Anda di halaman 1dari 50

PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 1

(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia yang berdasarkan pada Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 j.o Undang-Undang No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah merupakan landasan bagi pemerintah daerah dalam menjalankan roda
pemeritahan daerahnya sendiri. Otonomi daerah menciptakan ruang gerak yang
lebih bebas dalam membuat kebijakan dan peraturan daerah yang melibatkan pihak-
pihak terkait yang sesuai dengan pemahaman dan kebutuhan masyarakat masing-
masing daerah tersebut. Dengan otonomi daerah diharapkan terjadi peningkatan
pelayanan publik sekaligus memperbaiki kesejahteraan hidup masyarakat.
Desentralisasi jika dilihat dari latar belakang sejarahnya bermuara pada
peningkatan kualitas pelayanan publik. Artinya hakekat dari desentralisasi adalah
pelayanan. Dorongan atas pelaksanaan desentralisasi, muncul sebagai dampak dari
adanya tuntutan akan perlunya percepatan pelayanan yang harus dilakukan oleh
pemerintah kepada masyarakat.
Untuk menjawab tuntutan ini maka penyerahan pemberian layanan kepada
lembaga yang terdekat dengan masyarakat, yang secara hirarkis adalah penyerahan
peran pemberian layanan publik kepada lembaga pemerintah dibawahnya adalah hal
mutlak dilakukan.
Hal tersebut sejalan dan sesuai dengan tujuan otonomi daerah berdasarkan
penjelasan umum (butir a) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yaitu untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 2
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Menurut Ryaas Rasyid (1997) bahwa kalau kita percaya pemerintahan


dibentuk untuk menjaga suatu sistem ketertiban, dan bahwa pemerintah
bertanggung jawab memberi pelayanan kepada masyarakat, bukan untuk melayani
dirinya sendiri, maka kita akan mudah menerima asumsi bahwa pemerintahan yang
baik adalah yang dekat kepada masyarakat. Asumsinya, kalau pemerintahan berada
dalam jangkauan masyarakat maka pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat,
hemat, murah, responsif, akomodatif, inovatif, dan produktif.
Kondisi pelayanan publik di Indonesia masih diwarnai oleh prosedur yang
berbelit-belit, akses yang sulit, biaya yang tidak transparan, waktu penyelesaian
yang tidak jelas dan banyaknya praktek pungutan liar dan suap yang tidak jelas.
Pelayanan publik dikantor pemerintahan di Indonesia masih terbilang buruk,
berdasarkan hasil survei yang dilakukan Bank Dunia dari 157 negara, Indonesia
berada di urutan 135 dalam kualitas pelayanan publiknya.
S.P. Siangian (1996 : 39), mengatakan bahwa untuk memahami beberapa
masalah yang sering menjadi keluhan publik terkait pelayanan birokrasi
pemerintahan oleh aparat, diantaranya dapat disebutkan:
1. Memperlambat proses penyelesaian pemberian izin;
2. Mencari berbagai dalih, seperti kekurang lengkapan dokumen pendukung,
keterlambatan pengajuan permohonan, dan dalih lain yang sejenis;
3. Alasan kesibukan melaksanakan tugas lain;
4. Sulit dihubungi;
5. Senangtiasa memperlambat dengan menggunakan kata-kata “sedang
diperoses”.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 3
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Kita semua menyadari bahwa pelayanan publik selama ini bagaikan rimba
raya bagi banyak orang. Amat sulit untuk memahami pelayanan yang
diselenggarakan oleh birokrasi publik. Masyarakat pengguna jasa sering dihadapkan
pada begitu banyaknya ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan yang
namanya birokrasi. Amat sulit memperkirakan kapan pelayanan ini itu bisa
diperolehnya. Begitu pula dengan sebarapa besar dana yang perlu disiapkan dalam
pengurusan-pengurusan yang berkaitan dengan pelayanan birokrasi. Baik harga
maupun waktu seringkali tidak bisa terjangkau dengan masyarakat sehingga banyak
orang yang kemudian enggan berurusan dengan birokrasi publik.
Pelayanan publik di Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat. Pelayanan
publik pada umumnya masih menunjukkan ketidakpastian. Ketidakpastian harga,
prosedur, maupun waktu. Pengurusan perizinan menjadi molor, ditambah lagi
pungutan liar disana-sini. Konsekwensinya secara ekonomis, timbul biaya ekonomi
yang tinggi. Sedangkan pelayanan publik sudah merupakan hak setiap warga negara
yang wajib dipenuhi karenanya negara berkewajiban menyelenggarakan sejumlah
pelayanan guna memenuhi hak-hak dasar warganya yang dijamin oleh konstitusi
dalam hal ini Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik.
Semuanya itu berdampak pada rendahnya daya saing Indonesia dibanding
negara-negara berkembang lainnya. Kondisi ini terjadi karena organ pelayanan
publik tidak pernah menyadari hal tersebut, yang diperparah lagi dengan korupsi
yang mengerogoti, sehingga kualitas pelayanan publik di Indonesia jauh dari
harapan warga. Organ pelayanan publik mancakup sumbar daya manusianya,
lembaga yang memberikan pelayanan, dan proses tata laksana pelayanan yang tidak
dijalankan sesuai dengan peraturan atau ketentuan yang berlaku.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 4
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

BAB II

2.1 PENGERTIAN BIROKRASI


Sejauh ini, birokrasi menunjuk pada empat pengertian, yaitu: Pertama,
menunjuk pada kelompok pranata atau lembaga tertentu. Pengertian ini menyamakan
birokrasi dengan biro. Kedua, menunjuk pada metode khusus untuk pengalokasian
sumberdaya dalam suatu organisasi besar. Pengertian ini berpadanan dengan istilah
pengambilan keputusan birokratis. Ketiga, menunjuk pada “kebiroan” atau mutu yang
membedakan antara biro-biro dengan jenis-jenis organisasi lain. Pengertian ini lebih
menunjuk pada sifat-sifat statis organisasi (Downs, 1967 dalam Thoha, 2003).
Keempat, sebagai kelompok orang, yakni orang-orang yang digaji yang berfungsi
dalam pemerintahan (Castle, Suyatno, dan Nurhadiantomo, 1983).
Dalam kehidupan sehari-hari istilah Birokrasi setidak-tidaknya dimaknai
sebagai berikut (Albrow dalam Zauhar, 1996):
1. Bureaucracy as Rational Organization
Birokasi sebagai Organisasi Rasional. Dalam pengertian ini birokrasi
dimaknai sebagai suatu organisasi yang rasional dalam melaksanakan setiap
aktivitasnya. Setiap tindakan birokrasi hendaknya mengacu pada
pertimbangan-pertimbangan rasional.
2. Bureaucracy as Rule by Official
Birokrasi sebagai Aturan yang dijalankan oleh para pejabat. Birokrasi
merupakan seperangkat aturan yang dijalankan oleh para pejabat dalam
rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aturan-aturan itu dibuat
guna mempermudah proses pelayanan publik. Namun pada kenyataannya
aturan tersebut sering disalahgunakn demi kepentingan pejabat yang
bersangkutan. Akibatnya masyarakat menjadi antipati dengan berbagai aturan
yang dibuat oleh pejabat publik dan cenderung tidak ditaati.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 5
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Bureaucracy as Organizational Ineficiency


Birokrasi sebagai Pemborosan yang dilakukan oleh organisasi. Pemborosan
(ineficiency) yang dimaksudkan adalah pemborosan dalam segi waktu, tenaga,
finansial maupun sumber daya lainnya. Seringkali niat baik birokrasi untuk
memberikan layanan yang efisien justru berbalik menjadi layanan yang tidak efisien
dan mengecewakan masyarakat.
Karena itu masyarakat menjadi apatis terhadap berbagai slogan efisiensi yang
disampaikan oleh aparat birokrasi. Semangat debirokratisasi menjadi tidak bermakna
karena tidak diimbangi dengan sikap dan perilaku para pejabat yang tidak konsisten
dan konsekuen dengan pernyataannya. Birokrasi justru dianggap sebagai tempat
bersarangnya berbagai penyakit organisasi modern seperti pembengkakan pegawai,
biaya tinggi dan sulit beradaptasi dengan lingkungannya.
1. Bureaucracy as Public Administration
Birokrasi sebagai Administrasi Publik. Birokrasi dalam hal ini disama artikan
dengan administrasi publik. Administrasi Publik adalah proses pengelolaan
sumber daya publik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat.
Birokrasi adalah unsur pelaksana dari administrasi publik agar tujuan
pelayanan kepada masyarakat tercapai secara efektif, efisien dan rasional.
2. Bureaucracy as Administration by Officials
Birokrasi sebagai Administrasi yang dilaksanakan oleh para pegawai. Dalam
hal ini pemahaman terhadap makna birokrasi hampir sama dengan
bureaucracy as rule by official dan bureaucracy as public administration.
3. Bureaucracy as the Organization
Birokrasi sebagai Organisasi. Organisasi yang dimaksudkan adalah organisasi
memiliki struktur dan aturan-aturan yang jelas dan formal. Organisasi
merupakan suatu sistem kerjasama yang melibatkan banyak orang, dimana
setiap orang mempunyai peran dan fungsi serta tugas yang saling mendukung
demi tercapainya tujuan organisasi.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 6
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Organisasi sebagai sistem kerjasama berarti: (a) sistem mengenai pekerjaan-


pekerjaan yang dirumuskan secara baik, dimana masing-masing mengandung
wewenang, tugas dan tanggung jawab yang memungkinkan setiap orang dapat
bekerjasama secara efektif; (b) sistem penugasan pekerjaan kepada orang-orang
berdasarkan kekhususan bidang kerja masing-masing; (c) sistem yang terencana dari
suatu bentuk kerjasama yang memberikan peran tertentu untuk dilaksanakan kepada
anggotanya.
1. Bureaucracy as Modern Society
Birokrasi merupakan ciri dari masyarakat modern. Bagi masyarakat modern
keberaturan merupakan sebuah kemestian. Keberaturan itu dapat dicapai jika
dilaksanakan oleh suatu institusi formal yang dapat mengendalikan perilaku
menyimpang masyarakat. Institusi formal itu adalah birokrasi.
Secara etimologi Birokrasi berasal dari istilah ‘buralist’ yang dikembangkan
oleh Reiheer von Stein pada 1821, kemudian menjadi ‘bureaucracy’ yang
akhir-akhir ini ditandai dengan cara-cara kerja yang rasional, impersoal dan
leglistik (Thoha, 1995 dalam Hariyoso, 2002).
Birokrasi menurut Evers dalam Zauhar (1996) dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga kategori yaitu:
a. Birokrasi dipandang sebagai rasionalisme prosedur pemerintahan dan aparat
administrasi publik. Makna ini adalah sejalan dengan ide Weber tentang
birokrasi, dan oleh Evers dinamakan Birokrasi Weber (BW).
b. Birokrasi dipandang sebagai bentuk organisasi yang membengkak dan jumlah
pegawai yang besar. Konsep inilah yang sering disebut Parkinson Law.
c. Birokrasi dipandang sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud
mengontrol kegiatan masyarakat. Oleh Evers (dalam Zauhar) disebut
Orwelisasi.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 7
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Dengan demikian maka Istilah Birokrasi dalam masyarakat dimaknai secara


diametral (bertentangan satu sama lain yang tidak mungkin mencapai titik temu):
1. Secara Positif: Birokrasi sebagai alat yang efisien dan efektif untuk mencapai
tujuan tertentu. Dengan adanya alat yang efisien dan efektif ini maka tujuan
suatu organisasi (privat maupun publik) lebih mudah tercapai.
2. Secara Negatif: Birokrasi sebagai alat untuk memperoleh, mempertahankan
dan melaksanakan kekuasaan. Birokrasi adalah sesuatu yang penuh dengan
kekakuan (inflexibility) dan kemandegan struktural (structural static), tatacara
yang berlebihan (ritualism) dan penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat
pengabaian (alienation) serta otomatis (automatism) dan menutup diri
terhadap perbedaan pendapat (constrain of dissent).

