dan campuran. Selain itu, sumber historis itu, menurut
tinjauan epistemologis, Pancasila mengakui kebenaran pengetahuan yang
bersumber dari wahyu atau agama serta kebenaran yang bersumber pada akal
pikiran manusia serta kebenaran yang bersifat empiris berdasarkan pada
pengalaman. Dengan sifatnya yang demikian maka pengetahuan Pancasila
mencerminkan adanya pemikiran masyarakat tradisional dan modern.

3. Aspek Aksiologis Pancasila


Aksiologi terkait erat dengan penelaahan atas nilai. Dari aspek aksiologi,
Pancasila tidak bisa dilepaskan dari manusia Indonesia sebagai latar belakang,
karena Pancasila bukan nilai yang ada dengan sendirinya (given value) melainkan
nilai yang diciptakan (created value) oleh manusia Indonesia. Nilai-nilai dalam
Pancasila hanya bisa dimengerti dengan mengenal manusia Indonesia dan latar
belakangnya. Pancasila mengandung nilai, baik intrinsik maupun ekstrinsik atau
instrumental. Nilai intrinsik Pancasila adalah hasil perpaduan antara nilai asli
milik bangsa Indonesia dan nilai yang diambil dari budaya luar Indonesia, baik
yang diserap pada saat Indonesia memasuki masa sejarah abad 4 Masehi, masa
imperialis, maupun yang diambil oleh para kaum cendekiawan Soekarno,
Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan para pejuang kemerdekaan lainnya
yang mengambil nilai-nilai modern saat belajar ke negara Belanda.

Kekhasan nilai yang melekat dalam Pancasila sebagai nilai intrinsik


terletak pada diakuinya nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
dan keadilan sosial sebagai satu kesatuan. Kekhasan ini yang membedakan
Indonesia dari negara lain. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan, dan keadilan memiliki sifat umum universal. Karena sifatnya yang
universal, maka nilai-nilai itu tidak hanya milik manusia Indonesia, melainkan
manusia seluruh dunia. Pancasila sebagai nilai instrumental mengandung
imperatif dan menjadi arah bahwa dalam proses mewujudkan  cita-cita negara
bangsa, seharusnya menyesuaikan dengan sifat-sifat yang ada dalam nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.

Sebagai nilai instrumental, Pancasila tidak hanya mencerminkan identitas


manusia Indonesia, melainkan juga berfungsi sebagai cara dalam mencapai tujuan,
bahwa dalam mewujudkan cita-cita negara, bangsa Indonesia menggunakan cara-
cara yang berketuhanan, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan,
berkerakyatan yang menghargai musyawarah dalam mencapai mufakat, dan
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila juga mencerminkan
nilai realitas dan idealitas. Pancasila mencerminkan nilai realitas, karena di dalam
sila-sila Pancasila berisi nilai yang sudah dipraktekkan dalam hidup sehari-hari
oleh bangsa Indonesia. Di samping mengandung nilai realitas, sila-sila Pancasila
berisi nilai-nilai idealitas, yaitu nilai yang diinginkan untuk dicapai.

Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai


Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang berketuhanan,
yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan dan yang
berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesia itulah yang
menghargai, mengakui, menerima Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai.
Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai
itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan bangsa
Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan atau penghargaan itu telah menggejala
dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan manusia dan bangsa Indonesia, maka
bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah pengembannya dalam sikap,
tingkah laku dan perbuatan manusia Indonesia. 

F. HAKEKAT SILA-SILA PANCASILA

Kata ‘hakekat’ dapat diartikan sebagai suatu inti yang terdalam dari segala
sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur tertentu dan yang mewujudkan sesuatu
itu, sehingga terpisah dengan sesuatu lain dan bersifat mutlak. Terkait dengan
hakekat sila-sila Pancasila, pengertian kata ‘hakekat’ dapat dipahami dalam tiga
kategori, yaitu :

1. Hakekat abstrak yang disebut juga sebagai hakekat jenis atau hakekat
umum yang mengandung unsur-unsur yang sama, tetap dan tidak berubah.
Hakekat abstrak sila-sila Pancasila menunjuk pada kata: ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Menurut bentuknya,
Pancasila terdiri atas kata-kata dasar Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil
yang dibubuhi awalan dan akhiran, berupa ke dan an (sila I, II, IV, dan V),
sedangkan yang satu berupa per dan an (sila III).

2. Hakekat pribadi sebagai hakekat yang memiliki sifat khusus, artinya


terikat kepada barang sesuatu. Hakekat pribadi Pancasila menunjuk pada
ciri-ciri khusus sila-sila Pancasila yang ada pada bangsa Indonesia, yaitu
adat istiadat, nilai-nilai agama, nilai-nilai kebudayaan, sifat dan karakter
yang melekat pada bangsa Indonesia sehingga membedakan bangsa
Indonesia dengan bangsa yang lain di dunia. Sifat-sifat dan ciri-ciri ini
tetap melekat dan ada pada bangsa Indonesia. Hakekat pribadi inilah yang
realisasinya sering disebut sebagai kepribadian, dan totalitas kongkritnya
disebut kepribadian Pancasila.

