Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB I
PENDAHULUAN
Kita semua menyadari bahwa pelayanan publik selama ini bagaikan rimba
raya bagi banyak orang. Amat sulit untuk memahami pelayanan yang
diselenggarakan oleh birokrasi publik. Masyarakat pengguna jasa sering dihadapkan
pada begitu banyaknya ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan yang
namanya birokrasi. Amat sulit memperkirakan kapan pelayanan ini itu bisa
diperolehnya. Begitu pula dengan sebarapa besar dana yang perlu disiapkan dalam
pengurusan-pengurusan yang berkaitan dengan pelayanan birokrasi. Baik harga
maupun waktu seringkali tidak bisa terjangkau dengan masyarakat sehingga banyak
orang yang kemudian enggan berurusan dengan birokrasi publik.
Pelayanan publik di Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat. Pelayanan
publik pada umumnya masih menunjukkan ketidakpastian. Ketidakpastian harga,
prosedur, maupun waktu. Pengurusan perizinan menjadi molor, ditambah lagi
pungutan liar disana-sini. Konsekwensinya secara ekonomis, timbul biaya ekonomi
yang tinggi. Sedangkan pelayanan publik sudah merupakan hak setiap warga negara
yang wajib dipenuhi karenanya negara berkewajiban menyelenggarakan sejumlah
pelayanan guna memenuhi hak-hak dasar warganya yang dijamin oleh konstitusi
dalam hal ini Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik.
Semuanya itu berdampak pada rendahnya daya saing Indonesia dibanding
negara-negara berkembang lainnya. Kondisi ini terjadi karena organ pelayanan
publik tidak pernah menyadari hal tersebut, yang diperparah lagi dengan korupsi
yang mengerogoti, sehingga kualitas pelayanan publik di Indonesia jauh dari
harapan warga. Organ pelayanan publik mancakup sumbar daya manusianya,
lembaga yang memberikan pelayanan, dan proses tata laksana pelayanan yang tidak
dijalankan sesuai dengan peraturan atau ketentuan yang berlaku.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 4
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
BAB II
Di samping diberikan makna yang cukup positif tersebut, birokrasi juga sering
dimaknai secara negatif. Dalam perspektif yang negatif ini birokrasi dimaknai sebagai
sebagai suatu proses yang berbelit-belit, waktu yang lama, biaya yang mahal dan
menimbulkan keluh kesah yang pada akhirnya ada anggapan bahwa birokrasi itu
tidak efisien dan bahkan tidak adil.
Biasanya masalah administrasi yang kompleks dan ruwet terdapat pada organisasi
besar, seperti organisasi pemerintahan. Akan tetapi, sebenarnya birokrasi tidak
dibatasi hanya pada institusi sektor publik saja. Serikat Dagang, Universitas, dan
LSM merupakan contoh birokrasi di luar pemerintah.
Berikut ini adalah beberapa pengertian birokrasi dalam pandangan beberapa pakar:
1. Max Weber
Weber menulis banyak sekali tentang kedudukan pejabat dalam
masyarakat modern. Baginya kedudukan pejabat merupakan tipe penanan
sosial yang makin penting. Ciri-ciri yang berbeda dari peranan ini ialah:
pertama, seseorang memiliki tugas-tugas khusus untuk dilakukan. Kedua,
bahwa fasilitas dan sumber-sumber yang diperlukan untuk memenuhi tugas-
tugas itu diberikan oleh orang orang lain, bukan oleh pemegang peranan itu.
Dalam hal ini, pejabat memiki posisi yang sama dengan pekerja pabrik,
sedang Weber secara modern mengartikannya sebagai individu dari alat-alat
produksi.
Tetapi pejabat memiliki ciri yang membedakannya dengan pekerja: ia
memiliki otoritas. Karena pejabat memiliki otoritas dan pada saat yang sama
inilah sumbangannya, ia berlaku hampir tanpa penjelasan bahwa suatu jabatan
tercakup dalam administrasi (setiap bentuk otoritas mengekspresikan dirinya
sendiri dan fungsinya sebagai administrasi). Bagi Weber membicarakan
pejabat-pejabat administrasi adalah bertele-tele.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 9
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
Maka ketika berbicara masalah pola perilaku birokrasi Davis (1985), yaitu
perilaku otokratik, perilaku kustodial, perilaku suportif dan perilaku kolegial.
