Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MELITUS TIPE II


DI POLIKLINIK BEDAH RSUD TORABELO SIGI

SYERINA
PO7120120008
26 NOVEMBER 2021

CI CLINIK PEMBIMBING
AKADEMIK

POLITEKKES KEMENKES PALU JURUSAN KEPERAWATAN


PRODI D III KEPERAWATAN PALU
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
DIABETUS MELITUS TIPE II
PADA NY.S DI POLIKLINIK BEDAH RSUD TORABELO SIGI

A. DEFINISI
Berikut ini adalah pengertian Deabetes Melitus Tipe II menurut beberapa ahli,
diantaranya:
1. Diabetes mellitus Tipe 2 atau dikenal dengan istilah Non-insulin Dependent
Millitus (NIDDM) adalah keadaan dimana hormone insulin dalam tubuh
tidak dapat berfungsi dengan semestinya, hal ini dikarenakan berbagai
kemungkinan seperti kecacatan dalam produksi insulin atau berkurangnya
sensitifitas (respon) sel dan jaringan tubuh terhadap insulin yang ditandai
dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. (Nurul Wahdah, 2011)
2. Diabetes Mellitus Tipe II adalah defek sekresi insulin, dimana pankreas tidak
mampu menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan glukosa
plasma yang normal, sehingga terjadi hiperglikemia yang disebabkan
insensitifitas seluler akibat insulin. (Elizabeth J Corwin, 2009)
3. Diabetes Mellitus Tipe II adalah keadaan dimana kadar glukosa tinggi, kadar
insulin tinggi atau normal namun kualitasnya kurang baik, sehingga gagal
membawa glukosa masuk dalam sel, akibatnya terjadi gangguan transport
glukosa yang dijadikan sebagai bahan bakar metabolisme energi. (FKUI,
2011)

B. ETIOLOGI
Penyebab dari DM Tipe II antara lain:
1. Penurunan fungsi cell  pankreas
Penurunan fungsi cell  disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
a. Glukotoksisitas
Kadar glukosa darah yang berlangsung lama akan menyebkan
peningkatan stress oksidatif, IL-1 DAN NF-B dengan akibat
peningkatan apoptosis sel beta
b. Lipotoksisitas
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam
proses lipolisis akan mengalami metabolism non oksidatif menjadi
ceramide yang toksik terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis
c. Penumpukan amiloid
Pada keadaan resistensi insulin, kerja insulin dihambat sehingga kadar
glukosa darah akan meningkat, karena itu sel beta akan berusaha
mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi insulin hingga
terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga diikuti dengan
sekresi amylin dari sel beta yang akan ditumpuk disekitar sel beta
hingga menjadi jaringan amiloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri
sehingga akirnya jumlah sel beta dalam pulau Langerhans menjadi
berkurang. Pada DM Tipe II jumlah sel beta berkurang sampai 50-60%.
d. Efek inkretin
Inkretin memiliki efek langsung terhadap sel beta dengan cara
meningkatkan proliferasi sel beta, meningkatkan sekresi insulin dan
mengurangi apoptosis sel beta.
e. Umur
Diabetes Tipe II biasanya terjadi setelah  usia 30 tahun dan semakin
sering terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada
usia lanjut. Usia lanjut yang mengalami gangguan toleransi glukosa
mencapai 50 – 92%. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30
tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia.
Perubahan dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan
ahirnya pada tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi
homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami perubahan adalah sel
beta pankreas yang mengahasilkan hormon insulin, sel-sel jaringan
terget yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang
mempengaruhi kadar glukosa.
f. Genetik
2. Retensi insulin
Penyebab retensi insulin pada DM Tipe II sebenarnya tidak begitu jelas, tapi
faktor-faktor berikut ini banyak berperan:
a. Obesitas terutama yang bersifat sentral ( bentuk apel )
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap glukosa darah
berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk
di otot berkurang jumlah dan keaktifannya kurang sensitif.
b. Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
c. Kurang gerak badan
d. Faktor keturunan ( herediter )
e. Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi sistem saraf
simpatis yang diikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila
stress menetap maka sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan.
Hipotalamus mensekresi corticotropin releasing factor yang
menstimulasi pituitari anterior memproduksi kortisol, yang akan
mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah (FKUI, 2011)

