Anda di halaman 1dari 46

CLINICAL SCIENCE SESSION

* Pendidikan Profesi Dokter / G1A217051 / Oktober 2018

**Pembimbing

DIAGNOSING STROKE IN ACUTE DIZZINES AND VERTIGO


Yogi Prasetyo, S.Ked*, dr. Idrat Riowastu, Sp.S**

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

BAGIAN ILMU PENYAKIT NEUROLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2018

LEMBAR PENGESAHAN

1
CLINICAL SCIENCE SESSION

DIAGNOSING STROKE IN ACUTE DIZZINES AND VERTIGO

Oleh:

Yogi Prasetyo, S.Ked

G1A217051

Program Pendidikan Profesi Dokter


Bagian Ilmu Penyakit Neurologi
Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher
Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi
2018

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan

Pada: Jambi, Oktober 2018

Pembimbing

dr. Idrat Riowastu, Sp.S

2
BAB I
PENDAHULUAN

Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang


ditandai dengan kematian jaringan otak (infarkserebral) yang terjadi karena
berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. Berkurangnya aliran darah dan
oksigen ini bias dikarenakan adanya sumbatan, penyempitan atau pecahnya
pembuluh darah.1

Stroke didefinisikan adalah suatu gangguan fungsi saraf akut yang


disebabkan oleh karena gangguan peredaran darah otak, dimana secara mendadak
(dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) timbul gejala dan
tanda yang sesuai dengan daerah fokal otak yang terganggu.2

Stroke dibagi menjadi dua jenis berdasarkan etiologinya yaitu: stroke


infark atau stroke non hemoragik maupun stroke perdarahan atau stroke
hemoragik.2

Berdasarkan perjalanan klinisnya, stroke non hemoragik masih dapat lagi


dikelompokkan menjadi TIA, RIND, Stroke in evolution dan completed stroke.
Sedangkan pembagian stroke hemoragik menurut WHO ICD-NA 1987 adalah
perdarahan subaraknoid, perdarahan intraserebral dan perdarahan intrakranial non
spesifik dan yang lain misalnya, perdarahan ekstradural atau epidural non
traumatik dan perdarahan intrakranial non spesifik.2

Stroke merupakan penyebab utama kematian ketiga yang paling sering


oleh karena itu merupakan indikasi penting untuk perawatan di rumah sakit serta
merupakan penyebab ketidakmampuan pada kebanyakan negara industri.
Morbiditas yang lebih parah dan mortalitas yang lebih tinggi terdapat pada stroke
hemoragik dibandingkan stroke iskemik. Hanya 20% pasien yang mendapatkan
kembali kemandirian fungsionalnya.2

Resiko terjadinya stroke meningkat seiring dengan usia dan lebih tinggi
pada pria dibandingkan dengan wanita pada usia berapapun. Faktor risiko mayor

3
meliputi hipertensi arterial, penyakit diabetes mellitus, penyakit jantung. Faktor
risiko minor meliputi usia, jenis kelamin, genetik, perilaku merokok,
hiperlipidemia dan obesitas.3

Diagnosis dari lesi vascular pada stroke bergantung secara esensial


pada pengenalan dari sindrom stroke, dimana tanpa adanya bukti yang
mendukungnya, diagnosis tidak akan pernah pasti. Riwayat yang tidak adekuat
adalah penyebab kesalahan diagnosis paling banyak. Bila data tersebut tidak dapat
dipenuhi, maka profil stroke masih harus ditentukan dengan memperpanjang
periode observasi selama beberapa hari atau minggu.4

Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan


morbiditas dan menurunkan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan.
Salah satu upaya yang berperan penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah
pengenalan gejala-gejala stroke dan penanganan stroke secara dini dimulai dari
penanganan prarumah sakit yang cepat dan tepat. Dengan penanganan yang benar-
benar pada jam-jam pertama paling tidak akan mengurangi kecacatan sebesar 30%
pada penderita stroke.1

4
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. F
Umur : 61 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Alamat : RT 13 lrg Marene
Pekerjaan : Tidak berkerja
MRS : 14/10/2018

DAFTAR MASALAH
No Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif Tanggal
.
1. Hemiparesis sinistra 13 Oktober 2018 Paraparese Inferior Oktober 2011
2. Hipertensi 13 Oktober 2018
3.

II. DATA SUBYEKTIF (Anamnesis tanggal 17 oktober 2018)


1. Keluhan utama : Kelemahan pada anggota gerak sebelah kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Lokasi : Lengan dan tungkai kiri
Onset : Tiba-tiba (mendadak)
Kualitas : Lengan dan tungkai kiri sulit digerakkan
Kuantitas : Lengan dan tungkai kiri tidak bisa menahan beban
Kronologis :
Seorang laki-laki, berusia 61 tahun, dibawa oleh keluarganya ke
IGD RSUD Raden Mattaher Jambi dengan keluhan kelemahan pada
anggota gerak sebelah kiri ± 3 jam SMRS. Keluhan dirasakan tiba-tiba
saat pasien sedang tidur, bicara pelo (-), sakit kepala (-), mual (-), muntah
(-), demam (-), kejang (-), saat kejadian dan setelah kejadian pasien sadar.
Sejak ± 6 tahun SMRS, pasien manyatakan anggota gerak bagian
bawahnya mengalami kelemahan, hal ini tejadi sejak pasien mengalami
kecelaaan kerja yaitu terjatuh dari ketinggian ±2,5 meter dengan posisi
punggungnya terlebih dahulu menyentuh lantai. Dan sejak saat itu os sulit
berjalan dan harus dibantu dengan tongkat, selain itu pasien juga
mengeluhkan sulit BAB dan BAK setelah kejadian tersebut.

5
Gejala penyerta :-
Faktor yang memperberat : (-)
Faktor yang memperingan : (-)

3. Riwayat penyakit dahulu :


 Riwayat keluhan yang sama (-).
 Riwayat penyakit hipertensi (+), sejak ± 10 tahun yang lalu, riwayat
pengobatan tidak terkontrol.
 Riwayat kecelakaan kerja 6 tahun yll, os terjatuh dari plafon rumah
yang menyebabkan kedua tungkai os sulit untuk digerakkan dan tidak
bisa berjalan.
 Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat penyakit keganasan disangkal
 Riwayat penyakit ginjal disangkal

4. Riwayat penyakit keluarga :


Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita keluahn yang sama
sebelumnya.
Riwayat penyakit hipertensi ada, yaitu ortu (ayah) kandung pasien
Riwayat penyakit diabetes disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat stroke disangkal

5. Riwayat sosial ekonomi :


Pasien sudah tidak bekerja sejak mengalami kecelakaan kerja 6 tahun
yang lalu. Sebelumnya pasien bekerja sebagai buruh bangunan. Pasien
tinggal bersama istri,anak, menantu dan cucu pasien.

III. OBYEKTIF
1. Status Presens (17 oktober 2018)
Kesadaran : Compos mentis, GCS: 15 E:4 M:6 V: 5
Tekanan darah : 160/90 mmHg
Nadi : 78 x/i
Suhu : 36,6 oC
Respirasi : 17 x/i

2. Status Internus

6
Kepala :
Mata : Edema palpebra (-/-), conjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), pupil bulat, isokor,  ± 3 mm/± 3 mm, refleks
cahaya (+)/(+)
Visus: ka: 1/60, ki: 1/60
THT : Dalam batas normal
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa kering (-), lidah hiperemis (-)
Leher : JVP 5+2 cm H2O, pembesaran KGB (-)
Dada : Simetris, retraksi intercostal (-), spider nevi (-), benjolan
(-)
Jantung : Ictus cordis tidak terlihat, tidak kuat angkat, batas jantung
dalam batas normal, BJ I dan BJ II regular, gallop (-), mur-
mur (-)
Paru : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Perut : Soepel, nyeri tekan (-), undulasi (-), shifting dullness (-),
bising usus (+) N, hepar dan lien tidak teraba
Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)/(-), sianosis (-)/(-)

3. Status Psikitus
Cara berpikir : Baik
Perasaan hati : Biasa
Tingkah laku : Normoaktif
Ingatan : Baik
Kecerdasan : Baik

4. Status neurologikus
 Kepala
Bentuk : Normochepal
Nyeri tekan : (-)
Simetri : (+)
Pulsasi : (+)
 Leher
Sikap : Lurus
Pergerakan : Baik, TAK
Kaku kuduk : (-)

7
Nervus kranialis Kanan Kiri
N. Olfaktorius : Normosmia Normosmia

N. Optikus Kanan Kiri


Visus : 1/60 1/60
Melihat Warna: Normal Normal
Fundus Okulii: Tidak Dilakukan Tidak Dilakukan

