Anda di halaman 1dari 75

PANDUAN PRAKTIKUM

FEATURE NEWS

Laboratorium Jurnalistik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Halu Oleo
2017
TIM PENYUSUN
MODUL PRAKTIKUM
MATA KULIAH FEATURE NEWS

Penanggung Jawab : Dr. La Tarifu, S.Pd, M.Si


(Dekan Fisip Universitas Halu Oleo)
Koordinator Bidang Akademik : DR. Muh. Zein Abdullah, S. IP, M.Si.
(Wkl Dekan I Fisip Universitas Halu Oleo)
Koordinator Bidang Keuangan : Prof. DR. Eka Suaib, M.Si
(Wkl Dekan II Fisip Universitas Halu Oleo)
Koordinator Tim : Marsia Sumule,

Tim Penyusun
Ketua : Ikrima Nurfikria
Sekretaris :J

Diterbitkan :
Laboratorium Jurusan Jurnalistik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Halu Oleo
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-NYA, kami
mampu merampungkan penyusunan modul praktikum mata kuliah Feature
News ini. Modul ini merupakan panduan bagi para mahasiswa dalam
melaksanakan praktikum di Laboratorium Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo.

Modul praktikum mata kuliah Feature News ini meliputi petunjuk praktis
tentang xxx, xxx, xxx

Tidak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada pengelola


laboratorium jurnalistik, para dosen pengampu mata kuliah praktikum dan
para asisten praktikum yang terlibat aktif dalam penyusunan buku modul
praktikum mata kuliah Fotografi ini.

Kendari, Maret 2017


Dekan
DAFTAR ISI

Bab 1. Apa Itu Feature News?


 Definisi
 Karakteristik
 Jenis-Jenis
 Praktikum 1

Bab 2. Teknik Penulisan Feature News


 Feature = Berita yang berkisah
 Pelajari Diksi
 Tak Harus Piramida Terbalik
 Verifikasi Demi Akurasi
 Sumber Ide Tulisan
 Praktikum 2

Bab 3. Ayo Menulis


 Judul
o Praktikum 3
 Lead
o Praktikum 4
 Batang Tubuh
o Praktikum 5
 Penutup
o Praktikum 6
BAB 1. APA ITU FEATURE NEWS?

Definisi
Feature (baca: ficer) pada dasarnya merupakan salah satu cara atau
gaya penulisan sebuah berita atau karya jurnalistik. Feature News atau berita
feature, biasa disebut juga tulisan kreatif atau tulisan khas, utamanya
dirancang untuk memberikan informasi seraya memberikan hiburan kepada
pembaca, tentang suatu peristiwa, situasi atau aspek kehidupan seseorang.
Daniel R Williamson, seorang penulis professional sekaligus pengarang buku
berjudul “Features Writing for Newspaper”, mendefinisikan berita feature
sebagai tulisan yang kreatif, subyektif, menghibur dan informatif.
Lain lagi dengan Slamet Soeseno dalam bukunya xxx(1980) yang
mengistilahkan berita feature sebagai anggur obat penghilang lesu darah
yang diminum dengan menggunakan gelas khusus. Begitu juga Wolsely dan
Campbell yang memberikan definisi unik untuk sebuah berita feature.
Menurut mereka berita feature merupakan racikan salad atau pencuci mulut
dalam rangkaian hidangan jurnalistik. Berita feature merupakan santapan
ekstra agar makanan yang berat-berat terasa lebih nyaman dan ringan untuk
di konsumsi. Hal ini bisa kita buktikan saat membaca majalah berita Tempo.
Bicara soal penulisan feature, Tempo merupakan salah satu dari sedikit
media di Indonesia yang sangat piawai mengolah berita dengan gaya feature.
Dengan kemampuan mumpuni dari para wartawan didalamnya, Tempo
melalui gaya tulisannya yang bercerita, mampu mengolah berita-berita
dengan topik “berat” menjadi terasa ringan dan enak untuk dibaca. Tidak bikin
dahi mengerut dan lebih mudah dipahami. Slogan yang melekat pada majalah
berita mingguan ini, yakni enak dibaca dan perlu, benar-benar dibuktikan
dalam setiap karya jurnalistik yang mereka hasilkan.
Ada suatu peristiwa atau cerita yang terkadang sulit untuk disampaikan
dengan menggunakan gaya lempang atau berita langsung (straight news).
Misalnya saja cerita yang sarat akan unsur kemanusiaan atau cerita tentang
perjalanan. Dalam kondisi itulah, gaya penulisan feature menjadi solusi paling
tepat dan terbaik. Banyak juga yang menganggap, feature bisa menjadi cara
untuk membongkar kekakuan atau ketidakluwesan sebuah berita. Seringkali,
keberadaan kaidah/aturan baku dalam jurnalistik, membuat wartawan merasa
terbebani saat melakukan proses penulisan berita. Hal inilah yang kemudian
acap kali membuat hasil tulisan menjadi terkesan kaku, terlalu formal dan
tidak enak dibaca. Dalam konteks tersebut, gaya feature hadir untuk
mendandani dan memoles tulisan yang kaku tersebut. Layaknya wajah
manusia, meski sudah memiliki mata, hidung, mulut, alis, dan lain-lain, namun
kerap dirasa kurang indah jika belum di dandani. Maka usaha berikutnya
adalah merias wajah tersebut sebaik mungkin agar terlihat cantik, anggun,
dan sedap dipandang. Begitu juga dengan tulisan. Memiliki kelengkapan
unsur berita, sturuktur yang lengkap, alur yang jelas, dan lain sebagainya,
belum cukup untuk memastikan tulisan tersebut menarik dan enak dibaca.

Karakteristik Feature News


Setidaknya ada lima karakteristik yang menjadi keistimewaan sebuah berita
feature dibanding gaya penulisan berita lainnya:
 Kreatif. Proses pembuatan berita feature membutuhkan pemikiran
kreatif dari penulisnya. Penulisan berita feature, memungkinkan
wartawan “mencipta” sebuah cerita (dengan teknik berkisah), namun
bukan cerita fiktif, melainkan sebuah kisah nyata. Berita feature juga
harus mengkreasikan sudut pandang penulis berdasarkan riset
terhadap fakta-fakta yang telah ditelusuri. Penulis berita feature juga
harus mampu menangkap dengan jeli, perasaan dan suasana dari
sebuah peristiwa dan menuliskannya dalam sebuah cerita yang
berwarna-warni.
 Informatif. Berbeda dengan berita langsung yang relatif agak
singkat/pendek, berita feature umumnya panjang. Untuk membuat
sebuah berita feature yang panjang tentunya dibutuhkan data/informasi
yang banyak dan lengkap. Bahkan dalam beberapa jenis berita
feature, dibutuhkan lebih dari satu narasumber, untuk kemudian ditulis
secara mendalam (indepth). Hal ini jelas membuat kandungan
informasi dalam sebuah berita feature sangat padat dan kaya. Feature
juga bisa digunakan untuk mensiasati suatu peristiwa atau kisah yang
memiliki nilai berita rendah. Hal ini bisa diganti dengan kelengkapan
data dan informasi melalui berita feature. Alhasil, situasi atau kisah
yang mungkin diabaikan dalam penulisan berita langsung karena
dianggap bernilai berita rendah, tetap bisa memenuhi informasi kepada
masyarakat yang membutuhkan. Aspek informatif mengenai penulisan
feature bisa juga dalam bentuk lain, yakni ketika berita feature yang
terkesan ringan/enteng, namun di tangan penulis yang baik, ia bisa
menjadi alat yang ampuh untuk menggelitik hati sanubari pembaca dan
menciptakan perubahan yang konstruktif.
 Menghibur. Gaya penulisan berita feature yang cenderung santai,
ditambah aspek humor yang biasa menyertainya, kerap mengundang
senyum maupun tawa para pembaca. Di samping itu, kemampuan
menghibur juga dimiliki berita feature karena topik-topik ringan yang
kerap menjadi tema umum dari sebuah berita feature. Berita feature
memberikan variasi terhadap berita-berita rutin seperti politik, ekonomi,
kriminal, skandal, yang kerap menghiasi kolom-kolom berita langsung.
Dengan topiknya yang ringan, ditambah gaya penulisan yang santai,
berita feature bisa membuat pembacanya tersenyum, tertawa atau
bahkan menangis dan marah. Sasaran utamanya adalah bagaimana
menghibur pembaca dan memberikannya hal-hal yang baru dan segar.
 Subjektif. Beberapa feature ada yang ditulis dalam bentuk “aku”
sehingga memungkinkan reporter memasukkan emosi dan pikirannya
sendiri. Dalam penulisan berita feature, memang dimungkinkan
menggunakan sudut pandang orang pertama. Tapi ada hal yang harus
diwaspadai dari bentuk penulisan seperti itu. Kesalahan umum yang
kerap terjadi yakni kecenderungan untuk menonjolkan diri sendiri lewat
bentuk penulisan “aku” atau “saya”.
 Awet. Jika berita langsung memiliki waktu kadaluwarsa hanya 24 jam,
maka berita feature memiliki waktu kadaluwarsa yang jauh lebih
panjang. Bisa berhari-hari, berminggu-minggu atau bahkan berbulan-
bulan. Artinya berita langsung lebih cepat basi dibandingkan dengan
berita feature. Unsur berita dalam sebuah berita langsung yang
sebelumnya penting pada akhirnya semua luluh dalam kurun waktu 24
jam. Berbeda dengan berita feature yang awet untuk jangka waktu
yang relatif lama. Karenanya, media massa cetak seperti majalah atau
bahkan surat kabar, kerap menjadikan content berita feature sebagai
senjata andalan dalam melawan kekuatan radio dan televisi yang
memang mampu lebih cepat menyiarkan informasi. Media radio dan
televisi, dengan karakteristik khusus yang dimiliki, mampu menyiarkan
informasi hanya dalam waktu beberapa menit atau beberapa jam
setelah kejadian berlangsung. Sementara surat kabar harus menunggu
keesokan harinya untuk menerbitkan berita baru tersebut. Terlebih
majalah, yang biasanya terbit mingguan, dwi-mingguan atau bahkan
bulanan. Ketidakberdayaan media cetak melawan kecepatan informasi
yang dibawa oleh kedua media penyiaranan tersebut, disiasati dengan
memuat berita-berita feature yang lebih mendalam. Kita bisa melihat
bagaimana halaman demi halaman dari majalah, hampir selalu diisi
dengan berita feature. Sementara surat kabar, masih memadukan
berita feature dengan berita langsung dalam setiap penerbitannya.

Jenis-jenis feature
Wolseley dan Campbell dalam bukunya Exploring Journalism (1957),
membagi tulisan Feature ke dalam enam jenis :
1. Feature humanisme (Human interest feature). Merupakan jenis
feature yang langsung menyentuh keharuan, kegembiraan,
kejengkelan atau kebencian, simpati, dan sebagainya. Misalnya, cerita
tentang penjaga mayat di rumah sakit, kehidupan seorang petugas
kebersihan di jalanan, liku-liku kehidupan seorang guru di daerah
terpencil, suka-duka menjadi dai di wilayah pedalaman, atau kisah
seorang penjahat yang dapat menimbulkan kejengkelan. 
2. Feature sejarah (Hystorical feature). Merupakan tulisan yang
bercerita tentang peristiwa masa lalu, namun masih menarik untuk
diberitakan. Misalnya saja berita tentang peran Soeharto pada
penumpasan PKI yang sering diberitakan media massa menjelang
beliau wafat. Contoh lain, peristiwa Keruntuhan Khilafah Islamiyah,
sejarah tentang Istana al-Hamra dan Benteng Granada. Melalui feature
sejarah kita juga bisa ‘melongok’ kejayaan Islam di masa lalu, belajar
sejarah tentang kekejaman tentara salib saat membantai kaum
muslimin, hingga memahami sejarah pertama kali Islam masuk ke
Indonesia, dan sebagainya.
3. Feature profil (Profile features). Jenis feature ini berfungsi untuk
menceritakan tentang kisah sukses atau kisah hidup dari seseorang,
organisasi, maupun sebuah komunitas. Contohnya berita tentang
proses hidup seorang pengusaha sukses yang berawal dari
gelandangan, cerita sukses sebuah LSM dalam membangun
masyarakat pedalaman. Feature profil tidak melulu hanya menyajikan
cerita sukses, tetapi bisa juga meramu kisah tentang kisah pilu atau
kegagalan seseorang. Tujuan dari penulisan feature profil ini pada
intinya agar pembaca dapat bercermin lewat kehidupan orang lain.
4. Feature perjalanan (Travel Feature). Sebuah feature perjalanan
ditulis untuk menceritakan pengalaman berkesan dari sebuah
perjalanan. Misalnya kunjungan ke tempat bersejarah di dalam
ataupun di luar negeri, atau ke tempat yang jarang dikunjungi orang.
Dalam Feature jenis ini, biasanya unsur subjektivitas menonjol, karena
biasanya penulisnya yang terlibat langsung dalam peristiwa/perjalanan
itu mempergunakan “aku”, “saya”, atau “kami” (sudut pandang orang
pertama). Sebagai contoh, perjalanan menunaikan ibadah haji.
Perjalanan ke tanah suci ibisa kita tuangkan dalam sebuah tulisan
bergaya feature yang menarik. Karenanya, saat Anda melakukan
travelling, disarankan untuk membawa buku catatan kecil untuk
menuliskan semua peristiwa yang dialami sebagai bahan penulisan.
5. Feature petunjuk praktis (How-to-do feature). Feature jenis yang
satu ini dipakai untuk menjelaskan tentang bagaimana suatu perbuatan
atau aktifitas dilakukan. Banyak juga yang menyebutnya dengan istilah
feature tips. Misalnya, tentang bagaimana caranya merawat mobil agar
irit bensin, cara menyimpan dan menggunakan ASIP (air susu ibu
perah) bagi ibu menyusui, cara merangkai bunga, cara menata rumah,
seni mendidik anak, panduan memilih perguruan tinggi, teknik beternak
bebek, cara menaklukkan hati calon mertua, dan lain sebagainya.
6. Feature ilmiah (scientific feature). Merupakan feature yang bercerita
mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi. Feature jenis ini ditandai
oleh kedalaman pembahasan dan objektivitas pandangan yang
dikemukakan, menggunakan data dan informasi yang memadai.
Feature ilmu pengetahuan dan teknologi biasanya dimuat di majalah-
majalah bertema khusus seperti majalah teknik, komputer, pertanian,
kesehatan, kedokteran, dan lain-lain. Surat kabar juga biasanya
memberi rubrik khusus terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Beberapa tokoh juga menambahkan penggolongan jenis-jenis feature yang


lain, diantaranya :
 Feature sidebar. Merupakan jenis feature yang berguna untuk
memberitakan bagian-bagian lain dari sebuah peristiwa besar yang
biasanya dijadikan sebagai headline. Feature sidebar kerap digunakan
untuk memperlihatkan angle lain dari sebuah peristiwa. Sebagai
contoh, sebuah headline berita tentang peristiwa banjir banda di
sebuah wilayah bisa menambahkan feature sidebar tentang nasib para
pasien-pasien dengan kondisinya sakit keras, yang ada di rumah sakit
di wilayah banjir tersebut.
 Feature musiman (Seasonal features). Jenis feature ini bercerita
tentang peristiwa unik dan menarik yang terjadi secara rutin, baik
setiap tahun, setiap momen, atau setiap musim. Misalnya saja, cerita
riuh-gembira orang-orang di sebuah kampung ketika merayakan Idul
fitri) tiba, cerita tentang perjuangan para anggota paskibraka nasional
yang bertugas pada upacara perayaan 17 Agustus di Istana Negara,
cerita tentang keseruan perayaan natal, dan lain sebagainya. Feature
musiman sebenarnya agak sulit dibuat karena akan selalu berulang
setiap tahunnya/setiap musimnya. Karenanya, agar tulisan tetap
menarik untuk dibaca, penulis harus pandai-pandai menemukan angle
yang segar dan baru. 
 Feature gaya hidup (Trend features). Merupakan feature yang
bercerita tentang gaya hidup kelompok masyarakat atau komunitas
tertentu dalam jangka waktu tertentu. Misalnya saja gaya hidup remaja
desa ketika handphone masuk ke kampung-kampung atau cerita
tentang gaya hidup sosialita yang glamour di kota-kota besar. 
 Feature penjelasan (Explanatory features), menceritakan tentang
apa yang sebenarnya terjadi dibalik suatu peristiwa. Misalnya, cerita
atau berita tentang fakta-fakta yang menyebabkan buruh mogok kerja.
 Comprehensive feature (Feature komprehensif). Tulisan ini
menggambarkan arah dan perkembangan suatu isu berita. Jenis
tulisan ini mendasarkan riset yang lebih baik daripada jenis berita
langsung, sebab berasa dari berbagai sumber yang luas. Berita feature
jenis ini biasanya juga lebih analitik dan interpretatif. Menggambarkan
tidak hanya mengenai apa berita itu tetapi apa arti dari berita itu.
Misalnya, berita pembangan pembangkit tenaga nuklir yang dilaporkan
media dalam bentuk berita langsung. Hari ini ada beritanya, keesokan
hari atau beberapa hari kemudian ada lagi berita follow-up nya, dan
begitu seterusnya. Ada yang pro, ada pula yang kontra. Untuk sebuah
peristiwa besar semacam itu bisa dibuatkan sebuah feature
komprehensif.

Praktikum 1 :  
1. Temukan dua contoh tulisan feature dalam sebuah suratkabar/harian.
Analisa tulisan tersebut berdasarkan jenis dan kualitas nya.
2. Temukan dua contoh tulisan feature dalam sebuah majalah atau
tabloid. Analisa tulisan tersebut berdasarkan jenis dan kualitas nya
Bab 2. Teknik Penulisan Feature

1. Feature = Berita yang berkisah


Teknik atau cara menulis feature hakikatnya sama dengan menulis
cerita pendek (cerpen). Bedanya, cerita dalam feature merupakan peristiwa
yang benar-benar terjadi (faktual), sedangkan kisah dalam cerpen umumnya
berupa khalayan/karangan/fiksi. Tidak sedikit yang menyebut feature sebagai
karya jurnalistik bergaya sastra, terutama dari aspek penggunaan bahasa,
alur cerita, dan “dramatisasi”. Feature biasa menggunakan “kata-kata berona”
(colorful words) dan mengabaikan karakter bahasa jurnalistik yang ringkas
dan lugas (to the point). Hubungan antara jurnalistik dan sastra dalam sebuah
karya feature bisa digambarkan dengan dua lingkaran yang saling
berpotongan satu sama lain.

Jurnalistik Feature
Sastra

Makin luas daerah yang bersinggungan antara jurnalistik dan sastra,


maka makin tinggi nilai atau bobot suatu feature. Sebaliknya, makin sempit
daerah yang bersinggungan, maka nilai atau bobot feature-nya semakin
rendah. Karena kandungan unsur sastra didalamnya itulah, maka pembaca
yang membaca sebuah berita feature seperti tengah membaca sebuah
cerpen atau novel.
Yang harus digarisbawahi, berita feature bukanlah cerita fiksi. Ia
menggali suatu peristiwa atau kisah dan menata semua informasi ke dalam
suatu cerita yang menarik dan logis. Dalam membuat berita feature, dituntut
kemampuan penulisnya untuk memaparkan cerita, bukan hanya sekedar
memberitahu atau mengabarkan. Berita feature yang baik adalah karya seni
yang kreatif namun faktual.
Berita feature bisa disebut juga sebagai literature yang berlandaskan
fakta. Pembaca menginginkan fakta. Tapi fakta itu harus disajikan secara
kreatif, menarik dan menghibur. Untuk membuat sebuah berita feature,
mensyaratkan seorang penulis yang pandai bercerita dan juga memiliki
kemampuan riset seorang wartawan. Ia tidak hanya sekedar menyampaikan
fakta tapi juga mampu menggugah emosi pembaca dan memberikan
pengertian yang cukup mendalam mengenai topik yang ditulis. Saat dibaca,
berita feature akan mampu membuat pembacanya tertawa, terharu, geram
atau menarik napas panjang.
Penulis feature pada hakikatnya adalah seorang yang berkisah. Ia
melukis gambar dengan kata-kata; ia menghidupkan imajinasi pembaca; ia
menarik pembaca agar masuk ke dalam cerita itu dengan membantunya
mengidentifikasikan diri dengan tokoh utama. Karena dituntut untuk bisa
bercerita, maka ia harus memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas
tentang bahasa, pengetahuan bercerita (narrative know-how), pengembangan
karakter, dan lain sebagainya. Penulis harus mampu membuat pembaca
merasa terlibat dalam kisah yang dibaca dan menggugah rasa ingin tahu.
Pembaca juga harus bisa merasa didekatkan dengan peristiwa, tindakan atau
pribadi yang digambarkan penulis. Pembaca bisa ikut menikmati perasaan
yang dialami penulis selaku saksi mata dari peristiwa atau kisah yang
diceritakan.
Dalam tulisannya, Goenawan Muhammad juga menegaskan bahwa
seorang penulis feature bagaikan seorang empu yang tengah melukis dengan
kata-kata. Penulis harus mampu menghidupkan imajinasi pembaca agar bisa
masuk ke dalam cerita. Ibaratnya penulis dituntut punya insting bertutur. Hal
inilah yang kemudian melahirkan istilah jurnalisme bertutur untuk sebuah
berita feature. Just write as you talk (menulislah seperti halnya anda sedang
bertutur). Pesan singkat tersebut tentunya tepat diberikan kepada mereka
yang hendak belajar memulai membuat tulisan feature.