C. FAKTOR RESIKO DM TIPE II


Berikut ini adalah faktor resiko yang dapat terkena DM Tipe II, antara lain:
1. Usia ≥ 45 tahun
2. Usia lebih muda, terutama dengan indeks massa tubuh (IMT) >23 kg/m 2
yang disertai dengan faktor resiko:
a) Kebiasaan tidak aktif
b) Turunan pertama dari orang tua dengan DM
c) Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >4000 gram, atau
riwayat DM gestasional
d) Hipertensi (≥140/90 mmHg)
e) Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl
f) Menderita polycyctic ovarial syndrome(PCOS) atau keadaan klinis lain
yang terkait dengan resistensi insulin
g) Adanya riwayat toleransi glukosa yang terganggu (TGT) atau glukosa
darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya
h) Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular
3. Obesitas terutama yang bersifat sentral (bentuk apel)
4. Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
5. Kurang gerak badan
6. Faktor genetik
7. Konsumsi obat-obatan yang bisa menaikkan kadar glukosa darah
8. Stress (FKUI, 2011)
D. MANIFESTASI KLINIS DM TIPE II
1. Tanda dan gejala spesifik DM Tipe II, antara lain:
a. Penurunan penglihatan
b. Poliuri ( peningkatan pengeluaran urine ) karena air mengikuti glukosa
dan keluar melalui urine.
c. Polidipsia (peningkatan kadar rasa haus)akibat volume urineyang sangat
besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel.
Dehidrasi intrasel mengikuti ekstrasel karena air intrasel akan berdifusi
keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi keplasma yang
hipertonik (konsentrasi tinggi) dehidrasi intrasel menstimulasi
pengeluaran hormon anti duretik (ADH, vasopresin)dan menimbulkan
rasa haus
d. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat kataboisme protein di otot dan
ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa
sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien DM kronis
menyebabkan kelelahan
e. Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang
kronis, katabolisme protein dan lemak dan kelaparan relatif sel. Sering
terjadi penurunan berat badan tanpa terapi
f. Konfusi atau derajat delirium
g. Konstipasi atau kembung pada abdomen(akibat hipotonusitas lambung)
h. Retinopati atau pembentukan katarak
i. Perubahan kulit, khususnya pada tungkai dan kaki akibat kerusakan
sirkulasi perifer, kemungkinan kondisi kulit kronis seperti selulitis atau
luka yang tidak kunjung sembuh, turgor kulit buruk dan membran
mukosa kering akibat dehidrasi
j. Penurunan nadi perifer, kulit dingin, penurunan reflek, dan
kemungkinan nyeri perifer atau kebas
k. Hipotensi ortostatik (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer,2007)
2. Tanda dan gejala non spesifik DM Tipe II, antara lain:
a. Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa
diskresi mukus, gangguan fungsi imun dan penurunan aliran darah
b. Gangguan penglihatan yang berhubungan dengan keseimbangan air
atau pada kasus yang berat terjadi kerusakan retina
c. Paretesia atau abnormalitas sensasi
d. Kandidiasis vagina ( infeks ragi ), akibat peningkatan kadar glukosa
disekret vagina dan urine, serta gangguan fungsi imun . kandidiasis
dapat menyebabkan rasa gatal dan kadas di vagina
e. Pelisutan otot dapat terjadi kerena protein otot digunakan untuk
memenuhi kebutuhan energi tubuh
f. Efek Somogyi: Efek somogyi merupakan komplikasi akut yang
ditandai penurunan unik kadar glukosa darah di malam hari, kemudian
di pagi hari kadar glukosa kembali meningkat diikuti peningkatan
rebound pada paginya. Penyebab hipoglikemia malam hari
kemungkinan besar berkaitan dengan penyuntikan insulin di sore
harinya. Hipoglikemia itu sendiri kemudian menyebabkan peningkatan
glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hormon
ini menstimulasi glukoneogenesis sehingga pada pagi harinya terjadi
hiperglikemia. Pengobatan untuk efek somogyi ditujukan untuk
memanipulasi penyuntikan insulin sore hari sedemikian rupa sehingga
tidak menyebabkan hipoglikemia. Intervensi diet juga dapat
mengurangi efek somogyi. Efek somogyi banyak dijumpai pada anak-
anak.