Perilaku otokratik dan perilaku kustodial termasuk kategori perilaku yang
tradisional dimana setiap birokrat hanya berorientasi kekuasaan, otoritas, dan
kewenangan, pemenuhan kebutuhan pokok serta mengeksplorasi sumber daya
ekonomi organisasi untuk diri dan kelompoknya. Perilaku suportif dan kolegial
termasuk kategori perilaku birokrasi modern dimana setiap individu memberi
dukungan yang tinggi terhadap pencapaian tujuan dan sasaran organisasi, serta
organisasi memberi penghargaan yang tinggi pula terhadap kinerja birokrat.
Karakteristik Birokrat Manusia yang terlibat dalam suatu organisasi
merupakan individu-individu yang memiliki karakteristik khas yang melekat
dalam dirinya. Siagian (1997) memandang bahwa karakteristik khas yang dibawa
manusia dalam organisasi inilah yang akan membentuk perilaku administrasinya.
Perilaku individu yang tercermin dalam tabiat dan sifat merupakan pencerminan
dari kepribadian individu. Dalam hal ini, setidaknya terdapat 4 (empat) faktor
pembentuk perilaku seseorang, yaitu: (a) faktor genetik, (b) faktor pendidikan, (c)
faktor lingkungan, dan (d) faktor pengalaman. Dengan hanya mempertimbangkan
faktor dalam diri manusia, Supriatna (2000), mengemukakan bahwa terdapat 4
(empat) faktor yang membentuk tingkah laku seseorang yaitu: (a) pengamatan
(persepsi), (b) sikap, (c) nilai, dan (d) motivasi. Faktor-faktor tersebut dapat
membentuk efektifitas seseorang atau karyanya.
Selanjutnya, efektifitas (karya), kepuasan kerja dan motivasi dipengaruhi
rancangan kerja (job design) yang meliputi struktur kerja, tugas dan kewajiban.
Sejalan dengan pendapat Supriatna di atas, Bryant dan White (1989) selain
mengidentifikasi faktor dari dalam diri individu juga mengungkapkan faktor
lingkungan organisasi dalam model sosial-psikologis.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 14
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
Tipologi birokrasi dapat dilihat dari berbagai aspek. Menurut Zauhar (1996) dilihat dari
perspektif otoritasnya, dikenal adanya birokrasi tradisional, birokrasi karismatik, dan birokrasi
legal rasional.
Sumber legitimasi Birokrasi Tradisional adalah waktu, yang bersumber pada established
belief in the sanctity of immerial traditions and the legitimacy of the status of those exercising
under them. Sumber legitimasi Birokrasi Kharismatis, adalah kepribadian yang luar biasa
yang dimiliki pemimpin, dan bersumber pada devotion to the spesific and exemplary
character of an individual person and the normative patterns or orde revealed ordainded by
him.
Birokrasi Legal Rasional bersumber pada aturan aturan yang dibuat untuk mencapai tujuan
tertentu. Oleh karenanya Birokrasi Legal Rasional bersumber pada the legality of patterns of
normative rules and the right of these elevated to authority under such rules to issue
commands. Jenis yang terakhir ini yang menurut Weber (dalam Zauhar, 1996) merupakan
unsur terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan organisasi.
Dari perspektif derajat keterbukaan, Lee (1971) dalam Zauhar (1996) mengklasifikasikan ke
dalam birokrasi terbuka, campuran, dan tertutup. Yang dimaksud birokrasi terbuka, derajat
keterbukaan birokrasi dapat dilihat pada aksesibilitas masyarakat untuk berhubungan dengan
birokrasi, luasnya pelaksanaan recruitment, kebebasan kelompok lain untuk memasuki
jajaran birokrasi tingkat menengah dan tinggi, serta derajat kesediaan birokrasi untuk
mendistribusikan kekuasaannya kepada kelompok lain.
Dalam birokasi tertutup, ditandai dengan adanya ciri yang sangat elitis dikalangan birokrasi
dan mereka menjadi kelas yang memiliki hak privelese tertentu. Untuk bisa masuk ke
birokrasi harus melalui ujian pamong praja dikaitkan dengan lamanya kuliah di perguruan
tinggi. Rotasi antar bagian bisa terjadi, namun tak diikuti dengan pemberian fasilitas.
Kesetiaan para pamong kepada pekerjaannya. Moral mereka sangat tinggi namun
orientasinya menjadi sempit.
