Anda di halaman 1dari 86

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan merupakan suatu proses pengubahan tingkah laku dan
kemampuan seseorang menuju ke arah kemajuan dan peningkatan.
Pendidikan dapat mengubah pola pikir seseorang untuk selalu
melakukan inovasi dan perbaikan dalam segala aspek kehidupan ke arah
peningkatan kualitas diri. Pada pendidikan formal, penyelenggaraan
pendidikan tidak lepas dari tujuan pendidikan yang akan dicapai karena
tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan merupakan tolak ukur dari
keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Tujuan pendidikan nasional
disesuaikan dengan tuntutan pembangunan dan perkembangan Bangsa
Indonesia sehingga tujuan pendidikan bersifat dinamis.
Menurut Slameto (1995:2) “menyatakan bahwa belajar ialah suatu
proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungan”. Maka
untuk mencapai keberhasilan dalam belajar memerlukan tolak ukur,
seperti indikator dalam belajar.
Pelajaran matematika sering dirasakan sulit oleh siswa, sehingga
cenderung tidak mereka senangi, bahkan tidak sedikit siswa yang
merasa bahwa pelajaran matematika adalah pelajaran yang paling
dibenci. Dengan anggapan seperti inilah siswa menjadi enggan untuk
belajar matematika dan mengalami kesulitan belajar matematika
sehingga hasil belajar siswa kurang maksimal.
Penggunaan model pembelajaran yang tepat bisa menjadikan siswa
itu aktif dalam pembelajaran dan tidak merasa bosan dengan pelajaran
tersebut, sehingga siswa lebih mudah memahami materi dan hasil yang
diperolehnya akan meningkat. Sebagai guru tentunya bertugas untuk
mengantisipasi agar keadaan seperti itu tidak terjadi. Guru harus mampu
memilih metode yang efisien dan efektif sehingga tujuan pembelajaran
dapat terpenuhi secara optimal. Pelaksanaan suatu metode pembelajaran
diperlukan satu atau lebih teknik. Tidak hanya metode pembelajaran,
seorang guru juga harus memiliki pengetahuan tentang model, media
dan strategi pembelajaran yang tepat digunakan dalam suatu proses
belajar mengajar.
Berhasilnya pendidikan pada siswa sangat bergantung pada
pertanggung jawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Zamroni
(2000:74) mengatakan “guru adalah kreator proses belajar mengajar. Ia
adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa
untuk mengkaji apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide
dan kreatifitasnya dalam batas-batas norma-norma yang ditegakkan
secara konsisten”.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa mengajar adalah
menyediakan kondisi optimal yang merangsang serta mengerahkan
kegiatan belajar anak didik untuk memperoleh pengetahuan,
keterampilan dan nilai atau sikap yang dapat membawa perubahan
tingkah laku maupun pertumbuhan sebagai pribadi. Dalam konteks ini
guru tidak hanya sebagai penyampai informasi tetapi juga bertindak
sebagai director and fasilitator of learning.
Untuk mencapai tujuan pendidikan, perlu dibuat suatu strategi
mengajar sebagai suatu usaha dari guru dalam melaaksanakan proses
belajar mengajar agar sehingga dapat mempengaruhi para siswa dalam
mencapai tujuan pengajaran lebih efektif dan efisien. Untuk
melaksanakan tugas secara profesional, guru memerlukan wawasan
yang mantap tentng kemungkinan strategi belajar mengajar yang
diterapkan sesuai dengan tujuan belajar yang telah dirumuskan.
Strategi Belajar Mengajar Matematika adalah suatu mata kuliah
yang diajarkan kepada para calon guru. Untuk lebih memahami strategi
dalam mengajar Matematika ini, dari kondisi dan keadaan yang
demikian lah maka penulis mengadakan observasi langsung ke sekolah.
Dengan mengadakan observasi ini, penulis bisa melihat bagaimana guru
mengajar dan apa strategi yang digunakan serta kendala-kendala yang
dihadapi oleh guru didalam kelas.
Adapun observasi ini diadakan di SMA Ferdy Ferry Kota Jambi, dan
guna untuk mengetahui pembelajaran yang di adakan di sekolah
tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam laporan
observasi ini adalah :
1. Bagaimana pelaksaanaan Kegiatan Belajar Mengajar yang dilakukan
oleh guru Matematika di sekolah dan kesesuaiannya dengan RPP.
2. Bagaimana cara pengelolaan kelas yang dilakukan guru Matematika
agar Kegiatan Belajar Mengajar berlangsung secara efektif.
3. Bagaimana perbandingan Kegiatan Belajar Mengajar guru
Matematika disekolah dengan teori yang didapat selama
perkuliahan.

1.3 Tujuan Observasi


Adapun tujuan observasi ini antara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses pembelajaran matematika secara langsung
di kelas.
2. Untuk mengetahui metode, model dan strategi pembelajaran yang
efektif untuk digunakan dalam proses pembelajaran matematika.
3. Untuk mengetahui kendala yang muncul dalam pembelajaran
matematika.
4. Untuk membandingkan teori strategi belajar mengajar matematika
yang didapat di perkuliahan dengan prakteknya dilapangan.

1.4 Manfaat Observasi


Manfaat dari observasi ini antara lain :
1. Dapat mengetahui proses pembelajaran matematika secara langsung
dikelas.
2. Dapat mengetahui metode, model dan strategi pembelajaran yang
efektif untuk digunakan dalam proses pembelajaran matematika.
3. Dapat mengetahui kendala yang muncul dalam pembelajaran
matematika.
4. Dapat membandingkan teori strategi belajar mengajar metematika
yang didapat di perkuliahan dengan prakteknya dilapangan.

BAB II
HASIL PENGAMATAN

2.1 Teori Belajar

2.2.1 Teori Behavioristik


Teori behavioristik merupakan teori belajar yang lebih menekankan
pada perubahan tingkah laku serta sebagai akibat dari interaksi antara
stimulus dan respon. Koneksionisme, merupakan rumpun yang paling awal
dari teori behavioristik. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain
dari suatu hubungan stimulus-respons. Siapa yang menguasai stimulus-
respons sebanyak-banyaknya ialah orang yang pandai dan berhasil dalam
belajar. Pembentukan hubungan stimulus-respons dilakukan melalui
ulangan-ulangan.
Tokoh yang terkenal mengembangkan teori ini adalah Thorndike
(1874-1949), dengan eksperimentnya belajar pada binatang yang juga
berlaku bagi manusia yang disebut Thorndike dengan trial and error.
Thorndike menghasilkan belajar connectionism karena belajar merupakan
proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons stimulus
yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indra.
Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika
belajar, yang juga dapat berupa pikiran perasaan atau gerakan /tindakan.
Thorndike mengemukakan 3 prinsip atau hukum dalam belajar yaitu
1. Law of readiness, belajar akan berhasil apabila peserta didik
memiliki kesiapan untuk melakukan kegiatan tersebut karena
individu yang siap untuk merespon serta merespon akan
menghasilkan respon yang memuaskan
2. Law of exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan serta
selalu mengulang apa yang telah didapat
3. Law of effect, belajar akan menjadi bersemangat apabila mengetahui
dan mendapatkan hasil yang baik.

2.2.2 Teori Kognitivisme


Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah
pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah
perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan. Dalam perkembangan
selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi popular sebagai salah satu
wilayah psikologi manusia/satu konsep umum yang mencakup semua
bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan
dengan masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka,
pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah , pertimbangan,
membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan. Termasuk
kejiwaan yang berpusat diotak ini juga berhubungan dengan konasi
(kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan rasa. Menurut para
ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku seseorang itu senantiasa didasarkan
pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana
tingkah laku itu terjadi.
Teori kognitif adalah teori yang umunya dikaitkan dengan proses
belajar. Kognisi adalah kemampuan psikis atau mental manusia yang berupa
mengamati, melihat, menyangka, memperhatikan, menduga dan menilai.
Dengan kata lain, kognisi menunjuk pada konsep tentang pengenalan. Teori
kognitif menyatakan bahwa proses belajar terjadi karena ada variabel
penghalang pada aspek-aspek kognisi seseorang. Teori belajar kognitif lebih
mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak
sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu
belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah
perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan
tingkah laku yang bisa diamati. Dari beberapa teori belajar kognitif diatas
dapat pemakalah ambil sebuah sintesis bahwa masing-masing teori memiliki
kelebihan dan kelemahan jika diterapkan dalam dunia pendidikan juga
pembelajaran. Jika keseluruhan teori diatas memiliki kesamaan yang sama-
sama dalam ranah psikologi kognitif, maka disisi lain juga memiliki
perbedaan jika diaplikasikan dalam proses pendidikan. Sebagai missal, teori
bermakna Ausubel dan discovery learningnya Bruner memiliki sisi
pembeda. Dari sudut pandang teori belajar bermakna ausubel memandan
bahwa justru ada bahaya jika siswa yang kurang mahir dalam suatu hal
mendapat penanganan dengan teori belajar discoveri, karena siswa
cinderung diberi kebebasan untuk mengkontruksi sendiri pemhaman tentang
segala sesuatu. Oleh karenanya menurut teori belajar bermakna guru tetap
berfungsi sentral sebatas membantu mengkoordinasikan pengalaman-
pengalaman yang hendak diterima oleh siswa namun tetap dengan koridor
pembelajaran yang bermakna. Dari point diatas dapat pemakalah ambil garis
tengah bahwa beberapa teori belajar kognitif diatas, meskipun sama-sama
mengedepankan proses berpikir, tidak serta merta dapat diaplikasikan pada
konteks pembelajaran secara menyeluruh.terlebih untuk menyesuaikan teori
belajar kognitif ini dengan kompleksitas proses dan sistem pembelajaran
sekarang maka harus benar benar diperhatikan antara karakter masing
masing teori dan kemudian disesuiakan dengan tingkatan pendidikan
maupun karakteristik peserta didiknya.

2.2.3 Teori Belajar Humanistik

Psikologi humanistik adalah prespektif psikologis yang menekankan


studi tentang seseorang secara utuh. Psikolog humanistik melihat prilaku
manusia tidak hanya melalui penglihatan pengamat, melainkan juga melalui
pengamatan atas prilaku individu mengintegral dengan perasaan batin dan
citra dirinya.
Berdasarkan teori belajar humanistik tujuan belajar adalah
memanusiakan seoran manusia. Kegiatan belajar dianggap berhasil apabila
si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya. Murid dalam proses
belajar harus berusaha agar secara pelahan dia mampu mencapai aktualisasi
dengan baik. Teori belajar humanistic ini berusaha memahami perilaku
belajar dari sudut pandang pelaku yang belajar, tidak dari sudut pandang
pengamatan.

2.2.4 Teori Belajar Sibernetik

Teori belajar sibenetik merupakan teori belajar yang relative baru


dibandingkan dengan teori-teori belajar yang sudah dibahas sebelumnya
teori ini berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu
informasi. Hakikat menejemen bembelajaran berdasarkan teori belajar
sibernetik adalah usaha guru untuk membantu siswa mencapai tujuan
belajarnya secara efektif.
Menurut teori sibernetik belajar adalah pengolahan informasi.
Seolah-olah teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yaitu
dengan mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Proses belajar
memang penting dalam teori sibernetic, namun yang lebih penting lagi
adalah sistem informasi yang diproses yang akan dipelajari siswa. Informasi
inilah yang akan proses. Bagaimana proses belajar akan berlangsung, sangat
ditentukan oleh sistem informasi yang dipelajari.

.2 Model dan Pendekatan Belajar

.2.1 Pendekatan RME (Realistic Mathematic Education)


Pengertian Model Pembelajaran Realistic Mathematics Education
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) atau Realistic Mathematics
Education (RME) adalah model pembelajaran matematika pada
matematika sekolah yang berorientasi pada penerapan matematika dalam
kehidupan sehari-hari. Matematika sekolah adalah bagian-bagian
matematika yang dipilih atas dasar makna kependidikan yaitu untuk
mengembangkan kemampuan dan kepribadian siswa serta tuntunan
perkembangan yang nyata dari lingkungan hidup yang senantiasa
berkembang seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
Realistic Mathematics Education (RME) atau Pembelajaran Matematika
Realistik (PMR) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan
matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di
Belanda pada tahun 1970 oleh institute Freudenthal. RME telah
dikembngkan dan diujicobakan selama 33 tahun di Belanda dan terbukti
berhasil merangsang penalaran dan kegiatan berpikir siswa (dalam Hobri,
2009:160). Teori ini mengacu kepada pendapat Freudental (dalam Hobri:
164) yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita
dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika
harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari.
Gravemeijer (dalam Zainurie : 1) mengemukakan bahwa matematika
sebagai aktvitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan
untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan
orang dewasa. Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi
dan persoalan-persoalan "realistik". Realistik dalam hal ini dimaksudkan
tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan
oleh siswa diungkapkan oleh Slettenhar (dalam Zaenurie: 1). Prinsip
penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan
informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep
matematisasi.

Kelebihan dan kekurangan model pembelajaran Realistic Mathematics


Education
Kelebihan
Menurut Suwarsono (dalam Hobri, 2009: 173-174) kelebihan-
kelebihan Realistic Mathematics Education (RME) atau Pembelajaran
Matematika Realistik (PMR) adalah sebagai berikut :
1. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada
siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-
hari dan tentang kegunaan matematika pada umumnya kepada
manusia.
2. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada
siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dapat
dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa dan oleh setiap
orang “biasa” yang lain, tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar
dalam bidang tersebut.
3. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada
siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus
tunggal, dan tidak harus sama antara orang satu dengan orang yang
lain.
4. RME memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada
siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran
merupakan suatu yang utama dan untuk mempelajari matematika
orang harus menjalani sendiri proses itu dan berusaha untuk
menemukan sendiri konsep-konsep dan materi-materi matematika
yang lain dengan bantuan pihak lain yang sudah tahu (guru).Tanpa
kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut,pembelajaran yang
bermakna tidak akan terjadi.
5. RME memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan
pembelajaran lain yang juga dianggap “unggul”.
6. RME bersifat lengkap (menyeluruh), mendetail dan operasional.
Proses pembelajaran topik-topik matematika dikerjakan secara
menyeluruh, mendetail dan operasional sejak dari pengembangan
kurikulum, pengembangan didaktiknya di kelas, yang tidak hanya
secara makro tapi juga secara mikro beserta proses evaluasinya.
Kekurangan
Selain kelebihan-kelebihan seperti yang diungkapkan diatas,
terdapat juga kelemahan-kelemahan Realistic Mathematics Education
(RME) yang oleh Suwarsono (dalam Hobri, 2009: 175-176) adalah sebagai
berikut:
1. Pemahaman tentang RME dan pengimplementasian RME
membutuhkan paradigma, yaitu perubahan pandangan yang sangat
mendasar mengenai berbagai hal, misalnya seperti siswa, guru,
peranan sosial, peranan kontek, peranan alat peraga, pengertian
belajar dan lain-lain. Perubahan paradigma ini mudah diucapkan tetapi
tidak mudah untuk dipraktekkan karena paradigma lama sudah begitu
kuat dan lama mengakar.
2. Pencarian soal-soal yang kontekstual, yang memenuhi syarat-syarat
yang dituntut oleh RME tidak selalu mudah untuk setiap topik
matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih karena soal tersebut
masing-masing harus bisa diselesaikan dengan berbagai cara.
3. Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan cara untuk
menyelesaikan tiap soal juga merupakan tantangan tersendiri.
4. Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa dengan memulai
soal-soal kontekstual, proses matematisasi horizontal dan proses
matematisasi vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana
karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan
cermat agar guru bisa membantu siswa dalam menemukan kembali
terhadap konsep-konsep matematika tertentu.
5. Pemilihan alat peraga harus cermat agar alat peraga yang dipilih bisa
membantu proses berpikir siswa sesuai dengan tuntutan RME.
6. Penilaian (assesment) dalam RME lebih rumit daripada dalam
pembelajaran konvensional.
7. Kepadatan materi pembelajaran dalam kurikulum perlu dikurangi
secara substansial, agar proses pembelajaran siswa bisa berlangsung
sesuai dengan prinsip-prinsip RME.
Karakteristik model pembelajaran Realistic Mathematics Education
Salah satu karakteristik mendasar dalam RME yang diperkenalkan oleh
guided reinvention sebagai suatu proses yang dilakukan siswa secara aktif
untukmenemukan kembali suatu konsep matematika dengan bimbingan
guru (Wijaya, 2012: 20). Sejalan dengan pendapat Frudenthal, Gravemeijer
(Tarigan, 2006: 4) mengemukakan empat tahap dalam proses guided
reinvention, yaitu: (a) tahap situasional, (b) tahap referensial, (c) tahap
umum, (d) tahap formal.
Namun, konsep guided reinvention dianggap masih terlalu global untuk
menjadi karakteristik dari RME. Oleh sebab itu, perlu adanya karakteristik
yang lebih khusus untuk membedakan antara RME dengan pendekatan
lainnya. Dengan dasar itulah dirumuskan lima karakteristik RME sebagai
pedoman dalam merancang pembelajaran matematika, yaitu:
a. Pembelajaran harus dimulai dari masalah yang diambil dari dunia nyata.
Masalah yang digunakan sebagai titik awal pembelajaran harus nyata bagi
siswa agar mereka dapat langsung terlibat dalam situasi yang sesuai dengan
pengalaman mereka. Sebab pembelajaran yang langsung diawali dengan
matematika formal cenderung menimbulkan kecemasan matematika
(mathematics anxiety).
b. Dunia abstrak dan nyata harus dijembatani oleh model. Model harus sesuai
dengan abstraksi yang harus dipelajari siswa. Model dapat berupa keadaan
atau situasi nyata dalam kehidupan siswa. Model dapat pula berupa alat
peraga yang dibuat dari bahan-bahan yang juga ada di sekitar siswa.
c. Siswa memiliki kebebasan untuk mengekspresikan hasil kerja mereka dalam
menyelesaikan masalah nyata yang diberikan guru. Siswa memiliki
kebebasan untuk mengembangkan strategi penyelesaian masalah sehingga
diharapkan akan diperoleh berbagai varian dari pemecahan masalah
tersebut.
d. Proses pembelajaran harus interaktif. Interaksi baik antar guru dan siswa
maupun siswa dengan siswa merupakan elemen yang penting dalam
pembelajaran matematika. Siswa dapat berdiskusi dan bekerja sama dengan
siswa lain, bertanya, dan menanggapi pertanyaan serta mengevaluasi
pekerjaan mereka. 15
e. Hubungan diantara bagian-bagian dalam matematika, dengan disiplin ilmu
lain, dan dengan masalah lain dari dunia nyata diperlukan sebagai satu
kesatuan yang saling terkait dalam menyelesaiakan masalah (Aisyah, 2007:
7.18 – 7.19). Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa RME
memiliki karakteristik khusus yang membedakan RME dengan pendekatan
lain. Ciri khusus ini yaitu adanya konteks permasalahan realistik yang
menjadi titik awal pembelajaran matematika, serta penggunaan model untuk
menjembatani dunia matematika yang abstrak menuju dunia nyata.