g. Fenomena fajar ( dawn phenomenon) adalah hiperglikemia pada pagi
hari ( antara jam 5 dan 9 pagi) yang tampaknya disebabkan oleh
peningkatan sirkadian kadar glukosa di pada pagi hari. Fenomena ini
dapat dijumpai pada pengidap diabetes Tipe I atau Tipe II. Hormone-
hormon yang memperlihatkan variasi sirkadian pada pagi hari adalah
kortisol dan hormon pertumbuhan, dimana dan keduanya merangsang
glukoneogenesis. Pada pengidap diabetes Tipe II, juga dapat terjadi di
pagi hari, baik sebagai variasi sirkadian normal maupun atau sebagai
respons terhadap hormone pertumbuhan atau kortisol. (Elizabeth J
Corwin, 2009)
E. Patofisiologi DM Tipe II
Patogenesis diabetes melitus Tipe II ditandai dengan adanya resistensi
insulin perifer, gangguan “hepatic glucose production (HGP)”, dan penurunan
fungsi cell β, yang akhirnya akan menuju ke kerusakan total sel β. Mula-mula
timbul resistensi insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin
untuk mengkompensasi retensi insulin itu agar kadar glukosa darah tetap normal.
Lama kelamaan sel beta tidak akan sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin
hingga kadar glukosa darah meningkat dan fungsi sel beta makin menurun saat
itulah diagnosis diabetes ditegakkan. Ternyata penurunan fungsi sel beta itu
berlangsung secara progresif sampai akhirnya sama sekali tidak mampu lagi
mengsekresi insulin.( FKUI,2011 )
Individu yang mengidap DM Tipe II tetap mengahasilkan insulin. Akan
tetapi jarang terjadi keterlambatan awal dalam sekresi dan penurunan jumlah
total insulin yang di lepaskan. Hal ini mendorong semakin parah kondisi seiring
dengan bertambah usia pasien. Selain itu, sel-sel tubuh terutama sel otot dan
adiposa memperlihatkan resitensi terhadap insulin yang bersirkulasi dalam darah.
Akibatnya pembawa glukosa (transporter glukosa glut-4) yang ada disel tidak
adekuat. Karena sel kekurangan glukosa, hati memulai proses glukoneogenesis,
yang selanjutnya makin meningkatkan kadar glukosa darah serta mestimulasai
penguraian simpanan trigliserida, protein, dan glikogen untuk mengahasilkan
sumber bahan bakar alternative, sehingga meningkatkan zat- zat ini didalam
darah. Hanya sel-sel otak dan sel darah merah yang terus menggunakan glukosa
sebagai sumber energy yang efektif . Karena masih terdapa insulin , individu
dengan DM Tipe II jarang mengandalkan asam lemak untuk menghasilkan
energi dan tidak rentang terhadap ketosis. (Elizabeth J Corwin, 2009)
F. PATHWAY DM Tipe II
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG DM Tipe II
Pemeriksaan penunjang DM Tipe II antara lain:
1. Pemeriksaan Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa dapat diukur dari sample berupa darah biasa atau plasma.
Pemeriksaan kadar glukosa darah lebih akurat karena bersifat langsung dan
dapat mendeteksi kondisi hiperglikemia dan hipoglikemia. Pemeriksaan
kadar glukosa darah menggunakan glukometer lebih baik daripada kasat
mata karena informasi yang diberikan lebih objektif kuantitatif. (FKUI,2011)
2. Pemeriksaan Kadar Glukosa Urine
Pemeriksaan kadar glukosa urin menggambarkan kadar glukosa darah secara
tidak langsung dan tergantung pada ambang batas rangsang ginjal yang bagi
kebanyakan orang sekitar 180 mg/dl. Pemeriksaan ini tidak memberikan
informasi tentang kadar glukosa darah tersebut, sehingga tak dapat
membedakan normoglikemia atau hipoglikemia. (FKUI, 2011)
3. Kadar Glukosa Serum Puasa dan Pemeriksaan Toleransi Glukosa
Memberikan diagnosis definitif diabetes. Akan tetapi, pada lansia,
pemeriksaan glukosa serum postprandial 2 jam dan pemeriksaan toleransi
glukosa oral lebih membantu menegakan diagnosis karena lansia mungkin
memiliki kadar glukosa puasa hampir normal tetapi mengalami
hiperglikemia berkepanjangan setelah makan. Diagnosis biasanya dibuat
setelah satu dari tiga kriteria berikut ini terpenuhi:
a) Konsentrasi glukosa plasma acak 200 mg/dl atau lebih tinggi.
b) Konsentrasi glukosa darah puasa 126 mg/dl atau lebih tinggi.
c) Kadar glukosa darah puasa setelah asupan glukosa per oral 200 mg/dl
atau lebih. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)

