Modul Panduan Praktikum Feature News
Modul Panduan Praktikum Feature News
FEATURE NEWS
Laboratorium Jurnalistik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Halu Oleo
2017
TIM PENYUSUN
MODUL PRAKTIKUM
MATA KULIAH FEATURE NEWS
Tim Penyusun
Ketua : Ikrima Nurfikria
Sekretaris :J
Diterbitkan :
Laboratorium Jurusan Jurnalistik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Halu Oleo
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-NYA, kami
mampu merampungkan penyusunan modul praktikum mata kuliah Feature
News ini. Modul ini merupakan panduan bagi para mahasiswa dalam
melaksanakan praktikum di Laboratorium Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Halu Oleo.
Modul praktikum mata kuliah Feature News ini meliputi petunjuk praktis
tentang xxx, xxx, xxx
Definisi
Feature (baca: ficer) pada dasarnya merupakan salah satu cara atau
gaya penulisan sebuah berita atau karya jurnalistik. Feature News atau berita
feature, biasa disebut juga tulisan kreatif atau tulisan khas, utamanya
dirancang untuk memberikan informasi seraya memberikan hiburan kepada
pembaca, tentang suatu peristiwa, situasi atau aspek kehidupan seseorang.
Daniel R Williamson, seorang penulis professional sekaligus pengarang buku
berjudul “Features Writing for Newspaper”, mendefinisikan berita feature
sebagai tulisan yang kreatif, subyektif, menghibur dan informatif.
Lain lagi dengan Slamet Soeseno dalam bukunya xxx(1980) yang
mengistilahkan berita feature sebagai anggur obat penghilang lesu darah
yang diminum dengan menggunakan gelas khusus. Begitu juga Wolsely dan
Campbell yang memberikan definisi unik untuk sebuah berita feature.
Menurut mereka berita feature merupakan racikan salad atau pencuci mulut
dalam rangkaian hidangan jurnalistik. Berita feature merupakan santapan
ekstra agar makanan yang berat-berat terasa lebih nyaman dan ringan untuk
di konsumsi. Hal ini bisa kita buktikan saat membaca majalah berita Tempo.
Bicara soal penulisan feature, Tempo merupakan salah satu dari sedikit
media di Indonesia yang sangat piawai mengolah berita dengan gaya feature.
Dengan kemampuan mumpuni dari para wartawan didalamnya, Tempo
melalui gaya tulisannya yang bercerita, mampu mengolah berita-berita
dengan topik “berat” menjadi terasa ringan dan enak untuk dibaca. Tidak bikin
dahi mengerut dan lebih mudah dipahami. Slogan yang melekat pada majalah
berita mingguan ini, yakni enak dibaca dan perlu, benar-benar dibuktikan
dalam setiap karya jurnalistik yang mereka hasilkan.
Ada suatu peristiwa atau cerita yang terkadang sulit untuk disampaikan
dengan menggunakan gaya lempang atau berita langsung (straight news).
Misalnya saja cerita yang sarat akan unsur kemanusiaan atau cerita tentang
perjalanan. Dalam kondisi itulah, gaya penulisan feature menjadi solusi paling
tepat dan terbaik. Banyak juga yang menganggap, feature bisa menjadi cara
untuk membongkar kekakuan atau ketidakluwesan sebuah berita. Seringkali,
keberadaan kaidah/aturan baku dalam jurnalistik, membuat wartawan merasa
terbebani saat melakukan proses penulisan berita. Hal inilah yang kemudian
acap kali membuat hasil tulisan menjadi terkesan kaku, terlalu formal dan
tidak enak dibaca. Dalam konteks tersebut, gaya feature hadir untuk
mendandani dan memoles tulisan yang kaku tersebut. Layaknya wajah
manusia, meski sudah memiliki mata, hidung, mulut, alis, dan lain-lain, namun
kerap dirasa kurang indah jika belum di dandani. Maka usaha berikutnya
adalah merias wajah tersebut sebaik mungkin agar terlihat cantik, anggun,
dan sedap dipandang. Begitu juga dengan tulisan. Memiliki kelengkapan
unsur berita, sturuktur yang lengkap, alur yang jelas, dan lain sebagainya,
belum cukup untuk memastikan tulisan tersebut menarik dan enak dibaca.
Jenis-jenis feature
Wolseley dan Campbell dalam bukunya Exploring Journalism (1957),
membagi tulisan Feature ke dalam enam jenis :
1. Feature humanisme (Human interest feature). Merupakan jenis
feature yang langsung menyentuh keharuan, kegembiraan,
kejengkelan atau kebencian, simpati, dan sebagainya. Misalnya, cerita
tentang penjaga mayat di rumah sakit, kehidupan seorang petugas
kebersihan di jalanan, liku-liku kehidupan seorang guru di daerah
terpencil, suka-duka menjadi dai di wilayah pedalaman, atau kisah
seorang penjahat yang dapat menimbulkan kejengkelan.
2. Feature sejarah (Hystorical feature). Merupakan tulisan yang
bercerita tentang peristiwa masa lalu, namun masih menarik untuk
diberitakan. Misalnya saja berita tentang peran Soeharto pada
penumpasan PKI yang sering diberitakan media massa menjelang
beliau wafat. Contoh lain, peristiwa Keruntuhan Khilafah Islamiyah,
sejarah tentang Istana al-Hamra dan Benteng Granada. Melalui feature
sejarah kita juga bisa ‘melongok’ kejayaan Islam di masa lalu, belajar
sejarah tentang kekejaman tentara salib saat membantai kaum
muslimin, hingga memahami sejarah pertama kali Islam masuk ke
Indonesia, dan sebagainya.
3. Feature profil (Profile features). Jenis feature ini berfungsi untuk
menceritakan tentang kisah sukses atau kisah hidup dari seseorang,
organisasi, maupun sebuah komunitas. Contohnya berita tentang
proses hidup seorang pengusaha sukses yang berawal dari
gelandangan, cerita sukses sebuah LSM dalam membangun
masyarakat pedalaman. Feature profil tidak melulu hanya menyajikan
cerita sukses, tetapi bisa juga meramu kisah tentang kisah pilu atau
kegagalan seseorang. Tujuan dari penulisan feature profil ini pada
intinya agar pembaca dapat bercermin lewat kehidupan orang lain.
4. Feature perjalanan (Travel Feature). Sebuah feature perjalanan
ditulis untuk menceritakan pengalaman berkesan dari sebuah
perjalanan. Misalnya kunjungan ke tempat bersejarah di dalam
ataupun di luar negeri, atau ke tempat yang jarang dikunjungi orang.
Dalam Feature jenis ini, biasanya unsur subjektivitas menonjol, karena
biasanya penulisnya yang terlibat langsung dalam peristiwa/perjalanan
itu mempergunakan “aku”, “saya”, atau “kami” (sudut pandang orang
pertama). Sebagai contoh, perjalanan menunaikan ibadah haji.
Perjalanan ke tanah suci ibisa kita tuangkan dalam sebuah tulisan
bergaya feature yang menarik. Karenanya, saat Anda melakukan
travelling, disarankan untuk membawa buku catatan kecil untuk
menuliskan semua peristiwa yang dialami sebagai bahan penulisan.
5. Feature petunjuk praktis (How-to-do feature). Feature jenis yang
satu ini dipakai untuk menjelaskan tentang bagaimana suatu perbuatan
atau aktifitas dilakukan. Banyak juga yang menyebutnya dengan istilah
feature tips. Misalnya, tentang bagaimana caranya merawat mobil agar
irit bensin, cara menyimpan dan menggunakan ASIP (air susu ibu
perah) bagi ibu menyusui, cara merangkai bunga, cara menata rumah,
seni mendidik anak, panduan memilih perguruan tinggi, teknik beternak
bebek, cara menaklukkan hati calon mertua, dan lain sebagainya.
6. Feature ilmiah (scientific feature). Merupakan feature yang bercerita
mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi. Feature jenis ini ditandai
oleh kedalaman pembahasan dan objektivitas pandangan yang
dikemukakan, menggunakan data dan informasi yang memadai.
Feature ilmu pengetahuan dan teknologi biasanya dimuat di majalah-
majalah bertema khusus seperti majalah teknik, komputer, pertanian,
kesehatan, kedokteran, dan lain-lain. Surat kabar juga biasanya
memberi rubrik khusus terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Praktikum 1 :
1. Temukan dua contoh tulisan feature dalam sebuah suratkabar/harian.
Analisa tulisan tersebut berdasarkan jenis dan kualitas nya.
2. Temukan dua contoh tulisan feature dalam sebuah majalah atau
tabloid. Analisa tulisan tersebut berdasarkan jenis dan kualitas nya
Bab 2. Teknik Penulisan Feature
Jurnalistik Feature
Sastra
Pelajari Diksi
Dalam menulis feature seseorang harus bisa menulis berdasarkan
cerita dari fakta-fakta yang ada, dengan menggunakan imajinasi, warna-warni
dan irama. Namun yang tidak kalah penting, kunci penulisan feature terletak
pada pemilihan kata (diksi). Apakah yang dimaksud dengan diksi? Diksi atau
pilihan kata adalah teknik untuk menggunakan kata yang paling tepat untuk
memperoleh efek tertentu dalam tulisan. Dalam jurnalisme olahraga misalnya,
diksi banyak sekali dipakai. Misalnya, ujung tombak kesebelasan Inggris itu
telah menjebol gawang Jerman. Sebagai ganti penyerang, digunakan idiom
ujung tombak. Masuknya bola ke gawang Jerman dilukiskan dengan
menjebol. Contoh lain, mengganti kata menangis dengan menitikan air mata.
Adapun fungsi diksi antara lain :
1. Melambangkan gagasan yang diekspresikan baik secara verbal
maupun non verbal.
2. Membentuk gaya ekspresi gagasan yang tepat.
3. Menciptakan komunikasi yang baik dan benar.
4. Mencegah perbedaan penafsiran.
5. Mencegah salah pemahaman.
6. Mengefektifkan pencapaian target komunikasi
Diksi misalnya, penting untuk memilih kata ganti orang kedua yang
hendak digunakan: engkau, kamu, kalian, situ, Anda, sampeyan, ente, you,
jeng, mbak, kak, bang, dan lain-lain. Menyapa atasan dengan kamu pasti
dianggap tidak sopan. Sebaliknya, kalau seorang sahabat karib tiba-tiba
memanggil situ atau Anda, berarti sedang ada masalah hingga terkesan ada
jarak. Untuk memilih kata yang sangat tepat, diperlukan banyak pengetahuan
tentang warna dan nuansa kata/bahasa.
Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan
tepat apa yang ingin disampaikannya, baik lisan maupun tulisan. Disamping
itu, pemilihan kata juga harus sesuai dengan situasi dan tempat penggunaan
kata-kata itu. Pemilihan kata akan dapat dilakukan bila tersedia sejumlah kata
yang artinya hampir sama atau bermiripan. Ketersediaan kata akan ada
apabila seseorang mempunyai bendaharaan kata yang memadai, seakan-
akan ia memiliki senarai (daftar) kata. Senarai kata itu kemudian dipilih satu
kata yang paling tepat untuk mengungkapkan suatu pengertian. Tanpa
menguasai sediaan kata yang cukup banyak, tidak mungkin seseorang dapat
melakukan pemilihan atau seleksi kata.
Pemilihan kata bukanlah sekedar kegiatan memilih kata yang tepat,
melainkan juga memilih kata yang cocok. Cocok dalam hal ini berarti sesuai
dengan konteks dimana kata itu berada. Maknanya juga tidak boleh
bertentangan dengan nilai rasa masyarakat pembacanya. Untuk itu, dalam
memilih kata diperlukan analisis dan pertimbangan tertentu. Sebagai contoh,
kata mati bersinonim dengan mampus, wafat, tewas, gugur, berpulang,
kembali ke haribaan Man, dan lain sebagainya. Akan tetapi, kata-kata
tersebut tidak dapat bebas digunakan. Mengapa? Ada nilai rasa dan nuansa
makna yang membedakannya.
Singkatnya, diksi adalah ketepatan pilihan kata. Pemilihan kata yang
tepat ini jelas dipengaruhi oleh kemampuan penulis, terkait dengan
kemampuan mengetahui, memahami, menguasai, dan menggunakan
sejumlah kosakata secara aktif yang dapat mengungkapkan gagasan secara
tepat sehingga mampu mengkomunikasikannya secara efektif kepada
pembaca atau pendengarnya. Selain kata yang tepat, efektivitas komunikasi
menuntut persyaratan yang harus dipenuhi oleh penulis, yaitu kemampuan
memilih kata yang sesuai dengan tuntutan komunikasi. Berikut syarat- syarat
ketetapan pemilihan kata :
1. Membedakan makna denotasi (makna sebenarnya) dan konotasi
(makna kiasan) yang cermat. Misalnya, kata kambing hitam dalam
kedua kalimat ini punya makna yang berbeda. Kambing hitam itu
keluar dari kandangnya ketika pintu kandang dibuka (denotasi). Dia
selalu mencari kambing hitam jika usahanya gagal (konotasi). Contoh
lainnya; Banjir di Jakarta disebabkan oleh air sungai yang meluap
(denotasi). Emosinya meluap ketika ia dihina didepan kelas (konotasi).
2. Membedakan secara cermat makna kata yang bersinonim.
Penguasaan kosakata yang tidak banyak, dapat menyulitkan
seseorang untuk merangkai kalimat untuk menjelaskan sesuatu baik
dalam bentuk tulisan maupun lisan. Kalimat yang dibuat dapat berisi
banyak kata yang sama dan diulang-ulang. Kalimat menjadi tidak
cermat atau kurang efektif atau berkesan mubazir. Pada akhirnya,
tulisan menjadi kurang enak dibaca. Mengurangi penggunaan kata
yang berlebihan dan berulang-ulang dalam kalimat dapat diatasi
dengan pemakaian kata yang bersinonim. Dengan penggunaan kata
yang sepadan, kalimat menjadi tidak kaku serta lebih variatif. misalnya
kata; adalah, ialah, merupakan, yaitu., dalam pemakaiannya berbeda-
beda. Contohnya,:
(1) Pintar, pandai, cakap, cerdik, cerdas, banyak akal, mahir.
(2) Gagah, kuat, tagap, perkasa, berani, megah, kacak.
(3) Mati, meninggal, berpulang, mangkat, wafat, mampus
(4) Bodoh, tolol, dugu, goblok, otak udang
3. Membedakan makna kata secara cermat terutama kata yang mirip
ejaannya. Misalnya: inferensi (kesimpulan) dengan interferensi (saling
mempengaruhi), sarat (penuh) dan syarat (ketentuan ).
4. Tidak menafsirkan makna kata secara subjektif berdasasrkan pendapat
sendiri, jika pemahaman belum dapat dipastikan, pemakaian kata
harus menemukan makna yang tepat dalam kamus, misalnya: modern
sering diartikan secara subjektif canggih menurut kamus modern
berarti terbaru atau mutakhir, canggih berarti banyak cakap, suka
menggangu, banyak mengetahui, bergaya intelektual.
5. Menggunakan imbuhan asing (jika diperlukan) harus memahami
maknanya secara tepat, misalnya: dilegalisir seharusnya dilegalisasi,
koordinir seharusnya koordinasi.
6. Menggunakan kata-kata idomatik berdasarkan susunan (pasangan)
yang benar, misalnya: “sesuai bagi seharusnya sesuai dengan.
7. Menggunakan kata umum dan khusus secara cermat. Untuk
mendapatkan pemahaman yang spesifik, sebaiknya menggunakan
kata khusus ke umum misalnya mobil (kata umum), Brio (sedan kecil
buatan Honda).
8. Menggunakan kata yang berubah makna dengan cermat, misalnya :
issu ( berasal dari issue berarti publikasi, kesudahan, perkara ) isu
( dalam bahasa Indonesia berarti kabar yang tidak jelas asal-usulnya,
kabarangin, desas-desus ).