Birokrasi campuran, menurut Zauhar (1996) merupakan tipe birokrasi hasil kontak yang
terbatas antara birokrasi dengan masyarakat. Kontak yang agak terbatas tersebut dapat
diawali dengan masuknya individu ke dalam jajaran birokrasi pemerintahan guna mengurangi
kelemahan birokrasi, seperti kekurangmampuan birokrasi lama untuk merencanakan,
statistik, industrialisasi dan lain lain. Keterbatasan itu pula maka terbuka dari masuknya para
ekspert (ahli) baik dari kalangan perguruan tinggi maupun dari luar negeri.
Sementara itu, menurut Hariandja (1999), ada perbedaan yang signifikan antara pandangan
umum tentang birokrasi dalam suatu keseharian dan sudut pandang ilmiah metodologis. Bagi
awam, birokrasi mengingatkan pada struktur yang lamban, kekusutan prosedural, kaku, tidak
efisian dan sebagainya.
Dalam banyak hal “kebenaran umum” (public image) ini tidak sepenuhnya salah.
Berbagai kasus menunjukkan, birokrasi lebih melayani dirinya dan kepentingan kliennya
daripada mendahulukan kepentingan umum. Tidak jarang ia juga menjadi alat politik dari
suatu kekuatan politik tertentu. Hal semacam itu tentu seharusnya tidak terjadi. Karena
penjelasan mengenai birokrasi yang dilakukan secara ilmiah harus mencakup usaha untuk
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 16
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
menguji hubungan administratif dan aparatur manajerial dalam kerangka konteks sosial yang
spesifik, tempat birokrasi dibentuk.
Dengan demikian maka tipologi birokrasi dapat dibedakan menjadi 3, yakni (Zauhar, 1996);
1.Birokrasi Tradisional (bersumber pada Waktu)
2.Birokrasi Kharismatik (bersumber pada kepribadian)
3.Birokrasi Legal-rasional (bersumber pada aturan-aturan yang legal)
Birokrasi yang dapat meningkatkan efisiensi organisasi adalah birokrasi yang legal-rasional.
Karena itu juga disebut sebagai birorasionalitas atau biro-efisiensi. Sedangkan birokrasi yang
tidak mampu meningkatkan efisiensi disebut sebagai biropatologi (Zauhar, 1996).
PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI BIROKRASI
Dalam memahami Birokrasi dapat digunakan 3 Pendekatan (Zauhar, 1996):
1. Birokrasi dipandang sebagai rasionalisme prosedur pemerintahan dan aparat administrasi
publik (Birokrasi Weber). Pemikiran Max Weber yang yelah dikupas tuntas oleh Martin
Albrow menjelaskan bahwa Weber tidak pernah mendefinisikan birokrasi. Biasanya ia telah
diasumsikan membuat definisi tersebut dan kegagalannya untuk membuat demikian
bertentangan dengan usahanya untuk mendefinisikan konsep-konsep analisis organisasi
lain. Memang jelas bahwa Weber tidak menganggap istilah “birokrasi” sebagai bahasa ilmu
sosial.
Apa yang dikerjakannya secara hati-hati adalah merinci segi-segi apa yang dipandangnya
sebagai bentu birokrasi yang paling rasional. Salah satu petunjuk bagi konsep umum
Birokrasi Weber, tampak dalam identifikasinya terhadap jenis birokrasi yang lain terpisah dari
tipe paling rasional.
Inilah Birokrasi Patrimonial. Birokrasi Patrimonial ini berbeda dengan birokrasi rasional
terutama karena para pejabat yang bekerja tidak bebas dibanding orang-orang yang diangkat
secara kontraktual. Weber menemukan contoh-contoh tersebut dalam Imperium Romawi
terakhir, dalam Mesir Kuno dan dalam Imperium Bizantium. Namun demikian, hakekat
gagasan birokrasi patrimonial adalah keberadaan suatu badan. Konsep tentang pejabat
(Beamter) merupakan dasar bagi konsep tentang birokasi. Hal itu diperkuat dengan
seringnya Weber dalam berbagai kesempatan menggunakan breamtentum (staf pegawai)
sebagai suatu alternatif bagi birokrasi (Sarundajang, 2003).