Prinsip model pembelajaran Realistic Mathematics Education


Gravemeijer (dalam Hobri: 166) mengemukakan tiga prinsip
kunci Pembelajaran Matematika Realistik (PMR), yaitu:
1. Penemuan kembali secara terbimbing melalui matematisasi
progresif (Guided Reinvention Through Progressive Mathematizing).
Menurut prinsip ‘Guided Reinvention”, siswa harus diberi kesempatan
mengalami proses yang sama dengan proses yang dilalui para ahli
ketika konsep-konsep matematika ditemukan.
2. Fenomena didaktik (Didactical Phenomenology). Menurut prinsip
fenomena didaktik, situasi yang mejadi topik matematika diaplikasikan
untuk diselidiki berdasarkan dua alasan; (1). Memunculkan ragam
aplikasi yang harus diantisipasi dalam pembelajaran, dan (2).
Mempertimbangkan kesesuaian situasi dari topik sebagai hal yang
berpengaruh untuk proses pembelajaran yang bergerak dari masalah nyata
ke matematika formal.
3. Pengembangan model mandiri (self developed models). Model
matematika dimunculkan dan dikembangkan sendiri oleh siswa berfungsi
menjembatani kesenjangan pengetahuan informal dan matematika
formal, yang berasal dari pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
Sedangkan Prinsip-prinsip pokok pembelajaran matematika secara
Pembelajaran Matematika Realistik yang dikemukakan oleh Marpaung
(2003: 5-6) yaitu :
a. Prinsip Aktivitas.
Prinsip ini menyatakan bahwa matematika adalah aktivitas manusia.
Matematika paling baik dipelajari dengan melakukannya sendiri.
b. Prinsip Realitas.
Prinsip ini menyatakan bahwa pembelajaran matematika dimulai dari
masalah-masalah dunia nyata yang dekat dengan pengalaman siswa
(masalah yang realistis bagi siswa). (Catatan : realistis bagi siswa diartikan
tidak selalu berkaitan dengan dunia nyata, bisa juga dari dunia lain tetapi
dapat dibayangkan oleh siswa). Jika matematika diajarkan lepas dari
pengalaman siswa maka matematika itu mudah dilupakan.
c. Prinsip Penjenjangan.
Prinsip ini menyatakan bahwa pemahaman siswa terhadap matematika
melalui berbagai jenjang yaitu dari menemukan (to invent) penyelesaian
kontekstual secara informal ke skematisasi. Kemudian perolehan insight
dan penyelesaian secara formal.
d. Prinsip Jalinan.
Prinsip ini menyatakan bahwa materi matematika di sekolah tidak di
pecah-pecah menjadi aspek-aspek (learning strands) yang diajarkan
terpisah-pisah.
e. Prinsip Interaksi.
Prinsip ini menyatakan bahwa belajar matematika dapat dipandang
sebagai aktivitas sosial selain sebagai aktivitas individu. Prinsip ini sesuai
dengan pandangan filsafat konstruktivisme, yaitu bahwa di satu pihak
pengetahuan itu adalah konstruksi sosial (Vijgotskij) dan di lain pihak
sebagai konstruksi individu (Piaget)).
f. Prinsip Bimbingan.
Prinsip ini menyatakan bahwa dalam menemukan kembali (reinvent)
matematika, siswa perlu mendapat bimbingan.
Sintak model pembelajaran Realistic Mathematics Education
Menurut Suryanto, dkk. (2010), terdapat langkah umum pembelajaran
Realistik Matematika Education:
a. Persiapan Kelas
1. Persiapan sarana dan prasarana pembelajaran yang diperlukan, misalnya
buku siswa, LKPD, alat peraga, dsb.
2. Pengelompokan siswa, jika perlu (sesuai dengan rencana).
3. Penyampaian tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar yang diharapkan
dicapai, serta cara belajar yang akan dipakai hari itu.
b. Kegiatan pembelajaran
1. Siswa diberi masalah kontekstual atau soal cerita. (secara lisan atau tertulis).
Masalah tersebut untuk dipahami.
2. Siswa yang belum dapat memahami masalah atau soalnya diberi penjelasan
singkat dan seperlunya. Penjelasan diberikan secara individual ataupun
secara kelompok, tergantung kondisinya. (tetapi penjelasan itu tidak
menunjukkan selesaian, meskipun boleh memuat pertanyaan untuk
membantu siswa memahami masalahnya, atau untuk memancing reaksi
siswa ke arah yang benar).
3. Siswa secara kelompok ataupun secara iundividual, mengerjakan soal atau
memecahkan masalah kontekstual yang diberikan dengan caranya sendiri.
(waktu untuk mengerjakan tugas harus cukup)
4. Jika dalam waktu yang dipandang cukup, belum ada satupun siswa yang
dapat menemukan cara pemecahan, guru memberikan bimbingan atau
petunjuk seperlunya atau mengajukan pertanyaan yang menantang. Petunjuk
itu dapat berupa gambar ataupun bentuk lain.
5. Setelah waktu yang disediakan habis, beberapa orang siswa atau wakil dari
kelompok siswa menyampaikan hasil kerjanya atau hasil pemikirannya.
6. Siswa ditawari untuk mengemukakan pendapatnya atau tanggapannya
tentang berbagai selesaian yang disajikan temannya di depan kelas. Bila
untuk suatu soal ada lebih dari satu selesaian atau cara penyelesaiannya,
perlu diungkap semua.
7. Guru mengarahkan atau membimbing siswa untuk membuat kesepakatan
kelas tentang selesaian mana yang dianggap paling tepat. Dalam proses ini
dapat terjadi negosiasi. Guru perlu memberikan penekanan kepada selesaian
benar yang dipilih.
8. Bila masih tidak ada selesaian yang benar, guru minta agar siswa
memikirkan cara lain.

2.2.2 Model PBL (Problem Based Learning)


Pengertian Model Pembelajaran Problem Based Learning
Problem-Based Learning (PBL) dikembangkan sejak1960, namun di
Indonesia diperkenalkan sejak 1990 (Susetyo,2005). Problem-Based
Learning adalah suatu model pembelajaran yang mengorientasikan siswa
kepada masalah nyata di setiap awal pembelajaran sehingga merangsang
siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan melalui kegiatan diskusi
kelompok dan investigasi guna menyelesaikan masalah kontekstual yang
disajikan. Dalam pembelajarannya di kelas, siswa bekerja dalam
kelompok untuk memecahkan masalah dunia nyata. Selain itu, PBL
diawali dengan pemberian masalah nyata dan diakhiri dengan
diperolehnya suatu solusi dari permasalahan tersebut yang terfokus dan
mengutamakan pengalaman siswa dalam belajar. Masalah diberikan
kepada siswa, sebelum siswa mempelajari konsep atau materi yang
berkenaan dengan masalah yang harus diselesaikan. Selanjutnya, masalah
yang diberikan ini digunakan untuk merangsang rasa ingin tahu siswa
untuk mempelajari konsep yang termuat pada masalah yang disajikan.
Secara umum, PBL merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang
menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta
didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan
pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep
yang esensial dari materi kuliah atau materi pelajaran. Secara ringkas dan
simpel, Rhem (1998) mendefinisikan PBL sebagai sebuah pembelajaran
yang bermula ketika masalah diperhadapkan pada siswa. Jadi, PBL adalah
metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam
mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru. Masalah tersebut
yang kemudian menentukan arah pembelajaran yang dilakukan dalam
kelompok.
Problem based learning tidak lagi berfokus pada isi/materi pelajaran
tetapi menggunakan masalah sebagai landasan utama pembelajaran.
Penggunaan masalah dunia nyata dalam PBL juga akan membuat
pembelajaran lebih bermakna. Selain itu, dengan berbagai masalah yang
digunakan dalam pembelajaran, PBL sangat cocok untuk melatih
keterampilan berpikir tingkat tinggi, belajar lintas disiplin, belajar
mandiri, keterampilan kerja kelompok maupun berkomunikasi.

Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Problem Based


Learning
Kelebihan
Trianto (2014) menyebutkan keunggulan pendekatan meliputi realistis
dengan kehidupan siswa, konsep sesuai dengan kebutuhan siswa,
memupuk sifat inquiry siswa, retensi konsep jadi kuat, dan memupuk
kemampuan problem-solving. Diantara banyaknya keunggulan pendekatan
Problem based learning, secara spesifik keunggulan Problem based
learning meliputi sebagai berikut:
a. Memupuk kemampuan berpikir tingkat tinggi
Secara umum, Lewis & Smith (1993) mengemukakan bahwa
kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skill, HOTS)
sering kali beririsan dengan istilah kemampuan berpikir kritis,
kemampuan pemecahan masalah, kemampuan penalaran, dan kemampuan
lain yang sifatnya sangat membingungkan. Jika diamati karakteristik
Problem based learning yang telah disebutkan sudah mengacu pada
berpikir tingkat tinggi. Berkaitan dengan HOTS, Arends (2012)
mengemukakan bahwa salah satu model pembelajaran yang dapat
membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi
dan penyelesaian masalah adalah pendekatan problem-based learning.
Selanjutnya, Resnick (1992) menambahkan bahwa ciri-ciri berpikir
tingkat tinggi diantaranya yaitu: Non-algoritmik, yakni keseluruhan
tindakan tidak sepenuhnya dapat ditentukan di awal; kompleks, yakni
langkah-langkah mengharuskan ditempuh lebih dari satu sudut pandang;
sering berakhir banyak jawab (open-ended); melibatkan perbedaan
pendapat dan interpretasi; melibatkan penerapan kriteria jamak (multiple
criteria), yang terkadang saling kontradiktif; sering kali melibatkan
ketidakpastian; dan perlu usaha keras untuk mengeksplorasi dan
mengelaborasi berbagai kemungkinan.
b. Retensi tentang konsep lebih bertahan lama
Pembelajaran dengan pendekatan problem-based learning dengan
pola learning by doing melalui investigasi terhadap masalah nyata
menyebabkan retensi (ingatan) siswa tentang konsep matematika akan
lebih bertahan lama, karena pengetahuan yang diperoleh lebih dihayati
karena telah melalui proses belajar bermakna. Selama kegiatan
pembelajaran siswa aktif berdiskusi dan mengkonstruksi
pengetahuan/konsep materi dari kegiatan investigasi pada masalah.
c. Realistis dengan kehidupan siswa
Selama ini banyak siswa yang memandang matematika sebagai mata
pelajaran yang sulit dan tidak applicable. Kesan-kesan tersebut hendaknya
perlu diminimalisir dengan tujuan agar tidak terjadi kesenjangan antara
pelajaran matematika di sekolah dengan keseharian siswa sehingga dapat
diketahui manfaatnya. Oleh karena itu, problem-based learning
menyajikan masalah nyata diawal pembelajaran sehingga siswa lebih
termotivasi dalam belajar karena mereka menyadari apa yang mereka kaji
adalah suatu hal yang realistis dengan kehidupan mereka.
d. Memupuk sifat inkuiri siswa
Pembelajaran dimulai dengan penyajian masalah di awal
pembelajaran menjadikan siswa yang belajar ingin menyelesaikannya.
Siswa bekerja dalam kelompok kecil, memperoleh dan
mengkomunikasikan, serta memadukan informasi dalam proses yang
menyerupai inkuiri. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pada
problem-based learning dilatihkan kemampuan menemukan (inkuiri),
sikap logis, kritis, analitik, dan teliti melalui kegiatan investigasi siswa
yang dilakukan secara individual maupun kelompok.
e. Memupuk sikap mandiri, bertanggung jawab, bekerja sama, dan percaya diri
Pada kegiatan problem-based learning intervensi guru dalam
pembelajaran sudah dikurangi. Hal itu dapat dilihat dari peranan siswa
yang dominan selama proses pembelajaran sementara peranan guru
cenderung sebagai fasilitator. Hal tersebut ditujukan dengan harapan sikap
kemandirian siswa dalam belajar dapat lebih terlatih. Selanjutnya, melalui
pemberian tugas secara individu dan tim dalam problem-based learning
siswa sangat berpotensi untuk memiliki sikap tanggung jawab dalam
pembelajaran di kelas seperti dalam diskusi dan mencari penyelesaian dari
masalah yang disajikan, dengan bekerja sama dengan kelompoknya.
Selain itu, siswa biasanya pasif menjadi lebih aktif karena pembelajaran
yang menggunakan problem-based learning mereka diharuskan untuk
berdiskusi menyampaikan ide-ide, atau agumentasinya atas suatu
permasalahan kepada teman-temannya. Melalui aktivitas tersebut, sikap
percaya diri siswa dalam belajar dengan sendirinya dapat tumbuh dengan
baik.
f. Memupuk kemampuan pemecahan masalah
Sejak awal pembelajaran kegiatan problem-based learning, siswa
sudah dihadapkan dengan masalah inti yang akan diselidiki dan dicari
solusi dengan cara aktif berdiskusi. Siswa dituntut mencari informasi yang
dibutuhkan yang berkaitan dengan masalah yang diselidiki dari berbagai
sumber. Hal itu menegaskan bahwa, kemampuan pemecahan masalah
merupakan kemampuan yang serta merta dilatih pada proses kegiatan
problem-based learning dan hal itu pula dapat dilihat dari fase-fasenya.
Selain pemahaman para guru tentang pentingnya konsep pendekatan
problem-based learning, keunggulan-keunggulan tersebut perlu diketahui
dan dioptimalkan dengan harapan pendekatan problem-based learning
membawa dampak positif yang cukup signifikan dalam pembelajaran
matematika di sekolah.

Kekurangan

Kekurangan dalam model Problem Based Learning menurut Abidin


(2014:163) adalah sebagai berikut:
a. Siswa yang terbiasa dengan informasi yang diperoleh dari guru sebagai
narasumber utama, akan merasa kurang nyaman dengan cara belajar
sendiri dalam pemecahan masalah.
b. Jika siswa tidak mempunyai rasa kepercayaan bahwa masalah yang
dipelajari sulit untuk dipecahkan makan mereka akan merasa enggan
untuk memcoba masalah.
c. Tanpa adanya pemahaman siswa mengapa mereka berusaha untuk
memecahkan masalah yang sedang dipelajari maka mereka tidak akan
belajar apa yang ingin mereka pelajari.

Selain yang disebutkan diatas ada beberapa kekurangan lagi dalam


PBL diantaranya:
a. Keberhasilan strategi pembelajaran melalui problem solving membutuhkan
cukup waktu untuk persiapan.
b. Keberhasilan strategi pembelajaran melalui problem solving membutuhkan
cukup waktu untuk persiapan.
c. PBL tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian dosen
berperan aktif dalam menyajikan materi. PBM lebih cocok untuk
pembelajaran yang menuntut kemampuan tertentu yang kaitannya dengan
pemecahan masalah.
d. Membutuhkan kemampuan dosen yang mampu mendorong kerja mahasiswa
dalam kelompok secara efektif, artinya dosen harus memilki kemampuan
memotivasi mahasiswa dengan baik.
e. Adakalanya sumber yang dibutuhkan tidak tersedia dengan lengkap.