9. Menggunakan dengan cermat kata bersinonim ( pria dan laki-laki, saya
dan aku, serta buku dan kitab ), berhomofoni ( misalnya: bang dan
bank ) dan berhomografi( misalnya: apel buah, apel upacara, buku
ruas, buku kitab ).
10. Menggunakan kata abstrak (konseptual misalnya: pendiikan,
wirauasaha dan pengobatan modern dan kata konkret ( kata khus
misalnya: mangga, sarapan, dan berenang ).
Selain ketepatan pilihan kata itu, penulis harus pula memperhatikan
kesesuaian kata agar tidak merusak makna, suasana, dan situasi yang
hendak ditimbulkan, atau suasana yang sedang berlangsung. Syarat
kesesuaian kata:
1. Menggunakan ragam baku dengan cermat dan tidak
mencampuradukan penggunakannya dengan kata tidak baku yang
hanya digunakan dalam pergaulan, misalnya: hakikat (baku), hakekat
(tidak baku), konduite (baku), kondite (tidak baku).
2. Menggunakan kata yang berhubungan dengan nilai sosial dengan
cermat, misalnya: kencing (kurang sopan), buang air kecil (lebih
sopan), pelacur (kasar), tunasusila (lebih halus).
3. Menggunakan kata berpasangan (idiomatik), dan berlawanan makna
dengan cermat, misalnya: sesuai bagi (salah), sesuai dengan (benar),
bukan hanya melainkan juga (benar), bukan hanya tetapi juga (salah),
tidak hanya tetapi juga (benar).
4. Menggunakan kata dengan nuansa tertentu, misalnya: berjalan lambat,
mengesot, dan merangkak, merah darah; merah hati. Menggukan kata
ilmiah untuk karangan ilmiah, dan komunikasi non ilmiah (surat-
meyurat, diskusi umum)
5. Menggunakan kata popular, misalnya: argumentasi (ilmiah),
pembuktian (popular), psikologi (ilmiah), ilmu jiwa
(popular).Menghindarkan penggunaan ragam lisan (pergaulan dalam
bahasa tulis), misalnya: tulis, baca, kerja (bahasalisan), menulis,
menuliskan, membaca, membacakan, bekerja, mengerjakan,
dikejakan, (bahasa tulis).
Sumber Ide
Khawatir kesulitan menemukan ide untuk membuat tulisan feature?
Tidak usah cemas. Alam semesta ini menyimpan berjuta ragam cerita yang
tidak mungkin habis untuk ditulis. Kemampuan menggunakan imajinasi dan
terlatih mencari ide adalah kunci utama dalam keberhasilan menemukan
sebuah ide tulisan. Sumber ide penulisan feature antara lain bisa dari
pengalaman pribadi, perasaan intuitif, pengamatan sepintas, pernyataan para
pemimpin, berbagai pertemuan, ataupun dari bacaan. Peristiwa sehari-hari
juga bisa menjadi ladang subur untuk menemukan sebuah ide. Hendaknya
cermati dan tekun mengamati perisiwa apa saja yang berlangsung di
masyarakat. Satu peristiwa di pagi hari dari satu jenis kegiatan manusia saja
bisa membuat Anda memperoleh banyak gagasan untuk menulis.
Misalnya, kisah dari pemulung yang pasti banyak dengan mudah kita
temui di sekitar rumah. Banyak aspek yang bisa digali dari mereka. Mulai dari
proses pengolahan sampah menjadi barang yang berguna, standar/gaya
hidup kaum pemulung, ataupun kisah keluarga pemulung dan lain
sebagainya. Suatu kejadian yang tidak begitu mendapat perhatian dari
masyarakat atau wartawan pada umumnya, justru bisa berubah menjadi ide
cemerlang di tangan seorang penulis feature. Disitulah sebenarnya diperlukan
kejelian dari seorang wartawan.
Praktikum 2 :
1. Pikirkan sebanyak-banyakya ide tulisan yang sekiranya bisa Anda
wujudkan dalam sebuah tulisan feature. Tulis dalam daftar semua ide
yang sudah Anda peroleh serta tentukan angle/sudut pandang tulisan
yang hendak digunakan dari ide tersebut.
2. Pilih salah satu ide yang ada dalam daftar yang Anda buat, dan segera
lakukan reportase dan wawancara terhadap pihak terkait.
Bab. 3 Mari Mulai Menulis
Sama halnya dengan jenis berita lainnya, anatomi feature juga terdiri
dari judul, lead, tubuh berita dan penutup. Adanya urut-urutan tersebut tidak
serta merta mengharuskan penulis untuk memulai proses penulisan dari
pembuatan judul. Biasanya setiap penulis memiliki gaya-nya masing-masing.
Ada yang biasa memulai proses penulisan dari judul, Tapi ada pula yang
justru membubuhkan judul di akhir proses penulisan, yakni setelah teras
berita dan tubuh berita selesai dibuat. Namun untuk kepentingan urutan
dalam modul ini, tidak ada salahnya kita awali latihan pembuatan feature ini
dengan mulai membuat judul.
Judul
Judul harus mampu memikat pembaca. Judul yang memikat tidak
harus berupa ringkasan, yang penting harus menarik dan menggugah minat.
Dalam penulisan judul, penulis dapat mengungkapkan subjektifitasnyas
sehingga sifatnya sangat orisinal dalam gaya dan penyusunan kata-katanya.
Judul tidak harus berupa kalimat lengkap (subjek, predikat, dan objek), tak
perlu tegas menyiratkan maksud utama penulis atau tegas menyamarkan
makna (mengandung arti ganda).
Untuk membuat judul yang cocok dan memikat, kata-kata disusun
sedemikian rupa, melibatkan wawasan, emosi dan kecerdikan penulis untuk
menarik perhatian pembaca. Aspek ritme, kreativitas, dan sedikit humor
penting untuk diperhatikan. Ada beberapa tipe judul yang bisa dipakai dalam
tulisan feature, diantaranya :
Judul dari ringkasan. Judul ini meletakkan sudut pandang dari materi
tulisan sebagai daya pengungkap dan penjelas. Kandungan judul
merefleksikan materi tulisan. Tiap katanya memberi tentang apa yang
terdapat di dalam keseluruhan tulisan sehingga pembaca bisa
memutuskan akan membacanya atau tidak. Misalnya, “Rela Berjalan
Kaki Ribuan Kilometer Demi Si Buah Hati”.
Judul how-to. Untuk judul tipe ini, wartawan hendak menerangkan isi
atau maksud tulisan yang disusun dalam judul yang spesifik dan
ringkas. Misalnya, “Cara Langsing Setelah Melahirkan”. Contoh lain,
“Kiat Sukses Berisnis Waralaba”.
Judul superlative. Judul jenis ini mengilustrasikan keluar-biasaan atau
kehebatan dari topik yang menjadi bahasan tulisan. Contoh: “Manusia
Tercepat Di Dunia”, “Bertemu dengan Manusia Paling Jenius”.
Judul bertanya. Menggunakan tanda tanya yang biasanya menyentak,
menggugah. Bisa juga untuk mengingatkan masyarakat pada peristiwa
tertentu, baik yang tengah aktual ataupun sudah lampau. Contoh:
“Pakai Kacamata Jadi Norak?”, “Mau Keliling Dunia Gratis?”
Praktikum 3 :
1. Temukan pada surat kabar atau majalah, lima buah judul berita feature
yang menurut Anda menari. Berikan analisa dan penilaian Anda
terhadap beberapa judul tersebut.
2. Dari hasil reportase yang sudah Anda lakukan, mulailah membuat judul
untuk tulisan feature Anda. Judul bisa lebih dari satu sebagai alternatif
untuk kemudian dipilih yang terbaik dari berbagai alternatif yang ada.
Lead
Salah satu kunci penulisan feature yang baik terletak pada paragraf
pertama, yaitu lead atau teras berita. Mencoba menangkap minat pembaca
tanpa lead yang baik sama dengan mengail ikan tanpa umpan. Setiap
wartawan harus selalu sadar akan pentingnya lead. Tidak jarang, “keranjang
sampah” dalam ruang redaksi, penuh dengan lead tak bermutu. Tidak jarang
wartawan memakai lead yang itu-itu saja dalam usahanya menarik minat
pembaca. Pada dasarnya, lead dalam feature mempunyai dua tujuan utama
yakni menarik pembaca untuk mengikuti cerita dan membuka jalan bagi alur
cerita. Dalam buku Seandainya Saya Wartawan Tempo, di sarankan
beberapa jenis lead yang bisa dipakai untuk berita feature, antara lain :
Lead ringkasan (Summary lead). Dalam lead ini, yang ditulis hanya
inti ceritanya, kemudian terserah pembaca apakah masih cukup
berminat mengikuti kelanjutannya atau tidak. Lead ini sering dipakai
bila reporter mempunyai persoalan yang kuat dan menarik.
Contoh:
Ini satu lagi kasus peninggalan bekas Gubernur DKI Jakarta Jaya
Wiyogo Atmodarminto: Pasar Regional Jatinegara. (TEMPO, 30
Januari 1993, Komisi di Jatinegara).
Dari lead ringkasan di atas, pembaca akan tahu bahwa cerita yang
akan disampaikan adalah tentang ketidakberesan di Pasar Regional
Jatinegara yang dibangun di zaman Gubernur DKI Jakarta Jaya Wijoyo
Atmodarminto.
Lead bercerita (Narrative Lead). Lead ini biasanya digemari penulis
fiksi (novel atau cerita pendek), dengan tujuan menarik perhatian
pembaca dan membenamkannya. Tekniknya adalah menciptakan
suasana dan membiarkan pembaca menjadi tokoh utama, entah
dengan cara membuat kekosongan yang kemudian secara mental
akan diisi oleh pembaca, atau dengan membiarkan pembaca
mengidentifikasikan diri di tengah kejadian. Lead macam ini sangat
efektif untuk cerita petualangan. Tapi tak semua cerita bisa cocok jika
menggunakan lead ini. Maka itulah mengapa reporter harus pandai
menempatkan jenis lead mana yang cocok digunakan untuk sebuah
cerita.
Contoh : Panasnya terik matahari yang menyengat kulit, bukanlah
halangan bagi Adun (35) lelaki paruh baya asal Sukabumi ini untuk
tetap meneruskan pekerjaannya sebagai penjual langseng keliling.
Demi menyambung hidupnya, ia rela mengelilingi sebagian pulau di
Indonesia untuk menjual barang dagangannya itu. Ya, ia tak hanya
menjual langsengnya itu di kota kembang, tempat di mana ia tinggal,
tapi juga hingga menyebrangi pulau Jawa.
Lead Kutipan (Quotation Lead). Kutipan yang dalam dan ringkas bisa
membuat lead menarik. Kutipan harus bisa memberikan tinjauan ke
dalam watak si pembicara. Kutipan tidak melulu harus dari perkataan si
narasumber, tapi juga bisa menggunakan kutipan orang lain seperti
misalnya tokoh terkenal. Perlu diingat bahwa lead harus menyiapkan
pentas bagi bagian berikutnya dari cerita kita, sehingga kutipannya pun
harus memusatkan diri pada sifat cerita itu.
Contoh : Photo’s Speak?! Mamprangs!!! Jargon yang tak asing di
kalangan pembidik, seakan-akan memekakan telinga. Kampus hijau
menyiasati beberapa kalangan mahasiswa khususnya jurusan
Jurnalistik, mendirikan sebuah komunitas fotografi.
Lead bertanya (Question lead). Lead ini efektif bila berhasil
menantang pengetahuan atau rasa ingin tahu pembaca. Yang
ditimbulkan dari lead ini adalah rasa ingin tahu pembaca. Mereka yang
belum tahu mestinya terus ingin membacanya, sedangkan yang sudah
tahu dibuat ragu apakah pengetahuannya cocok dengan informasi
yang diberikan atau tidak. Yang penting diingat, lead bertanya hanya
bisa efektif bila informasi yang akan disampaikan memang secara
wajar bisa diberi pertanyaan.
Contoh : Masih ingatkah Anda dengan Dede si “Manusia Akar”?.
Lead menuding langsung (Direct address lead). Ketika penulis
mencoba berkomunikasi langsung dengan pembaca, inilah yang
disebut dengan lead menuding langsung. Ciri-ciri lead ini adalah
ditemukannya kata “Anda”, yang disisipkan dalam kalimat atau
paragraph lead. Lead ini secara langsung melibatkan pembaca atau
langsung menyeret pembaca ke dalam suatu persoalan dan
membawanya membaca tulisan secara keseluruhan. Banyak orang
berpendapat bahwa lead ini dinilai kurang memikat. Pasalnya, tidak
semua orang bisa ikut terlibat dalam suatu persoalan tersebut.
Contoh : Bila harus memilih antara diet kolesterol dan penyakit jantung,
tentu Anda memilih yang pertama.
Lead menggoda (Teaser Lead). Lead menggoda digunakan untuk
“mengelabui” pembaca dengan cara bergurau. Tujuan utamanya
menggaet perhatian pembaca dan menuntunnya supaya membaca
seluruh ceritanya. Lead ini biasanya pendek dan ringan. Umumnya
dipakai teka-teki, dan biasanya hanya memberikan sedikit, atau sama
sekali tidak, tanda-tanda bagaimana cerita selanjutnya. Dari kalimat
yang menggoda itu, pembaca akan dibuat penasaran,
keingintahuannya dibangkitkan. Untuk memenuhi keingintahuannya itu,
mau tak mau pembaca harus melanjutkan membacanya hingga selesai
Contoh : Angka yang ditunggu-tunggu itu keluar juga: sekitar 50.
(TEMPO, 4 Januari 1992, “Angka Misterius Santa Cruz”).
Lead nyentrik (Freak lead) . Reporter yang imajinatif meskipun tidak
puitis bisa mencoba lead jenis ini. Lead ini memikat dan informatif.
Gayanya yang khas dan tak kenal kompromi itu bisa menarik perhatian
pembaca hingga ceritanya bisa laku. Misalnya saja dengan
menggunakan gaya pantun. Contoh :
Hijau sayuran, Putihlah susu.
Naik harga makananKe langit biru
Lead kombinasi (Combination Lead). Sering ditemukan lead yang
merupakan kombinasi dari dua atau tiga lead, dengan mengambil
unsur terbaik dari masing-masing lead. Lead kutipan misalnya, sering
dikombinasi dengan lead deskriptif. Lead menggoda juga bisa
dikombinasikan dengan lead kutipan, lead naratif dengan lead
deskriptif, dan seterusnya selama lead tersebut bisa menarik minat
pembaca.
Contoh : “Bukan salahku bahwa aku belum mati sekarang,” kata Fidel
Castro dengan senyum lucu.
Praktikum 4 :
1. Temukan pada surat kabar atau majalah, lima buah lead berita feature
yang menurut Anda menarik. Berikan analisa dan penilaian Anda
terhadap beberapa lead tersebut.
2. Dari hasil reportase yang sudah Anda lakukan, mulailah membuat lead
untuk tulisan feature Anda. Anda bisa memilih salah satu dari jenis
lead yang disarankan.
Batang Tubuh
Setelah lead, yang tak kalah pentingnya adalah batang tubuh atau isi.
Bagian ini merupakan substansi. Kalau lead ibarat wajah, isi adalah citra,
kualitas sekaligus eksistensi ‘tubuh’ itu sendiri. Wajah cantik, tidak akan
berarti apa-apa tanpa kualitas dalam diri, itu ibaratnya. Begitu pula halnya
sebuah berita feature, kualitasnya ditentukan isi. Kualitas (presisi) data, fakta,
kredibilitas narasumber dan cara penyajian menopang kualitas tulisan fature.
Demikian pula halnya penjelasan isi, bermanfaat untuk memuluskan
pemahaman pembaca.