N. Okulomotorius Kanan Kiri


Ptosis : (-) (-)
Pergerakan bola mata : TAK TAK
Pupil : Bulat, isokor Bulat, isokor
Diameter : ± 3 mm ± 3 mm
Refleks pupil : (+) (+)
Strabismus : (-) (-)
Nistagmus : (-) (-)

N. Troklearis Kanan Kiri


Pergerakan bola mata: TAK TAK
Diplopia : (-) (-)

N. Trigeminus Kanan Kiri


Motorik:
Mengunyah : Baik, TAK Baik, TAK
Menggigit : Baik, TAK Baik, TAK
Membuka mulut : Baik, TAK Baik, TAK
Sensorik:
Sensibilitas wajah : Baik, TAK Baik, TAK
Refleks kornea : Normal Normal
N. Abdusen
Pergerakan bola mata : Normal Normal
Diplopia : (-) (-)

N. Fascialis Kanan Kiri


Mengkerutkan Dahi : Normal Normal
Menutup mata : Normal Normal
Memperlihatkan gigi : Normal Normal
Bersiul : Normal Normal

8
Perasaan Lidah (depan) : Normal Normal

N. Vestibulocochlearis Kanan Kiri


Detik arloji : Normal Normal
Suara berbisik : Normal Normal
Tes Rinne : Normal Normal
Tes Weber : Normal Normal
Tes swabach : Normal Normal

N. Glosofaringeus
Perasaan Lidah (blkg) : Normal
Sensibilitas faring : Normal

N. Vagus
Arcus faring : Normal
Refleks menelan : Tidak ada kelainan
Berbicara : Pelo (-)

N. Accesorius
Memalingkan kepala : Normal
Mengangkat bahu : Normal

N. Hipoglosus
Menjulurkan lidah : normal, simetris
Atropi papil : Tidak ada
Disatria : (-)

 Badan dan Anggota Gerak


Badan
Motorik Kanan Kiri
Respirasi Simetris Simetris
Duduk Simetris Simetris
Bentuk kolumna Normal Normal
vertebralis
Pergerakan kolumna Normal Normal
vertebralis

Sensibilitas
Raba Normal Normal
Nyeri Normal Normal

9
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Reflek
Reflek kulit perut atas Normal Normal
Reflek kulit perut tengah Normal Normal
Reflek kulit perut bawah Normal Normal
Reflek kremaster tidak dilakukan tidak dilakukan

Anggota gerak atas


Motorik Kanan Kiri
Pergerakan Tidak ada hambatan Menurun
Kekuatan +5 +4
Tonus Eutoni Eutoni
Trofi Eutrofi Eutrofi

Sensibilitas
Raba Normal Normal
Nyeri Normal Normal
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks
Biseps + ++
Triseps + ++
Radius + ++
Ulna + ++
Hoffman-Tromner - -

Anggota gerak bawah


Motorik Kanan Kiri
Pergerakan Hipoaktif Hipoaktif
Kekuatan +4 +4
Tonus Atoni Atoni
Klonus (+) (+)
Trofi Atrofi Atrofi

10
Sensibilitas
Raba Normal Normal
Nyeri Normal Normal
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks
Patella + ++
Achilles + ++
Babinsky - -
Oppenheim - -
Chaddock - -
Schaefer - -
Rosolimo - -
Klonus paha ++ ++
Klonus kaki ++ ++
Test Laseque - -
Test Kernig - -

Koordinasi, Gait, Keseimbangan


Cara berjalan : Tidak bisa berjalan
Test Romberg : Tidak dilakukan
Disdiadokinesis : Tidak dilakukan
Ataksia : Tidak dilakukan
Rebound phenomen : Tidak dilakukan
Dismteria : Tidak dilakukan

Gerakan Abnormal
Tremor : (-)
Miokloni : (-)
Khorea : (-)
Rigiditas : (-)

Alat Vegetatif
Miksi : terpasang Kateter, sulit BAK
Defekasi : Sulit

Test Tambahan
Test Nafziger : tidak dilakukan
Test Valsava : tidak dilakukan

11
Pemeriksaan lain :
Darah rutin : 14 oktober 2018
- WBC : 11,38 103/mm3 (3.5-10.0)
- RBC : 4,88 106/mm3 (3.80-5.80)
- HGB : 11,9 g/dl (11.0-16.5)
- HCT : 35,4 % (35.0-50.0)
- PLT : 328 103/mm3 (150-390)
- GDS : 116 mg/dl

CT-Scan (14 Oktober 2018)

Tampak lesi hipodens pada regio occipital


kanan

Kesan : Infark Occipital kanan

Rontgen Thoracolumbal (16 Oktober 2018)

Tampak destruksi pada corpus


Vertebrae Thoracal 12

Kesan : fraktur kompresi corpus


Vertebrae Thoracal 12

12
IV. RINGKASAN
S: Seorang laki-laki, berusia 61 tahun, dibawa oleh keluarganya ke IGD
RSUD Raden Mattaher Jambi dengan keluhan kelemahan pada anggota
gerak sebelah kiri ± 3 jam SMRS. Keluhan dirasakan tiba-tiba saat pasien
sedang tidur, bicara pelo (-), sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), demam
(-), kejang (-), saat kejadian dan setelah kejadian pasien sadar.

O: Compos mentis, GCS: 15 E:4 M:6 V: 5


Tekanan darah : 160/90 mmHg
Nadi : 78 x/i
Suhu : 36,6 oC
Respirasi : 17 x/i
Motorik
5 4
4 4

A: Diagnosa Klinis :
1. Hemiparesis sinistra
2. Paraparese Inferior LMN
Diagnosa Topis : Hemisferium cerebri dextra
Medulla Spinalis Thoracal 12
Diagnosa Etiologi : Stroke non hemoragik
Fraktur Kompresi Vertebrae Thoracal 12

Tx : Non-medikamentosa:
Bed rest
Fisioterapi

Medikamentosa:
IVFD NaCl  20 gtt/i
Inj. Citicholine 2 x 1000mg
Inj. Omeprazole 2 x 40 mg
PO. Vitamin B. Complex 2x1 tab
PO. Aspilet 1x1 tab
PO. Laxadine syr 3x2 C

Mx : Pantau tanda-tanda vital dan GCS


Ex : Beri penjelasan kepada keluarga mengenai keadaan pasien, mengatur
pola makan yang sehat, penanganan stress dan istirahat yang cukup.

13
V. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad malam
- Quo ad sanasionam : dubia ad malam

VI. RIWAYAT PERKEMBANGAN


Rawat hari ke-5 (18 Oktober 2018)
S : Pasien mengeluh badan lemas. Lengan kiri dan kedua tungkai
sudah bisa digerakkan.
O : TD : 160/90 mmHg T : 36oC N : 94x/i RR : 18x/i
Motorik
5 4
4 4

A : 1. Hemiparesis sinistra ec Stroke non hemoragik


2. Paraparese Inferior LMN ec Fraktur Kompresi Vertebrae
Thoracal 12
3. Hipertensi grade I I
P : Non-medikamentosa:
Bed rest
Fisioterapi
Medikamentosa:
IVFD NaCl  20 gtt/i
Inj. Citicholine 2 x 1000mg
Inj. Omeprazole 2 x 40 mg
PO. Vitamin B. Complex 2x1 tab
PO. Aspilet 1x1 tab
PO. Laxadine syr 3x2 C
Rawat hari ke-6 (19 Oktober 2018)
S : Pasien mengeluh badan lemas. Lengan kiri dan kedua tungkai
sudah bisa digerakkan,
O : TD : 160/110 mmHg T : 36,8oC N :84 x/i RR : 19 x/i
Motorik
5 4
4 4

A : 1. Hemiparesis sinistra ec susp. Stroke non hemoragik

14
2. Paraparese Inferior LMN ec Fraktur Kompresi Vertebrae
Thoracal 12
3. Hipertensi grade I I
P : Non-medikamentosa:
Bed rest
Fisioterapi
Medikamentosa:
IVFD NaCl  20 gtt/i
Inj. Citicholine 2 x 1000mg
Inj. Omeprazole 2 x 40 mg
PO. Vitamin B. Complex 2x1 tab
PO. Aspilet 1x1 tab
PO. Laxadine syr 3x2 C

Rawat hari ke-7 (20 Oktober 2018)


S : lemas berkurang, Lengan kiri dan kedua tungkai sudah bisa
digerakkan
O : TD : 160/100 mmHg T : 36,2oC N : 87 x/i RR : 21 x/i
Motorik
5 4
4 4

A : 1. Hemiparesis sinistra ec susp. Stroke non hemoragik


2. Paraparese Inferior LMN ec Fraktur Kompresi Vertebrae
Thoracal 12
3. Hipertensi grade I I
P : Non-medikamentosa:
Bed rest
Fisioterapi
Medikamentosa:
IVFD NaCl  20 gtt/i
Inj. Citicholine 2 x 1000mg
Inj. Omeprazole 2 x 40 mg
PO. Vitamin B. Complex 2x1 tab
PO. Aspilet 1x1 tab
PO. Laxadine syr 3x2 C
PO. Amlodipin 1x10 mg

Pasien diperbolehkan pulang

15
16
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Stroke
3.1.1 Definisi
Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif
cepat, berupa defisit neurologis fokal dan/atau global, yang berlangsung 24 jam
atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan
gangguan peredaran darah otak non traumatik.