Karakteristik Model Pembelajaran Problem Based Learning


Sebagaimana model pembelajaran yang lain, Problem based learning
memiliki beberapa cirri khas yang melekat pada kegiatan pembelajaran
dalam pengimplementasiannya. Arends & Kilcher (2010) mengemukakan
bahwa karakteristik Problem based learning sekurang-kurangnya terdiri
dari: masalah; otentik; investigasi dan pemecahan masalah; memandang
keterkaitan antardisiplin ilmu; kolaborasi kelompok kecil; serta hasil
diskusi dan presentasi. Sementara itu, Baden (2007) menyebutkan bahwa
karakteristik pendekatan Problem based learning meliputi: kompleks;
siswa bekerja dalam tim untuk mengembangkan solusi yang layak; siswa
mendapatkan informasi baru meskipun melalui pembelajaran sendiri;
pengajar bertindak sebagai fasilitator; dan masalah mengarah
pengembangan kemampuan pemecahan masalah. Dari pernyataan tersebut
maka secara umum karakteristik Problem based learning dirumuskan
sebagai berikut.
1. Masalah nyata sebagai titik awal pembelajaran
Pada Problem based learning pembelajaran diawali dengan pengajuan
permasalahan pada siswa yang dilanjutkan pada pemecahan masalah.
Dalam pendekatan Problem based learning tidak semua masalah/soal
dapat dipergunakan. Adapun karakteristik-karaktristik masalah yang
dapat disajikan dalam pada Problem based learning, diantaranya (1)
masalah bersifat nyata; (2) memerlukan informasi lebih lanjut untuk
memahaminya dibandingkan dengan soal biasa; (3) memuat banyak cara
penyelesaian; (4) dapat berubah dengan adanya informasi baru; (5)
terhindar dari anggapan bahwa siswa telah mengetahui jawabannya; (6)
menimbulkan minat dan kontroversi dan menyebabkan siswa bertanya-
tanya; (7) terkadang memiliki banyak jawaban (open-ended) dan cukup
kompleks sehingga memerlukan kerjasama dan perlu pemikiran bukan
sekedar ingatan; dan (8) memuat isi/materi pelajaran. Pada beberapa
karaktristik masalah tersebut, masalah nyata/kontekstual lah yang sering
digunakan dalam pada Problem based learning. Selain itu, terkadang
situasi masalah yang muncul dalam pembelajaran tersebut bersifat
kompleks sehingga perlu dikaji dengan melihat keterkaitan dengan
disiplin ilmu yang berbeda.
2. Investigasi dan pemecahan masalah
Problem based learning mengharuskan siswa aktif terlibat melalui
serangkaian aktivitas investigasi kelompok. Investigasi/penyelidikan
adalah inti dari pada Problem based learning. Meskipun setiap situasi
permasalahan memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada
umumnya tentu melibatkan aktivitas-aktivitas yang identik, yakni
pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesis dan penjelasan, dan
memberikan pemecahan.
3. Adanya kegiatan diskusi kelompok
Belajar terjadi dalam kelompok kecil. Siswa berdiskusi dalam tim
untuk mengembangkan solusi yang layak. Siswa melakukan penyelidikan
untuk mencari penyelesaian suatu masalah yang diberikan, menemukan
penyelesaiannya, dan mampu mempresentasikan hasil temuannya. Pada
akhirnya, siswa mendapatkan informasi baru meskipun melalui
pembelajaran sendiri.
4. Belajar berpusat pada siswa
Problem based learning merupakan salah satu model pembelajaran
yang menggunakan paradigma konstruktivisme untuk kegiatan belajar di
kelas. Dalam pelaksanaannya, pada Problem based learning melibatkan
siswa untuk menyelesaikan suatu masalah melalui tahap-tahap metode
ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan
dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk
menyelesaikan masalah.
5. Guru sebagai fasilitator
Berbeda dengan pembelajaran tradisonal di mana konsep/informasi
ditransfer secara pasif dari guru ke siswa, dalam Problem based learning
siswa aktif berpartisipasi dalam proses belajar mereka sendiri. Pengajar
bertindak sebagai fasilitator yakni meliputi membimbing penyelidikan
siswa, memberikan scaffolding yang diperlukan oleh siswa untuk
mengkonstruksi pengetahuannya, dan memastikan kegiatan diskusi di
kelas dapat terlaksana dan terarah.
6. Menyajikan hasil/solusi
Siswa mendemonstrasikan hasil pembelajaran dengan menyajikan
hasil kerjanya atau hasil kerja kelompoknya. Dalam banyak kasus, para
siswa menyajikan hasil kerja kelompoknya di depan kelas. Melalui
penyajian ini, siswa dapat mengkomunikasikan ide, gagasan, atau
penyelesaian masalah yang telah mereka kerjakan kepada teman-temanya
atau kelompok lain.

Prinsip Model Pembelajaran Problem Based Learning


Beberapa prinsip pembelajaran sama dengan prinsip yang telah
dideskripsikan untuk presentasi, pengajaran langsung dan cooperative
learning,tetapi sebagian lainnya unik bagi problem based learning.
Penekanan diberikan pada ciri unik model tersebut dalam proses
pelaksanaannya adalah (Arends, 1995), antara lain:
a. Melaksanakan Perencanaan
1. Penetapan tujuan
2. Merancang situasi masalah
3. Organisasi sumber daya dan rencana logistic
b. Melaksanakan Pembelajaran
1. Memberikan orientasi masalah kepada siswa
2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar
3. Membantu penyelidikan individu dan kelompok
4. Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah

Sintak Model Pembelajaran Problem based learning


Sintak atau langkah-langkah model PBL telah dirumuskan secara
beragam oleh bebrapa ahli pembelajaran. Sintak model PBL berikut
merupakan sintak hasil pengembangan yang dilakukan atas sintak
terdahulu.
Sintak Model Pembelajaran Problem based learning
Fase-Fase Prilaku Guru
Fase 1  menjelaskan tujuan pembelajaran,
Orientasi peserta didik kepada menjelaskan logistik yg dibutuhkan.
masalah.  Memotivasi peserta didik untuk
terlibat aktif dalam pemecahan
masalah yang dipilih.
Fase 2  Membantu peserta didik
Mengorganisasikan peserta mendefinisikan dan
didik. mengorganisasikan tugas belajar
yang berhubungan dengan masalah
tersebut.
Fase 3  Mendorong peserta didik untuk
Membimbing penyelidikan mengumpulkan informasi yang
individu dan kelompok. sesuai, melaksanakan eksperimen
untuk mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalah.

Fase 4  Membantu peserta didik dalam


Mengembangkan dan merencanakan dan menyiapkan
menyajikan hasil karya. karya yang sesuai seperti laporan,
model dan berbagi tugas dengan
teman.

Fase 5  Mengevaluasi hasil belajar


Menganalisa dan mengevaluasi tentang materi yang telah
proses pemecahan masalah. dipelajari /meminta kelompok
presentasi hasil kerja.

2.2.3 Model PJBL (Project Based Learning)


2.1. Definisi Project Based Learning

Joel L Klein et. Al dalam Widyantini (2014) menjelaskan bahwa


“Pembelajaran berbasis proyek adalah strategi pembelajaran yang
memberdayakan siswa untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman
baru berdasarkan pengalaman melalui berbagai presentasi”. Menurut
Thomas, dkk (1999) dalam Wena (2010) disebutkan bahwa pembelajaran
berbasis proyek merupakan model pembelajaran yang memberikan
kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran di kelas dengan
melibatkan kerja proyek. Pembelajaran berbasis proyek menurut kelompok
2 adalah pembelajaran yang melibatkan siswa dengan mengutamakan
pengalaman secara langsung untuk memproleh tujuan pembelajaran tertentu
secara sistematis.

2.2 Kelebihan dan Kekurangan


Project Based Learning mempunyai keunggulan dan memberi
keuntungan dalam kegiatan belajar mengajar. beberapa keuntungannya
menurut Moursund dalam Wena (2010) antara lain:
1. Increased motivation. Project Based Learning terbukti meningkatkan
motivasi belajar siswa melalui keterlibatan mereka dalam proyek
yang mereka pilih sendiri.
2. Increased problem-solving ability.Project Based Learning dapat
meningkatkan kemampuan memecahkan masalah yang bersifat
kompleks dan memuat siswa lebih aktif.
3. Improved library research skills.Project Based Learning
mempersyaratkan siswa untuk dapat secara cepat memperoleh
informasi, sehingga meningkatkan kemampuan siswa dalam mencari
dan mendapatkan informasi.
4. Increased collaboration.Project Based Learning memerlukan kerja
kelompok dalam pelaksanaan proyeknya. Kerja kelompok sangat
membutuhkan komunikasi, pertukaran informasi, evaluasi dan kerja
sama yang baik, sehingga Project Based Learning akan
meningkatkan kemampuan kerja kelompok siswa.
5. Increased resource-manageent skills. Hal ini berkaitan dengan
prinsip otonomi dari Project Based Learning. siswa harus merancang
dan menyusun proyek yang mereka pilih sesuai dengan alokasi waktu
yang telah ditentukan. Oleh karena itulah, kemampuan manejemen
siswa akan semakin terasah melalui Project Based Learning.

Sedangkan kekurangan model Project Based Learning, menurut Abidin


(2014:171) yaitu:

1. Memerlukan banyak waktu dan biaya.


2. Memerlukan banyak media dan sumber belajar.
3. Memerlukan guru dan siswa yang sama-sama siap belajar dan
berkembang.
4. Ada kekhawatiran siswa hanya akan menguasai satu topik tertentu
yang di kerjakannya.

2.3 Karakteristik

Ciri-ciri pembelajaran berbasis proyek menurut materi pelatihan


kurikulum 2013 yang diterbitkan oleh BPSDMPK dan PMP tahun 2013 dan
Center For Youth Development And Education Boston ( Muliawati,
2010:10) adalah :

a. Adanya permasalahan atau tantangan kompleks yang diajukan ke siswa ;

b. Siswa mendesain proses menyelesaikan permasalahan atau tantangan


yang dengan menggunakan penyelidikan;

c. Siswa mempelajari dan menerapkan keterampilan serta pengetahuan yang


dimilikinya dalam berbagai konteks ketika mengerjakan proyek;

d. Siswa bekerja dalam tim kooperatif demikian juga pada saat


mendiskusikannya dengan guru;

e. Siswa mempraktekkan berbagai keterampilan yang dibutuhkan untuk


kehidupan dewasa mereka dan karir ( bagaimana mengalokasikan waktu,
menjadi individu yang bertanggungjawab, keterampilan pribadi,belajar dari
pengalaman);
f. Siswa secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah
dijalankan;

g. Produk akhir siswa dalam mengerjakan proyek dievaluasi.

Prinsip Pembelajaran

Project Based Learning didasarkan pada teori konstruktivisme dan


merupakan pembelajaran siswa aktif. Pembelajaran melalui PjBL juga dapat
digunakan sebagai sebuah metode belajar untuk mengembangkan
kemampuan siswa dalam membuat perencanaan, berkomunikasi,
menyelesaikan masalah, dan membuat keputusan. Berdasarkan beberapa
definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa model Project Based
Learning adalah model pembelajaran yang dapat mendorong siswa untuk
aktif belajar secara berkolaborasi untuk memecahakan masalah sehingga
dapat mengkonstruk inti pelajaran dan teman-teman dalam tugas / proyek
yang dilakukan.

Sintak Pembelajaran

Langkah-langkah pelaksanaan berbasis proyek.

a. Penentuan pertanyaan berdasar (start with essential question).

Pembelajaran dimulai dengan pertanyaan mendasar yang dapat


memberi penugasan kepada siswa dalam melakukan aktivitas.

b. Mendesain perencanaan proyek (design a plan for the project).

Perencanaan dilakukan secara kolaboratif antara guru dan siswa.


perencanaan ini berisi tentang aturan main, pemilihan aktivitas yang
mendukung pertanyaan esensial.
c. Menyusun jadwal (create schedule).

Guru dan siswa secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas dalam


menyelesaikan proyek. aktivitas pada tahap ini :

1. Membuat timeline (alokasi waktu) untuk menyelesaikan proyek.

2. Membuat deadline (batas akhir waktu) penyelesaian proyek.

3. Membawa peserta didik agar merencanakan cara yang baru.

4. Membimbing peserta didik ketika mereka membuat cara yang


tidak berhubungan dengan proyek dan

5. Meminta peserta didik untuk membuat penjelasan (alasan) tentang


pemilihan suatu cara.

d. Memonitor siswa dan kemajuan proyek (monitor the student and the
progress of the project)

Guru bertanggung jawab untuk melakukan monitor terhadap


aktivitas siswa selama melakukan proyek. monitoring dilakukan dengan
cara memfasilitasi siswa pada setiap proyek.

e. Menguji hasil (assess the outcome)

Penilaian dilakukan untuk membantu guru mengukur ketercapaian


standar, berperan dalam mengevaluasi kemajuan masing-masing siswa,
memebri umpan balik tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai
siswa, membantu guru dalam menyusun strategi pembelajaran berikutnya.

f. Mengevaluasi pengalaman (evaluate the experience)

Pada akhir pembelajaran, guru dan siswa melakukan refleksi


terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan.

2.2.4 Model Open Ended


a. Definisi Open-Ended Learning
Pembelajaran terbuka atau yang sering dikenal dengan istilah
Open-Ended Learning (OEL) merupakan proses pembelajaran yang
di dalamnya tujuan dan keinginan individu/siswa dibangun dan
dicapai secara terbuka (Huda, 2013:278).
Pada dasarnya, pendekatan Open-Ended bertujuan untuk
mengangkat kegiatan kreatif siswa dan berpikir matematika secara
simultan. Oleh karena itu hal yang perlu diperhatikan adalah kebebasan
siswa untuk berpikir dalam membuat progress pemecahan sesuai
dengan kemampuan, sikap, dan minatnya sehingga pada akhirnya akan
membentuk intelegensi matematika siswa.
b. Prinsip-prinsip dalam Open-Ended Learning :
Open-ended memiliki keterbukaan. Menurut Dahlan (dalam
Hayani:2007:13). Keterbukaan dibagi menjadi tiga, yaitu :
a) Proses terbuka , adalah masalah atau soal yang diberikan,
memiliki banyak cara penyelesaian yang benar.
b) Hasil akhir terbuka, adalah masalah yang memiliki jawaban
yang benar.
c) Cara pengembangan lanjutan terbuka, yaitu ketika siswa
telah menyelesaikan masalahnya, mereka dapat
mengembangkan masalah baru yaitu dengan cara merubah
kondisi masalahnya.
c. Karakteristik
Kegiatan pembelajaran dengan pendekatan open-ended harus
mempertimbangkan 3 karakteristik menurut Zaenal Arifin (2009:120),
yaitu :
1. Kegiatan belajar siswa harus terbuka, artinya kegiatan
pembelajaran harus mengakomodasi kesempatan siswa untuk
melakukan segala sesuatu secara bebas sesuai kehendak mereka.
2. Kegiatan matematika adalah keragaman berpikir, artinya
kegiatan yang di dalamnya terjadi proses pengabstraksian dari
pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari ke dalam dunia
matematika atau sebaliknya.
3. Kegiatan siswa dan kegiatan matematika merupakan satu
kesatuan (integratif), artinya ketika siswa melakukan kegiatan
matematika untuk memecahkan permasalahan yang diberikan,
dengan sendirinya akan mendorong potensi mereka untuk
melakukan kegiatan matematika pada tingkatan berpikir yang
lebih tinggi.
d. Sintak open-ended learning (OEL) bisa dilakukan dengan :
Menurut Agus Prasetyo (2015:174), langkah-langkah
pendekatan open-ended adalah sebagai berikut :
1. Menyajikan masalah. Dalam tahap ini, guru memberikan masalah
terbuka kepada siswa. Dan siswa berkesempatan mengembangkan
pola pikirnya dengan bebas.
2. Mengorganisaikan pembelajaran. Pada tahap ini, guru mengarahkan
siswa untuk mengembangkan daya kreatifitas dan ide-ide pemecahan
serta memancing siswa untuk berpikir kritis terhadap masalah.
3. Memperhatikan dan mencatat respon siswa. Jadi, guru harus
menyiapkan atau menuliskan daftar antisipasi respon siswa terhadap
masalah. Sehingga siswa dapat mengeksoresikan ide atau pikirannya
sebagai upaya mengarahkan dan membantu siswa memecahkan
masalah sesuai dengan cara kemampuannya.
4. Bimbingan dan pengarahan. Pada tahap ini, guru memberikan
bimbingan dan pengarahan agar siswa dapat mengembangkan
improvisasinya dalam menentukan cara atau metode pemecahan
masalah.
5. Kesimpulan. Pada tahap ini, siswa diminta untuk menjelaskan proses
yang telah dia kerjakan untuk memperoleh penyelesaian masalah.

e. Kelebihan dan Kekurangan


Dalam aplikasinya, pendekatan open-ended memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuannya
mengkonstruksi berbagai strategi dalam menyelesaikan masalah.
Terdapat beberapa keunggulan dari pendekatan open-ended menurut
Agus Prasetyo (2015:174) Kelebihan Open-Ended Learning, yaitu :
1. Siswa dapat secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan
pembelajaran.
2. Siswa dapat mengekspresikan ide-ide pemecahan masalah.
3. Siswa berkesempatan untuk memanfaatkan pengetahuan dan
keterampilan matematika secara komprehensif.
4. Siswa dapat memberikan respon terhadap masalah sesuai dengan
kemampuannya masing-masing.
5. Dapat memotivasi siswa untuk mempertanggung jawabkan
proses yang telah dia kerjakan untuk memperoleh hasil
penyelesaian.
6. Siswa mendapatkan banyak pengalaman untuk menemukan
konsepnya dalam menyelesaikan masalah.

Berbagai pendekatan dalam pembelajaran memiliki kelebihan


dan kekurangan masing-masing. Sehingga dari berbagai pendekatan
tersebut dapat saling melengkapi. Berikut adalah kelemahan
pembelajaran pendekatan open-ended menurut Agus Prasetyo
(2015:174) , yaitu :

6. Memberikan kesulitan tersendiri bagi guru untuk membuat dan


menyiapkan masalah matematik yang bermakna bagi siswa.
7. Sulit mengemukakan masalah yang dapat langsung dipahami
oleh siswa, sehingga memungkinkan banyak siswa yang
kesulitan merespon permasalahan yang diberikan.
8. Bagi siswa dengan kemampuan tinggi dapat memunculkan
kecemasan tentang kebenaran jawaban yang merekaperoleh.
9. Bagi sebagian siswa dengan kemampuan kurang memadai akan
merasa kesulitan dalam menghadapi, sehingga mereka
menganggap proses belajar seperti ini tidak menyenangkan.
2.2.5 Model Discovery Learning
1.1 Definisi Discovery Learning
”Discovery” berasal dari bahasa inggris yang berarti penemuan;
tindakan menemukan atau mempelajari sesuatu untuk pertama
kalinya.
Berikut ini beberapa pengertian discovery learning dari
beberapa sumber buku:

 Menurut Hosnan (2014:282), discovery learning adalah suatu


model untuk mengembangkan cara belajar aktif dengan
menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang
diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan. Melalui
belajar penemuan, siswa juga bisa belajar berpikir analisis dan
mencoba memecahkan sendiri masalah yang dihadapi. 
 Menurut Kurniasih, dkk (2014:64), Model discovery learning
adalah proses pembelajaran yang terjadi bila pelajaran tidak
disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya,tetapi
diharapkan siswa mengorganisasikan sendiri. Discovery adalah
menemukan konsep melalui serangkaian data atau informasi
yang diperoleh melalui pengamatan atau percobaan. 
 Menurut Sund, discovery learning adalah proses mental dimana
siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip.
Proses mental tersebut antara lain mengamati, mencerna,
mengerti menggolong-golongkan, membuat dugaan,
menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya
(Suryasubrata, 2002:193). 
 Menurut Ruseffendi (2006:329), metode Discovery Learning
adalah metode mengajar yang mengatur pengajaran sedemikian
rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang belum
diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau
seluruhnya ditemukan sendiri. 
 Menurut Asmui (2009:154), metode Discovery Learning adalah
suatu metode untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif
dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yng
diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan
mudah untuk dilupakan siswa.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa discovery learning merupakan


suatu model pembelajaran dimana siswa diarahkan untuk
mengkontruksi hingga menemukan konsep atau pengetahuan dari
pengamatan dan percobaan yang mereka lakukan sendiri.