Yang pertama diperhatikan adalah fokus cerita jangan sampai
menyimpang. Buatlah kronologis, berurutan dengan kalimat sederhana dan
pendek-pendek. Lakukan deskripsi, baik untuk suasana maupun orang
(profil), mutlak untuk pemanis sebuah feature. Kalau dalam berita, cukup
begini: Pak Saleh mendapat penghargaan sebagai tukang parkir teladan.
Paling hanya dijelaskan sedikit soal Pak Saleh. Tapi dalam feature, saudara
dituntut lebih banyak. Profil lengkap Pak Saleh diperlukan, agar orang bisa
membayangkan. Contoh lain, bila seorang wartawan desk ekonomi
menggambarkan seorang direktur bank dengan sepatunya yang gemerlapan
dan kumisnya yang keputih-putihan dalam berita langsung, sang redaktur
tentu akan marah karena menganggap tulisan itu bertele-tele. Tapi,
sebaliknya, bila reporter itu melupakan gambaran direktur pada saat ia
menulis feature, redaktur mungkin akan bertanya, "Orangnya seperti apa?
Saya tidak bisa membayangkannya”.
Anekdot juga penting untuk membuat menarik sebuah feature. Tapi
anekdot yang dimasukkan jangan mengada-ada dan dibuat-buat. Selain itu,
kutipan ucapan juga penting, agar pembaca tidak jenuh dengan suatu
reportase. Detil pun penting tetapi harus tahu kapan terinci betul dan kapan
tidak. Contohnya; Preman itu tertembak dalam jarak 5 meter lebih 35 centi 6
melimeter. Apa pentingnya detail seperti itu? Sebut saja sekitar 5 meter. Tapi
dalam contoh lain, gol kemenangan Persebaya dicetak pada menit ke 43.
Detail ini jelas penting. Tak bisa disebut sekitar menit ke 45, karena menit 45
sudah setengah main. Dalam olahraga sepakbola, menit ke 43 beda jauh
dengan menit ke 30. Bahkan dalam atletik, waktu 10.51 detik banyak bedanya
dengan 10.24 detik.
Praktikum 5 :
1. Temukan pada surat kabar atau majalah, dua buah batang tubuh berita
feature yang menurut Anda menarik. Berikan analisa dan penilaian
Anda terhadap kedua batang tubuh feature tersebut.
2. Dari hasil reportase yang sudah Anda lakukan, mulailah membuat
batang tubuh untuk tulisan feature Anda.
Penutup
Jika batang tubuh sudah selesai, maka tinggal membuat penutup
atau ending tulisan. Seorang penulis harus dengan hati-hati dalam menilai
dan menimbang-nimbang apakah penutup yang ia buat merupakan akhir
yang logis bagi cerita itu. Bila merasakan bahwa ending-nya lemah atau tidak
wajar, ia cukup melihat beberapa paragrap sebelumnya, untuk mendapat
penutup yang sempurna dan masuk akal. Ingat peran Anda sebagai "tukang
cerita" dan biarkanlah tulisan Anda mengakhiri dirinya sendiri, secara wajar.
Usahakan untuk bercerita dengan lancar, masuk akal, dan tidak dibikin-bikin.
Ada beberapa jenis penutup yang disarankan, antara lain :
Penutup ringkasan (Summary ending). Penutup ini bentuk maupun
sifatnya seperti sebuah ikhtisar. Ia hanya seolah - olah mengikat ujung
bagian-bagian cerita yang lepas lepas dan dengan demikian
mengarahkan dan menunjuk kembali ke teras atau intro. Penutup
ringkasan dimaksudkan untuk membimbing pembaca pendengar atau
pemirsa untuk mengingat kembali pokok-pokok cerita yang sudah
diuraikan. Pesan inti cerita ditegaskan kembali dalam kalimat atau
redaksi yang berbeda. Akhirnya pembaca, pendengar atau pemirsa
diyakinkan tentang apa yang seharusnya dipikirkan atau dilakukan
setidak-tidaknya ia tidak memetik kesimpulan yang keliru.
Penutup menyengat. (Stinger ending). Bagai sebuah film detektif,
sejak awal cerita sudah dipersiapkan akhir yang mengagetkan, tidak
disangka-sangka. Pada tengah cerita, imajinasi pembaca
"dipermainkan" untuk suatu akhir yang tidak dapat diduga dan
mengagetkan pembaca. Misalnya, tulisan feature tentang penjahat
yang berhasil ditangkap lewat pengejaran panjang. Dalam tubuh berita
sudah dijelaskan panjang lebar tentang usaha keras petugas
kepolisian menangkap sang penjahat hingga akhirnya berhasil di bui.
Kemudian ending feature-nya adalah: Esok harinya, bandit itu telah
kabur kembali.
Penutup klimaks (climax ending). Merupakan akhir sebuah tulisan
yang bersifat kronologis. Ditulis dengan nada makin menaik
(kronologis) sebagaimana bata demi bata disusun untuk kemudian
menjadi sebuah rumah maka bagian cerita demi bagian dan
ketegangan demi ketegangan makin menumpuk yang akhirnya
sampailah kepada ketegangan yang paling tinggi atau puncak yang
disebut klimaks. Hanya saja dalam feature, penulis berhenti bila
penyelesaian cerita sudah jelas, dan tidak menambah bagian setelah
klimaks seperti cerita tradisional.
Penutup tanpa penyelesaian (Unending ending) : Tulisan berakhir
dengan mengambang, tanpa jawaban tuntas. Jawaban diserahkan
kepada pendapat masing-masing pembaca. Bisa jadi ini merupakan
taktik penulis agar pembaca merenung dan mengambil kesimpulan
sendiri. Tapi bisa juga karena masalah yang ditulis memang
menggantung, masih berlanjut, entah kapan.
Penutup ajakan. Dalam penutup jenis ini, pada paragraf terakhir,
penulis melontarkan saran, imbauan, seruan, atau ajakan kepada
pembaca, pendengar, atau pemirsa, untuk melakukan suatu tindakan
tertentu yang dianggap relevan dan sangat mendesak. Penutup jenis
ini terutama digunakan mencari dan memecahkan suatu persoalan.
Penutup ini juga bisa dipilih untuk peristiwa yang mengancam
keamanan dan keutuhan masyarakat atau bangsa seperti pada kasus-
kasus unjuk rasa masif, pertentangan etnis, konflik berkepanjangan,
kerusuhan, perang.
Praktikum 6 :
1. Temukan pada surat kabar atau majalah, dua buah penutup berita
feature yang menurut Anda menarik. Berikan analisa dan penilaian
Anda terhadap kedua penutup feature tersebut.
2. Dari hasil reportase yang sudah Anda lakukan, mulailah membuat
penutup untuk tulisan feature Anda.
CONTOH-CONTOH BERITA FEATURE
Contoh 1
Di dalam negeri sendiri, kita tidak kekurangan wartawan-wartawan
yang handal menulis feature. Sebut saja Subkhan J. Hakim, wartawan Koran
Tempo, yang berhasil meraih penghargaan Adinegoro (penghargaan tertinggi
untuk karya jurnalistik di Indonesia) pada peringatan Hari Pers Nasional
(HPN) pada 2016 lalu. Subhan sukses dianugerahi penghargaan tersebut
melalui berita feature-nya berjudul “Jagoan Lokal Tak Kalah Pede”, yang
terbit di Koran Tempo edisi 26 Juli 2015. Melalui karya feature-nya tersebut,
Subkhan berhasil memotret dan menceritakan tren yang sedang terjadi di
dunia anak muda, yakni komik dan media social dengan gaya penulisan yang
renyah, memikat dan segar. Gaya tulisannya yang lincah dan menarik,
membuat pembaca bertahan untuk terus membaca tulisan tersebut hingga
akhir. Banyak pihak menilai, Subkhan sukses menampilkan gaya non-
mainstream dalam tulisannya dan mampu menahan pembaca untuk
membaca habis sebuah tulisan panjang. Berikut tulisan karya Subkhan :
Si Juki tak punya paras tampan bak bintang sinetron. Giginya tonggos, matanya belo,
dan kulitnya cokelat. Perilakunya pun sering kali menyebalkan. Kadang jahil. Tapi,
jangan salah, di media sosial seperti Instagram dan Facebook, Juki bukan tokoh
sembarangan. Dia punya lebih dari 100 ribu pengikut di ranah maya itu. Siapakah
sebenarnya Juki?
Juki adalah aktor serial komik setrip dalam Si Juki karya Faza "Meonk" Ibnu
Ubaydillah. "Dia itu karakter mahasiswa desain komunikasi visual yang tidak lulus-
lulus," kata Faza dia. Tokohnya itu sudah nongol di media sosial sejak 2010.
Juki seperti tak disiapkan lahir dengan matang. Sebab, ia hanya berawal dari coretan
iseng Faza di Facebook. Eh, ternyata di lahan ciptaan Mark Zuckerberg itu aksi Juki
pelan-pelan disukai. Hingga ketika dia sudah demikian kondang, pada 2012 Faza
memutuskan tak main-main lagi menggarap Juki. "Saat itu gue berpikir serius
menjadikannya sebagai salah satu sumber penghasilan," kata pemuda berusia 24 tahun
itu, dua pekan lalu.
Faza pun meluncurkan ulang Si Juki di media sosial, dari Facebook, Twitter, Line,
YouTube, hingga Instagram. Dan ternyata nasibnya memang kian ngacir ke atas. Ia
semakin dikenal luas. Bahkan Si Juki lalu menjadi satu-satunya komik Indonesia yang
masuk dalam sepuluh besar komik terpopuler di Line Webtoon. Di sana Si Juki sudah
dibaca jutaan orang. Karakternya lalu diabadikan ke dalam stiker pada aplikasi Line,
dan sudah diunduh hingga 5 juta kali!
Line Webtoon adalah lapak komik daring bikinan aplikasi Line (Korea Selatan).
Tentu saja karena asal Korea Selatan, karya seniman Negeri Ginseng tersebutlah yang
menguasai lapangan. Toh, si Juki dengan lincah mampu unjuk gigi.
Faza, yang kini juga menjadi dosen Universitas Bina Nusantara itu, tak mau berhenti
sampai di situ. Dia berencana meluncurkan patung action figure Si Juki dalam gelaran
Pop Con Asia yang rencananya diselenggarakan 7-9 Agustus 2015 mendatang. Ini
adalah salah satu pesta akbar para komikus lokal.
Eh, tetapi ada juga dhing karya komikus Indonesia lain yang nampang di Line, yakni
Piraku x Piraku bikinan Sweta Kartika. Sebelumnya komikus asal Kebumen ini punya
pengalaman membikin komik di media sosial. Serial komik Grey & Jingga, misalnya,
laris manis dibaca di Facebook sejak 2012. "Satu halaman bisa dibagikan hingga
ratusan kali," kata Sweta.
***
Karakter Si Juki dan Piraku x Piraku sebenarnya merupakan bagian dari gelombang
komik setrip media sosial yang kini menjadi tren. Komik-komik setrip lokal dengan
konten keseharian, perlahan tapi pasti, mulai memikat perhatian. Anda bisa
menemukan mereka dengan mudah lewat Path, Facebook, Twitter, hingga Instagram.
Mari berkenalan dengan Nurfadli Mursyid, komikus komik setrip Tahilalats. Fadli
kini menjadi komikus Instagram dengan jumlah pengikut paling besar, yaitu mencapai
180 ribu pengikut.
Sebenarnya, Fadli mulai mengunggah komiknya baru pada Juli tahun lalu. "Tapi, saya
memang membuat komik setrip setiap hari," kata dia. Inspirasi kisah komiknya datang
dari berbagai kejadian sehari-hari, ataupun isu yang tengah hangat menjadi topik
pembicaraan.
Lalu ada Andhika Fachrezi. Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam
Bandung ini meluncurkan komik setrip Kompibipi dua bulan lalu-persisnya
menjelang kelulusannya dari sekolah menengah. Seperti kebanyakan komikus muda,
dia rajin mengunggah komik setripnya setiap hari, dan ternyata disukai banyak orang.
Dalam kurun itu, jumlah pengikutnya di Instagram naik dari hanya puluhan hingga
melampaui 3.000 pengikut. "Padahal, awal mulanya saya mengunggah komik hanya
karena iseng, dan untuk teman-teman dekat saja," kata pemuda 18 tahun ini.
Maraknya karya-karya komik di media sosial ini, menurut komikus Beng Rahadian,
tak lepas dari pengaruh fenomena meme, yakni bentuk komunikasi visual lewat
gambar atau fotografi yang mengandung lelucon. Meme kerap menyentil gejala
sosial, atau merespons ungkapan yang tengah populer. "Mereka yang bisa
menggambar, meresposnnya dengan komik setrip," kata pegiat Akademi Samali ini.
Adapun Sweta menunjuk kebiasaan orang Indonesia yang cerewet di medsos sebagai
pemicu. Faktanya, pengguna medsos di Indonesia salah satu yang teraktif di dunia.
Beng sepakat, Andhika dan Fadli adalah contoh komikus baru yang muncul dari
media sosial, khsuusnya Instagram. Dulu banyak yang memanfatakan Facebook dan
Twitter, lalu perlahan mulai beralih ke Instagram. Alasannya, Facebook kini dipenuhi
orang tua, "Sedangkan Twitter sepertinya dipenuhi orang-orang yang lebih serius,"
kata dia. Itu sebabnya dia meresa tak heran perkembangan komik setrip kian pesat di
Instagram dalam setahun terakhir.
Kelebihan lain yang ditawarkan Instagram, kata Beng, terletak pada kemudahan basis
aplikasi yang bertumpu pada visual, serta respons yang mudah. Istilahnya, hanya
dengan menyebut akun teman, para pengikut komikus bisa mengajak teman-temannya
membaca komik yang dianggap lucu. Kemudahan lain adalah tidak adanya proses
penyuntingan. "Ini yang membedakan komik setrip di media sosial dengan komik
setrip zaman dulu."
Dulu, komik setrip yang dimuat di media massa, atau untuk dicetak, harus mengalami
proses penyuntingan ketat. Ini sering kali disertai kewajiban menyesuaikan gaya
gambar ataupun konten komik dengan tren. "Dengan keberadaan media sosial, itu
tidak berlaku lagi," kata Beng.
Absennya proses penyuntingan itu juga mengubah alur penerbitan karya komik. Dulu
komikus mengirimkan karya kepada penerbit. "Kini sebaliknya: penerbit yang justru
memburu komikus," kata Beng. Semakin besar jumlah pengikut dan penggemar,
penerbit biasanya berani menerbitkan komik tersebut. "Alasannya, kalau jumlah
pengikutnya sudah banyak, ada kemungkinan karya tersebut dibeli penggemar yang
sudah punya ikatan khusus," kata Sweta.
Sweta tidak asal bicara. Karyanya yang berjudul Grey & Jingga saat dicetak ternyata
juga sukses di pasar. Sweta bahkan kemudian memilih melakukan penerbitan sendiri
atas komiknya tersebut.
Contoh serupa juga terjadi pada komik setrip Si Juki. Faza setidaknya sudah
menerbitkan lima judul buku dengan karakter Si Juki di dalamnya. Fadli dengan
komik Tahilalats, juga bakal diterbitkan. "Sedang dalam proses. Semoga tahun ini
bisa diterbitkan," ujar Fadli.
Menurut Beng, komikus media sosial sebenarnya tak menargetkan komik mereka naik
cetak. "Yang penting bagi mereka karyanya dibaca dan diapresiasi. Di media sosial
mereka menemukan itu," kata Beng.
Serba kemudahan itu, menurut Beng, bakal tidak ada artinya jika para komikus
mengabaikan isi. Dia menyarankan komik di media sosial memiliki konten dinamis.
"Gaya gambarnya bisa macam-macam. Tapi, kontennya harus bagus," kata dia.