Pelajari Diksi
Dalam menulis feature seseorang harus bisa menulis berdasarkan
cerita dari fakta-fakta yang ada, dengan menggunakan imajinasi, warna-warni
dan irama. Namun yang tidak kalah penting, kunci penulisan feature terletak
pada pemilihan kata (diksi). Apakah yang dimaksud dengan diksi? Diksi atau
pilihan kata adalah teknik untuk menggunakan kata yang paling tepat untuk
memperoleh efek tertentu dalam tulisan. Dalam jurnalisme olahraga misalnya,
diksi banyak sekali dipakai. Misalnya, ujung tombak kesebelasan Inggris itu
telah menjebol gawang Jerman. Sebagai ganti penyerang, digunakan idiom
ujung tombak. Masuknya bola ke gawang Jerman dilukiskan dengan
menjebol. Contoh lain, mengganti kata menangis dengan menitikan air mata.
Adapun fungsi diksi antara lain :
1. Melambangkan gagasan yang diekspresikan baik secara verbal
maupun non verbal.
2. Membentuk gaya ekspresi gagasan yang tepat.
3. Menciptakan komunikasi yang baik dan benar.
4. Mencegah perbedaan penafsiran.
5. Mencegah salah pemahaman.
6. Mengefektifkan pencapaian target komunikasi
Diksi misalnya, penting untuk memilih kata ganti orang kedua yang
hendak digunakan: engkau, kamu, kalian, situ, Anda, sampeyan, ente, you,
jeng, mbak, kak, bang, dan lain-lain. Menyapa atasan dengan kamu pasti
dianggap tidak sopan. Sebaliknya, kalau seorang sahabat karib tiba-tiba
memanggil situ atau Anda, berarti sedang ada masalah hingga terkesan ada
jarak. Untuk memilih kata yang sangat tepat, diperlukan banyak pengetahuan
tentang warna dan nuansa kata/bahasa.
Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan
tepat apa yang ingin disampaikannya, baik lisan maupun tulisan. Disamping
itu, pemilihan kata juga harus sesuai dengan situasi dan tempat penggunaan
kata-kata itu. Pemilihan kata akan dapat dilakukan bila tersedia sejumlah kata
yang artinya hampir sama atau bermiripan. Ketersediaan kata akan ada
apabila seseorang mempunyai bendaharaan kata yang memadai, seakan-
akan ia memiliki senarai (daftar) kata. Senarai kata itu kemudian dipilih satu
kata yang paling tepat untuk mengungkapkan suatu pengertian. Tanpa
menguasai sediaan kata yang cukup banyak, tidak mungkin seseorang dapat
melakukan pemilihan atau seleksi kata.
Pemilihan kata bukanlah sekedar kegiatan memilih kata yang tepat,
melainkan juga memilih kata yang cocok. Cocok dalam hal ini berarti sesuai
dengan konteks dimana kata itu berada. Maknanya juga tidak boleh
bertentangan dengan nilai rasa masyarakat pembacanya. Untuk itu, dalam
memilih kata diperlukan analisis dan pertimbangan tertentu. Sebagai contoh,
kata mati bersinonim dengan mampus, wafat, tewas, gugur, berpulang,
kembali ke haribaan Man, dan lain sebagainya. Akan tetapi, kata-kata
tersebut tidak dapat bebas digunakan. Mengapa? Ada nilai rasa dan nuansa
makna yang membedakannya.
Singkatnya, diksi adalah ketepatan pilihan kata. Pemilihan kata yang
tepat ini jelas dipengaruhi oleh kemampuan penulis, terkait dengan
kemampuan mengetahui, memahami, menguasai, dan menggunakan
sejumlah kosakata secara aktif yang dapat mengungkapkan gagasan secara
tepat sehingga mampu mengkomunikasikannya secara efektif kepada
pembaca atau pendengarnya. Selain kata yang tepat, efektivitas komunikasi
menuntut persyaratan yang harus dipenuhi oleh penulis, yaitu kemampuan
memilih kata yang sesuai dengan tuntutan komunikasi. Berikut syarat- syarat
ketetapan pemilihan kata :
1. Membedakan makna denotasi (makna sebenarnya) dan konotasi
(makna kiasan) yang cermat. Misalnya, kata kambing hitam dalam
kedua kalimat ini punya makna yang berbeda. Kambing hitam itu
keluar dari kandangnya ketika pintu kandang dibuka (denotasi). Dia
selalu mencari kambing hitam jika usahanya gagal (konotasi). Contoh
lainnya; Banjir di Jakarta disebabkan oleh air sungai yang meluap
(denotasi). Emosinya meluap ketika ia dihina didepan kelas (konotasi).
2. Membedakan secara cermat makna kata yang bersinonim.
Penguasaan kosakata yang tidak banyak, dapat menyulitkan
seseorang untuk merangkai kalimat untuk menjelaskan sesuatu baik
dalam bentuk tulisan maupun lisan. Kalimat yang dibuat dapat berisi
banyak kata yang sama dan diulang-ulang. Kalimat menjadi tidak
cermat atau kurang efektif atau berkesan mubazir. Pada akhirnya,
tulisan menjadi kurang enak dibaca. Mengurangi penggunaan kata
yang berlebihan dan berulang-ulang dalam kalimat dapat diatasi
dengan pemakaian kata yang bersinonim. Dengan penggunaan kata
yang sepadan, kalimat menjadi tidak kaku serta lebih variatif. misalnya
kata; adalah, ialah, merupakan, yaitu., dalam pemakaiannya berbeda-
beda. Contohnya,:
(1) Pintar, pandai, cakap, cerdik, cerdas, banyak akal, mahir.
(2) Gagah, kuat, tagap, perkasa, berani, megah, kacak.
(3) Mati, meninggal, berpulang, mangkat, wafat, mampus
(4) Bodoh, tolol, dugu, goblok, otak udang
3. Membedakan makna kata secara cermat terutama kata yang mirip
ejaannya. Misalnya: inferensi (kesimpulan) dengan interferensi (saling
mempengaruhi), sarat (penuh) dan syarat (ketentuan ).
4. Tidak menafsirkan makna kata secara subjektif berdasasrkan pendapat
sendiri, jika pemahaman belum dapat dipastikan, pemakaian kata
harus menemukan makna yang tepat dalam kamus, misalnya: modern
sering diartikan secara subjektif canggih menurut kamus modern
berarti terbaru atau mutakhir, canggih berarti banyak cakap, suka
menggangu, banyak mengetahui, bergaya intelektual.
5. Menggunakan imbuhan asing (jika diperlukan) harus memahami
maknanya secara tepat, misalnya: dilegalisir seharusnya dilegalisasi,
koordinir seharusnya koordinasi.
6. Menggunakan kata-kata idomatik berdasarkan susunan (pasangan)
yang benar, misalnya: “sesuai bagi seharusnya sesuai dengan.
7. Menggunakan kata umum dan khusus secara cermat. Untuk
mendapatkan pemahaman yang spesifik, sebaiknya menggunakan
kata khusus ke umum misalnya mobil (kata umum), Brio (sedan kecil
buatan Honda).
8. Menggunakan kata yang berubah makna dengan cermat, misalnya :
issu ( berasal dari issue berarti publikasi, kesudahan, perkara ) isu
( dalam bahasa Indonesia berarti kabar yang tidak jelas asal-usulnya,
kabarangin, desas-desus ).
9. Menggunakan dengan cermat kata bersinonim ( pria dan laki-laki, saya
dan aku, serta buku dan kitab ), berhomofoni ( misalnya: bang dan
bank ) dan berhomografi( misalnya: apel buah, apel upacara, buku
ruas, buku kitab ).
10. Menggunakan kata abstrak (konseptual misalnya: pendiikan,
wirauasaha dan pengobatan modern dan kata konkret ( kata khus
misalnya: mangga, sarapan, dan berenang ).
Selain ketepatan pilihan kata itu, penulis harus pula memperhatikan
kesesuaian kata agar tidak merusak makna, suasana, dan situasi yang
hendak ditimbulkan, atau suasana yang sedang berlangsung. Syarat
kesesuaian kata:
1. Menggunakan ragam baku dengan cermat dan tidak
mencampuradukan penggunakannya dengan kata tidak baku yang
hanya digunakan dalam pergaulan, misalnya: hakikat (baku), hakekat
(tidak baku), konduite (baku), kondite (tidak baku).
2. Menggunakan kata yang berhubungan dengan nilai sosial dengan
cermat, misalnya: kencing (kurang sopan), buang air kecil (lebih
sopan), pelacur (kasar), tunasusila (lebih halus).
3. Menggunakan kata berpasangan (idiomatik), dan berlawanan makna
dengan cermat, misalnya: sesuai bagi (salah), sesuai dengan (benar),
bukan hanya melainkan juga (benar), bukan hanya tetapi juga (salah),
tidak hanya tetapi juga (benar).
4. Menggunakan kata dengan nuansa tertentu, misalnya: berjalan lambat,
mengesot, dan merangkak, merah darah; merah hati. Menggukan kata
ilmiah untuk karangan ilmiah, dan komunikasi non ilmiah (surat-
meyurat, diskusi umum)
5. Menggunakan kata popular, misalnya: argumentasi (ilmiah),
pembuktian (popular), psikologi (ilmiah), ilmu jiwa
(popular).Menghindarkan penggunaan ragam lisan (pergaulan dalam
bahasa tulis), misalnya: tulis, baca, kerja (bahasalisan), menulis,
menuliskan, membaca, membacakan, bekerja, mengerjakan,
dikejakan, (bahasa tulis).

Tak Harus Piramida terbalik


Jika dalam menulis berita langsung, seorang wartawan selalu
berpatokan menggunakan struktur penulisan piramida terbalik (informasi
paling menarik dan penting diletakkan semua di awal tulisan), berbeda
dengan pembuatan tulisan feature. Dalam feature, hal-hal yang menarik dan
penting, bisa jadi tersebar dalam semua paragraf tulisan. Bisa di awal,
ditengah dan juga dibagian akhir. Ada yang menyebutnya sebagai struktur
penulisan block paragraph. Kekuatan struktur penulisan model block
paragraph ini, dapat mempertahankan daya tarik cerita dari awal hingga akhir.
Membuat cerita selalu menarik dan penuh kejutan.
Ada juga struktur penulisan model gentong. Model ini mengibaratkan
tulisan layaknya model sebuah gentong yang memiliki bentuk bagian atas
(mulut gentong) agak lebar tapi kemudian mengecil di bagian “leher” dan
membesar kembali di bagian badan gentong. Dalam struktur penulisan
model ini, bagian judul dan lead berisi informasi penting dan menarik. Ketika
memasuki intro berita dan hendak menuju tubuh berita, nilai informasi sedikit
berkurang. Namun saat mulai memasuki bagian tubuh berita, informasi yang
penting-penting kembali terkumpul hingga bagian tengah. Selanjutnya di
bagian tengah kebawah hingga penutup, nilai informasi kembali berkurang.
Seperti di tulis oleh Andrean Harsono dalam bukunya “Agama Saya
Adalah Jurnalisme”, Majalah Time, yang didirikan tahun 1923 oleh Britton
Haden dan Henry Luce yang pertama kali memakai gaya penulisan feature
sebagai kekuatan media mereka. Time menghindar dari penulisan berita ala
piramida terbalik yang biasa dipakai wartawan sejak abad XIX. Sebuah
feature dimulai dengan sebuah alinea yang memancing rasa ingin tahu
pembaca. Lalu ibarat kail dan ikan, ia mengiming-imingi si ikan untuk terus
mengejar mata kail. Ada bagian yang penting –termasuk statistik, teori,
argumentasi— yang mungkin kurang enak dibaca, ditaruh di bagian tengah.
Ia diakhiri dengan upaya menjawab rasa ingin tahu tersebut di ekor feature.
Keberanian dan keputusan tersebut terbukti membawa perubahan dalam
jurnalisme di Amerika Serikat. Time mendapat sambutan hangat dari warga
Amerika Serikat.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Majalah Tempo. Dijelaskan dalam
buku berjudul “Seandainya Saya Wartawan Tempo”, karangan Goenawan
Muhammad, berbeda dengan piramida terbalik, feature meminta seorang
wartawan berpikir soal fokus terlebih dahulu. Dia harus bisa fokus pada apa
yang hendak ditulisnya. Fokus harus dimulai dengan sudut masuk atau angle.
Si wartawan harus mencari sudut masuk yang menarik perhatian pembaca.
Sudut masuk seyogyanya sesuatu yang baru, yang ringan, dan mudah
dimengerti.
Verifikasi Demi Akurasi
Seperti yang ditekankan oleh Bill Kovach dalam bukunya 9 elemen
jurnalisme untuk senantiasa disiplin melakukan verifikasi. Ketidakakuratan
(kesalahan) dalam sebuah berita bisa saja dan sangat mungkin terjadi jika
disiplin verifikasi dilanggar. Seorang wartawan seringkali tidak menggunakan
waktu yang ia miliki untuk mengecek informasinya sebelum mulai menulis.
Kemudian ternyata ia akhirnya melakukan kesalahan dalam berita yang ia
tulis. Karenanya, seorang wartawan wajib mengambil langkah-langkah
pencegahan untuk menghindari kesalahan fakta. Diantaranya, mulai dengan
menanyakan dengan jelas nama, titel, umur, alamat dan nomor kontak
narasumber. Ejalah namanya sehingga narasumber berita bisa
mengoreksinya jika ada kesalahan. Nomor kontak memang tidak ditulis dalam
cerita, tapi wartawan harus menyimpannya jikalau sewaktu-waktu perlu
menghubungi kembali.
Jangan sekali-kali beranggapan bahwa Anda mengetahui semuanya.
Pastikan untuk selalu mengecek ulang setiap informasi yang penting.
Misalnya saja, seorang wartawan politik bisa jadi mengira bahwa ia
mengetahui gelar atau jabatan resmi seorang pejabat. Jika tidak yakin, maka
ia wajib menghubungi pejabat itu atau sekretarisnya untuk melakukan
konfirmasi. Hal lain yang juga perlu diwasapdai, jika tulisan yang Anda
menyangkut tentang materi yang rumit, pastikan bahwa Anda sudah
mempelajari dan memahami hal tersebut. Seorang wartawan suatu waktu
sangat mungkin ditugaskan untu menulis tentang topik yang sarat dengan
istilah teknis sedangkan ia tidak tahu atau tidak punya latar belakang sama
sekali tentang hal itu. Misalnya saja, seorang wartawan ditugaskan membuat
feature kesehatan jantung. Seorang dokter dengan spesialisasi jantung dan
pembuluh darah tentu akan bisa dengan lancar menerangkan istilah teknis
yang terkait dengan bidangnya tersebut. Namun untuk keperluan tulisannya,
wartawan itu harus bisa memberi informasi yang gamblang kepada
pembacanya.
Maka, wartawan tidak boleh malas untuk bertanya secara langsung
atau mencari tahu dengan beragam cara terkait penjelasan istilah-istilah
teknis tersebut yang mudah diterima oleh masyarakat awam. Umumnya
wartawan mengambil peranan sebagai seorang pembaca kebanyakan, dan
mengajukan pertanyaan sesuai dengan posisi itu. Sementara jika
menggunakan statistik atau data matematis, reporter harus rajin mengecek
angka-angka tersebut dan menghitungnya. Seorang pembaca yang kritis
tidak akan segan-segan melayangkan protes. Jika hal ini terjadi, kredibilitas
wartawan sekaligus media yang bersangkutan tentunya akan dipertanyakan
banyak pihak.
Statistik harus dicermati benar, dengan penuh kecurigaan. Anda bisa
membuktikan apa saja dengan statistik, tergantung bagaimana cara Anda
menyajikannya dan apa saja yang Anda masukkan atau tinggalkan.
Tanyakanlah kepada sumber secara cermat untuk meyakinkan kebenaran
angka-angka itu. Misalnya saja, statistik kejahatan yang dikemukakan polisi
harus dicek benar-benar sebelum dipakai sebagai petunjuk tingkat kejahatan.
Seorang reporter tidak boleh membiarkan dirinya menjadi alat untuk menipu
masyarakat. Kekritisan dan pengecekan yang teliti sering bisa menghindarkan
hal itu terjadi.
Penulis feature memang membutuhkan imajinasi yang baik untuk
menjahit kata-kata dan rangkaian kata menjadi cerita yang menarik. Tapi,
seperti juga bentuk-bentuk jurnalisme lainnya, imajinasi penulis tidak boleh
memanipulasi fakta-fakta dalam ceritanya. Pendeknya, cerita khayalan tidak
boleh ada dalam penulisan feature. Seorang wartawan profesional tidak akan
menipu pembacanya, walau sedikit, karena ia sadar terhadap etika dan
bahaya yang bakal mengancam. Etika menyebutkan bahwa opini dan fiksi
tidak boleh ada, kecuali pada bagian tertentu surat kabar. Tajuk rencana,
tentu saja, merupakan tempat mengutarakan pendapat. Dan edisi Minggu
surat kabar diterbitkan untuk menampung fiksi (misalnya cerita pendek).
Feature tidak boleh berupa fiksi, dan setiap "pewarnaan" fakta-fakta tidak
boleh menipu pembaca. Bila penipuan seperti itu terungkap, kepercayaan
orang pada kita akan hancur.
Ada beberapa derajat "kefiktifan". Yang paling mencolok ialah bila
seorang membuat cerita dengan bahan yang sama sekali bikin-bikinan. Tapi
insya Allah tak banyak reporter yang segila itu. Kisah Janet Leslie Cooke,
wartawan dari The Washington Post, penting untuk dijadikan pelajaran.
Hanya berselang dua hari setelah ia menerima penghargaan Pulitzer Award
pada 14 April 1981 atas tulisan feature-nya yang berjudul “Jimmy’s World”,
Cooke akhirnya mengembalikan penghargaan yang telah diterimanya
tersebut. Pasalnya, tulisan yang ia buat ternyata hanyalah kisah fiktif belaka.
Dalam feature yang ia tulis, Cooke berkisah tentang seorang anak kulit hitam
usia 8 tahun yang sudah kecanduan heroin sejak berumur 5 tahun. Hanya
sehari setelah Cooke dinyatakan sebagai salah satu pemenang Pulitzer
Award, banyak pihak meragukan kebenaran kisah yang ia tulis. Hingga pada
keesokan harinya, Cooke mengakui bahwa Jimmy merupakan sosok
khayalannya semata. Kasus Cooke ini pun menjadi kasus kebohongan paling
terkenal dalam sejarah jurnalisme Amerika Serikat.
Godaan lain yang paling sering terjadi, ketika penulis hampir
menyelesaikan tulisan yang baik tapi ada beberapa unsur yang tertinggal. Ia
mungkin mencoba memperoleh unsur-unsur itu dengan mengajak tokoh
laporannya untuk bikin ramai cerita. Tokoh yang diwawancarai dengan
demikian bersekongkol dalam menjual cerita yang condong palsu. Satu teknik
lagi yaitu dengan menaruh satu kalimat (untuk jadi kutipan) ke mulut orang
yang diwawancarai. Caranya, wartawan mengawali kutipan yang sudah
diarahkan dengan bertanya, "Apakah Anda...." dan menunggu anggukan
tanda setuju -- entah sungguhan atau khayalan. Wartawan-wartawan yang
tidak etis seperti itu bisa jadi memang ada. Lazimnya pembohong, maka
mereka akan terus hidup dalam ketakutan bila rahasianya terbongkar. Untuk
kepentingannya sendiri, seorang wartawan harus tahu bahwa nama baiknya
adalah taruhan bagi suksesnya. Wartawan yang ceroboh terhadap fakta akan
segera kehabisan sumber berita yang bisa memberi informasi kepadanya.

Sumber Ide
Khawatir kesulitan menemukan ide untuk membuat tulisan feature?
Tidak usah cemas. Alam semesta ini menyimpan berjuta ragam cerita yang
tidak mungkin habis untuk ditulis. Kemampuan menggunakan imajinasi dan
terlatih mencari ide adalah kunci utama dalam keberhasilan menemukan
sebuah ide tulisan. Sumber ide penulisan feature antara lain bisa dari
pengalaman pribadi, perasaan intuitif, pengamatan sepintas, pernyataan para
pemimpin, berbagai pertemuan, ataupun dari bacaan. Peristiwa sehari-hari
juga bisa menjadi ladang subur untuk menemukan sebuah ide. Hendaknya
cermati dan tekun mengamati perisiwa apa saja yang berlangsung di
masyarakat. Satu peristiwa di pagi hari dari satu jenis kegiatan manusia saja
bisa membuat Anda memperoleh banyak gagasan untuk menulis.
Misalnya, kisah dari pemulung yang pasti banyak dengan mudah kita
temui di sekitar rumah. Banyak aspek yang bisa digali dari mereka. Mulai dari
proses pengolahan sampah menjadi barang yang berguna, standar/gaya
hidup kaum pemulung, ataupun kisah keluarga pemulung dan lain
sebagainya. Suatu kejadian yang tidak begitu mendapat perhatian dari
masyarakat atau wartawan pada umumnya, justru bisa berubah menjadi ide
cemerlang di tangan seorang penulis feature. Disitulah sebenarnya diperlukan
kejelian dari seorang wartawan.

Praktikum 2 :
1. Pikirkan sebanyak-banyakya ide tulisan yang sekiranya bisa Anda
wujudkan dalam sebuah tulisan feature. Tulis dalam daftar semua ide
yang sudah Anda peroleh serta tentukan angle/sudut pandang tulisan
yang hendak digunakan dari ide tersebut.
2. Pilih salah satu ide yang ada dalam daftar yang Anda buat, dan segera
lakukan reportase dan wawancara terhadap pihak terkait.
Bab. 3 Mari Mulai Menulis

Sama halnya dengan jenis berita lainnya, anatomi feature juga terdiri
dari judul, lead, tubuh berita dan penutup. Adanya urut-urutan tersebut tidak
serta merta mengharuskan penulis untuk memulai proses penulisan dari
pembuatan judul. Biasanya setiap penulis memiliki gaya-nya masing-masing.
Ada yang biasa memulai proses penulisan dari judul, Tapi ada pula yang
justru membubuhkan judul di akhir proses penulisan, yakni setelah teras
berita dan tubuh berita selesai dibuat. Namun untuk kepentingan urutan
dalam modul ini, tidak ada salahnya kita awali latihan pembuatan feature ini
dengan mulai membuat judul.

Judul
Judul harus mampu memikat pembaca. Judul yang  memikat tidak
harus berupa ringkasan, yang penting harus menarik dan menggugah minat. 
Dalam penulisan judul, penulis dapat mengungkapkan subjektifitasnyas
sehingga sifatnya sangat orisinal dalam gaya dan penyusunan kata-katanya.
Judul tidak harus berupa kalimat lengkap (subjek, predikat, dan objek), tak
perlu tegas menyiratkan maksud utama penulis atau tegas menyamarkan
makna (mengandung arti ganda).
Untuk membuat judul yang cocok dan memikat, kata-kata disusun
sedemikian rupa, melibatkan wawasan, emosi dan kecerdikan penulis untuk
menarik perhatian pembaca. Aspek ritme, kreativitas, dan sedikit humor
penting untuk diperhatikan. Ada beberapa tipe judul yang bisa dipakai dalam
tulisan feature, diantaranya :
 Judul dari ringkasan. Judul ini meletakkan sudut pandang dari materi
tulisan sebagai daya pengungkap dan penjelas. Kandungan judul
merefleksikan materi tulisan. Tiap katanya memberi tentang apa yang
terdapat di dalam keseluruhan tulisan sehingga pembaca bisa
memutuskan akan membacanya atau tidak. Misalnya, “Rela Berjalan
Kaki Ribuan Kilometer Demi Si Buah Hati”.
 Judul how-to. Untuk judul tipe ini, wartawan hendak menerangkan isi
atau maksud tulisan yang disusun dalam judul yang spesifik dan
ringkas. Misalnya, “Cara Langsing Setelah Melahirkan”. Contoh lain,
“Kiat Sukses Berisnis Waralaba”.
 Judul superlative. Judul jenis ini mengilustrasikan keluar-biasaan atau
kehebatan dari topik yang menjadi bahasan tulisan. Contoh: “Manusia
Tercepat Di Dunia”, “Bertemu dengan Manusia Paling Jenius”.
 Judul bertanya. Menggunakan tanda tanya yang biasanya menyentak,
menggugah. Bisa juga untuk mengingatkan masyarakat pada peristiwa
tertentu, baik yang tengah aktual ataupun sudah lampau. Contoh:
“Pakai Kacamata Jadi Norak?”, “Mau Keliling Dunia Gratis?”

Praktikum 3 :
1. Temukan pada surat kabar atau majalah, lima buah judul berita feature
yang menurut Anda menari. Berikan analisa dan penilaian Anda
terhadap beberapa judul tersebut.
2. Dari hasil reportase yang sudah Anda lakukan, mulailah membuat judul
untuk tulisan feature Anda. Judul bisa lebih dari satu sebagai alternatif
untuk kemudian dipilih yang terbaik dari berbagai alternatif yang ada.