1.2 Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Discovery


Learning
Suherman, dkk (2001:179) menyebutkan terdapat beberapa
kelebihan atau keunggulan model Discovery Learning, yaitu :
1. Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berfikir dan
menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir.
2. Siswa memahami benar bahan pelajarannya, sebab mengalami
sendiri proses menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan
cara ini lebih lama untuk diingat.
3. Menemukan sendiri bisa menimbulkan rasa puas. Kepuasan
batin ini mendorongnya untuk melakukan penemuan lagi
sehingga minat belajarnya meningkat.
4. Siswa yang memperolah pengetahuan dengan model penemuan
akan lebih mampu mentransfer pengetahuannya ke berbagai
konteks.
5. Model ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri.

Sedangkan menurut Kurniasih, dkk (2014:64-65), model


Discovery Learning juga memiliki beberapa kelemahan atau
kekurangan, antara lain sebagai berikut:
1. Model ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran
untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami
kesulitan abstrak atau berfikir atau mengungkapkan hubungan
antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada
gilirannya akan menimbulkan frustasi.
2. Model ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang
banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk
membantu mereka menemukan teori untuk pemecahan masalah
lainnya.
3. Harapan-harapan yang terkandung dalam model ini dapat buyar
berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan
cara-cara belajar yang lama.
4. Pengajaran discovery learning lebih cocok untuk
mengembangkan pemahaman, sedangkan mengembangkan
aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan
kurang mendapat perhatian.
5. Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas
untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa.
6. Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berfikir yang
akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu
oleh guru.

1.3 Karakteristik Model Pembelajaran Discovery Learning


Menurut Suherman (2001) dalam 95 Strategi Mengajar Multiple
Intelligences Mengajar Sesuai Kerja Otak dan Gaya Belajar Siswa
(Alamsyah S dan Andi B, 2015:117) menyebutkan bahwa dalam
model Discovery Learning yang digunakan guru, mengandung tiga
karakteristik utama belajar, yaitu :
1. Mengeksplorasi dan memcahkan masalah untuk menciptakan,
menggabungkan, dan menggeneralisasi pengetahuan.
2. Berpusat pada siswa.
3. Kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan
pengetahuan yang sudah ada.

1.4 PrinsipModel Pembelajaran Discovery Learning


Dalam Kemendikbud 2014, prinsip model discovery learning
lebih menekankan pada konsep yang sebelumnya tidak diketahui.
Masalah yang diperhadapkan pada siswa semacam masalah yang
direkayasa oleh guru. Dalam discovery learning, materi atau bahan
pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk
final. Akan tetapi, siswa sebagai peserta didik didorong untuk
mengidentifikasi apa yang ingin diketahui. Dilanjutkan dengan
mencari informasi sendiri kemudian mengorganisasi atau
membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka
pahami dalam bentuk akhir.
Dengan mengaplikasikan model ini secara berulang ulang dapat
meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang
bersangkutan. Metode ini diharapkan dapat merubah kondisi belajar
yang pasif menjadi aktif.

1.5 Sintaks Model Pembelajaran Discovery Learning


Menurut Kemendikbud (2013) Model pembelajaran discovery
learning memilikki dua langkah operasional yang harus dilaksanakan
yaitu langkah persiapan dan pelaksanaan.
A. Langkah Persiapan
a) Menentukan tujuan pembelajaran
b) Melakukan identifikasi karakteristik siswa
c) Memilih materi pelajaran
d) Menentukan topik yang harus dipelajari siswa secara
induktif.
e) Mengembangkan bahan-bahan ajar.
f) Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke
kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap
enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
g) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.

B. Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan model discovery learning menurut
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013) terdiri dari
beberapa langkah yaitu Stimulation Problem statement, Data
collection, Verification, Generalization.
Langkah ini dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 2.1 Sintak Model Pembelajaran Discovery Learning

Tahap Pelaksanaan
Stimulation Pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang
(stimulasi/ menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk
pemberian tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk
rangsangan) menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai
kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran
membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah
pada persiapan pemecahan masalah.
Problem Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru
statement memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi
(pernyataan/ sebanyak mungkin agenda masalah yang relevan dengan bahan
identifikasi ajar, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam
masalah) bentuk hipotesis.

Data collection Ketika eksplorasi berlangsung guru memberi kesempatan


(Pengumpulan kepada para siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-
Data) banyaknya yang relevan. Pada tahap ini berfungsi untuk
menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya
hipotesis, dengan demikian anak didik diberi kesempatan
untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang
relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara
dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan
sebagainya.
Data Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan
Processing informasi yang telah diperoleh para siswa lalu ditafsirkan.
(Pengolahan Semua informai hasil bacaan, wawancara, observasi,
Data) semuanya diolah, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila
perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada
tingkat kepercayaan tertentu.
Verification Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat
(Pembuktian) untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang
ditetapkan dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan
hasil data processing.
Verification bertujuan agar proses belajar berjalan dengan baik
dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan suatu konsep, teori, pemahaman melalui
contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.

Generalization Tahap generalisasi adalah proses menarik sebuah kesimpulan


(menarik yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua
kesimpulan/ kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan
generalisasi) hasil verifikasi. Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan
prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi.

2.2.6 Pendekatan Saintific


A. Definisi Pendekatan Saintifik
Pendekatan saintifik adalah sebuah pendekatan pembelajaran
yang menekankan pada aktivitas siswa melalui kegiatan mengamati,
menanya, menalar, mencoba dan membuat jejaring pada kegiatan
pembelajaran di sekolah. Pendekatan saintifik merupakan
pendekatan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada
siswa secara luas untuk melakukan eksplorasi dan elaborasi materi
yang dipelajari, di samping itu memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk mengaktualisasi kemampuannya melalui
kegiatan pembelajaran yang telah dirancang oleh guru Rusman
(2011: 232).
Majid (2014: 193), mengungkapkan bahwa penerapan
pendekatan saintifik bertujuan untuk pemahaman kepada peserta
didik dalam mengenal, memahami berbagai materi menggunakan
pendekatan ilmiah, bahwa informasi bisa berasal dari mana saja,
kapan saja, tidak bergantung pada informasi searah dari guru.
Daryanto (2014:51) mengungkapkan bahwa pembelajaran
dengan pendekatan saintifik adalah proses pembelajaran yang
dirancang sedemikian rupa agar peserta didik secara aktif
mengkonstruksi konsep, hukum atau prinsip melalui tahapantahapan
mengamati, merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan
hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis
data, menarik kesimpulan dan mengkomunikasikan konsep, hukum
atau prinsip yang ditemukan.
Jadi, dapat dapat disimpulkan bahwa Pendekatan saintifik
adalah pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa agar
siswa secara aktif untuk menemukan konsep, prinsip dan hukum
pembelajaran tersebut, melalui tahapan-tahapan mengamati,
menanya, menalar, mencoba dan membuat kesimpulan.
B. Karakteristik Pembelajaran dengan Metode Saintifik

Menurut Kurniasih dan Sani (2014:33) pembelajaran dengan


metode saintifik memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Berpusat pada siswa
2. Melibatkan keterampilan proses sains dalam mengonstruksi
konsep, hukuman atau prinsip
3. Melibatkan proses-proses kognnitif yang potensial dalam
merangsang perkembangan intelek, khususnya keterampilan
berpikir tingkat tinggi siswa
4. Dapat mengembangkan karakter siswa

Menurut Daryanto (2014:53) pembelajaran dengan metode


saintifik memiliki karakteristik yaitu “Berpusat pada siswa,
melibatkan keterampilan proses sains dalam mengonstruksi konsep,
hukuman atau prinsip, melibatkan proses-proses kognitif yang
potensial dalam merangsang perkembangan intelek, khususnya
keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa, dapat mengembangkan
karakter siswa.

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa


karakteristik pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
saintifik meliputi : pembelajaran berpusat pada siswa, melibatkan
keterampilan proses sains dalam mengonstruksi konsep, hukuman
atau prinsip, melibatkan proses-proses kognitifyang potensial dalam
merangsang perkembangan intelek, khususnya keterampilan berfikir
tingkat tinggi, serta dapat mengembangkan karakter siswa.

C. Prinsip-prinsip Pembelajaran dengan Pendekatan


Saintifik

Menurut Daryanto (2014:58) beberapa pendekatan saintifik


dalam kegiatan pembelajaran adalah
“(1) pembelajaran berpusat pada siswa ;(2) pembelajaran
membentuk konsep dari siswa sendiri ; (3) pembelajaran terhindar
dari verbalisme ; (4) pembelajaran memberikan kesempatan pada
siswa untuk mengasimilasi dan mengakomodasi konsep, hukuman,
dan prinsip ; (5) pembelajaran mendorong terjadinya peningkatan
kemampuan berpikir siswa ; (6) mengajar guru ; (7) memberikan
kesempatan pada siswa untuk melatih kemampuan dan komunikasi ;
(8) adanya proses validasi terhadap konsep, hukuman, dan prinsip
yang dikonstruksi siswa dalam struktur kognitifnya.”

Menurut Kurniasih dan Sani (2014:34) beberapa prinsip


pendekatan saintifik dalam kegiatan pembelajaran adalah

“(1) pembelajaran berpusat pada siswa ; (2) pembelajaran


membentuk konsep dari siswa sendiri (3) pembelajaran terhindar
dari verbalisme ; (4) pembelajaran memberikan kesempatan pada
siswa untuk menasimilasi dan mengakomodasi konsep, hukuman,
dan prinsip ; (5) pembelajaran mendorong terjadinya peningkatan
kemampuan berpikir siswa ; (6) pembelajaran meningkatkan
motivasi belajar siswa dan motivasi mengajar guru ; (7) memberikan
kesempatan kepada siswa untuk melatih kemampuan dan
komunikasi ; (8) adanya proses validasi terhadap konsep, hukuman,
dan prinsip yang dikonstruksi siswa dalam struktur kognitifnya.”

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa


prinsip pendekatan saintifik dalam kegiatan pembelajaran meliputi :
pembelajaran berpusat pada siswa, pembelajaran membentukkonsep
dari siswa sendiri, pembelajaran terhindar dari verbalisme,
pembelajaran memberikan memberikan kesempatan pada siswa
untuk mengasimilasi dan mengakomodasi konsep, hukuman, dan
prinsip, pembelajaran meningkatkan motivasi belajar siswa dan
motivasi mengajar guru, memberikan kesempatan kepada siswa
untuk melatih kemampuan dan komunikasinya.

D. Sintaks Model Pembelajaran Pendekatan Saintifik


Langkah-langkah pembelajaran saintifik meliputi lima langkah
yaitu: Observing (mengamati), Questioning (menanya), Associating
(menalar), Experimenting (mencoba) dan Networking (membentuk
jejaring) (Kemendikbud, 2013). Urutan langkah-langkah
pembelajaran saintifik dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 1.1 Langkah – langkah Pendekatan Saintifik

Dari kelima langkah-langkah pembelajaran saintifik di atas


dapat dikembangkan dalam kegiatan pembelajaran menjadi delapan
langkah yaitu, kegiatan:

1. Mengamati (Observing)

Kegiatan belajar yang dilakukan dalam proses mengamati


adalah membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan
alat). Kompetensi yang dikembangkan adalah melatih kesungguhan,
ketelitian, mencari informasi. Kegiatan mengamati dalam
pembelajaran dilakukan dengan menempuh langkah-langkah berikut
ini:
a. Menentukan objek apa yang akan diobservasi.
b. Membuat pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang
akan diobservasi.
c. Menentukan secara jelas data-data apa yang perlu diobservasi,
baik primer maupun sekunder.
d. Menentukan dimana tempat objek yang akan diobservasi.
e. Menentukan secara jelas bagaimana obervasi akan dilakukan
untuk mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar.
f. Menentukan cara dan melakukan pencatatan atas hasil
observasi, seperti menggunakan buku catatan, kamera, tape
recorder, video perekam, dan alat-alat tulis lainnya.
2. Menanya (Questioning)
Kegiatan belajar menanya dilakukan dengan cara
mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari
apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi
tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual
sampai pertanyaan yang bersifat hipotetik).

3. Menalar (Associating)
Menalar/mengasosiasi merupakan proses berpikir yang logis
dan sistematis atas fakta-fakta empiris yang dapat diobservasi untuk
memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Kegiatan belajar yang
dilakukan dalam proses mengasosiasi/mengolah informasi adalah
sebagai berikut:

a. Mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari


hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari
kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi.
b. Pengolahan informasi yang dilakukan dari yang bersifat menambah
keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang
bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat
yang berbeda sampai kepada yang bertentangan.
4. Mencoba (Experimenting)
Mencoba atau melakukan eksperimen merupakan
keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang
alam sekitar dengan metode ilmiah dan sikap ilmiah dalam
memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.

Agar pelaksanaan percobaan dapat berjalan lancar:

a. Guru hendaknya merumuskan tujuan eksperimen yang akan


dilaksanakan murid.
b. Guru bersama murid mempersiapkan perlengkapan yang
dipergunakan.
c. Perlu memperhitungkan tempat dan waktu.
d. Guru menyediakan kertas kerja untuk pengarahan kegiatan murid.
e. Guru membicarakan masalah yang akan dijadikan eksperimen.
f. Membagi kertas kerja kepada murid.
g. Murid melaksanakan eksperimen dengan bimbingan guru.
h. Guru mengumpulkan hasil kerja murid dan mengevaluasinya, bila
dianggap perlu didiskusikan secara klasikal.
5. Mengolah (Processing)
Mengolah merupakan proses bagaimana peserta didik merespons,
mempersepsi, mengorganisasi, dan mengingat sejumlah besar informasi
yang diterimanya dari lingkungan.

6. Menyajikan (Presenting)

a. Hasil tugas yang telah dikerjakan secara kolaboratif dapat disajikan


dalam bentuk laporan tertulis,
b. Laporan tertulis dapat disajikan sebagai salah satu bahan untuk
portofolio kelompok dan atau individu,
c. Kendati pula tugas dikerjakan secara berkelompok, sebaiknya hasil
pencatatan dilakukan oleh setiap individu agar dapat dimasukkan ke
dalam file/map portofoliao peserta didik.

7. Menyimpulkan (Conclusion)
a. Kegiatan menyimpulkan merupakan kelanjutan dari kegiatan
mengolah,
b. Bisa dilakukan bersama-sama dalam satu kesatuan kelompok, atau
bisa juga dengan dikerjakan sendiri setelah mendengarka hasil
kegiatan mengolah informasi.

8. Mengomunikasikan (Communicating)

Kegiatan belajar mengomunikasikan adalah menyampaikan


hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan,
tertulis, atau media lainnya. Kompetensi yang dikembangkan dalam
tahapan mengomunikasikan adalah mengembangkan sikap jujur,
teliti, toleransi,kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan
pemdapat dengan singkat dan jelas dan mengembangkan
kemampuan berbahasa yang baik dan benar.

2.2.7 Model Inquiry Learning


Definisi Inkuiri Learning
Inkuiri berasal dari bahasa inggris inquiry yang dapat
diartikan sebagai proses bertanya dan mencari tahu jawaban terhadap
pertanyaan ilmiah yang diajukan. Pertanyaan ilmiah adalah
pertanyaan yang dapat mengarahkan pada kegiatan penyelidikan
terhadap obyek pertanyaan. Dengan kata lain, inkuiri adalah suatu
proses untuk memperoleh dan mendapatkan informasi dengan
melakukan observasi atau eksperimen untuk mencari tjawaban atau
memecahkan masalah terhadap pertanyaan atau rumusan masalah
dengan menggunakan kemampuan berpikir kritis dan logis dari
Schmidt.

Inkuiri sebenarnya merupakan prosedur yang biasa dilakukan


oleh ilmuwan dan orang dewasa yang memiliki motivasi tinggi
dalam upaya memahami fenomena alam, memperjelas pemahaman,
dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari (Hebrank, Budnitz,
Chiapetta & Adams).

Secara umum, inkuiri merupakan proses yang bervariasi dan


meliputi kegiatan-kegiatan mengobservasi, merumuskan pertanyaan
yang relevan, mengevaluasi buku, dan sumber-sumber informasi lain
secara kritis, merencanakan penyelidikan atau investigasi, mereview
apa yang telah diketahui, melaksanakan percobaan atau eksperimen
dengan menggunakan alat untuk memperoleh data, menganalisis dan
menginterpretasikan data, serta membuat prediksi dan mengko-
munikasikan hasilnya. (Depdikbud, 1997; NRC, 2000).

2.8 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Inkuiri

Setiap model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangnnya


masing-masing. Dengan adanya kelebihan dan kekurangan tersebut dapat
menjad iacuan guru untuk menyampaikan materi pembelajaran. Adapun
kelebihan dan kelemahan model pembelajaran inkuiri adalah sebagai
berikut:

Menurut Sanjaya (2006: 208) bahwa model inkuiri memiliki


beberapa kelebihan dan kekurangan, diantaranya :

a. Kelebihan

1. Model inkuiri merupakan model pembelajaran yang menekankan


kepada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor,
secara seimbang sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.
2. Model inkuiri memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai
dengan gaya belajar meraka.
3. Model inkuiri merupakan model yang dianggap sesuai dengan
perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar
adalah proses perubahan tingkah laku.
4. Keuntungan lain adalah model pembelajaran ini dapat melayani
kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata.
Artinya, siswa yang memiliki kemampuan belajar yang bagus tidak
akan terlambat oleh siswa yang lemah dalam belajar.

b. Kekurangan

1. Jika model inkuiri digunakan sebagai model pembelajaran, maka


akan sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa.
2. Model ini sulit dalam merencanakan pembelajaran oleh karena
terbentur dengan kebiasaan siswa dalam belajar.
3. Dalam mengimplementasikannya, memerlukan waktu yang panjang
sehingga sering guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang
telah ditentukan.
4. Semua kriteria keberhasilan ditentukan oleh kemampuan siswa
menguasai materi pelajaran, maka model inkuiri akan sulit
diimplemintasikan oleh setiap guru.