3.1.2 Insiden
Stroke mengenai semua usia, termasuk anak-anak. Namun, sebagian besar
kasus dijumpai pada orang-orang yang berusia di atas 40 tahun. Makin tua umur,
resiko terjangkit stroke makin besar. Penyakit ini juga tidak mengenal jenis
kelamin. Tetapi, stroke lebih banyak menjangkiti laki-laki daripada perempuan.
Lalu dari segi warna kulit, orang berkulit berwarna berpeluang terkena stroke
lebih besar daripada orang berkulit putih.2

3.1.3 Epidemiologi
Stroke adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor
dua di dunia. Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan
semakin penting, dengan dua pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara
yang sedang berkembang.3
Menurut taksiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta
jiwa di dunia sudah terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta
telah meninggal dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi
menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke di dunia.2
Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit
utama yang menyebabkan kematian. Posisi di atasnya dipegang penyakit jantung
dan kanker. Di negeri Paman Sam ini, setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus
stroke. Sebanyak 500.000 diantaranya kasus serangan pertama, sedangkan
200.000 kasus lainnya berupa stroke berulang. Sebanyak 75 persen penderita
stroke menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaan.2
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan
kanker. Sebanyak 28,5 persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya
menderita kelumpuhan sebagian maupun total. Hanya 15 persen saja yang dapat
sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan.2

17
3.1.4 Faktor Resiko4,6

3.1.5 Klasifikasi
Stroke iskemik dapat dijumpai dalam 4 bentuk klinis:1
1. Serangan Iskemia Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
 Pada bentuk ini gejalah neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran
darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.
2. Defisit Neurologik Iskemia Sepintas/Reversible Ischemic Neurological
Deficit (RIND)
 Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24
jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
3. Stroke progresif (Progressive Stroke/Stroke in evolution)
 Gejala neurologik makin lama makin berat.
4. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
 Gejala klinis sudah menetap.

3.1.6 Etiologi
Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering
disebabkan oleh emboli ektrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke
non hemoragik juga dapat diakibatkan oleh penurunan aliran serebral. Pada

18
tingkatan seluler, setiap proses yang mengganggu aliran darah menuju otak
menyebabkan timbulnya kaskade iskemik yang berujung pada terjadinya kematian
neuron dan infark serebri.4
1. Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan tetapi
dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.5
a. Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis, dapat berasal
dari “plaque athersclerotique” yang berulserasi atau dari trombus yang
melekat pada intima arteri akibat trauma tumpul pada daerah leher.
b. Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
 Penyakit jantung dengan “shunt” yang menghubungkan bagian kanan
dengan bagian kiri atrium atau ventrikel.
 Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan
gangguan pada katup mitralis.
 Fibralisi atrium
 Infark kordis akut
 Embolus yang berasal dari vena pulmonalis.
 Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial, jantung
miksomatosus sistemik.
c. Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:
 Emboli septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis.
 Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru.
 Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit “caisson”).

Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-sided


circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik adalah
trombus valvular (seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan),
trombus mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal
jantung kongestif). Sebanyak 2-3 % stroke emboli diakibatkan oleh infark
miokard dan 85 % di antaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya
infark miokard.4

2. Trombosis

Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar
(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus
Willisi dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling sering

19
adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri
karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi
aliran darah (sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus aterosklerosis
(ulserasi plak), dan perlengketan platelet.4
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel,
defisiensi protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan
vasokonstriksi yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses yang
menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke
trombotik (contohnya trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis).4
3.1.7 Patofisiologi
Infark iskemik serebri, sangat erat hubungannya aterosklerosis
(terbentuknya ateroma) dan arteriolosklerosis.1,6
Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan
cara:1
a. Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran
darah.
b. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau peredaran
darah aterom.
c. Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli.
d. Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang
kemudian dapat robek.

Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak:1


a. Keadaan pembuluh darah, bila menyempit akibat stenosis atau ateroma atau
tersumbat oleh trombus/embolus.
b. Keadaan darah: viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang meningkat
(polisetemial) yang menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat: anemia
yang berat menyebabkan oksigenasi otak menurun.
c. Tekanan darah sistematik memegang peranan tekanan perfusi otak. Perlu
diingat apa yang disebut otoregulasi otak yakni kemampuan intrinsik dari
pembuluh darah otak agar aliran darah otak tetap konstan walaupun ada
perubahan dari tekanan perfusi otak.Batas normal otoregulasi antara 50-150
mmHg. Pada penderita hipertensi otoregulasi otak bergeser ke kanan.
d. Kelainan jantung
 Menyebabkan menurunnya curah jantung a.l. fibrilasi, blok jantung.
 Lepasnya embolus menimbulkan iskemia di otak.

20
3.1.8 Diagnosis
1. Gambaran Klinis
A. Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit
neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran.
Tidak terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan stroke hemoragik dan
non hemoragik meskipun gejalah seperti mual muntah, sakit kepala dan perubahan
tingkat kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik.
Beberapa gejala umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese,
monoparese, atau qudriparese, hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler,
diplopia, disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba.
Meskipun gejala-gejala tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul
secara bersamaan. Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala tersebut juga penting
untuk menentukan perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik.
B. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke,
dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus
mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi,
dan iritasi meningen. Pemeriksaan terhadap faktor kardiovaskuler penyebab stroke
membutuhkan pemeriksaan fundus okuler (retinopati, emboli, perdarahan),
jantung (ritmik ireguler, bising), dan vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial,
dan femoralis). Pasien dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk
menjaga jalan napasnya sendiri.4

C. Pemeriksaan Neurologi7
Manifestasi klinis bergantung pada neuroanatomi dan vaskularisasinya.
Gejala klinis dan defisit neurologis yang ditemukan berguna untuk menilai lokasi
iskemi
a. Gangguan peredaran darah arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis
hemihipestesis kontralateral yang terutama melibatkan tungkai
b. Ganguan peredaran darah arteri serebri media menyebabkan hemiparesis dan
hemihipestesi kontralateral yang terutama mengenai lengan disertai gangguan
luhur berupa afasia (bila mengenai area otak dominan) atau hemispatial
neglect (bila mengenai area otak non dominan)
c. Gangguan peredaran darah arteri serebri posterior menimbulkan hemianopsis
homonim atau kuadrantanopsi kontralateral tanpa disertai gangguan motorik

21
maupun sensorik. Gangguan daya ingat terjadi bila terjadi infark pada lobus
temporalis medial. Aleksia tanpa agrafia timbul bila infark terjadi pada korteks
visual dominan dan splenium korpus kalosum. Agnosia dan prosopagnosia
(ketidakmampuan mengenali wajah). Timbul akibat infark pada kortek
temporooksipital inferior.
d. Gangguan peredaran darah batang otak menyebabkan gangguan sraf kranial
seperti disarti,diplopi, vertigo, gangguan serebral, seperti ataksia atau hilang
keseimbangan atau penurunan kesadaran.
e. Infark lakunar merupakan infark kecil dengan klinis gangguan murni motorik
atau sensorik tanpa disertai gangguan fungsi luhur.