Birokrasi seperti ini menurut Marx bersifat parasitik dan eksploitatif.


Dengan demikian maka Birokrasi dapat juga dimaknai sebagai suatu sistem kerja
yang berlaku dalam suatu organisasi (baik publik maupun swasta) yang mengatur
secara ke dalam maupun keluar.
Mengatur ke dalam berarti berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut
hubungan atau interaksi antara manusia dalam organisasi juga antara manusia dengan
sumber daya organisasi lainnya. Sedangkan mengatur keluar berarti berhubungan
dengan interaksi antara organisasi dengan pihak lain baik dengan lembaga lain
maupun dengan individu-individu.
Konsep birokrasi sesungguhnya berupaya mengaplikasikan prinsip-prinsip
organisasi yang dimaksudkan untuk memperbaiki efisiensi administrasi, meskipun
birokrasi yang keterlaluan seringkali justru menimbulkan efek yang tidak baik.
Mouzelis menambahkan bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional,
struktur organisasi dan proses berdasar pengetahuan teknis dan dengan efisiensi yang
setinggi-tingginya.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 8
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Di samping diberikan makna yang cukup positif tersebut, birokrasi juga sering
dimaknai secara negatif. Dalam perspektif yang negatif ini birokrasi dimaknai sebagai
sebagai suatu proses yang berbelit-belit, waktu yang lama, biaya yang mahal dan
menimbulkan keluh kesah yang pada akhirnya ada anggapan bahwa birokrasi itu
tidak efisien dan bahkan tidak adil.
Biasanya masalah administrasi yang kompleks dan ruwet terdapat pada organisasi
besar, seperti organisasi pemerintahan. Akan tetapi, sebenarnya birokrasi tidak
dibatasi hanya pada institusi sektor publik saja. Serikat Dagang, Universitas, dan
LSM merupakan contoh birokrasi di luar pemerintah.
Berikut ini adalah beberapa pengertian birokrasi dalam pandangan beberapa pakar:
1. Max Weber
Weber menulis banyak sekali tentang kedudukan pejabat dalam
masyarakat modern. Baginya kedudukan pejabat merupakan tipe penanan
sosial yang makin penting. Ciri-ciri yang berbeda dari peranan ini ialah:
pertama, seseorang memiliki tugas-tugas khusus untuk dilakukan. Kedua,
bahwa fasilitas dan sumber-sumber yang diperlukan untuk memenuhi tugas-
tugas itu diberikan oleh orang orang lain, bukan oleh pemegang peranan itu.
Dalam hal ini, pejabat memiki posisi yang sama dengan pekerja pabrik,
sedang Weber secara modern mengartikannya sebagai individu dari alat-alat
produksi.
Tetapi pejabat memiliki ciri yang membedakannya dengan pekerja: ia
memiliki otoritas. Karena pejabat memiliki otoritas dan pada saat yang sama
inilah sumbangannya, ia berlaku hampir tanpa penjelasan bahwa suatu jabatan
tercakup dalam administrasi (setiap bentuk otoritas mengekspresikan dirinya
sendiri dan fungsinya sebagai administrasi). Bagi Weber membicarakan
pejabat-pejabat administrasi adalah bertele-tele.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 9
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Meskipun demikian konsep tersebut muncul pertama kalinya. Perwira


Tentara, Pendeta, Manajer Pabrik semuanya adalah pejabat yang
menghabiskan waktunya untuk menginterpretasikan dan memindahkan
instruksi tertulis. Ciri pokok pejabat birokrasi adalah orang yang diangkat,
bukan dipilih. Dengan menyatakan hal ini Weber telah hampir sampai pada
definisi umumnya yang dikenakan terhadap birokrasi.
Weber memandang Birokrasi sebagai birokrasi rasional atau ideal
sebagai unsur pokok dalam rasionalisasi dunia modern, yang baginya jauh
lebih penting dari seluruh proses sosial (Sarundajang, 2003).
1. Farel Heady (1989):
Birokrasi adalah struktur tertentu yang memiliki karakteristik tertentu:
hierarki, diferensiasi dan kualifikasi atau kompetensi. Hierarkhi bekaitan
dengan struktur jabatan yang mengakibatkan perbedaan tugas dan wewenang
antar anggota organisasi. Diferensisasi yang dimaksud adalah perbedaan tugas
dan wewenang antar anggota organisasi birokrasi dalam mencapai tujuan.
Sedangkan kualifikasi atau kompetensi maksudnya adalah seorang birokrat
hendaknya orang yang memiliki kualifikasi atau kompetensi yang diperlukan
untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya secara profesional. Dalam hal
ini seorang birokrat bukanlah orang yang tidak tahu menahu tentang tugas dan
wewenangnya, melainkan orang yang sangat profesional dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya tersebut.
2. Hegel:
Birokrasi adalah institusi yang menduduki posisi organiik yang netral di
dalam struktur sosial dan berfungsi sebagai penghubung antara negara yang
memanifestasikan kepentingan umum, dan masyarakat sipil yang mewakili
kepentingan khusus dalam masyarakat. Hegel melihat, bahwa birokrasi
merupakan jembatan yang dibuat untuk menghubungkan antara kepentingan
masyarakat dan kepentingan negara yang dalam saat-saat tertentu berbeda.
Oleh sebab itu peran birokrasi menjadi sangat strategis dalam rangka
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 10
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

menyatukan persepsi dan perspektif antara negara (pemerintah) dan


masyarakat sehingga tidak terjadi kekacauan.
3. Karl Marx
Birokrasi adalah Organisasi yang bersifat Parasitik dan Eksploitatif. Birokrasi
merupakan Instrumen bagi kelas yang berkuasa untuk mengekploitasi kelas
sosial yang lain (yang dikuasai). Birokrasi berfungsi untuk mempertahankan
privilage dan status quo bagi kepentingan kelas kapitalis. Dalam pandangan
Marx yang berbeda dengan Hegel, birokrasi merupakan sistem yang
diciptakan oleh kalangan atas (the have) untuk memperdayai kalangan bawah
(the have not) demi mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan mereka
sendiri. Dalam hal ini birokrasi menjadi kambing hitam bagi kesalahan
penguasa terhadap rakyatnya. Segenap kesalahan penguasa akhirnya tertumpu
pada birokrasi yang sebenarnya hanya menjadi alat saja.
4. Blau dan Meyer
Birokrasi adalah sesuatu yang penuh dengan kekakuan (inflexibility) dan
kemandegan struktural (structural static), tata cara yang berlebihan (ritualism)
dan penyimpangan sasaran (pervesion goals), sifat pengabaian (alienation)
serta otomatis (automatism) dan menutup diri terhadap perbedaan pendapat
(constrain of dissent). Dengan demikian Blau dan Meyer melihat bahwa
birokrasi adalah sesuatu yang negatif yang hanya akan menjadi masalah bagi
masyarakat.
5. Yahya Muhaimin
keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas
membantu pemerintah (untuk memberikan pelayanan publik) dan menerima
gaji dari pemerintah karena statusnya itu.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 11
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

2.2 Konsep Perilaku Birokrasi


Keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik ikut ditentukan oleh
perilaku aparatnya dalam mengemban misi sebagai pelayan masyarakat, namun
dalam kenyataannya pelaksanaan pelayanan publik belum optimal karena tidak
tersedianya aparat pelayanan yang profesional, berdedikasi, akuntabel dan
responsif serta loyal terhadap tugas dan kewajibannya sebagai abdi negara dan
pelayan masyarakat. Perilaku birokrasi baik yang membangun citra pelayanan
publik berkualitas prima maupun yang berperilaku sebaliknya, tampaknya tidak
terlepas dari keterkaitannya dengan nilai-nilai budaya lokal yang dianut oleh setiap
individu birokrat.
Perilaku birokrasi timbul sebagai akibat interaksi antara karakteristik
individu dengan karakteristik birokrasi. Karakteristik individual mencakup
persepsi, pengambilan keputusan pribadi, pembelajaran dan motivasi (Robbins,
2003:31). Menurut Thoha (2002) bahwa karakteristik individual meliputi
kemampuan, kebutuhan, kepercayaan, pengalaman, dan pengharapan. Perbedaan
karakteristik individu tersebut menyebabkan perbedaan perilaku mereka. Setiap
individu mempunyai karakteristik yang berbeda. Mereka mempunyai nilai,
kepercayaan, motivasi, dan kemampuan yang berbeda. Perbedaan tersebut
menyebabkan perbedaan perilaku mereka. Namun demikian ikatan utama yang
menyatukan perilaku mereka adalah tujuan organisasi. Hal ini penting mengingat
perilaku mengarah kepada tujuan organisasi.
Organisasi birokrasi sebagai wadah untuk mencapai tujuan pelayanan dan
perlindungan masyarakat mempunyai karakteristik adanya hirarki, tugas,
wewenang, tanggungjawab, sistem reward, dan sistem kontrol (Thoha, 2002).
Menurut Lubis & Martani (1987), dan Robbins (2003), karakteristik birokrasi
mencakup speselisasi, departementalisasi, rantai komando, rentang kendali,
sentralisasi dan desentralisasi dan formalisasi. Dengan karakteristik yang
dimilikinya, birokrasi dapat mengelola fungsi-fungsi organisasi dalam mencapai
tujuannya.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 12
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Oleh karena itu menurut Gibson (1989), struktur organisasi mempengaruhi