Itu sebabnya, isi komik opini yang merespons kejadian sehari-hari lebih laku
ketimbang cerita fiksi. "Komik opini itu, tidak habis inspirasinya," kata Sweta.
Selain merespons isu, lelucon dan istilah anak muda pun bertaburan di komik-komik
itu. Contoh lelucon kocak yang cukup jitu dan sangat Indonesia, misalnya, dilakukan
Abi Ma'ruf lewat akun Instagram Si_Abi. Dia memparodikan tokoh putra Dewa Zeus,
Thor, dengan tarian tortor asal Sumatera Utara. Tanpa banyak kata, humor ini
menggelitik mereka yang memahami konteksnya.
Selain humor semacam itu, ada juga konten lokal kedaerahan yang digunakan sebagai
lelucon utama. Misalnya seri komik setrip Digi Doy yang konsisten mengangkat
humor ala Medan, lengkap dengan dialeknya. Atau komik setrip dari akun Instagram
wibik_sana yang sering mengangkat lelucon dengan keluguan khas tokoh Sunda.
Ada juga komik yang mengusung konten religi semacam Komik Lingkar di Facebook
ataupun seri komik setrip Si Bedil di Instagram. Si Bedil bahkan digunakan juga
sebagai salah satu karakter untuk kampanye lembaga Dompet Dhuafa. "Komik
dengan konten religi, memang masih sangat terbuka untuk dikembangkan," kata Faza,
yang juga menjadi konsultan komik Si Bedil. Adapun menurut Beng, konten spesifik
seperti itu justru akan menarik banyak pembaca. "Asalkan tetap konsisten."
Rizki Ehsy Pangarso, kurator akun Instagram komikin_ajah, menyebut urusan konten
menjadi salah satu pertimbangan sebelum mempromosikan komik setrip. Akun
komikin_ajah kini punya lebih dari 500 ribu pengikut, dan menjadi semacam
promotor tak resmi bagi para komikus media sosial. "Kami tidak terlalu
memperhatikan gaya gambarnya. Yang penting justru kontennya. Kalau kontennya
menarik dan sangat lucu, besar kemungkinannya kami muat."
Baiklah sekarang dari mana para komikus itu mengambil inspirasi karyanya? Tak
seperti kebanyakan komikus yang menciptakan karakter permanen, Nurfadli Mursyid,
memilih membuat komik tanpa tokoh. "Yang muncul dalam komik saya adalah
random people," kata Fadli.
Tanpa tokoh tetap, ini akan memudahkan Nurfadli mengusung tema yang beragam,
dari menyindir kebiasaan buruk pengguna media sosial, hingga tema orang dewasa.
"Kadang memang ceritanya terasa agak absurd," ujar Fadli. Itukah sebab karyanya di
Instagram digemari hingga ratusan ribu orang? Bisa jadi!
Andhika Fachrezi juga memulai kisah komiknya dari berbagai kejadian sehari-hari.
Bahkan dia menampung berbagai macam kisah para pembaca. Ya, Andhika sengaja
membuka ruang komunikasi dengan para pengikutnya di media sosial lewat akun
Instagram andhikahappy. "Soalnya banyak dari mereka yang punya kisah menarik,
tapi kurang lucu kalau hanya diceritakan lewat kata-kata."
Dunia maya adalah wahana tak terbatas, dan kerap membersitkan keajaiban-keajaiban
bagi pegiatnya. Tak sedikit yang melejit kesejahteraannya karena pintar
memanfaatkan peluang yang ada di sana. Sweta juga yakin, karier sebagai komikus
melalui media sosial bakal membuka banyak peluang dari segi ekonomi. "Dulu karier
sebagai komikus tidak terlalu menggembirakan. Tapi, kini tidak lagi," kata dia.
Di sisi kreatif pun terbuka lebar untuk mencapai keragaman karya.
Beng menyebut perkembangan cepat komik lokal sangat menggembirakan. "Komik
Indonesia tampil sebagai komik-komik yang lugu dan apa adanya, dengan identitas
yang tidak meniru lagi," kata dia.
Maka hari ini, misalnya, kita mengenal Juki yang tidak tampan, tapi demikian percaya
diri menerobos penggung yang lebih luas. "Juki gue gambar sebagai sosok anti-
mainstream. Alias berani beda," kata Faza yang kini menjabat sebagai CEO Pionicon,
perusahaan intelectual property management.
Sudah saatnya memang berhenti memuja yang serba dari luar. Juki telah memberikan
contoh nyata.SUBKHAN J. HAKIM
Contoh 2
Ada juga karya feature menawan dari Rachel Kaadzi Ghansah,
reporter dari majalah GQ. Ia membuat tulisan profil feature tentang Dylann
Roof, seorang pembunuh berdarah dingin yang diduga kuat bertanggung
jawab atas pembunuhan sadis sembilan anggota paroki di Gereja Episkopal
Methodist Emanuel Afrika pada bulan Juni 2015. Membaca tulisan Ghansah
tentang Dylann Roof tersebut banyak pengamat menyebut karyanya itu
sebagai campuran unik dan kuat dari reportase, refleksi dan analisis orang
pertama dari kekuatan sejarah dan budaya. Atas karya feature-nya tersebut
Ghanzah yang merupakan lulusan dari Colombia University, AS, dianugerahi
Pulitzer Prize, sebuah penghargaan prestisius di bidang jurnalisme cetak di
Amerika Serikat, untuk kategori best feature writing, pada bulan April 2018.
Dalam sebuah wawancara di salah satu stasiun televisi, Ghansah
mengungkapkan bahwa awalnya ia merencanakan sebuah tulisan yang
berpusat pada keluarga korban. Namun di tengah jalan, nuraninya berkata
bahwa tidak pantas rasanya terus melakukan reportase, tanpa mengulik
kehidupan pribadi Dylann Roof dan membiarkannya terlihat suci. Tidak
kurang dari sebulan lamanya Ghansah melakukan peliputan dan
mewawancarai kedua orang tua, teman-teman hingga mantan guru Roof.
Tidak lupa juga para anggota keluarga korban pembunuhan. Hasilnya,
terciptalah karya feature yang kaya dan menarik. Berikut artikelnya :
“What are you?” a member of the Mother Emanuel AME Church in Charleston asked
at the trial of the white man who killed eight of her fellow black parishioners and their
pastor. “What kind of subhuman miscreant could commit such evil?... What happened
to you, Dylann?”
Rachel Kaadzi Ghansah spent months in South Carolina searching for an answer to
those questions—speaking with Roof’s mother, father, friends, former teachers, and
victims’ family members, all in an effort to unlock what went into creating one of the
coldest killers of our time.
Sitting beside the church, drinking from a bottle of Smirnoff Ice, he thought he had to
go in and shoot them.
They were a small prayer group—a rising-star preacher, an elderly minister, eight
women, one young man, and a little girl. But to him, they were a problem. He
believed that, as black Americans, they were raping “our women and are taking over
our country.” So he took out his Glock handgun and calmly, while their eyes were
closed in prayer, opened fire on the 12 people gathered in the basement of Mother
Emanuel AME Church and shot almost every single one of them dead.
The Crucible
At the trial last December, two survivors and the many relatives of the victims sat in a
courtroom and looked at the back of Dylann Roof's head, the thinness of his neck. The
ever growing bald patch at the center of his bowl cut almost made him look like a
young, demented monk with a tonsure. He was dressed in the sort of getup that a man
wears when life hasn't presented him with many opportunities to wear a suit: a worn
crewneck sweater and thick polyester khakis that hung low over cheap-looking brown
leather dress shoes.
During two stages of his trial, Dylann Roof decided to represent himself. When family
members of the victims testified, they listened to him, without looking over, as he
lifted himself weakly from his chair and dismissed them from the stand with his deep,
always bored, blunt voice, which sounded like his mouth was full of Karo syrup. He
didn't object often, but when he did it was because he was bothered by the length and
the amount of testimony that the families offered. Could they keep their stories about
the dead quick? Whenever he stood to be walked back to his holding cell, his mouth
moved with what I first thought was a sigh or a deep exhale—really, it was an ever
present twitch, a gumming of his cheeks that sometimes ended with his tongue lolling
out and licking his thin lips.
Felicia Sanders, one of the few survivors, told the courtroom early on that Roof
belonged in the pit of hell. Months later, she said that because of him she can no
longer close her eyes to pray. She can't stand to hear the sound of firecrackers, or even
the patter of acorns falling. Because of Dylann Roof, Felicia Sanders had been forced
to play dead by lying in her dying son's blood, while holding her hand over her
whimpering grandbaby's mouth. She had pressed her hand down so tight that she said
she feared she would suffocate the girl. Eighteen months later, Felicia Sanders pointed
that same hand toward Dylann Roof in the courtroom and said, with no doubt in her
voice at all, that it was simple—that man there was “pure evil.”
Their vitriol was warranted but also unexpected, since in most of the press coverage
of the shooting it had largely been erased. Almost every white person I spoke with in
Charleston during the trial praised the church's resounding forgiveness of the young
white man who shot their members down. The forgiveness was an absolution of
everything. No one made mention that this forgiveness was individual, not collective.
Some of the victims and their families forgave him, and some of them did not. No one
acknowledged that Dylann Roof had not once apologized, shown any remorse, or
asked for this forgiveness. Or the fact that with 573 days to think about his crime,
Dylann Roof stood in front of the jurors and, with that thick, slow tongue of his, said
without any hesitation whatsoever, “I felt like I had to do it, and I still feel like I had
to do it.”
On the first morning that Felicia Sanders testified, I was seated directly behind
Dylann Roof's mother, and because she is skin and bones, it was apparent that she was
having some kind of fit. She trembled and shook until her knees buckled and she slid
slowly onto the bench, mouth agape, barely moving. She said, over and over again,
“I'm sorry. I'm so sorry.” She seemed to be speaking to her boyfriend, but maybe it
was meant for Felicia Sanders, who was soon to take the stand. A communiqué that
was a part of the bond that mothers have, one that was brought up by the radiant
shame one must feel when your son has wreaked unforgivable havoc on another
mother's child. Whatever it was, it was Gothic.
When Dylann Roof's mother fainted in the courtroom, a reporter from ABC and I
called for a medic, and not knowing what else to do, I used my tissues to put a cold
compress on her forehead and started dabbing it—before I felt out of place, or realized
that I was too much in place, inside of a history of caretaking and comforting for
fainting white women when the real victims were seated across the aisle, still crying.
But even during all of this chaos, this pain that made the courtroom feel swollen with
grief, Dylann Roof did not appear to look back at his very own mother.
After Roof was found guilty, they went up to the podium, one by one, when it was
time for the victim-impact testimony, and standing near the jury box, they screamed,
wept, prayed, cursed. Some demanded that he acknowledge them. “Look at me, boy!”
one raged. He did not. Others professed love for him. He did not care. Some said they
were working the Devil from his body. Feel it, they shouted. He did not appear to feel
anything.
I had come to Charleston intending to write about them, the nine people who were
gone. But from gavel to gavel, as I listened to the testimony of the survivors and
family members, often the only thing I could focus on, and what would keep me up
most nights while I was there, was the magnitude of Dylann Roof's silence, his refusal
to even look up, to ever explain why he did what he had done. Over and over again,
without even bothering to open his mouth, Roof reminded us that he did not have to
answer to anyone. He did not have to dignify our questions with a response or explain
anything at all to the people whose relatives he had maimed and murdered. Roof was
safeguarded by his knowledge that white American terrorism is never waterboarded
for answers, it is never twisted out for meaning, we never identify its “handlers,” and
we could not force him to do a thing. He remained inscrutable. He remained in
control, just the way he wanted to be.
And so, after weeks in the courtroom, and shortly before Dylann Roof was asked to
stand and listen to his sentence, I decided that if he would not tell us his story, then I
would. Which is why I left Charleston, the site of his crime, and headed inland to
Richland County, to Columbia, South Carolina—to find the people who knew him, to
see where Roof was born and raised. To try to understand the place where he wasted
21 years of a life until he committed an act so heinous that he became the first person
sentenced to die for a federal hate crime in the entire history of the United States of
America.
Father
Dylann had always preferred Charleston. Charleston had history. It was once home to
the most enslaved people in the country. It was a city full of relics and buildings that
reminded him of a time when white men were mighty, and the masters of their
dominions, a time when they had prevailed. Not like his hometown. Not like
Columbia.
Dylann Roof's father lives on a dead-end street at the edge of Columbia, across from a
lot that is as vast and empty as the end of the world. Behind the lot, there is a small
apartment building that is lit up with too many halogen lights, probably to keep people
from loitering and doing the dumb shit people do when they think nobody can see
them. But that's it. There is nothing else at the end of the street except the Roofs' little
house.
The house itself is well made. Low-slung, yellow, a Craftsman-style bungalow. It is in
a nice enough neighborhood, but still looks like a place where people go when their
dreams elsewhere have washed up and gone dry. On the mailbox, there is a route sign:
end 1 key west. And on the door there are two faded Ron Jon Surf Shop stickers and a
smaller, “I Voted” sticker. Someone has tied an American flag to the tree out front.
The decals, the rusted wind chimes, and the slightly mildewed lawn furniture give the
house the feel of one man's Margaritaville.
I stood there across the street, lying in wait. Waiting for what? An answer. A reason.
A detail I could take with me to help make sense of impossibly awful things. Wrapped
in that moonless night, I knocked on the door of the yellow house, and in the
confusion of having an unknown black woman at his door a few hours before
midnight, wanting to talk about his son, Bennett Roof let me come in and handed me
an ice-cold beer that tasted like relief in my paper-dry mouth, parched from nerves.
And then I took a seat on the couch where his son used to sleep, feet away from the
computer where his son wrote his explanation of why he had to kill nine black people,
feet away from the file cabinet where Dylann Roof sometimes stored his jacket with
its flag patches from African apartheid states. Bennett Roof was wary but kind. He
watched me closely while I petted the affectionate mackerel tabby cat that his son had
taken so many pictures of but still left behind. I watched him closely when I asked
him to make sense of something that he said he could not. In a living room full of
paintings of Florida and parrots, all that Dylann Roof's father could say, over and over
again, was: “I don't know what happened, I just know that the boy wasn't raised that
way.”
Even when I pushed him, he said it again, and then he shook his head and kept saying
it until he asked me to leave, with the sad look of a man who wanted any other life
than this one. After Dylann did what he did, there was no going back to Key West, or
to some easy before. There was just this, just intrusions from strangers who wanted an
answer and felt the nature of his son's crime warranted one—and just Benn Roof
letting his two giant Rottweilers out the front door to track me and to make sure I'd
gone back into the dark street and the black night I'd come from.
Benn Roof never showed up at his son's trial. (Contacted later, Benn Roof declined to
participate in this story further, describing it as “fake news.”) In Dylann's farewell
note to his father, found torn out of a journal in the backseat of his car, there is no
nostalgia. It is devoid of a loving tone, except to say to his father that he was a good
dad. In the card Benn Roof gave his son just four months before, for his 21st birthday,
there is that same terse tone. Benn told his only son that he was proud of him, and
here was an IOU for $400, so that Dylann could finally apply for a permit and
purchase a gun.
Caleb and Dylann were already classmates when their mothers, who had been
childhood friends, realized that they both had sons who were the same age and in the
same class. Their mothers' bond pushed the boys together. Yes, Dylann knew he was
black, and it didn't alter things. Dylann even once asked him about his brown skin, as
kids will do. They had similar interests—skateboarding, wrestling, video games. So
after school, they regularly hung out together, even though Caleb found Dylann to be
slow-witted.
“I just remember that he wasn't necessarily doing that good in school on the easy
stuff. And it wasn't just books; in everything he was just…dull,” he said. “He wasn't
really street-smart. Let's say we were at the park, and we had to run away, he'd be
kinda slow on getting what we needed to do.” As they grew older and their interests
diverged, Dylann wasn't the sort of kid you took along with you, because “he just
wasn't with it.”