D. Gajah mada skor7

penurunan
nyeri kepala babinski jenis stroke
kesadaran
+ + + perdarahan
+ - - Perdarahan
- + + Perdarahan
- + - Perdarahan
- - + Iskemik

E. Skor SIRIRAJ
S : Kesadaran 0 = Kompos Mentis
1 = Somnolen
2 = Stupor/Koma
M : Muntah 0 = Tidak Ada
1 = Ada
D : Tekanan Diastolik
N : Nyeri Kepala 0 = Tidak Ada
1 = Ada
A : Ateroma 0 = Tidak Ada
1 = salah satu atau lebih (DM, Angina, PenyakitPembuluh
Darah )

22
Rumus : ( 2.5 x S ) + ( 2 x M ) + ( 2 x N ) + ( 0.1 – D ) – ( 3 x A ) – 12
Keterangan : Skor SSS > 1 : Perdarahan Supratentorial
Skor SSS < -1 : Infark Serebri
Skor SSS -1 s/d 1 : Meragukan ( Perlu CT scan )

F. Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan
mungkin pula menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia, trombositosis,
trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan
kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti anemia.9
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang
memiliki gejala seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula
menunjukkan penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan ginjal).9
Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati
pada pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi
trombolitik dan antikoagulan.9
Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara stroke
dengan penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan adanya
hubungan anatara peningkatan enzim jantung dengan hasih yang buruk dari
stroke.9

G. Gambaran Radiologi
 CT scan kepala non kontras
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dan
stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik
memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini
juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi
kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan stroke
(hematoma, neoplasma, abses).4
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami.
Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang
menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah
hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang mengenai
waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah

23
adanya insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan
hilangnya perberdaan gray-white matter.4,8

 CT perfussion
Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk
mengidentifikasi daerah awal terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan
pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region otak dapat diukur. Adanya
hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah tersebut.4,9

 CT angiografi (CTA)
Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT angiografi
(CTA). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek pengisian arteri serebral
yang menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh darah penyebab stroke. Selain itu,
CTA juga dapat memperkirakan jumlah perfusi karena daerah yang mengalami
hipoperfusi memberikan gambaran hipodense.(4)

 MR angiografi (MRA)
MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi lebih
awal pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan pemeriksaan MRI
lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit serta waktu pemeriksaan yang agak
panjang.4,10
Protokol MRI memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut. MR T1
dan T2 standar dapat dikombinasikan dengan protokol lain seperti diffusion-
weighted imaging (DWI) dan perfussion-weighted imaging (PWI) untuk
meningkatkan sensitivitas agar dapat mendeteksi stroke non hemoragik akut. DWI
dapat mendeteksi iskemik lebih cepat daripada CT scan dan MRI. Selain itu, DWI
juga dapat mendeteksi iskemik pada daerah kecil. PWI dapat mengukur langsung
perfusi daerah di otak dengan cara yang serupa dengan CT perfusion. Kontras
dimasukkan dan beberapa gambar dinilai dari waktu ke waktu serta
dibandingkan.4

 USG, ECG, EKG, Chest X-Ray


Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG.Jika dicurigai stenosis
atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks karotis.USG

24
transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal lebih
lanjut termasuk di antaranya MCA, arteri karotis intrakranial, dan arteri
vertebrobasiler.Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi) dilakukan pada semua pasien
dengan stroke non hemoragik yang dicurigai mengalami emboli
kardiogenik.Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta
thorasik.Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi
pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi kelainan
jantung adalah EKG dan foto thoraks.(4)

25
3.1.9 Penatalaksanaan

Target managemen stroke non hemoragik akut adalah untuk menstabilkan


pasien dan menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan termasuk diantaranya
pencitraan dan pemeriksaan laboratorium dalam jangka waktu 60 menit setelah
pasien tiba. Keputusan penting pada manajemen akut ini mencakup perlu tidaknya
intubasi, pengontrolan tekanan darah, dan menentukan resiko atau keuntungan
dari pemberian terapi trombolitik.6,12

i. Penatalaksanaan Umum
a. Airway and breathing
Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau
paten memerlukan intubasi.Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial (TIK) maka pemberian induksi dilakukan untuk mencegah efek
samping dari intubasi. Pada kasus dimana kemungkinan terjadinya herniasi
otak besar maka target pCO2 arteri adalah 32-36 mmHg. Dapat pula diberikan
manitol intravena untuk mengurangi edema serebri.Pasien harus mendapatkan
bantuan oksigen jika pulse oxymetri atau pemeriksaan analisa gas darah
menunjukkan terjadinya hipoksia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
hipoksia pada stroke non hemoragik adalah adanya obstruksi jalan napas
parsial, hipoventilasi, atelektasis ataupun GERD.11,12
b. Circulation
Pasien dengan stroke non hemoragik akut membutuhkan terapi intravena dan
pengawasan jantung.Pasien dengan stroke akut berisiko tinggi mengalami
aritmia jantung dan peningkatan biomarker jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi
juga dapat menyebabkan terjadinya stroke.11,12
c. Pengontrolan gula darah
Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan
prognosis yang kurang baik dan menghambat reperfusi pada
trombolisis.Pasien dengan normoglokemik tidak boleh diberikan cairan
intravena yang mengandung glukosa dalam jumlah besar karena dapat
menyebabkan hiperglikemia dan memicu iskemik serebral
eksaserbasi.Pengontrolan gula darah harus dilakukan secara ketat dengan
pemberian insulin.Target gula darah yang harus dicapai adalah 90-140 mg/dl.
Pengawasan terhadap gula darah ini harus dilanjutkan hingga pasien pulang
untuk mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat pemberian insulin.11,12

26
d. Posisi kepala pasien
Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih maksimal
jika pasien dalam pasien supinasi.Sayangnya, berbaring telentang dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial padahal hal tersebut tidak
dianjurkan pada kasus stroke. Oleh karena itu, pasien stroke diposisikan
telentang dengan kepala ditinggikan sekitar 30-45 derajat.(11,12)

e. Pengontrolan tekanan darah


Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau peningkatan
TIK, pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan vasoregulator sehingga
hanya bergantung pada maen arterial pressure (MAP) dan cardiac output (CO)
untuk mempertahankan aliran darah otak. Oleh karena itu, usaha agresif untuk
menurunkan tekanan darah dapat berakibat turunnya tekanan perfusi yang
nantinya akan semakin memperberat iskemik. Di sisi lain didapatkan bahwa
pemberian terapi anti hipertensi diperlukan jika pasien memiliki tekanan darah
yang ekstrim (sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120 mmHg)
atau pasien direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik.11,12
Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik antara 120-
140 mmHg maka pasien dapat diberikan labetolol (10-20 mmHg IV selama 1-
2 menit jika tidak ada kontraindikasi. Dosis dapat ditingkatkan atau diulang
setiap 10 menit hingga mencapai dosis maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif
dapat diberikan nicardipine (5 mg/jam IV infus awal) yang dititrasi hingga
mencapai efek yang diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5
menit hingga mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir dapat
diberikan nitroprusside 0,5 mcg/kgBB/menit/IV via syringe pump. Target
pencapaian terapi ini adalah nilai tekanan darah berkurang 10-15 persen.11,12

Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD sistolik lebih 185
mmHg, dan diastolik lebih dari 110 mmHg maka dibutuhkan antihipertensi.
Pengawasan dan pengontrolan tekanan darah selama dan setelah pemberian
trombolitik agar tidak terjadi komplikasi perdarahan. Preparat antihipertensi
yang dapat diberikan adalah labetolol (10-20 mmHg/IV selama 1-2 menit
dapat diulang satu kali). Alternatif obat yang dapat digunakan adalah
nicardipine infuse 5 mg/jam yang dititrasi hingga dosis maksimal 15
mg/jam.11,12
Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah harus
diperiksa setiap 15 menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit selama 6 jam
berikutnya, dan setiap jam selama 16 jam terakhir. Target terapi adalah

27
tekanan darah berkurang 10-15 persen dari nilai awal. Untuk mengontrol
tekanan darah selama opname maka agen berikut dapat diberikan.11,12
TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka dapat
diberikan labetolol 10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat diulang selama 10-
20 menit hingga maksimal 300 mg atau jika diberikan lewat infuse hingga 2-8
mg/menit.
TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg dapat
diberikan labetolol dengan dosis diatas atau nicardipine infuse 5 mg/jam
hingga dosis maksimal 15mg/jam.
Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari karena dapat
menyebabkan hipotensi ekstrim.
f. Pengontrolan demam
Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam karena
hipertermia (utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat menyebabkan
trauma neuronal iskemik. Sebuah penelitian eksprimen menunjukkan bahwa
hipotermia otak ringan dapat berfungsi sebagai neuroprotektor.11,12
g. Pengontrolan edema serebri
Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non hemoragik dan
mencapai puncak keparahan 72-96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi
dan pemberian manitol rutin digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial
dengan cepat.11,12,13,14
h. Pengontrolan kejang

Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah onset.
Meskipun profilaksis kejang tidak diindikasikan, pencegahan terhadap sekuel
kejang dengan menggunakan preparat antiepileptik tetap
11,12
direkomendasikan.
i. Penatalaksanaan Khusus
Terapi Trombolitik
Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara
intravena akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim
proteolitik yang mampu menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan protein
pembekuan lainnya.12
Pada penelitian NINDS (National Institute of Neurological Disorders and
Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3
jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10%