2.9 Karakteristik Model Pembelajaran Inkuiri Learning

Pembelajaran inkuiri mempunyai tiga karakteristik, yaitu:


1. Pembelajaran inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara
maksimal
untuk mencari dan menemukan, artinya pembelajaran ini menempatkan
siswa
sebagai subyek belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya
berperan sebagai penerima pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal,
tetapi mereka berperan menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu
sendiri
2. Seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan
menemukan sendiri jawaban dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga
diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri (self belief). Aktivitas
pembelajaran biasanya dilakukan melalui proses tanya jawab antara guru
dan
siswa. Oleh karena itu, kemampuan guru dalam menggunakan teknik
bertanya
merupakan syarat utama dalam melakukan inkuiri.
3. Tujuan dari penggunaan strategi inkuiri dalam pembelajaran adalah
mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis,
atau
mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental.
Dengan demikian, dalam inkuiri siswa tak hanya dituntut untuk menguasai
materi pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat menggunakan potensi
yang dimilikinya.

Menurut Suryanti (2010) dalam Wisudawati dan Eka (2014), karakteristik


yang harus dimiliki peserta didik dalam melaksanakan model ini adalah :

a. Secara intuitif peserta didik selalu ingin tahu

b. Di dalam percakapan, peserta didik selalu ingin berbicara dan


mengungkapkan idenya

c. Dalam mengonstruksi pengetahuan, peserta didik selalu ingin membuat


sesuatu

d. Peserta didik selalu mengekspresikan kemampuannya.

2.10 Sintaks atau Langkah-langkah Proses Pembelajaran Inquiry

Menurut Suryanti (2010), dalam Wisudawati (2014: 82) langkah-langkah


pembelajaran inkuiri adalah :

a) Orientasi
b) Merumuskan masalah
c) Menyusun hipotesis
d) Mengumpulkan data
e) Menguji hipotesis
f) Merumuskan kesimpulan

1. Orientasi

Langkah orientasi adalah langkah untuk membina suasana atau iklim


pembelajaran yang responsif. Pada langkah ini guru mengkondisikan agar
siswa siap melaksanakan proses pembelajaran. Guru merangsang dan
mengajak siswa untuk berpikir memecahkan masalah. Langkah orientasi
merupakan langkah yang sangat penting. Keberhasilan strategi ini sangat
tergantung pada kemauan siswa untuk beraktivitas menggunakan
kemampuannya dalam memecahkan masalah, tanpa kemauan dan
kemampuan maka proses pembelajaran tidak akan berjalan dengan lancar.

2. Merumuskan masalah

Merumuskan masalah merupakan langkah membawa siswa pada


suatu persoalan yang mengandung teka-teki. Persoalan yang disajikan
adalah persoalan yang menantang siswa untuk berpikir memecahkan teka-
teki itu. Dikatakan teka-teki dalam rumusan masalah yang ingin dikaji
disebabkan masalah itu tentu

ada jawabannya, dan siswa didorong untuk mencari jawaban yang tepat.
Proses

mencari jawaban itulah yang sangat penting dalam strategi inkuiri, oleh
sebab itu

melalui proses tersebut siswa akan memperoleh pengalaman yang sangat


berharga

sebagai upaya mengembangkan mental melalui proses berpikir.

3. Merumuskan hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang
sedang dikaji. Sebagai jawaban sementara, hipotesis perlu diuji
kebenarannya. Perkiraan sebagai hipotesis bukan sembarang perkiraan,
tetapi harus memiliki landasan berpikir yang kokoh, sehingga hipotesis yang
dimunculkan itu bersifat rasional dan logis. Kemampuan berpikir logis itu
sendiri akan sangat dipengaruhi oleh kedalaman wawasan yang dimiliki
serta keluasan pengalaman. Dengan demikian, setiap individu yang kurang
mempunyai wawasan akan sulit mengembangkan hipotesis yang rasional
dan logis.

4. Mengumpulkan data

Mengumpulkan data adalah aktivitas menjaring informasi yang


dibutuhkan untuk menguji hipotesis yang diajukan. Dalam pembelajaran
inkuiri, mengumpulkan data merupakan proses mental yang sangat penting
dalam pengembangan intelektual. Proses pengumpulan data bukan hanya
memerlukan motivasi yang kuat dalam belajar, akan tetapi juga
membutuhkan ketekunan dan kemampuan menggunakan potensi
berpikirnya

5. Menguji hipotesis

Menguji hipotesis adalah menentukan jawaban yang dianggap


diterima sesuai dengan data atau informasi yang diperoleh berdasarkan
pengumpulan data. Menguji hipotesis juga berarti mengembangkan
kemampuan berpikir rasional. Artinya, kebenaran jawaban yang diberikan
bukan hanya berdasarkan argumentasi, akan tetapi harus didukung oleh data
yang ditemukan dan dapat dipertanggungjawabkan.

6. Merumuskan kesimpulan

Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan


yang diperoleh berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Untuk mencapai
kesimpulan yang akurat sebaiknya guru mampu menunjukkan pada siswa
data mana yang relevan.

Kinsvatter,Wilen, dan Isler (1996), dalam Wisudawati dan Eka (2014),


merumuskan langkah-langkah pembelajaran inquiri sebagai berikut :

a) Identifikasi dan klarifikasi persoalan : persoalan dapat diajukan oleh


guru maupun peserta didik. Persoalan yang akan dikaji disesuaikan
dengan kurikulum 2013, masalah nyata atau real, dan masalah
terbaru yang menarik. Permasalahan yang diajukan harus
disesuaikan dengan karakteristik peserta didik, tidak terlalu mudah,
dan tidak terlalu sulit.
b) Membuat hipotesis : peserta didik berkolaborasi dengan guru dalam
menyusun hipotesis.
c) Mengumpulkan data untuk menjawab hipotesis yang dibuat maka
langkah berikutnya adalah mengumpulkan data. Pengumpulan data
pada materi IPA mempunyai karakterisitik yang khas untuk masing-
masing bidang kajian.
d) Menganalisis data: data dianalisis untuk dapat menjawab hipotesis
yang diajukan. Proses analisis data sebaiknya didampingi atau
dibantu oleh guru. Bantuan yang diberikan guru ditujukan untuk
membimbing memperoleh konsep IPA yang benar
e) Mengambil kesimpulan kesimpulan diambil setelah proses-proses
sebelumnya diselesaikan semua sehingga dapat merumuskan
kesimpulan yang sesuai dengan hipotesis yang diajukan.

2.11 Tipe-tipe Model Pembelajaran Inkuiri Learning

Menurut Bonnstetter (2000) dalam Wisudawati (2014: 83-84), membedakan


inkuiri menjadi lima tingkatan :
a) Praktikum (traditional hand-on): tingkatan ini merupakan inkuiri
yang paling sederhana, dimana semua perlengkapan untuk inkuiri
sudah disediakan oleh guru, mulai dari buku petunjuk, alat, dan
bahan praktikum. Guru memberikan selalu memberikan bimbingan
pada peserta didik
b) Pengalaman sains terstruktur (structured science experiences): pada
tingkatan ini, guru berperan menentukan menentukan topic dan
pertanyaan, memberikan petunjuk atau proses praktikum, alat dan
bahan praktikum, sedangkan analisis hasil penelitian dan kesimpulan
dilaksanakan oleh peserta didik
c) Inkuiri terbimbing (guided inquiry): pada tingkat ini peserta didik
diberi kesempatan untuk merumuskan prosedur praktikum,
menganalisis hasil, dan membuat kesimpulan. Sedangkan dalam
menentukan topic, pertanyaan, serta alat dan bahan praktikum guru
hanya sebagai fasilitator.
d) Inkuiri peserta didik mandiri (student directed inquiry): pada tingkat
ini peserta didik telah diberikan tanggung jawab penuh terhadap
proses belajarnya, guru hanya berperan membimbing dalam
menentukan topic dan pengembangan pertanyaan.
e) Penelitian peserta didik merupakan tipe inkuiri yang paling
kompleks dan peserta didik bertanggung jawab secara penuh

Kindsvatter,dkk dalam Wisudawati (2014: 84-85) membedakan dua macam


inkuiri berdasarkan peran guru dalam penyelidikan, yaitu :
I. Guided Inquiry (penyelidikan terarah), yaitu peran guru
dalam melaksanakan proses pembelajaran sangat besar.
II. Open inquiry (inkuiri terbuka atau bebas), yaitu guru sebagai
fasilitator dalam proses pembelajaran IPA

2.2.8 Model Kooperatif Learning


Definisi Model Cooperative Learning
Dalam bukunya, Arsa, I Putu Suka (2015) terdapat beberapa definisi
model Cooperative Learning dari para ahli antara lain sebagai berikut :
1. (Slavin, Narulita Yusron:2005:4) pembelajran stategi kooperatif
atau disebut pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai
macam metode pengajaran dimana para siswa bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama
lainnya dalam mempelajari materi pelajaran.
2. Slavin (Isjoni,2011:15) “In cooperative learning methods, students
work together in four member teams to master material intially
presented by the teacher”I, pembelajaran kooperatif adalah
merupakan suatu model pembelajaran dimana sistem belajar yang
menggunakan pendekatan belajar bekerja dalam kelompok-
kelompok kecil berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga
dapat merangsang peserta didik lebih bergairah dalam belajar.
3. Depdiknas (2003:5) pembelajaran kooperatif (cooperative learning)
merupakan strategi pembelajaran melalui kelompok kecil siswa yang
saling bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk
mencapai tujuan belajar.
4. Rusman (2013:202) pembelajaraan kooperatif (cooperative
learning) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar
dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil secara
kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang
dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.
5. Sanjaya Wina (2006:241), pembelajara kooperatif merupakan
sebuah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam
kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
telah ditetapkan.

Dari beberapa pengertian menurut para ahli dapat disimpulkan bahwa


pembelajaran kooperatif adalah cara belajar dalam bentuk kelompok-
kelompok kecil yang saling bekerjasama dan diarahkan oleh guru untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan.
2.2 Kelebihan dan KelemahanModel Cooperative Learning
Menurut Sanjaya Wina (2013: 249), dalam bukunya Arsa, I Putu
Suka (2015:63) pembelajaran kooperatif memiliki kelebihan
dibandingkan pembelajaran lainnyayakni:
1. Siswa tidak terlalu menggantungkan diri pada guru, akan tetapi
dapat menambah kepercayaan berpikir sendiri, menemukan
informasi dari berbagai sumber dan belajar dari siswa lain.
2. Siswa dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan ide dan
gagasan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkan dengan
ide-ide temannya.
3. Dapat membantu siswa untuk respek/menghormati dan menghargai
siswa yang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya serta
menerima segala perbedaaan temannya.
4. Dapat membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih
bertanggung jawab belajar.
5. Merupakan suatu strategi yang cukup ampuh untuk meningkatkan
prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial, termask
mengembangkan rasa harga diri, hubungan interpersonal yang
postifi dengan orang lain, mengembangkan keterampilan me-manage
waktu dan sikap postif terhadap sekolah.
6. Siswa dapat mengembangkan kemampuannya untuk menguji ide dan
pemahamannya sendiri dan menerima umpan balik. Siswa dapat
berpraktik memecahkan masalah tanpa takut berbuat salah, karena
keputuasa yang dibuat adalah tanggung jawab kelompoknya.
7. Siswa dapat meningkatkan kemampuan siswa menggunakan
informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata (riil).
Selama kooperatif berlangsung interaksi dapat menignkatkan
motivasi dan memberikan rancangan untuk berpikir.
Menurut Sanjaya Wina 2013: 250, dalam bukunya Arsa, I Putu
Suka (2015:64)pembelajaran kooperatif juga memiliki kelemahan
dibandingkan pembelajaran lainnya yakni :
1. Untuk memahami dan mengerti filosofi pembelajaran kooperatif
memang butuh waktu. Sangat tidak rasional kalau kita
mengharapkan secara otomatis siswa dapat mengerti dan memahami
filsafat kooperatif dalam waktu yang cepat. Untuk itu abagi siswa
yang dianggap memiliki kelebihan akan merasa terhambat oleh
siswa yang dianggap kurang memiliki kemampuan. Akibatnya,
keadaan semacam in dapat menggangu ilkim bekerja sama dalam
kelompok.
2. Ciri utama dari pembelajara kooperatif adalah bahwa siswa saling
membelajarkan. Oleh karena itu, jika tanpa peer teachingyang
efektif, maka apa yang dipelajari tidak pernah dicapai oleh siswa.
3. Penilaian yang diberikan dalam pembelajaran kooperatif didasarkan
pada hasil kerja kelompok. Namun demikian, guru perlu menyadari,
bahwa seharusnya hasil atau prestasi yang diharapkan adalah prestasi
setiap individu siswa.
4. Keberhasilan pembelajaran kooperatif dalam upaya mengembangkan
kesadaran berkelompok memerlukan periode waktu yang cukup
panjang. Dan hal ini tidak mungkin dapat tercapai hanya dengan satu
kali atau sekali-kali penerapan strategi ini.
5. Walaupun kamampuan bekerja sama merupakan kemampuan yang
sangat penting untuk siswa, akan tetapi banyak aktifitas dalam
kehidupan yang hanya didasarkan kemampuan secara individual.
Oleh karena itu, idealnya melalui pembelajaran kooperatif, selain
siswa belajar bekerja, siswa juga harus belajar bagaimana caranya
membangun kepercayaan diri
.
2.3 KarakteristikModel Cooperative Learning
Menurut Arsa, I Putu Suka (2015:61) pembelajaran kooperatif
memiliki perbedaan dengan strategi pembelajaran lainnya. Perbedaan
tersebut bisa dilihat dari proses pembelajaran yang lebih menekankan
pada proses kerja sama kelompok. Kerja sama inilah menjadi ciri khas
pembelajaran kooperatif. Maka dari itu karakteristik pembelajaran
kooperatif dapat dijelaskan:
1. Pembelajaran secara tim
Pembelajaran secara tim adalah pembelajaran dengan keterlibatan
tim. Karena keberhasilan pembelajaran sangat ditentukan oleh
keberhasilan tim, maka tim harus mampu membantu untuk mencapai
tujuan pembelajaran.
2. Manajemen Kooperatif
Manajemen disini mempunyai empat fungsi, yakni:
a. Fungsi perencanaan adalah bagaimana merencanakan
pembelajaran yang matang.
b. Fungsi pelaksanaan adalah pembelajaran kooperatif harus
dilaksanakan sesuai dengan rencana dengan ketentuan-
ketentuan yang sudah disepakati.
c. Fungsi organisasi memegang peranan bahwa perkerjaan
bersama antara setiap anggota kelompok dengan tugas dan
tanggung jawab yang sudah diatur.
d. Fungsi komtrol merupakan bagian terpenting dalam
pembelajaran kooperatif, karena semua fungsi-fungsi harus
dikontrol agara tujuan pembelajaran dapat tercapai sesuai
kretetia keberhasilan yang sudah ditentukan, maka perlulah
dikontrol melalui tes maupun non-tes.

3. Kemauan untuk bekerja

Kemauan untuk bekerja sama merupakan kunci keberhasilan


pembelajaraan kooperatif, oleh karena itu setiap anggota kelompok
tidak saja diatur tugas dan tanggung jawabnya, melainkan juga perlu
ditekankan perlunya saling membantu diantara semua anggota
kelompok.

4. Keterampilan Bekerja Sama


Keterampilan bekerja sama haruslah diterapkan dan dipratekan
melalui segala aktivitas dan kegiatan yang tercermin dalam
kemampuan bekerja sama. Siswa harus mau dan sanggup untuk
berinteraksi dan berkomunikasi dengan semua anggota kelompok
dan guru perlu membantu semua hambatan yang dialami oleh siswa,
baik hambatan dalam berinteraksi, berkomunikasi, maupun
hambatan dalam mengemukakan pendapat, sehingga dapat
memberikan kontribusi yang positif terhadap keberhhasilan
kelompok.

Menurut Haryati, Sri (2017:15)terdapat juga karakteristik


pembelajaran Cooperative Learning yakni :

a. Kelompok dibentuk dari pembelajar yang memiliki


kemampuan tinggi, sedang, dan rendah
b. Jika memungkinkan, setiap anggota kelompok berasal
dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yangberbeda.
c. Penghargaan lebih beorientasi kelompok daripadaindividual.