Caleb, a musician and rapper, is thin and tall. The two times we talked, he was
dressed in a uniform of red-gold-and-green Adidas shell toes, a punk T-shirt, skinny
jeans, and an oversize bomber jacket. He had thick dreadlocks that reached his
shoulders. The second time we spoke, he wore gleaming gold grillz. This is to say, he
looks cool, and it makes sense that puberty became a schism between them and that
they hadn't seen each other in years.
They were so estranged by the time of the murders that when Caleb read Roof's
writings, what shocked him was not just the hatred but also that the dull, slow kid he
knew could even string together a coherent collection of thoughts: “For a long time, I
thought Dylann had to have read someone else's writing or been coached, because the
kid I knew couldn't write or even think like that.”
When I told one of Roof's teachers that I'd been in touch with some of his classmates,
the mention of Caleb delighted her. This happened with many people, including with
Dylann's mother. She was the only person besides Caleb who confirmed that the two
boys had ever been friends. (Otherwise, Amelia Roof declined to participate in this
story.) Their teacher said, “Maybe Dylann's mother wanted him to be close with
Caleb, but I can't really see it.”
Dylann and Caleb's elementary-school principal, Ted Wachter, administered
Rosewood Elementary for three decades. Before that, he grew up in Queens, and he
still has a strong New York accent even after 30 years in South Carolina. At his home
in Columbia, he sat in a tall chair that made him look magisterial, but his gestures
softened it all into the swagger of a liberal-arts professor. After he and his wife
handed me a bowl of pistachios and a glass of white wine, Wachter, who talks fast
and without shyness, asked me if I wanted to hear his theory on what happened to
Dylann Roof. He started at the very beginning. Back when he heard on the radio about
“this tragedy in Charleston” and the name Dylann Roof came up, Wachter thought to
himself, Hell, I know that name.
Dylann showed up at Rosewood at the age when social relationships become “class
driven” and start to “self-sort.” Wachter, who has a background in sociology, watched
in dismay as “those black-white relationships also started fraying. They just broke up,
and I don't think anyone wanted it to, but the social pressures are so strong.
“And when Dylann came,” Wachter observed, “I remember him because he was quiet.
I always remember thinking, ‘This is a nice, handsome-looking boy.’ I'll show you his
picture in the yearbook. Handsome, cute, but quiet, and he never was in my office for
trouble. He was very quiet, and he wasn't part of the in crowd, which was more…the
kids of college-educated families. He wasn't part of that. He was with the working-
class kids.
“To understand Dylann, you need to read The Hidden Injuries of Class,” Wachter
said. What that book revealed was “how white working-class people in Boston, in
South Boston, the more you interviewed them, what came out, especially after a few
beers, is how inferior they felt to all the Harvard, Cambridge, bright, educated
people.” In Wachter's mind, Dylann wasn't stupid, but he felt displaced. It was a case
of class resentment. “And here's the funny thing: If I had a dinner party right here
with just white Ph.D.'s, it would not be socially acceptable for me to make any slur to
an African-American person or a Hispanic person or a Muslim, but if I refer to poor
whites as rednecks—”
“Or crackers or white trash,” I interjected, saying the words he didn't want to say.
He grimaced but acknowledged them.
“That would almost be socially acceptable to say those things. It just shows you how
alienated they are. And these poor white working-class guys, they must realize this.
See? So maybe Dylann's family is a good example of downward social mobility. And
Trump showed us this, that we underestimated how vulnerable and precarious self-
esteem is for white, working-class people in this society. They not only see the white
elites, but then they see…”
“They see us, black people, coming from behind, eclipsing them.”
Leaning forward in that tall chair, Wachter pointed at me for getting the answer right,
and then he shrugged with his long arms out and asked the question he knew neither
of us had an answer for.
“And, they say, ‘What are these people doing up there? What has happened to me?’ ”
Before I left, I followed Wachter into his study, where his wife, Jan, pulled down a
bin of yearbooks. They sorted through them until they found what they were looking
for. The three of us huddled around and peered at a picture of a young, small, diverse
class full of smiling black students and a few smiling white students, as well. The
students were grouped together, with clear affection, elbows on each other's backs,
almost hugging, giggling with ease. And then I found him. Off-center, straining at a
smile, with sad eyes, standing to the side, in a natty-looking red jacket, with his bowl-
cut blond hair, already looking like a boy apart.
A Church
That Dylann Roof walked into a church and brought such violence into a sanctuary
was the detail that most white people I met in South Carolina found so disturbing.
That the church was predominantly black and he was white was an aside to them. To
harm anyone in a church is something that you just don't do. Church is the center of
one's moral education and basis for one's life, they told me. So early one Sunday
morning, I woke up and went to a service at the church that Dylann's father and
grandparents attend in Columbia.
This black body of mine cannot be furtive. It prevents me from blending in. I cannot
observe without being observed. At Dylann Roof's church, I was greeted warmly at
the door by a young white woman and a middle-aged white man. But when I entered
the chapel and was seated in a rear row, many eyes turned on me, making me feel like
I was a shoplifter trying to steal from their God. Was it because I didn't know the
hymns, because I didn't take Communion, or was it because I was black? I do not
know.
After the service, I told Dylann's pastor, Tony Metze, how uncomfortable I felt being
there. And even though he didn't really have much time, Metze agreed to give me a
few minutes to talk. For as long as Roof was held at the Al Cannon Detention Center,
Metze continued to visit him, and a few days after our interview in Columbia, Metze
also attended the trial with Roof's grandparents. When the murders occurred, Metze
was approached by lawyers to ask kids who knew Dylann what they remembered
about him, but none of them remembered much.
“What I've seen is: He's a really smart kid that's always been very interior, where stuff
goes on that you're not aware of." Metze said Dylann was smart but just couldn't do
school. "And there wasn't a whole lot of interaction with the other kids,” he told me.
Out of everyone, it was his grandfather who was closest to Dylann, Metze said. “He
just would not give up on Dylann. Dylann just doesn't talk, so I think his grandfather
did what grandfathers do: spend time with him, hope and pray I can nourish and
strengthen this kid, bring something out in him.” C. Joseph Roof, Dylann's
grandfather, would later tell the court at Roof's state trial that he and his wife prayed
for the victims' families every day. He said they were very sorry, but he also implored
people to remember that “nothing is all bad, and Dylann is not all bad. There’s no way
we could ever feel what they’ve felt and what they’ve lost, just as no one can
understand what we’ve been through.”
When I got the opportunity, I asked Metze about what happened to me in his church,
if it was indicative of a larger inability to deal with race and racism. He pointed to a
Korean church out the window and said he did not know why people liked to worship
with their own. Then he told me there was one black parishioner, who comes to an
earlier service.
The day after the murders, while talking to FBI agents, Roof described a life that
sounded cloudy with the same haze of idleness his co-workers spoke of. What were
his days like? They were a blur. There was a day spent at the movies; and the day of
the “incident”—but he could not remember which day he had done what. Roof told
them that he did not own a cell phone and that the few “friends” he did have were kids
he'd reconnected with in the months before the shooting, when he went to a local
library and used the computer there to create a Facebook account. He added 88
“friends,” and the majority of them were black kids who went to high school with
him. Eighty-eight because H is the eighth letter of the alphabet and two *H'*s is Nazi
shorthand for “Heil Hitler.”
Among the friends he reconnected with that summer was Joseph “Joey” Meek, who
knew Dylann in middle school. Meek, a young white man with bloated chipmunk
cheeks, had a serious marijuana habit and a permissive mother who had been asked by
Amy years before to encourage the boys' friendship. When Roof found him again,
Joey was living in a rented trailer in the unincorporated area outside Columbia with
his mother, his girlfriend, Lindsay Fry, and his two younger brothers, Justin and
Jacob. As the summer passed, Dylann would start to crash there at times. Later, Joey
would do a flurry of interviews in which he described his friendship with Roof and
explained why having a friend he hadn't seen in years stay in an already crowded
trailer wasn't at all strange. He was just that kind of person, who helped people who
were down and out.
The Meeks' rented trailer is tucked away in a circle of mobile homes that are not
mobile at all. Instead, they look very lived-in, bolted down to the rough times and the
twists of fate that landed their owners there. It was drizzling when I pulled into the
Hideaway Park development, and a man whose face I could not see stepped out of the
shadows. He was dressed in an oversize hoodie and was carrying a small pit-bull
puppy in his arms. He walked out toward the road without saying a word to me, even
when I asked him if he knew the Meeks. Out front, there was a child's play kitchen
with a sink full of stagnant, reedy water and a white car whose whole front had been
sideswiped and deeply dented.
During the time he stayed there, Roof would often drive Meek and his friends to
swimming holes, but then he would leave because he complained that his body could
not bear the South Carolinian heat. Even in the trailer, Roof kept to himself. Meek's
mother noticed that at times Roof would get agitated and retreat to his car, where he
would blast classical music and opera to quiet his nerves. But what had made him so
upset remained unknown.
In most of Roof's friends' accounts, there is one indisputable fact: That summer, they
all did a lot of drinking and a lot of pot smoking. Roof had already been arrested the
year before for possession of a Schedule III controlled narcotic. He was stalking
employees at the Columbiana Centre Mall and asking them “out of the ordinary
questions.” When police responded to a call, they searched him and found a “small
unlabeled white bottle containing multiple orange in color square strips.” Suboxone is
typically used to wean opioid addicts off their dependence, but it can also give non-
addicts a sense of euphoria, coupled with intense nausea.
In his jailhouse journal, Dylann wrote: “I don't like it when people try to read into
things, or try to find, or create meaning that isn't there. I don't like it when people put
so much weight on the things I say. Sometimes, more now than before the incident, I
feel that the people I talk to hang on my words as if they were all important or offer
some sort of insight into my being. But this isn't the case; it never is with anyone. For
example, I stated before I never used drugs to ‘drown the pain,’ or ‘self medicate.’ I
used drugs because they get you high. There is no deeper meaning behind this. There
is no deeper meaning behind any of my behavior.”
One person who spent time in the trailer park with Roof agreed to talk with me on the
condition that I didn't name them. When I asked what was most memorable about
Roof, the answer came quickly: “He was quiet, uncomfortably quiet, strangely quiet. I
mean really strange.” But in this wasteland, with this group of listless friends, Roof
could talk about shooting up a college, brandish his gun, use racist slurs, all without
being considered outlandish. These instances evaporated into their ears as liquored-up
loose talk. To this day, Roof's friends seem to have a striking inability to process the
gravity of what he did. They have said things like: “He would talk about killing
people, but none of us took him seriously.”
Perhaps some of this ennui can be attributed to age, but nothing can excuse the fact
that in the days after the murders, Meek took it upon himself to encourage the rest of
their friends to lie to the FBI investigators. For that crime, Meek was indicted, tried,
and convicted of withholding evidence and was sentenced to 27 months in prison.
And one month after her roommate committed a hate crime so horrendous that it
shocked the entire nation, Meek's girlfriend posted a picture of herself proudly
sticking out her pink tongue and her piercing's Confederate-flag decal.
In a parking lot near railroad tracks, the friend speaking anonymously—and
nervously, and trembling—told me that none of them are racists, they never heard
Dylann say anything bigoted, the press made that up. It was a moment, a wild
summer, they were just kids, and now it is all over, their friend tells me. Meek's
brothers and his mom no longer live with him; all of them have moved away from the
trailer in Hideaway Park.
Shortly after Roof was identified as the killer, a story circulated in the press that
Dylann had been upset about a white girlfriend who had rejected him for a black boy.
But Roof himself denied this in court. There was no girl. In fact, no one, not a single
person anywhere, remembers Dylann Roof ever dating anyone. Occasionally he went
to strip clubs; in an interview with the Charlotte Observer, Meek's girlfriend recalled
that Dylann had a preference for black strippers.
On a whim one night, I sent a series of messages to the other Meek brothers, Justin
and Jacob.
I asked them lots of things about Roof that they ignored.
But when I asked Jacob if Dylann Roof was a virgin, I saw the text bubbles that meant
he was typing a response.
Finally, his answer appeared: Yes.
Then I saw more typing, and then another reply, containing an answer full of the
immaturity and ambivalence that marked those weeks in the trailer:
IDK.…
The Gun
On April 11, eight days after Dylann Roof turned 21, the legal age for purchasing a
gun in South Carolina, he took the money his father had given him for his birthday
and drove to a gun store in West Columbia called Shooter's Choice, where he picked
out a Glock .45-caliber pistol.
Since he had been arrested for drugs the year before, Roof was no longer legally able
to carry a gun. But he lied on his concealed-weapon-permit application and wrote
“No” on the line that asked, “Are you an unlawful user of, or addicted to, marijuana or
any depressant, stimulant, narcotic drug, or any other controlled substance?”
As an applicant with a criminal record, Roof should have been flagged and stopped by
the FBI's background check, the National Instant Criminal Background Check
System, whose task is to not let “guns fall into the wrong hands”—e.g., an opioid
user. The FBI has three days to deny an application. If it doesn't, as Ronnie Thrailkill,
the manager at Shooter's Choice, testified, “the law allows dealers to transfer that gun
to the potential buyer. That's standard practice.” Without any reply from the FBI, on
April 16, Dylann Roof walked out of Shooter's Choice with his gun and five
magazines of bullets.
Two and a half months after the purchase, and 12 days after the shooting at Mother
Emanuel, Ronnie Thrailkill, an imposing, shaggy-bearded man whose thick old-
school glasses look like Cazals, received a phone call from the FBI's NICS. They
were calling to say there had been a mistake. The sale of a gun to Dylann Storm Roof
should have been denied.
The white supremacists of today, having been kicked off Twitter, often have
Instagram bios that offer an eerie good-bye to their opposition: Good night, left side.
And there are thousands of them. Like Roof, and unlike a typical ISIS recruit, they
don’t have handlers or any centralized way of becoming hooked. Instead, they are
brought into the fold because they have found something that explains their laggard
social progress to them and confirms their narrow worldview as fact.
They are young, they are white, and they often brag about their arsenals of guns,
because these are the guns that will save them in the coming race war. They are armed
to the teeth, and almost always, they are painfully undereducated or somewhat
educated but extremely socially awkward. That is, until their eyes are opened to the
fact that within the world of white supremacy they can find friends. These young
white supremacists call this reversal “weaponized autism.” What once alienated them
now helps them relate to others, people like Dylann Roof, over a common desire to
start a race war.
This new generation thrives off of subtext—small cues, images of a cartoon frog
called Pepe, reconverted swastikas that can go undetected. And they view the
transmission of these cues as a kind of trolling of their enemies. It is like the passing
of a note behind the teacher’s back. Roof even wore shoes to federal court that were
decorated with neo-Nazi codes and Klan runes. He thought himself part of a secret
fight for the future, in which, Roof wrote, he imagined he would one day be pardoned
by a sympathetic president.
The first public figure to link Roof to the Trump era was Nikki Haley, the then
governor of South Carolina, who said that “divisive speech”—like Trump’s, she noted
—“motivated Dylann Roof to gun down nine black parishioners at historic Emanuel
AME Church.”
While on the campaign trail, J.M. Berger of Politico noticed that Trump would often
“promulgate messages with racist cues (some more subtle, some less so), then deny or
disavow them, while the white nationalist community dutifully perked up and saw
those messages as a call to arms.” Although Trump denied any culpability, months
later, he twice retweeted an insult about Jeb Bush from an account called
@WhiteGenocideTM. A quick glance at the tweet’s origin revealed to Berger a page
“filled with anti-Semitic content and linked to a revisionist biography of Adolf
Hitler.” And on Stormfront, the same message board that Roof often frequented,
having seen the retweet a member wrote that Trump had “willingly retweeted the
name. The name was chosen to raise awareness of our plight. He helped propagate it.
We should be grateful.”