3. Hakekat kongkrit yang bersifat nyata sebagaimana dalam kenyataannya.


Hakekat kongkrit Pancasila terletak pada fungsi Pancasila sebagai dasar
filsafat negara. Dalam realisasinya, Pancasila adalah pedoman praktis,
yaitu dalam wujud pelaksanaan praktis dalam kehidupan negara, bangsa
dan negara Indonesia yang sesuai dengan kenyataan sehari-hari, tempat,
keadaan dan waktu. Dengan realisasi hakekat kongkrit itu, pelaksanaan
Pancasila dalam kehidupan negara setiap hari
bersifat dinamis, antisipatif, dan sesuai dengan perkembangan waktu,
keadaan, serta perubahan jaman.

G.  KESATUAN SILA-SILA PANCASILA SEBAGAI SUATU SISTEM


FILSAFAT
Pancasila yang berisi lima sila, menurut Notonagoro (1967: 32) merupakan
satu kesatuan utuh. Kesatuan sila-sila Pancasila tersebut, diuraikan sebagai berikut
:
1. Kesatuan Sila-Sila

Pancasila dalam struktur yang bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal.


Susunan secara hirarkis mengandung pengertian bahwa sila-sila Pancasila
memiliki tingkatan berjenjang, yaitu sila yang ada di atas menjadi landasan sila
yang ada di bawahnya. Sila pertama melandasi sila kedua, sila kedua melandasi
sila ketiga, sila ketiga melandasi sila keempat, dan sila keempat melandasi sila
kelima.

Dalam susunan hirarkis dan piramidal, sila Ketuhanan Yang Maha Esa
menjadi basis kemanusiaan, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan sosial.
Sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan,
yang membangun, memelihara dan mengembangkan persatuan Indonesia, yang
berkerakyatan dan berkeadilan sosial. Demikian selanjutnya, sehingga tiap-tiap
sila di dalamnya mengandung sila-sila lainnya.

Secara ontologis, kesatuan sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem yang


bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut,
hkekat adanya Tuhan adalah ada karena dirinya sendiri, Tuhan sebagai causa
prima. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada termasuk manusia ada karena
diciptakan Tuhan atau manusia ada sebagai akibat adanya Tuhan (sila pertama).
Adapun manusia adalah sebagai subyek pendukung pokok negara, karena negara
adalah lembaga kemanusiaan, negara adalah sebagai persekutuan hidup bersama
yang anggotanya adalah manusia (sila kedua). Dengan demikian, negara adalah
sebagai akibat adanya manusia yang bersatu (sila ketiga). Selanjutnya
terbentuklah persekutuan hidup bersama yang disebut rakyat. Rakyat pada
hakekatnya merupakan unsur negara di samping wilayah dan pemerintah. Rakyat
adalah totalitas individu-individu dalam negara yang bersatu (sila keempat).
Adapun keadilan yang pada hakekatnya merupakan tujuan bersama atau keadilan
sosial (sila kelima) pada hakekatnya sebagai tujuan dari lembaga hidup bersama
yang disebut negara.
2. Hubungan Kesatuan Sila-Sila

Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi. Sila-sila


Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam hubungannya saling
mengisi atau mengkualifikasi dalam kerangka hubungan hirarkis piramidal seperti
di atas. Dalam rumusan ini, tiap-tiap sila mengandung empat sila lainnya atau
dikualifikasi oleh empat sila lainnya. Untuk kelengkapan hubungan kesatuan
keseluruhan sila-sila Pancasila yang dipersatukan dengan rumusan hirarkis
piramidal tersebut, berikut disampaikan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling
mengisi dan saling mengkualifikasi.

a. Sila pertama; Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Ketuhanan yang


berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

b. Sila kedua; kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kemanusiaan yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

c. Sila ketiga; persatuan Indonesia adalah persatuan yang ber-Ketuhanan


YME, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berkerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

d. Sila keempat; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan/perwakilan, adalah kerakyatan yang ber-Ketuhanan
Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
berpersatuan Indonesia, yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.

e. Sila kelima; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah keadilan
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan.

BAB IV

PENUTUP
A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa filsafat


Pancasila merupakan hasil pemikiran mendalam dari bangsa Indonesia, yang
dianggap, diyakini sebagai kenyataan nilai dan norma yang paling benar, dan adil
untuk melakukan kegiatan hidup berbangsa dan bernegara di manapun mereka
berada. Selain itu, filsafat Pancasila memiliki beragam fungsi, diantaranya yaitu;
sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, Pancasila sebagai dasar Negara
Indonesia, pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia, Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum, dan Pancasila sebagai sistem ideologi
nasional.

Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.


Sedangkan Pancasila sebagai sistem filsafat adalah suatu kesatuan bagian-bagian
yang saling berhubungan, saling bekerjasama antara sila yang satu dengan sila
yang lain untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan
yang utuh yang mempunyai beberapa inti sila, nilai dan landasan yang mendasar.
DAFTAR PUSTAKA

Muzairi, M. Ag.(2009). Filsafat Umum. Yogyakarta: Teras

Ruhcitra. (2008, Desember 16). Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

Suparyanto. Yudi dkk (2013). Pendidikan Kewarganegaraan untuk

SMA/MA kelas XII. Klaten. Intan Pariwara

Prof. Dr. Kaelan .M.S., 2002, Filsafat Pancasila, Buku I, Paradikma,


Yogyakarta.

https://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=LPQZVsLSE8i30gT-
pqLoDA#

https://www.google.com/search?q=filsafat+sebagai+ilmu&ie=utf-
8&oe=utf-8# diakses pada tanggal 12 oktober 2015

Anda mungkin juga menyukai