perilaku manusia yang mengendalikan organisasi. Adapun Robbins (2003)
menjelaskan bahwa perilaku mengarah kepada pencapaian tujuan dalam
organisasi. Salah satu fungsi birokrasi pemerintah yang utama adalah
menyelenggarakan pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum
pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Birokrasi merupakan
instrumen pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang efisien, efektif,
berkeadilan, transparan dan akuntabel. Hal ini berarti bahwa untuk mampu
melaksanakan fungsi pemerintah dengan baik, maka organisasi birokrasi harus
profesional, tanggap, dan aspiratif terhadap berbagai tuntutan dan kebutuhan akan
pelayanan kepada masyarakat. Seiring dengan hal tersebut, pembinaan aparatur
negara (aparatur birokrasi) harus dilakukan secara terus-menerus agar dapat
menjadi alat yang efisien dan efektif, bersih dan berwibawa, sehingga mampu
menjalankan tugas-tugas umum pemerintahan, menggerakkan pembangunan
secara lancar dan penyelenggaraan pelayanan umum (masyarakat) dengan
dilandasi semangat dan sikap pengabdian kepada masyarakat.
Kajian lain menjelaskan, kepuasan kerja, desain pekerjaan berpengaruh
terhadap kinerja pegawai yang rendah sehingga membentuk perilaku birokrasi
tradisional (Parhusip, 2006). Berdasarkan hal tersebut, ada beberapa alasan
mengapa penelitian ini penting; (1) kinerja birokrasi dalam pengelolaan sektor
publik belum optimal, dimana kritik dan komplain masyarakat terhadap birokrasi
masih cukup signifikan pada pemerintah (2) Peran birokrasi masih menonjol dan
dominan dalam pengelolaan sektor publik. Oleh karena itu, ekspektasi masyarakat
terhadap kinerja birokrasi cukup tinggi; (3) Salah satu aspek yang sangat
menentukan kinerja birokrasi adalah aspek perilaku yang mempengaruhi baik dan
buruknya penampilan birokrasi. Saat ini perilaku birokrasi lebih dikesankan
sebagai perilaku yang menyimpang dari tugas dan fungsi birokrasi sebagai
perumusan kebijakan, pemberdayaan dan pelayanan kepada masyarakat.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 13
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Maka ketika berbicara masalah pola perilaku birokrasi Davis (1985), yaitu
perilaku otokratik, perilaku kustodial, perilaku suportif dan perilaku kolegial.
Perilaku otokratik dan perilaku kustodial termasuk kategori perilaku yang
tradisional dimana setiap birokrat hanya berorientasi kekuasaan, otoritas, dan
kewenangan, pemenuhan kebutuhan pokok serta mengeksplorasi sumber daya
ekonomi organisasi untuk diri dan kelompoknya. Perilaku suportif dan kolegial
termasuk kategori perilaku birokrasi modern dimana setiap individu memberi
dukungan yang tinggi terhadap pencapaian tujuan dan sasaran organisasi, serta
organisasi memberi penghargaan yang tinggi pula terhadap kinerja birokrat.
Karakteristik Birokrat Manusia yang terlibat dalam suatu organisasi
merupakan individu-individu yang memiliki karakteristik khas yang melekat
dalam dirinya. Siagian (1997) memandang bahwa karakteristik khas yang dibawa
manusia dalam organisasi inilah yang akan membentuk perilaku administrasinya.
Perilaku individu yang tercermin dalam tabiat dan sifat merupakan pencerminan
dari kepribadian individu. Dalam hal ini, setidaknya terdapat 4 (empat) faktor
pembentuk perilaku seseorang, yaitu: (a) faktor genetik, (b) faktor pendidikan, (c)
faktor lingkungan, dan (d) faktor pengalaman. Dengan hanya mempertimbangkan
faktor dalam diri manusia, Supriatna (2000), mengemukakan bahwa terdapat 4
(empat) faktor yang membentuk tingkah laku seseorang yaitu: (a) pengamatan
(persepsi), (b) sikap, (c) nilai, dan (d) motivasi. Faktor-faktor tersebut dapat
membentuk efektifitas seseorang atau karyanya.
Selanjutnya, efektifitas (karya), kepuasan kerja dan motivasi dipengaruhi
rancangan kerja (job design) yang meliputi struktur kerja, tugas dan kewajiban.
Sejalan dengan pendapat Supriatna di atas, Bryant dan White (1989) selain
mengidentifikasi faktor dari dalam diri individu juga mengungkapkan faktor
lingkungan organisasi dalam model sosial-psikologis.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 14
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Bryant dan White (1989), mengatakan bahwa setidaknya terdapat 8


(delapan) determinan utama penyebab perilaku manusia, yaitu: (a) nilai-nilai, (b)
emosi, (c) sikap-sikap, (d) struktur sosial, (e) peran dalam organisas, (f) teknologi,
(g) peristiwa atau kejadian tertentu, dan (h) lingkungan baik berupa lingkungan
sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Sedangkan dalam model rasional,
motivasi merupakan faktor utama yang mempengaruhi individu dalam berperilaku
dalam organisasi.
Studi sistematis yang dilakukan oleh (Robbins:2003:31) menunjukkan
bahwa ada enam variabel tingkat individual yang mempengaruhi perilaku individu,
yaitu 1) karakteristik biologis (seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan dan
masa kerja), 2) kemampuan, 3) pembelajaran, 4) persepsi, 5) pengambilan
keputusan pribadi, dan 6) motivasi. Pandangan yang senada juga dikemukakan
oleh Kretner dan Kinicki (2005) dimana perilaku individu dipengaruhi oleh
kepribadian, sikap, kemampuan, motivasi dan persepsi. Masih sejalan dengan itu,
Thoha (2002) menambahkan aspek kepercayaan, pengalaman dan pengharapan.
Karakteristik individual ini saling memberi konstribusi terhadap timbulnya
perilaku seseorang. Perbedaan perilaku disebabkan perbedaan masing-masing
faktor yang ada pada diri seseorang. Berdasarkan uraian tentang karakteristikl
yang mempengaruhi perilaku individu, maka dapat digarisbawahi bahwa faktor
pembentuk utama perilaku individu adalah sikap, kemampuan dan motivasi. Tiga
faktor ini menjadi kunci terhadap terbentuknya perilaku individu dalam organisasi.
Beberapa konsep perilaku individu seperti yang didiskusikan di atas memasukkan
faktor kemampuan, sikap, dan motivasi seperti yang dikemukakan oleh Thoha
(2002), Robbins (2003), Kreitner dan Kinicki (2005) serta Bryant dan White
(1989).

TIPOLOGI BIROKRASI PUBLIK


PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 15
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Tipologi birokrasi dapat dilihat dari berbagai aspek. Menurut Zauhar (1996) dilihat dari
perspektif otoritasnya, dikenal adanya birokrasi tradisional, birokrasi karismatik, dan birokrasi
legal rasional.
Sumber legitimasi Birokrasi Tradisional adalah waktu, yang bersumber pada established
belief in the sanctity of immerial traditions and the legitimacy of the status of those exercising
under them. Sumber legitimasi Birokrasi Kharismatis, adalah kepribadian yang luar biasa
yang dimiliki pemimpin, dan bersumber pada devotion to the spesific and exemplary
character of an individual person and the normative patterns or orde revealed ordainded by
him.
Birokrasi Legal Rasional bersumber pada aturan aturan yang dibuat untuk mencapai tujuan
tertentu. Oleh karenanya Birokrasi Legal Rasional bersumber pada the legality of patterns of
normative rules and the right of these elevated to authority under such rules to issue
commands. Jenis yang terakhir ini yang menurut Weber (dalam Zauhar, 1996) merupakan
unsur terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan organisasi.
Dari perspektif derajat keterbukaan, Lee (1971) dalam Zauhar (1996) mengklasifikasikan ke
dalam birokrasi terbuka, campuran, dan tertutup. Yang dimaksud birokrasi terbuka, derajat
keterbukaan birokrasi dapat dilihat pada aksesibilitas masyarakat untuk berhubungan dengan
birokrasi, luasnya pelaksanaan recruitment, kebebasan kelompok lain untuk memasuki
jajaran birokrasi tingkat menengah dan tinggi, serta derajat kesediaan birokrasi untuk
mendistribusikan kekuasaannya kepada kelompok lain.
Dalam birokasi tertutup, ditandai dengan adanya ciri yang sangat elitis dikalangan birokrasi
dan mereka menjadi kelas yang memiliki hak privelese tertentu. Untuk bisa masuk ke
birokrasi harus melalui ujian pamong praja dikaitkan dengan lamanya kuliah di perguruan
tinggi. Rotasi antar bagian bisa terjadi, namun tak diikuti dengan pemberian fasilitas.
Kesetiaan para pamong kepada pekerjaannya. Moral mereka sangat tinggi namun
orientasinya menjadi sempit.
Birokrasi campuran, menurut Zauhar (1996) merupakan tipe birokrasi hasil kontak yang
terbatas antara birokrasi dengan masyarakat. Kontak yang agak terbatas tersebut dapat
diawali dengan masuknya individu ke dalam jajaran birokrasi pemerintahan guna mengurangi
kelemahan birokrasi, seperti kekurangmampuan birokrasi lama untuk merencanakan,
statistik, industrialisasi dan lain lain. Keterbatasan itu pula maka terbuka dari masuknya para
ekspert (ahli) baik dari kalangan perguruan tinggi maupun dari luar negeri.
Sementara itu, menurut Hariandja (1999), ada perbedaan yang signifikan antara pandangan
umum tentang birokrasi dalam suatu keseharian dan sudut pandang ilmiah metodologis. Bagi
awam, birokrasi mengingatkan pada struktur yang lamban, kekusutan prosedural, kaku, tidak
efisian dan sebagainya.
Dalam banyak hal “kebenaran umum” (public image) ini tidak sepenuhnya salah.
Berbagai kasus menunjukkan, birokrasi lebih melayani dirinya dan kepentingan kliennya
daripada mendahulukan kepentingan umum. Tidak jarang ia juga menjadi alat politik dari
suatu kekuatan politik tertentu. Hal semacam itu tentu seharusnya tidak terjadi. Karena
penjelasan mengenai birokrasi yang dilakukan secara ilmiah harus mencakup usaha untuk
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 16
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