4. Pemeriksaan Hemoglobin Terglikosilasi (hemoglobin A atau HbA1c)


Menggambarkan kadar rata-rata glukosa serum dalam 3 bulan sebelumnya,
biasanya dilakukan untuk memantau keefektifan terapi antidiabetik.
Pemeriksaan ini sangat berguna, tetapi peningkatan hasil telah ditemukan
pada lansia dengan toleransi glukosa normal. (Jaime Stockslager L dan Liz
Schaeffer, 2007)
5. Fruktosamina serum
Menggambarkan kadar glukosa serum rata-rata selama 2 sampai 3 minggu
sebelumnya, merupakan indicator yang lebih baik pada lansia karena kurang
menimbulkan kesalahan. Sayangnya pemeriksaan ini tidak stabil sehingga
jarang dilakukan. Namun pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada keadaan
dimana pengukuran AIC tidak dapat dipercaya, misalnya pada keadaan
anemia hemolitik. (Jaime Stockslager L dan Liz Schaeffer, 2007)
6. Pemeriksaan keton urine
Kadar glukosa darah yang terlalu tinggi dan kurang hormone insulin
menyebabkan tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energy. Keton urin
dapat diperiksa dengan menggunkan reaksi kolorimetrik antara benda keton
dan nitroprusid yang menghasilkan warna ungu. (FKUI,2011)
7. Pemeriksaan Hiperglikemia Kronik (Test AIC)
Pada penyandang DM, glikosilasi hemoglobin meningkat secara
proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 8-10 minggu
terakhir. Bila kadar glukosa darah dalam keadaan normal antara 70-140
mg/dl selama 8-10 minggu terakhir, maka test AIC akan menunjukkan nilai
normal. Pemeriksaan AIC dipengaruhi oleh anemia berat, kehamilan, gagal
ginjal dan hemoglobinnopati. Pengukuran AIC dilakukan minimal 4bulan
sekali dalam setahun. (FKUI, 2011)
8. Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)
PKGS memberikan informasi kepada penyandang DM mengenai kendali
glikemik dari hai kehari sehingga memungkinkan klien melakukan
penyesuaian diet dan pengobatan terutama saat sakit, latihan jasmani dan
aktivitas lain. PKGS memberikan feedback cepat kepada pasien terhadap
kadar glukosa setiap hari. (FKUI,2011)
9. Pemantauan Glukosa Berkesinambungan (PGB)
Merupakan metode sample glukosa cairan intestinal ( yang berhubungan
dengan glukosa darah) telah banyak digunakan untuk mengetahui kendali
glikemik. Caranya adalah menggunakan sistem mikrodialisis yang dinsersi
secara subkutan, konsentrasi glukosa kemudian diukur dengan detector
elektroda oksidasi glukosa. Sensor glukosa pada PGB memiliki alaram untuk
mendeteksi kondisi hipoglikemi dan hiperglikemi. (FKUI)
H. PENATALAKSANAAN DM Tipe II
1. Penatalaksanaan Medis
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa:
a. Obat Hipoglikemik Oral
1) Pemicu sekresi insulin
a) Sulfonilurea
Golongan obat ini bekerja dengan menstimulasi sel beta
pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Efek
ekstra pankreas yaitu memperbaiki sensitivitas insulin ada,
tapi tidak penting karena ternyata obat ini tidak bermanfaat
pada pasien insulinopenik. Mekanisme kerja golongan obat
ini antara lain:
a. Menstimulasi pelepasan insulin yang tersimpan ( Stored
insulin)
b. Menurunkan ambang sekresi insulin
c. Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa (FKUI, 2011)
b) Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonylurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase
pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu:
Repaglinid (derivate asam benzoat) dan Nateglinid (derivate
fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui
hati.(FKUI, 2011)
2) Penambah sensitivitas terhadap insulin
a) Biguanid
Saat ini dari golongan ini yang masih dipakai adalah
metformin. Etformin menurunkan glukosa darah melalui
pengaruhnya terhadap insulin pada tingkat selular, distal dari
reseptor insulin serta juga pada efeknya menurunkan produksi
glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa
oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan
menghambat absorbsi glukosa dari usus pada keadaan
sesudah makan. (FKUI, 2011)
b) Tiazolidindion
Tiazolidindion adalah golongan obat yang mempunyai efek
farmakologis meningkatkan sesitivitas insulin. Golongan obat
ini bekerja meningkatkan glukosa disposal pada sel dan
mengurangi produksi glukosa dihati.( FKUI, 2011)
c) Penghambat glukosidase alfa
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim
glukosidase alfa dalam saluran cerna sehingga dapat
menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus
dan tidak menyebabakan hipoglikemia dan juga tidak
berpengaruh pada kadar insulin.(FKUI, 2011)
3) Incretin mimetic, penghambat DPP-4
Obat ini bekerja merangsang sekresi insulin dan penekanan
terhadap sekresi glukagon dapat menjadi lama, dengan hasil
kadar glukosa dapat diturunkan. (FKUI, 2011)