Lead
Salah satu kunci penulisan feature yang baik terletak pada paragraf
pertama, yaitu lead atau teras berita. Mencoba menangkap minat pembaca
tanpa lead yang baik sama dengan mengail ikan tanpa umpan. Setiap
wartawan harus selalu sadar akan pentingnya lead. Tidak jarang, “keranjang
sampah” dalam ruang redaksi, penuh dengan lead tak bermutu. Tidak jarang
wartawan memakai lead yang itu-itu saja dalam usahanya menarik minat
pembaca. Pada dasarnya, lead dalam feature mempunyai dua tujuan utama
yakni menarik pembaca untuk mengikuti cerita dan membuka jalan bagi alur
cerita. Dalam buku Seandainya Saya Wartawan Tempo, di sarankan
beberapa jenis lead yang bisa dipakai untuk berita feature, antara lain :
 Lead ringkasan (Summary lead). Dalam lead ini, yang ditulis hanya
inti ceritanya, kemudian terserah pembaca apakah masih cukup
berminat mengikuti kelanjutannya atau tidak. Lead ini sering dipakai
bila reporter mempunyai persoalan yang kuat dan menarik.
Contoh:
Ini satu lagi kasus peninggalan bekas Gubernur DKI Jakarta Jaya
Wiyogo Atmodarminto: Pasar Regional Jatinegara. (TEMPO, 30
Januari 1993, Komisi di Jatinegara).
Dari lead ringkasan di atas, pembaca akan tahu bahwa cerita yang
akan disampaikan adalah tentang ketidakberesan di Pasar Regional
Jatinegara yang dibangun di zaman Gubernur DKI Jakarta Jaya Wijoyo
Atmodarminto.
 Lead bercerita (Narrative Lead). Lead ini biasanya digemari penulis
fiksi (novel atau cerita pendek), dengan tujuan menarik perhatian
pembaca dan membenamkannya. Tekniknya adalah menciptakan
suasana dan membiarkan pembaca menjadi tokoh utama, entah
dengan cara membuat kekosongan yang kemudian secara mental
akan diisi oleh pembaca, atau dengan membiarkan pembaca
mengidentifikasikan diri di tengah kejadian. Lead macam ini sangat
efektif untuk cerita petualangan. Tapi tak semua cerita bisa cocok jika
menggunakan lead ini. Maka itulah mengapa reporter harus pandai
menempatkan jenis lead mana yang cocok digunakan untuk sebuah
cerita. 
Contoh : Panasnya terik matahari yang menyengat kulit, bukanlah
halangan bagi Adun (35) lelaki paruh baya asal Sukabumi ini untuk
tetap meneruskan pekerjaannya sebagai penjual langseng keliling.
Demi menyambung hidupnya, ia rela mengelilingi sebagian pulau di
Indonesia untuk menjual barang dagangannya itu. Ya, ia tak hanya
menjual langsengnya itu di kota kembang, tempat di mana ia tinggal,
tapi juga hingga menyebrangi pulau Jawa. 
 Lead Kutipan (Quotation Lead). Kutipan yang dalam dan ringkas bisa
membuat lead menarik. Kutipan harus bisa memberikan tinjauan ke
dalam watak si pembicara. Kutipan tidak melulu harus dari perkataan si
narasumber, tapi juga bisa menggunakan kutipan orang lain seperti
misalnya tokoh terkenal. Perlu diingat bahwa lead harus menyiapkan
pentas bagi bagian berikutnya dari cerita kita, sehingga kutipannya pun
harus memusatkan diri pada sifat cerita itu.
Contoh : Photo’s Speak?! Mamprangs!!! Jargon yang tak asing di
kalangan pembidik, seakan-akan memekakan telinga. Kampus hijau
menyiasati beberapa kalangan mahasiswa khususnya jurusan
Jurnalistik, mendirikan sebuah komunitas fotografi. 
 Lead bertanya (Question lead). Lead ini efektif bila berhasil
menantang pengetahuan atau rasa ingin tahu pembaca. Yang
ditimbulkan dari lead ini adalah rasa ingin tahu pembaca. Mereka yang
belum tahu mestinya terus ingin membacanya, sedangkan yang sudah
tahu dibuat ragu apakah pengetahuannya cocok dengan informasi
yang diberikan atau tidak.  Yang penting diingat, lead bertanya hanya
bisa efektif bila informasi yang akan disampaikan memang secara
wajar bisa diberi pertanyaan. 
Contoh : Masih ingatkah Anda dengan Dede si “Manusia Akar”?.
 Lead menuding langsung (Direct address lead). Ketika penulis
mencoba berkomunikasi langsung dengan pembaca, inilah yang
disebut dengan lead menuding langsung. Ciri-ciri lead ini adalah
ditemukannya kata “Anda”, yang disisipkan dalam kalimat atau
paragraph lead. Lead ini secara langsung melibatkan pembaca atau
langsung menyeret pembaca ke dalam suatu persoalan dan
membawanya membaca tulisan secara keseluruhan. Banyak orang
berpendapat bahwa lead ini dinilai kurang memikat. Pasalnya, tidak
semua orang bisa ikut terlibat dalam suatu persoalan tersebut. 
Contoh : Bila harus memilih antara diet kolesterol dan penyakit jantung,
tentu Anda memilih yang pertama.
 Lead menggoda (Teaser Lead). Lead menggoda digunakan untuk
“mengelabui” pembaca dengan cara bergurau. Tujuan utamanya
menggaet perhatian pembaca dan menuntunnya supaya membaca
seluruh ceritanya. Lead ini biasanya pendek dan ringan. Umumnya
dipakai teka-teki, dan biasanya hanya memberikan sedikit, atau sama
sekali tidak, tanda-tanda bagaimana cerita selanjutnya. Dari kalimat
yang menggoda itu, pembaca akan dibuat penasaran,
keingintahuannya dibangkitkan. Untuk memenuhi keingintahuannya itu,
mau tak mau pembaca harus melanjutkan membacanya hingga selesai
Contoh : Angka yang ditunggu-tunggu itu keluar juga: sekitar 50.
(TEMPO, 4 Januari 1992, “Angka Misterius Santa Cruz”). 
 Lead nyentrik (Freak lead) . Reporter yang imajinatif meskipun tidak
puitis bisa mencoba lead jenis ini. Lead ini memikat dan informatif.
Gayanya yang khas dan tak kenal kompromi itu bisa menarik perhatian
pembaca hingga ceritanya bisa laku. Misalnya saja dengan
menggunakan gaya pantun. Contoh :
Hijau sayuran, Putihlah susu.
Naik harga makananKe langit biru
 Lead kombinasi (Combination Lead). Sering ditemukan lead yang
merupakan kombinasi dari dua atau tiga lead, dengan mengambil
unsur terbaik dari masing-masing lead. Lead kutipan misalnya, sering
dikombinasi dengan lead deskriptif. Lead menggoda juga bisa
dikombinasikan dengan lead kutipan, lead naratif dengan lead
deskriptif, dan seterusnya selama lead tersebut bisa menarik minat
pembaca.
Contoh : “Bukan salahku bahwa aku belum mati sekarang,” kata Fidel
Castro dengan senyum lucu.

Praktikum 4 :
1. Temukan pada surat kabar atau majalah, lima buah lead berita feature
yang menurut Anda menarik. Berikan analisa dan penilaian Anda
terhadap beberapa lead tersebut.
2. Dari hasil reportase yang sudah Anda lakukan, mulailah membuat lead
untuk tulisan feature Anda. Anda bisa memilih salah satu dari jenis
lead yang disarankan.

Batang Tubuh
Setelah lead, yang tak kalah pentingnya adalah batang tubuh atau isi.
Bagian ini merupakan substansi. Kalau lead ibarat wajah, isi adalah citra,
kualitas sekaligus eksistensi ‘tubuh’ itu sendiri. Wajah cantik, tidak akan
berarti apa-apa tanpa kualitas dalam diri, itu ibaratnya. Begitu pula halnya
sebuah berita feature, kualitasnya ditentukan isi. Kualitas (presisi) data, fakta,
kredibilitas narasumber dan cara penyajian menopang kualitas tulisan fature.
Demikian pula halnya penjelasan isi, bermanfaat untuk memuluskan
pemahaman pembaca.
Yang pertama diperhatikan adalah fokus cerita jangan sampai
menyimpang. Buatlah kronologis, berurutan dengan kalimat sederhana dan
pendek-pendek. Lakukan deskripsi, baik untuk suasana maupun orang
(profil), mutlak untuk pemanis sebuah feature. Kalau dalam berita, cukup
begini: Pak Saleh mendapat penghargaan sebagai tukang parkir teladan.
Paling hanya dijelaskan sedikit soal Pak Saleh. Tapi dalam feature, saudara
dituntut lebih banyak. Profil lengkap Pak Saleh diperlukan, agar orang bisa
membayangkan. Contoh lain, bila seorang wartawan desk ekonomi
menggambarkan seorang direktur bank dengan sepatunya yang gemerlapan
dan kumisnya yang keputih-putihan dalam berita langsung, sang redaktur
tentu akan marah karena menganggap tulisan itu bertele-tele. Tapi,
sebaliknya, bila reporter itu melupakan gambaran direktur pada saat ia
menulis feature, redaktur mungkin akan bertanya, "Orangnya seperti apa?
Saya tidak bisa membayangkannya”.
Anekdot juga penting untuk membuat menarik sebuah feature. Tapi
anekdot yang dimasukkan jangan mengada-ada dan dibuat-buat. Selain itu,
kutipan ucapan juga penting, agar pembaca tidak jenuh dengan suatu
reportase. Detil pun penting tetapi harus tahu kapan terinci betul dan kapan
tidak. Contohnya; Preman itu tertembak dalam jarak 5 meter lebih 35 centi 6
melimeter. Apa pentingnya detail seperti itu? Sebut saja sekitar 5 meter. Tapi
dalam contoh lain, gol kemenangan Persebaya dicetak pada menit ke 43.
Detail ini jelas penting. Tak bisa disebut sekitar menit ke 45, karena menit 45
sudah setengah main. Dalam olahraga sepakbola, menit ke 43 beda jauh
dengan menit ke 30. Bahkan dalam atletik, waktu 10.51 detik banyak bedanya
dengan 10.24 detik.

Praktikum 5 :
1. Temukan pada surat kabar atau majalah, dua buah batang tubuh berita
feature yang menurut Anda menarik. Berikan analisa dan penilaian
Anda terhadap kedua batang tubuh feature tersebut.
2. Dari hasil reportase yang sudah Anda lakukan, mulailah membuat
batang tubuh untuk tulisan feature Anda.
Penutup
Jika batang tubuh sudah selesai, maka tinggal membuat penutup
atau ending tulisan. Seorang penulis harus dengan hati-hati dalam menilai
dan menimbang-nimbang apakah penutup yang ia buat merupakan akhir
yang logis bagi cerita itu. Bila merasakan bahwa ending-nya lemah atau tidak
wajar, ia cukup melihat beberapa paragrap sebelumnya, untuk mendapat
penutup yang sempurna dan masuk akal. Ingat peran Anda sebagai "tukang
cerita" dan biarkanlah tulisan Anda mengakhiri dirinya sendiri, secara wajar.
Usahakan untuk bercerita dengan lancar, masuk akal, dan tidak dibikin-bikin.
Ada beberapa jenis penutup yang disarankan, antara lain :
 Penutup ringkasan (Summary ending). Penutup ini bentuk maupun
sifatnya seperti sebuah ikhtisar. Ia hanya seolah - olah mengikat ujung
bagian-bagian cerita yang lepas lepas dan dengan demikian
mengarahkan dan menunjuk kembali ke teras atau intro. Penutup
ringkasan dimaksudkan untuk membimbing pembaca pendengar atau
pemirsa untuk mengingat kembali pokok-pokok cerita yang sudah
diuraikan. Pesan inti cerita ditegaskan kembali dalam kalimat atau
redaksi yang berbeda. Akhirnya pembaca, pendengar atau pemirsa
diyakinkan tentang apa yang seharusnya dipikirkan atau dilakukan
setidak-tidaknya ia tidak memetik kesimpulan yang keliru.
 Penutup menyengat. (Stinger ending). Bagai sebuah film detektif,
sejak awal cerita sudah dipersiapkan akhir yang mengagetkan, tidak
disangka-sangka. Pada tengah cerita, imajinasi pembaca
"dipermainkan" untuk suatu akhir yang tidak dapat diduga dan
mengagetkan pembaca. Misalnya, tulisan feature tentang penjahat
yang berhasil ditangkap lewat pengejaran panjang. Dalam tubuh berita
sudah dijelaskan panjang lebar tentang usaha keras petugas
kepolisian menangkap sang penjahat hingga akhirnya berhasil di bui.
Kemudian ending feature-nya adalah: Esok harinya, bandit itu telah
kabur kembali.
 Penutup klimaks (climax ending). Merupakan akhir sebuah tulisan
yang bersifat kronologis. Ditulis dengan nada makin menaik
(kronologis) sebagaimana bata demi bata disusun untuk kemudian
menjadi sebuah rumah maka bagian cerita demi bagian dan
ketegangan demi ketegangan makin menumpuk yang akhirnya
sampailah kepada ketegangan yang paling tinggi atau puncak yang
disebut klimaks. Hanya saja dalam feature, penulis berhenti bila
penyelesaian cerita sudah jelas, dan tidak menambah bagian setelah
klimaks seperti cerita tradisional.
 Penutup tanpa penyelesaian (Unending ending) : Tulisan berakhir
dengan mengambang, tanpa jawaban tuntas. Jawaban diserahkan
kepada pendapat masing-masing pembaca. Bisa jadi ini merupakan
taktik penulis agar pembaca merenung dan mengambil kesimpulan
sendiri. Tapi bisa juga karena masalah yang ditulis memang
menggantung, masih berlanjut, entah kapan.
 Penutup ajakan. Dalam penutup jenis ini, pada paragraf terakhir,
penulis melontarkan saran, imbauan, seruan, atau ajakan kepada
pembaca, pendengar, atau pemirsa, untuk melakukan suatu tindakan
tertentu yang dianggap relevan dan sangat mendesak. Penutup jenis
ini terutama digunakan mencari dan memecahkan suatu persoalan.
Penutup ini juga bisa dipilih untuk peristiwa yang mengancam
keamanan dan keutuhan masyarakat atau bangsa seperti pada kasus-
kasus unjuk rasa masif, pertentangan etnis, konflik berkepanjangan,
kerusuhan, perang.

Praktikum 6 :
1. Temukan pada surat kabar atau majalah, dua buah penutup berita
feature yang menurut Anda menarik. Berikan analisa dan penilaian
Anda terhadap kedua penutup feature tersebut.
2. Dari hasil reportase yang sudah Anda lakukan, mulailah membuat
penutup untuk tulisan feature Anda.

                                       
       
CONTOH-CONTOH BERITA FEATURE

Contoh 1
Di dalam negeri sendiri, kita tidak kekurangan wartawan-wartawan
yang handal menulis feature. Sebut saja Subkhan J. Hakim, wartawan Koran
Tempo, yang berhasil meraih penghargaan Adinegoro (penghargaan tertinggi
untuk karya jurnalistik di Indonesia) pada peringatan Hari Pers Nasional
(HPN) pada 2016 lalu. Subhan sukses dianugerahi penghargaan tersebut
melalui berita feature-nya berjudul “Jagoan Lokal Tak Kalah Pede”, yang
terbit di Koran Tempo edisi 26 Juli 2015. Melalui karya feature-nya tersebut,
Subkhan berhasil memotret dan menceritakan tren yang sedang terjadi di
dunia anak muda, yakni komik dan media social dengan gaya penulisan yang
renyah, memikat dan segar. Gaya tulisannya yang lincah dan menarik,
membuat pembaca bertahan untuk terus membaca tulisan tersebut hingga
akhir. Banyak pihak menilai, Subkhan sukses menampilkan gaya non-
mainstream dalam tulisannya dan mampu menahan pembaca untuk
membaca habis sebuah tulisan panjang. Berikut tulisan karya Subkhan :

Jagoan Lokal Tak Kalah Pede 


KORAN TEMPO, MINGGU, 26 JULI 2015
REPORTER: SUBKHAN J Hakim

Si Juki tak punya paras tampan bak bintang sinetron. Giginya tonggos, matanya belo,
dan kulitnya cokelat. Perilakunya pun sering kali menyebalkan. Kadang jahil. Tapi,
jangan salah, di media sosial seperti Instagram dan Facebook, Juki bukan tokoh
sembarangan. Dia punya lebih dari 100 ribu pengikut di ranah maya itu. Siapakah
sebenarnya Juki? 
Juki adalah aktor serial komik setrip dalam Si Juki karya Faza "Meonk" Ibnu
Ubaydillah. "Dia itu karakter mahasiswa desain komunikasi visual yang tidak lulus-
lulus," kata Faza dia. Tokohnya itu sudah nongol di media sosial sejak 2010.
Juki seperti tak disiapkan lahir dengan matang. Sebab, ia hanya berawal dari coretan
iseng Faza di Facebook. Eh, ternyata di lahan ciptaan Mark Zuckerberg itu aksi Juki
pelan-pelan disukai. Hingga ketika dia sudah demikian kondang, pada 2012 Faza
memutuskan tak main-main lagi menggarap Juki. "Saat itu gue berpikir serius
menjadikannya sebagai salah satu sumber penghasilan," kata pemuda berusia 24 tahun
itu, dua pekan lalu.
Faza pun meluncurkan ulang Si Juki di media sosial, dari Facebook, Twitter, Line,
YouTube, hingga Instagram. Dan ternyata nasibnya memang kian ngacir ke atas. Ia
semakin dikenal luas. Bahkan Si Juki lalu menjadi satu-satunya komik Indonesia yang
masuk dalam sepuluh besar komik terpopuler di Line Webtoon. Di sana Si Juki sudah
dibaca jutaan orang. Karakternya lalu diabadikan ke dalam stiker pada aplikasi Line,
dan sudah diunduh hingga 5 juta kali!
Line Webtoon adalah lapak komik daring bikinan aplikasi Line (Korea Selatan).
Tentu saja karena asal Korea Selatan, karya seniman Negeri Ginseng tersebutlah yang
menguasai lapangan. Toh, si Juki dengan lincah mampu unjuk gigi.
Faza, yang kini juga menjadi dosen Universitas Bina Nusantara itu, tak mau berhenti
sampai di situ. Dia berencana meluncurkan patung action figure Si Juki dalam gelaran
Pop Con Asia yang rencananya diselenggarakan 7-9 Agustus 2015 mendatang. Ini
adalah salah satu pesta akbar para komikus lokal.
Eh, tetapi ada juga dhing karya komikus Indonesia lain yang nampang di Line, yakni
Piraku x Piraku bikinan Sweta Kartika. Sebelumnya komikus asal Kebumen ini punya
pengalaman membikin komik di media sosial. Serial komik Grey & Jingga, misalnya,
laris manis dibaca di Facebook sejak 2012. "Satu halaman bisa dibagikan hingga
ratusan kali," kata Sweta.
***
Karakter Si Juki dan Piraku x Piraku sebenarnya merupakan bagian dari gelombang
komik setrip media sosial yang kini menjadi tren. Komik-komik setrip lokal dengan
konten keseharian, perlahan tapi pasti, mulai memikat perhatian. Anda bisa
menemukan mereka dengan mudah lewat Path, Facebook, Twitter, hingga Instagram. 
Mari berkenalan dengan Nurfadli Mursyid, komikus komik setrip Tahilalats. Fadli
kini menjadi komikus Instagram dengan jumlah pengikut paling besar, yaitu mencapai
180 ribu pengikut.
Sebenarnya, Fadli mulai mengunggah komiknya baru pada Juli tahun lalu. "Tapi, saya
memang membuat komik setrip setiap hari," kata dia. Inspirasi kisah komiknya datang
dari berbagai kejadian sehari-hari, ataupun isu yang tengah hangat menjadi topik
pembicaraan.
Lalu ada Andhika Fachrezi. Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam
Bandung ini meluncurkan komik setrip Kompibipi dua bulan lalu-persisnya
menjelang kelulusannya dari sekolah menengah. Seperti kebanyakan komikus muda,
dia rajin mengunggah komik setripnya setiap hari, dan ternyata disukai banyak orang.
Dalam kurun itu, jumlah pengikutnya di Instagram naik dari hanya puluhan hingga
melampaui 3.000 pengikut. "Padahal, awal mulanya saya mengunggah komik hanya
karena iseng, dan untuk teman-teman dekat saja," kata pemuda 18 tahun ini.
Maraknya karya-karya komik di media sosial ini, menurut komikus Beng Rahadian,
tak lepas dari pengaruh fenomena meme, yakni bentuk komunikasi visual lewat
gambar atau fotografi yang mengandung lelucon. Meme kerap menyentil gejala
sosial, atau merespons ungkapan yang tengah populer. "Mereka yang bisa
menggambar, meresposnnya dengan komik setrip," kata pegiat Akademi Samali ini. 
Adapun Sweta menunjuk kebiasaan orang Indonesia yang cerewet di medsos sebagai
pemicu. Faktanya, pengguna medsos di Indonesia salah satu yang teraktif di dunia. 
Beng sepakat, Andhika dan Fadli adalah contoh komikus baru yang muncul dari
media sosial, khsuusnya Instagram. Dulu banyak yang memanfatakan Facebook dan
Twitter, lalu perlahan mulai beralih ke Instagram. Alasannya, Facebook kini dipenuhi
orang tua, "Sedangkan Twitter sepertinya dipenuhi orang-orang yang lebih serius,"
kata dia. Itu sebabnya dia meresa tak heran perkembangan komik setrip kian pesat di
Instagram dalam setahun terakhir.
Kelebihan lain yang ditawarkan Instagram, kata Beng, terletak pada kemudahan basis
aplikasi yang bertumpu pada visual, serta respons yang mudah. Istilahnya, hanya
dengan menyebut akun teman, para pengikut komikus bisa mengajak teman-temannya
membaca komik yang dianggap lucu. Kemudahan lain adalah tidak adanya proses
penyuntingan. "Ini yang membedakan komik setrip di media sosial dengan komik
setrip zaman dulu." 
Dulu, komik setrip yang dimuat di media massa, atau untuk dicetak, harus mengalami
proses penyuntingan ketat. Ini sering kali disertai kewajiban menyesuaikan gaya
gambar ataupun konten komik dengan tren. "Dengan keberadaan media sosial, itu
tidak berlaku lagi," kata Beng.
Absennya proses penyuntingan itu juga mengubah alur penerbitan karya komik. Dulu
komikus mengirimkan karya kepada penerbit. "Kini sebaliknya: penerbit yang justru
memburu komikus," kata Beng. Semakin besar jumlah pengikut dan penggemar,
penerbit biasanya berani menerbitkan komik tersebut. "Alasannya, kalau jumlah
pengikutnya sudah banyak, ada kemungkinan karya tersebut dibeli penggemar yang
sudah punya ikatan khusus," kata Sweta.
Sweta tidak asal bicara. Karyanya yang berjudul Grey & Jingga saat dicetak ternyata
juga sukses di pasar. Sweta bahkan kemudian memilih melakukan penerbitan sendiri
atas komiknya tersebut.
Contoh serupa juga terjadi pada komik setrip Si Juki. Faza setidaknya sudah
menerbitkan lima judul buku dengan karakter Si Juki di dalamnya. Fadli dengan
komik Tahilalats, juga bakal diterbitkan. "Sedang dalam proses. Semoga tahun ini
bisa diterbitkan," ujar Fadli. 
Menurut Beng, komikus media sosial sebenarnya tak menargetkan komik mereka naik
cetak. "Yang penting bagi mereka karyanya dibaca dan diapresiasi. Di media sosial
mereka menemukan itu," kata Beng.
Serba kemudahan itu, menurut Beng, bakal tidak ada artinya jika para komikus
mengabaikan isi. Dia menyarankan komik di media sosial memiliki konten dinamis.
"Gaya gambarnya bisa macam-macam. Tapi, kontennya harus bagus," kata dia. 
Itu sebabnya, isi komik opini yang merespons kejadian sehari-hari lebih laku
ketimbang cerita fiksi. "Komik opini itu, tidak habis inspirasinya," kata Sweta.
Selain merespons isu, lelucon dan istilah anak muda pun bertaburan di komik-komik
itu. Contoh lelucon kocak yang cukup jitu dan sangat Indonesia, misalnya, dilakukan
Abi Ma'ruf lewat akun Instagram Si_Abi. Dia memparodikan tokoh putra Dewa Zeus,
Thor, dengan tarian tortor asal Sumatera Utara. Tanpa banyak kata, humor ini
menggelitik mereka yang memahami konteksnya.
Selain humor semacam itu, ada juga konten lokal kedaerahan yang digunakan sebagai
lelucon utama. Misalnya seri komik setrip Digi Doy yang konsisten mengangkat
humor ala Medan, lengkap dengan dialeknya. Atau komik setrip dari akun Instagram
wibik_sana yang sering mengangkat lelucon dengan keluguan khas tokoh Sunda. 
Ada juga komik yang mengusung konten religi semacam Komik Lingkar di Facebook
ataupun seri komik setrip Si Bedil di Instagram. Si Bedil bahkan digunakan juga
sebagai salah satu karakter untuk kampanye lembaga Dompet Dhuafa. "Komik
dengan konten religi, memang masih sangat terbuka untuk dikembangkan," kata Faza,
yang juga menjadi konsultan komik Si Bedil. Adapun menurut Beng, konten spesifik
seperti itu justru akan menarik banyak pembaca. "Asalkan tetap konsisten."
Rizki Ehsy Pangarso, kurator akun Instagram komikin_ajah, menyebut urusan konten
menjadi salah satu pertimbangan sebelum mempromosikan komik setrip. Akun
komikin_ajah kini punya lebih dari 500 ribu pengikut, dan menjadi semacam
promotor tak resmi bagi para komikus media sosial. "Kami tidak terlalu
memperhatikan gaya gambarnya. Yang penting justru kontennya. Kalau kontennya
menarik dan sangat lucu, besar kemungkinannya kami muat."
Baiklah sekarang dari mana para komikus itu mengambil inspirasi karyanya? Tak
seperti kebanyakan komikus yang menciptakan karakter permanen, Nurfadli Mursyid,
memilih membuat komik tanpa tokoh. "Yang muncul dalam komik saya adalah
random people," kata Fadli.
Tanpa tokoh tetap, ini akan memudahkan Nurfadli mengusung tema yang beragam,
dari menyindir kebiasaan buruk pengguna media sosial, hingga tema orang dewasa.
"Kadang memang ceritanya terasa agak absurd," ujar Fadli. Itukah sebab karyanya di
Instagram digemari hingga ratusan ribu orang? Bisa jadi!
Andhika Fachrezi juga memulai kisah komiknya dari berbagai kejadian sehari-hari.
Bahkan dia menampung berbagai macam kisah para pembaca. Ya, Andhika sengaja
membuka ruang komunikasi dengan para pengikutnya di media sosial lewat akun
Instagram andhikahappy. "Soalnya banyak dari mereka yang punya kisah menarik,
tapi kurang lucu kalau hanya diceritakan lewat kata-kata."
Dunia maya adalah wahana tak terbatas, dan kerap membersitkan keajaiban-keajaiban
bagi pegiatnya. Tak sedikit yang melejit kesejahteraannya karena pintar
memanfaatkan peluang yang ada di sana. Sweta juga yakin, karier sebagai komikus
melalui media sosial bakal membuka banyak peluang dari segi ekonomi. "Dulu karier
sebagai komikus tidak terlalu menggembirakan. Tapi, kini tidak lagi," kata dia. 
Di sisi kreatif pun terbuka lebar untuk mencapai keragaman karya.
Beng menyebut perkembangan cepat komik lokal sangat menggembirakan. "Komik
Indonesia tampil sebagai komik-komik yang lugu dan apa adanya, dengan identitas
yang tidak meniru lagi," kata dia.
Maka hari ini, misalnya, kita mengenal Juki yang tidak tampan, tapi demikian percaya
diri menerobos penggung yang lebih luas. "Juki gue gambar sebagai sosok anti-
mainstream. Alias berani beda," kata Faza yang kini menjabat sebagai CEO Pionicon,
perusahaan intelectual property management.
Sudah saatnya memang berhenti memuja yang serba dari luar. Juki telah memberikan
contoh nyata.SUBKHAN J. HAKIM

Contoh 2
Ada juga karya feature menawan dari Rachel Kaadzi Ghansah,
reporter dari majalah GQ. Ia membuat tulisan profil feature tentang Dylann
Roof, seorang pembunuh berdarah dingin yang diduga kuat bertanggung
jawab atas pembunuhan sadis sembilan anggota paroki di Gereja Episkopal
Methodist Emanuel Afrika pada bulan Juni 2015. Membaca tulisan Ghansah
tentang Dylann Roof tersebut banyak pengamat menyebut karyanya itu
sebagai campuran unik dan kuat dari reportase, refleksi dan analisis orang
pertama dari kekuatan sejarah dan budaya. Atas karya feature-nya tersebut
Ghanzah yang merupakan lulusan dari Colombia University, AS, dianugerahi
Pulitzer Prize, sebuah penghargaan prestisius di bidang jurnalisme cetak di
Amerika Serikat, untuk kategori best feature writing, pada bulan April 2018.
Dalam sebuah wawancara di salah satu stasiun televisi, Ghansah
mengungkapkan bahwa awalnya ia merencanakan sebuah tulisan yang
berpusat pada keluarga korban. Namun di tengah jalan, nuraninya berkata
bahwa tidak pantas rasanya terus melakukan reportase, tanpa mengulik
kehidupan pribadi Dylann Roof dan membiarkannya terlihat suci. Tidak
kurang dari sebulan lamanya Ghansah melakukan peliputan dan
mewawancarai kedua orang tua, teman-teman hingga mantan guru Roof.
Tidak lupa juga para anggota keluarga korban pembunuhan. Hasilnya,
terciptalah karya feature yang kaya dan menarik. Berikut artikelnya :

A Most American Terrorist: The Making of Dylann


Roof
BY RACHEL KAADZI GHANSAH
August 21, 2017

“What are you?” a member of the Mother Emanuel AME Church in Charleston asked
at the trial of the white man who killed eight of her fellow black parishioners and their
pastor. “What kind of subhuman miscreant could commit such evil?... What happened
to you, Dylann?”
Rachel Kaadzi Ghansah spent months in South Carolina searching for an answer to
those questions—speaking with Roof’s mother, father, friends, former teachers, and
victims’ family members, all in an effort to unlock what went into creating one of the
coldest killers of our time.