2. Birokasi dipandang sebagai organisasi yang membengkak dan jumlah pegawainya besar
(Parkinson Law). Parkinson Law mengatakan:
a.Setiap Pegawai Negeri akan berusaha sekuat tenaga meningkatkan jumlah pegawai
bawahannya
b.Setiap Pegawai Pegeri akan selalu menciptakan tugas baru bagi dirinya sendiri yang sering
diragukan manfaat dan artinya
c.Karena itu laju birokrasi akan meningkat dan jumlah pegawai akan naik secara otomatis
tidak tergantung dari beban tugas yang diperlukan
1. Birokrasi dipandang sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud
mengontrol kegiatan masyarakat (Orwelisasi).
KARAKTERISTIK IDEAL BIROKRASI
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 17
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
Ilmuwan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan teori birokrasi adalah Max Weber,
seorang sosiolog jerman yang juga ahli hukum.
Weber pernah menulis buku wirtschaft und gesellchaft (teori organisasi sosial dan ekonomi)
yang didalamnya terdapat salah satu bab mengenai birokrasi. Karya itu sampai sekarang
dikenal konsep tipe ideal birokrasi. Konsep tipe ideal ini kurang dikenal tentang kritiknya
terhadap seberapa jauh peran birokrasi terhadap kehidupan politik, atau bagaimana peran
politik terhadap birokrasi. Birokrasi Weberian hanya menekankan bagaimana seharusnya
mesin birokrasi itu secara profesional dan rasional dijalankan.
Menurutnya, birokrasi dan institusi lainnya dapat dilihat sebagai “kehidupan kerja yang rutin”
(routines of workday life). Untuk menyeimbangkan kerja rutin tersebut, ia memperkenalkan
gagasan mengenai “charisma” yang direfleksikan dalam bentuk kepemimpinan yang
kharismatik. Weber mengamati bahwa birokrasi membentuk proses administrasi yang rutin
sama persis dengan mesin pada proses produksi.
Dalam model yang diajukan Weber, birokrasi memiliki karakteristik ideal sebagai berikut
(dalam Islamy, 2003):
1. Pembagian Kerja/ Spesialisasi (division of labor)
Dalam menjalankan berbagai tugasnya, birokrasi membagi kegiatan-kegiatan pemerintahan
menjadi bagian-bagian yang masing-masing terpisah dan memiliki fungsi yang khas.
Pembagian kerja seperti ini memungkinkan terjadinya spesialisasi fungsi. Dengan cara
seperti ini, penugasan spesialis untuk tugas-tugas khusus bisa dilakukan dan setiap mereka
bertanggung jawab atas keberesan pekerjaannya masing-masing.
Aktivitas yang reguler mensyaratkan tujuan organisasi didistribusikan dengan cara yang tetap
dengan tugas-tugas kantor (official duties). Pemisahan tugas secara tegas memungkinkan
untuk memperkerjakan ahli yang terspesialisasi pada setiap posisi dan menyebabkan setiap
orang bertanggungjawab terhadap kinerja yang efektif atas tugas-tugasnya. Karena itu tugas-
tugas birokrasi hendaknya dilakukan oleh masing-masing pegawai yang benar-benar
memiliki keahlian khusus (specialized expert) dan bertanggung jawab demi tercapainya
tujuan organisasi secara efektif dan efisien.
2. Adanya prinsip hierarki wewenang (the principle of hierarchi)
Ciri khas birokrasi adalah adanya wewenang yang disusun secara hierarkis atau berjenjang.
Hierarki itu berbentuk piramid yang memiliki konsekuensi semakin tinggi suatu jenjang berarti
pula semakin besar wewenang yang melekat di dalamnya dan semakin sedikit penghuninya.
Hierarki wewenang ini sekaligus mengindikasikan adanya hierarki tanggung jawab. Dalam
hierarki itu setiap pejabat harus bertanggung jawab kepada atasannya mengenai keputusan-
keputusan dan tindakan-tindakannya sendiri maupun yang dilakukan oleh anak buahnya.
Pada setiap tingkat hierarki, para pejabat birokrasi memiliki hak memberi perintah dan
pengarahan pada bawahannya, dan para bawahan itu berkewajiban untuk mematuhinya.