menguji hubungan administratif dan aparatur manajerial dalam kerangka konteks sosial yang
spesifik, tempat birokrasi dibentuk.
Dengan demikian maka tipologi birokrasi dapat dibedakan menjadi 3, yakni (Zauhar, 1996);
1.Birokrasi Tradisional (bersumber pada Waktu)
2.Birokrasi Kharismatik (bersumber pada kepribadian)
3.Birokrasi Legal-rasional (bersumber pada aturan-aturan yang legal)
Birokrasi yang dapat meningkatkan efisiensi organisasi adalah birokrasi yang legal-rasional.
Karena itu juga disebut sebagai birorasionalitas atau biro-efisiensi. Sedangkan birokrasi yang
tidak mampu meningkatkan efisiensi disebut sebagai biropatologi (Zauhar, 1996).
PENDEKATAN DALAM MEMAHAMI BIROKRASI
Dalam memahami Birokrasi dapat digunakan 3 Pendekatan (Zauhar, 1996):
1. Birokrasi dipandang sebagai rasionalisme prosedur pemerintahan dan aparat administrasi
publik (Birokrasi Weber). Pemikiran Max Weber yang yelah dikupas tuntas oleh Martin
Albrow menjelaskan bahwa Weber tidak pernah mendefinisikan birokrasi. Biasanya ia telah
diasumsikan membuat definisi tersebut dan kegagalannya untuk membuat demikian
bertentangan dengan usahanya untuk mendefinisikan konsep-konsep analisis organisasi
lain. Memang jelas bahwa Weber tidak menganggap istilah “birokrasi” sebagai bahasa ilmu
sosial.
Apa yang dikerjakannya secara hati-hati adalah merinci segi-segi apa yang dipandangnya
sebagai bentu birokrasi yang paling rasional. Salah satu petunjuk bagi konsep umum
Birokrasi Weber, tampak dalam identifikasinya terhadap jenis birokrasi yang lain terpisah dari
tipe paling rasional.
Inilah Birokrasi Patrimonial. Birokrasi Patrimonial ini berbeda dengan birokrasi rasional
terutama karena para pejabat yang bekerja tidak bebas dibanding orang-orang yang diangkat
secara kontraktual. Weber menemukan contoh-contoh tersebut dalam Imperium Romawi
terakhir, dalam Mesir Kuno dan dalam Imperium Bizantium. Namun demikian, hakekat
gagasan birokrasi patrimonial adalah keberadaan suatu badan. Konsep tentang pejabat
(Beamter) merupakan dasar bagi konsep tentang birokasi. Hal itu diperkuat dengan
seringnya Weber dalam berbagai kesempatan menggunakan breamtentum (staf pegawai)
sebagai suatu alternatif bagi birokrasi (Sarundajang, 2003).
2. Birokasi dipandang sebagai organisasi yang membengkak dan jumlah pegawainya besar
(Parkinson Law). Parkinson Law mengatakan:
a.Setiap Pegawai Negeri akan berusaha sekuat tenaga meningkatkan jumlah pegawai
bawahannya
b.Setiap Pegawai Pegeri akan selalu menciptakan tugas baru bagi dirinya sendiri yang sering
diragukan manfaat dan artinya
c.Karena itu laju birokrasi akan meningkat dan jumlah pegawai akan naik secara otomatis
tidak tergantung dari beban tugas yang diperlukan
1. Birokrasi dipandang sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud
mengontrol kegiatan masyarakat (Orwelisasi).
KARAKTERISTIK IDEAL BIROKRASI
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 17
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Ilmuwan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan teori birokrasi adalah Max Weber,
seorang sosiolog jerman yang juga ahli hukum.
Weber pernah menulis buku wirtschaft und gesellchaft (teori organisasi sosial dan ekonomi)
yang didalamnya terdapat salah satu bab mengenai birokrasi. Karya itu sampai sekarang
dikenal konsep tipe ideal birokrasi. Konsep tipe ideal ini kurang dikenal tentang kritiknya
terhadap seberapa jauh peran birokrasi terhadap kehidupan politik, atau bagaimana peran
politik terhadap birokrasi. Birokrasi Weberian hanya menekankan bagaimana seharusnya
mesin birokrasi itu secara profesional dan rasional dijalankan.
Menurutnya, birokrasi dan institusi lainnya dapat dilihat sebagai “kehidupan kerja yang rutin”
(routines of workday life). Untuk menyeimbangkan kerja rutin tersebut, ia memperkenalkan
gagasan mengenai “charisma” yang direfleksikan dalam bentuk kepemimpinan yang
kharismatik. Weber mengamati bahwa birokrasi membentuk proses administrasi yang rutin
sama persis dengan mesin pada proses produksi.
Dalam model yang diajukan Weber, birokrasi memiliki karakteristik ideal sebagai berikut
(dalam Islamy, 2003):
1. Pembagian Kerja/ Spesialisasi (division of labor)
Dalam menjalankan berbagai tugasnya, birokrasi membagi kegiatan-kegiatan pemerintahan
menjadi bagian-bagian yang masing-masing terpisah dan memiliki fungsi yang khas.
Pembagian kerja seperti ini memungkinkan terjadinya spesialisasi fungsi. Dengan cara
seperti ini, penugasan spesialis untuk tugas-tugas khusus bisa dilakukan dan setiap mereka
bertanggung jawab atas keberesan pekerjaannya masing-masing.
Aktivitas yang reguler mensyaratkan tujuan organisasi didistribusikan dengan cara yang tetap
dengan tugas-tugas kantor (official duties). Pemisahan tugas secara tegas memungkinkan
untuk memperkerjakan ahli yang terspesialisasi pada setiap posisi dan menyebabkan setiap
orang bertanggungjawab terhadap kinerja yang efektif atas tugas-tugasnya. Karena itu tugas-
tugas birokrasi hendaknya dilakukan oleh masing-masing pegawai yang benar-benar
memiliki keahlian khusus (specialized expert) dan bertanggung jawab demi tercapainya
tujuan organisasi secara efektif dan efisien.
2. Adanya prinsip hierarki wewenang (the principle of hierarchi)
Ciri khas birokrasi adalah adanya wewenang yang disusun secara hierarkis atau berjenjang.
Hierarki itu berbentuk piramid yang memiliki konsekuensi semakin tinggi suatu jenjang berarti
pula semakin besar wewenang yang melekat di dalamnya dan semakin sedikit penghuninya.
Hierarki wewenang ini sekaligus mengindikasikan adanya hierarki tanggung jawab. Dalam
hierarki itu setiap pejabat harus bertanggung jawab kepada atasannya mengenai keputusan-
keputusan dan tindakan-tindakannya sendiri maupun yang dilakukan oleh anak buahnya.
Pada setiap tingkat hierarki, para pejabat birokrasi memiliki hak memberi perintah dan
pengarahan pada bawahannya, dan para bawahan itu berkewajiban untuk mematuhinya.
Sekalipun begitu, ruang lingkup wewenang memberi perintah itu secara jelas dibatasi hanya
pada masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan kegiatan resmi pemerintahan.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 18
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Organisasi birokrasi mengikuti prinsip hirarki sehingga setiap unit yang lebih rendah berada
dalam pengendalian dan pengawasan organisasi yang lebih tinggi. Setiap pegawai dalam
hirarki administrasi bertanggungjawab kepada atasannya.
Keputusan dan tindakan harus dimintakan persetujuan kepada atasan. Agar dapat
membebankan tanggungjawabnya kepada bawahan, ia memiliki wewenang/ kekuasaan atas
bawahannya sehingga ia mempun¬yai hak untuk mengeluarkan perintah untuk ditaati dan
dilaksanakan oleh bawahan. Meskipun masing-masing pegawai yang berada pada jenjang
mempunyai otoritas-birokratis tetapi penggunaan otoritas tersebut tetap harus relevan
dengan tugas-tugas resmi organisasi.
3. Adanya sistem aturan (system of rules)
Kegiatan pemerintahan diatur oleh suatu sistem aturan main yang abstrak. Aturan main itu
merumuskan lingkup tanggung jawab para pemegang jabatan di berbagai posisi dan
hubungan di antara mereka. Aturan-aturan itu juga menjamin koordinasi berbagai tugas yang
berbeda dan menjamin keseragaman pelaksanaan berbagai kegiatan itu.
Operasi kegiatan dalam birokrasi dilaksanakan berdasarkan sistem aturan yang ditaati
secara konsisten. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin adanya unuformitas kinerja setiap
tugas dan rasa tanggung jawab masing-masing anggota organisasi bagi pelaksanaan
tugasnya.
Sistem yang distandarkan ini dirancang untuk menjamin adanya keseragaman dalam
melaksanakan setiap tugas, tanpa memandang jumlah personil yang melaksanakan dan
koordinasi tugas – tugas yang berbeda-beda. Aturan-aturan yang eksplisit tersebut
menentukan tanggung jawab setiap anggota organisasi dan hubungan diantara mereka,
namun tidak berarti bahwa kewajiban birokrasi sangat mudah dan rutin. Tugas – tugas
birokrasi memiliki kompleksitas yang bervariasi, dari tugas-tugas klerikal yang sifatnya rutin
hingga tugas – tugas yang sulit.
4. Hubungan Impersonal (formalistic impersonality)
Para pejabat birokrasi harus memiliki orientasi impersonal. Mereka harus menghindarkan
pertimbangan pribadi dalam hubungannya dengan bawahannya maupun dengan anggota
masyarakat yang dilayaninya.

2.1. Pelayanan Publik


Pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia
tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani
masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai
tujuan bersama. Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab
untuk memberikan layanan baik dan profesional.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 19
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Esensi kepemerintahan yang baik dicirikan dengan terselenggaranya


pelayanan publik yang baik, sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah
mengatur masyarakat setempat dan meningkatkan pelayanan publik. Pelayanan
publik (public services) oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan
dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat disamping sebagai abdi
negara. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik dimaksudkan
untuk mensejahterakan masyarakat.
Dalam konteks pelayanan publik, dikemukakan bahwa pelayanan umum
adalah mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik,
mempersingkat waktu pelaksanaan urusan publik dan memberikan kepuasan
kepada publik (publik=umum). Senada dengan itu, Moenir (1992) mengemukakan
bahwa pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan
metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan
haknya.
Pelayanan publik diartikan, pemberian layanan (malayani) keperluan orang
atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan
aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan (Kurniawan dalam Sinambela.
LP, 2008). Selanjutnya menurut Kepmenpan No. 63/KEP/M.PAN/7.2003,
pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima
pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.
Sedangkan pelayanan umum menurut Lambaga Administrasi Negara (1998)
mengartikan pelayanan publik merupakan segala benuk kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh instansi pemerintahan di pusat dan daerah, dan di lingkungan
BUMN atau BUMD dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam pemenuhan
kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan Perundang-
undangan. Dari beberapa pengertian pelayanan publik yang telah diuraikan, dala
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 20
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

konteks pemerintahan daerah, pelayanan publik dapat disimpulkan sebagai


pemberian layanan atau melayani keperluan orang atau masyarakat dan/atau
organisasi lain yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu, sesuai dengan
aturan pokok dan tata cara yang ditentukan dan ditujukan untuk memberikan
kepuasan kepada penerima pelayanan.
Dalam modul pelayanan publik yang disusun oleh Depdagri dan LAN
(2007) dijelaskan terdapat tiga unsur penting dalam pelayanan publik, yaitu:
1. Organisasi pemberi (penyelenggara) pelayanan yaitu pemerintah daerah,
2. Penerima pelayanan (masyarakat) yaitu orang atau masyarakat atau
organisasi yang berkepentingan,
3. Kepuasan yang diberikan dan/atau diterima oleh penerima layanan
(masyarakat).
Unsur yang pertama menunjukan bahwa pemerintah daerah memiliki posisi
kuat sebagai (regulator) dan sebagai pemegang monopoli layanan dan menjadi
pemerintah daerah yang bersikap statis dalam memberika layanan, karena
layanannya memang dibutuhkan atau diperlukan oleh orang atau masyarakat atau
organisasi yang berkepentingan.
Unsur kedua, adalah masyarakat atau organisasi yang berkepentingan atau
memerlukan layanan (penerima layanan), pada dasarnya tidak memiliki daya tawar
atau tidak dalam posisi yang setara untuk menerima layanan sehingga tidak
memilikiakses untuk mendapatkan pelayanan yang baik.

Unsur ketiga merupakan kepuasan masyarakat menerima layanan yang


menjadi perhatian penyelenggara pelayanan (pemerintah). Hal ini untuk
menetapkan arah kebijakan pelayanan publik yang berorientasi untuk memuaskan
masyarakat, dan dilakukan melalui upaya memperbaiki dan meningkatkan kinerja
manajemen pemerintahan daerah.
Sementara itu kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan
yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik,
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 21
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat (Thoha dalam
Widodo, 2001). Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan
aspirasinya kepada pemerintah.
Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan diatas, birokrasi publik harus
dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana,
transparan, terbuka, tepat waktu, responsif dan adaktif serta sekaligus dapat
membangun kualitas manusia dalam arti meningkatkan kepastian individu dan
masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri (Efendi dalam
Widodo, 2001). Arah pembangunan kualitas manusia tadi merupakan
pemberdayaan akan kapasitas manusia dalam arti menciptakan kondisi yang
memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan
kreatifitasnya untuk mengatur dan menentukan masa depannya sendiri.