Sitting beside the church, drinking from a bottle of Smirnoff Ice, he thought he had to
go in and shoot them.
They were a small prayer group—a rising-star preacher, an elderly minister, eight
women, one young man, and a little girl. But to him, they were a problem. He
believed that, as black Americans, they were raping “our women and are taking over
our country.” So he took out his Glock handgun and calmly, while their eyes were
closed in prayer, opened fire on the 12 people gathered in the basement of Mother
Emanuel AME Church and shot almost every single one of them dead.

The Crucible
At the trial last December, two survivors and the many relatives of the victims sat in a
courtroom and looked at the back of Dylann Roof's head, the thinness of his neck. The
ever growing bald patch at the center of his bowl cut almost made him look like a
young, demented monk with a tonsure. He was dressed in the sort of getup that a man
wears when life hasn't presented him with many opportunities to wear a suit: a worn
crewneck sweater and thick polyester khakis that hung low over cheap-looking brown
leather dress shoes.
During two stages of his trial, Dylann Roof decided to represent himself. When family
members of the victims testified, they listened to him, without looking over, as he
lifted himself weakly from his chair and dismissed them from the stand with his deep,
always bored, blunt voice, which sounded like his mouth was full of Karo syrup. He
didn't object often, but when he did it was because he was bothered by the length and
the amount of testimony that the families offered. Could they keep their stories about
the dead quick? Whenever he stood to be walked back to his holding cell, his mouth
moved with what I first thought was a sigh or a deep exhale—really, it was an ever
present twitch, a gumming of his cheeks that sometimes ended with his tongue lolling
out and licking his thin lips.
Felicia Sanders, one of the few survivors, told the courtroom early on that Roof
belonged in the pit of hell. Months later, she said that because of him she can no
longer close her eyes to pray. She can't stand to hear the sound of firecrackers, or even
the patter of acorns falling. Because of Dylann Roof, Felicia Sanders had been forced
to play dead by lying in her dying son's blood, while holding her hand over her
whimpering grandbaby's mouth. She had pressed her hand down so tight that she said
she feared she would suffocate the girl. Eighteen months later, Felicia Sanders pointed
that same hand toward Dylann Roof in the courtroom and said, with no doubt in her
voice at all, that it was simple—that man there was “pure evil.”
Their vitriol was warranted but also unexpected, since in most of the press coverage
of the shooting it had largely been erased. Almost every white person I spoke with in
Charleston during the trial praised the church's resounding forgiveness of the young
white man who shot their members down. The forgiveness was an absolution of
everything. No one made mention that this forgiveness was individual, not collective.
Some of the victims and their families forgave him, and some of them did not. No one
acknowledged that Dylann Roof had not once apologized, shown any remorse, or
asked for this forgiveness. Or the fact that with 573 days to think about his crime,
Dylann Roof stood in front of the jurors and, with that thick, slow tongue of his, said
without any hesitation whatsoever, “I felt like I had to do it, and I still feel like I had
to do it.”

On the first morning that Felicia Sanders testified, I was seated directly behind
Dylann Roof's mother, and because she is skin and bones, it was apparent that she was
having some kind of fit. She trembled and shook until her knees buckled and she slid
slowly onto the bench, mouth agape, barely moving. She said, over and over again,
“I'm sorry. I'm so sorry.” She seemed to be speaking to her boyfriend, but maybe it
was meant for Felicia Sanders, who was soon to take the stand. A communiqué that
was a part of the bond that mothers have, one that was brought up by the radiant
shame one must feel when your son has wreaked unforgivable havoc on another
mother's child. Whatever it was, it was Gothic.
When Dylann Roof's mother fainted in the courtroom, a reporter from ABC and I
called for a medic, and not knowing what else to do, I used my tissues to put a cold
compress on her forehead and started dabbing it—before I felt out of place, or realized
that I was too much in place, inside of a history of caretaking and comforting for
fainting white women when the real victims were seated across the aisle, still crying.
But even during all of this chaos, this pain that made the courtroom feel swollen with
grief, Dylann Roof did not appear to look back at his very own mother.
After Roof was found guilty, they went up to the podium, one by one, when it was
time for the victim-impact testimony, and standing near the jury box, they screamed,
wept, prayed, cursed. Some demanded that he acknowledge them. “Look at me, boy!”
one raged. He did not. Others professed love for him. He did not care. Some said they
were working the Devil from his body. Feel it, they shouted. He did not appear to feel
anything.
I had come to Charleston intending to write about them, the nine people who were
gone. But from gavel to gavel, as I listened to the testimony of the survivors and
family members, often the only thing I could focus on, and what would keep me up
most nights while I was there, was the magnitude of Dylann Roof's silence, his refusal
to even look up, to ever explain why he did what he had done. Over and over again,
without even bothering to open his mouth, Roof reminded us that he did not have to
answer to anyone. He did not have to dignify our questions with a response or explain
anything at all to the people whose relatives he had maimed and murdered. Roof was
safeguarded by his knowledge that white American terrorism is never waterboarded
for answers, it is never twisted out for meaning, we never identify its “handlers,” and
we could not force him to do a thing. He remained inscrutable. He remained in
control, just the way he wanted to be.
And so, after weeks in the courtroom, and shortly before Dylann Roof was asked to
stand and listen to his sentence, I decided that if he would not tell us his story, then I
would. Which is why I left Charleston, the site of his crime, and headed inland to
Richland County, to Columbia, South Carolina—to find the people who knew him, to
see where Roof was born and raised. To try to understand the place where he wasted
21 years of a life until he committed an act so heinous that he became the first person
sentenced to die for a federal hate crime in the entire history of the United States of
America.

Father
Dylann had always preferred Charleston. Charleston had history. It was once home to
the most enslaved people in the country. It was a city full of relics and buildings that
reminded him of a time when white men were mighty, and the masters of their
dominions, a time when they had prevailed. Not like his hometown. Not like
Columbia.
Dylann Roof's father lives on a dead-end street at the edge of Columbia, across from a
lot that is as vast and empty as the end of the world. Behind the lot, there is a small
apartment building that is lit up with too many halogen lights, probably to keep people
from loitering and doing the dumb shit people do when they think nobody can see
them. But that's it. There is nothing else at the end of the street except the Roofs' little
house.
The house itself is well made. Low-slung, yellow, a Craftsman-style bungalow. It is in
a nice enough neighborhood, but still looks like a place where people go when their
dreams elsewhere have washed up and gone dry. On the mailbox, there is a route sign:
end 1 key west. And on the door there are two faded Ron Jon Surf Shop stickers and a
smaller, “I Voted” sticker. Someone has tied an American flag to the tree out front.
The decals, the rusted wind chimes, and the slightly mildewed lawn furniture give the
house the feel of one man's Margaritaville.

I stood there across the street, lying in wait. Waiting for what? An answer. A reason.
A detail I could take with me to help make sense of impossibly awful things. Wrapped
in that moonless night, I knocked on the door of the yellow house, and in the
confusion of having an unknown black woman at his door a few hours before
midnight, wanting to talk about his son, Bennett Roof let me come in and handed me
an ice-cold beer that tasted like relief in my paper-dry mouth, parched from nerves.
And then I took a seat on the couch where his son used to sleep, feet away from the
computer where his son wrote his explanation of why he had to kill nine black people,
feet away from the file cabinet where Dylann Roof sometimes stored his jacket with
its flag patches from African apartheid states. Bennett Roof was wary but kind. He
watched me closely while I petted the affectionate mackerel tabby cat that his son had
taken so many pictures of but still left behind. I watched him closely when I asked
him to make sense of something that he said he could not. In a living room full of
paintings of Florida and parrots, all that Dylann Roof's father could say, over and over
again, was: “I don't know what happened, I just know that the boy wasn't raised that
way.”
Even when I pushed him, he said it again, and then he shook his head and kept saying
it until he asked me to leave, with the sad look of a man who wanted any other life
than this one. After Dylann did what he did, there was no going back to Key West, or
to some easy before. There was just this, just intrusions from strangers who wanted an
answer and felt the nature of his son's crime warranted one—and just Benn Roof
letting his two giant Rottweilers out the front door to track me and to make sure I'd
gone back into the dark street and the black night I'd come from.
Benn Roof never showed up at his son's trial. (Contacted later, Benn Roof declined to
participate in this story further, describing it as “fake news.”) In Dylann's farewell
note to his father, found torn out of a journal in the backseat of his car, there is no
nostalgia. It is devoid of a loving tone, except to say to his father that he was a good
dad. In the card Benn Roof gave his son just four months before, for his 21st birthday,
there is that same terse tone. Benn told his only son that he was proud of him, and
here was an IOU for $400, so that Dylann could finally apply for a permit and
purchase a gun.

The Education of Dylann Roof


It is as if he floated through people's lives leaving nothing for them to recall. One
teacher who spent time with him in her classroom every day says that she typically
has a good memory, but she apologizes because she really can't remember anything
about him. He did absolutely nothing that would trigger any attention except that he
compulsively used hand sanitizer. Dylann Roof emptied bottles and bottles of the stuff
into his hands, so much so that it became something of a running joke in class that
Dylann could not do anything, not even go to lunch, until he had disinfected and
scrubbed his hands clean. As if he were aware of some stain or some filth that others
did not see.
In the aftermath of the murders, many of Roof's former classmates rushed to do
interviews. This infuriated Roof, who cautioned in his journal: “Many of the people
who claimed to have known me, I have never heard of in my life. Anything these so-
called friends have said about me should be interpreted as lies. I haven't had a black
friend in years, and have never had a close black friend.”
When Caleb Brown sat down at my table in a restaurant in downtown Columbia, what
was surprising was not only how many heads turned when he walked in but also that
Dylann Roof's closest childhood friend is mixed race and looks black.
When I asked Caleb if Dylann knew he was black, he laughed.
“If you look at me, I don't think you'd be like, ‘Oh, that's a white boy.’ ”

Caleb and Dylann were already classmates when their mothers, who had been
childhood friends, realized that they both had sons who were the same age and in the
same class. Their mothers' bond pushed the boys together. Yes, Dylann knew he was
black, and it didn't alter things. Dylann even once asked him about his brown skin, as
kids will do. They had similar interests—skateboarding, wrestling, video games. So
after school, they regularly hung out together, even though Caleb found Dylann to be
slow-witted.
“I just remember that he wasn't necessarily doing that good in school on the easy
stuff. And it wasn't just books; in everything he was just…dull,” he said. “He wasn't
really street-smart. Let's say we were at the park, and we had to run away, he'd be
kinda slow on getting what we needed to do.” As they grew older and their interests
diverged, Dylann wasn't the sort of kid you took along with you, because “he just
wasn't with it.”
Caleb, a musician and rapper, is thin and tall. The two times we talked, he was
dressed in a uniform of red-gold-and-green Adidas shell toes, a punk T-shirt, skinny
jeans, and an oversize bomber jacket. He had thick dreadlocks that reached his
shoulders. The second time we spoke, he wore gleaming gold grillz. This is to say, he
looks cool, and it makes sense that puberty became a schism between them and that
they hadn't seen each other in years.
They were so estranged by the time of the murders that when Caleb read Roof's
writings, what shocked him was not just the hatred but also that the dull, slow kid he
knew could even string together a coherent collection of thoughts: “For a long time, I
thought Dylann had to have read someone else's writing or been coached, because the
kid I knew couldn't write or even think like that.”
When I told one of Roof's teachers that I'd been in touch with some of his classmates,
the mention of Caleb delighted her. This happened with many people, including with
Dylann's mother. She was the only person besides Caleb who confirmed that the two
boys had ever been friends. (Otherwise, Amelia Roof declined to participate in this
story.) Their teacher said, “Maybe Dylann's mother wanted him to be close with
Caleb, but I can't really see it.”
Dylann and Caleb's elementary-school principal, Ted Wachter, administered
Rosewood Elementary for three decades. Before that, he grew up in Queens, and he
still has a strong New York accent even after 30 years in South Carolina. At his home
in Columbia, he sat in a tall chair that made him look magisterial, but his gestures
softened it all into the swagger of a liberal-arts professor. After he and his wife
handed me a bowl of pistachios and a glass of white wine, Wachter, who talks fast
and without shyness, asked me if I wanted to hear his theory on what happened to
Dylann Roof. He started at the very beginning. Back when he heard on the radio about
“this tragedy in Charleston” and the name Dylann Roof came up, Wachter thought to
himself, Hell, I know that name.
Dylann showed up at Rosewood at the age when social relationships become “class
driven” and start to “self-sort.” Wachter, who has a background in sociology, watched
in dismay as “those black-white relationships also started fraying. They just broke up,
and I don't think anyone wanted it to, but the social pressures are so strong.
“And when Dylann came,” Wachter observed, “I remember him because he was quiet.
I always remember thinking, ‘This is a nice, handsome-looking boy.’ I'll show you his
picture in the yearbook. Handsome, cute, but quiet, and he never was in my office for
trouble. He was very quiet, and he wasn't part of the in crowd, which was more…the
kids of college-educated families. He wasn't part of that. He was with the working-
class kids.
“To understand Dylann, you need to read The Hidden Injuries of Class,” Wachter
said. What that book revealed was “how white working-class people in Boston, in
South Boston, the more you interviewed them, what came out, especially after a few
beers, is how inferior they felt to all the Harvard, Cambridge, bright, educated
people.” In Wachter's mind, Dylann wasn't stupid, but he felt displaced. It was a case
of class resentment. “And here's the funny thing: If I had a dinner party right here
with just white Ph.D.'s, it would not be socially acceptable for me to make any slur to
an African-American person or a Hispanic person or a Muslim, but if I refer to poor
whites as rednecks—”
“Or crackers or white trash,” I interjected, saying the words he didn't want to say.
He grimaced but acknowledged them.
“That would almost be socially acceptable to say those things. It just shows you how
alienated they are. And these poor white working-class guys, they must realize this.
See? So maybe Dylann's family is a good example of downward social mobility. And
Trump showed us this, that we underestimated how vulnerable and precarious self-
esteem is for white, working-class people in this society. They not only see the white
elites, but then they see…”
“They see us, black people, coming from behind, eclipsing them.”
Leaning forward in that tall chair, Wachter pointed at me for getting the answer right,
and then he shrugged with his long arms out and asked the question he knew neither
of us had an answer for.
“And, they say, ‘What are these people doing up there? What has happened to me?’ ”
Before I left, I followed Wachter into his study, where his wife, Jan, pulled down a
bin of yearbooks. They sorted through them until they found what they were looking
for. The three of us huddled around and peered at a picture of a young, small, diverse
class full of smiling black students and a few smiling white students, as well. The
students were grouped together, with clear affection, elbows on each other's backs,
almost hugging, giggling with ease. And then I found him. Off-center, straining at a
smile, with sad eyes, standing to the side, in a natty-looking red jacket, with his bowl-
cut blond hair, already looking like a boy apart.

The Purity of the Roof Family


“My blood is mostly from the British Isles, but I have been blessed with a significant
amount of German blood, and a German surname,” Roof wrote. “My blood is
representative of America.” Roof was preoccupied with the idea of his own purity. He
did cursory studies of his family online. I'd been curious about what he might have
found and so I spent time in the archives in Columbia, learning what I could about his
ancestry.
The Roofs of the 19th century were not what anyone would call an illustrious family,
but they did well enough in Columbia to be recorded in local history books as diligent
churchgoers and good citizens. Dylann's great-great-great-grandfather played a minor
role in the Civil War: Jesse Marion Roof had planned to become a minister, and
would have if the Civil War hadn't interrupted his studies. Instead, he married a
woman named Tarsy in 1859, and three years later, he enlisted in the Confederate
army as a corporal. He was put on boat duty and ran water to Morris Island, which is
best known as the site of the horrendous defeat of the first black members of the
Union army. But these were not remarkable lives. If anything, they were wholly
typical. They were so typical that when I was at a local library, the only thing that
caught my eye about Roof's early ancestor was that when Jesse Marion and Tarsy
Roof's household was tallied for the census, along with their names there was listed in
the household a small “mulatto” child.
“I wish with a passion that n——s were treated terribly throughout history by Whites,
that every White person had an ancestor who owned slaves,” Dylann wrote on his
website, TheLastRhodesian.com. Although all white Americans have benefited from
the centuries of free black labor, it is true that the majority of white southerners were
in no position to own anything or anyone. Dylann Roof's ancestors also had very little,
but they owned a child, an enslaved girl. There was no first name listed, but her last
name was Roof, and she was 8.
I spent the weeks in the courtroom looking at him and wondering about her. If she
was purchased, she was purchased as a child who was close to incapable of doing
much work. And with no other enslaved people in the household, why was it just her?
Who was her mother? Who was her father? Or was she the product of the rape of an
enslaved woman, which, of course, could very well make her Dylann Roof's ancestor,
a most American part of his pure blood? The fact that he felt like he knew so much
about race but didn't know about her is why, in all of Dylann's investigations into his
family, in all of his interpretations of history and his rants against race mixing, there is
the cognitive dissonance of a man looking for what never was, especially in this
country: any kind of racial purity in the first place. Bennett Roof was in his mid-20s
when he met Amelia. Amelia, who went by Amy, worked at a bar called the Silver
Fox. She was a waifish, young divorcée, only 29, a bartender with blonde hair that
was so long that some people said it went down to her ankles. It did not, but she must
have looked just like a pale version of that country singer Crystal Gayle. Did Benn
sense that Amy, too, came from a family that fared better in the before? Or did they
sense the social decline they were both caught in and seek to plunge into it together,
hand in hand? Amelia Roof came from a prominent Yankee family that had moved
south to the Carolinas in the early 1800s, but by the time she was born, none of the
education, wealth, or class seemed to have trickled down. Dylann’s paternal
grandparents were people full of promise (he is now a well-respected, solidly middle-
class real estate lawyer in Columbia; she does not work), but they had what their
grandson did not: educations and an assurance that their social class and their
whiteness would mean that they belonged.
There was no birth announcement when he arrived. In fact, on his birth certificate,
there is no father even listed. Amy named her boy Dylann Storm Roof because she
liked how the name sounded from a character on the soap opera General Hospital.
In his “manifesto,” Dylann says that it is absurd to suggest that being the child of a
divorce means that he had a hard life, since many people are the products of divorce.
But Dylann wasn't really the product of divorce. His parents weren't together when he
was born; Dylann was either an accident or a love child. And the reunion did not last.
For Amy, there were five addresses in just as many years—more addresses than
almost seem possible. Maybe those many moves explain why no one remembers
much about Dylann Roof as a boy. In the classroom and around town: He was an
unmemorable ghost, until he wasn't.

A Church
That Dylann Roof walked into a church and brought such violence into a sanctuary
was the detail that most white people I met in South Carolina found so disturbing.
That the church was predominantly black and he was white was an aside to them. To
harm anyone in a church is something that you just don't do. Church is the center of
one's moral education and basis for one's life, they told me. So early one Sunday
morning, I woke up and went to a service at the church that Dylann's father and
grandparents attend in Columbia.
This black body of mine cannot be furtive. It prevents me from blending in. I cannot
observe without being observed. At Dylann Roof's church, I was greeted warmly at
the door by a young white woman and a middle-aged white man. But when I entered
the chapel and was seated in a rear row, many eyes turned on me, making me feel like
I was a shoplifter trying to steal from their God. Was it because I didn't know the
hymns, because I didn't take Communion, or was it because I was black? I do not
know.
After the service, I told Dylann's pastor, Tony Metze, how uncomfortable I felt being
there. And even though he didn't really have much time, Metze agreed to give me a
few minutes to talk. For as long as Roof was held at the Al Cannon Detention Center,
Metze continued to visit him, and a few days after our interview in Columbia, Metze
also attended the trial with Roof's grandparents. When the murders occurred, Metze
was approached by lawyers to ask kids who knew Dylann what they remembered
about him, but none of them remembered much.
“What I've seen is: He's a really smart kid that's always been very interior, where stuff
goes on that you're not aware of." Metze said Dylann was smart but just couldn't do
school. "And there wasn't a whole lot of interaction with the other kids,” he told me.
Out of everyone, it was his grandfather who was closest to Dylann, Metze said. “He
just would not give up on Dylann. Dylann just doesn't talk, so I think his grandfather
did what grandfathers do: spend time with him, hope and pray I can nourish and
strengthen this kid, bring something out in him.” C. Joseph Roof, Dylann's
grandfather, would later tell the court at Roof's state trial that he and his wife prayed
for the victims' families every day. He said they were very sorry, but he also implored
people to remember that “nothing is all bad, and Dylann is not all bad. There’s no way
we could ever feel what they’ve felt and what they’ve lost, just as no one can
understand what we’ve been through.”
When I got the opportunity, I asked Metze about what happened to me in his church,
if it was indicative of a larger inability to deal with race and racism. He pointed to a
Korean church out the window and said he did not know why people liked to worship
with their own. Then he told me there was one black parishioner, who comes to an
earlier service.