28
dari dosis tersebut diberikan secara bolus IV sedang sisanya diberikan dalam
tempo 1 jam. Tiga bulan setelah pemberian rt-PA didapati pasien tidak
mengalami cacat atau hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah
perdarahan intraserebral, yang diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di
Amerika Serikat telah mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.12
Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute Stroke
Study (ECASS) pada 620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg (maksimal 100
mg) diberikan secara IV dalam waktu tidak lebih dari 6 jam setelah onset.
Memperlihatkan adanya perbaikan fungsi neurologik tapi secara keseluruhan
hasil dari penelitian ini dinyatakan kurang menguntungkan. Tetapi pada
penelitian kedua (ECASS II) pada 800 pasien menggunakan dosis 0,9 mg/kg
diberikan dalam waktu tidak lebih dari 6 jam sesudah onset. Hasilnya lebih
sedikit pasien yang meninggal atau cacat dengan pemberian rt-PA dan
perdarahan intraserebral dijumpai sebesar 8,8%. Tetapi rt-PA belum mendapat
ijin untuk digunakan di Eropa.12
Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw dkk
mengatakan bahwa terapi trombolisis perlu penelitian random dalam skala
besar sebab resikonya sangat besar sedang manfaatnya kurang jelas. Lagi pula
jendela waktu untuk terapi tersebut masih kurang jelas dan secara objektif
belum terbukti rt-PA lebih aman dari streptokinase. Sedang penelitian
dari The Multicenter Acute Stroke Trial-Europe Study Group(MAST-E)
dengan menggunakan streptokinase 1,5 juta unit dalam waktu satu jam.
Jendela waktu 6 jam setelah onset, ternyata meningkatkan mortalitas.
Sehingga penggunaan streptokinase untuk stroke iskemik akut tidak
dianjurkan.12

Antikoagulan
Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang
mengancam. Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak artinya
bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark lakuner atau
infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang memerlukan penggunaan
heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri karotisdan infark
serebral akibat kardioemboli. Pada keadaan yang terakhir ini perlu diwaspadai
terjadinya perdarahan intraserebral karena pemberian heparin tersebut.12
a. Warfarin
Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein plasma.
Waktu paro plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi: lewat urin.

29
Dosis: 40 mg (loading dose), diikuti setelah 48 jam dengan 3-10 mg/hari,
tergantung PT. Reaksi yang merugikan: hemoragi, terutama ren dan
gastrointestinal.12
b. Heparin
Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir. Normal terdapat
pada mast cells. Cepat bereaksi dengan protein plasma yang terlibat dalam
proses pembekuan darah. Heparin mempunyai efek vasodilatasi ringan.
Heparin melepas lipoprotein lipase. Dimetabolisir di hati, ekskresi lewat
urin. Wakto paro plasma: 50-150 menit. Diberikan tiap 4-6 jam atau infus
kontinu. Dosis biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus initial 50 mg
diikuti infus 250 mg dalam 1 liter garam fisiologis atau glukose. Dosis
disesuaikan dengan Whole Blood Clotting Time. Nilai normal: 5-7 menit,
dan level terapetik heparin: memanjang sampai 15 menit. Reaksi yang
merugikan: hemoragi, alopesia, osteoporosis dan diare. Kontraindikasi:
sesuai dengan antikoagulan oral. Apabila pemberian obat dihentikan
segala sesuatunya dapat kembali normal. Akan tetapi kemungkinan perlu
diberi protamine sulphute dengan intravenous lambat untuk menetralisir.
Dalam setengah jam pertama, 1 mg protamin diperlukan untuk tiap 1 mg
heparin (100 unit).12
Hemoreologi
Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu peningkatan
hematokrit, berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas trombosit,
peningkatan kadar fibrinogen dan aggregasi abnormal eritrosit, keadaan ini
menimbulkan gangguan pada aliran darah. Pentoxyfilline merupakan obat
yang mempengaruhi hemoreologi yaitu memperbaiki mikrosirkulasi dan
oksigenasi jaringan dengan cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit,
menghambat aggregasi trombosit dan menurunkan kadar fibrinogen plasma.
Dengan demikian eritrosit akan mengurangi viskositas
darah. Pentoxyfilline diberikan dalam dosis 16/kg/hari, maksimum 1200
mg/hari dalam jendela waktu 12 jam sesudah onset.(12)
Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)
a. Aspirin
Obat ini menghambat siklooksigenase, dengan cara menurunkan sintesis
atau mengurangi lepasnya senyawa yang mendorong adhesi seperti
thromboxane A2. Aspirin merupakan obat pilihan untuk pencegahan
stroke. Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari, 80
mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Obat ini sering dikombinasikan dengan

30
dipiridamol. Suatu penelitian di Eropa (ESPE) memakai dosis aspirin 975
mg/hari dikombinasi dengan dipiridamol 225 mg/hari dengan hasil yang
efikasius.12
Dosis lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin harus
diminum terus, kecuali bila terjadi reaksi yang merugikan. Konsentrasi
puncak tercapai 2 jam sesudah diminum. Cepat diabsorpsi, konsentrasi di
otak rendah. Hidrolise ke asam salisilat terjadi cepat, tetapi tetap aktif.
Ikatan protein plasma: 50-80 persen. Waktu paro (half time) plasma: 4
jam. Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic acid dan glycine).
Ekskresi lewat urine, tergantung pH. Sekitar 85 persen dari obat yang
diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis. Reaksi yang
merugikan: nyeri epigastrik, muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan
diduga: sindrom Reye.11
Alasan mereka yang tidak menggunakan dosis rendah aspirin antara lain
adalah kemungkinan terjadi “resistensi aspirin” pada dosis rendah. Hal ini
memungkinkan platelet untuk menghasilkan 12-hydroxy-eicosatetraenoic
acid, hasil samping kreasi asam arakhidonat intraplatelet (lipid –
oksigenase). Sintesis senyawa ini tidak dipengaruhi oleh dosis rendah
aspirin, walaupun penghambatan pada tromboksan A2 terjadi dengan dosis
rendah aspirin.11
Aspirin mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-600 mg
(belakangan ada yang memakai 150 mg) mampu secara permanen merusak
pembentukan agregasi platelet. Sayang ada yang mendapatkan bukti
bahwa aspirin tidak efektif untuk wanita.11

ii. Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)


Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin, dapat
menggunakan tiklopidin atau clopidogrel. Obat ini bereaksi dengan
mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan melepaskan granul platelet,
mengganggu fungsi membran platelet dengan penghambatan ikatan
fibrinogen-platelet yang diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-
platelet. Menurut suatu studi, angka fatalitas dan nonfatalitas stroke dalam
3 tahun dan dalam 10 persen untuk grup tiklopidin dan 13 persen untuk
grup aspirin. Resiko relatif berkurang 21 persen dengan penggunaan
tiklopidin.
Efek samping tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan netropenia (2,4
persen). Bila obat dihentikan akan reversibel. Pantau jumlah sel darah

31
putih tiap 15 hari selama 3 bulan. Komplikas yang lebih serius, teyapi
jarang, adalah pur-pura trombositopenia trombotik dan anemia aplastik.11
iii. Cilostazol
Sebuah inhibitor phosphodiesterase tipe 3, bekerja dengan cara
memperlebar arteri yang menyuplai darah ke kaki. Obat ini juga
mengurangi kemampuan platelet untuk melekat.
iv. Dipiridamol
Dipiridamol adalah suatu inhibitor phospodiesterase dan meningkatkan
kadar adenosin monofosfat siklik (cAMP) dalam platelet. Biasanya
digunakan dalam kombinasi dengan aspirin atau warfarin.
Terapi Neuroprotektif
Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang
iskemik dan sel-sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi sel
yang terganggu akibat oklusi dan reperfusi. Berdasarkan pada kaskade
iskemik dan jendela waktu yang potensial untuk reversibilitas daerah
penumbra maka berbagai terapi neuroprotektif telah dievaluasi pada binatang
percobaan maupun pada manusia.12

Pembedahan
Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika kondisi
pasien semakin buruk akibat penekanan batang otak yang diikuti infark
serebral maka pemindahan dari jaringan yang mengalami infark harus
dilakukan.12
1. Karotis Endarterektomi
Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis interna
yang mengalami stenosis. Pada pasien yang mengalami stroke di daerah
sirkulasi anterior atau yang mengalami stenosis arteri karotis interna yang
sedang hingga berat maka kombinasiendarterektomi dan aspirin lebih baik
daripada penggunaan aspirin saja untuk mencegah stroke. Endarterektomi
tidak dapat digunakan untuk stroke di daerah vertebrobasiler atau oklusi
karotis lengkap. Angka mortalitas akibat prosedur karotis endarterektomi
berkisar 1-5%.Endarterektomi adalah prosedur pembedahan yang
menghilangkan plak dari lapisan arteri.
2. Angioplasti dan Sten Intraluminal