Pelayanan publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian kegiatan yang bersifat


sederhana, terbuka, tepat, lengkap wajardan terjangkau (Sedaryanti, 2004). Dalam
keputusan Menpan No. 81 Tahun 1993 ditegaskan, bahwa penyelenggaraan
layanan publik harus mengandung unsur-unsur :
1. Hak dan kewajiban bagi pemberi layanan maupun penerima layanan umum
harus jelas dan diketahui secara pasti masing-masing.
2. Pengaturan setiap bentuk pelayanan umu harus disesuaikan dengan kondisi
kebutuhan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan ketentuan
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 22
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

perundang-undangan yang berlaku dan tetap berpegang pada efisiensi dan


efektivitas.
3. Mutu proses dan hasil pelayanan umum harus diupayakan agar memberi
keamanan, kenyamanan, kelancaran dan kepastian hukum yang dapat
dipertanggung jawabkan.
4. Apabila pelayanan umum yang diselenggarakan oleh instasi pemerintah yang
bersangkutan berkewajiaban memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut
menyelenggarakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam keputusan Menpan tersebut juga ditegaskan, bahwa pemberian
layanan umum kepada masyarakat merupakan perwujudan dari fungsi aparatur
negara sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, sehingga penyelenggaraannya
perlu ditingkatkan secara terus-menerus sesuai dengan sasaran pembangunan.
Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis diatas, birokrasi
publik dituntut harus dapat posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan
pelayanan publik. Dari yang suka mengatur dan memerintah berubah menjadi suka
melayani, dari yang suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi
suka menolong menuju ke arah yang fleksibel kolabiratis dan dialogis dan dari
cara-cara sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik dan pragmatis (Thoha
dalam Widodo, 2001). Dengan revitalitas birokrasi publik yang lebih baik dan
profesional dalam menjalankan apa yang menjadi tugas dan kewenangan yang
diberikan kepadanya dapat terwujud.
Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh
pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayanan masyarakat
(public services functions), fungsi pembangunan (development function) dan
fungsi perlindungan (protection functions).
Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintahan kepada masyarakat
sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai pelayan
masyarakat. Karena itu, kedudukan aparatur pemerintahan dalam pelayanan umum
(public services) sangat strategis karena akan sangat menentukan sejauhmana
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 23
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

pemerintah mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat,


yang dengan demikian akan menentukan sejauhmana negara telah menjalankan
perannya dengan baik sesuai dengn tujuan pendiriannya.
Dengan demikian akan dilakukan penilaian tentang sama tidaknya antara
harapan dan kenyataan didalam pengurusan sesuatu yang berhubungan dengan
pelayanan publik, apabila ditemukan ketidak samaan maka pemerintah diharapkan
mampu mengoreksi keadaan agar lebih teliti dalam meningkatkan kualitas
pelayanan publik. Selanjutnya dipertanyakan apakah terhadap kehendak
masyarakat, seperti ketentuan biaya yang tepat, waktu yang diperhitungkan dan
mutu yang dituntut masyarakat telah dapat terpenuhi. Andaikata tidak terpenuhi,
pemerintah diharapkan mengkoreksi keadaan, sedangkan apabila terpenuhi
dilanjutkan pada pertanyaan berikutnya, tentang informasi yang diterima
masyarakat berkenaan dengan situasi dan kondisi, serta aturan yang
melengkapinya.
Ketika berbicara tentang pelayanan publik jelas bahawa hal yang perlu di
siapkan oleh aparat pemerintah adalah bagaimana tercipta pelayanan yang prima.
Pelayanan prima merupakan suatu rangkaian kata yang mana terdiri atas dua kata,
pelayanan dan prima. Pelayanan sendiri merupakan suatu usaha untuk membantu
menyiapakan apa yang diperlukan atau dibutuhkan oleh orang lain, sedangkan
prima merupakan suatu kata yang berarti terbaik, bermutu dan bermanfaat.
Jadi kalau kedua kata tersebut dirangkai maka dapat mengandung arti yang
merupakan pelayanan terbaik yang diberikan sesuai dengan standar mutu yang
mana dapat memuaskan dan sesuai denagan apa yang diharapkan atau melebihi
dengan apa yang di harapkan oleh konsumen dalam hal ini masyarakat sebagai
pengguna jasa layanan.
Dalam mengembangkan pelayanan prima, pemerintah harus mempunyai
standar pelayanan publik. Standar pelayanan publik sendiri merupakan suatu tolok
ukur yang dapat digunakan sebagairujukan mutu pelayanan yanga akan diberikan
atau dijanajikan kepada pelanggang atau orang lain atau masyarakat. Hal tersebut
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 24
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

dapat menaruh perhatian tentang bagaimana mekanisme pelayanan yang baik


harus dilakukan dan merupakan yang terbaik diberikan kepada pelanggang-
pelanggang.
Salah satu juga yang harus diperhatikan dalam menjanagkan pelayanan
prima adalah prinsip dalam pelaksanaan pelayanan prima yaitu, fokus pada
pelanggang, pelayanan nurani, perbaikan yang berkelanjutan serta pemberdayaan
pelanggang. Adapun standar pelayanan yang dimaksud adalah, sebagai berikut :
Standar Pelayanan Prima ( SPP )
a) Tempat khusus pelayanan;
1. menyediakan loket dengan memilih tempat yang strategis (mudah dilihat
pemohon)
2. Disediakan ruang tunggu yang bersih, aman dan nyaman
3. Disediakan formulir permohonan beserta contoh pengisiannya.
4. Disediakan flow chart/alur pengurusan
5. Ada daftar rincian biaya ddan waktu penyelesaian pengurusan
6. Disediakan nomor urut antrian
7. Ada toilet
8. Adanya kursi / tempat duduk yang cukup
9. Adanya tingkatan beberapa pelayanan dalam satu loket
10. Dilengkapi televisi
b) Petugas Pelayanan;
1. Memiliki kompetensi dibidangnya
2. Akomodatif
3. Responsive
4. Komunikatif
5. beretika ( sopan, Ramah/murah senyum )
6. Transparan, jujur, akuntabel
7. Berpenampilan menarik
8. Adil/merata tidak membedakan siapa dia pemohon
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 25
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

9. Selalu berusaha meningkatkan kemudahan


10. Cekatan
c) Kualitas produk pelayanan;
1. penerapan teknologi komputerisasi
2. produk sesuai yang dibutuhkan pemohon
3. ada jaminan hukum
4. biaya sesuai ketentuan
5. ketepatan waktu penyelesaian
6. informasi produk layanan online
7. akurat
8. sederhana
9. mudah
10. puas.

Disamping itu semua, Untuk pelaksanan pelayanan publik yang prima telah
ditetapkan prinsip-prinsip pelayanan publik berdasarkan Keputusan Menteri
Negara Pemberdayaan Aparatur Negara : 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, sebagai berikut:
a. Kesederhanaan
Prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah
dilaksanakan
b. Kejelasan
1) Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik;
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 26
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

2) Unit kerja / pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam


memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan / persoalan / sengketa
dalam pelaksanaan pelayanan publik.
3) Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.

c. Kepastian Waktu
Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang
telah ditentukan.
d. Akurasi
Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah.
e. Keamanan
Proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian
hukum.
f. Tanggung jawab
Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk
bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian
keluhan/ persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.

g. Kelengkapan sarana dan prasarana


Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung
lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi
telekomunikasi dan informatika (telematika).
h. Kemudahan akses
Temapt dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau
olah masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan
telematika
i. Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 27
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Pemberian pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta
memberikan pelayanan dengan ikhlas.
j. Kenyamanan.
Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang
nyaman, bersih rapi, lingkungan yang indah dan sehat lengkap dilengkapi
dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah,
dll.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 28
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

BAB III
PEMBAHASAN

Buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi
Asia. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong
meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi
Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti
dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding keadaan Cina,
Vietnam dan India.
Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor
1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk
terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman
dan persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka
masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka
untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat.
Para eksekutif bisnis yang disurvei PERC juga berpendapat, sebagian besar
negara di kawasan Asia masih perlu menekan hambatan birokrasi (red tape barriers).
Mereka juga mencatat beberapa kemajuan, terutama dengan tekanan terhadap
birokrasi untuk melakukan reformasi.
Reformasi menurut temuan PERC terjadi di beberapa negara Asia seperti
Thailand dan Korea Selatan. Peringkat Thailand dan Korea Selatan tahun 2000
membaik, meskipun di bawah rata-rata, yakni masing-masing 6,5 dan 7,5 dari tahun
lalu yang 8,14 dan 8,7. Tahun lalu (1999), hasil penelitian PERC menempatkan
Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi dan sarat kroniisme dengan
skor 9,91 untuk korupsi dan 9,09 untuk kroniisme dengan skala penilaian yang sama
antara nol yang terbaik hingga sepuluh yang terburuk.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 29
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Informasi mengenai kinerja birokrasi publik terjadi karena kinerja belum


dianggap sebagai suatu hal yang penting oleh penierintah. Tidak tersedianya
informasi mengenai indikator kinerja birokrasi publik menjadi bukti dan
ketidakseriusan pemerintah untuk menjadikan kinerja pelayanan publik sebagai
agenda kebijakan yang penting. Kinerja pejabat birokrasi tidak pernah menjadi
pertimbangan yang penting dalam mempromosikan pejabat birokrasi. Daftar
penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP3) yang selama ini dipergunakan untuk menilai
kinerja pejabat birokrasi sangat jauh relevansinya dengan indikator-indikator kinerja
yang sebenarnya.
Akibatnya, para pejabat birokrasi tidak memiliki insentif untuk menunjukkan
kinerja sehingga kinerja birokrasi cenderung menjadi amat rendah.Pemerintah
terhadap birokrasi seringkali tidak ada hubungannya dengan kinerJà birokasinya.
misalnya, dalam menentukan anggaran birokrasinya, pemerintah sama sekali idak
mengaitkan anggaran dengan kinerja birokrasi. Anggaran birokrasi publik selama ini
lebih didasarkan atas input, bukan cutput. Anggaran yang ditcrima oleh sebuah
birokrasi publik lebih ditentukan oleh kebutuhan, bukan oleh hasil yangakan
diberikan oleh birokrasi itu pada masyarakatnya.
Akibatnya, dorongan untuk mewujudkan hasil dan kinerja cenderung rendah
dalam kehidupan birokrasi publik.Karena anggaran sening menjadi driving force dari
perilaku birokrasi dan para pejabatnya, mengaitkan anggaran yang ditçnirna oleh
sebuah birokrasi publik dengan hasil atau kinerja bisa menjadi salah satu faktor yang
mendorong perbaikan kinerja birokrasi publik. Para pejabat birokrasi yang ingin
memperoleh anggaran yang besar menjadi terdorong untuk menunjukkan kmerja
yang balk. Kalau ini dapat dilakukan, data dan informasi mengenai kinerja birokrasi
publik niscaya akan tersedia sehingga penilaian kinerja birokrasi publik juga menjadi
lebih mudah dilakukan.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 30
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Faktor lain yang menyebabkan terbatasnya informasi mengenai kinerja


birokrasi publik adalah kompleksitas indikator kinerja yang biasanya digunakan
untuk mengukur kinerja birokrasi publik. Berbeda dengan swasta yang indikator
kinerjanya relatif sederhana dan tersedia di pasar, indikator kinerja birokrasi sering
sangat kompleks. Hal ini terjadi karena birokrasi publik memiliki stakeholders yang
sangat banyak dan memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Perusahaan bisnis
memiliki stakeholders yang jauh lebih sedikit, pemilik dan konsumen, dan
kepentingannya relatif mudah dintegrasikan. Kepentingan utarna peinilik perusahaan
ialah selalu memperoleh keuntungan, sedangkan kepentingan utama konsuuen
biasanya adalait kualitas produk dan harga yang terjangkau.
Stakeholders dan birokrasi publik, seperti masyarakat pengguna jasa, aktivis
sosial dan partai, wartawan, dan para penggusaha sering berkepentingan berbeda-
beda dan berusaha mendesakkan kepentingannya agar diperhatikan oleh birokrasi
publik. Penilaian kinerja birokrasi publik karenanya cenderung menjadi jauh lebih
kompleks dan sulit dilakukan daripada di perusahaan bisnis.
Penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan
menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi itu seperti efisiensi dan
efektivitias, tetapi harus dilihat juga dan indikator-indikator yang melekat pada
pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas, dan responsivitas.
Penilaian kinerja dan sisi pengguna jasa menjadi sangat penting karena birokrasi
publik seringkali memiliki kewenangan monopolis sehingga para pengguna jasa tidak
memiliki alternatif sumber pelayanan.
Dalam pelayanan yang diselenggarakan oleh pasar, yang pengguna jasa
memiliki pilihan sumber pelayanan, penggunaan pelayanan bisa mencerminkan
kepuasan terhadap memberi layanan. Dalam pelayanan oleh birokrasi publik,
penggunaan pelayanan oleh publik sering tidak ada hubungannya sama sekali dengan
kepuasannya terhadap pelayanan. Kesulitan lain dalam menilai kinerja birokrasi
publik muncul karena tujuan dan misi birokrasi publik seringkali bukan hanya sangat
kabur, tetapi juga bersifat multidimensional.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 31
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Kenyataan bahwa birokrasi publik mernililki stakeholders yang banyak dan


meimilih kepentingan yang sering berbenturan satu dengan lainnya membuat
birokrasi publik mengalaini kesulitan untuk merumuskan inisi yang jelas. Akibatnya,
ukuran kinerja organisasi publik di mata para stakeholders juga berbedabeda. Namun,
ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi
publik (Dwiyanto, 1995), yaitu sebagai berikut.
1. Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga
efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahaini sebagai rasio antara
input dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian
General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran
produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik
itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.
2. Kualitas Layanan
Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam
menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang
terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat
terhadap kualitas layanan yang diterima dan organisasi publik. Dengan deinikian,
kepuasaan masyarakat terh.dap Lyanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi
publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator
kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat seringkali tersedia secara
mudah dan murah.
Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas pelayanan seringkali dapat
diperoleh dan media massa atau diskusi pubilk. Akibat akses terhadap informasi
mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan relatif sangat tinggi, maka
bisa menjadi satu ukuran kinerja organisasi publik yang mudah dan murah
dipergunakan. Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja
organisasi publik.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 32
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

3. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan
program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara
program dan kegiatan pelayanan dengan kcbutuhan dan azpirasi.
Kumorotorno (1996) menggunakan beberapa kriteria untuk dijadikan pedoman dalam
menilai kirerja organisasi pelayanan publik, antara lain, adalah berikut ini.
a. Efisiensi
Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi
pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi serta
pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis. Apabila diterapkan secar
objektif, kriteria. seperti likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas merupakan
kriteria efisiensi yang sangat relevan.
b. Efektivitas
Apakah tujuan dan didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut
tercapai? Hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan
organisasi, serta fungsi agen pembangunan.
c. Keadilan
keadilan mempertanyakan distnibusi dan alokasi layanan yang
diselenggarakanoieh organisasi pelayanan publik. Kriteria ini erat kaitannya
dengan konsep ketercukupan atau kepantasan. Keduanya mempersoalkan apakah
tingkat efektivitas tertentu, kebutuhan dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat
terpenuhi. Isu-isu yang mnyangkut pemerataan pembangunan, layanan kepada
kelompok pinggiran dan sebagainya, akan mampu dijawab melalui kriteria ini.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 33
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

d. DayaTanggap
Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan awasta,
organisasi pelayanan publik merupakan bagan diri daya tanggap negara atau
pemerintah akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria organisasi
tersebut secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan
demi memenuhi kriteria daya tanggap.

Salim & Woodward (1992) melihat kinerja berdasarkan pertimbangan-


pertimbangan ekonomi, efisiensi, efektivitas, dan persamaan pelayanan. Aspek
ekonorni alam kinerja diartikan sebagai strategi untuk menggunakan sumber daya
yang senunimal mungkin dalam proses penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik.
Efisiensi kinerja pelayanan publik juga dilihat untuk menunjuk suatu kondisi
tercapainya perbandingan terbaik/proporsional antara input pelayanan dengan output
pelayanan.
Demikian pula, aspek efektivitas kinerja pelayanan ialah untuk melihat
tercapainya pemenuhan tujuan atau target pelayanan yang telah ditentukan. Prinsip
keadilan dalam pemberian pelayanan publik juga dilihat sebagai ukuran untuk
menilai seberapa jauh suatu ventuk pelayanan telah memperhatikan aspek-aspek
keadilan dan membuat publik memiliki akses yang sama terhadap sistem pelayanan
yang ditawarkan.
Zeithaini, Parasuraman, dan Berry (1990) mengemukakan bahwa kinerja
pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui berbagai indikator yang sifatnya
fisik. Penyelenggaraan pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui aspek fisik
pelayanan yang diberikan, seperti tersedianya gedung pelayanan yang representatif,
fasilitas pelayanan berupa televisi, ruang tunggu yang nyaman, peralatan pendukung
yang memiliki teknologi canggih, misalnya komputer, penampilan aparat yang
menarik di mata pengguna jasa, seperti seragam dan aksesoris, serta berbagai fasilitas
kantor pelayanan yang memudahkan akses pelayanan bagi masyarakat.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 34
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Berbagai perspektif dalam melihat kinerja pelayanan publik di atas


memperlihatkan bahwa indikator-indikator yang dipergunakan untuk menyusun
kinerja pelayanan publik ternyata sangat bervariasi. Secara garis besar, berbagai
parameter yang dipergunakan untuk melihat kinerja pelayanan publik dapat
dikelompokkan menjadi dua pendekatan. Pendekatan pertama melihat kinerja
pelayanan publik dan perspektif pemberi layanan, dan pendekatan kedua melihat
kinerja pelayanan publik dan perspektif pengguna jasa.
Pembagian pendekatan atau perspektif dalam nielihat kinerja pelayanan publik
tersebut hendaknya tidak dilihat secara diametrik, melainkan tetap dipahami sebagai
suatu sudut pandang yang saling berinteraksi di antara keduanya; Hal tersebut
disebabkan dalam melihat persoalan kinerja pelayanan publik, terdapat berbagai
faktor yang mempengaruhinya secara timbal balik, terutama pengaruh interaksi
lingkungan yang dapat mempengaruhi cara pandang birokrasi terhadap publik,
demikian pula sebaliknya.
Dalam konteks kinerja birokrasi pelayanan publik di Indonesia, pemerintah
melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Nomor 81
lahun 1995 telah memberikan berbagai rambu-rambu pemberian pelayanan kepada
birokrasi publik secara baik. Berbagai prmsip pelayanan, seperti kesederhanaan,
kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonoinis, dan keadilan yang
merata merupakan prinsip-prinsip pelayanan yang harus diakomodasi dalam
pemberian pelayanan publik di Indonesia.
Prinsip kesederhanaan, misalnya, mempunyai maksud banwa prosedur atau tata
cara pemberian pelayanan publik harus didesain sedemikian rupa sehingga
penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat menjadi mudah, lancar, cepat, tidak
berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan.
Perkembangan lingkungan global juga telah memberikan andil yang besar kepada
birokrasi untuk semakin meningkatkan daya saing dalam kerangka pasar bebas dan
tuntutan globatisasi.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 35
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Birokrasi publik dituntut harus mampu memberikan pelayanan yang sebaik


mungkin, baik kepada publik maupun kepada investor dari negara lain. Salah satu
strategi untuk merespons perkembangan global tersebut adalah dengan meningkatkan
kapasitas birokrasi dalam pemberian pelayanan, publik. Penerapan strategi yang
mengintegrasikan pendekatan kultural dan struktural ke dalam sistem pelayanan
birokrasi, yang disebut dengan Total Quality Management (TQM), dapat dilakukan
untuk semakin meningkatkan produktivitas dan perbaikan pelayanan birokrasi.
Perbaikan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik menjadi isu yang
semakin penting untuk segera mendapatkan perhatian dan semua pihak. Birokrasi
yang memiliki kinerja buruk dalam me’nberikan pelaydnan kepada publik akan
sangat mempengaruhi kinerja pemerintah dan masyarakat secara keseluruan dalam
rangka meningkatkan daya saing suatu negara pada era global.
Birokrasi pelayanan publik di Indonesia, berdasarkan laporan dan The World
Competitiveness Yearbook tahun 1999 berada pada kelompok negara-negara yang
memiliki indeks competitiveness paling rendah di antara 100 negara paling kompetitif
di dunia (Cullen & Cushman, 2000: 15) semakin buruk dan semakin korup karena
dengan semakin besarnya skor yang dimiliki, semakin buruk kualitas birokrasi di
suatu negara.
Birokrasi di Indonesia dalam tahun 2001 hanya lebih baik dibandingkan dengan
India dan Vietnam. Dan kacamata iklim bisnis secara keseluruhan, dengan
mmperhatikan faktor sistemik, sosio-politik, lingkungan, pasar, dan dinamika
perekonomian, Indonesia bahkan berada pada posisi paling bawah dalam indeks
bisnis. Hal tersebut berarti bahwa Indonesi menjadi negara yang paling tidak menarik
untuk tujuan melakukan investasi.
Kinerja birokrasi sebenarnya dapat dilihat melalui berbagai dimensi, seperti
dimensi akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, responsivitas, maupun responsibiltas.
Berbagai literatur yang membahas kinerja birokrasi pada dasarnya memiliki
kesamaan substansial yakni untuk meihat seberapa jauh tingkat pencapaian hasil yang
telah dilakukan oleh birokrasi pelayanan.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 36
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Kinerja itu merupakan suatu konsep yang disusun dan berbagai indikator yang
sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks penggunaannya. Perspektif yang
digunakan oleh birokrasi sebagai pemberi layanan merupakn perspektif yang
sebenarnya berasal dan pendekatan birokrasi yang cenderung menempatkan diri
sebagai regulator danipada sebagai pelayan. Kineqa birokrasi pada awálrwa banyak
dipahanii oleh kalangan birokrasi hanya dan aspek responsibilitas, yakni sejauh mana
pelayanan yang diherikan telah sesuai dengan aturan formal yang diterapkan.
Pemberian pelayanan yang telah menunjuk kepada aturan formal dianggap telah
memenuhi sendi-sendi pelayanan yang baik dan aparat pelayanan dianggap telah
konsisten dalam menerapkan aturan hukum pelayanan. Sulit untuk menelusuri lebih
jauh, apakah penerapan prinsip tersebut telah membawa implikasi kepada kultur
birokrasi pelayanan di Indonesia yang tidak dapat melakukan inisiatif dan inovasi
pelayanan.
4. Akuntabilitas
Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah suatu ukuran
yang menunjukkan beberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan
dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang
diiniliki oleh para stakeholders. Nilai dan norma pelayanan yang herkembang dalam
masyarakat tersebut di antaranya meliputi transparansi pelayanan, prinsip keadilan,
jaminan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan orentasi pelayanan yang
dikembangkan terhadap masyarakat pengguna jasa.
Akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik dalampenelitian dilihat
melalui indikator-indikator kinerja yang meliputi: (1) acuan pelayanan yang
dipergunakan aparat birokrasi dalam proses penyelenggraan pelayanan publik.
Indikator tersebut mencerminkan prinsip orientasi pelayanan yang dikembangkan
oleh birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa; (2) tindakan yang dilakukan oleh
aparat birokrasi apabila terdapat masyarakat pengguna jasa yang tidak memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan; dan (3) dalam menjalankan tugas pelayanan,
seberapa jauh kepentingan pengguna jasa memperoleh prioritas dari aparat birokrasi.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 37
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan publik seringkali masih


menerapkan standar nilai atau norma pelayanan secara sepihak, seperti pemberian
pelayanan yang hanya berdasarkan pada juklak (petunjuk dan pelaksanaan) sehingga
kecenderungan yang terjadi adalah lemahnya komitmen aparat birokrasi untuk
akuntabel terhadap masyarakat yang dilayaninya.
Salah satu faktor penyebab yang menjadikan rendahnya tingkat akuntabilitas
birokrasi adalah terlalu amanya proses indoktrinasi kultur birokrasi yang
mengarahkan aparat birokrasi untuk selalu melihat ke atas. Selama ini aparat
birokrasi telah terbiasa lebih mementingkan kepentingan pimpinan daripada
kepentingan masyarakat pengguna jasa. Birokrasi tidak pernah merasa bertanggung
jawab kepada publik, melainkan bertanggung jawab kepada pimpinan atau atasannya.
Pemberian pelayanan yang memakan proses dan prosedur panjang, seperti
yang terjadi di Unit Pelayanan Terpadu, juga menjadi indikasi masih rendahnya
akuntabiltas dan birokrasi pelayanan yang ada. Keberadaan Unit Pelayanan Terpadu
Satu Atap (UPTSA) sebagai unit pelayanan yang pada sawadaya dirancang untuk
memudahkan pelayanan masyarakat, pada kenyataannya justru cenderung
memperpanjang proses dan prosedur pelayanan.
Meskipun demikian, keberadaannya masih tetap dipertahankan karena
merupakan program dari Pemerintah Pusat. Seorang aparat birokrasi pada kantor
Dmas Tata Kota mengakui telah terjadinya ketidakefektifan sistem pelayanan di
UPTSA. Rendahnya akuntabilitas pemberian pelayanan publik oleh birokrasi dapat
dilihat juga dan banyaknya kasus yang dialami oleh masyarakat pengguna jasa.
Masalah prosedur pelayanan yang banyak merugikan masyarakat pengguna jasa,
terutama masalah transparansi persyaratan yang diperlukan, merupakan kasus-kasus
pelayanan yang banyak mencuat
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 38
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Transparansi informasi birokrasi dalam pemberian pelayanan publik masih