When he finished speaking, Metze's shoulders slumped as if he was facing a certain


ruinous defeat, and he admitted that he could be wrong, but he felt like times had
changed since when he was a boy in South Carolina. “I don't know what's going on
with Dylann, but I know there's a wickedness or evil in the world. I'm not making the
connection necessarily. There's things I just don't understand that get into a realm that
make absolutely no sense whatsoever. How do you make sense out of that which
makes no sense?”
I asked if they'd reached out to the victims.
He told me they were not sure if it would be appropriate yet to visit Mother Emanuel.
He told me that they sent them cards and books about how to grieve. I did not tell him
that to me this felt somewhat insulting. It came across as a weak defense. One that
perhaps I shouldn't have charged him with answering to. But in that room, we had
become proxies for the people who weren't there.
Had Dylann changed at all since the crime? I asked Metze. Do you see a difference? I
was searching for a shred of humanity, and I think Metze saw that, because he looked
disappointed to have to tell me the answer.
“Honestly?”
“Yeah?”
“No.”
Metze slowly stood up. He had duties to attend to, so I told him I would let myself
out. I went out the way I came in, but the doors were locked. The lights had even been
turned off. But gleaming on a windowsill was a plastic laminated binder labeled “St.
Paul's Safety & Security Plan.” I opened it. It contained instructions for the greeters,
the same people who had welcomed me at the door. Without knowing what I was
looking for, I started to read: “Shocking events reported in the media can cause
congregations to take immediate action on emergency and security issues, but
emergency planning is a long-term process.… If a questionable unknown visitor
arrives, be polite, engage in conversation, steer him/her to a rear row seat where you
can have an Usher assigned to keep an eye on him/her.… Threats can come in many
forms.… You are the eyes and ears for the Safety/Security program at St. Paul's.” I
flipped through all of it, but the St. Paul's safety binder had no instructions for what to
do if the shooter was one of their own.

The Trailer, the Kids & the Strangeness


For two months in 2014 and 2015, Roof worked for Clark's Termite & Pest Control in
Irmo. There, his boss and his co-workers noticed that Roof was “often spaced or
zoned out while working,” that he would “go sit somewhere else by himself, even
though the rest of the crew was sitting together,” and that he would fall “asleep
virtually anytime he was stationary.”
One co-worker told Roof's lawyers that Roof wandered off one morning and started
working on “edging three houses down from the house they were working on.” The
co-worker had so much trouble getting Roof's attention that he had to “get in front of
[Roof] to get him back on the right property.” Another said he once asked Roof about
hobbies and Dylann said he “did not do anything; he just went home and sat in his
room.” When the co-worker asked Roof if he played video games, Roof said, “No, I
literally look at the walls.” He was a ninth-grade dropout with an online GED whose
laziness was legend.
In February 2015, four months before the murders, an ad with a picture of a young
man appeared on Craigslist. Roof was anonymously looking for a companion to join
him on a tour of historic Charleston, and he was seeking anyone except “Jews, queers,
or n——s.” The foulness and bigotry of the ad caught the eye of Dr. Thomas Hiers, a
retired psychologist. He reached out to Roof to try to help him, but in their exchanges
Roof continued to use the same hateful, derogatory language. Hiers offered to pay
Roof to watch TED talks, because he felt Roof needed an expanded worldview or, as
he later explained to Roof's lawyers, “a different way of looking at the world.” Roof
replied to thank Hiers and told him that he seemed like a nice man, but he refused the
help because “I am in bed, so depressed I cannot get out of bed. My life is wasted. I
have no friends even though I am cool. I am going back to sleep.”

The day after the murders, while talking to FBI agents, Roof described a life that
sounded cloudy with the same haze of idleness his co-workers spoke of. What were
his days like? They were a blur. There was a day spent at the movies; and the day of
the “incident”—but he could not remember which day he had done what. Roof told
them that he did not own a cell phone and that the few “friends” he did have were kids
he'd reconnected with in the months before the shooting, when he went to a local
library and used the computer there to create a Facebook account. He added 88
“friends,” and the majority of them were black kids who went to high school with
him. Eighty-eight because H is the eighth letter of the alphabet and two *H'*s is Nazi
shorthand for “Heil Hitler.”
Among the friends he reconnected with that summer was Joseph “Joey” Meek, who
knew Dylann in middle school. Meek, a young white man with bloated chipmunk
cheeks, had a serious marijuana habit and a permissive mother who had been asked by
Amy years before to encourage the boys' friendship. When Roof found him again,
Joey was living in a rented trailer in the unincorporated area outside Columbia with
his mother, his girlfriend, Lindsay Fry, and his two younger brothers, Justin and
Jacob. As the summer passed, Dylann would start to crash there at times. Later, Joey
would do a flurry of interviews in which he described his friendship with Roof and
explained why having a friend he hadn't seen in years stay in an already crowded
trailer wasn't at all strange. He was just that kind of person, who helped people who
were down and out.
The Meeks' rented trailer is tucked away in a circle of mobile homes that are not
mobile at all. Instead, they look very lived-in, bolted down to the rough times and the
twists of fate that landed their owners there. It was drizzling when I pulled into the
Hideaway Park development, and a man whose face I could not see stepped out of the
shadows. He was dressed in an oversize hoodie and was carrying a small pit-bull
puppy in his arms. He walked out toward the road without saying a word to me, even
when I asked him if he knew the Meeks. Out front, there was a child's play kitchen
with a sink full of stagnant, reedy water and a white car whose whole front had been
sideswiped and deeply dented.
During the time he stayed there, Roof would often drive Meek and his friends to
swimming holes, but then he would leave because he complained that his body could
not bear the South Carolinian heat. Even in the trailer, Roof kept to himself. Meek's
mother noticed that at times Roof would get agitated and retreat to his car, where he
would blast classical music and opera to quiet his nerves. But what had made him so
upset remained unknown.
In most of Roof's friends' accounts, there is one indisputable fact: That summer, they
all did a lot of drinking and a lot of pot smoking. Roof had already been arrested the
year before for possession of a Schedule III controlled narcotic. He was stalking
employees at the Columbiana Centre Mall and asking them “out of the ordinary
questions.” When police responded to a call, they searched him and found a “small
unlabeled white bottle containing multiple orange in color square strips.” Suboxone is
typically used to wean opioid addicts off their dependence, but it can also give non-
addicts a sense of euphoria, coupled with intense nausea.
In his jailhouse journal, Dylann wrote: “I don't like it when people try to read into
things, or try to find, or create meaning that isn't there. I don't like it when people put
so much weight on the things I say. Sometimes, more now than before the incident, I
feel that the people I talk to hang on my words as if they were all important or offer
some sort of insight into my being. But this isn't the case; it never is with anyone. For
example, I stated before I never used drugs to ‘drown the pain,’ or ‘self medicate.’ I
used drugs because they get you high. There is no deeper meaning behind this. There
is no deeper meaning behind any of my behavior.”
One person who spent time in the trailer park with Roof agreed to talk with me on the
condition that I didn't name them. When I asked what was most memorable about
Roof, the answer came quickly: “He was quiet, uncomfortably quiet, strangely quiet. I
mean really strange.” But in this wasteland, with this group of listless friends, Roof
could talk about shooting up a college, brandish his gun, use racist slurs, all without
being considered outlandish. These instances evaporated into their ears as liquored-up
loose talk. To this day, Roof's friends seem to have a striking inability to process the
gravity of what he did. They have said things like: “He would talk about killing
people, but none of us took him seriously.”

Perhaps some of this ennui can be attributed to age, but nothing can excuse the fact
that in the days after the murders, Meek took it upon himself to encourage the rest of
their friends to lie to the FBI investigators. For that crime, Meek was indicted, tried,
and convicted of withholding evidence and was sentenced to 27 months in prison.
And one month after her roommate committed a hate crime so horrendous that it
shocked the entire nation, Meek's girlfriend posted a picture of herself proudly
sticking out her pink tongue and her piercing's Confederate-flag decal.
In a parking lot near railroad tracks, the friend speaking anonymously—and
nervously, and trembling—told me that none of them are racists, they never heard
Dylann say anything bigoted, the press made that up. It was a moment, a wild
summer, they were just kids, and now it is all over, their friend tells me. Meek's
brothers and his mom no longer live with him; all of them have moved away from the
trailer in Hideaway Park.
Shortly after Roof was identified as the killer, a story circulated in the press that
Dylann had been upset about a white girlfriend who had rejected him for a black boy.
But Roof himself denied this in court. There was no girl. In fact, no one, not a single
person anywhere, remembers Dylann Roof ever dating anyone. Occasionally he went
to strip clubs; in an interview with the Charlotte Observer, Meek's girlfriend recalled
that Dylann had a preference for black strippers.
On a whim one night, I sent a series of messages to the other Meek brothers, Justin
and Jacob.
I asked them lots of things about Roof that they ignored.
But when I asked Jacob if Dylann Roof was a virgin, I saw the text bubbles that meant
he was typing a response.
Finally, his answer appeared: Yes.
Then I saw more typing, and then another reply, containing an answer full of the
immaturity and ambivalence that marked those weeks in the trailer:
IDK.…

The Gun
On April 11, eight days after Dylann Roof turned 21, the legal age for purchasing a
gun in South Carolina, he took the money his father had given him for his birthday
and drove to a gun store in West Columbia called Shooter's Choice, where he picked
out a Glock .45-caliber pistol.
Since he had been arrested for drugs the year before, Roof was no longer legally able
to carry a gun. But he lied on his concealed-weapon-permit application and wrote
“No” on the line that asked, “Are you an unlawful user of, or addicted to, marijuana or
any depressant, stimulant, narcotic drug, or any other controlled substance?”
As an applicant with a criminal record, Roof should have been flagged and stopped by
the FBI's background check, the National Instant Criminal Background Check
System, whose task is to not let “guns fall into the wrong hands”—e.g., an opioid
user. The FBI has three days to deny an application. If it doesn't, as Ronnie Thrailkill,
the manager at Shooter's Choice, testified, “the law allows dealers to transfer that gun
to the potential buyer. That's standard practice.” Without any reply from the FBI, on
April 16, Dylann Roof walked out of Shooter's Choice with his gun and five
magazines of bullets.
Two and a half months after the purchase, and 12 days after the shooting at Mother
Emanuel, Ronnie Thrailkill, an imposing, shaggy-bearded man whose thick old-
school glasses look like Cazals, received a phone call from the FBI's NICS. They
were calling to say there had been a mistake. The sale of a gun to Dylann Storm Roof
should have been denied.

The Matriculation of a Murderer


He traveled far to prepare for the crime. He drove that black car back and forth across
the state so many times that when his GPS was recovered by the FBI, the route looked
like a cat's cradle strung out by evil.
The hatred animated him. The dots that connected it all were historical sites related to
slavery and Confederate history, and practice runs to Mother Emanuel. He drove to
the 400-year-old Angel Oak on Johns Island, the Museum & Library of Confederate
History in Greenville, a graveyard of Confederate soldiers in his hometown, and
plantations like Boone Hall in Mount Pleasant. And he spent one evening at the beach
on Sullivan's Island, a place that at one point was the largest disembarkation point in
the United States for ships carrying enslaved Africans.
When he was done crisscrossing those dank swamps, those barren fields that once
held rice and indigo, he must have felt as accomplished in American history as any
naive ninth-grade dropout can feel. He'd downloaded books about the Klan, he'd made
lists of other nearby African Methodist Churches, he'd weighed the pros and cons of
shooting up a church versus a black cultural festival, and he'd jotted down the name of
a white church, with a note that this one was just “to visit.” He'd scribbled down Nazi
crosses and Klan runes in his journal. He'd inserted and implanted himself onto the
few sites in South Carolina that recognized or incorporated the history of black
Americans in the antebellum story of the state. He'd also taken selfies, portraits of
himself that logged his travels, which by virtue of the medium also captured his
solitude, his intense loneliness.
That Roof's crime was a metastasization of socially acceptable racism into something
more rugged and violent was what for most southerners signaled his outsiderness.
He'd killed because he was trash, they said. But in Columbia, during the trial, the
gossip about what some said was the real reason had blown around the city like an
ugly, chilly storm wind. And it was how some of those who knew the Roof family
made sense of the crime.
They said that a rape had occurred of someone close to Dylann Roof at the hands of a
group of black men, and while it had been kept a secret, there was a possibility that
Roof had found out and decided to seek payback on the most cowardly terms. This
was why he kept saying things like “I had to do it,” and why he told the nine victims,
who were predominantly women, that “they were raping our women.”
Folks said, one after another, that they felt compelled to tell me about it because they
wanted to rip the cloak of silence away from Dylann. They felt like those families in
Charleston needed to know the truth. If the story was true—that someone in Roof's
life was sexually assaulted and, because of that, he went into a church and rendered
such complete destruction on nine innocent bodies—it was such an old, foundational
excuse. It was a kind of twisted mythology birthed long ago in this nation, one that
had been leaned on to absolve guilty white men of their crimes on the innocent for
centuries.
As they saw it, this story of a fraudulent “revenge” placed Roof in his proper lineage.
He had joined the long line of white men who thought the letting loose of black blood,
the finding and maiming of random black lives, could somehow reprieve and rescue a
white woman's honor while securing a white man's position. These men, like Roof,
weren’t victims, they weren’t knights in an honorable war, they were murderers and
mercenaries who were searching for their Tara, and someone to blame and punish for
their decline and all of their worldly grievances.
What the Internet has done is transmogrify the old nature of racism. The argument
that the defense presented in court was that the answers to his rage lay in Roof’s
unique psychopathology. Roof was found to have a high IQ, but one that was
“compromised by a significant discrepancy between his ability to comprehend and to
process information and a poor working memory.” The same obsessive-compulsive
behavior that led him to take 88 bullets to the church and fastidiously keep only 88
friends because of the symbolism to Hitler possibly drove him to become obsessed
with racial violence. Dr. James C. Bellenger, the court-appointed psychiatrist, found
that Dylann’s ostensible lack of a social network and the rapidity with which he was
radicalized, coupled with his inability to forge any known connections even in the
white-supremacist chatrooms he frequented, give credence to the diagnosis of a
“schizoid personality disorder, a mixed-substance-abuse disorder, depression by
history and a possible autistic spectrum disorder.” Much of the evidence that was
sealed from the jury offered proof that Roof is on the autistic spectrum, but many
people have these differences, and they do not commit acts of violence or harm
anyone. And none of this alters the fact that Dylann Roof is not insane—he was
declared competent to stand trial not once but twice—and that was why Roof was
allowed to excuse his legal team and handle some of his capital-murder trial himself.
Roof was perhaps suffering from undiagnosed mental disorders. He was definitely
raised in a hotbed of racism. And maybe he was activated by the rumor of the rape.
But it is inarguable that he found the answer to his problems online.
That Dylann Roof supposedly went down Internet “rabbit holes,” by himself, "going
from one hate group’s false information about blacks to another, absorbing false
statistics about black-on-white crime and other race matters,” as Columbia’s
newspaper The State put it, was one of the things that surprised Heidi Beirich, the
director of the Southern Poverty Law Center’s Intelligence Project, which is the part
of the center that tracks hate groups. Beirich told the paper that “most white
supremacists killers [sic] spend a long time indoctrinating in the ideas. They stew in
it. They are members of groups. They talk to people. They go to rallies. Roof doesn’t
have any of this.” Beirich later told the Charleston City Paper, “If he's like anything,
he's like ISIS people. Young people who look at ISIS Twitter accounts, get sucked
into that ideology, and then go join the fight in Syria or commit domestic terrorist
attacks. He's actually rather unlike your typical white-supremacist killer. This
complete online radicalization over the maybe two and a half years he was in his room
is very atypical.” If it was atypical two years ago, it is no longer. To imagine that
Roof needed a handler is to underestimate the role that the Internet has played in re-
energizing and indoctrinating a young community of white supremacists.

The white supremacists of today, having been kicked off Twitter, often have
Instagram bios that offer an eerie good-bye to their opposition: Good night, left side.
And there are thousands of them. Like Roof, and unlike a typical ISIS recruit, they
don’t have handlers or any centralized way of becoming hooked. Instead, they are
brought into the fold because they have found something that explains their laggard
social progress to them and confirms their narrow worldview as fact.
They are young, they are white, and they often brag about their arsenals of guns,
because these are the guns that will save them in the coming race war. They are armed
to the teeth, and almost always, they are painfully undereducated or somewhat
educated but extremely socially awkward. That is, until their eyes are opened to the
fact that within the world of white supremacy they can find friends. These young
white supremacists call this reversal “weaponized autism.” What once alienated them
now helps them relate to others, people like Dylann Roof, over a common desire to
start a race war.
This new generation thrives off of subtext—small cues, images of a cartoon frog
called Pepe, reconverted swastikas that can go undetected. And they view the
transmission of these cues as a kind of trolling of their enemies. It is like the passing
of a note behind the teacher’s back. Roof even wore shoes to federal court that were
decorated with neo-Nazi codes and Klan runes. He thought himself part of a secret
fight for the future, in which, Roof wrote, he imagined he would one day be pardoned
by a sympathetic president.
The first public figure to link Roof to the Trump era was Nikki Haley, the then
governor of South Carolina, who said that “divisive speech”—like Trump’s, she noted
—“motivated Dylann Roof to gun down nine black parishioners at historic Emanuel
AME Church.”
While on the campaign trail, J.M. Berger of Politico noticed that Trump would often
“promulgate messages with racist cues (some more subtle, some less so), then deny or
disavow them, while the white nationalist community dutifully perked up and saw
those messages as a call to arms.” Although Trump denied any culpability, months
later, he twice retweeted an insult about Jeb Bush from an account called
@WhiteGenocideTM. A quick glance at the tweet’s origin revealed to Berger a page
“filled with anti-Semitic content and linked to a revisionist biography of Adolf
Hitler.” And on Stormfront, the same message board that Roof often frequented,
having seen the retweet a member wrote that Trump had “willingly retweeted the
name. The name was chosen to raise awareness of our plight. He helped propagate it.
We should be grateful.”
Dylann Roof, then, was a child both of the white-supremacist Zeitgeist of the Internet
and of his larger environment. He grew up in a state that derives a huge part of its
economy from plantations that have been re-purposed as wedding venues. When I
attempted to go to Boone Hall Plantation to see the exhibits and the stuffed enslaved-
people dummies that Roof posed with in some of his pictures, I was told I was not
welcome there unless I submitted a media request, since I might have a negative view
of the plantation.
I am a black woman, the descendant of enslaved people, so I went anyway and walked
along the same path that Roof did, where the quarters are set on something cheerfully
marked as “Slave Street.” I stood next to the dummies that are supposed to represent
black people in their deepest ignominy, and noticed that there were no dummies that
were supposed to represent the masters or the mistresses of the plantation. I listened to
a group of young white women sigh at the Alley of the Oaks, a corridor of trees near
Slave Street. One of them lamented, “It was so beautiful that pictures couldn't really
do it justice.”
South Carolina is the sort of place where, out one evening in Columbia for dinner,
only minutes after I sat down, I was accosted by six drunk upper-middle-class white
women who were out with their grown daughters. After pointing in my direction, one
of them staggered over and sat down, and with her thick tongue and her red eyes, she
asked me if I was her Uber driver and demanded that I drive her somewhere, “girl.”

Dylann Roof was educated in a state whose educational standards from 2011 are full
of lesson plans that focus on what Casey Quinlan, a policy reporter, said was “the
viewpoint of slave owners” and highlight “the economic necessity of slave labor.” A
state that flew the Confederate flag until a black woman named Bree Newsome
climbed the flagpole and pulled it down. A place that still has a bronze statue of
Benjamin Tillman standing at its statehouse in Columbia. Tillman was a local
politician who condoned “terrorizing the Negroes at the first opportunity by letting
them provoke trouble and then having the whites demonstrate their superiority by
killing as many of them as was justifiable…to rescue South Carolina from the rule of
the alien, the traitor, and the semi-barbarous negroes.”
Roof is what happens when we prefer vast historical erasures to real education about
race. The rise of groups like Trump's Republican Party, with its overtures to the alt-
right, has emboldened men like Dylann Roof to come out of their slumber and loudly,
violently out themselves. But in South Carolina, those men never disappeared, were
there always, waiting. It is possible that Dylann Roof is not an outlier at all, then, but
rather emblematic of an approaching storm.

Blood and Soil


He found solace in the belief that he too was part of the dispossessed. The embittered
white men who feel like they have no real future in the 21st century. Roof knew this
fear so well that he even wrote in the manifesto that he finished in jail: “How can
people blame white young people for having no ambition, when they have been given
nothing, and have nothing to look forward to? Even your most brain dead white
person can see that there is nothing, to look forward to? Even your most brain dead
white person can see that there is nothing good on the horizon?”
To become a student of this false history, it took him seven months—all of those
drives, all of that planning. His first trip to Mother Emanuel was on December 22,
2014. Two months later he ordered the South African and Rhodesian flag patches and
made a phone call from his mother’s house to the church.
Who knows how far along Roof was in his racism when he came across the website of
the Council of Conservative Citizens, a white-nationalist organization that was
founded in the 1980s (out of the ashes of the Civil Rights-era White Citizen
Councils), to support segregation and chokehold "all efforts to mix the races." During
the last election, the group was intensely active and not at all subtle about their
mission, with their Yale-educated spokesman, Jared Taylor, making robocalls for
Trump. Taylor also promised in an interview with This Alt-Right Life that “if there
actually is a Trump presidency, he will attract, at all sorts of levels in his
administration, people who do think the way we do.... There will be a great number
who will infiltrate his administration, his campaign, his advisers in ways that cannot
but be extremely useful both to Trump and to us."
For many years the CCC’s website and its newspaper were run by Kyle Rogers, a
computer engineer with an undergraduate degree from Ohio State University. Rogers,
who is on the Southern Poverty Law Center’s Top 30 watch list of “new activists
heading up the radical right”, is a prolific white-supremacist writer on black-on-white
crime. He was an early organizer of the Tea Party movement, and he believes that
enslaved people who were taken to the United States hit the “slave lottery."
To find sympathetic allies, Rogers, the owner of a flag company called Patriotic
Flags, stays in the comments section of the social-media accounts of pissed off white
men, and when the time is right, he posts links to his company, with its bazaar of
Confederate, white-nationalist, Nazi, and apartheid-era flags, similar to the patches
that Dylann Roof sewed onto his jacket. Rogers has said he was “devastated” to learn
that Roof connected to his writings, and he denies ever meeting Roof, going so far as
to call it libelous to associate the two of them. He issued these denials because many
people assumed that there was a link between them since Rogers also lives in South
Carolina. In fact, he lives just 20 miles outside of Charleston in a beige ranch house,
from which he is said to run one of the most militant branches of the CCC. On his
street, one neighbor's yard is decorated with chipped clay figurines of black boys and
a chipped clay Bambi deer.
I know this because after Kyle Rogers refused to take my call, I went there one day
and knocked on his door. His neighbor, a heavyset white guy with a buzz cut, had just
pulled up in his pickup truck. After he got out, he lingered in his driveway and, with
lots of theater, grimaced at me. To make conversation, I asked him if I was at the
correct house—I was looking for someone with the last name of Rogers. The neighbor
was wearing a sleeveless T-shirt. His arms were sunburnt even though it was
December. I think that he was drinking a beer, but he might have just looked like
someone who should have been drinking a beer.

He bucked his head toward the house and smirked.


"Him? I don't know his last name."
"Okay, well do you know if someone named Kyle lives here?"
That was when he stopped smirking, and I started to suspect I was being had and that
we both understood what the deal was. It began to dawn on me that chances were he
knew Rogers, he probably liked Rogers, and he probably did not want anyone,
especially someone who looked like me, to bother his neighbor.
“My guess is if he was in there, he’d answer,” he said, so I walked back to the door,
aware that my back was turned, and knocked again.
A quick flutter of the blinds led me to believe that Kyle Rogers was in there, but that
he would not come to the door, so I left him a note with my name and number. On my
way back to my car, I looked back to see if he had answered, but there was no sign of
him, and no sign that he even lived there except for the decal on his golden brown
truck, an image of Trump, raising a beer, enthusiastically mouthing these words: “We
did it."