Sekalipun begitu, ruang lingkup wewenang memberi perintah itu secara jelas dibatasi hanya
pada masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan kegiatan resmi pemerintahan.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 18
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
Organisasi birokrasi mengikuti prinsip hirarki sehingga setiap unit yang lebih rendah berada
dalam pengendalian dan pengawasan organisasi yang lebih tinggi. Setiap pegawai dalam
hirarki administrasi bertanggungjawab kepada atasannya.
Keputusan dan tindakan harus dimintakan persetujuan kepada atasan. Agar dapat
membebankan tanggungjawabnya kepada bawahan, ia memiliki wewenang/ kekuasaan atas
bawahannya sehingga ia mempun¬yai hak untuk mengeluarkan perintah untuk ditaati dan
dilaksanakan oleh bawahan. Meskipun masing-masing pegawai yang berada pada jenjang
mempunyai otoritas-birokratis tetapi penggunaan otoritas tersebut tetap harus relevan
dengan tugas-tugas resmi organisasi.
3. Adanya sistem aturan (system of rules)
Kegiatan pemerintahan diatur oleh suatu sistem aturan main yang abstrak. Aturan main itu
merumuskan lingkup tanggung jawab para pemegang jabatan di berbagai posisi dan
hubungan di antara mereka. Aturan-aturan itu juga menjamin koordinasi berbagai tugas yang
berbeda dan menjamin keseragaman pelaksanaan berbagai kegiatan itu.
Operasi kegiatan dalam birokrasi dilaksanakan berdasarkan sistem aturan yang ditaati
secara konsisten. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin adanya unuformitas kinerja setiap
tugas dan rasa tanggung jawab masing-masing anggota organisasi bagi pelaksanaan
tugasnya.
Sistem yang distandarkan ini dirancang untuk menjamin adanya keseragaman dalam
melaksanakan setiap tugas, tanpa memandang jumlah personil yang melaksanakan dan
koordinasi tugas – tugas yang berbeda-beda. Aturan-aturan yang eksplisit tersebut
menentukan tanggung jawab setiap anggota organisasi dan hubungan diantara mereka,
namun tidak berarti bahwa kewajiban birokrasi sangat mudah dan rutin. Tugas – tugas
birokrasi memiliki kompleksitas yang bervariasi, dari tugas-tugas klerikal yang sifatnya rutin
hingga tugas – tugas yang sulit.
4. Hubungan Impersonal (formalistic impersonality)
Para pejabat birokrasi harus memiliki orientasi impersonal. Mereka harus menghindarkan
pertimbangan pribadi dalam hubungannya dengan bawahannya maupun dengan anggota
masyarakat yang dilayaninya.
merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat (Thoha dalam
Widodo, 2001). Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan
aspirasinya kepada pemerintah.
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan diatas, birokrasi publik harus
dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana,
transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaktif serta sekaligus dapat
membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kepastian individu dan
masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Efendi dalam
Widodo, 2001). Arah pembangunan kualitas manusia tadi merupakan
pemberdayaan akan kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang
memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan
kreatifitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.
Disamping itu semua, Untuk pelaksanan pelayanan publik yang prima telah
ditetapkan prinsip-prinsip pelayanan publik berdasarkan Keputusan Menteri
Negara Pemberdayaan Aparatur Negara : 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, sebagai berikut:
a. Kesederhanaan
Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah
dilaksanakan
b. Kejelasan
1) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik;
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 26
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
c. Kepastian Waktu
Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang
telah ditentukan.
d. Akurasi
Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah.
e. Keamanan
Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian
hukum.
f. Tanggung jawab
Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk
bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian
keluhan/ persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.
Pemberian pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta
memberikan pelayanan dengan ikhlas.
j. Kenyamanan.
Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang
nyaman, bersih rapi, lingkungan yang indah dan sehat lengkap dilengkapi
dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah,
dll.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 28
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
BAB III
PEMBAHASAN
Buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi
Asia. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong
meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi
Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti
dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina,
Vietnam dan India.
Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor
1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk
terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman
dan persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka
masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka
untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat.
Para eksekutif bisnis yang disurvei PERC juga berpendapat, sebagian besar
negara di kawasan Asia masih perlu menekan hambatan birokrasi (red tape barriers).
Mereka juga mencatat beberapa kemajuan, terutama dengan tekanan terhadap
birokrasi untuk melakukan reformasi.