tetap menjadi isu yang penting bagi upaya ke arah perbaikan kinerja birokrasi
pemerintah. Tindakan untuk melakukan reformasi birokrasi terutama diarahkan pada
upaya untuk peningkatan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas birokrasi (Lubis,
2001).
Transparansi dalam birokrasi dapat memberikan implikasi pada meningkatnya
tingkat korupsi di dalam birokrasi, tetapi reformasi tetap dilakukan di semua
tingkatan birokrasi. Apabila reformasi dilakukan pada tingkat birokrasi pusat saja, hal
tersebut justru hanya akan memindahkan korupsi dan birokrasi pusat ke birokrasi
yang ada di daerah. Acuan pelayanan yang digunakan oleh aparat birokrasi juga dapat
menunjukkan tingkat akuntabilitas pemberian pelayanan publik. Acuan pelayanan
yang dianggap paling penting oleh birokrasi dapat merefleksikan pola pelayanan yang
dipergunakan.
Pola pelayanan yang akuntabel adalah pola pelayanan yang mengacu pada
kepuasan publik sebagai pengguna jasa. Birokrasi pelayanan di ketiga daerah ternyata
masih menjadikan aturan dan petunjuk pimpinan sebagai acuan utama pemberian
pelayanan. Birokrasi bahkan terlihat belum sepenuhnya mengerti dan memahami
eksistensi birokrasi yang tetap tergantung pada publik.
Kesadaran aparat birokrasi tentang eksistensi publik yang dapat dipengaruhi
eksistensi birokrasi juga masih sangat rendah.Persepsi di kalangan aparat birokrasi
yang selalu menempatkan diri (superior) terhadap publik sehingga menimbulkan sifat
arogansi aparat birokrasi masih sangat dominan terlihat. Hasil temuan lapangan
bahwa ini dapat memperlihatkan masih kuatnya kecenderungan orientasi pemberian
pelayanan yang belum bersandar pada uasan masyarakat menunjukkan bahwa budaya
‘minta petunjuk atasan’ masih cenderung dijadikan referensi atau lebih dipentingkan
pada melakukan pelayanan yang memuaskan masyarakat pengguna .
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 39
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Acuan pelayanan birokrasi di ketiga daerah yang masih menempatkan


pimpinan dan aturan sebagai sentral pelayanan membuktikan bahwa kultur atau corak
birokrasi patrimonial masih mewarnai birokrasi dalam memberikan pelayanan publik.
Aparat pelayanan yang bertindak atas dasar prinsip peraturan menjadi bersikap kaku
dan tidak mendorong lahirnya kreativitas dalam pemberian layanan. Pelaksanaan
pelayanan publik seharusnya bertitik tolak dari misi dan visi pelayanan agar dapat
mengakomodasi kepentingan masyarakat.
5. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan birokrasi untuk rnengenal kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan
program-progrm pelayanan sesuai dcngan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara
singkat dapat dikatakan bahwa responsivitas ini mengukur daya tanggap birokasi
lerhadap harapan, keinginan dan aspirasi, serta tuntutan pengguna jasa. Responsivitas
sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti
kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda
dan prioritas pebyanan serta mengembangkan program-program pelayan publik
sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat (Dilulio, 1991). Organisasi yang
memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek juga
(Osborne & Plastrik, 1997).
Dalam operasionalisasinya, responsivitas pelayanan publik dijabarkan
menjadi beberapa indikator, seperti meliputi (1) terdapat tidaknya keluhan dan
pengguna jasa selama satu tahun terakhir; (2) sikap aparat birokrasi dalam merespons
keluhan dan pengguna jasa; (3) penggnaan keluhan dan pengguna jasa sebagai
referensi bagi perbaikan penyelenggaraan pelayanan pada masa mendatang (4)
berbagai tindakan aparat birokrasi untuk memberikan kepuasan pelayanan kepada
pengguna jasa; serta (5) penempatan pengguna jasa oleh aparat birokrasi dalam
sistem pelayanan yang berlaku.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 40
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Keluhan yang disampaikan oleh masyarakat pengguna jasa merupakan


indikator pelayanan yang memperlihatkan bahwa produk pelayanan yang selama ini
dihasilkan oleh birokrasi belum dapat memenuhi harapan pengguna
layanan.Responsivitas birokrasi yang rendah juga banyak disebabkan oleh belum
adanya pengembangan komunikasi eksternal secara nyata oleh jajaran birokrasi
pelayanan. Indikasi nyata dari belum dikembangkannya komunikasi eksternal secara
efektif oleh birokrasi terlihat pada masih besarnya gap pelayanan yang terjadi. Gap
pelayanan yang terjadi merupakan gambaran pelayanan yang memperlihatkan hahwa
belum ditemukan kesamaan persepsi antara harapan pengguna jasa dan pemberi
layanan terhadap kualitas pelayanan yang diberikan.
Aparat birokrasi pelayanan di ketiga daerah penelitian terlihat masih
membuka jurang komunikasi yang lebar dengan masyarakat pcngguna jasa. Tidak
transparannya aparat birokrasi pelayanan pertanahan, misalnya, merupakan salah satu
indikasi belum adanya pengembangan komunikasi eksternal di kalangan aparat
birokrasi dengan rnasyarakat pengguna jasa. Tidak transparannya komunikasi dan
birokrasi yang menyangkut pemberian pelayanan menyebabkan pihak masyarakat
pengguna jasa selalu berada pada posisi yang dimikan.
Tidak adanya transparansi informasi dari birokrasi tersebut membuat banyak
masyarakat pengguna jasa mengalami frustasi. Kornunikasi yang tidak efektif yang
selama ini masih dikembangkan oleh birokrasi menunjukkan bahwa birokrasi belum
mempunyai kesadaran untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat
pengguna jasa.
Responsivitas pemberian pelayanan publik salah satunya diukur melalui
keterbukaan informasi dan seberapa jauh interaksi komunikasi yang terjalin antara
birokrasi sebagai pemberi layanan dengan masyarakat pengguna jasa. Kasus di atas
memperlihatkan gambaran bahwa masyarakat pengguna jasa seringkali belum
mempunyai akses terhadap informasi pelayanan yang dibutuhkan, demikian pula
kecenderungan aparat birokrasi justru terkesan menyembunyikan informasi kepada
masyarakat.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 41
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Dalam iklim komunikasi pelayanan yng tertutup seperti ini, sangat sulit untuk
dapat mewujudkan responsivitas aparat birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan
kepada publik.
6. Orientasi pada Pelayanan
Orientasi pada pelayanan menunjuk pada seberapa banyak energi birokrasi
dirmanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan publik. Sistem pemberian pelayanan
yang baik dapat dilihat dan besarnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh
birokrasi secara efektif didayagunakan untuk melayani kepentingan pelayanan.
Idealisnya, segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh aparat birokrasi
hanya dicurahkan atau dikonsentrasikat untuk melayani kebutuhan dan kepentingan
pengguna jasa.
Kemampuan dan sumber daya aparat birokrasi sangat diperlukan agar
orientasi pada pelayanan dapat dicapai. Contohnya, antara lain, adalah masalah
penyediaan waktu kerja aparat yang benar-benar berorientasi pada pemberian
pelayanan kepada masyarakat. Aparat birokrasi yang ideal adalah aparat birokrasi
yang tidak dibebani oleh tugas-tugas kantor lain di luar tugas pelayanan kepada
masyarakat.
Aparat pelayanan yang ideal juga seharusnya tidak memiliki kegiatan atau
pekerjaan lain seperti pekerjaan sambilan di luar pekerjaan kantor yang dapat
mengganggu tugas-tugas penyelenggaraan pelayanan. Kinerja pelayanan aparat
birokrasi akan dapat maksimal apabila bila semua waktu dan konsentrasi aparat
benar-benar tercurah untuk melayani masyarakat pengguna jasa.
Kondisi pelayanan yang ideal di atas dalam realitasnya sangat sulit untuk
diwujudkan dalam birokrasi. Ketidakjelasan pembagian wewenang, inkonsistensi
pembagian kerja, serta sikap pimpinan kantor yang sewenang-wenang memberikan
tugas kepada aparat bawahan tanpa memperhitungkan aspek sifat pekerjaan, urgensi
pekerjaan, dan dampak pemberian tugas terhadap kualitas pemberian pelayanan
kepada masyarakat.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 42
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Hal-hal tersebut merupakan beberapa fakta penyebab sulitnya aparat birokrasi


berkonsentrasi secara penuh pada tugas-tugas pelayanan masyarakat. Aparat birokrasi
seringkali meninggalkan tugas pelayanan dan lebih banyak menghabiskan waktu
untuk tugas-tugas lain di luar tugas pelayanan.
Kondisi tersebut membuat pelayanan kepada masyarakat menjadi terganggu.
Masih seringnya aparat birokrasi meninggalkan tugas-tugas pelayanan kepada
masyarakat, erat kaitannya dengan adanya tugas-tugas tambahan yang dibebankan
oleh pimpinan kepada aparat pada tingkat bawah yang menjalankan tugas pelayanan
langsung kepada masyarakat. Hal tersebut sangat sering menimpa aparat birokrasi di
tingkat desa, kelurahan, atau kecamatan yang merupakan tingkatan pemerintahan
terendah yang langsung berhadapan dengan masyarakat.
Aparat pelayanan seringkali diperintahkan oleh pimpinan kantor desa atau
kecamatan untuk menghadiri kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, scperti mewakili
camat atau lurah melayat warga yang meninggal dunia, ikut serta dalam kegiatan
posyandu, safari KB, pertemuan RW, atau pertemuan rapat warga lainnya, yang
dilakukan pada saat jam pelayanan.
Penugasan aparat untuk dinas luar oleh pihak pimpinan kantor pada saat jam
pelayanan masih seringkali ditemukan di beberapa kantor pelayanan baik di
lingkungan kantor pelayanan desa, kecamatan, kantor pertanahan maupun kantor
pelayanan perizinan. Kegiatan dinas luar yang seringkali dilakukan oleh aparat
birokrasi adalah melakukan kegiatan peninjauan suatu kegiatan atau membantu
pekerjaan dan seksi lainnya. Banyak ditemukan aparat pelayanan yang membantu
tugas-tugas dari seksi atau bagian lainnya sehingga tugas pokoknya menjadi
terbengkalai, seperti seorang kepala seksi pelayanan harus ikut dalam kegiatan
penataan arsip, mengurusi surat menyurat, menjaga dan menerima telepon kantor,
atau bahkan penyelenggaraan pasar murah atau sekaten.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 43
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Tugas-tugas tersebut belum termasuk tugas-tugas untuk kepentingan pribadi