Flight
The 17th of June was hot and humid in Columbia. The air would've felt like a warm
towel pressed over your face. Smothering. After a few sleepless nights of heavy
partying, sometimes staying in his car, or sometimes crashing at Joey Meek's trailer,
Dylann Roof dashed off one last post on his website: “[At]the time of writing I am in
a great hurry.”
Dylann Roof arrived in Charleston at 7:48 P.M. In the preceding weeks, he'd
purchased 88 bullets at Wal-Mart. They were hollow-point bullets, designed to
expand when they hit body tissue and cause catastrophic damage as they passed
through their target. He drove into the gated parking of the Mother Emanuel around
8:15 P.M. Then he walked into the basement entrance where the 12 members of the
Bible Study were gathered in the Fellowship Hall.
They say he killed him, but really Roof assassinated Reverend Clementa Pinckney.
Pinckney was a state senator and a prodigious preacher whose sermons were full of
black liberation theology and a rare kind of intellect. He was shot first, with three
bullets, and he was the one who'd pulled out a chair for the man who would murder
him. Pinckney's death alone would have been a grave loss. But Roof, undaunted and
unmoved by the prayers and the weeping of the others, continued.
The oldest man in the room, Daniel Simmons, was a veteran who always carried his
gun, but that day he had left it on the seat of his car. Unarmed, he still tried to charge
the shooter. Roof shot him four times, and later, he stepped over Simmons's body on
his way out.
The oldest woman in the room, Susie Jackson, was three years away from being 90.
She was shot the most, 11 times. The youngest man in the room, Tywanza Sanders,
tried to reason with Roof, but when that failed, he stood up and faced Roof's barrel so
that his mother, Felicia Sanders, his aunt Susie, and his niece might live. Sanders was
a poet, a barber, and a family man. He doted on the women in his family, in particular
his aunt Susie. He died with his arm stretched out toward her.
The stranger shot and killed Sharonda Coleman-Singleton and DePayne Middleton-
Doctor. Women who were ministers, educators, and mothers to young children.
Sharonda Coleman-Singleton had three children, who look so much like her that as
they sat in the courtroom, they seemed to have their mother's face. DePayne
Middleton-Doctor had four daughters, who went everywhere with her, often lined up
according to height. The Doctor girls were supposed to attend the prayer meeting, but
at the last minute their mother had let them stay home.
Myra Thompson had received her preaching certificate that afternoon, and after weeks
of study, she would lead the group for the first time. Nothing in life had been easy for
Myra Thompson. But her faith, her happy second marriage to the Reverend Anthony
Thompson, and her taste for St. John dresses were the result of her keeping on and
working hard until things had finally gotten good.

Cynthia Hurd was headed home that evening, but Felicia Sanders asked her to stay for
the prayer meeting. Cynthia Hurd was a librarian. They say kids didn't leave her
library without a library card in hand. If you love me, you will stay, Felicia Sanders
teased her. For all the hate in the room that night, there was also an aegis of
undiminished, undying love. We know this because Cynthia Hurd stayed.
To pull the trigger of a Glock, you must exert about six pounds of force. Roof pulled
that trigger seven times when he murdered Ethel Lance. Ethel Lance, unlike Roof,
was needed in this world. Her deaf son, Gary, needed her, her daughters needed her,
and the church that she proudly cleaned and maintained with “her special touches”—
real wood wax and fresh flowers—needed her. Now she is gone.
Polly Sheppard, a retired nurse, was also in the room that night. She is a woman who
has serious eyes. Her gaze can make you feel as if you're in the grip of something vast
and unwavering that just won't let go. And her face, the high cheekbones, the depth
and the luster of her brown skin, gives her the look of a woman from a Benin plaque
—proud, regal, and knowing. From under a table, she watched his dirty boots circling,
stopping so he could shoot her friends, “a skinny white dude” stepping through the
blood and broken glass. She stayed in her prayer, she said the words out loud. When
he came to her, he told her to shut up. Polly Sheppard is 72 years old. He asked her if
she was shot. She told him no. And then, with those eyes on him, as if it was his
choice and not their otherworldly command, she asked if he was going to shoot her,
too. “I'm not going to,” he said. “I'm going to leave you here to tell the story.”
Dylann Roof was still in the room when Polly Sheppard reached for her phone and
called the police.

Mother Emanuel
Charleston's Emanuel AME Church looms over the downtown street where it stands
and makes you stop. It is an austere but resplendent structure, made of whitewashed
stucco and brick, so tall and steep that on some mornings its chapel seems to pierce
the blindingly bright sun that makes its white walls gleam.
The ministry was founded in 1816, but its earlier churches were burned to the ground
to punish its congregants, who had dared to test the laws of the land and believe that
they, too, had a right to be religious and interpret the Scripture as it applied to them as
oppressed people. In 1822, one of the church's founders, Denmark Vesey, a free black
man who was married to an enslaved woman, was accused of being the architect of a
massive slave revolt. Vesey and his army of enslaved men were purported to have
come up with a plan to slaughter all of the slaveholders in Charleston, free the rest of
the enslaved people, and then escape to the new black republic of Haiti. Instead, he
was betrayed and lynched. To this day in Charleston, he is regarded as a dishonorable
man and homegrown terrorist, with much less said about the Charleston businessmen
and slave traders who brutalized and murdered millions of enslaved Africans to make
the city rich, and ultimately the effete destination that it is now. The church structure
that stands today was erected in 1892 by people who were beside themselves to
finally be able to worship in public as free people, but very few know much about its
history. Or that in the vestibule of the church, tucked away from the street in a nook,
behind gates, is a brass diorama meant to honor Vesey and the other founders of the
church. (One person who did know about Denmark Vesey, however, is Dylann Roof.
Roof is even alleged to receive mail in jail from someone using Vesey's name to
antagonize him.)
The last time I saw Mother Emanuel was a week before Christmas. I'd been in town
for weeks for the trial and was walking back to my hotel from the dry cleaners. It was
raining, I was overdressed in a wool sweater, and the combination of the dank air and
the heat and the wool was making me feel sick. The church, though, shone in the
evening light and the shadows. The large white cross out front and the blooming
camellia bush were set against the church like a cameo silhouette. Near the gate, a
man I hadn't at first seen yelled out to me. “Why are you out there in this rain, staring?
Come on in, girl,” he said. In any other situation, I would have declined, but the
sickness, both for home and the feeling of coming fever, made me want to go in. I felt
vulnerable and alone in a new city. I wanted to be around the familiar, my people, so
when the smiling man pointed to the doors, the same doors that had let the murderer
in, but also ones that were still flung open to the world, I walked in. “Tonight,” an old
woman inside patted my hand and told me, “you are Rachel, but you are also our
special Elijah. The stranger who is always welcome.”
What Roof didn't understand when he walked into that church was the genius of black
America's survival and the nature of our overcoming. Nothing in his fucked-up study
of black history had ever hipped him to this: The long life of a people can use their
fugitivity, their grief, their history for good. This isn't magic, this is how it was, and
how it will always be. This is how we keep our doors open.

In Charleston, I learned about what happens when whiteness goes antic and is
removed from a sense of history. It creates tragedies where black grandchildren who
have done everything right have to testify in court to the goodness of the character of
their slain 87-year-old grandmother because some unfettered man has taken her life.
But I also saw in those families that the ability to stay imaginative, to express grace, a
refusal to become like them in the face of horror, is to forever be unbroken. It reminds
us that we already know the way out of bondage and into freedom. This is how I will
remember those left behind, not just in their grief, their mourning so deep and so
profound, but also through their refusal to be vanquished. That even when denied
justice for generations, in the face of persistent violence, we insist with a quiet
knowing that we will prevail. I thought I needed stories of vengeance and street
justice, but I was wrong. I didn't need them for what they told me about Roof. I
needed them for what they said about us. That in our rejection of that kind of hatred,
we reveal how we are not battling our own obsolescence. How we resist. How we
rise.
On my last day in Charleston, I went to Sullivan's Island, where in the dappled light of
the setting sun, on a beach being washed clean by the tides, Roof once wrote “1488”
and other neo-Nazi symbols into the sand. He had defiantly squatted under the sign
that honored the stolen dead and the many enslaved who had trudged across that
sandy expanse toward the unknown and faced a future that for centuries only held
grief. This is what is written on that sign:
This is Sullivan's Island. A place where Africans were brought to this country under
extreme conditions of human bondage and degradation. Tens of thousands of captives
arrived on Sullivan's Island from the West African shores between 1700 and 1775.
Those who remained in the Charleston community and those who passed through this
site account for a significant number of the African-Americans now residing in these
United States. Only through God's blessings, a burning desire for justice, and
persistent will to succeed against monumental odds, have African-Americans created
a place for themselves in the American mosaic.… This memorial rekindles the
memory of a dismal time in American history, but it also serves as a reminder for a
people who—despite injustice and intolerance past and present, have retained the
unique values, strengths and potential that flow from our West African culture which
came to this nation through the middle passage.
I'm sure some of those enslaved people's descendants were in that courtroom. I know
that some of those people's descendants were shipped like seeds and dispersed
throughout the country, with all records of who they were and where they came from
lost forever. But for as many who died or were killed or perished and went to watery
graves on the way here, millions have survived the incomprehensible, and they have
prevailed despite each and every attempt to destroy them.
Roof told the jury in his closing statement, “Anyone…who thinks that I am filled with
hatred has no idea what real hate is. They don't know anything about me. They don't
know what real hatred looks like.”
Because I know exactly who Dylann Roof is, I know that he is hatred, and because I
know that he is hatred, I understand why he thought he could do the impossible and
trump the everlasting, the eternal. But he could not, and no one ever will.
And so where on that beach he wrote down hatred in the sand, I carved into it all nine
of their names: Clementa Pinckney, Tywanza Sanders, Cynthia Hurd, Sharonda
Coleman-Singleton, Myra Thompson, Ethel Lance, Daniel Simmons, DePayne
Middleton-Doctor, Susie Jackson.
Rachel Kaadzi Ghansah

Contoh 3

Berkreasi di Dunia Mini 


KORAN TEMPO, SABTU, 21 APRIL 2018
REPORTER: ANWAR SISWADI

Meja kayu yang keropos itu menarik perhatian Dian Suminar. Dia lantas
mengeluarkan koleksi orang-orangan atau figur kecil berskala 1 : 87 dari kotaknya di
tas. Sekretaris Hotel Preanger Bandung berusia 41 tahun itu memilih sepasang figur
pekerja bangunan yang mendorong gerobak beroda tunggal. Mereka seakan-akan
tengah bekerja menambal keropos meja. 
Berlatar sepiring kentang goreng sebagai pembanding ukuran figur, adegan itu lalu
difoto. "Bikin konsepnya cepat, sepuluh menit selesai," kata dia, Sabtu dua pekan lalu.
Gambarnya ia simpan dan dibagikan di akun media sosial pribadi serta grup
komunitas Bandung Figleu, akronim dari "figur leutik (kecil)".
Benda pembanding itu menjadi pakem hobi ini untuk menggambarkan kecilnya figur,
sekaligus menepis anggapan karya fotonya hasil rekayasa ukuran obyek. Barang
pembandingnya bisa dilibatkan menjadi karya atau hanya latar. Anggota komunitas
lainnya ada yang memanfaatkan gulungan benang jahit aneka warna. Sesosok figur
kecil bersepeda lalu ditempelkan pada seutas benang merah yang terentang di antara
sepasang gulungan. Foto itu lantas diberi judul Uji Nyali. 
Ada juga gagasan yang menarik dari irisan roti tawar. Di atas sehelai roti dengan
butiran cokelat dan selai yang mengesankan bebatuan dan tanah, figur-figur kecil
tampak sedang bekerja menggaru kebun. Bagi penggemar miniature figure itu,
mereka jadi terbiasa menggali ide dari benda dan tempat sekitar di dalam atau luar
ruangan. 
Kamera dan figur-figur mini berukuran tinggi sekitar 2-3 sentimeter menjadi
perlengkapan wajib untuk hobi ini. "Awalnya tidak harus punya, pinjam dulu boleh,"
kata Dian. Ukuran lain ada yang berskala lebih kecil, seperti 1 : 72 atau lebih kecil
lagi. Komunitas lebih banyak yang memakai skala 1 : 87 karena barangnya mudah
didapat.
Menurut beberapa anggota Bandung Figleu, ada keasyikan tersendiri saat membangun
sepotong dunia mini seperti itu. Mulai dari memikirkan konsep, menggali ide,
membangun cerita atau pesan khusus, menata (setting), memaksimalkan figur yang
dimiliki, hingga sudut pengambilan gambar. "Kami ditantang harus semakin kreatif,
tidak asal jepret," ujar Dian.
Beberapa karya lahir dari ide umum atau biasa. Penggemar lainnya berpacu
memunculkan gagasan segar, unik, dan mengagetkan. "Figur dan konsepnya
sederhana, tapi kok selama ini enggak kepikiran bikin seperti itu? Buat saya, itu yang
keren," kata dia.
Para penggemar miniature figure bebas berkreasi dengan koleksinya atau meminjam
ke anggota komunitas. Temanya bisa sekadar lucu-lucuan yang ringan, parodi, opini,
fenomena tertentu, diorama, atau bermuatan pesan khusus seperti untuk kampanye
kesehatan.
Salah satu yang bertema berat contohnya adalah karya Gerry Hendris yang berjudul
Big World Mini Humanity. Ia memakai sesosok figur mini yang tengah menggali
sepotong biskuit rasa cokelat. Di sisi lubang segi empatnya, berjejer empat sosok
mayat yang dibungkus kain putih. Karya itu menggambarkan sisi lain perang di
Suriah. "Biskuitnya sengaja dipilih yang wangi, seperti syuhada yang gugur," kata dia.
Meskipun tema dan idenya bebas, foto Susilo B. Utomo pernah mengundang
kontroversi. Gara-gara memakai temuan bangkai kadal yang kemudian diikat temali
seperti Guliver dan dikelilingi liliput beberapa figur mini, komentar protes
berdatangan. Alih-alih kecewa, ia malah bersemangat mencari ide lain. Prinsipnya
memaksimalkan figur mini yang dimiliki menjadi karya-karya baru tanpa harus rajin
membeli sosok baru. 
Maklum saja, hobi ini perlu isi dompet yang tebal. Sebuah figur paling murah seharga
Rp 50 ribu, ada juga single set yang dibanderol seharga Rp 90 ribu. Jenis full set
berharga Rp 250-400 ribu, hingga super set mencapai jutaan rupiah.
Beberapa anggota seperti Dian dan Susilo tertular hobi itu setelah melihat foto figur
mini orang lain setahun lalu. Susilo kepincut oleh gambar sebuah mikrofon yang
dikelilingi figur mini berkostum astronaut. "Seolah-olah mikrofon itu pesawat luar
angkasanya," kata dia.
Adapun Dian segera berusaha mencari komunitas dan penjualnya di dalam negeri.
"Awalnya saya kesulitan, kalau beli di toko online luar negeri mahal ongkos
kirimnya," kata dia. Setelah bergabung di komunitas, figur-figur mini koleksinya terus
bertambah, hasil membeli di pemasok lokal. Koleksinya kini ada 50 full set, dan
single set kurang dari 100 buah. Kini ia mengalihkan dana hobi jalan-jalannya, dan
pernah belanja figur mini hingga Rp 1,5 juta per bulan.
Anggota komunitas serupa asal Surabaya, Joko Sukirno alias Cak Sukir, mengatakan
hobi figur mini di Indonesia mulai marak sejak 2015. Komunitasnya tersebar di
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Bali, dan beberapa kota di Sumatera dan
Kalimantan. Bandung Figleu yang dibentuk Mei 2017 sekarang beranggotakan 30
orang, umumnya berusia dewasa dengan berbagai profesi, seperti mahasiswa, dokter,
pekerja kantoran, ibu rumah tangga, dan guru.
Saat ini, sebagian penggemar mengacu ke karya-karya seniman fotografi figur mini
asal Jepang, Tatsuya Tanaka dan Slinkachu, yang mengulik ide sejak 2004.
"Meskipun obyeknya mini, aliran ini bukan jenis fotografi makro yang mengejar
detail gambar," ujar lelaki yang bekerja sebagai kontraktor bangunan itu.
Lagipula bentuk fisik figur-figur mini seruas jari orang dewasa itu tak serinci sosok
orang, terutama pada bagian wajah dan jari tangan. Siapa pun yang mendekatkan
lensa kameranya bakal kecewa. Sebab, produsennya di Jerman, kata Sukir, belum
sanggup membuat figur mini semirip mungkin. "Walau sudah pakai teknologi cetak
digital, masih susah mengejar," ujar dia. Figur mini itu semula dibuat dari ukiran
kayu, yang ditujukan untuk miniatur properti atau diorama.
Adapun anatomi, gestur, dan kostum boleh dibilang mirip. Karena itu pula, kamera
yang digunakan tak wajib khusus atau secanggih foto makro. "Saya lebih suka pakai
(kamera) smartphone, soalnya lebih praktis," kata Susilo. Dasar-dasar fotografi tetap
diperlukan agar hasil karyanya layak tampil.
Hobi ini jika ditekuni serius bisa membuka peluang usaha baru. Karya-karya foto
figur mini Sukir, misalnya, dikontrak untuk gambar kalender sebuah perusahaan
paket. Ia pun digaet sebuah produsen kamera, khusus untuk berkarya foto figur mini.
Usaha lainnya, ia merintis kerja sama dengan beberapa perajin untuk membuat figur
mini pesanan penggemar. "Misalnya action figure superhero yang tak dibuat
pabrikan," ujar dia. Dia sendiri membuat beberapa properti mini seperti rumah
dermaga. Bisnis itu diakuinya belum moncer karena masih menjadi sampingan. Selain
itu, pemesan masih menghargai murah, padahal figur mini dibuat dengan susah payah
sebagai kerajinan tangan. ANWAR SISWADI

Contoh 4

Menyepi dari Media Sosial 


KORAN TEMPO, SABTU, 21 JULI 2018
REPORTER: DIKO OKTARA | MITRA TARIGAN |

Setahun yang lalu, presenter Sarah Sechan membuat pengumuman mengejutkan.