32
Pemasangan angioplasti transluminal pada arteri karotis dan vertebral serta
pemasangan sten metal tubuler untuk menjaga patensi lumen pada stenosis
arteri serebri masih dalam penelitian. Suatu penelitian menyebutkan bahwa
angioplasti lebih aman dilaksanakan dibandingkan endarterektomi namun
juga memiliki resiko untuk terjadi restenosis lebih besar.11

3.1.10 Komplikasi
Komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke iskemik meliputi edema
serebral, transformasi hemoragik, dan kejang.10
1. Edema serebral yang signifikan setelah stroke iskemik bisa terjadi meskipun
agak jarang (10-20%)
2. Indikator awal iskemik yang tampak pada CT scan tanpa kontras adalah
indikator independen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan. Manitol
dan terapi lain untuk mengurangi tekanan intrakranial dapat dimanfaatkan
dalam situasi darurat, meskipun kegunaannya dalam pembengkakan sekunder
stroke iskemik lebih lanjut belum diketahui. Beberapa pasien mengalami
transformasi hemoragik pada infark mereka. Hal ini diperkirakan terjadi pada
5% dari stroke iskemik yang tidak rumit, tanpa adanya trombolitik.
Transformasi hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan penurunan neurologis
dan berkisar dari peteki kecil sampai perdarahan hematoma yang memerlukan
evakuasi.
3. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Post-
stroke iskemik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang
mengalami serangan stroke berkembang menjadi chronic seizure disorders.
Kejang sekunder dari stroke iskemik harus dikelola dengan cara yang sama
seperti gangguan kejang lain yang timbul sebagai akibat neurologis injury.

3.1.11 Prognosis

Stroke berikutnya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yang paling penting


adalah sifat dan tingkat keparahan defisit neurologis yang dihasilkan. Usia pasien,
penyebab stroke, gangguan medis yang terjadi bersamaan juga mempengaruhi
prognosis. Secara keseluruhan, agak kurang dari 80% pasien dengan stroke
bertahan selama paling sedikit 1 bulan, dan didapatkan tingkat kelangsungan
hidup dalam 10 tahun sekitar 35%. Angka yang terakhir ini tidak mengejutkan,
mengingat usia lanjut di mana biasanya terjadi stroke. Dari pasien yang selamat

33
dari periode akut, sekitar satu setengah sampai dua pertiga kembali fungsi
independen, sementara sekitar 15% memerlukan perawatan institusional.11

3.2 Cedera Medulla Spinalis


3.2.1 Definisi
Trauma medulla spinalis adalah keadaan terjadinya cedera atau kerusakan
pada medulla spinalis akibat proses traumatik yang kemudian mengakibatkan
adanya gangguan fungsional pada fungsi sensorik, motori dan autonom, dapat
bersifat sementara maupun permanen. Hal ini ditandai dengan adanya
kelumpuhan pada bagian yang diinervasi atau bagian bawah daerah yang
mengalami cedera, seperti kelumpuhan badan dan kaki, gangguan sistem
pernapasan, gangguan eliminasi urin, gangguan eliminasi feses, dll.13,14
Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke
susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk oleh
tulang vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan sensoris,
gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti pernapasan
dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara ataupun
permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini disebut
sebagai trauma medulla spinalis.15

3.2.2 Etiologi
Trauma medulla spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:
 Trauma medulla spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal
seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau
kekerasan, merusak medula spinalis15
 Trauma medulla spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan
seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula
spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan
disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari trauma medulla
spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit
infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi
toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.16

3.2.3 Patofisiologi
Defisit neurologis yang berkaitan dengan trauma medulla spinalis terjadi
akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera

34
berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu,
intervensi terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window
period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam
setelah cedera.
Syok spinal (fase tidak adanya aktivitas medulla spinalis) yang ditandai
dengan adanya penurunan fungsi motorik, sensorik, refleks dan otonom terjadi
pada periode 48 jam hingga 6-8 minggu setelah terjadinya cedera hebat pada
medulla spinalis.16 Individu yang mengalami trauma medulla spinalis akan
mengalami gangguan fungsional sesuai level cedera serta utuh tidaknya keadaan
neurologis pada cedera. Gangguan fungsional biasanya timbul pada bagian yang
diinervasi atau dapat juga mengenai bagian di bawahnya. Spinal cord injury dapat
dibagi-bagi berdasarkan level cedera, defisit neurologis yang timbul dan spinal
cord syndrome.17 Level cedera pada trauma medulla spinalis dapat ditentukan
dengan dua cara. Metode pertama adalah dengan bantuan x-ray untuk menentukan
bagian tulang yang cedera. Metode kedua adalah mengidentifikasikan level
kerusakan neurologis dengan cara tes sensorik dengan menggunakan tusukan
peniti. Permukaan kulit dapat dipetakan menjadi segmen-segmen yang disebut
dermatom, dimana masing-masing dari dermatom tersebut diinervasi oleh saraf
sensorik yang berbeda.8

35
Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke
korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang
persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah
cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan perubahan
metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan.
Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan
berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan
kaskade yang kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat
traktus yang mana kesemuanya hanya dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa
peningkatan produksi radikal bebas dan opioid endogen, pelepasan yang
berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi sangat berperan
penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger Ribonucleic Acid)
menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah trauma medulla spinalis
dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik.

3.2.4 Klasifikasi
Penilaian neurologis pada trauma medulla spinalis meliputi penilaian
berikut seperti:
1. Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)
2. Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)
3. Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)
4. Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)
5. Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti
disfagia)10
Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan
completeness dari trauma medulla spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis
lainnya seperti cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi
saraf spinal yang normal, seperti yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut
sebagai level neurologis dari lesi tersebut. Hal ini tidak harus sesuai dengan level
fraktur, karena itu diagnosa neurologis dan fraktur harus dicatat.18
Cedera inkomplit didefinisikan sebagai cedera yang berkaitan dengan
adanya preservasi dari fungsi motor dan sensorik di bawah level neurologis,
termasuk pada segmen sakral yang paling rendah.18 Penilaian tingkat dan komplit
atau tidaknya suatu trauma medulla spinalis memungkinkan prognosa untuk

36
dibuat. Jika lesi yang terjadi adalah komplit, kemungkinan penyembuhan jauh
lebih kecil dibandingkan dengan lesi inkomplit.
Sindrom medulla spinalis dapat terbagi menjadi Central Cord Syndrome,
Anterior Cord Syndrome (Anterior Spinal Artery Syndrome), Posterior Cord
Syndrome, Brown-Sequard’s Syndrome dan Conus Medullaris Syndrome.19
 Central Cord Syndrome
Merupakan sindrom lesi inkomplit yang paling umum akibat terjadinya
hiperekstensi pada area servikal. Pada awalnya lesi hanya terjadi di
dalam dan sekitar kanal sentralis, selanjutnya kelemahan motorik
ditemukan pada pasien dengan lesi yang sudah meluas ke lateral,
kelemahan motorik ditemukan lebih bermakna pada ekstremitas superior
dibandingkan pada ekstremitas inferior. Dapat terjadi penurunan fungsi
sensorik, namun biasanya minimal. Retensio urin akibat disfungsi
bladder dapat terjadi pada beberapa kasus.
 Anterior Cord Syndrome
Terjadi akibat retropulsi diskus yang mengakibatkan adanya kompresi
sehingga menimbulkan terganggunya perfusi. Sindrom ini umumnya
terjadi setelah cedera fleksi atau kompresi. Tampilan klinis yang tampak
adalah adanya kelemahan motorik dan sensorik pada beberapa level
dibawah level motorik, namun tidak ditemukan adanya gangguan fungsi
proprioseptif dan raba halus yang bermakna.
 Posterior Cord Syndrome
Terjadi akibat adanya cedera pada bagian posterior medulla spinalis,
menyebabkan hilangnya fungsi proprioseptif, getaran dan two point
discrimination. Sindrom ini jarang terjadi. Ditemukan tanda Romberg
positif, tanda Lhermitte positif serta adanya gaya jalan ataksik.
 Brown-Sequard’s Syndrome
Terjadi akibat hemiseksi dari medulla spinalis (dapat terjadi akibat
adanya luka tembus). Tampilan klinis yang dapat ditemui pada keadaan
ini adalah paresis motorik secara ipsilateral dibagian bawah lesi, serta
ditemukan hilangnya sensorik pada bagian kontralateralnya berupa
rangsangan nyeri, suhu, dan raba.
 Conus Medullaris Syndrome
Melibatkan level T11-L1 dan terjadi akibat adanya cedera pada regio
thorakolumbar. Tampilan klinis yang dapat ditemukan antara lain