Dylann Roof, then, was a child both of the white-supremacist Zeitgeist of the Internet
and of his larger environment. He grew up in a state that derives a huge part of its
economy from plantations that have been re-purposed as wedding venues. When I
attempted to go to Boone Hall Plantation to see the exhibits and the stuffed enslaved-
people dummies that Roof posed with in some of his pictures, I was told I was not
welcome there unless I submitted a media request, since I might have a negative view
of the plantation.
I am a black woman, the descendant of enslaved people, so I went anyway and walked
along the same path that Roof did, where the quarters are set on something cheerfully
marked as “Slave Street.” I stood next to the dummies that are supposed to represent
black people in their deepest ignominy, and noticed that there were no dummies that
were supposed to represent the masters or the mistresses of the plantation. I listened to
a group of young white women sigh at the Alley of the Oaks, a corridor of trees near
Slave Street. One of them lamented, “It was so beautiful that pictures couldn't really
do it justice.”
South Carolina is the sort of place where, out one evening in Columbia for dinner,
only minutes after I sat down, I was accosted by six drunk upper-middle-class white
women who were out with their grown daughters. After pointing in my direction, one
of them staggered over and sat down, and with her thick tongue and her red eyes, she
asked me if I was her Uber driver and demanded that I drive her somewhere, “girl.”
Dylann Roof was educated in a state whose educational standards from 2011 are full
of lesson plans that focus on what Casey Quinlan, a policy reporter, said was “the
viewpoint of slave owners” and highlight “the economic necessity of slave labor.” A
state that flew the Confederate flag until a black woman named Bree Newsome
climbed the flagpole and pulled it down. A place that still has a bronze statue of
Benjamin Tillman standing at its statehouse in Columbia. Tillman was a local
politician who condoned “terrorizing the Negroes at the first opportunity by letting
them provoke trouble and then having the whites demonstrate their superiority by
killing as many of them as was justifiable…to rescue South Carolina from the rule of
the alien, the traitor, and the semi-barbarous negroes.”
Roof is what happens when we prefer vast historical erasures to real education about
race. The rise of groups like Trump's Republican Party, with its overtures to the alt-
right, has emboldened men like Dylann Roof to come out of their slumber and loudly,
violently out themselves. But in South Carolina, those men never disappeared, were
there always, waiting. It is possible that Dylann Roof is not an outlier at all, then, but
rather emblematic of an approaching storm.
Flight
The 17th of June was hot and humid in Columbia. The air would've felt like a warm
towel pressed over your face. Smothering. After a few sleepless nights of heavy
partying, sometimes staying in his car, or sometimes crashing at Joey Meek's trailer,
Dylann Roof dashed off one last post on his website: “[At]the time of writing I am in
a great hurry.”
Dylann Roof arrived in Charleston at 7:48 P.M. In the preceding weeks, he'd
purchased 88 bullets at Wal-Mart. They were hollow-point bullets, designed to
expand when they hit body tissue and cause catastrophic damage as they passed
through their target. He drove into the gated parking of the Mother Emanuel around
8:15 P.M. Then he walked into the basement entrance where the 12 members of the
Bible Study were gathered in the Fellowship Hall.
They say he killed him, but really Roof assassinated Reverend Clementa Pinckney.
Pinckney was a state senator and a prodigious preacher whose sermons were full of
black liberation theology and a rare kind of intellect. He was shot first, with three
bullets, and he was the one who'd pulled out a chair for the man who would murder
him. Pinckney's death alone would have been a grave loss. But Roof, undaunted and
unmoved by the prayers and the weeping of the others, continued.
The oldest man in the room, Daniel Simmons, was a veteran who always carried his
gun, but that day he had left it on the seat of his car. Unarmed, he still tried to charge
the shooter. Roof shot him four times, and later, he stepped over Simmons's body on
his way out.
The oldest woman in the room, Susie Jackson, was three years away from being 90.
She was shot the most, 11 times. The youngest man in the room, Tywanza Sanders,
tried to reason with Roof, but when that failed, he stood up and faced Roof's barrel so
that his mother, Felicia Sanders, his aunt Susie, and his niece might live. Sanders was
a poet, a barber, and a family man. He doted on the women in his family, in particular
his aunt Susie. He died with his arm stretched out toward her.
The stranger shot and killed Sharonda Coleman-Singleton and DePayne Middleton-
Doctor. Women who were ministers, educators, and mothers to young children.
Sharonda Coleman-Singleton had three children, who look so much like her that as
they sat in the courtroom, they seemed to have their mother's face. DePayne
Middleton-Doctor had four daughters, who went everywhere with her, often lined up
according to height. The Doctor girls were supposed to attend the prayer meeting, but
at the last minute their mother had let them stay home.
Myra Thompson had received her preaching certificate that afternoon, and after weeks
of study, she would lead the group for the first time. Nothing in life had been easy for
Myra Thompson. But her faith, her happy second marriage to the Reverend Anthony
Thompson, and her taste for St. John dresses were the result of her keeping on and
working hard until things had finally gotten good.
Cynthia Hurd was headed home that evening, but Felicia Sanders asked her to stay for
the prayer meeting. Cynthia Hurd was a librarian. They say kids didn't leave her
library without a library card in hand. If you love me, you will stay, Felicia Sanders
teased her. For all the hate in the room that night, there was also an aegis of
undiminished, undying love. We know this because Cynthia Hurd stayed.
To pull the trigger of a Glock, you must exert about six pounds of force. Roof pulled
that trigger seven times when he murdered Ethel Lance. Ethel Lance, unlike Roof,
was needed in this world. Her deaf son, Gary, needed her, her daughters needed her,
and the church that she proudly cleaned and maintained with “her special touches”—
real wood wax and fresh flowers—needed her. Now she is gone.
Polly Sheppard, a retired nurse, was also in the room that night. She is a woman who
has serious eyes. Her gaze can make you feel as if you're in the grip of something vast
and unwavering that just won't let go. And her face, the high cheekbones, the depth
and the luster of her brown skin, gives her the look of a woman from a Benin plaque
—proud, regal, and knowing. From under a table, she watched his dirty boots circling,
stopping so he could shoot her friends, “a skinny white dude” stepping through the
blood and broken glass. She stayed in her prayer, she said the words out loud. When
he came to her, he told her to shut up. Polly Sheppard is 72 years old. He asked her if
she was shot. She told him no. And then, with those eyes on him, as if it was his
choice and not their otherworldly command, she asked if he was going to shoot her,
too. “I'm not going to,” he said. “I'm going to leave you here to tell the story.”
Dylann Roof was still in the room when Polly Sheppard reached for her phone and
called the police.
Mother Emanuel
Charleston's Emanuel AME Church looms over the downtown street where it stands
and makes you stop. It is an austere but resplendent structure, made of whitewashed
stucco and brick, so tall and steep that on some mornings its chapel seems to pierce
the blindingly bright sun that makes its white walls gleam.
The ministry was founded in 1816, but its earlier churches were burned to the ground
to punish its congregants, who had dared to test the laws of the land and believe that
they, too, had a right to be religious and interpret the Scripture as it applied to them as
oppressed people. In 1822, one of the church's founders, Denmark Vesey, a free black
man who was married to an enslaved woman, was accused of being the architect of a
massive slave revolt. Vesey and his army of enslaved men were purported to have
come up with a plan to slaughter all of the slaveholders in Charleston, free the rest of
the enslaved people, and then escape to the new black republic of Haiti. Instead, he
was betrayed and lynched. To this day in Charleston, he is regarded as a dishonorable
man and homegrown terrorist, with much less said about the Charleston businessmen
and slave traders who brutalized and murdered millions of enslaved Africans to make
the city rich, and ultimately the effete destination that it is now. The church structure
that stands today was erected in 1892 by people who were beside themselves to
finally be able to worship in public as free people, but very few know much about its
history. Or that in the vestibule of the church, tucked away from the street in a nook,
behind gates, is a brass diorama meant to honor Vesey and the other founders of the
church. (One person who did know about Denmark Vesey, however, is Dylann Roof.
Roof is even alleged to receive mail in jail from someone using Vesey's name to
antagonize him.)
The last time I saw Mother Emanuel was a week before Christmas. I'd been in town
for weeks for the trial and was walking back to my hotel from the dry cleaners. It was
raining, I was overdressed in a wool sweater, and the combination of the dank air and
the heat and the wool was making me feel sick. The church, though, shone in the
evening light and the shadows. The large white cross out front and the blooming
camellia bush were set against the church like a cameo silhouette. Near the gate, a
man I hadn't at first seen yelled out to me. “Why are you out there in this rain, staring?
Come on in, girl,” he said. In any other situation, I would have declined, but the
sickness, both for home and the feeling of coming fever, made me want to go in. I felt
vulnerable and alone in a new city. I wanted to be around the familiar, my people, so
when the smiling man pointed to the doors, the same doors that had let the murderer
in, but also ones that were still flung open to the world, I walked in. “Tonight,” an old
woman inside patted my hand and told me, “you are Rachel, but you are also our
special Elijah. The stranger who is always welcome.”
What Roof didn't understand when he walked into that church was the genius of black
America's survival and the nature of our overcoming. Nothing in his fucked-up study
of black history had ever hipped him to this: The long life of a people can use their
fugitivity, their grief, their history for good. This isn't magic, this is how it was, and
how it will always be. This is how we keep our doors open.
In Charleston, I learned about what happens when whiteness goes antic and is
removed from a sense of history. It creates tragedies where black grandchildren who
have done everything right have to testify in court to the goodness of the character of
their slain 87-year-old grandmother because some unfettered man has taken her life.
But I also saw in those families that the ability to stay imaginative, to express grace, a
refusal to become like them in the face of horror, is to forever be unbroken. It reminds
us that we already know the way out of bondage and into freedom. This is how I will
remember those left behind, not just in their grief, their mourning so deep and so
profound, but also through their refusal to be vanquished. That even when denied
justice for generations, in the face of persistent violence, we insist with a quiet
knowing that we will prevail. I thought I needed stories of vengeance and street
justice, but I was wrong. I didn't need them for what they told me about Roof. I
needed them for what they said about us. That in our rejection of that kind of hatred,
we reveal how we are not battling our own obsolescence. How we resist. How we
rise.
On my last day in Charleston, I went to Sullivan's Island, where in the dappled light of
the setting sun, on a beach being washed clean by the tides, Roof once wrote “1488”
and other neo-Nazi symbols into the sand. He had defiantly squatted under the sign
that honored the stolen dead and the many enslaved who had trudged across that
sandy expanse toward the unknown and faced a future that for centuries only held
grief. This is what is written on that sign:
This is Sullivan's Island. A place where Africans were brought to this country under
extreme conditions of human bondage and degradation. Tens of thousands of captives
arrived on Sullivan's Island from the West African shores between 1700 and 1775.
Those who remained in the Charleston community and those who passed through this
site account for a significant number of the African-Americans now residing in these
United States. Only through God's blessings, a burning desire for justice, and
persistent will to succeed against monumental odds, have African-Americans created
a place for themselves in the American mosaic.… This memorial rekindles the
memory of a dismal time in American history, but it also serves as a reminder for a
people who—despite injustice and intolerance past and present, have retained the
unique values, strengths and potential that flow from our West African culture which
came to this nation through the middle passage.
I'm sure some of those enslaved people's descendants were in that courtroom. I know
that some of those people's descendants were shipped like seeds and dispersed
throughout the country, with all records of who they were and where they came from
lost forever. But for as many who died or were killed or perished and went to watery
graves on the way here, millions have survived the incomprehensible, and they have
prevailed despite each and every attempt to destroy them.
Roof told the jury in his closing statement, “Anyone…who thinks that I am filled with
hatred has no idea what real hate is. They don't know anything about me. They don't
know what real hatred looks like.”
Because I know exactly who Dylann Roof is, I know that he is hatred, and because I
know that he is hatred, I understand why he thought he could do the impossible and
trump the everlasting, the eternal. But he could not, and no one ever will.
And so where on that beach he wrote down hatred in the sand, I carved into it all nine
of their names: Clementa Pinckney, Tywanza Sanders, Cynthia Hurd, Sharonda
Coleman-Singleton, Myra Thompson, Ethel Lance, Daniel Simmons, DePayne
Middleton-Doctor, Susie Jackson.
Rachel Kaadzi Ghansah
Contoh 3
Meja kayu yang keropos itu menarik perhatian Dian Suminar. Dia lantas
mengeluarkan koleksi orang-orangan atau figur kecil berskala 1 : 87 dari kotaknya di
tas. Sekretaris Hotel Preanger Bandung berusia 41 tahun itu memilih sepasang figur
pekerja bangunan yang mendorong gerobak beroda tunggal. Mereka seakan-akan
tengah bekerja menambal keropos meja.
Berlatar sepiring kentang goreng sebagai pembanding ukuran figur, adegan itu lalu
difoto. "Bikin konsepnya cepat, sepuluh menit selesai," kata dia, Sabtu dua pekan lalu.
Gambarnya ia simpan dan dibagikan di akun media sosial pribadi serta grup
komunitas Bandung Figleu, akronim dari "figur leutik (kecil)".
Benda pembanding itu menjadi pakem hobi ini untuk menggambarkan kecilnya figur,
sekaligus menepis anggapan karya fotonya hasil rekayasa ukuran obyek. Barang
pembandingnya bisa dilibatkan menjadi karya atau hanya latar. Anggota komunitas
lainnya ada yang memanfaatkan gulungan benang jahit aneka warna. Sesosok figur
kecil bersepeda lalu ditempelkan pada seutas benang merah yang terentang di antara
sepasang gulungan. Foto itu lantas diberi judul Uji Nyali.
Ada juga gagasan yang menarik dari irisan roti tawar. Di atas sehelai roti dengan
butiran cokelat dan selai yang mengesankan bebatuan dan tanah, figur-figur kecil
tampak sedang bekerja menggaru kebun. Bagi penggemar miniature figure itu,
mereka jadi terbiasa menggali ide dari benda dan tempat sekitar di dalam atau luar
ruangan.
Kamera dan figur-figur mini berukuran tinggi sekitar 2-3 sentimeter menjadi
perlengkapan wajib untuk hobi ini. "Awalnya tidak harus punya, pinjam dulu boleh,"
kata Dian. Ukuran lain ada yang berskala lebih kecil, seperti 1 : 72 atau lebih kecil
lagi. Komunitas lebih banyak yang memakai skala 1 : 87 karena barangnya mudah
didapat.
Menurut beberapa anggota Bandung Figleu, ada keasyikan tersendiri saat membangun
sepotong dunia mini seperti itu. Mulai dari memikirkan konsep, menggali ide,
membangun cerita atau pesan khusus, menata (setting), memaksimalkan figur yang
dimiliki, hingga sudut pengambilan gambar. "Kami ditantang harus semakin kreatif,
tidak asal jepret," ujar Dian.
Beberapa karya lahir dari ide umum atau biasa. Penggemar lainnya berpacu
memunculkan gagasan segar, unik, dan mengagetkan. "Figur dan konsepnya
sederhana, tapi kok selama ini enggak kepikiran bikin seperti itu? Buat saya, itu yang
keren," kata dia.
Para penggemar miniature figure bebas berkreasi dengan koleksinya atau meminjam
ke anggota komunitas. Temanya bisa sekadar lucu-lucuan yang ringan, parodi, opini,
fenomena tertentu, diorama, atau bermuatan pesan khusus seperti untuk kampanye
kesehatan.
Salah satu yang bertema berat contohnya adalah karya Gerry Hendris yang berjudul
Big World Mini Humanity. Ia memakai sesosok figur mini yang tengah menggali
sepotong biskuit rasa cokelat. Di sisi lubang segi empatnya, berjejer empat sosok
mayat yang dibungkus kain putih. Karya itu menggambarkan sisi lain perang di
Suriah. "Biskuitnya sengaja dipilih yang wangi, seperti syuhada yang gugur," kata dia.