b. Insulin
Insulin adalah suatu hormone yang diproduksi oleh sel beta dari
pulau Langerhanss kelenjar pankreas. Insulin dibentuk dari proinsulin
yang bila kemudian distimulasi, terutama oleh peningkatan kadar
glukosa darah akan terbelah untuk menghasilkan insulin dan peptide
penghubung (C-peptide)yang masuk kedalam aliran darah dalam jumlah
ekuimolar.
Secara keseluruhan sebanyak 20-25% pasien DM Tipe II akan
memerlukan insulin untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya. Pada
DM Tipe II tertentu akan butuh insulin bila:
1) Terapi jenis lain tida dapat mencapai target pengendalian kadar
glukosa darah
2) Keadaan stress berat, seperti pada infeksi berat, tindakan
pembedahan, infark miocard akut atau stroke.
Pengaruh insulin tehadap jaringan tubuh antara lain insulin
menstimulasi pemasukan asam amino ke dalam sel dan kemudian
meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan penyimpanan
lemak dan mencegah penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin
menstimulasi pemasukan glukosa ke dalam sel untuk di gunakan sebagai
sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen di dalam sel otot
dan hati.(FKUI,2011)

2. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada kasus DM Tipe II antara lain:
a. Memberikan penyuluhan tentang keadaaan penyakit, symptom, hasil
yang ditemukan dan alternative tindakan yang akan diambil pada pasien
maupun keluarga pasien.
b. Memberikan motivasi pada klien dan keluarga agar dapat memanfaatkan
potensi atau sumber yang ada guna menyembuhkan anggota keluarga
yang sakit dan menyelesaikan masalah penyakit diabetes dan resikonya.
c. Konseling untuk hidup sehat yang juga dimengerti keluarga dalam
pengobatan dan pencegahan resiko komplikasi lebih lanjut
d. Memberikan penyuluhan untuk perawatan diri, budaya bersih,
menghindari alkohol, penggunaaan waktu luang yang positif untuk
kesehatan, menghilangkan stress dalam rutinitas kehidupan atau
pekerjaan, pola makan yang baik
e. Memotivasi penanggung jawab keluarga untuk memperhatikan keluhan
dan meluangkan waktu bagi anggota keluarga yang terkena DM atau
yang memiliki resiko
f. Mengawasi diit klien DM Tipe II, bila perlu berikan jadwal latihan
jasmani atau kebugaran yang sesuai.
3. Penatalaksanaan Diet
Tujuan umum terapi gizi adalah membantu orang dengan diabetes
memperbaiki kebiasaan gizi dan olahraga untuk mendapatakan control
metabolic yang lebih baik, dan beberapa tambahan tujuan khusus yaitu:
a. Mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal dengan
keseimbangan asupan makanan dengan insulin(endogen/eksogen) atau
obat hipoglikemik oral dan tingkat aktifitas
b. Mencapai kadar serum lipid yang optimal.
c. Memberikan energy yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan
berat badan yang memadai pada orang dewasa mencapai pertumbuhan
dan perkembangan yang normal pada anak dan remaja, untuk
peningkatan kebutuhan metabolic selama kehamilan dan laktasi atau
penyambuhan dari penyakit metabolic
d. Dapat mempertahankan berat badan yang memadai
e. Menghindari dan menangani komplikasi akut orang dengan diabetes
yang menggunakan insulin seperti hipoglikemia, penyakit jangka
pendek, komplikasi kronik diabetes seperti penyakit ginjal, hipertensi,