37
adanya disfungsi miksi, saddle-type anesthesia, kelemahan ekstremitas
inferior yang simetris, gambaran nyeri minimal.
The American Spinal Injury Association (ASIA) mengklasifikasikan trauma
medulla spinalis menjadi ASIA A hingga ASIA D. Dikatakan ASIA A jika cedera
komplit, tidak ditemukan fungsi sensorik dan motorik dibawah level defisit
neurologi. Dikatakan ASIA B jika cedera inkomplit, fungsi sensorik baik, namun
motoriknya menurun di bawah level defisit neurologi. ASIA C memiliki sensorik
baik dan fungsi motorik dibawah defisit neurologi memiliki kekuatan otot
dibawah 3. ASIA D menunjukkan cedera dengan sensorik baik namun kekuatan
otot motoriknya lebih atau sama dengan 3. ASIA E fungsi motorik dan sensorik
normal.
Jika berdasarkan beratnya defisit neurologis, pasien dengan trauma medulla
spinalis dapat dikategorikan menjadi tetraplegia komplit dan inkomplit, serta
paraplegia komplit dan inkomplit. Pasien yang mengalami cedera pada level
servikal akan mengalami gangguan pada ektremitas superior dan ekstremitas
inferiornya, dikenal sebagai tetraplegia. Sedangkan pasien yang mengalami cedera
pada level thorakal kebawah akan mengalami paraplegia, dengan fungsi
ekstremitas superior normal namun terdapat gangguan pada batang tubuh dan
ekstremitas inferior.7
 C 1-3 : Tetraplegia dengan hilangnya fungsi pernapasan atau sistem
muskuloskeletal total
 C 4-5 : Tetraplegia dengan adanya kerusakan dan menurunnya kapasitas
paru, terdapat ketergantungan total dalam aktivitas sehari-hari
 C 6-7 : Tetraplegia dengan gangguan gerakan tangan dan lengan, masih
memungkinkan untuk melakukan aktivitas sehari-hari
 C 7-8 : Tetraplegia dengan gangguan penggunaan jari-jari tangan
 T1-L1 : Paraplegia dengan fungsi ekstremitas superior dan berbagai otot-
otot interkostal dan otot abdomen yang masih baik
 L1-L2 : Kehilangan fungsi defekasi dan berkemih
3.2.5 Diagnosis
Dugaan terhadap adanya spinal cord injury pertama kali didapatkan dari
anamnesis adanya trauma pada daerah spinal. Dugaan terjadinya trauma medulla
spinalis dapat terjadi jika ditemukan gejala seperti :
- Nyeri pada daerah spinal
- Gejala otonom : retensio urin, konstipasi, ileus paralitik, hipothermia,
hipotensi serta bradikardia
- Defisit motorik : hemiplegia, tetraplegia dan paraplegia
- Defisit sensorik: hemianestesia dan hemihipestesia

38
Pemeriksaan yang krusial dalam penegakan diagnosis spinal cord injury
adalah pemeriksaan radiologi. Rontgen foto polos posisi lateral dan
anteroposterior merupakan pemeriksaan utama untuk mendeteksi trauma medulla
spinalis, CT scan dan MRI dapat dilakukan untuk pemeriksaan yang lebih lanjut.
Interpretasi gambaran radiologi rontgen dilakukan dengan penilaian ABCs yaitu
allignment, bones, cartilage dan soft tissue.15

39
BAB IV

ANALISA KASUS

Berdasarkan data yang di dapat pada pasien ini, Tn. F usia 61 tahun
disimpulka bahwa pasien tersebut menderita stroke non hemoragik +Paraparese
Inferior . Sesuai dengan anamnesis didapat gejala klinis kelemahan pada anggota
gerak sebelah kiri. Keluhan dirasakan tiba-tiba saat pasien sedang tidur, bicara
pelo (-), sakit kepala (-), mual (-), muntah (-), demam (-), kejang (-), saat kejadian
dan setelah kejadian pasien sadar.
Sejak ± 6 tahun SMRS, pasien manyatakan anggota gerak bagian bawahnya
mengalami kelemahan, hal ini tejadi sejak pasien mengalami kecelaaan kerja yaitu
terjatuh dari ketinggian ±2,5 meter dengan posisi punggungnya terlebih dahulu
menyentuh lantai. Dan sejak saat itu os sulit berjalan dan harus dibantu dengan
tongkat, selain itu pasien juga mengeluhkan sulit BAB dan BAK setelah kejadian
tersebut.
Hal ini sesuai dengan definisi stroke dimana terjadi defisit neurologi (dalam
hal ini motorik) yang terjadi secara tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan
pembuluh darah otak dan timbul secara mendadak atau cepat , gejala dan tanda-
tanda sesuai dengan daerah fokal otak yang terganggu.
Pada pasien didapatkan faktor risiko yang tidak dapat dikontrol, dimana usia
pasien adalah 61 tahun. Menurut epidemiologi, prevalensi terjadinya stroke
banyak terdapat pada usia 50-70 tahun untuk stroke iskemik thrombosis. Usia
merupakan faktor utama pembentukan ateroma, sehingga merupakan faktor utama
terjadinya stroke. Pada pasien juga didapatkan faktor-faktor risiko stroke yang
dapat dikontrol berupa hipertensi. Hiperternsi merupakan faktor penting pada
patogenesis terjadinya stroke iskemik dan perdarahan. Tekanan darah yang tinggi
menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah dan meningkatkan
permeabilitasdinding pembuluh darah terhadap lipoprotein..
Pada pasien dapat dipikirkan suatu stroke non hemoragik, dimana terjadi
secara mendadak, tidak didapatkan keluhan nyeri kepala, penurunan kesadaran
dan tidak didapatkan adanya muntah. Dan pada pasien dipikirkan adanya
hipertensi yang telah lama diderita oleh pasien.
Pada pasien dipikirkan stroke non hemoragik yang diakibatkan oleh karena
hipertensi yang sudah lama dideritanya. Pada stroke non hemoragik, hipertensi
menyebabkan pembuluh darah otak menyempit sehingga aliran darah ke otak
terganggu dan sel-sel otak akan mengalami kematian. Hemiparese sinistra pada
psien ini merupakan akibat langsung dari infark serebri (kematian sel-sel otak)

40
yang disebabkan oleh konstriksi pembuluh darah otak akibat faktor usia,
aterosklerosis dan hipertensi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien adalah sakit
sedang dengan kesadaran kompos mentis. Tanda-tanda vital pasien ini didapatkan
TD 160/100 mmHg dan tanda vital lain dalam batas normal. Tidak ditemukan
kaku kuduk pada pasien ini sebagai tanda rangsangan meningeal yang biasa dapat
menunjukkan salah satu ciri stroke hemoragik khususnya pada SAH. Untuk
pemeriksaan nervus kranialis didapatkan tidak ada defisit neurologis. Pada
pemeriksaan motorik, pada lengan kiri pergerakan menurun, kekuatan 4, eutrofi,
refleks fisiologis (+) meningkat dan refleks patologis (-). Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat kelemahan anggota gerak kiri dibandingkan kanan(hemiparese
sinistra), dan pada kedua tungkai didapatkan pergerakan menurun, kekuatan 4,
atrofi, refleks fisiologis (+) meningkat, refleks patologis (-), dan ditemukan klonus
paha dan betis pada kedua tungkai. Pada pemeriksaan sensibilitas dalam batas
normal dimana klasifikasi cedera medula spinalis pada pasien ini adalah ASIA D
yaitu dengan sensorik baik namun kekuatan otot motoriknya lebih atau sama
dengan 3 dan dicurigai merupakan bentuk dari Conus Medullaris Syndrome yang
melibatkan level T11-L1 dan terjadi akibat adanya cedera pada regio
thorakolumbar. Tampilan klinis yang dapat ditemukan antara lain adanya
disfungsi miksi, saddle-type anesthesia, kelemahan ekstremitas inferior yang
simetris, gambaran nyeri minimal.