Reformasi menurut temuan PERC terjadi di beberapa negara Asia seperti
Thailand dan Korea Selatan. Peringkat Thailand dan Korea Selatan tahun 2000
membaik, meskipun di bawah rata-rata, yakni masing-masing 6,5 dan 7,5 dari tahun
lalu yang 8,14 dan 8,7. Tahun lalu (1999), hasil penelitian PERC menempatkan
Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan
skor 9,91 untuk korupsi dan 9,09 untuk kroniisme dengan skala penilaian yang sama
antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 29
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
3. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan
program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara
program dan kegiatan pelayanan dengan kcbutuhan dan azpirasi.
Kumorotorno (1996) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam
menilai kirerja organisasi pelayanan publik, antara lain, adalah berikut ini.
a. Efisiensi
Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi
pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi serta
pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis. Apabila diterapkan secar
objektif, kriteria. seperti likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas merupakan
kriteria efisiensi yang sangat relevan.
b. Efektivitas
Apakah tujuan dan didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut
tercapai? Hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan
organisasi, serta fungsi agen pembangunan.
c. Keadilan
keadilan mempertanyakan distnibusi dan alokasi layanan yang
diselenggarakanoieh organisasi pelayanan publik. Kriteria ini erat kaitannya
dengan konsep ketercukupan atau kepantasan. Keduanya mempersoalkan apakah
tingkat efektivitas tertentu, kebutuhan dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat
terpenuhi. Isu-isu yang mnyangkut pemerataan pembangunan, layanan kepada
kelompok pinggiran dan sebagainya, akan mampu dijawab melalui kriteria ini.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 33
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
d. DayaTanggap
Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan awasta,
organisasi pelayanan publik merupakan bagan diri daya tanggap negara atau
pemerintah akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria organisasi
tersebut secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan
demi memenuhi kriteria daya tanggap.
Kinerja itu merupakan suatu konsep yang disusun dan berbagai indikator yang
sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks penggunaannya. Perspektif yang
digunakan oleh birokrasi sebagai pemberi layanan merupakn perspektif yang
sebenarnya berasal dan pendekatan birokrasi yang cenderung menempatkan diri
sebagai regulator danipada sebagai pelayan. Kineqa birokrasi pada awálrwa banyak
dipahanii oleh kalangan birokrasi hanya dan aspek responsibilitas, yakni sejauh mana
pelayanan yang diherikan telah sesuai dengan aturan formal yang diterapkan.
Pemberian pelayanan yang telah menunjuk kepada aturan formal dianggap telah
memenuhi sendi-sendi pelayanan yang baik dan aparat pelayanan dianggap telah
konsisten dalam menerapkan aturan hukum pelayanan. Sulit untuk menelusuri lebih
jauh, apakah penerapan prinsip tersebut telah membawa implikasi kepada kultur
birokrasi pelayanan di Indonesia yang tidak dapat melakukan inisiatif dan inovasi
pelayanan.
4. Akuntabilitas
Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah suatu ukuran
yang menunjukkan beberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan
dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang
diiniliki oleh para stakeholders. Nilai dan norma pelayanan yang herkembang dalam
masyarakat tersebut di antaranya meliputi transparansi pelayanan, prinsip keadilan,
jaminan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan orentasi pelayanan yang
dikembangkan terhadap masyarakat pengguna jasa.
Akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik dalampenelitian dilihat
melalui indikator-indikator kinerja yang meliputi: (1) acuan pelayanan yang
dipergunakan aparat birokrasi dalam proses penyelenggraan pelayanan publik.
Indikator tersebut mencerminkan prinsip orientasi pelayanan yang dikembangkan
oleh birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa; (2) tindakan yang dilakukan oleh
aparat birokrasi apabila terdapat masyarakat pengguna jasa yang tidak memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan; dan (3) dalam menjalankan tugas pelayanan,
seberapa jauh kepentingan pengguna jasa memperoleh prioritas dari aparat birokrasi.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 37
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
Dalam iklim komunikasi pelayanan yng tertutup seperti ini, sangat sulit untuk
dapat mewujudkan responsivitas aparat birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan
kepada publik.
6. Orientasi pada Pelayanan
Orientasi pada pelayanan menunjuk pada seberapa banyak energi birokrasi
dirmanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan publik. Sistem pemberian pelayanan
yang baik dapat dilihat dan besarnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh
birokrasi secara efektif didayagunakan untuk melayani kepentingan pelayanan.