neuropati autonomic dan penyakit jantung
f. Meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal. 
I. PENGKAJIAN FOKUS
Pengkajian Keperawatan
1. Identitas pasien
2. Identitas penanggung jawab pasien
3. Keuhan utama
4. Riwayat kesehatan keluarga
Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?
5. Riwayat kesehatan pasien dan pengobatan sebelumnya
6. Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya,mendapat terapi
insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur atau tidak,
apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi penyakitnya.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Aktivitas / istirahat
 Gejala    :    -    Lemah, letih, sulit bergerak / berjalan , Kram otot,
tonus otot menurun, gangguan tidur
 Tanda    :   
 Takikardia dan takipnea pada keadaan isitrahat atau dengan
aktivitas
 Letargi / disorientasi, koma
 Penurunan kekuatan otot
b. Sirkulasi
 Gejala    :   
 Adanya riwayat hipertensi
 Klaudikasi, kebas dan kesemutan pada ekstremitas
 Ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama
 Tanda    :   
 Takikardia
 Perubahan tekanan darah postural, hipertensi
 Nadi yang menurun / tidak ada
 Disritmia
 Krekels
 Kulit panas, kering, kemerahan, bola mata cekung
c. Integritas Ego
 Gejala    :   
 Stress, tergantung pada orang lain
 Masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi
 Tanda    :    -    Ansietas, peka rangsang
d. Eliminasi
 Gejala    :   
 Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia
 Rasa nyeri / terbakar, kesulitan berkemih (infeksi)
 Nyeri tekan abdomen
 Diare
 Tanda    :    -    Urine encer, pucat, kuning : poliuri
e. Makanan / cairan
 Gejala    :  
 Hilang nafsu makan
 Mual / muntah
 Tidak mengikuti diet : peningkatan masukan glukosa /
karbohidrat.
 Penurunan BB lebih dari periode beberapa hari / minggu
 Haus
 Penggunaan diuretic (tiazid)
 Tanda    :    -    Disorientasi : mengantuk, letargi, stupor / koma
(tahap lanjut). Ganguan memori (baru, masa lalu) kacau mental.
f. Nyeri / kenyamanan
 Gejala    :    -    Abdomen yang tegang / nyeri (sedang/berat)
 Tanda    :    -    Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat
berhati-hati
g.   Pernafasan
 Gejala    :    -    Merasa kekurangan oksigen : batuk dengan / tanpa
sputum purulen (tergantung ada tidaknya infeksi)
 Tanda    :   
 Lapar udara
 Batuk, dengan / tanpa sputum purulen (infeksi)
 Frekuensi pernafasan
a. Keamanan
 Gejala    :    -    Kulit kering, gatal; ulkus kulit
 Tanda    :   
 Demam, diaphoresis
 Kulit rusak, lesi / ilserasi
 Menurunnya kekuatan umum / rentang gerak

J. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan penurunan metabolisme
karbohidrat akibat defisiansi insulin, intake tidak adekuat akibat adanya mual
muntah
2. Resiko devisit volume cairan dean elektrolit b/d diuresis osmotic dan poliuria
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat penurunan
produksi energi
4. Gangguan integritas kulit b/d penurunan sensasi sensori, gangguan sirkulasi,
penurunan aktifitas/mobilisasi, kurangnya pengetahuan tentang perawatan
kulit.
5. Gangguan citra tubuh b/d ekstremitas gangren
6. Resiko cedera b/d penurunan fungsi penglihatan, pelisutan otot.
7. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan
fungsi leukosit.

K. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan pemenuhan nutrisi berhubungan dengan penurunan metabolisme
karbohidrat akibat defisiansi insulin, intake tidak adekuat akibat adanya mual
muntah
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24
jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria hasil : Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang
tepat, BB stabil, nilai lab normal

Intervensi :
a. Timbang berat badan tiap hari atau sesuai dengan indikasi
Rasional   :    Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat
b. Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan
dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien
Rasional   :    Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari
kebutuhan terapeutik
c. Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrient)
dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat
mentoleransinya melalui pemberian cairan melalui oral
Rasional   :    Pemberian makanan melalui oral lebih baik jika
pasien sadar dan fungsi gastroisntetinal baik
d. Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti glukosa darah, aseton,
pH, dan HCO3
Rasional   :    Gula darah akan menurun perlahan dengan
penggantian cairan dan terapi insulin terkontrol.
e. Kolaborasi dengan ahli diet
Rasional   :    Sangat bermanfaat dalam perhitungan dan
penyesuaian diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien

2. Devisit volume cairan dan elektorlit b/d diuresis osmotic dan poliuria
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
2x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien
terpenuhi.
Kriteria hasil : Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat
dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat
diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik,
haluaran urin tepat secara individu dan kadar
elektrolit dalam batas normal.

Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD orotstatik
Rasional : Hipovelemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan
takikardia.
b. Ukur berat badan setiap hari
Rasional   : Memberikan hasil pengkajian yang terbaik di status
cairan yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan
cairan pengganti.
c. Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran
mukosa
Rasional   :    Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi atau
volume sirkulasi yang adekuat
d. Pantau pemeriksaan lab seperti : Hematoksit (Ht), BUN (kreatinin)
dan Osmulalitas darah, Natrium, kalium
Rasional   :   
 Ht : Mengkaji tingkat hidrasi dan sering kali meningkat akibat
homokonsentrasi yang terjadi setelah dieresis osmotik
 BUN : Peningkatan nilai dapat mencerminkan kerusakan sel
karena dehidrasi atau tanda awitan kegagalan ginbjal.
 Osmolalitas darah : Meningkat sehubungan dengan adanya
hiperglikemia dan dehidrasi
 Natrium : Mungkin menurun yang dapat mencerminkan
perpindahan cairan dari intra sel (dieresis osmotik)
 Kalium : Awalnya akan terjadi hiperkalemia dalam breepons
pada asodisis

3.   Intoleransi aktivitas b.d penurunan simpanan energy

Tujuan : Pada pasien tidak terjadi kelelahan dengan


penurunan produksi energi
Kriteria hasil : -Mengungkapkan peningkatan tingkat energy
-Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk
berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan
          
Intervensi :
a. Diskusi dengan pasien kebutuhan akan aktivitas. Membuat
jadwal perencanaan dengan pasien dan identifikasi aktivitas yang
menimbulkan kelelahan.
Rasional   :    Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk
meningkatkan tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat
lemah.
b. Beri aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup /
tanpa diganggu.
Rasional   :    Mencegah kelelahan yang berlebihan.
c. Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan TD sebelum / sesudah
melakukan aktivitas.
Rasional   :    Mengidentifikasi tingkat aktivitas yang dapat
ditoleransi secara fisiologi.
d. Mendiskusikan cara menghemat kalori selama mandi, berpindah
tempat.
Rasional   :    Pasien akan dapat melakukan lebih banyak
kegiatan dengan penurunan kegiatan akan pada energi pada
setiap kegiatan.
e. Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-
hari sesuai dengan yang dapat ditoleransi.
Rasional   :    Meningkatkan kepercayan diri / harga diri positif
sesuai tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi pasien.

4. Gangguan integritas kulit b/d gangrene


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
3x24 jam diharapkan integritas kulit dapat
membaik.
Kriteria hasil : -  Mempertahankan integritas kulit
-  Mendemonstrasikan perilaku / teknik
mencegah kerusakan kulit.
Intervensi :
a. Lihat kulit, area sirkulasinya terganggu / pigmentasi atau
kegemukan / kurus
Rasional   :    Kulit beresiko karena gangguan sirkulasinya
perifer, imobilitas fisik dan gangguan status nutrisi.
b. Dapatkan kultur dari drainase luka saat masuk
Rasional   :    Mengidentifikasi pathogen dan terapi pilihan
c. Rendam kaki dalam air steril pada suhu kamar dengan larutan
betadine tiga kali sehari selama 15 menit
rasional   :    Germisidal lokal efektif untuk luka permukaan
d. Balut luka dengan kasa kering steril. Gunakan plester kertas
Rasional :      Menjaga kebersihan luka / meminimalkan
kontaminasi silang. Plester adesif dapat membuat abrasi
terhadap jaringan mudah rusak.
e. Berikan dikloksasi 500 mg per oral setiap 6 jam, mulai jam 10
malam amati tanda-tanda hipersensitivitas, seperti : pruritus,
urtikaria, ruam
Rasional   :    Pengobatan infeksi / pencegahan komplikasi.
Makanan yang mengganggu absorbsi obat memerlukan
penjadwalan sekitar jam makan. Meskipun tidak ada riwayat
reaksi penicilin tetapi dapat terjadi kapan saja.