Meskipun tema dan idenya bebas, foto Susilo B. Utomo pernah mengundang
kontroversi. Gara-gara memakai temuan bangkai kadal yang kemudian diikat temali
seperti Guliver dan dikelilingi liliput beberapa figur mini, komentar protes
berdatangan. Alih-alih kecewa, ia malah bersemangat mencari ide lain. Prinsipnya
memaksimalkan figur mini yang dimiliki menjadi karya-karya baru tanpa harus rajin
membeli sosok baru.
Maklum saja, hobi ini perlu isi dompet yang tebal. Sebuah figur paling murah seharga
Rp 50 ribu, ada juga single set yang dibanderol seharga Rp 90 ribu. Jenis full set
berharga Rp 250-400 ribu, hingga super set mencapai jutaan rupiah.
Beberapa anggota seperti Dian dan Susilo tertular hobi itu setelah melihat foto figur
mini orang lain setahun lalu. Susilo kepincut oleh gambar sebuah mikrofon yang
dikelilingi figur mini berkostum astronaut. "Seolah-olah mikrofon itu pesawat luar
angkasanya," kata dia.
Adapun Dian segera berusaha mencari komunitas dan penjualnya di dalam negeri.
"Awalnya saya kesulitan, kalau beli di toko online luar negeri mahal ongkos
kirimnya," kata dia. Setelah bergabung di komunitas, figur-figur mini koleksinya terus
bertambah, hasil membeli di pemasok lokal. Koleksinya kini ada 50 full set, dan
single set kurang dari 100 buah. Kini ia mengalihkan dana hobi jalan-jalannya, dan
pernah belanja figur mini hingga Rp 1,5 juta per bulan.
Anggota komunitas serupa asal Surabaya, Joko Sukirno alias Cak Sukir, mengatakan
hobi figur mini di Indonesia mulai marak sejak 2015. Komunitasnya tersebar di
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Bali, dan beberapa kota di Sumatera dan
Kalimantan. Bandung Figleu yang dibentuk Mei 2017 sekarang beranggotakan 30
orang, umumnya berusia dewasa dengan berbagai profesi, seperti mahasiswa, dokter,
pekerja kantoran, ibu rumah tangga, dan guru.
Saat ini, sebagian penggemar mengacu ke karya-karya seniman fotografi figur mini
asal Jepang, Tatsuya Tanaka dan Slinkachu, yang mengulik ide sejak 2004.
"Meskipun obyeknya mini, aliran ini bukan jenis fotografi makro yang mengejar
detail gambar," ujar lelaki yang bekerja sebagai kontraktor bangunan itu.
Lagipula bentuk fisik figur-figur mini seruas jari orang dewasa itu tak serinci sosok
orang, terutama pada bagian wajah dan jari tangan. Siapa pun yang mendekatkan
lensa kameranya bakal kecewa. Sebab, produsennya di Jerman, kata Sukir, belum
sanggup membuat figur mini semirip mungkin. "Walau sudah pakai teknologi cetak
digital, masih susah mengejar," ujar dia. Figur mini itu semula dibuat dari ukiran
kayu, yang ditujukan untuk miniatur properti atau diorama.
Adapun anatomi, gestur, dan kostum boleh dibilang mirip. Karena itu pula, kamera
yang digunakan tak wajib khusus atau secanggih foto makro. "Saya lebih suka pakai
(kamera) smartphone, soalnya lebih praktis," kata Susilo. Dasar-dasar fotografi tetap
diperlukan agar hasil karyanya layak tampil.
Hobi ini jika ditekuni serius bisa membuka peluang usaha baru. Karya-karya foto
figur mini Sukir, misalnya, dikontrak untuk gambar kalender sebuah perusahaan
paket. Ia pun digaet sebuah produsen kamera, khusus untuk berkarya foto figur mini.
Usaha lainnya, ia merintis kerja sama dengan beberapa perajin untuk membuat figur
mini pesanan penggemar. "Misalnya action figure superhero yang tak dibuat
pabrikan," ujar dia. Dia sendiri membuat beberapa properti mini seperti rumah
dermaga. Bisnis itu diakuinya belum moncer karena masih menjadi sampingan. Selain
itu, pemesan masih menghargai murah, padahal figur mini dibuat dengan susah payah
sebagai kerajinan tangan. ANWAR SISWADI
Contoh 4
Contoh 5
Sebagai seorang pegawai negeri sipil yang belum genap lima tahun bekerja,
penghasilan Bernadeta hanya cukup untuk membiayai hidupnya sehari-hari.
Perempuan 29 tahun yang bekerja di salah satu kementerian ini mengaku, sumber
penghasilan tambahan lain yang bisa ia andalkan adalah uang saku dinas perjalanan
ke luar kota dari kantornya. "Itu pun tidak rutin," ujarnya kepada Tempo, Jumat lalu.
Dengan penghasilan yang dirasa pas-pasan, Deta-begitu ia biasa disapa-harus pintar-
pintar mengatur pengeluarannya agar gaji bulanannya tak habis begitu saja. Apalagi
dia sejak dulu bercita-cita punya tempat tinggal sendiri. Beruntung, sejak pertama bisa
memiliki penghasilan sendiri, Deta sudah memulai menyimpan uangnya dalam
beberapa instrumen investasi. Belakangan, berbagai macam instrumen investasi itu
banyak dipromosikan di media-media sosial dalam kemasan yang menarik buat anak
muda.
Deta menyisihkan sebagian pendapatannya untuk diinvestasikan dalam bentuk reksa
dana sejak 2013. "Sekitar 30 persen dari pendapatan rutin saya setorkan tiap bulan ke
bank," ujarnya. Waktu itu Deta memilih investasi pada reksa dana campuran dan
saham. Merasa masih kurang, dia juga mencicil membeli emas di Pegadaian.
Awalnya, Deta merasa ragu saat hendak menginvestasikan uangnya di reksa dana.
"Karena risikonya lebih besar ketimbang investasi lain seperti deposito." Bersama
seorang temannya, dia mempelajari skema investasi yang ia bidik. Konsultasi dengan
pegawai bank pun ia lakukan agar lebih yakin memilih produk reksa dana.
Salah satu trik yang ia gunakan untuk mempelajari produk reksa dana adalah
membandingkan kinerja produk-produk yang ditawarkan. "Saya pilih yang penurunan
nilainya tidak terlalu dalam, sehingga lebih aman." Adapun bank kustodian (tempat
menitipkan dana investasi) yang dipilih adalah yang menyediakan fitur auto-debet
setiap bulan. Dengan demikian, gajinya langsung terpotong dan masuk ke instrumen
investasi.
Deta mengaku menyisihkan uang untuk investasi adalah bentuk pengorbanannya
untuk masa depan agar lebih terjamin. Dia terpaksa menahan hasrat berbelanja dan
berlibur dengan lebih kuat, karena penghasilannya sebagian sudah disisihkan untuk
tabungan masa depan.
Hasilnya cukup manis. Dalam waktu empat tahun menabung dan menyimpan uang di
reksa dana dan menabung emas, Deta mengaku sudah mampu membayar uang muka
sebuah apartemen di Jakarta Selatan. Menurut dia, secara keuntungan, reksa dana
menjanjikan hasil lebih besar ketimbang emas. "Tapi memang harus teliti memilih
produknya sebelum berinvestasi."
Keuntungan yang diperoleh dari berinvestasi juga dirasakan Dimas Kresna. Tiga
tahun lalu, pria 30 tahun ini memantapkan diri untuk berhenti dari pekerjaannya di
perusahaan penerbitan guna membuka usaha sendiri. Pada 2015, Dimas lalu
mendirikan sebuah kafe di wilayah Pejaten, Jakarta Selatan. "Modal usaha kafe dari
hasil investasi."
Dimas mengaku cukup beruntung karena pekerjaannya dulu membantu dia
mendapatkan informasi mengenai investasi keuangan. Makanya, pada 2013, dia
membuka rekening reksa dana di salah satu bank BUMN. Untuk menambah
portofolio investasinya, Dimas juga memberanikan diri bertransaksi saham.
Dua tahun sejak ia memulai berinvestasi, keberuntungan menghampiri. Dia mengaku,
suatu ketika nilai investasinya melonjak pesat. "Waktu itu, dalam tiga pekan saya
mendapatkan keuntungan sampai 21,6 persen." Jika dirupiahkan, Dimas berhasil
meraup untung hingga seratusan juta rupiah. Cuan besar yang ia peroleh itu dijadikan
modal usaha.
Menurut Dimas, menyisihkan duit untuk investasi adalah cara terbaik bagi para anak
muda untuk mengamankan masa depannya. "Paling sederhana berinvestasi lewat
produk asuransi." Jika punya target atau keinginan lebih tinggi seperti impian
memiliki kendaraan atau tempat tinggal, Dimas berpendapat, instrumen investasi
seperti reksa dana dan saham adalah pilihan tepat.
Deta dan Dimas bisa dibilang sebagai anak muda yang sudah melek manajemen
keuangan. Meski belajar sendiri tanpa bantuan perencana keuangan, dia sudah
memiliki pengetahuan dan keyakinan tentang lembaga jasa keuangan serta produk
jasa keuangan. Golongan ini, menurut Otoritas Jasa Keuangan, dianggap sudah paham
fitur-fitur yang ada pada bank atau perusahaan jasa keuangan, termasuk mengetahui
manfaat dan risiko, hak, serta kewajiban yang terkait dengan produk dan jasa
keuangan.
Sayangnya, kelompok masyarakat yang melek ilmu menata keuangan ini belum
banyak. Berdasarkan hasil survei OJK pada 2013, jumlah masyarakat Indonesia yang
terbilang "melek keuangan dengan baik" baru 21,84 persen. Dalam hasil survei
berikutnya, pada 2016, jumlah itu hanya naik sedikit menjadi 29,7 persen.
Masih banyaknya kelompok masyarakat yang belum "melek keuangan" dengan baik
ini, menurut Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi OJK Tongam L. Tobing, menjadi
salah satu penyebab masih banyaknya korban praktik investasi bodong. Masyarakat
yang tidak paham investasi cenderung mudah tergiur keuntungan besar dalam waktu
cepat. "Ini yang dimanfaatkan para pelaku (penipuan)," ujarnya, beberapa waktu lalu.
Untuk mendorong peningkatan jumlah masyarakat yang sadar dan melek keuangan,
OJK menggandeng pelaku industri jasa keuangan dan perbankan untuk mengedukasi
masyarakat. Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, menyatakan salah satu
caranya adalah membuat kegiatan edukasi keuangan yang spesifik ditujukan kepada
kalangan tertentu. "Seperti kaum perempuan dan ibu-ibu."
Menurut Wimboh, lembaganya menargetkan indeks literasi keuangan Indonesia bisa
naik menjadi 35 persen pada 2019. "Adapun target indeks inklusi keuangan sebesar
75 persen di tahun depan," ujarnya.
Bagi pelaku industri jasa keuangan, kondisi masyarakat yang belum banyak "melek
keuangan" dipandang sebagai peluang bisnis tersendiri. Chief Executive Officer Finex
Consulting, Ferry Chandra Gunawan, adalah salah satu konsultan perencana keuangan
yang rutin mempromosikan ilmunya, terutama melalui media sosial. "Fokus saya
adalah memberikan edukasi keuangan ke generasi milenial," ujarnya, Kamis lalu.
Generasi anak muda ini, menurut Ferry, perlu mendapatkan pemahaman lebih tentang
pengelolaan uang. Para milenial, kata dia, lebih mementingkan belanja pengalaman
ketimbang menumbuhkan kebiasaan menabung. "Ditambah kecenderungan gaya
hidup konsumtif, karena ada rasa tidak mau ketinggalan dibanding teman-temannya."
Dengan kondisi tersebut, menabung bukanlah perkara sederhana bagi para milenial.
Idealnya, kata Ferry, minimal 10 persen dari penghasilan disisihkan untuk tabungan.
"Ini kunci investasi." Tapi kegagalan para milenial memilah antara kebutuhan dan
keinginan menyebabkan tabungannya nihil dan akan membuat mereka kewalahan
menghadapi masa yang akan datang.
Dia menyarankan agar karyawan milenial saat ini mulai mengalokasikan aset pada
instrumen reksa dana saham, pasar uang, dan deposito. Bisa juga, mulai membeli
tanah dan hunian sebagai investasi alternatif dengan memanfaatkan kemudahan kredit
dari perbankan. "Tidak masalah berutang untuk properti, karena itu utang produktif,"
kata dia.
Cara Ferry mempromosikan keahlian mengelola keuangan itu dikemas dalam bentuk
konten audio-visual menarik yang diunggah di media sosial Instagram dan wahana
jual-beli online Tokopedia. Menurut dia, informasi yang disajikan juga harus
disampaikan dengan bahasa yang lebih "kekinian" dan tidak menggurui. "Dengan
demikian, mereka akan tertarik." Dengan cara itu, walhasil Ferry memiliki sekitar 600
"murid". Sebagian besar, ujarnya, berasal dari media sosial.
Perusahaan konsultan keuangan lain yang juga memanfaatkan media sosial untuk
menjaring klien adalah Jouska Indonesia. Perusahaan yang berkantor di Menara
Thamrin, Jakarta Pusat, ini berfokus mempromosikan ilmu pengelolaan keuangan
melalui Instagram. Nama Jouska sempat viral dalam dua bulan terakhir. Pengikut
akunnya meningkat hingga 90 ribu akun per hari.
Hal yang membuat konten Jouska banyak disukai adalah adanya contoh kasus
keuangan yang disajikan dalam caption foto Instagram yang diunggah. Mereka,
misalnya, pada Februari lalu memaparkan hitung-hitungan biaya kredit pemilikan
rumah selama 15 tahun. Di foto lain, ada juga cerita tentang seorang pekerja bergaji
Rp 3,5 juta tapi mencicil telepon seluler seharga Rp 12 juta.
CEO Jouska Indonesia, Aakar Abyasa Fidzuno, mengatakan kemasan yang menarik
ini sangat efektif menjaring klien. Selain jumlah follower yang kini mencapai 136
ribu, sejumlah program pelatihan pengelolaan keuangan yang mereka miliki juga
diminati banyak orang. Salah satu program yang mereka sediakan adalah konsultasi
keuangan dengan hitungan per jam. Tarifnya Rp 1 juta per 1 jam.
Menurut Aakar, untuk program konsultasi rutin itu perusahaannya bisa menangani
klien sebanyak 300-500 orang per bulan. Jouska juga menyediakan program pelatihan
lain, seperti pengenalan ilmu pasar modal. Peminat program ini pun membeludak.
"Saat ini kami sudah tidak menerima klien sampai Juli. Kalaupun ada, baru bisa kami
tangani Agustus nanti," kata Aakar. PRAGA UTAMA | DINI PRAMITA | VINDRY
FLORENTIN
Daftar Pustaka
Seandainya saya wartawan Tempo
Menulis untuk dibaca
D
Contoh 6
Kopi di Sudut Melawai
MINGGU, 2 OKTOBER 2017
REPORTER: ADMINISTRATOR
Menyeruput kopi specialty sudah menjadi gaya hidup kaum urban. Tak aneh jika
kedai-kedai kopi premium di jantung kota menawarkan beragam pilihan bagi para
pencinta kopi. Djule Kofi salah satunya. Gerai itu berdiri persis di sudut kompleks
pertokoan di Jalan Melawai Raya, Jakarta Selatan.
Perlu sedikit usaha untuk menemukan kedai ini. Mata harus jeli benar mendapati
stiker yang tertera pada kaca kedai. Hanya label itu yang menandai keberadaan Djule
Kofi karena tak ada papan yang menjorok ke pinggir jalan.
Menurut Oyonk Rinaldi, barista Djule Kofi, nama kedai ini diambil dari bahasa India
yang berarti "halo". Djule Kofi adalah kedai kedua yang dipunyai pemilik Ombe
Kofie, yang berada di Pluit, Jakarta Utara.