Melalui akun Instagram-nya, pembawa acara Sarah Sechan di stasiun televisi Net TV
ini menyatakan undur diri dari media sosial. "Saya ingin lebih menikmati setiap
momen dalam hidup saya, bukannya sibuk memikirkan pendapat orang lain.... Hidup
di media sosial sangat melelahkan," demikian sepenggal tulisan Sarah dalam
unggahan terakhirnya di Instagram @sarahsechan pada Maret 2017.
Setahun berlalu, Sarah mengaku kini hidupnya jadi lebih berkualitas. "Kini saya bisa
memanfaatkan waktu untuk kegiatan yang lebih berarti," ujarnya pada Kamis lalu.
Sekarang dia tak lagi merasa harus berfoto bersama teman-temannya demi
menunjukkan kebersamaan, atau memotret makanan sebelum menyantap hidangan di
hadapannya. Lebih dari itu, Sarah merasa kehidupannya sekarang lebih tenang dan
nyaman. "Saya mendapatkan kembali privasi yang sempat hilang, dan momen yang
saya lewatkan terasa lebih berharga."
Keinginan Sarah berhenti aktif di media sosial (Instagram dan Twitter) bermula ketika
ia bosan melihat isi lini masanya yang melulu berisi swafoto, makanan dan minuman,
atau barang-barang yang baru dibeli oleh orang-orang yang ia ikuti di akunnya.
"Belum lagi curhatan pribadi di caption-nya, saya tidak mau jadi seperti itu." Dia
khawatir, jika suatu saat kehabisan ide untuk diunggah, ia akan mengikuti "tren" di
lini masanya.
Setelah berpikir lebih dalam, Sarah juga merasa keberadaan media sosial menjadi
pintu bagi orang-orang yang tak ia kenal masuk ke kehidupannya lebih jauh. "Orang-
orang akan merasa jadi bagian dari hidup kita, lalu membuat mereka merasa berhak
berkomentar apa pun tentang saya, bahkan hal negatif sekalipun."
Sebetulnya Sarah tak benar-benar berhenti memanfaatkan jejaring sosial di dunia
maya. Ia masih punya akun Facebook yang dikunci, hanya diisi orang-orang yang ia
kenal baik. Isi akun Instagram-nya yang punya jumlah pengikut 158 ribu diganti
dengan foto-foto Shoku, anjing miliknya. "Seekor anak anjing tentu lebih menarik dan
menghibur ketimbang seorang perempuan berusia 44 tahun yang mengunggah foto
makanannya, kan?" Sarah berseloroh.
Sedangkan di Twitter, Sarah bersikap pasif. Padahal jumlah pengikutnya sudah
mencapai 2,6 juta akun. Akunnya di Twitter digunakan untuk sekadar mencari
informasi karena, sebagai seorang presenter, ia merasa wajib mengikuti
perkembangan informasi.
Hal yang menarik, kata Sarah, sejak ia memilih "berpuasa" digital dan bersikap lebih
pasif di media sosial, kualitas hubungan sosialnya jadi lebih meningkat. Contoh paling
sederhana, ujarnya, saat memberikan ucapan selamat kepada seseorang, ia akan
menelepon atau bertemu langsung. "Interaksi menjadi lebih akrab, sama seperti
sebelum zaman media sosial."
Bukan hanya Sarah Sechan, beberapa pesohor Tanah Air juga pernah melakukan hal
serupa. Ada Eva Celia, aktor Dimas Aditya, dan Kevin Julio Chandra. Gerakan
"berpuasa dari media sosial" bahkan diutarakan Menteri Komunikasi dan Informatika
Rudiantara. Imbauan untuk mengurangi penggunaan media sosial ini muncul setelah
merebaknya skandal kebocoran data Facebook pada April lalu. "Saya sangat
menyarankan agar kita sekali-sekali berpuasa media sosial. Enggak ada ruginya kok."
Rudiantara juga meminta pengguna lebih berhati-hati mengunggah data di Internet.
"Jangan semua disampaikan," katanya, Mei lalu. Selain faktor keamanan, Rudiantara
mengatakan puasa media sosial juga bisa mengurangi munculnya hal-hal negatif
menjadi viral. "Sifat interaksi media sosial yang tak langsung membuat orang kerap
kebablasan, sehingga penggunaan kata-kata kasar dan tidak sopan semakin banyak."
Seharusnya, kata dia, pengguna bersikap seperti di dunia nyata saat menggunakan
situs jejaring sosial.
Pernyataan "berhenti" dari media sosial juga disampaikan penyanyi Eva Celia. Ia
mengumumkan melakukan detoks media sosial selama beberapa waktu pada akhir
tahun lalu di Instagram-nya. Alasan Eva waktu itu adalah munculnya perasaan terlalu
bergantung pada teknologi digital. "Media sosial menjadi distraksi besar terhadap
hubungan saya dengan orang lain, bahkan diri saya sendiri." Bahkan Eva mengaku
pernah sampai melupakan prioritasnya akibat keasyikan di dunia maya.
Aktor Dimas Aditya bahkan sampai dijuluki "manusia purba" lantaran ia terang-
terangan menyatakan anti-media sosial. Ia sudah tidak pernah membuka Path, Twitter,
Facebook, dan Instagram lima tahun terakhir. Aktor dalam film Pengabdi Setan dan
Sang Kyai itu juga tak mengaktifkan berbagai messenger, seperti Line, WhatsApp,
BBM, dan Kakaotalk, di gawainya.
Alumnus Jurusan Public Relations Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Indonesia ini membatasi pergaulannya di jejaring sosial karena sempat mendapat
pengalaman buruk. Saat namanya mulai dikenal orang, ia mengaku sempat diteror di
Twitter.
"Gue merasa harus ada privasi yang gue jaga," kata Dimas, yang pernah menjadi
gadget freak dan sering lupa makan atau melakukan kegiatan lain hanya karena terlalu
sering memperhatikan aktivitas teman-temannya di dunia maya.
Dimas memang memiliki iPhone dan tetap membeli kuota Internet untuk
kebutuhannya. Namun ia lebih sering menggunakannya untuk mengakses berita atau
isu yang sedang berkembang dibanding memperhatikan teman-temannya yang sedang
mengeluh atau memamerkan kegiatannya di media sosial.
Puasa media sosial juga bisa disebabkan keterpaksaan. Aktor Kevin Julio Chandra
pada Juni lalu terpaksa rehat bermain media sosial akibat harus menjalani operasi
lasik pada matanya. Sebelum dan setelah menjalani prosedur untuk memperbaiki
silindris dan minus pada kedua matanya itu, Kevin dilarang membuka-buka
ponselnya. "Padahal dulu kebiasaan sebelum tidur," ujarnya seperti dikutip dari
Antara.
Selebritas dunia juga pernah menjadi berita akibat keputusan hiatus dari dunia maya.
Pada 2016, model Kendall Jenner melakukan detoks dunia maya dengan cara keluar
dan tak mengaktifkan akun Twitter serta Instagram-nya. Dalam penjelasannya di
program talk show The Ellen DeGeneres Show, dia mengaku keinginan itu muncul
begitu saja. "Membuka ponsel adalah hal yang pertama saya lakukan di pagi hari, dan
terakhir sebelum tidur di malam hari. Saya merasa lelah, dan ingin rehat sejenak."
Adapun pesepak bola muda Inggris, Harry Kane, memilih menghilang sejenak dari
keriuhan Internet karena ingin fokus saat menghadapi kompetisi Piala Dunia 2018
lalu. "Terlalu banyak membaca isi media sosial membuat saya sulit berkonsentrasi
dan banyak pikiran," ujar Kane. Dia merasa permainan sepak bolanya bisa lebih baik
jika dia dalam kondisi tanpa beban dan pikiran. Strategi Kane cukup berhasil, meski
gagal membawa tim nasionalnya menembus final Piala Dunia, Kane menjadi pencetak
gol terbanyak di perhelatan tersebut.
Kesadaran untuk stop mengumbar kehidupan pribadi di Internet juga timbul pada
masyarakat umum. Salah satu yang melakukannya ialah Zulkarnaen. Sama seperti
Sarah, pria 31 tahun ini mengaku kualitas hubungan sosialnya jadi lebih baik. Karena
tak lagi mengikuti kabar teman-temannya di media sosial, Zulkarnaen mengaku setiap
momen ngumpul dengan sejawatnya jadi lebih seru. "Bukan sekadar basa-basi, tapi
memang jadi ingin tahu kabar mereka."
Manfaat lain yang ia rasakan adalah munculnya banyak hobi dan kegiatan baru di
waktu senggangnya. Mengulik cita rasa kopi atau melakukan perjalanan jauh
menggunakan sepeda motor seorang diri menjadi kegemaran terbarunya. "Kalau hari
libur, tiba-tiba suka iseng, jalan-jalan ke mana saja," ujar pria 31 tahun yang bekerja
sebagai tenaga pemasaran salah satu produsen mesin kopi di Jakarta ini kepada
Tempo, Selasa pekan lalu.
Sudah setahun Zulkarnaen menonaktifkan semua akun media sosialnya. Dari Twitter,
Path, Facebook, hingga Instagram. Semua aplikasi media sosial di ponsel berlambang
buah apel tergigit miliknya dihapus. Padahal, sebelumnya, semua program itu selalu
setia menemani. Setiap ada kesempatan, ia pasti selalu mengecek lini masa aneka
media sosialnya itu. Kebiasaan tersebut bertambah parah pada malam hari. Setiap
sebelum tidur, ia pasti menjelajahi isi media sosial hingga mengantuk.
Tapi, alih-alih kantuk yang datang, Zulkarnaen mengaku makin sulit memejamkan
mata. Akibatnya, dia sering begadang dan bangun kesiangan di hari kerja. Dia
mengaku kinerjanya menurun dan malas-malasan. Setiap ada waktu luang, dia pasti
membuka ponsel untuk bermain media sosial. Karena merasa ada yang tak beres,
pelan-pelan dia meninggalkan kebiasaan itu. "Ujung-ujungnya, saya merasa semua isi
media sosial itu tidak bermanfaat."
Perasaan itu bertambah besar saat periode kampanye dan pemilihan Gubernur DKI
Jakarta pertengahan 2017 lalu. Saat itu, kata Zulkarnaen, isi lini masa semua media
sosial yang ia miliki terkait dengan politik. Suasana panas itu membuatnya muak.
"Akhirnya saya hapus akun di Facebook dan Twitter." Terbebas dari dua media sosial
itu, Zulkarnaen mencoba tak mengakses Instagram selama beberapa hari. "Ternyata
enak juga, pikiran lebih segar, kebiasaan begadang jadi berkurang."
Gangguan tidur dan rasa malas yang muncul pada Zulkarnaen akibat kecanduan
mengakses media sosial mirip dengan gejala gangguan yang disebabkan kebiasaan
atau kecanduan, seperti dinyatakan dalam International Statistical Classification of
Diseases (ICD). Dalam daftar yang dikeluarkan badan kesehatan PBB (WHO) pada
pertengahan Juni lalu itu, lembaga ini tak menyebut kecanduan media sosial sebagai
penyakit gangguan mental. Pada daftar ICD tersebut, WHO justru menyatakan
kecanduan "video gim" (game) sebagai penyakit gangguan mental untuk pertama
kalinya.
Dikutip dari web resmi WHO, kecanduan game didefinisikan sebagai pola perilaku
bermain, baik permainan online maupun offline (game digital atau video game),
dengan beberapa tanda: tidak dapat mengendalikan keinginan bermain game; lebih
memprioritaskan bermain game dibanding minat terhadap kegiatan atau aktivitas
lainnya; dan seseorang terus bermain game meski ada konsekuensi negatif yang jelas
terlihat.
WHO juga menyatakan, kecanduan game dianggap sebagai disorder bila pola perilaku
tersebut sangat kuat dan berdampak baik terhadap pribadi, keluarga, sosial,
pendidikan, pekerjaan, maupun area penting lainnya, dan terlihat jelas selama
setidaknya 12 bulan.
Meski begitu, psikiater dan spesialis kejiwaan dari Rumah Sakit Jiwa Soeharto
Heerdjand, Prianto Djatmiko, menyatakan psikiater harus berhati-hati dalam
menentukan kriteria gangguan yang dialami seseorang. "Harus diperiksa secara
menyeluruh dulu," ujarnya kepada Tempo, Kamis lalu. "Dirilisnya ICD oleh WHO itu
perlu diimplementasikan dan diadaptasi di Indonesia, tapi perlu kajian mendalam
dengan pendekatan multidisiplin."
Dalam ilmu psikiatri, kata Prianto, ada batasan kriteria untuk menyebut suatu aktivitas
sudah dalam tahap merugikan pelakunya. Misalnya, seseorang menghabiskan waktu
hanya untuk aktivitas tersebut, sembari meninggalkan kewajiban pokok sehari-hari
yang lebih penting. "Bisa saja Internet atau media sosial membuat seseorang menjadi
seperti itu." Dalam kondisi lebih parah, ujarnya, seseorang akan merasa tergantung
secara fisiologis. "Timbul gejala-gejala putus penggunaan, seperti pengguna narkoba
yang sakaw."
Prianto mengaku pernah menangani pasien yang sudah dalam taraf kecanduan hingga
mengalami ketergantungan pada Internet dan video game. "Ada, tapi kasusnya masih
jarang." Untuk penanganannya, kata dia, pasien pun tak bisa asal dibawa ke psikolog
atau psikiater. "Harus sesuai usianya. Kalau anak-anak dan remaja, ada bidang khusus
yang menangani."
Manfaat berhenti berkutat dengan media sosial juga dirasakan Adam Ghazali, 32
tahun, karyawan swasta yang berkantor di Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Adam
sudah empat tahun tak lagi membuka-buka Facebook dan aplikasi sejenis. Pemicunya
sederhana, dia lupa kata kunci untuk masuk ke akunnya. Bermula dari lupa
"password", Adam merasa hidupnya lebih tenang saat tak mengetahui kabar teman-
temannya di Internet.
Empat tahun lalu, pria yang tinggal di Bogor ini sudah merasa lini masa media sosial
hanya jadi ajang memamerkan hal-hal yang tak penting. Dia sudah merasa jengah
sejak saat itu, dan mendapatkan momentum untuk "menyepi" dari keriuhan Internet
setelah menikah. "Saya ingin membangun komunikasi yang sehat dan berkualitas
dengan istri."
Adam dan istrinya akhirnya membuat komitmen: ponsel hanya boleh digunakan di
rumah untuk keperluan penting atau pekerjaan, bukan untuk sarana hiburan.
"Komitmen ini semakin kuat saat istri melahirkan anak pertama." Pada akhirnya, kata
Adam, telepon seluler yang ia miliki hanya digunakan untuk sebatas mengirim pesan
elektronik, bertransaksi e-banking, berkomunikasi, dan membaca berita seperlunya.
Ingin memiliki waktu yang lebih berkualitas dengan keluarga juga menjadi alasan
Miradin Syahbana menghapus akun-akun media sosialnya. Padahal pria yang
berprofesi sebagai jurnalis olahraga di Bandung ini sempat ketagihan bermain
Facebook. "Bahkan dulu saya berkenalan dengan istri saya melalui Facebook."
Setelah menikah pada 2010 lalu, ia menutup akunnya. Kepopuleran media sosial lain,
seperti Instagram, Path, atau Twitter, tak menarik perhatiannya. "Saya hanya suka
Facebook karena fiturnya lebih lengkap, tapi belakangan jadi garing juga." DIKO
OKTARA | MITRA TARIGAN |

Contoh 5

Yang Muda yang Berinvestasi 


KORAN TEMPO, SABTU, 5 MEI 2018
REPORTER: PRAGA UTAMA | DINI PRAMITA | VINDRY FLORENTIN

Sebagai seorang pegawai negeri sipil yang belum genap lima tahun bekerja,
penghasilan Bernadeta hanya cukup untuk membiayai hidupnya sehari-hari.
Perempuan 29 tahun yang bekerja di salah satu kementerian ini mengaku, sumber
penghasilan tambahan lain yang bisa ia andalkan adalah uang saku dinas perjalanan
ke luar kota dari kantornya. "Itu pun tidak rutin," ujarnya kepada Tempo, Jumat lalu. 
Dengan penghasilan yang dirasa pas-pasan, Deta-begitu ia biasa disapa-harus pintar-
pintar mengatur pengeluarannya agar gaji bulanannya tak habis begitu saja. Apalagi
dia sejak dulu bercita-cita punya tempat tinggal sendiri. Beruntung, sejak pertama bisa
memiliki penghasilan sendiri, Deta sudah memulai menyimpan uangnya dalam
beberapa instrumen investasi. Belakangan, berbagai macam instrumen investasi itu
banyak dipromosikan di media-media sosial dalam kemasan yang menarik buat anak
muda.
Deta menyisihkan sebagian pendapatannya untuk diinvestasikan dalam bentuk reksa
dana sejak 2013. "Sekitar 30 persen dari pendapatan rutin saya setorkan tiap bulan ke
bank," ujarnya. Waktu itu Deta memilih investasi pada reksa dana campuran dan
saham. Merasa masih kurang, dia juga mencicil membeli emas di Pegadaian.
Awalnya, Deta merasa ragu saat hendak menginvestasikan uangnya di reksa dana.
"Karena risikonya lebih besar ketimbang investasi lain seperti deposito." Bersama
seorang temannya, dia mempelajari skema investasi yang ia bidik. Konsultasi dengan
pegawai bank pun ia lakukan agar lebih yakin memilih produk reksa dana. 
Salah satu trik yang ia gunakan untuk mempelajari produk reksa dana adalah
membandingkan kinerja produk-produk yang ditawarkan. "Saya pilih yang penurunan
nilainya tidak terlalu dalam, sehingga lebih aman." Adapun bank kustodian (tempat
menitipkan dana investasi) yang dipilih adalah yang menyediakan fitur auto-debet
setiap bulan. Dengan demikian, gajinya langsung terpotong dan masuk ke instrumen
investasi.
Deta mengaku menyisihkan uang untuk investasi adalah bentuk pengorbanannya
untuk masa depan agar lebih terjamin. Dia terpaksa menahan hasrat berbelanja dan
berlibur dengan lebih kuat, karena penghasilannya sebagian sudah disisihkan untuk
tabungan masa depan. 
Hasilnya cukup manis. Dalam waktu empat tahun menabung dan menyimpan uang di
reksa dana dan menabung emas, Deta mengaku sudah mampu membayar uang muka
sebuah apartemen di Jakarta Selatan. Menurut dia, secara keuntungan, reksa dana
menjanjikan hasil lebih besar ketimbang emas. "Tapi memang harus teliti memilih
produknya sebelum berinvestasi."
Keuntungan yang diperoleh dari berinvestasi juga dirasakan Dimas Kresna. Tiga
tahun lalu, pria 30 tahun ini memantapkan diri untuk berhenti dari pekerjaannya di
perusahaan penerbitan guna membuka usaha sendiri. Pada 2015, Dimas lalu
mendirikan sebuah kafe di wilayah Pejaten, Jakarta Selatan. "Modal usaha kafe dari
hasil investasi."
Dimas mengaku cukup beruntung karena pekerjaannya dulu membantu dia
mendapatkan informasi mengenai investasi keuangan. Makanya, pada 2013, dia
membuka rekening reksa dana di salah satu bank BUMN. Untuk menambah
portofolio investasinya, Dimas juga memberanikan diri bertransaksi saham.
Dua tahun sejak ia memulai berinvestasi, keberuntungan menghampiri. Dia mengaku,
suatu ketika nilai investasinya melonjak pesat. "Waktu itu, dalam tiga pekan saya
mendapatkan keuntungan sampai 21,6 persen." Jika dirupiahkan, Dimas berhasil
meraup untung hingga seratusan juta rupiah. Cuan besar yang ia peroleh itu dijadikan
modal usaha.
Menurut Dimas, menyisihkan duit untuk investasi adalah cara terbaik bagi para anak
muda untuk mengamankan masa depannya. "Paling sederhana berinvestasi lewat
produk asuransi." Jika punya target atau keinginan lebih tinggi seperti impian
memiliki kendaraan atau tempat tinggal, Dimas berpendapat, instrumen investasi
seperti reksa dana dan saham adalah pilihan tepat. 
Deta dan Dimas bisa dibilang sebagai anak muda yang sudah melek manajemen
keuangan. Meski belajar sendiri tanpa bantuan perencana keuangan, dia sudah
memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang lembaga jasa keuangan serta produk
jasa keuangan. Golongan ini, menurut Otoritas Jasa Keuangan, dianggap sudah paham
fitur-fitur yang ada pada bank atau perusahaan jasa keuangan, termasuk mengetahui
manfaat dan risiko, hak, serta kewajiban yang terkait dengan produk dan jasa
keuangan.
Sayangnya, kelompok masyarakat yang melek ilmu menata keuangan ini belum
banyak. Berdasarkan hasil survei OJK pada 2013, jumlah masyarakat Indonesia yang
terbilang "melek keuangan dengan baik" baru 21,84 persen. Dalam hasil survei
berikutnya, pada 2016, jumlah itu hanya naik sedikit menjadi 29,7 persen. 
Masih banyaknya kelompok masyarakat yang belum "melek keuangan" dengan baik
ini, menurut Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi OJK Tongam L. Tobing, menjadi
salah satu penyebab masih banyaknya korban praktik investasi bodong. Masyarakat
yang tidak paham investasi cenderung mudah tergiur keuntungan besar dalam waktu
cepat. "Ini yang dimanfaatkan para pelaku (penipuan)," ujarnya, beberapa waktu lalu.
Untuk mendorong peningkatan jumlah masyarakat yang sadar dan melek keuangan,
OJK menggandeng pelaku industri jasa keuangan dan perbankan untuk mengedukasi
masyarakat. Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, menyatakan salah satu
caranya adalah membuat kegiatan edukasi keuangan yang spesifik ditujukan kepada
kalangan tertentu. "Seperti kaum perempuan dan ibu-ibu." 
Menurut Wimboh, lembaganya menargetkan indeks literasi keuangan Indonesia bisa
naik menjadi 35 persen pada 2019. "Adapun target indeks inklusi keuangan sebesar
75 persen di tahun depan," ujarnya. 
Bagi pelaku industri jasa keuangan, kondisi masyarakat yang belum banyak "melek
keuangan" dipandang sebagai peluang bisnis tersendiri. Chief Executive Officer Finex
Consulting, Ferry Chandra Gunawan, adalah salah satu konsultan perencana keuangan
yang rutin mempromosikan ilmunya, terutama melalui media sosial. "Fokus saya
adalah memberikan edukasi keuangan ke generasi milenial," ujarnya, Kamis lalu. 
Generasi anak muda ini, menurut Ferry, perlu mendapatkan pemahaman lebih tentang
pengelolaan uang. Para milenial, kata dia, lebih mementingkan belanja pengalaman
ketimbang menumbuhkan kebiasaan menabung. "Ditambah kecenderungan gaya
hidup konsumtif, karena ada rasa tidak mau ketinggalan dibanding teman-temannya."
Dengan kondisi tersebut, menabung bukanlah perkara sederhana bagi para milenial.
Idealnya, kata Ferry, minimal 10 persen dari penghasilan disisihkan untuk tabungan.
"Ini kunci investasi." Tapi kegagalan para milenial memilah antara kebutuhan dan
keinginan menyebabkan tabungannya nihil dan akan membuat mereka kewalahan
menghadapi masa yang akan datang.
Dia menyarankan agar karyawan milenial saat ini mulai mengalokasikan aset pada
instrumen reksa dana saham, pasar uang, dan deposito. Bisa juga, mulai membeli
tanah dan hunian sebagai investasi alternatif dengan memanfaatkan kemudahan kredit
dari perbankan. "Tidak masalah berutang untuk properti, karena itu utang produktif,"
kata dia. 
Cara Ferry mempromosikan keahlian mengelola keuangan itu dikemas dalam bentuk
konten audio-visual menarik yang diunggah di media sosial Instagram dan wahana
jual-beli online Tokopedia. Menurut dia, informasi yang disajikan juga harus
disampaikan dengan bahasa yang lebih "kekinian" dan tidak menggurui. "Dengan
demikian, mereka akan tertarik." Dengan cara itu, walhasil Ferry memiliki sekitar 600
"murid". Sebagian besar, ujarnya, berasal dari media sosial. 
Perusahaan konsultan keuangan lain yang juga memanfaatkan media sosial untuk
menjaring klien adalah Jouska Indonesia. Perusahaan yang berkantor di Menara
Thamrin, Jakarta Pusat, ini berfokus mempromosikan ilmu pengelolaan keuangan
melalui Instagram. Nama Jouska sempat viral dalam dua bulan terakhir. Pengikut
akunnya meningkat hingga 90 ribu akun per hari. 
Hal yang membuat konten Jouska banyak disukai adalah adanya contoh kasus
keuangan yang disajikan dalam caption foto Instagram yang diunggah. Mereka,
misalnya, pada Februari lalu memaparkan hitung-hitungan biaya kredit pemilikan
rumah selama 15 tahun. Di foto lain, ada juga cerita tentang seorang pekerja bergaji
Rp 3,5 juta tapi mencicil telepon seluler seharga Rp 12 juta.
CEO Jouska Indonesia, Aakar Abyasa Fidzuno, mengatakan kemasan yang menarik
ini sangat efektif menjaring klien. Selain jumlah follower yang kini mencapai 136
ribu, sejumlah program pelatihan pengelolaan keuangan yang mereka miliki juga
diminati banyak orang. Salah satu program yang mereka sediakan adalah konsultasi
keuangan dengan hitungan per jam. Tarifnya Rp 1 juta per 1 jam. 
Menurut Aakar, untuk program konsultasi rutin itu perusahaannya bisa menangani
klien sebanyak 300-500 orang per bulan. Jouska juga menyediakan program pelatihan
lain, seperti pengenalan ilmu pasar modal. Peminat program ini pun membeludak.
"Saat ini kami sudah tidak menerima klien sampai Juli. Kalaupun ada, baru bisa kami
tangani Agustus nanti," kata Aakar. PRAGA UTAMA | DINI PRAMITA | VINDRY
FLORENTIN

Daftar Pustaka
Seandainya saya wartawan Tempo
Menulis untuk dibaca
D

Contoh 6
Kopi di Sudut Melawai 
MINGGU, 2 OKTOBER 2017
REPORTER: ADMINISTRATOR

Menyeruput kopi specialty sudah menjadi gaya hidup kaum urban. Tak aneh jika
kedai-kedai kopi premium di jantung kota menawarkan beragam pilihan bagi para
pencinta kopi. Djule Kofi salah satunya. Gerai itu berdiri persis di sudut kompleks
pertokoan di Jalan Melawai Raya, Jakarta Selatan.
Perlu sedikit usaha untuk menemukan kedai ini. Mata harus jeli benar mendapati
stiker yang tertera pada kaca kedai. Hanya label itu yang menandai keberadaan Djule
Kofi karena tak ada papan yang menjorok ke pinggir jalan.
Menurut Oyonk Rinaldi, barista Djule Kofi, nama kedai ini diambil dari bahasa India
yang berarti "halo". Djule Kofi adalah kedai kedua yang dipunyai pemilik Ombe
Kofie, yang berada di Pluit, Jakarta Utara.
Kedai ini menambah panjang daftar perbendaharaan kopi kita. Bagaimana tidak,
Djule menawarkan biji kopi yang berbeda setiap hari. Tak hanya dari kebun-kebun di
pelosok Nusantara, tapi juga dari mancanegara, seperti El Savador, Guatemala,
sampai Etiopia. "Kami ingin penikmat kopi mengeksplorasi rasa," ujar Oyonk,
kemarin.
Tanpa basa-basi, saya langsung memesan dua varian kopi. Pesanan pertama adalah
machiatto. Pilihan saya jatuh pada biji kopi Bone Sulawesi untuk dijadikan minuman
kopi ini. Secangkir kecil kopi itu dibanderol Rp 35 ribu.
Saat menyeruput, ada cita rasa peanut yang dominan. Ada juga sedikit rasa jeruk yang
cenderung asam. Adapun untuk minuman kedua, saya memilih yang impor, yaitu
black coffee, yang bubuknya dari biji kopi Guatemala. Harga secangkir kopi itu
adalah Rp 40 ribu. Untuk pesanan kedua ini, Djule Kofi memberi espresso sebagai
minuman pendamping.
Dalam black coffee Guatemala, tercium aroma fruity yang kuat. Tingkat keasamannya
sedang. Berbeda dengan espresso yang jauh lebih asam. Bila tak sanggup mencicipi
kopi dengan tingkat keasaman tinggi, espresso ini bukanlah pilihan yang tepat.
Selain kopi, Djule Kofi menyediakan makanan ringan sebagai pendamping. Ada
croissant, klapertaart, dan banana bread. Saya mencoba pilihan terakhir yang cita rasa
pisangnya begitu kuat dan manis. Nama kudapannya tak menipu, tapi harganya
mahal. Seiris banana bread dibanderol Rp 25 ribu.
Sebagai kedai kopi, area Djule Kofi sangat luas dengan kapasitas kurang-lebih 100
pengunjung. Interior desainnya didominasi oleh material kayu, yang dipadu dengan
tembok bata yang dibiarkan telanjang tanpa plester semen.
Sayang, untuk ukuran kedai kopi, Djule Kofi tutup kelewat pagi. Jam operasional
kedai adalah pukul 08.00-20.00 WIB. Saya sempat kecele waktu pertama kali
menyambangi tempat ini dua hari lalu. Saat saya tiba pada pukul 20.30, Djule Kofi
sudah dalam kondisi gelap-gulita. Bukan tempat yang ideal untuk nongkrong sampai
larut. "Ini kafe seperti anak baik-baik saja, jam delapan sudah tutup," kata Arif
Mujahidin, 46 tahun, pengunjung, berkelakar.
Soal jam buka yang tak sampai larut ini, Djule Kofi punya dalih. Tak ada orang yang
minum kopi sampai larut di sekitar Jalan Melawai Raya. "Pernah coba buka sampai
pukul 9 malam saat bulan puasa, tapi sepi," kata Oyonk.

Kekurangan lain adalah kondisi di sekitar Djule Kofi yang sedang berantakan. Di
teras kedai ini sedang ada perbaikan jalur pedestrian oleh pemerintah DKI Jakarta.
Perlu sedikit usaha untuk melewati puing beton dan tanah merah lembek di sana
sebelum mencapai teras kedai kopi tersebut. 
Waktu paling tepat untuk mampir di Djule Kofi adalah dalam perjalanan menuju
kantor pada pagi hari, saat kedai itu dalam kondisi terbaik. Djule Kofi adalah salah
satu kedai di Jakarta Selatan yang sudah siap melayani pelanggan pada pagi hari.

Bentuk tulisan feature tidak terpaku pada bentuk piramida terbalik. Justru
mengharapkan pembaca mengikuti dengan seksama dari awal hingga akhir tulisan.
Kalau diberita langsung (straight news) pembaca cukup membaca paragraf awal
tulisan, maka di dalam feature justru inti tulisan baru ditemukan bila membaca dari
awal hingga akhir.

Dalam penulisan feature agar tidak tersesat kemana mana, tentukan dulu angle/sudut
pandang tulisan yang akan memandu arah tulisan.