Idealisnya, segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh aparat birokrasi
hanya dicurahkan atau dikonsentrasikat untuk melayani kebutuhan dan kepentingan
pengguna jasa.
Kemampuan dan sumber daya aparat birokrasi sangat diperlukan agar
orientasi pada pelayanan dapat dicapai. Contohnya, antara lain, adalah masalah
penyediaan waktu kerja aparat yang benar-benar berorientasi pada pemberian
pelayanan kepada masyarakat. Aparat birokrasi yang ideal adalah aparat birokrasi
yang tidak dibebani oleh tugas-tugas kantor lain di luar tugas pelayanan kepada
masyarakat.
Aparat pelayanan yang ideal juga seharusnya tidak memiliki kegiatan atau
pekerjaan lain seperti pekerjaan sambilan di luar pekerjaan kantor yang dapat
mengganggu tugas-tugas penyelenggaraan pelayanan. Kinerja pelayanan aparat
birokrasi akan dapat maksimal apabila bila semua waktu dan konsentrasi aparat
benar-benar tercurah untuk melayani masyarakat pengguna jasa.
Kondisi pelayanan yang ideal di atas dalam realitasnya sangat sulit untuk
diwujudkan dalam birokrasi. Ketidakjelasan pembagian wewenang, inkonsistensi
pembagian kerja, serta sikap pimpinan kantor yang sewenang-wenang memberikan
tugas kepada aparat bawahan tanpa memperhitungkan aspek sifat pekerjaan, urgensi
pekerjaan, dan dampak pemberian tugas terhadap kualitas pemberian pelayanan
kepada masyarakat.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 42
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
BAB 1V
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Perlu dibangun birokrasi berkultur dan struktur rasional-egaliter, bukan
irasional-hirarkis. Caranya dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar
sehat dan mengunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Perlunya memiliki semangat
pioner, bukan memelihara budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan
mencari cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatif dan
proaktif, cerdas membaca keadaan kebutuhan publik, memandang semua orang
sederajat di muka hukum, menghargai prinsip kesederajatan kemanusian, setiap orang
yang berurusan diperlakukan dengan sama pentingnya.
Birokrasi yang propartisipan-outonomus bukan komando-hirarkis. Birokrasi
Indonesia ke depan perlu mendukung dan melakukan peran pemberdayaan dan
memerdekakan masyarakat untuk berkarya dan berkreatifitas. Perlu dikurangi kadar
pengawasan dan represi terhadap hak ekspresi masyarakat. Perlu ditinggalkan cara-
cara penguasaan masyarakat lewat kooptasi kelembagaan dan dihindari sikap
dominasi.
Birokrasi bertindak profesional terhadap publik. Berperan menjadi pelayan
masyarakat (public servent). Dalam memberikan pelayanan ada transparansi biaya
dan tidak terjadi pungutan liar. PNS perleu memberikan informasi dan transparansi
sebagai hak masyarakat dan bisa dimintai pertanggungjawabannya (public
accountibility) lewat dengar pendapat (hearing) dengan legislatif atau kelompok
kepentingan yang datang. Melakukan pemberdayaan publik dan mendukung
terbangunnya proses demokratisasi.
Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam meningkatkan kualitas dan
kuantitas dalam melayani publik secara kompetitif, bukan minta dilayani atau
membebani masyarakat dengan pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 49
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
4.2 SARAN
7. Untuk memperbaiki pola penyelenggaran dapat dilakukan dengan menetapkan
standar pelayanan, pengembangan Standard Operating Procedures,
pengembangan survei kepuasan pelanggan, pengembangan sistem pengelolaan
pengaduan, maupun pengembangan model-model pelayanan publik bekerja sama
dengan pihak swasta.
8. Perlunya bimbingan dan pelatihan kepada aparat penyelenggara pelayanan
publik agar dapat bertindak professional, memiliki kompetensi, empati, dan etika
yang memadai. Juga perlu dipertimbangkan kompensasi yang tepat bagi aparat
penyelenggara pelayanan publik agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
9. Perlunya restrukturisasi birokrasi yang dapat memangkas kompleksitas
pelayanan publik menjadi lebih sederhana sekaligus memberantas KKN.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 50
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)
DAFTAR PUSTAKA
Osborne, David, dan Ted Gaebler, 1992, Reinventing Government : How tha
Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, Addison-
Wesley.