5. Gangguan citra diri b/d ekstremitas gangrene


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
2x24 jam pasien dapat menerima keadaannya yang
sekarang.
Kriteria hasil : -   Pasien menerima keadaannya yang sekarang
-   Menunjukkan pandangan yang realistis dan
pemahaman diri dalam situasi.
Intervensi :
a. Dengarkan dengan aktif masalah dan ketakutan pasien
Rasional   :    Menyampaikan perhatian dan dapat lebih efektif
mengidentifikasi kebutuhan dan masalah dan juga strategi koping
pasien dan seberapa efektif.
b. Dorong pengungkapan perasaan, penerima apa yang dikatakannya
Rasional   :    Membantu pasien / orang terdekat untuk memulai
menerima perubahan dan mengurangi ansietas mengenai
perubahan fungsi atau gaya hidup.
c. Diskusikan pandangan klien terhadap citra diri dan efek yang
ditimbulkan dari penyakit
Rasional   :    Persepsi pasien mengenai pada perubahan citra diri
mungkin terjadi secara tiba-tiba atau kemudian atau menjadi
proses halus yang secara terus menerus.
d. Bantu pasien atau orang terdekat dengan menjelaskan hal-hal yang
diharapkan dan hal-hal tersebut mungkin diperkukan untuk
dilepaskan atau diubah.
Rasional   :    Memberi kesempatan untuk mengidentifikasi
kesalahan konsep dan mulai melihat pilihan-pilihan,
meningkatkan orientasi realita.
e. Rujuk pada dukungan psikiatri atau group terapi, pelayanan sosial
sesuai petunjuk
Rasional   :    Mungkin dibutuhkan untuk membantu pasien /
orang terdekat untuk mencapai kesembuhan optimal.

6. Resiko injuri b/d gangguan penglihatan


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama
2x24 jam diharapkan tidak terjadi injuri pada
pasien
Kriteria hasil : -   Mengidentifikasi faktor-faktor resiko injuri
-   Memodifikasi lingkungan sesuai petunjuk
untuk meningkatkan keamanan dan penggunaan
sumber-sumber secara tepat.
Intervensi :
a. Hindarkan alat-alat yang dapat menghalangi aktivitas pasien
Rasional   :    Untuk meminimalisir terjadinya cedera
b. Gunakan bed yang rendah
Rasional   :    Meminimalkan resiko cedera
c. Orientasikan untuk pemakaian alat bantu penglihatan ex.
Kacamata
Rasional   :    Membantu dalam penglihatan klien
d. Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi
Rasional   :    Agar tidak terjadi injuri

7. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi,


penurunan fungsi leukosit.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2x24 jam diharapkan tidak terjadi
infeksi
Kriteria hasil : TTV dalambatas normal, tanda-
tandainfeksitidakada,
nilaileukositdalambatas normal(4000-
10000/mm3)

Intervensi :
a. Observasi tanda-tanda infeksi(rubor, dolor, calor, tumor,
fungsiolaesa)
Rasional: pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah
mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi
nosokomial
b. Pertahankan teknik aseptic pada prosedur infasif
Rasional: kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media
terbaik bagi pertumbuhan kuman
c. Observasi hasil laboratorium(leukosit)
Rasional: gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian
cairan dan terapi insulin terkontrol
d. Kolaborasi dalam pemberian antibiotic sesuai indikasi
Rasional: Penanganan awal dapat membantu mencegah terjadinya
sepsis.
( Husni,2013)

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:EGC.


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Gibson, Jhon.2002. Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk PerawatEdisi 2.


Jakarta:EGC

Stockslager L, Jaime dan Liz Schaeffer .2007. Asuhan Keperawatan Geriatric.


Jakarta:EGC.

Tambayong, Jan. 2001. Anatomi dan Fisiologi untuk Keperawatan.Jakarta:EGC

Wahdah, Nurul. 2011 .Menaklukan Hipertensi dan Diabetes. Yogyakarta: Multipress.

Anda mungkin juga menyukai