Fungsi feature mencakup lima hal:


a. Melengkapi sajian berita langsung (straight news).
b. Pemberi informasi tentang suatu situasi, keadaan, atau peristiwa yang terjadi.
c. Penghibur dan pengembangan imajinasi yang menyenangkan.
d. Wahana pemberi nilai dan makna terhadap suatu keadaan atau peristiwa.
e. Sarana ekspresi yang paling efektif dalam mempengaruhi khalayak.
Tulisan feature mempunyai beberapa ciri khas, antara lain:
1. Mengandung segi human interest. Tulisan feature memberikan penekanan pada
fakta-fakta yang dianggap mampu menggugah emosi-menghibur, memunculkan
empati dan keharuan. Dengan kata lain, sebuah feature juga harus mengandung segi
human interest atau human touch-menyentuh rasa manusiawi. Karenanya, feature
termasuk kategori soft news (berita ringan) yang pemahamannya lebih menggunakan
emosi. Berbeda dengan hard news (berita keras), yang isinya mengacu kepada dan
pemahamannya lebih banyak menggunakan pemikiran.
2. Mengandung unsur sastra. Satu hal penting dalam sebuah feature adalah ia harus
mengandung unsur sastra. Feature ditulis dengan cara atau gaya menulis fiksi.
Karenanya, tulisan feature mirip dengan sebuah cerpen atau novel-bacaan ringan dan
menyenangkan-namun tetap informatif dan faktual. Karenanya pula, seorang penulis
feature pada prinsipnya adalah seorang yang sedang bercerita.
Jadi, feature adalah jenis berita yang sifatnya ringan dan menghibur. Ia menjadi
bagian dari pemenuhan fungsi menghibur (entertainment) sebuah surat kabar.

Q&A
Apakah ada batas panjang sebuah feature dan berapa panjang tulisan
feature yang baik?
Panjang pendeknya sebuah feature bisa menyangkut beberapa faktor,
misalnya, tergantung dari masalahnya atau peristiwanya sendiri. Bisa juga
tergantung pada minat perhatian pembaca. Sebuah peristiwa besar hampir
bisa dipastikan akan mampu menarik perhatian masyarakat, tapi ada juga
tulisan yang mampu menarik perhatian pembaca meski peristiwanya sendiri
merupakan sesuatu yang “kurang penting”.
Panjang suatu feature tidak akan berarti apa-apa apabila tidak dapat
menimbulkan minat perhatian pembaca. Selama diyakini bisa menimbulkan
minat perhatian pembaca, maka tulisan feature bisa dibuat panjang. Intinya,
panjang sebuah feature bersifat relatif. Bisa jadi, sebuah feature bisa menarik
minat perhatian pembaca tertentu, sedangkan bagi pembaca lain nyatanya
tidak mampu menimbulkan minatnya. Disinilah letak seni dan ketajaman
seorang penulis feature. Dibutuhkan kepekaan dalam menentukan, menduga
dan memperkirakan apakah mampu menarik perhatian banyak pembaca.
Dalam hal ini, peranan tim redaksi juga dibutuhkan untuk ikut menentukan hal
tersebut.

Apakah tema-tema berdasarkan bidang / sektor kehidupan bisa diangkat


sebagai feature?
Bisa. Misalnya bidang sosial, politik, budaya, ekonomi dll. Sektornya mulai dari
kesenian, pemerintahan, perdagangan dll. Karena pada dasarnya semua jenis berita
bisa ditulis dengan gaya feature. Namun dalam mengangkat bidang, sektor maupun
komoditas yang lebih konkrit menjadi sebuah feature, penulis disarankan untuk
menekankan segi manusianya, binatangnya, tumbuh-tumbuhannya atau alamnya.
Secara konkrit, bagaimanakah sebuah feature ditulis?
Misalnya ada kecelakaan pesawat terbang. Straight newsnya adalah berita tentang
kecelakaan tersebut. Kemudian ada interpreted news dari maskapai penerbangan,
pabrik pesawat, aparat perhubungan, pihak keluarga korban dll. mengenai kecelakaan
tersebut. Ada lagi artikel dari seorang pakar cuaca yang mengulas kecelakaan tersebut
dari aspek buruknya cuaca pada saat peristiwa terjadi. Feature yang bisa ditulis antara
lain: 1- mengenai istri/anak pilot yang menjadi korban; 2- pacar pramugari yang juga
menjadi korban; 3- petugas SAR yang tanpa kenal lelah membantu mengumpulkan
jasad para korban dll. dengan menekankan segi human interestnya.

Mengapa segi human interest paling diutamakan dalam sebuah feature?


Karena berita (news) sudah ditampilkan dengan lugas dan dengan bahasa yang sangat
formal. Dalam artikel, fakta dan data juga harus dianalisis dengan serius dan diberi
opini yang juga harus serius. Agar pembaca media cetak tidak bosan, maka diperlukan
sebuah bentuk tulisan yang menekankan segi human interest. Itulah sebabnya segi ini
paling diutamakan dalam feature. Dalam perkembangan lebih lanjut, berita pun bisa
dikembangkan menjadi news feature, feature reporting, feature story dll. Bahkan
dalam perkembangan lebih lanjut, feature juga melahirkan bentuk tulisan yang lebih
baru (generasi baru) yang disebut sebagai How To Do It Article (HTDI). Cabang
jurnalisme yang pertamakali memperkenalkan bentuk tulisan ini adalah jurnalisme
kedokteran/ kesehatan pada abad XVI dan XVII.

Apakah segi human interest tersebut sudah melekat pada meteri tulisan, atau
merupakan kreasi penulisnya?
Segi human interest dalam sebuah feature, harus benar-benar faktual (berupa fakta
nyata) yang melekat pada materi (bahan) tulisan. Keterampilan penulis hanya dituntut
untuk menyeleksi dan mengolah bahan-bahan tersebut, hingga ketika telah menjadi
tulisan dan disampaikan ke pembaca, akan bisa menyentuh perasaan. Kalau segi
human interest tersebut merupakan hasil imajinasi atau keterampilan berpikir si
penulis, maka tulisan tersebut merupakan fiksi, bukan feature.
Apa sajakah yang bisa dikatagorikan sebagai human interest?
Yang bisa dikatagorikan sebagai human interest antara lain: masalah percintaan;
perjalanan/perjuangan hidup manusia, hewan, tumbuhan maupun alam (gunung api,
bintang); kelahiran/kematian; penderitaan (misalnya derita TKI yang disiksa majikan
di LN); ketabahan/ketegaran dalam menghadapi cobaan/godaan dll.
Apakah feature dengan tema penderitaan bisa digunakan untuk menjelek-
jelekkan pihak yang mengakibatkan penderitaan tersebut?
Bisa, namun feature tersebut akan menjadi feature propaganda. Nilai sebuah feature
propaganda, akan lebih rendah dibanding dengan feature yang benar-benar hanya
menceritakan penderitaan seseorang atau sekelompok orang. Sebab yang harus
geregetan, marah dsb. adalah pembaca media massa, setelah membaca feature
tersebut. Bukan penulisnya.
Bagaimana menulis feature (yang baik)?
Sebelum menulis, pertama-tama pilihlah kasus yang (sangat) menarik, yang
menyangkut kepentingan banyak orang (publik), yang prestisius untuk ditulis.
Seorang wartawan atau penulis yang baik dan berpengalaman biasanya memiliki nose
of news (daya cium, daya endus berita), yang akan selalu bisa terasah jika ia memiliki
“jam terbang” cukup tinggi. Tapi, nose of news selalu bisa dilatih. Setelah
menemukan obyek, kasus atau item tulisan, pikirkanlah apa kira-kira angle-nya. Yang
dimaksud dengan angle ialah “sudut pandang”, apa kira-kira masalah yang sangat
penting dan relevan dari kasus tersebut. Untuk menentukan angle biasanya cukup
sulit, sehingga diperlukan pemikiran, perenungan, bahkan diskusi dengan kawan-
kawan.
Bagaimana trik atau cara menulis feature?
Sebetulnya hampir sama dengan teknik menulis artikel lainnya, hanya saja dalam
menulis feature kita dituntut untuk lebih ‘menyentuh’ dan memberikan nuansa lain
dari sekadar sebuah berita. Itu sebabnya, feature bisa berfungsi sebagai penjelasan
atau tambahan untuk berita yang sudah disiarkan sebelumnya, memberi latar belakang
suatu peristiwa, menyentuh perasaan dan mengharukan, menghidangkan informasi
dengan menghibur, juga bisa mengungkap sesuatu yang belum tersiar sebagai berita.
Yang perlu mendapat perhatian dalam penulisan feature ini, adalah lead yang
menarik. Nah, lead dalam feature inilah yang sepertinya penting, meski bukan pokok
memang. Bahkan jangan lupa, selain lead, kita juga harus membuat tubuh dan
endingnya dari tulisan tersebut. Sangat boleh jadi ‘ending’ sebuah feature sama
pentingnya dengan lead. Jadi rasa-rasanya harus bisa menarik dan menggoda
pembaca. Misalnya memberikan kesimpulan atau mungkin ada ‘celetukan’ atau
sindiran yang menggoda pembaca. Di sinilah editor biasanya paling pusing untuk
memotong tulisan jenis feature, nggak gampang lho. Sama sulitnya dengan
‘mengobrak-abrik’ naskah cerpen. Kenapa? Karena semua bagian dalam feature itu
penting. Itu saja.
Nah, harus diakui bahwa yang terpenting dalam pembuatan tulisan berjenis feature ini
adalah lead. Kekuatannya ada di sana. Lead ibarat pembuka jalan. Jadi upayakan
benar-benar menarik dan mengundang rasa penasaran pembaca untuk terus membaca.
Sebab, gagal dalam menuliskan lead pembaca bisa ogah meneruskan membaca. Gagal
berarti kehilangan daya pikat. Itu sebabnya, penulis feature harus pintar betul
menggunakan kalimatnya. Bahasa rapi, terjaga, bagus dan kelihaian dalam cara
memancing itu haruslah jitu. Memang sih, tak ada teori yang baku tentang menulis
lead sebuah feature

Perkembangan teknologi komunikasi telah berpengaruh terhadap peran media


massa cetak. Akibat perkembangan teknologi ini, media massa menjadi dijauhi
dan menyebabkan manusia purna aksara menjadi buta aksara lagi. Hal ini
disesalkan Marshall McLuhan, bahwa terdesaknya media cetak oleh media
elektronik mengakibatkan tersisihnya sastra sebagai salah satu mata rantai
komuniksdi antar generasi. Namun dengan hadirnya media massa elektronik
tidak menghapus keberadaan media massa cetak, bahkan diperlukan. Namun,
persaingan antara media massa cetak dan media massa elektronik membuat
media masa cetak harus memiliki sesuatu yang berbeda dari media massa
elektronik. Di sinilah feature mengambil perannya dalam persaingan antar jenis
media ini. Feature sekarang ini merupakan sesuatu yang tidak bisa tidak harus
ada dalam surat kabar. Terutama dalam menghadapi persaingan dengan media
elektronik yang juga memiliki jenis feature udara.

Feature, Suatu Tulisan Karangan Khas


2.1 Karangan Khas
Karangan khas dimaksudkan sebagai terjemahan ”Feature”. Lepas dari apakah
istilah tersebut sudah memasyarakat atau belum, ada beberapa keberatan
untuk itu. Dua diantaranya adalah, pertama bahwa setiap tulisan atau
karangan memiliki bentuknya sendiri sehingga dapat kita katakan memiliki
kekhasannya sendiri . karena itu “Karangan Khas” belum menunjukkan
suatu kekhasannya sendiri. Kedua, kita berusaha membedakan antara
pengertian “tulisan” dan “karangan”. Sebagaimana kita ketahui nantui,
suatu feature lebih cenderung disebut sebagai “tulisan” daripada sebuah
“karangan”. Dengan demikian apabila istilah “khas” akan tetap kita pakai,
saya lebih cenderung memakai istilah “tulisan khas” daripada “karangan
khas”

2.2 Feature Adalah Suatu Tulisan Jurnalistik


Pembicaraan mengenai feature akan dimulai dari pembahasan tentang beberapa
unsurnya atau komponennya, baru kemudian akan dicoba merumuskan apa
feature itu. Unsur pertama ialah bahwa feature itu merupakan tulisan
jurnalistik yang memiliki ciri dan dasar jurnalistik. Meskipun sama-sama
merupakan tulisan jurnalistik, feature masih dapat dibedakan dengan
bentuk-bentuk tulisan jurnalistik lainnya.

2.3 Suatu Feature Mengandung Unsur-unsur Sastra


Pada sebuah feature selain dituntut dasar-dasar jurnalistiknya, juga dituntut
dasar-dasar sastra. Inilah yang membedakan feature dan berita. Adanya
unsur sastra ini dapat menyebabkan kita mengatakan bahwa suatu feature
itu adalah cara menulis berita dengan gaya menulis fiksi.

2.4 Feature Adalah Suatu Tulisan Yang Kreatif


Karena hal-hal di atas itulah kita bisa mengatakan bahwa suatu feature adalah
suatu tulisan yang kreatif. Kraetif dalam arti menimbulkan suatu yang baru
dengan menghubung-hubungkan beberapa variable faktor, kejadian, yang
sebelumnnya tidak ada hubungannya dengan berdasarkan pada fakta.

2.5 Segi Aktualitas sebuah Feature


Aktual dapat ditentukan oleh beberapa faktor seperti, karena kebaruan
peristiwa, ada suatu kepentingan, ada peristiwa yang perlu diperhatikan,
mengandung suatu keuntungan. Dengan demikian pengertian aktualitas
menjadi relatif sifatnya.

2.6 Feature Kadang Bersifat Subyektif


Meskipun bersifat obtektif, namun kadang suatu feature bersifat subjektif yaitu
apabila dalam penulisannya penulis mengambil sudut pandangnya adalah
orang pertama yang menunjukkan bahwa si penulis terlibat langsung dalam
kejadian itu.

2.7 Segi Menyentuh Rasa Manusiawi


Bentuk penyajian feature yang ringan dan menyenangkan maka peristiwa-
peristiwa yang mengandung human interest itu barangkali dapat dikatakan
paling memenuhi syarat untuk dikarangkhaskan. Hal apa yang paling
menarik bagi manusia? Jawabnya adalah tentang diri manusia itu sendiri.

2.8 Feature Bersifat Informatif


Memberikan infornmasi dan pengetahuan kepada pembaca.

2.9 Batasan Sebuah Feature


William L. Rivers dalam bukunya yang berjudul “The Mass Media”, tidak
memberikan batasan yang jelas mengenai feature, tapi berusaha menjelaskan
dengan membedakan dengan bentuk-bentuk tulisan lainnya dalam surat kabar.
“Kita mempunyai kisah atas fakta-fakta yang murni, yaitu yang kita sebut
sebagai berita . di samping berita kita juga menjumpai tulisan seperti tajuk
rencana, kolom, dan tinjauan yang disebut artikel. Sisanya yang tedapat dalam
suatu surat kabar, itulah yang dapat disebut sebagai feature.

McKinney dari Denver Post memberikan batasan tentang feature dengan cara
yang hampir sama seperti yang dilakukan William L. Rivers dengan mneyebut
bahwa feature adalah suatu tulisan yang di luar tulisanyang bersifat langsung,
tempat pegangan utama berita itu adalah 5W 1H dapat diabaikan.

Daniel R. Williamson mengatakan, “A feature story is a creative, sometimes


subjective, an article designed primarily to entertain and to inform readers of
an event, a situation or an aspect of life”

Wolseley dan Campbell dalam bukunya Exploring Journalism mengatakan “…


news feature merupakan racikan salad atau cuci mulut dalam rangkaian
hidangan jurnalistik, sekedar santapan ekstra agar makanan yang berat-berat
terasa lebih nyaman.tentu saja tidak selamanya feature itu berupa human
interest. Sering-sering merupakan cerita sejarah yang panjang atau wawancara
mengenai pribadi seseorang. Tetapi tujuan dan hasilnya sama”.

3. Feature Dalam Praktek


Dalam bab ini hanya terdapat kutipan beberapa tulisan feature sebagai contoh
dan terdapat pembahasannya.

4. Anatomi sebuah Feature

Bentuk paling umum suatu feature adalah piramida terbalik dengan beberapa
perkembangannya. Pada feature masih dibutuhkan suatu penutup tulisan.
Yang dimaksud dengan anatomi sebuah berita adalah bagian-bagian berita,
dalam hal ini berbentuk terbalik. Dari atas, pertama-tama adalah judul
berita, kedua baris tanggal (dateline) berisi tanggal terbit dan inisial surat
kabar atau kantor berita. Yang ketiga adalah teras berita disebut juga
sebagai intro. Keempat adalah perangkai (bridge) yang menghubungkan
antara teras dengan tubuh berita. Kelima adalah tubuh berita dan keenam
adalah penutup.
Membangun tubub feature ibarat membangun sebuah gedung dengan
menyusun batu bata demi batu bata. Melalui ibarat itu pula di antara
susunan batau bata itu terdapat adukan semen, maka pada feature ini pun
ada bagian yang berfungsi seperti adukan tersebut, disebut transisi. Transisi
memiliki dua tugas. Pertama, ia mengantarkan pembaca, atau
memberitahukan pembaca bahwa bagian tulisan berikutnya telah berpindah
dari suatu bagian ke bagian lainnya. Kedua, transisi meletakkan bagian
materi baru pada perspektif sebagaimana adanya.
Terdapat beberapa jenis penutup, yaitu:
penutup ringkasan,
penutup menyimpulkan,
penutup klimaks,
penutup yang mengagetkan,
penutup tak ada penyelesaian.
Setelah membahas tentang transisi sebelumnya maka hal selanjutnya yang
harus diperhatikan adalah fokus. Fokus adalah ikat pemberat pokok cerita
yang menjelujuri tubuh berita. Fokus digunakan sebagai pedoman, langkah
penentu sehingga pokok cerita yang seharusnya lebih sempit dari
bahasannya tidak terlalu melebar atau menyimpang.

5. Anatomi Sebuah Feature (Lanjutan)


Kerangka feature dapat disebutkan juga sebagai struktur sebuah feature,
meskipun mungkin struktur ini dapat lebih dikhususkan untuk pengertian
tubuh feature.Teras (lead) atau intro adalah kepala, stryktur adalah
kerangkanya meski dapat khusus tubuh, tetapi juga bisa termasuk
kepalanya, penutup adalah ekornya. Transisi adalah bagian yang mengikat
teras, tubuh, dan ekor.
Struktur feature haruslah sedemikian rupa memakai teknik untuk menjaga agar
setiap bagian tetap berada pada tempatnya masing-masing. Beberapateknik
atau metode itu adalah:
Mengikuti tema. Setiap alinea menekankan lagi lead.
Spiral. Setiap alinea menguraikan lebih terperinci lagi bagian masalah yang
telah dikemukakan oleh alinea sebelumnya.
Blok. Bahan atau isi cerita dipenggal-penggal masing-masing bagian itu secara
utuh digambarkan dalam alinea-alinea.
Alinea adalah sekelompok klaimat yang memaparkan suatu bagian
dari suatu pokok bahasan. Ada dua syarat yang harus diperhatikan dalam
menulis alinea:
Adanya kesatuan. Suatu alinea harus dapat menyatakan maksud dengan jelas.
Adanya koherensi. Harus berkesinambungan. Proses berpikir seseorang sangat
berkaitan erat dengan hasil tulisan yang koheren. Atas dasar hal ini maka kita
dapat membedakan macam-macam alinea, yaitu secara deduktif, induktif dan
deduktif induktif, dengan tangkaian sebab akibat, proses (urutan kejadian),
dengan analogi, repetisi (pengulangan), dengan contoh-contoh, dengan
pertanyaan.

Setiap feature memiliki nada sebagaimana halnya setiap cerita fiksi.


Nada sebagai suatu istilah literer memiliki dua pengertian, yaitu pertama
pengertian bunyi atau suara dari suara penulisnya atau dalam pengertian
atmosfer yang diberikan penulis kepada ceritanya.
Mengenai macam feature, penulis akan menggunakan dua istilah.
Pertama jenisnya, maka berdasarkan jenisnya feature digolongkan menjadi
dua yaitu feature berita dan feature artikel. Secara sederhana feature berita
dapat dikatakan mengandung lebih banyak unsur-unsur suatu berita.
Sedangkan feature artukel unsur-unsurnya cenderung lebih banyak unsur
artikelnya.

Judul berfungsi untuk menarik perhatian pembaca. Karenanya judul yang baik
harus memenuhi beberapa syarat yaitu:
Atraktif
Akurat
Eksak
Memberikan gambaran yang jelas, ringkas, padat, serta menunjukkan
kesederhanaan.
Komunikatif

Terdapat beberapa jenis judul:


Striking statement, jenis judul yang menggemparkan, sensasional.
Provocative satatement, jenis judul yang seting lebih rendah daripada Striking
Statement.
Label atau Etiket, merupakan penamaan terhadap penggolongan jenis tulisan
itu, misalnya mengenai obat-obatan, mengenai riwayat hidup seseorang.
Misalnya apabila feature itu adalah feature perjalanan, judulnya hanya nama
suatu tempat saja, nama kota, nama gunung atau tempat lainnya.
Kalimat Deklaratif. Merupakan pernyataan-pernyataan yangringkas dan jelas.
Direct Address, jenis judul yang langsung menunjuk kepada sasaran atau isi
materi tulisan.
Pertanyaan. Berbentuk kalimat Tanya.
Cuplikan. Berupa cuplikan dari dari pernyataan orang-orang ternama.
Judul 5W 1H. berisi aspek-aspek dari 5W 1H.
7. Teras (Lead) Atatu Alinea Pertama Sebuah Feature

Teras merupakan alinea pertama dalam feature. Karena letaknya di awal, teras
haruslah menarik dan memjadi alat pancing untuk pembaca. Dalam feature, ada
beberapa jenis teras, yaitu:
1. Teras Deskriptif, menggambarkan suatu peristiwa, tempat kejadian, setting,
atau tokoh dalam pikiran pembaca.
2. Teras Deduktif, pernyataan umum atau kesimpulan terletak di awal alinea.
3. Teras Induktif, kalimat pokok atau kesimpulan diletakan di akhir alinea.
4. Teras Induktif-Deduktif, kalimat pokok ditempatkan di awal dan akhir
alinea.
5. Teras Ringkasan, berisi inti cerita yang disajikan.
6. Teras Langsung Menunjuk, penulis berkomunikasi langsung dengan
pembaca melalui alinea pertama.
7. Teras Kontras, menampilkan dua fakta yang berbeda sekali untuk
memberikan penekanan terhadap tema feature yang diangkat.
8. Teras Memandang Masa Lalu-Masa Depan, ditulis dengan memandang masa
lalu atau masa yang akan datang dengan tujuan-tujuan untuk melakukan
perbandingan dengan masa kini tempat ceriiita itu berlangsung.
9. Teras Pertanyaan, duatu pertanyaan akrab yang tepat dicuplik dari tema
cerita mungkin dapat digunakan untuk menunjukan kepada pembaca tentag isi
cerita yang ditulis.
10. Teras Kutipan, berisi kuripan atau pendapat orang-orang terkenal.
11. Teras Analogi, menampilkan kemiripan antara suatu fakta yang sudah
terjadi dan diketahui dengan fakta yang akan menjadi tema cerita yang akan
disajikan.
12. Teras 5W+1H, mengandung semua unsur 5W+1H.
13. Teras penggoda, bertujuan memancing perhatian pembaca sehingga
pembaca itu tidak terdesak atau dituntun untuk membaca tulisan kita.
14. Teras berseni atau aneh, menyajikan cerita yang lincah dan hidup, aneh
dank has.
15. Teras Insiden Distinktif, berisi cuplikan sebagian dari isi feature pada
bagian klimaks cerita.
16. Teras Gambar, suatu deskripsi grafis setting dari cerita yang akan
diceritakan dalam feature, disajikan dalam teras, sebagai suatu pengantar
menuju kepada aksi-aksi para pelakunya.
17. Teras Gabungan, kombinasi dari dua atau lebih beberapa jenis teras.

9. Gaya
Gaya adalah suatu cara atau jalan bagi seorang penulis
untuk menulis. Yang dimaksud gaya di sini adalah gaya penulisan
yang mencakup gaya bahasa dan gaya bercerita. Secara garis besar,
gaya bahasa dibedakan atas perbandingan, sindiran, penegasan,
pertentangan.
Diksi adalah pemilihan kata yang dipergunakan untk
menyusun suatu kalimat. Dalam buku ini, diksi diperinci ke dalam
tiga subkomponen, yaitu ketepatan (correctness), efektivitas
(effectiveness), dan kelayakan (appropriate).

Proses Penulisan Feature

Dalam penulisan feature, ada beberapa tahapan, yaitu menentukan ide atau
permasalah yang akan diangkat, menentukan angle tulisan, menentukan titik
pandangn (point of view), membuat kerangka tulisan, dan pengumpulan fakta,
data, serta informasi. Jika semua tahap ini telah dilalui, kita lanjutkan dengan
menulis

Anda mungkin juga menyukai