Kedai ini menambah panjang daftar perbendaharaan kopi kita. Bagaimana tidak,
Djule menawarkan biji kopi yang berbeda setiap hari. Tak hanya dari kebun-kebun di
pelosok Nusantara, tapi juga dari mancanegara, seperti El Savador, Guatemala,
sampai Etiopia. "Kami ingin penikmat kopi mengeksplorasi rasa," ujar Oyonk,
kemarin.
Tanpa basa-basi, saya langsung memesan dua varian kopi. Pesanan pertama adalah
machiatto. Pilihan saya jatuh pada biji kopi Bone Sulawesi untuk dijadikan minuman
kopi ini. Secangkir kecil kopi itu dibanderol Rp 35 ribu.
Saat menyeruput, ada cita rasa peanut yang dominan. Ada juga sedikit rasa jeruk yang
cenderung asam. Adapun untuk minuman kedua, saya memilih yang impor, yaitu
black coffee, yang bubuknya dari biji kopi Guatemala. Harga secangkir kopi itu
adalah Rp 40 ribu. Untuk pesanan kedua ini, Djule Kofi memberi espresso sebagai
minuman pendamping.
Dalam black coffee Guatemala, tercium aroma fruity yang kuat. Tingkat keasamannya
sedang. Berbeda dengan espresso yang jauh lebih asam. Bila tak sanggup mencicipi
kopi dengan tingkat keasaman tinggi, espresso ini bukanlah pilihan yang tepat.
Selain kopi, Djule Kofi menyediakan makanan ringan sebagai pendamping. Ada
croissant, klapertaart, dan banana bread. Saya mencoba pilihan terakhir yang cita rasa
pisangnya begitu kuat dan manis. Nama kudapannya tak menipu, tapi harganya
mahal. Seiris banana bread dibanderol Rp 25 ribu.
Sebagai kedai kopi, area Djule Kofi sangat luas dengan kapasitas kurang-lebih 100
pengunjung. Interior desainnya didominasi oleh material kayu, yang dipadu dengan
tembok bata yang dibiarkan telanjang tanpa plester semen.
Sayang, untuk ukuran kedai kopi, Djule Kofi tutup kelewat pagi. Jam operasional
kedai adalah pukul 08.00-20.00 WIB. Saya sempat kecele waktu pertama kali
menyambangi tempat ini dua hari lalu. Saat saya tiba pada pukul 20.30, Djule Kofi
sudah dalam kondisi gelap-gulita. Bukan tempat yang ideal untuk nongkrong sampai
larut. "Ini kafe seperti anak baik-baik saja, jam delapan sudah tutup," kata Arif
Mujahidin, 46 tahun, pengunjung, berkelakar.
Soal jam buka yang tak sampai larut ini, Djule Kofi punya dalih. Tak ada orang yang
minum kopi sampai larut di sekitar Jalan Melawai Raya. "Pernah coba buka sampai
pukul 9 malam saat bulan puasa, tapi sepi," kata Oyonk.
Kekurangan lain adalah kondisi di sekitar Djule Kofi yang sedang berantakan. Di
teras kedai ini sedang ada perbaikan jalur pedestrian oleh pemerintah DKI Jakarta.
Perlu sedikit usaha untuk melewati puing beton dan tanah merah lembek di sana
sebelum mencapai teras kedai kopi tersebut.
Waktu paling tepat untuk mampir di Djule Kofi adalah dalam perjalanan menuju
kantor pada pagi hari, saat kedai itu dalam kondisi terbaik. Djule Kofi adalah salah
satu kedai di Jakarta Selatan yang sudah siap melayani pelanggan pada pagi hari.
Bentuk tulisan feature tidak terpaku pada bentuk piramida terbalik. Justru
mengharapkan pembaca mengikuti dengan seksama dari awal hingga akhir tulisan.
Kalau diberita langsung (straight news) pembaca cukup membaca paragraf awal
tulisan, maka di dalam feature justru inti tulisan baru ditemukan bila membaca dari
awal hingga akhir.
Dalam penulisan feature agar tidak tersesat kemana mana, tentukan dulu angle/sudut
pandang tulisan yang akan memandu arah tulisan.
Q&A
Apakah ada batas panjang sebuah feature dan berapa panjang tulisan
feature yang baik?
Panjang pendeknya sebuah feature bisa menyangkut beberapa faktor,
misalnya, tergantung dari masalahnya atau peristiwanya sendiri. Bisa juga
tergantung pada minat perhatian pembaca. Sebuah peristiwa besar hampir
bisa dipastikan akan mampu menarik perhatian masyarakat, tapi ada juga
tulisan yang mampu menarik perhatian pembaca meski peristiwanya sendiri
merupakan sesuatu yang “kurang penting”.
Panjang suatu feature tidak akan berarti apa-apa apabila tidak dapat
menimbulkan minat perhatian pembaca. Selama diyakini bisa menimbulkan
minat perhatian pembaca, maka tulisan feature bisa dibuat panjang. Intinya,
panjang sebuah feature bersifat relatif. Bisa jadi, sebuah feature bisa menarik
minat perhatian pembaca tertentu, sedangkan bagi pembaca lain nyatanya
tidak mampu menimbulkan minatnya. Disinilah letak seni dan ketajaman
seorang penulis feature. Dibutuhkan kepekaan dalam menentukan, menduga
dan memperkirakan apakah mampu menarik perhatian banyak pembaca.
Dalam hal ini, peranan tim redaksi juga dibutuhkan untuk ikut menentukan hal
tersebut.
Apakah segi human interest tersebut sudah melekat pada meteri tulisan, atau
merupakan kreasi penulisnya?
Segi human interest dalam sebuah feature, harus benar-benar faktual (berupa fakta
nyata) yang melekat pada materi (bahan) tulisan. Keterampilan penulis hanya dituntut
untuk menyeleksi dan mengolah bahan-bahan tersebut, hingga ketika telah menjadi
tulisan dan disampaikan ke pembaca, akan bisa menyentuh perasaan. Kalau segi
human interest tersebut merupakan hasil imajinasi atau keterampilan berpikir si
penulis, maka tulisan tersebut merupakan fiksi, bukan feature.
Apa sajakah yang bisa dikatagorikan sebagai human interest?
Yang bisa dikatagorikan sebagai human interest antara lain: masalah percintaan;
perjalanan/perjuangan hidup manusia, hewan, tumbuhan maupun alam (gunung api,
bintang); kelahiran/kematian; penderitaan (misalnya derita TKI yang disiksa majikan
di LN); ketabahan/ketegaran dalam menghadapi cobaan/godaan dll.
Apakah feature dengan tema penderitaan bisa digunakan untuk menjelek-
jelekkan pihak yang mengakibatkan penderitaan tersebut?
Bisa, namun feature tersebut akan menjadi feature propaganda. Nilai sebuah feature
propaganda, akan lebih rendah dibanding dengan feature yang benar-benar hanya
menceritakan penderitaan seseorang atau sekelompok orang. Sebab yang harus
geregetan, marah dsb. adalah pembaca media massa, setelah membaca feature
tersebut. Bukan penulisnya.
Bagaimana menulis feature (yang baik)?
Sebelum menulis, pertama-tama pilihlah kasus yang (sangat) menarik, yang
menyangkut kepentingan banyak orang (publik), yang prestisius untuk ditulis.
Seorang wartawan atau penulis yang baik dan berpengalaman biasanya memiliki nose
of news (daya cium, daya endus berita), yang akan selalu bisa terasah jika ia memiliki
“jam terbang” cukup tinggi. Tapi, nose of news selalu bisa dilatih. Setelah
menemukan obyek, kasus atau item tulisan, pikirkanlah apa kira-kira angle-nya. Yang
dimaksud dengan angle ialah “sudut pandang”, apa kira-kira masalah yang sangat
penting dan relevan dari kasus tersebut. Untuk menentukan angle biasanya cukup
sulit, sehingga diperlukan pemikiran, perenungan, bahkan diskusi dengan kawan-
kawan.
Bagaimana trik atau cara menulis feature?
Sebetulnya hampir sama dengan teknik menulis artikel lainnya, hanya saja dalam
menulis feature kita dituntut untuk lebih ‘menyentuh’ dan memberikan nuansa lain
dari sekadar sebuah berita. Itu sebabnya, feature bisa berfungsi sebagai penjelasan
atau tambahan untuk berita yang sudah disiarkan sebelumnya, memberi latar belakang
suatu peristiwa, menyentuh perasaan dan mengharukan, menghidangkan informasi
dengan menghibur, juga bisa mengungkap sesuatu yang belum tersiar sebagai berita.
Yang perlu mendapat perhatian dalam penulisan feature ini, adalah lead yang
menarik. Nah, lead dalam feature inilah yang sepertinya penting, meski bukan pokok
memang. Bahkan jangan lupa, selain lead, kita juga harus membuat tubuh dan
endingnya dari tulisan tersebut. Sangat boleh jadi ‘ending’ sebuah feature sama
pentingnya dengan lead. Jadi rasa-rasanya harus bisa menarik dan menggoda
pembaca. Misalnya memberikan kesimpulan atau mungkin ada ‘celetukan’ atau
sindiran yang menggoda pembaca. Di sinilah editor biasanya paling pusing untuk
memotong tulisan jenis feature, nggak gampang lho. Sama sulitnya dengan
‘mengobrak-abrik’ naskah cerpen. Kenapa? Karena semua bagian dalam feature itu
penting. Itu saja.
Nah, harus diakui bahwa yang terpenting dalam pembuatan tulisan berjenis feature ini
adalah lead. Kekuatannya ada di sana. Lead ibarat pembuka jalan. Jadi upayakan
benar-benar menarik dan mengundang rasa penasaran pembaca untuk terus membaca.
Sebab, gagal dalam menuliskan lead pembaca bisa ogah meneruskan membaca. Gagal
berarti kehilangan daya pikat. Itu sebabnya, penulis feature harus pintar betul
menggunakan kalimatnya. Bahasa rapi, terjaga, bagus dan kelihaian dalam cara
memancing itu haruslah jitu. Memang sih, tak ada teori yang baku tentang menulis
lead sebuah feature
McKinney dari Denver Post memberikan batasan tentang feature dengan cara
yang hampir sama seperti yang dilakukan William L. Rivers dengan mneyebut
bahwa feature adalah suatu tulisan yang di luar tulisanyang bersifat langsung,
tempat pegangan utama berita itu adalah 5W 1H dapat diabaikan.
Bentuk paling umum suatu feature adalah piramida terbalik dengan beberapa
perkembangannya. Pada feature masih dibutuhkan suatu penutup tulisan.
Yang dimaksud dengan anatomi sebuah berita adalah bagian-bagian berita,
dalam hal ini berbentuk terbalik. Dari atas, pertama-tama adalah judul
berita, kedua baris tanggal (dateline) berisi tanggal terbit dan inisial surat
kabar atau kantor berita. Yang ketiga adalah teras berita disebut juga
sebagai intro. Keempat adalah perangkai (bridge) yang menghubungkan
antara teras dengan tubuh berita. Kelima adalah tubuh berita dan keenam
adalah penutup.
Membangun tubub feature ibarat membangun sebuah gedung dengan
menyusun batu bata demi batu bata. Melalui ibarat itu pula di antara
susunan batau bata itu terdapat adukan semen, maka pada feature ini pun
ada bagian yang berfungsi seperti adukan tersebut, disebut transisi. Transisi
memiliki dua tugas. Pertama, ia mengantarkan pembaca, atau
memberitahukan pembaca bahwa bagian tulisan berikutnya telah berpindah
dari suatu bagian ke bagian lainnya. Kedua, transisi meletakkan bagian
materi baru pada perspektif sebagaimana adanya.
Terdapat beberapa jenis penutup, yaitu:
penutup ringkasan,
penutup menyimpulkan,
penutup klimaks,
penutup yang mengagetkan,
penutup tak ada penyelesaian.
Setelah membahas tentang transisi sebelumnya maka hal selanjutnya yang
harus diperhatikan adalah fokus. Fokus adalah ikat pemberat pokok cerita
yang menjelujuri tubuh berita. Fokus digunakan sebagai pedoman, langkah
penentu sehingga pokok cerita yang seharusnya lebih sempit dari
bahasannya tidak terlalu melebar atau menyimpang.
Judul berfungsi untuk menarik perhatian pembaca. Karenanya judul yang baik
harus memenuhi beberapa syarat yaitu:
Atraktif
Akurat
Eksak
Memberikan gambaran yang jelas, ringkas, padat, serta menunjukkan
kesederhanaan.
Komunikatif
Teras merupakan alinea pertama dalam feature. Karena letaknya di awal, teras
haruslah menarik dan memjadi alat pancing untuk pembaca. Dalam feature, ada
beberapa jenis teras, yaitu:
1. Teras Deskriptif, menggambarkan suatu peristiwa, tempat kejadian, setting,
atau tokoh dalam pikiran pembaca.
2. Teras Deduktif, pernyataan umum atau kesimpulan terletak di awal alinea.
3. Teras Induktif, kalimat pokok atau kesimpulan diletakan di akhir alinea.
4. Teras Induktif-Deduktif, kalimat pokok ditempatkan di awal dan akhir
alinea.
5. Teras Ringkasan, berisi inti cerita yang disajikan.
6. Teras Langsung Menunjuk, penulis berkomunikasi langsung dengan
pembaca melalui alinea pertama.
7. Teras Kontras, menampilkan dua fakta yang berbeda sekali untuk
memberikan penekanan terhadap tema feature yang diangkat.
8. Teras Memandang Masa Lalu-Masa Depan, ditulis dengan memandang masa
lalu atau masa yang akan datang dengan tujuan-tujuan untuk melakukan
perbandingan dengan masa kini tempat ceriiita itu berlangsung.
9. Teras Pertanyaan, duatu pertanyaan akrab yang tepat dicuplik dari tema
cerita mungkin dapat digunakan untuk menunjukan kepada pembaca tentag isi
cerita yang ditulis.
10. Teras Kutipan, berisi kuripan atau pendapat orang-orang terkenal.
11. Teras Analogi, menampilkan kemiripan antara suatu fakta yang sudah
terjadi dan diketahui dengan fakta yang akan menjadi tema cerita yang akan
disajikan.
12. Teras 5W+1H, mengandung semua unsur 5W+1H.
13. Teras penggoda, bertujuan memancing perhatian pembaca sehingga
pembaca itu tidak terdesak atau dituntun untuk membaca tulisan kita.
14. Teras berseni atau aneh, menyajikan cerita yang lincah dan hidup, aneh
dank has.
15. Teras Insiden Distinktif, berisi cuplikan sebagian dari isi feature pada
bagian klimaks cerita.
16. Teras Gambar, suatu deskripsi grafis setting dari cerita yang akan
diceritakan dalam feature, disajikan dalam teras, sebagai suatu pengantar
menuju kepada aksi-aksi para pelakunya.
17. Teras Gabungan, kombinasi dari dua atau lebih beberapa jenis teras.
9. Gaya
Gaya adalah suatu cara atau jalan bagi seorang penulis
untuk menulis. Yang dimaksud gaya di sini adalah gaya penulisan
yang mencakup gaya bahasa dan gaya bercerita. Secara garis besar,
gaya bahasa dibedakan atas perbandingan, sindiran, penegasan,
pertentangan.
Diksi adalah pemilihan kata yang dipergunakan untk
menyusun suatu kalimat. Dalam buku ini, diksi diperinci ke dalam
tiga subkomponen, yaitu ketepatan (correctness), efektivitas
(effectiveness), dan kelayakan (appropriate).
Dalam penulisan feature, ada beberapa tahapan, yaitu menentukan ide atau
permasalah yang akan diangkat, menentukan angle tulisan, menentukan titik
pandangn (point of view), membuat kerangka tulisan, dan pengumpulan fakta,
data, serta informasi. Jika semua tahap ini telah dilalui, kita lanjutkan dengan
menulis