Pada penilaian dengan SSS (Siriraj Stroke Score) didapatkan:


SSS = (2,5xkesadaran) + (2xmuntah) + (2xsakit kepala) + (10%xtekanan
darah diastole) – (3xatheroma) – 12
SSS = (2,5x0) + (2x0) + (2x0) + (0,1x90) - (3x0) – 12
= 9 – 12 = -3

SSS < -1 merupakan stroke non hemoragik (infark serebral)

Algoritma Stroke Gadjah Mada


Penurunan kesadaran : -
Nyeri kepala :-
Refleks Babinsky :-
Kesimpulan : 3 tanda negatif menunjukkanstroke iskemik atau
stroke infark
Pemeriksaan penunjang ct scan perlu dilakukan karena merupakan gold
standar pada penderita stroke. Pada pemeriksaan penunjang, yang dilakukan

41
adalah pemeriksaan CT-Scan didapatkan kesan Infark pada daerah occipital
kanan. Maka dari hasil CT-Scan tersebut dijadikan dasar diagnosis topik, sesuai
dengan teori yaitu pemeriksaan Ct-Scan berguna untuk menentukan jenis
patologi, lokasi  lesi, ukuran  lesi dan menyingkirkan  lesi  vaskuler serta
menentukan jenis terapi. Pada pasien ini terdapat infark cerebri dextra sehingga
menyebabkan gangguan fungsi motorik kontralateral berupa hemiparese sinistra.
Selain itu pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan rontgen vertebrae
thoracolumbal yang didapatkan hasilnya adalah fraktur kompresi pada vertebrae
thoracal 12 seasuai dengan teori yaitu Rontgen foto polos posisi lateral dan
anteroposterior merupakan pemeriksaan utama untuk mendeteksi adanya trauma
medulla spinalis, Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan untuk
mencari faktor risiko adalah :
- Pemeriksaan darah rutin untuk mengetahui adakah hematokrit meningkat dan
fibrinogen tinggi.
- Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui adakah hiperkolesterolemia
dan berguna juga untuk penatalaksanaannya.
- EKG untuk mengetahui kelainan jantung berupa LVH (left ventricel
hypertrofi), atrial fibrilasi.

Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien ini diantaranya adalah:


1. Diberikan O2 kanul 2L/menit untuk membantu perfusi oksigen ke otak,
meminimalkan otak yang telah infark dan menyelamatkan daerah yang
iskemi agar tidak menjadi infark.
2. Infus diberikan larutan NaCl (Isotonis) 20 tts/menit, karena pemberian
cairan infus yang hipotonis akan memperberat edema otak, seperti
penggunaan Dekstrose 5%. Pemberian cairan pada pasien ini yang
perlu diperhatikan adalah keseimbangan kebutuhan cairannya, jadi bisa
saja kita menggunakan asering.
3. Pemberian citicholin sebagai neuroprotektan. Citicholin merupakan
prekursor pembentukan phospatidylcholine yang merupakan
komponen penting dalam pembentukan membran sel. Citicholin
menghambat kerusakan membran dan mengurangi pembentukan
radikal bebas dengan menambah jumlah phospatidylcholine.
Peningkatan jumlah phospatidylcholine ini juga memproteksi neuron
dan menstabilkan dinding sel serta membantu penyembuhan dari
iskemi. Jadi penggunaan citicholine disini sebagai stabilisator
membran sel, yang memiliki sifat neuroprotektif dan neurorestoratif.
4. Omeprazole sebagai Proton Pump Inhibitor (PPI) digunakan untuk
mencegah terjadinya stress ulcer, karena pada pasien ini diberikan
beberapa obat yang dapat merangsang stress ulcer.

42
5. Aspilet termasuk kedalam kategori obat non steroidal anti
inflammatory drug (NSAID). NSAID ini memiliki efek anti inflamasi,
analgesik, serta dapat menghambat agresi trombosit. Mekanisme kerja
obat ini adalah terkait dengan penghambatan aktivitas COX-1, yang
berperan untuk metabolisme enzim utama dari asam arakidonat yang
merupakan prekursor prostaglandin yang memainkan peranan utama
dalam patogenesis peradangan, nyeri. Efek analgesik yang baik karena
memiliki efek sentral (pusat) dan perifer (tepi). Aspilet juga dapat
mengurangi agresi trombosit, adhesi platelet dan pembentukan trombus
melalui penekanan sintesis trombiksan A2 dalam trombosit. Obat ini
efektif untuk pencegahan primer penyakit kardiovaskular dan
pencegahan sekunder infark miokard. Blokade COX-1 dalam mukosa
lambung dapat menyebabkan penghambatan prostaglandin
gastroprotektif, yang dapat menyebabkan ulserasi pada membran
mukosa.
6. Pemberian obat antihipertensi seperti captopril dan amlodipin
7. Diet

Prognosis ad vitam pada pasien ini adalah dubia ad bonam dengan


alasan; penyakit stroke yang dialami oleh pasien ini termasuk stroke
iskemik yang ringan (tidak ada penurunan kesadaran dan hanya sedikit
defisit neurologis). Untuk prognosis ad functionam adalah dubia ad
malam karena bagian otak yang sudah mengalami infark akan
menyebabkan terjadinya penurunan fungsi otak pada bagian tersebut.
Kemungkinan fungsi motorik yang sudah terganggu akan dapat
kembali normal dalam jangka waktu yang lama atau bahkan dapat juga
fungsi motorik pasien tidak dapat kembali normal, karena
pertimbangan faktor risiko seperti hipertensi pada pasien yang dapat
memperluas daerah infark. Untuk prognosa ad sanationam adalah
dubia ad malam, hal ini dipertimbangkan karena kemungkinan besar
penyakit stroke pada pasien dapat kambuh atau dapat terjadi serangan
stroke berulang, karena pasien sudah memiliki beberapa faktor risiko
untuk terjadinya stroke, diantaranya adalah usia pasien dan hipertensi.

43
BAB V

KESIMPULAN

Stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang secara cepat akibat
gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama
24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain
yang jelas selain vaskular.

Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan


perdarahan intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke
iskemik, hipertensi biasanya ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau
koma lebih umum pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik.
Seringkali, hal ini disebabkan peningkatan tekanan intrakranial.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Aliah A, Kuswara F F, Limoa A, Wuysang G. Gambaran umum tentang


gangguan peredaran darah otak dalam Kapita selekta neurology cetakan
keenam editor Harsono. GadjahMada university press, Yogyakarta. 2007. Hal:
81-115.
2. Hadinoto S, Setiawan, Soetedjo. STROKE Pengelolaan Mutakhir. Badan
Penerbit Universitas Dipenogoro. Semarang. 1992.
3. Sutrisno, Alfred. Stroke? You Must Know Before you Get It!. Jakarta: PT.
GramediaPustakaUtama. 2007. Hal: 1-13
4. Feigin, Valery. Stroke Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan
Pemulihan Stroke. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer. 2006.
5. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1st available
from:http://emedicine.medscape.com/article/793904-overview
6. Mardjono, Mahar. Mekanisme gangguan vaskuler susunan saraf dalam
Neurologi klinis dasar edisi Kesebelas. Dian Rakyat. 2006. Hal: 270-93.
7. Giraldo, Elias. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1 st available
from:http://www.merck.com/mmhe/sec06/ch086/ch086c.html
8. DewantoG,dkk. Panduanpraktis diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf.
Jakarta : EGC. 2009
9. D. Adams. Victor’s. Cerebrovasculer diseases in Principles of Neurology
8th Edition. McGraw-Hill Proffesional. 2005. Hal: 660-67
10. Chung, Chin-Sang. Neurovascular Disorder in Textbook of Clinical
Neurology editor  Christopher G. Goetz. W.B Saunders Company: 1999. Hal:
10-3
11. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1st available
from:http://emedicine.medscape.com/article/793904-diagnosis
12. Price, A. Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit edisi 4.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 966-71.

45
13. Delamarter RB, Coyle J. Acute Management of Spinal Cord Injury. J Am
Acad Orthop Surg 1999;7:166-175
14. Gupta R, Bathen ME, Smith JS, Levi AD, Bhatia NN, Steward O. Advances
in the Management of Spinal Cord Injury. J Am Acad Orthop Surg.
2010;18:210-222
15. Blackwell TL, Krause JS, Winkler T, Stiens SA. Spinal Cord Injury Desk
Reference: Guidelines for Life Care Planning and Case Management. New
York: Demos Medical Publishing Inc.; 2001.
16. Farry A, Baxter D, Cassidy D, Dvorak M, Fehlings M, Fingas M, dkk. The
Incidence and Prevalence of Spinal Cord Injury in Canada : Overview and
estimates based on current evidence. Canada: Rick Hansen Institute and Urban
Futures; 2010:1.
17. Casha S, Silvaggio J, Hurlbert RJ. Pharmacotherapy for spinal cord injury.
Dalam: Amar AP. Surgical Management of Spinal Cord Injury: Controversies
and Consensus. New York: Blackwell Publishing; 2007: 18.
18. Swain A, Grundy D. Evacuation and initial management at hospital. Dalam:
Grundy D, Swain A. ABC of Spinal Cord Injury. Fourth edition. London:
BMJ Publishing Group; 2002: 76. Universitas Sumatera Utara
19. Karacan et al. Traumatic spinal cord injuries in Turkey: a nation-wide
epidemiological study. Spinal Cord.2000;38,697-701

46

Anda mungkin juga menyukai