2.4 Prinsip PembelajaranModel Cooperative Learning


Menurut Muslimin dkk, 2000, dalam Widyantini (2008:5) Prinsip
dasar dalam pembelajaran kooperatif adalah sebagaiberikut

a. Setiap anggota kelompok (siswa) bertanggung jawab atas


segala sesuatu yang dikerjakan dalamkelompoknya.
b. Setiap anggota kelompok (siswa) harus mengetahui bahwa
semua anggota kelompok mempunyai tujuan yangsama.
c. Setiap anggota kelompok (siswa) harus membagi tugas
dan tanggung jawab yang sama di antara
anggotakelompoknya.
d. Setiap anggota kelompok (siswa) akandievaluasi.

e. Setiap anggota kelompok (siswa) berbagi kepemimpinan


dan membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama
selama proses belajarnya.
f. Setiap anggota kelompok (siswa) akan diminta untuk
mempertanggungjawabkan secara individual materi yang
ditangani dalam kelompokkooperatif.
Menurut Haryanti,Sri (2017:14-15) prinsip dasar
pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut :
1. Kesamaan tujuan. Tujuan yang sama pada pembelajar
dalam kelompok membuat kegiatan belajar
lebihkooperatif.
2. Ketergantungan positif. Beberapa pembelajar direkrut
sebagai anggota kelompok karena kegiatan hanya dapat
berhasil jika anggota dapat bekerja sama. Ketergantungan
antara individu-individu dapat dilakukan dengan berbagai
carayaitu:
a) Beri anggota kelompok peranan khusus untuk
membentuk pengamat, peningkat, penjelas atau
perekam. Dengan cara ini, tiap individu memiliki tugas
khusus dan kontribusi tiap kelompok diperlukan untuk
melengkapi keberhasilantugas.
b) Bagilah tugas menjadi sub-sub tugas yang diperlukan
untuk melengkapi keberhasilan tugas. Setiap anggota
kelompok diberi subtugas. Input diperlukan oleh
seluruh anggotakelompok.
c) Nilailah kelompok sebagai satu kesatuan yang terdiri
dari individu-individu. Pembelajar dapat bekerja
berpasangan dengan penilaian tiap pasangan dengan
penilaian tiappasangan.
d) Stuktur tujuan kooperatif dan kompetitif dapat
dikoordinasikan dengan menggunakan kelompok
belajar kooperatif, menghindari pertentangan satu
sama lain.
e) Ciptakan situasi fantasi yang menjadikan kelompok bekerja
bersama untuk membangun kekuatan imajinatif, dengan
aturan yang ditetapkan oleh situasi.

2.5 Sintak Pembelajaran Model Cooperative Learning

Langkah Indikator Tingkah Laku Guru


Langkah 1 menyampaikan tujuan dan Guru menyampaikan tujuan
memotivasi siswa pembelajaran dan
mengomunikasikan kompetensi dasar
yang akan dicapai serta
memotivasi siswa.
Langkah 2 menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada
siswa.
Langkah 3 mengorganisasikan siswa Guru menginformasikan
ke dalam kelompok- pengelompokan siswa.
kelompok belajar
Langkah 4 membimbing kelompok Guru memotivasi serta
belajar memfasilitasi kerja siswa untuk
materi pembelajaran dalam
kelompok-kelompok belajar.
Langkah 5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar
tentang materi pembelajaran yang
telah dilaksanakan.
Langkah 6 memberikan penghargaan Guru memberi penghargaan hasil
belajar individual dan kelompok.
Menurut Widyantini (2008:6) terdapat 6 langkah (sintak) dalam
pembelajaran kooperatif yaitu sebagai berikut :
2.6 Tipe dan Contoh Penerapan Pada Pembelajaran Matematika

1. Tipe STAD(Student Team AchievementDivision)


Menurut Slavin (2014:143) dalam Arsa, I Putu Suka(2015:65) model
STAD merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang
paling sederhana dan merupakan model yang paling baik untuk
pemulaan bagi guru yang baru menggunakan pendekatan kooperatif,
disamping itu metode ini sangat murah diadaptasikan dalam berbagai
mata pelajaran diantaranya matematika, sains, ilmu pengetahuan
sosial, bahasa inggris, teknik dan banyak lagi seperti disekolah
menengah sampai perguruan tinggi
Menurut Widyantini(2008:7) Langkah-
langkahpenerapanpembelajarankooperatiftipeSTADadalah
sebagaiberikut :
a. Guru menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa
sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai. Guru dapat
menggunakan berbagaipilihan dalam menyampaikan
materi pembelajaran ini kepada siswa. Misal, antara
lain dengan metode penemuan
terbimbingataumetodeceramah.Langkahinitidakharusdila
kukan dalam satu kali pertemuan, tetapi dapat lebih
darisatu.
b. Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara
individu sehingga akan diperoleh nilai awal
kemampuansiswa.
c. Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok
terdiri dari 4 – 5 anggota, dimana anggota kelompok
mempunyai kemampuan akademik yang berbeda-beda
(tinggi, sedang, dan rendah). Jika mungkin, anggota
kelompok berasal dari budaya atau suku yang berbeda serta
memperhatikan kesetaraanjender.
d. Guru memberikan tugas kepada kelompok berkaitan dengan
materi yang telah diberikan, mendiskusikannya secara
bersama-sama, saling membantu antaranggota lain, serta
membahas jawaban tugas yang diberikan guru. Tujuan
utamanya adalah memastikan bahwa setiap kelompok dapat
menguasai konsep dan materi. Bahan tugas untuk kelompok
dipersiapkan oleh guru agar kompetensi dasar yang
diharapkan dapatdicapai.
e. Gurumemberikantes/kuiskepadasetiapsiswasecaraindividu

f. Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman,


mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi
pembelajaran yang telah dipelajari.
g. Guru memberi penghargaan kepada kelompok
berdasarkan
perolehannilaipeningkatanhasilbelajarindividualdarinilaia
walke nilai kuisberikutnya.

Menurut Haryanti, Sri (2017:17) kelebihan STAD adalah sebagai


berikut :
1. Meningkatkan kecakapan individu dankelompok;
2. Meningkatkankomitmen;
3. Menghilangkan prasangka buruk terhadap temansebaya;
4. Tidak bersifatkompetitif;
5. Tidak memiliki rasa dendam.

Menurut Haryanti, Sri (2017:17) kekurangan STAD adalah


sebagai berikut :
1. Kontribusi dari siswa yang berprestasi rendah menjadi
kurang;
2. Siswa yang berprestasi tinggi akan mengarah pada
kekecewaan karena peran anggota yang pandai
lebihdominan.

Tipe Jigsaw
Menurut Arsa, I Putu Suka (2015:67) model pembelajran
kooperatif tipe jigsaw merupakan model pembelajaran
koopertif, siswa belajar kelompok kecil yang terdiri dari 4-5
orang dengan memperhatikan keheterogenan, bekerja sama
positif dengan setiap anggota bertanggung jawab untuk
memplajari masalah tertentu dari materi yang diberikan dan
menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang
lain .

Menurut Haryanti,Sri (2017:18) kelebihan tipe Jigsaw adalah:

1. Siswa diajar bagaimana bekerjasama dalamkelompok.


2. Materi yang diberikan kepada siswa dapatmerata.
3. Dalam proses belajar mengajar siswa saling
ketergantunganpositif.
4. Dapat meningkatkan kemampuan social.
5. Siswa lebih memahami materi yang diberikan karena
dipelajari lebih dalam dan sederhana dengan
anggotakelompoknya.
6. Siswa lebih menguasai materi karena mampu mengajarkan
materi tersebut kepada teman kelompokbelajarnya.
Menurut Haryanti,Sri (2017:19) kekurangan tipe Jigsaw adalah:

1. Siswa yang aktif akan lebih mendominasi diskusi, dan cenderung


mengontrol jalannya diskusi.
2. Siswa yang cerdas cenderung merasabosan.
3. Siswa yang memiliki kemampuan membaca dan berpikir rendah
akan mengalami kesulitan
4. Penugasan anggota kelompok untuk menjadi tim ahli sering tidak
sesuai antara kemampuan dengan kompetensi yang
harusdipelajari.
5. Membutuhkan waktu yang lebih lama apalagi bila penataan ruang
belum terkondiki denganbaik

Menurut Arsa, I Putu Suka (2015:67) Sintak tipe Jigsawyaitu :

1. siswa dikelompokkan dengan kurang lebih 4orang siswa.

2. tiap orang dalam tim diberi materi dan tugas yang berbeda

3. anggota dari tim yang berbeda dengan penugasan yang sama


membentuk kelompok baru (kelompo ahli) untuk
mendiskusikan sub bab mereka.

4. setelah kelompok ahli berdiskusi, tiap anggota kembali ke


kelompok asal dan menjelaskan kepada anggota kelompok
tentang sub bab atau materi yang mereka kuasai.

5. guru memberikan kuis secara individu

6. pemberian skor tim

7. pembrian penghargaan dengan skor tertinggi di setiap


kelompok

Tipe TAI ( Team Assisted Individualization)

Menurut Hasmyati, Suwardi dan Andi Asrafiani Arafah(2018:31)Model


pembelajaran kooperatif adalah bentuk pembelajaran yang menggunakan

60
pendekatan melalui kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dan
memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar.

Menurut Hasmyati, Suwardi dan Andi Asrafiani Arafah(2018:31)Sintak


TAI adalah sebagai berikut

1) Placement Test,(tes penempatan kelompok melalui pre-tes).


2) Teams,pembentukan kelompok secara heterogen (beranggotakan 4 atau 6
orang).
3) Teaching Group atau guru mengajarkan materi-materi pokok.
4) Siswa mengerjakan LKS secara individu, sementara guru membimbing
sambil mengamati siswa dalam kelompoknya.
5) Team Study,siswa berdiskusi tentang materi dan mengoreksi jawaban
dengan teman satu kelompok kemudian perwakilan kelompok
mempresentasikan hasil kerja kelompok, dan kelompok lain memberikan
tanggapan pertanyaan, serta evaluasi hasil diskusi dan penyempurnaan
jawaban siswa oleh guru.
6) Students Creative,guru menempatkan siswa secara individu untuk
menyelesaikan kuis
7) Teams Scores Scoring kelompok (pemberian skor).
8) Teams Recognition,(pengakuan kelompok).keriteria kelompok berupa:
 Kelompok Super
 Kelompok Hebat
 Kelompok Baik

Kelebihan Model Pembelajaran Kooperatif tipe TAI:

1) Siswa akan termotivasi belajar karena hasil belajar dinilai secara teliti
dan tepat.

2)Para siswa terbina kemampuan komunikasinya.

3)Perilaku yang mengganggu dan konflik antara pribadi akan terkurangi


melalui penanaman prinsip kooperatif.

4)Program ini sangat membantu siswa yang lemah dan sekaligus


meningkatkan presentasi belajar siswa secara keseluruhan.

Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI:

1)Diperlukan media pembejaran yang lengkap dan memadai.

2)Waktu yang lama untuk pembuatan perangkat pembelajaran.

61
3)Diperlukan kinerja kritis evaluatif dari guru selama siswa bekerja dalam
kelompok.

.3 Metode Pembelajaran

.3.1 Discovery Learning

A. Definisi

 Menurut Ruseffendi (2006:329), metode Discovery Learning


adalah metode mengajar yang mengatur pengajaran sedemikian
rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang belum
diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau
seluruhnya ditemukan sendiri. 
 Menurut Asmui (2009:154), metode Discovery Learning adalah
suatu metode untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif
dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yng
diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan
mudah untuk dilupakan siswa.
B. Kelebihan
1) Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan
kemampuan untuk menemukan hasil akhir. 
2) Siswa memahami benar bahan pelajarannya, sebab mengalami sendiri
proses menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama
untuk diingat. 
3) Menemukan sendiri bisa menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini
mendorongnya untuk melakukan penemuan lagi sehingga minat belajarnya
meningkat. 
4) Siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan
lebih mampu mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks. 
5) Metode ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri.

C. Kekurangan
1) Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk
belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak
atau berfikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep- konsep, yang
tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi. 

62
2) Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karna
membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan
teori untuk pemecahan masalah lainnya. 

3) Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar


berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara- cara
belajar yang lama. 
4) Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman,
sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara
keseluruhan kurang mendapat perhatian.

5) Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk


mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa.
6) Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berfikir yang akan
ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru.

2.3.2 Talking Stick

B. Pengertian talking stick


Metode pembelajaran talking stick adalah metode pembelajaran yang
dilakukan dengan bantuan tongkat, siapa yang memegang tokat wajib
menjawab pertanyaan dai guru setelah siswa mempelajari materi pokoknya.
Metode pembelajaran talking sick merupajan salah satu pembelajaran yang
dapat meningkatkan hasil belajar siswa serta untuk menuntut siswa untuk
aktif dalam kegiatan pembekajaran. Pembelaran dengan menggunakan
metode talking stick mendorong siswa unruk berani mengemukakan pendapat

C. Ciri-ciri Metode pembelajaran talking stick


Metode pembelajaran talking stick dapat disandingkan dengan
pembelajaran koopratif karna memiliki ciri ciri yang sesuai dengan
pembelajaran koopratif. Ciri ciri pembelajaran ini antara lain :
4. Siswa bekerja dalam kelommpok secara koopratif untuk menuntaskan
materi pembelajaran
5. Kelompok dibentuk dari siswa dari kemampuan tinggi sedang rendah
6. Bila mana mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya , suku,
dan jenis kelamin yang berbeda
7. Penghargaan lebih berorientasi pada kelompok ketimbang individu

63
D. Kelibihan metode pembelajaran talking stick
1. menguji kesiapan siswa
2. Melatih membaca dan memahami dengan cepat
3. Mendorong siswa untuk lebih giat belajar
4. Meningkatkan hasil belajar siswa
5. Mendorong siswa untuk mengemukakan pendapat

E. Kekurangan metode pembelajaran talking stick


6. Menimbulkan kecemasan untuk siswa yang tidak memiliki pemahaman
atau kesiapan mengenai materi
7. Membuat siswa minder karna belum terbiasa
8. Pengkoordinasian siswa lebih sulit dibandingkan dengan metode metode
lain
9. Siswa lebih menganggap pembelajaran ini sebagai permainan, sehingga
materi yang diajarkan tak tersampaikan dengan baik

F. Langkah-langkah
Menurut gunarto (2013:93) langkah langkah metode talking stick sebagai
berikut:
10. Guru membuat media tongkat untuk keperluan bermaian dalam peroses
belajar
11. Guru menyajikan materi secara klasikal
12. Guru membagikan LKS (lembar kerja siswa) yang harus dipelajari dan
dihafalkan siswa sesuai waktu yang diberikan
13. Guru dan siswa memulai peemaianan talking stick dengan memberikan
tongkat kepada salah satu siswa
14. Siswa diintruksikan untuk memberikan tongkat kepada siswa kepada
siswa lain yang terdekat searah jarum jam
15. Sambil memberikan tongkat siswa dan guru menyanyi bersama
16. Setelah bernyanyi atau guru memberikan tanda tertentu, maka siswa yang
memegang tongkat diberikan pertanyaan

64
17. Jika siswa tidak dapat menjawab guru memberikan hikuman positif, ini
berupa: pemecahan soal soal matematika, berpantun dalam konteks
matematika, ataupun hal lain yang sifatnya menghibur
18. Kegiatan memutar tongkat terus dilaksanakan hingga seluruh siswa
mendapat kesempatan untuk diberikan pertanyaan oleh guru
19. Guru dan siswa menarik kesimpulan bersama, diikuti dengan menutup
pembelejaran dengan berdoa bersama

2.3.3 Problem Solving

A. Pengertian Metode Pemecahan Masalah (Problem solving Method)

Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan metode dalam


kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah
baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok untuk
dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.

Penyelesaian masalah merupakan proses dari menerima tantangan dan usaha –


usaha untuk menyelesaikannya sampai menemukan penyelesaiannya. menurut
Syaiful Bahri Djamara (2006 : 103) bahwa : Metode problem solving (metode
pemecahan masalah) bukan hanya sekedar metode mengajar tetapi juga
merupakan suatu metode berfikir, sebab dalam problem solving dapat
menggunakan metode lain yang dimulai dari mencari data sampai kepada menarik
kesimpulan.

Menurut N.Sudirman (1987:146) metode problem solving adalah cara penyajian


bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk
dianalisis dan disintesis dalam usaha untuk mencari pemecahan atau jawabannya
oleh siswa. Sedangkan menurut Gulo (2002:111) menyatakan bahwa problem
solving adalah metode yang mengajarkan penyelesaian masalah dengan
memberikan penekanan pada terselesaikannya suatu masalah secara menalar.

Senada dengan pendapat diatas Sanjaya (2006:214) menyatakan pada metode


pemecahan masalah, materi pelajaran tidak terbatas pada buku saja tetapi juga
bersumber dari peristiwa – peristiwa tertentu sesuai dengan kurikulum yang
berlaku. Ada beberapa kriteria pemilihan bahan pelajaran untuk metode
pemecahan masalah yaitu:

10. Mengandung isu – isu yang mengandung konflik bias dari berita, rekaman
video, dll
11. Bersifat familiar dengan siswa
12. Berhubungan dengan kepentingan orang banyak

65
13. Mendukung tujuan atau kompetensi yang harus dimiliki siswa sesuai
kurikulum yang berlaku
14. Sesuai dengan minat siswa sehingga siswa merasa perlu untuk
mempelajari

Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan metode pembelajaran problem


solving adalah suatu penyajian materi pelajaran yang menghadapkan siswa pada
persoalan yang harus dipecahkan atau diselesaikan untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Dalam pembelajaran ini siswa di haruskan melakukan penyelidikan
otentik untuk mencari penyelesaian terhadap masalah yang diberikan. Mereka
menganalisis dan mengidentifikasikan masalah, mengembangkan hipotesis,
mengumpulkan dan menganalisis informasi dan membuat kesimpulan.

B. Manfaat dan Tujuan dari Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving


Method)

Manfaat dari penggunaan metode problem solving pada proses belajar mengajar
untuk mengembangkan pembelajaran yang lebih menarik. Menurut Djahiri
(1983:133) metode problem solving memberikan beberapa manfaat antara lain :

d) Mengembangkan sikap keterampilan siswa dalam memecahkan


permasalahan, serta dalam mengambil kepuutusan secara objektif dan
mandiri
e) Mengembangkan kemampuan berpikir para siswa, anggapan yang
menyatakan bahwa kemampuan berpikir akan lahir bila pengetahuan
makin bertambah
f) Melalui inkuiri atau problem solving kemampuan berpikir tadi diproses
dalam situasi atau keadaan yang bener – bener dihayati, diminati siswa
serta dalam berbagai macam ragam altenatif
g) Membina pengembangan sikap perasaan (ingin tahu lebih jauh) dan cara
berpikir objektif – mandiri, krisis – analisis baik secara individual maupun
kelompok

Berhasil tidaknya suatu pengajaran bergantung kepada suatu tujuan yang hendak
dicapai. Tujuan dari pembelajaran problem solving adalah sebagai berikut.

7) Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan kemudian


menganalisisnya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya.
8) Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam sebagai hadiah intrinsik bagi
siswa.
9) Potensi intelektual siswa meningkat.
10) Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses
melakukan penemuan.

66
C. Langkah – Langkah Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving Method)

Penyelesaian masalah menurut J.Dewey dalam bukunya W.Gulo (2002:115) dapat


dilakukan melalui enam tahap yaitu

1. Merumuskan masalah : Mengetahui dan merumuskan masalah secara jelas


2. Menelaah masalah : Menggunakan pengetahuan untuk memperinci
menganalisa masalah dari berbagai sudut
3. Merumuskan hipotesis : Berimajinasi dan menghayati ruang lingkup,
sebab – akibat dan alternative penyelesaian
4. Mengumpulkan dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian
hipotesis : Kecakapan mencari dan menyusun data menyajikan data
dalam bentuk diagram,gambar dan table
5. Pembuktian hipotesis : Kecakapan menelaah dan membahas data,
kecakapan menghubung – hubungkan dan menghitung Ketrampilan
mengambil keputusan dan kesimpulan
Menentukan pilihan penyelesaian : Kecakapan membuat altenatif
penyelesaian kecakapan dengan memperhitungkan akibat yang terjadi
pada setiap pilihan
D. Kelebihan dan Kekurangan Pemecahan Masalah (Problem Solving Method)

Kelebihan model pembelajaran problem solving antara lain sebagai berikut:

a. Mendidik siswa untuk berpikir secara sistematis.


b. Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.
c. Berpikir dan bertindak kreatif.
d. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
e. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
f. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
g. Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi dengan tepat.
h. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan
kehidupan,khususnya dunia kerja
i. Mampu mencari berbagai jalan keluar dari suatu kesulitan yang dihadapi.
j. Belajar menganalisis suatu masalah dari berbagai aspek.
k. Mendidik siswa percaya diri sendiri.

Kelemahan model pembelajaran problem solving antara lain sebagai berikut.

a. Memerlukan cukup banyak waktu.


b. Melibatkan lebih banyak orang.
c. Tidak semua materi pelajaran mengandung masalah.
d. Memerlukan perencanaan yang teratur dan matang.

67
e. Tidak efektif jika terdapat beberapa siswa yang pasif.

2.3.4 Role Playing

A. Definisi Role Playing (Bermain Peran)

Bermain peran atau role playing adalah metode pembelajaran yang di


dalamnya terdapat perilaku pura-pura (berakting) dari siswa sesuai dengan peran
yang telah ditentukan, dimana siswa menirukan situasi dari tokoh-tokoh
sedemikian rupa dengan tujuan mendramatisasikan dan mengekspresikan tingkah
laku, ungkapan, gerak-gerik seseorang dalam hubungan sosial antar manusia.

Metode bermain peran dapat menimbulkan pengalaman belajar, seperti


kemampuan kerjasama, komunikatif, dan menginterpretasikan suatu kejadian.
Melalui bermain peran, siswa mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antar
manusia dengan cara memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara
bersama-sama para siswa dapat mengeksplorasi perasaan-perasaan, sikap-sikap,
nilai-nilai, dan strategi pemecahan masalah.

Model pembelajaran bermain peran penekanannya terletak pada


keterlibatan emosional dan pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah
yang secara nyata dihadapi. Murid diperlakukan sebagai subyek pembelajaran,
secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab)
bersama teman-temannya pada situasi tertentu.

B. Kelebihan dan Kekurangan Bermain Peran 


Menurut Djamarah dan Zain (2008), metode pembelajaran bermain peran
memiliki kelebihan dan kekurangan, yaitu sebagai berikut:
a. Kelebihan Bermain Peran 

Kelebihan atau keunggulan menggunakan metode bermain peran adalah sebagai


berikut:

68
20. Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa, di
samping menjadi pengalaman yang menyenangkan juga memberi
pengetahuan yang melekat dalam memori otak.

21. Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan membuat kelas


menjadi dinamis dan antusias.

22. Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta
menumbuhkan rasa kebersamaan. 

23. Siswa dapat terjun langsung untuk memerankan sesuatu yang akan dibahas
dalam proses belajar.

b. Kekurangan Bermain Peran 

Kelemahan atau kekurangan metode bermain peran adalah sebagai berikut:

15. Role playing memerlukan waktu yang relatif panjang/banyak.

16. Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak guru
maupun siswa dan ini tidak semua guru memilikinya.

17. Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk
memerankan suatu adegan tertentu.

18. Apabila pelaksanaan role playing atau bermain peran mengalami


kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus
berarti tujuan pembelajaran tidak tercapai.

19. Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini.

2.3.5 Simulasi

A. Definisi Metode Simulasi

Simulasi dapat digunakan sebagai metode mengajar dengan asumsi tidak


semua proses pembelajaran dapat dilakukan secara langsung pada objek
yang sebenarnya. Simulasi berasal dari kata simulate yang artinya berpura-
pura atau berbuat seakan – akan. Sebagai metode mengajar, simulasi dapat
diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan situasi tiruan untuk

69
memahami tentang konsep, prinsip, atau keterampilan tertentu. Gladi resik
merupakan salah satu contoh simulasi(Majid, 2014:162).

B. Jenis – jenis

Menurut Abdul Majid(2014:163-164), metode simulasi terdiri dari


beberapa jenis, diantaranya:

Sosiodrama

Sosiodrama adalah metode pembelajaran bermain peran untuk


memecahkan masalah – masalah yang berkaitan dengan fenomena
sosial, permasalahan yang menyangkut hubungan antara manusia
seperti masalah kenakalan remaja, narkoba, gambaran keluarga
yang otriter, dan lain sebagainya. Sosiodrama digunakan untuk
memberikan pemahaman dan penghayatan akan masalah- masalah
sosial serta mengembangkan kemampuan siswa untuk
memecahkannya.

Psikodrama

Psikodrama adalah metode pembelajaran dengan bermain peran


yang bertitik tolak dari permasalahan- permasalahan psikologis.
Psikodrama biasanya digunakan untuk terapi, yaitu agar siswa
memperoleh pemahaman yang lenih baik tentang dirinya,
menemukan konsep diri, menyatakan reaksi terhadap tekanan-
tekanan yang dialaminya.

Role Playing

Role Playing atau bermain peran adalah metode pembelajaran


sebagai bagian dari simulasi yang diarahkan untuk mengkreasi
peristiwa- peristiwa actual, atau kejadian – kejadian yang
mungkin muncul pada masa mendatang. Topik yang dapat
diangkat untuk role playing misalnya memainkan peran sebagai
juru kampanye suatu partai atau gambaran keadaan yang mungkin
muncul pada abad teknologi informasi.

Peer Teaching

Peer Teaching merupakan latihan mengajar yang dilakukan oleh


siswa kepada teman – teman calon guru. Selain itu, Peer teaching
merupakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan seorang siswa
kepada siswa lainnya dan salah satu siswa itu lebih memahami
materi pembelajaran.

70
Simulasi Game

Simulasi game merupakan bermain peranan, para siswa


berkompetisi untuk mencapai tujuan tertentu melalui permainan
dengan mematuhi peraturan yang ditentukan.

C. Tujuan Metode Simulasi


Menurut Abdul Majid(2014:163), metode simulasi bertujuan untuk:

5. Melatih keterampilan tertentu, baik bersifat professional maupun


bagi kehidupan sehari- hari.
6. Memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau prinsip.
7. Melatih memecahkan masalah.
8. Meningkatkan keaktifan belajar.
9. Memberikan motivasi belajar kepada siswa.
10. Melatih siswa untuk mengadakan kerja sama dalam situasi
kelompok.
11. Menumbuhkan daya kreatif siswa,
12. Melatih siswa untuk mengembangkan sikap toleransi.

D. Langkah – langkah Simulasi


Menurut Abdul Majid(2014:164-165), langkah – langkah simulasi adalah
sebagai berikut:
1. Persiapan Simulasi
a. Menetapkan topik atau masalah serta tujuan yang hendak
dicapai oleh simulasi.
b. Guru memberikan gambaran masalah dalam situasi yang
akan disimulasikan.
c. Guru menetapkan pemain yang akan terlibat dalam
simulasi, peranan yang harus dimainkan oleh para
pemeran, serta waktu yang disediakan.
d. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
bertanya khususnya kepada siswa yang terlibat dalam
pemeranan simulasi.
2. Pelaksanaan Simulasi
a. Simulasi mulai dimainkan oleh kelompok pemeran.
b. Para siswa lainnya mengikuti dengan penuh perhatian.
c.Guru hendaknya memberikan bantuan kepada pemeran yang
mendapat
kesulitan.
d. Simulasi hendaknya dihentikan pada saat puncak. Hal ini
dimaksudkan
untuk mendorong siswa berpikir dalam menyelesaikan
masalah yang
sedang disimulasikan.

71
3. Penutup
a. Melakukan diskusi baik tentang jalannya simulasi
maupun materi cerita yang disimulasikan. Guru harus
mendorong agar siswa dapat memberikan kritik dan
tanggapan terhadap proses pelaksanaan simulasi.
b. Merumuskan kesimpulan.

E. Kelebihan Metode Simulasi


Terdapat beberapa kelebihan dengan menggunakan simulasi sebagai
metode mengajar menurut Abdul Majid(2014:165) diantaranya adalah:
a. Simulasi dapat dijadikan sebagai bekal bagi siswa dalam
menghadapi situasi yang sebenarnya kelak, baik dalam
kehidupan keluarga, masyarakat, maupun menghadapi
dunia kerja.
b. Simulasi dapat mengembangkan kreativitas siswa, karena
melalui simulasi siswa diberik kesempatan untuk
memainkan peranan sesuai dengan topik yang
disimulasikan.
c. Simulasi dapat memupuk keberanian dan percaya diri
siswa.
Memperkaya pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang
diperlukan dalam
menghadapi berbagai situasi sosial yang problematis.
d. Simulasi dapat meningkatkan gairah siswa dalam proses
pembelajaran.

F. Kelemahan Metode Simulasi


Disamping memiliki kelebihan, simulasi juga mempunyai kelemahan
menurut Abdul Majid (2014:165), diantaranya:
8. Pengalaman yang diperoleh melalui simulasi tidak selalu tepat
dan sesuai dengan kenyataan dilapangan.
9. Pengelolaan yang kurang baik, sering simulasi dijadikan sebagai
alat hiburan sehingga tujuan pembelajaran menjadi terabaikan.
10. Faktor psikologis seperti rasa malu dan takut sering
memengaruhi siswa dalam melakukan simulasi.

2.3.6 Ekspositori

Metode Ekspositori

Menurut Hamzah Ali dan Muhlisrarini (2014:272) metode ekspositori pada


mulanya dikenal sebagai metode pembelajaran yang berpusat pada guru, siswa

72
tidak banyak aktif dalam interaksi antara guru dan murid. Kemudian ekpositori
berkembang menjadi suatu cara pembelajaran di mana dominasi guru berkurang,
siswa menjadi aktif sehingga pusat pembelajaran ada pada siswa. Metode
ekpositori adalah metode terpaduu terdiri dari metode informasi, metode
demonstrasi, metode tanya jawab, metode latihan dan pada akhir pembelajaran
diberikan tugas.

Menurut Hamzah Ali dan Muhlisrarini (2014:273) kelebihan metode


ekspositori adalah sebagai berikut:

11) Tepat untuk pemahaman konsep. Opersional, prosedural, fakta,


keterampilan
12) Siswa aktif dan senang belajar matematika ketika latihan atau
berkelompok mengerjakan soal yang diberikan guru atau soal dari buku
paket.
13) Guru termotivasi untuk aktif membimbing dalam latihan berkelompok.
14) Tepat untuk pembelajaran bermakna.
Menurut Hamzah Ali dan Muhlisrarini (2014:273) kekurangan metode
ekspositori adalah sebagai berikut :

24. Kecenderungan guru yang berperan dalam proses pembelajaran.


25. Siswa segan mengemukakan pendapat atau bertanya ketika selesai
penyajian.
26. Siswa malu maju kemuka ketika diminta guru untuk menyelesaikan soal di
papan tulis.

2.3.7 Drill

A. Pengertian Metode Drill


Roestiyah (2008:125) “metode drill ialah suatu teknik yang dapat
diartikan sebagai suatu cara mengajar di mana siswa melaksanakan kegiatan-
kegiatan latihan, agar siswa memiliki ketangkasan atau keterampilan yang
lebih tinggi dari apa yang meraka pelajari.” Latihan yang praktis, mudah
dilakukan serta teratur melaksanakannya membina anak dalam meningkatkan
penugasan keterampilan itu, bahkan siswa dapat memiliki ketangkasan itu
dengan sempurna. Hal ini dapat menunjang siswa berprestasi dalam bidang
tertentu. Bentuk tagihan dari metode drill adalah berupa tes mencongkak,
kuis atau pertanyaan singkat.

73
Pengertian lain dapat disebutkan bahwa metode drill adalah cara
mengajar dengan memberikan latihan secara berulang-ulang mengenai apa
yang telah diajarkan guru sehingga siswa memperoleh pengetahuan dan
keterampilan tertentu (Suwarna, 2005: 111).
Metode latihan pada umumnya digunakan untuk memperoleh suatu
ketangkasan atau keterampilan dari apa yang telah dipelajari. Drill secara
denotative merupakan tindakan untuk meningkatkan keterampilan dan
kemahiran. Sebagai sebuah metode, drill adalah cara membelajarkan siswa
untuk mengembangkan keterampilan serta dapat mengembangkan sikap dan
kebiasaan. Latihan atau berlatih merupakan proses belajar dan membiasakan
diri agar mampu mengembangkan sesuatu (Majid, 2014: 214).
Agar pelaksanaan drill atau latihan dapat berjalan lancar, menurut
Suwarna (2005:111) maka perlu diperhatikan hal-hal berikut :
27. Perlu adanya penjelasan tentang apa yang menjadi tujuan, sehingga
setelah selesai latihan siswa dapat mengerjakan sesuatu yang diharapkan
guru.
28. Perlu adanya penjelasan tentang apa yang harus dikerjakan.
29. Lama latihan perlu disesuaikan dengan kemampuan siswa.
30. Perlu adanya kegiatan selingan agar siswa tidak merasa bosan.
31. Jika ada kesalahan segera diadakan perbaikan.
Dalam penggunaan metode drill menurut (Roestiyah; 2008: 126) agar
bisa berhasil guna dan berdaya guna perlu ditanamkan pengertian bagi
instruktur maupun siswa, yaitu:
a. Tentang sifat-sifat suatu latihan, bahwa setiap latihan harus selalu
berbeda dengan latihan yang sebelumnya. Hal itu disebabkan karena
situasi dan pengaruh latihan yang lalu berbeda juga. Kemudian perlu
diperhatikan juga adanya perubahan kondisi atau situasi yang menuntut
daya tanggap atau respon yang berbeda pula. Bila situasi latihan berubah,
sehingga tantangan yang dihadapi berlainan dengan situasi sebelumnya,
maka memerlukan tanggapan atau sambutan yang berbeda pula.
b. Guru perlu memperhatikan dan memahami nilai dari latihan itu sendiri
serta kaitannya dengan keseluruhan pelajaran di sekolah. Dalam

74
persiapan sebelum memasuki latihan guru harus memberikan pengertian
dan perumusan tujuan yang jelas bagi siswa, sehingga mereka mengerti
dan memahami apa tujuan latihan dan bagaimana kaitannya dengan
pelajaran-pelajaran lain yang diterimanya.

B. Tujuan Penggunaan Metode Drill


Menurut Roestiyah (2008:125) metode drill digunakan dengan tujuan
agar siswa :
6. Memiliki keterampilan motoris atau gerak, seperti menghafalkan kata-
kata, menulis, mempergunakan alat atau membuat sesuatu benda,
melaksanakan gerak dalam olah raga.
7. Mengembangkan kecakapan intelek, seperti mengalikan, membagi,
menjumlahkan, mengurangi, menarik akar dalam hitungan mencongak,
dan mengenal benda atau bentuk dalam pelajaran matematika, ilmu pasti,
ilmu kimia, tanda baca dan sebagainya.
8. Memiliki kemampuan menghubungkan antara sesuatu keadaan dengan
hal lain, seperti hubungan sebab akibat banyak hujan-banjir, antara tanda
huruf dan bunyi –ng – ny dan sebagainya, penggunaan lambang atau
simbol di dalam peta, dan lain-lain.

C. Keunggulan dan Kelemahan Metodee Drill


Menurut Usman (2002 : 57) metode ini memiliki beberapa keunggulan
dan kelemahan, antara lain:
Keunggulan :
1. Siswa akan memperoleh ketangkasan dan kemahiran dalam
melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dipelajarinya.
2. Dapat menimbulkan rasa percaya diri, bahwa para siswa yang
berhasil dalam belajarnya telah memiliki suatu keterampilan khusus
yang berguna kelak dikemudian hari.
3. Guru lebih mudah mengontrol dan dapat membedakan mana siswa
yang disiplin dalam belajarnya dan mana yang kurang

75
memperhatikan tindakan dalam perbuatan siswa disaat
berlangsungnya pengajaran.
Kelemahan :
1. Dapat menghambat inisiatif siswa, di mana inisiatif dan minat siswa
yang berbeda dengan petunujuk guru dianggap suatu penyimpangan
dan pelanggaran dalam pengajaran yang diberikannya.
2. Menimbulkan penyesuaian secara statis kepada lingkungan. Dalam
kondisi belajar ini pertimbangan inisiatif siswa selalu disorot dan
tidak diberikan keleluasaan. Siswa menyelesaikan tugas secara statis
sesuai dengan apa yang diinginkan oleh guru.
3. Membentuk kebiasaan yang kaku, artinya seolah-olah siswa
melakukan sesuatu secara mekanis, dan dalam memebrikan stimulus
siswa dibiasakan bertindak secara otomatis.
4. Dapat menimbulkan Verbalisme, terutama pengajaran yang bersifat
menghafal di mana siswa dilatih untuk dapat menguasai bahan
pelajaran secara hafalan dan secara otomatis mengingatnya bila ada
pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan hafalan tersebut
tanpa suau proses berpikir secara logis.

