Investasi, Utang Luar Negeri, dan Kualitas Pembangunan: Sebuah Analisis Kritis
(Abdul Aziz SR)
Kesejahteraan seringkali dikaitkan dengan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang ada pada suatu negara. Negara dianggap semakin menjamin kesejahteraan rakyatnya apabila perekonomian negara tersebut stabil dan ataupun mengalami peningkatan yang signifikan. Pertumbuhan ekonomi atau modern economic growth pada dasarnya merupakan suatu proses pertumbuhan output perkapita dalam jangka panjang, dalam artian, kesejahteraan tercermin pada peningkatan output perkapita yang sekaligus memberikan banyak alternatif dalam mengkonsumsi barang dan jasa yang diikuti oleh peningkatan daya beli masyarakat. Dimensi penting dalam pembangunan adalah pembangunan ekonomi, pembangunan manusia, pembangunan berkelanjutan dan pembangunan territorial. Pembangunan nasional Indonesia pada intinya berusaha untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang dapat memungkinkan terwujudnya peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyatnya. Salah satu upaya yang diambil pemerintah dalam mencapai pertumbuhan ekonomi adalah melalui investasi, secara umum investasi dapat dipahami sebagai tindakan menanamkan modal dalam rangka memulai maupun memperluas kegiatan bisnis guna meningkatkan pendapatan, kegiatan investasi berorientasi pada masa depan, bisa dilakukan dalam konteks ekonomi maupun konteks non ekonomi. Sejak pemerintahan Soeharto, Indonesia telah terlalu sering menggantungkan dirinya pada bantuan asing melalui skema investasi ini, kegiatan investasi yang dilakukan secara konstan ini membuat pada akhirnya Indonesia tidak bisa menjadi negara yang independent dan tidak mampu untuk merancangkan program-program kreatif guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara mandiri. Hal ini terlebih lagi dikarenakan Indonesia yang cenderung mengabaikan investasi berbasis rumah tangga dan terlalu mengutamakan investasi asing. Keberpihakan pada investor asing ini sangat terlihat dan sudah seperti rahasia umum terlebih di era pemerintahan Presiden Jokowi saat ini, begitu banyak peraturan perundang-undangan yang seolah menunjukan adanya favoritisme pada pihak asing dan menekan masyarakat lokal, padahal sudah keharusan untuk setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah diarahkan untuk kepentingan masyarakat bukan hanya segelintir pihak terlebih lagi pihak asing yang bukan bagian dari negara ini. Ketergantungan dan pengharapan terus-menerus pada investasi ini bukanlah hal yang baik, Indonesia selama ini sudah terlalu percaya diri dan bersandar pada investasi yang sebenarnya lebih bersifat temporary ini dan lebih mengandung resiko tinggi terhadap kestabilan ekonomi, perlu diingat kembali bahwa segala tindakan investasi dipengaruhi oleh spekulatif-spekulatif dan investor cenderung hanya peduli pada keuntungan yang didapatkan oleh dirinya saja, tidak mau repot- repot memikirkan nasib tempat ia menginvestasikan modalnya. Selain investasi, Indonesia juga nampaknya tidak jera juga untuk selalu bertumpu pada hutang untuk membayar hutang lainnya. Hal ini sangatlah miris, mengingat begitu banyak potensi yang dimiliki negara ini, terutama dari sektor sumber daya alam yang apabila diolah dan dikelola dengan baik bisa sangat meningkatkan devisa negara ini, tapi lagi-lagi, Indonesia sekalipun masih belum bisa mandiri untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam karena kekurangan alat untuk mengolah dan juga kurangnya human resources yang paham dan handal untuk menguasai alat teknologi tersebut. Hutang Indonesia di era Jokowi juga semakin meningkat dan membengkak dibandingkan pemerintahan sebelumnya karena ada begitu banyaknya proyek infrastruktur yang dijalankan selama pemerintahannya. Sebenarnya pembangunan infrastruktur ini merupakan suatu hal yang baik, karena untuk beberapa daerah, infrastruktur yang tidak memadai seringkali menghambat arus perekonomian di daerah tersebut, padahal infrastuktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi, khususnya dalam proses produksi dan distribusi komoditi ekonomi. Namun yang harus menjadi catatan, apakah pembangunan infrastruktur tersebut benar-benar dirancangkan karena bersifat urgen, atau hanya sekedar sebagai wadah untuk menghabiskan anggaran dana sehingga seolah pemerintah telah melakukan pekerjaan yang mulia untuk negara ini. Memang, kebutuhan pemerintah untuk membiayai pembangunan bukanlah kebutuhan yang dapat ditunda, sebab aka nada kerugian yang lebih besar apabila menunda pembangunan terutama pada bidang penyediaan fasilitas Kesehatan, fasilitas Pendidikan, dan infrastruktur. Maka dari itu, eksistensi kebijakan fiscal, moneter dan keuangan yang kuat diperlukan untuk menjaga deficit fiscal dan hutang luar negeri pada tingkat yang berkelanjutan untuk memastikan lingkungan makroekonomi yang kondusif. Sayangnya, Indonesia masih belum mampu untuk ‘menahan diri’ dari keinginan untuk berhutang, pada akhirnya pembangunan negara ini hanyalah berputar di investasi dan hutang saja. Sebagai penutup, saya mengutip dari tulisan Bapak Abdul Aziz yaitu bahwa investasi mesti disadari hanya sebagai salah satu faktor dalam pembangunan, ia bukanlah faktor tunggal dan terutama, dan hutang sama sekali bukan jalan pintas yang baik untuk negara ini ke depannya, maka dari itu negara dan masyarakat harus saling bekerja sama guna menciptakan lingkungan ekonomi yang kreatif, kondusif dan stabil.