4. Prosedur Penerapan Metode Drill


Langkah – langkah pembelajaran menggunakan metode drill menurut
(Roestiyah, 2008:125) adalah :
1. Apersepsi, yaitu memberikan pendahuluan dengan mengingat
konsep-konsep mengenai pelajaran;
2. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya apabila ada
kesulitan;
3. Menyampaikan materi pokok bahasan kepada semua siswa, dengan
menerangkan kepada siswa dari hal –hal yang sederhana ke hal yang
lebih kompleks;
4. Memberikan contoh soal dari hal-hal yang sederhana ke hal yang lebih
kompleks;

76
5. Menyuruh siswa mengerjakan di depan kelas, kemudian membahasnya
secara bersama-sama sehingga apabila ada siswa yang masih mengalami
kesulitan dapat langsung menanyakan;
6. Memberikan tugas rumah sebagai latihan, soalnya diambil dari buku
pelajaran yang digunakan;
7. Pertemuan berikutnya tugas tersebut diperiksa bersama-sama, sehingga
siswa yang tadinya mengalami kesulitan dapat mengerti;
Setelah materi selesai, guru menyampaikan kepada siswa bahwa akan
diadakan tes.

2.3.8 Brainstorming

Metode Brainstorming

1) Pengertian Metode Brainstorming


Brainstorming merupakan bentuk pengembangan metode diskusi. Diskusi
adalah membahas suatu masalah oleh sejumlah anggota kelompok, setiap
anggota kelompok bebas untuk menyumbangkan ide, saran, pendapat,
informasi yang dimiliki, dan gagasan.Setiap anggota bebas untuk menanggapi,
didukung, atau bahkan tidak sepihak.Sedangkan dalam metode Brainstorming
semua ide tau gagasan ditampung oleh ketua kelompok dan hasilnya
kemudian dijadikan peta gagasan.Hasil dari peta gagasan menjadi kesepakatan
bersama dalam kelompok (Afandi,dkk,2013:103)

Menurut Danajaya (2010:79), brainstorming adalah dirancang untuk


mendorong kelompok mengekspresikan berbagai macam ide dan menunda
penilaian-penilaian kritis. Setiap orang menawarkan ide yang dicatat,
kemudian dikombinasikan dengan berbagai macam ide yang lainnya. Pada
akhirnya kelompok tersebut setuju dengan hasil akhirnya.

2) Kelebihan dan Kekurangan Brainstorming


Menurut Roestiyah (2008: 75) keunggulan/kelebihan metode
brainstorming, yaitu :
1) Anak-anak aktif berfikir untuk menyatakan pendapat.
2) Melatih siswa berfikir dengan cepat dan tersusun logis.

77
3) Merangsang siswa untuk selalu siap berpendapat yang berhubungan
dengan masalah yang diberikan guru.
4) Meningkatkan partisipasi siswa dalam pembelajaran.
5) Siswa yang kurang aktif mendapat bantuan dari temannya yang pandai
atau dari guru.
6) Terjadi persaingan yang sehat.
7) Siswa merasa bebas dan gembira.
8) Suasana demokrasi dan disiplin dapat ditumbuhkan.

Selain itu metode Brainstorming memiliki kelemahan yang perlu diatasi


ialah:
1) Guru kurang memberi waktu yang cukup kepada siswa untuk berfikir
dengan baik.
2) Siswa yang kurang selalu ketinggalan.
3) Kadang-kadang pembicaraan hanya dimonopoli oleh siswa yang pandai
saja.
4) Guru hanya menampung pendapat tidak merumuskan kesimpulannya.
5) Tidak menjamin pemecahan masalah.
6) Masalah dapat berkembang kearah yang tidak diharapkan.

2.3.9 Kerja Kelompok

(sumber : Abdul Majid hal 211-212)

Metode kerja kelompok atau bekerja dalam situasi kelompok mengandung


pengertian bahwa siswa dalam satu kelas dipandang sebagai kelompok satu
kesatuan tersendiri ataupun dibagi atas kelompok-kelompok kecil (sub-sub
kelompok). Kelompok bisa dibuat berdasarkan :

1. Perbedaan individual dalam kemampuan belajar, terutama bila


kelas itu sifatnya heterogen dalam belajar.
2. Perbedaan minat belajar, dibuat kelompok yang terdiri atas siswa
yang mempunyai minat yang sama
3. Pengelompokan berdasarkan jenis pekerjaan yang akan kita
berikan.

78
4. Pengelompokan atas dasar wilayah tempat tinggal siswa yang
tinggal dalam satu wilayah yang dikelompokan dalam satu
kelompok sehingga memudahkan koordinasi kerja.
5. Pengelompokan secara random atau diundi, tidak melihat faktor-
faktor lain.
6. Pengelompokkan atas dasar jenis kelamin, ada kelompok pria dan
kelompok wanita.

Sebaiknya dalam satu kelompok bersifat heterogen, baik dari segi


kemampuan belajar maupun jenis kelamin. Hal ini dimaksud agar kelompok-
kelompok tersebut tidak berat sebelah.

Untuk mencapai hasil yang baik, faktor yang harus diperhatikan dalam kerja
kelompok adalah:

1. Perlu adanya dorongan yang kuat untuk bekerja pada setiap


anggota.
2. Pemecahan masalah dapat dipandang sebagai satu unit yang
dipercahkan bersama, atau maslah-maslah dibagi-bagi untuk
dikerjakan masing-masing secara individual. Hal ini bergantung
kempada kompleks tidaknya masalah yang akan dipecahkan.
3. Persaingan yang sehat antar kelompok biasanya mendorong anak
untuk belajar.
4. Situasi yang menyenangkan antar kelompok anggota banyak
menetukan berhasil tidaknya kerja kelompok.

(sumber : Ibid hal. 303)

Bentuk-bentuk kerja kelompok :

a. Kelompok jangka pendek

Disebut juga rapat kilat, lebih kurang 15 menit.

b. Kelompok jangka panjang

Yaitu kerja kelompok yang memakan waktu lama, sesuai tugas-tugas


yang akan dibahas dalam maslah yang akan diselesaikan.

c. Kerja kelompok campuran

ini dapat dilaksanakan dengan membagi peserta didik dalam


kelomppok sesuai kesanggupan.

(sumber : Hasibuan, Moedjino. Proses Belajar Mengajar. Hal. 24)

79
Aspek-aspek kelompok yang pelu diperhatikan dalam kerja kelompok
ialah:

A. Tujuan
Tujuan harus jelas bagi setiap anggota kelompok agar diperoleh hasil
kerja yang baik.

B. Interaksi
Dibutuhkan komunikasi yang efektif seperti bertukar pikiran satu
sama lain, bertukar pedapat.

C.Kepemimpinan

Dibutuhkan kepemimpinan baik yang akan mempengaruhi terhadap


suasana kerja kelompok.

(sumber : Ibid hal. 48)

Kelebihan :

1. Meningkatkan harga diri tiap individu.


2. Penerimaan terhadap perbedaan individu yang lebih besar sehingga
konflik antar pribadi berkurang.
3. Sikap apatis berkurang.
4. Pemahaman yang lebih mendalam dan retensi atau penyimpanan
lebih lama.
5. Meningkatkan kebaikan budi kepekaan dan toleransi.
6. Dapat mencegah keagresifan dalam sistem kompetensi dan
keterasingan dalam sistem individu tanpa mengorbankan aspek
kognitif.
7. Meningkatkan kemajuan belajar (pencapaian akademik).
8. Meningkatkan kehadiran peserta dan sikap yang lebih positif.
9. Menambah motivasi dan percaya diri.
10. Menambahkan rasa senang berada ditempat belajar serta
menyenangi teman-teman sekelasnya.
11. Mudah diterapkan.

Kekurangan :

1. Guru khawatir bahwaakan terjadi kekacauan dikelas karena banyak


siswa yang tidak senang apabila disuruh kerjasama dengan orang
lain.

80
2. Perasaan was-was pada anggota kelompok akan hilangnya
karakteristik atau keunikan pribadi mereka karena harus
menyesuaikan diri dengan kelompok.
3. Banyak siswa takut bahwa pekerjaan tidak akan terbagi rata atau
secara adil bahwa orang harus mengerjakan seluruh pekerjaan
tersebut.
2.4 Hasil Observasi

2.4.1 Waktu dan Tempat Observasi


Observasi dilakukan di SMA Ferdy Ferry Kota Jambi. Observasi ini
dilaksanakan pada tanggal 28 September 2019 mulai pukul 10.45 – 12.05
WIB atau 2 jam pelajaran.

2.4.2 Siswa dan Guru yang di Observasi


Adapun siswa yang diobservasi adalah siswa-siswi kelas X IPA 1
Semester Ganjil 2019/2020 yang berjumlah 23 siswa. Sedangkan guru yang
diamati adalah Ibu Vita Ria Syafitri, S.Pd selaku guru yang mengajar mata
pelajaran Matematika pada kelas tersebut.

2.4.3 Hasil Observasi

2.4.3.1 Kegiatan Pembelajaran

a. Kegiatan Awal
Membuka pelajaran
Guru memasuki kelas dan menyapa siswa dengan salam.
Kemudian peserta didik memberikan salam kepada guru dan membaca
do’a sebelum memulai proses pembelajaran dan kemudian mengabsen
kehadiran tiap siswanya.
Mempersiapkan perlengkapan belajar mengajar
Guru bersama peserta didik mempersiapkan buku-buku pelajaran
serta perlengkapan belajar lainnya.
Apersepsi (± 15 menit)
Guru menyampaikan asal- usul penemu bilangan irrasional , dan
pengingatan rumus phytagoras dengan bertanya kepada siswa. Guru
meminta salah satu siswa untuk membacakan power point yang

81
bertuliskan √ 2=1,41421 .Kemudian guru bertanya pada siswa lain contoh
selain √ 2bersama-sama dan siswa menjawab ya atau tidak bilangan
tersebut bilangan irrasional. Siswa menyimpulkan apa itu bilangan
irrasional. Selanjutnya guru memotivasi siswa dengan menjelaskan untuk
apa mereka mempelajari pertidaksamaan irrasional tersebut agar siswa
mampu menjawab soal SBMPTN dan lulus perguruan tinggi.
b. Kegiatan Inti
Guru menjelaskan materi pelajaran dan memberikan 2 contoh soal yaitu :
Tentukanlah penyelesaian dari pertidaksamaan berikut :
1. 3x + 2 ≥ 3
x−4
2. ≥0
3 x −6
Siswa diberi waktu untuk mencari jawaban soal tersebut dengan diberi
motivasi bagi siswa yang dapat menyelesaikannya diberi nilai tambahan.
Guru menunjuk salah satu siswa untuk menuliskan jawabannya di papan
tulis dan membantunya. Selanjutnya guru membuka slide selanjutnya pada
power point yang berisikan soal “Bagaimanakah cara menentukan
penyelesaian – penyelesaian pertidaksamaan irrasional linear” :
a. √ 2 x−7 ≤3
b. √ x+ 6 ≤2
c. √ 2 x−3≥ √ x+ 1
2 x−2
d.
√ x−3
<2

2 x−1
e.
√ x +3
≥2

Langkah – langkah menentukan penyelesaian pertidaksamaan tersebut :


1. Menentukan syarat numerus (fungsi didalam tanda akar harus selalu
bernilai positif)
2. Kuadratkan kedua ruas dan selesaikan sesuai bentuk pertidaksamaan
yang terjadi.
3. Penyelesaian merupakan irisan dari hasil langkah 1 dan langkah 2.
Selanjutnya guru mencontohkan dan menjelaskan langkah - langkahnya
penyelesaian dari soal no a dan b di papan tulis. Siswa menyimak

82
penjelasan dari guru. Selanjutnya siswa di berikan perintah untuk mencatat
apa yang ada di power point dan contoh penyelesaian dari guru yang
berada di papan tulis. Selanjutnya guru menginstruksikan siswa untuk
melanjutkan penyelesaian soal c hingga e sebagai latihan, guru
mengelompokkan langsung siswa untuk barisan ganjil menghadap
kebelakang yang berarti 1 kelompok terdiri dari 4 siswa untuk
mengerjakan latihan tersebut. Guru berkeliling menanyakan ke siswa jika
ada yang kurang paham bisa ditanyakan ke guru langsung. Siswa
mengerjakan latihan bersama – sama.
c. Kegiatan Akhir (penutup)
Pada kegiatan akhir guru bersama siswa menyimpulkan materi
pembelajaran. Diakhir pelajaran guru memberikan tugas pada LKS hal 33
uji kompetensi nomor 1- 5 sebagai tugas dirumah. Kemudian menutup
pertemuan di kelas dengan mengucapkan salam dan meninggalkan
ruangan kelas tersebut.

2.4.3.2 Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru adalah metode


ekspositori dan Kelompok. Dimana guru memberikan tanya jawab saat
menjelaskan materi, untuk metode kelompok digunakan guru pada saat siswa
diberikan latihan.

2.4.3.3 Media Pembelajaran

Media yang digunakan adalah power point, media cetak, yaitu


buku paket Matematika untuk kelas X SMA dan MA . Sedangkan Alat
pembelajaran yang digunakan yaitu spidol, papan tulis, Perangkat
prensentasi(infokus), laptop .

2.4.3.4 Waktu Pembelajaran

Waktu yang digunakan adalah 2 jam pelajaran (2 x 40 menit).

2.4.3.5 Pengelolaan Kelas


a) Pengaturan Ruangan Kelas

83
Adapun tata letak/denah ruang kelas pada saat jam pelajaran yang
berlangsung adalah terlihat seperti pada gambar berikut:

Gambar 1.1 Suasana Kelas X IPA 1 SMA Ferdy Ferry

b) Pengelompokan Siswa
Pada kelas ini, pengelompokan hanya dilakukan per-meja. Dimana
satu meja ditempati oleh dua orang siswa atau siswi. Siswa perempuan
lebih banyak daripada siswa laki-laki. Siswa laki-laki lebih banyak
mengisi bangku bagian belakang, sedangkan siswa perempuan mengisi
bangku di bagian depan.
c) Suasana Proses Belajar
Suasana pada awal pembelajaran sangat tenang, dan siswa dapat
mengikuti pembelajaran dengan baik sehingga guru menjelaskan materi
pembelajaran dengan mudah dalam pengelolaan kelas tersebut. Setelah
setengah pelajaran berlangsung kondisi kelas mulai mencair, guru semakin
santai dalam mengajar sehingga suasana kelas menjadi sedikit ribut.

BAB III

84
PEMBAHASAN

3.1 Hasil pembahasan

Dari kegiatan observasi yang dilakukan pengamat, guru yang mengajar di


kelas X IPA I tersebut menggunakan teori belajar kognitivisme karena saat proses
pembelajaran berlangsung guru lebih menekankan pada proses belajar siswa
dibandingkan hasil belajar siswa dimana guru tersebut lebih ingin agar siswa nya
lebih paham akan suatu proses sehingga siswa lebih paham akan konsep yang
diajarkan guru tersebut sehingga guru tidak terlalu menuntut siswa untuk
mencapai hasil yang sempurna, tetapi lebih paham akan proses pengerjaan materi
tersebut.
Dan dari pengamatan yang dilakukan dengan membandingkan dengan teori
yg didapat sebelumnya guru tersebut menggunakan pendekatan saintifik dimana
guru tersebut melakukan tahapan-tahapan yang ada pada pendekatan saintifik
yaitu ada langkah 5m mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan
menyimpulkan. Untuk langkah mengamati siswa diminta mengamati penjelasan
guru tentang contoh soal, untuk langkah menanya siswa diminta bertanya apabila
ada yang kurang paham dengan penjelasan guru tersebut saat mengerjakan contoh
soal tadi, untuk langkah mencoba siswa diminta meneruskan untuk mengerjakan
contoh soal berikutnya, untuk langkah menalar siswa mengerjakan soal berikutnya
dengan mengikuti langkah langkah penyelesaian guru tersebut terhadap contoh
sebelumnya, untuk langkah menyimpulkan siswa diminta untuk menuliskan
jawabannya di papan tulis serta menjelaskan langkah-langkah yang telah ia buat
kepada temannya.
Dan untuk metode yang digunakan guru tersebut menurut pengamatan
pengamat dengan membandingkan dengan teori yang didapat sebelumnya guru
tersebut menggunakan metode ekspositore dimana dalam mengajar guru tersebut
juga turut andil dalam menjelaskan contoh soal, melakukan Tanya jawab dengan
siswa nya dan tetap menuntut siswa untuk tetap aktif berpikir dari sini lah
pengamat menyimpulkan bahwa guru tersebut menggunakan metode ekspositori

BAB IV
PENUTUP

85
4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan hasil pengamatan yang
dilakukan terhadap guru yang mengajar di kelas X IPA I tentang materi
pertidaksamaan irasional SMA Ferdy Fery tersebut menerapkan teori belajar
kognitifisme, menggunakan pendekatan saintifik dan untuk metode pembelajaran
guru tersebut menggunakan metode ekspositori

Nah menurut tanggapan pengamat guru yang mengajar dikelas tersebut


sudah melaksanakan metode belajar mengajar dengan baik, tapi alngkah baiknya
guru tersebut dalam mengajar lebih baik menggunakan metode pembelajaran
terkini mungkin seperti metode pembelajaran discovery karena dengan
menggunakan discovery untuk mengajar anak SMA kelas X sudah sangat cocok
dimana Siswa akan lebih terbiasa untuk menemukan sendiri konsep yang akan
dipelajari sehingga pemahaman siswa tentang konsep tersebut akan lebih baik dan
akan lebih kuat tertanam pada diri siswa.

86

Anda mungkin juga menyukai