yang diberikan oleh pimpinan, seperti mengerjakan tugas-tugas kantor yang
seharusnya menjadi bagian tugas pimpinan, menemani tamu kantor atau tamu
pimpinan, menyampaikan suatu surat pembenitahuan ke kantor-kantor kelurahan,
atau mewakili camat keliling kecamatan untuk memantau dan melakukan pembinaan
kepada masyarakat. Pada akhirnya ketidakberadaan petugas pelayanan menyebabkan
pemberian pelayanan terhadap pengguna jasa menjadi lambat sehingga kinerja
pelayanan publik menjadi buruk.
Alasan yang seringkali dikemukakan oleh pimpinan kantor untuk menugaskan
aparat pelayanan mengerjakan tugas lain pada saat-saat jam pelayanan adalah karena
terbatasnya jumlah personil aparat pelayanan. Para pimpinan kantor, sebagaimana
yang seringkali diungkapkan oleh para aparat, seringkali menggunakan alasan
“pokokke endi sing selo”, atau pokoknya siapa saja aparat yang dianggap memiliki
waktu luang, maka akan ditugaskan untuk dinas luar.
Manajemen pembagian tugas dan sebagian besar pimpinan birokrasi yang
belum mencerminkan gaya seorang manajer tersebut menjadikan pola pembagian
tugas dalam birokrasi antara urusan adimnistratif, tugas pimpinan, dan tugas
pelayanan menjadi bercampur. Pimpinan birokrasi seningKali belwn dapat
membedakan antara tugas pnibadi pimpinan, tugas pimpinan kantor yang tidak dapat
diwakilkan kepada bawahan, dan tugas pelayanan masyarakat dan aparat pelayanan
sehingga seningkali menyebabkan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat
cenderung dapat dikalahkan oleh kepentingan pribadi pimpinan atau tugas-tuas
pimpinan lainnya.
Pada sisi output pelayanan, birokrasi secara ideal harus dapat memberikan
produk pelayanan yang berkualitas, terutama dan aspek biaya dan waktu pelayanan.
Efisinsi pada sisi input dipergunakan untuk melihat seberapa jauh kemudahan akses
publik terhadap sistem pelayanan yang ditawarkan.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 44
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Akses publik terhadap pelayanan dipandang efisien apabila publik memiliki


jaininan atau kepastian menyangkut biaya pelayanan. Kepastian biaya pelayanan
yang hams dike1irkan oleh publik merupakan indikator penting untuk melihat
intensitas korupsi dalam sistem layanan birokrasi. Birokrasi pelayanan publik yang
korup akan ditandaj oleh besarnya biaya ekstra yang harus dikeluarkan oleh pengguna
jasa dalam mengakses layanan. Publik, dengan demikian, harus mengeluarkan baya
ekstra untuk dapat memperoleh pelayanan yang terbaik dan birokrasi, padahal secara
prinsip seharusnya pelayanan terbaik harus dapat dinikmati oleh publik secara
keseluruhan.
Demikian pula efisiensi pelayanan dan sisi output, dipergunakan untuk
melihat pemberian produk pelayanan oleh birokrasi tanpa disertai adanya tindakan
pemaksaan kepada publik untuk mengeluarkan biaya ekstra pelayanan, seperti suap,
sumbangan sukarela, dan berbagai pungutan dalam proses pelayanan yang sedang
berlangsung. Dalam kultur pelayanan birokrasj di Indonesia, telah lama dikenal
istilah ‘tahu sania taint’, yang berarti adanya toleransi dan pihak aparat birokrasi
maupun masyarakat pengguna jasa untuk menggunakan mekanisme suap dan
mendapatkan pelayanan yang terbaik.
Kecenderungan aparat birokrasi untuk menerima pemberian uang dan
masyarakat pengguna jasa tersebut disebabkan masih adanva budaya upeti dalam
sistem pelayanan publik di Indonesia. Budaya pelayanan yang dikembangkan
semenjak masa birokrasi keraiaan tersebut pada dasarnya menempatkan aparat
birokrasi sebagai pihak yang harus dilayani oleh masyarakat, pelayanan yang hams
dilakukan oleh masyarakat tersebut ialah dalam rangka memperoleh patron di dalam
birokrasi yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan untuk membangun akses ke
birokrasi. Mekanisme pemberian hiaya ekstra dalam praktik pelayanan birokrasi
sesungguhnya memperlihatkan berbagai faktor yang sangat kompleks, seperti
menyangkut masalah kultur psikologis, sistem pelayanan, mekanisme pengawasan,
serta mentalitas aparat maupun pengguna jasa sendiri.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 45
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Praktik pelayanan dengan membenikan uang ekstra kepada apara birokrasi


tersebut telah menjadi suatu kebiasaan umum di lingkunga birokrasi. Aparat birokrasi
menjadi terbiasa dalam budaya pelayana yang mengharapkan adanya pemberian uang
dan masyarakat. Apabila dalam memberikan pelayanan pengguna jasa tidak
memberikan imbalan dalam bentuk uang ekstra tersebut, biasanya aparat dalarn
bckcrja terkesan ogah-ogahan atau seenaknya sendiri. Sebaliknya, semakin besar
jmbalan yang diberikan masyarakat pengguna jasa akan semakin memacu motivasi
keqa aparat dalam melayani masyarakat pengguna jasa tersebut.
Selain ditinjau dan segi biaya, efisensi pelayanan publik juga ditinjau dan scgi
waktu pelayanan. Keluhan yang dialami oleh pengguna jasa menyangkut waktu
pelayanan adalah ketidakjelasan waktu pelayanan. Sebenarnya banyak pengguna jasa
yang tidak berkeberatan untuk membayar mahal kalau jelas perinciannya untuk
keperluan apa, dan berapa lama waktu yang diperlukan. Akan tetapi, waktu yang
diperlukan untuk mengurus pelayanan publik sangat tidak jelas.
Urusan yang sama sangat mungkin membutuhkan biaya dan waktu yang jauh
berbeda. Menurut petugas pelayanan, lamanya pemberian pelayanan kepada
masyarakat pengguna jasa disebabkan adanya kendala internal dan eksternal. Kendala
internal meliputi pealatan pendukung yang tidak memadai, kualitas SDM rendah, dan
koordinasi antarunit. Selain itu, faktor kualitas sumber daya manusia yang relatif
rendah semakin menghambat pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Kualitas SDM yang rendah tersebut ditandai dengan ketidakmampuan petugas
memberikan solusi kepada customer atau yang lebih dikenal dengan melakukan
tindakan diskresi. Faktor rendahnya pendidikan para petugas pelayanan
mempengaruhi peinikiran mereka bahwa semua keputusan harus berasal dan atasan
dan harus berpegang teguh kepada juklak/juknis sehingga ketika seorang pengguna
jasa memerlukan pelayanan yang cepat, aparat tidak mampu mcmenuhinya karena
harus menunggu instruksi atasan terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan pelayanan
publik menjadi memerlukan waktu pelayanan yang relatif lebih lama.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 46
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Koordinasi antar unit seringkali menghambat pemberian pelayanan karena


waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama. Kendala lain yang dihadapi adalah
kendala eksternal yaitu kendala yang disebabkan oleh pengguna jasa itu sendiri
seperti ketidaklengkapan dokumen, pengguna jasa tidak kooperatif dan ketiadaan
koordinasi antarinstansi seperti dari kelurahan ke kecamatan. Masalah
ketidaklengkapan persyaratan/dokumen yang harus dilengkapi oleh pengguna jasa
seringkali membuat aparat menolak memberikan pelayanan.
Pengguna jasa disarankan untuk melengkapinya terlebih dahulu. Di sini yang
menjadi persoalan adalah ketika lokasi tempat tinggal seorang pengguna jasa jauh dan
instansi tersebut dan masalah kesibukan pengguna jasa membuat penyelesaian urusan
menjadi lebih lama. Hal tersebut diakui oleh aparat sebagai penyebab utama
kelambatan, tetapi jarang sekali aparat yang mempunyai inisiatif untuk tetap
memproses berkas-berkas urusan tersebut dan kekurangan persyaratan dilengkapi
kemudian. Bagi aparat, apabila tetap diproses, akan menyulitkan kerja mereka
sendiri.
Pengguna jasa juga seringkali tidak kooperatif maksudnya yaitu bahwa
kadangkala pengguna jasa menghalalkan segala cara untuk menyelesaikan urusannya
meskipun melanggar peraturan. Kinerja Pelayanan Publik menghasilkan kesimpulan
mengenai rçndahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Pada hakikatnya,
pelayanan publik dirancang dan diselenggarakan antuk memenuhi kebutuhan
masyarakat pengguna jasa. Namun, persepsi antara masyarakat penggun jasa dan
aparat birokrasi mengenai kualitas pelayanan publik yang efisien, transparan, pasti
dan adil belum berhasil diwujudkan.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 47
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Sebagai penyelenggara pelayanan publik, birokrasi pemerintah gagal dalam


merespons dinamika politik dan ekonomi sehingga pelayanan publik cenderung
menjadi tidak efisien dan tidak responsif. Bahkan, berbagai bentuk patologi birokrasi
telah berkembang dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Akibatnya, muncul
banyak praktik KKN dalam penyelenggaraan pelayanan yang amat merugikan
masyarakat pengguna jasa. Kinerja pelayanan publik yang buruk ini adalah hasil dan
kompleksitas permasalahan yang ada di tubuh birokrasi Indonesia
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 48
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

BAB 1V
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Perlu dibangun birokrasi berkultur dan struktur rasional-egaliter, bukan
irasional-hirarkis. Caranya dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar
sehat dan mengunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Perlunya memiliki semangat
pioner, bukan memelihara budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan
mencari cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatif dan
proaktif, cerdas membaca keadaan kebutuhan publik, memandang semua orang
sederajat di muka hukum, menghargai prinsip kesederajatan kemanusian, setiap orang
yang berurusan diperlakukan dengan sama pentingnya.
Birokrasi yang propartisipan-outonomus bukan komando-hirarkis. Birokrasi
Indonesia ke depan perlu mendukung dan melakukan peran pemberdayaan dan
memerdekakan masyarakat untuk berkarya dan berkreatifitas. Perlu dikurangi kadar
pengawasan dan represi terhadap hak ekspresi masyarakat. Perlu ditinggalkan cara-
cara penguasaan masyarakat lewat kooptasi kelembagaan dan dihindari sikap
dominasi.
Birokrasi bertindak profesional terhadap publik. Berperan menjadi pelayan
masyarakat (public servent). Dalam memberikan pelayanan ada transparansi biaya
dan tidak terjadi pungutan liar. PNS perleu memberikan informasi dan transparansi
sebagai hak masyarakat dan bisa dimintai pertanggungjawabannya (public
accountibility) lewat dengar pendapat (hearing) dengan legislatif atau kelompok
kepentingan yang datang. Melakukan pemberdayaan publik dan mendukung
terbangunnya proses demokratisasi.
Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam meningkatkan kualitas dan
kuantitas dalam melayani publik secara kompetitif, bukan minta dilayani atau
membebani masyarakat dengan pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 49
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

Birokrasi yang melakukan rekruitmen sumber daya manusianya melalui


seleksi fit and proper test, bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi
dan nepotisme.
Birokrasi yang memberikan reward merit system (memberikan penghargaan
dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi) bukan spoil system (hubungan kerja
yang kolutif, diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan punishment kurang
berjalan).

4.2 SARAN
7. Untuk memperbaiki pola penyelenggaran dapat dilakukan dengan menetapkan
standar pelayanan, pengembangan Standard Operating Procedures,
pengembangan survei kepuasan pelanggan, pengembangan sistem pengelolaan
pengaduan, maupun pengembangan model-model pelayanan publik bekerja sama
dengan pihak swasta.
8. Perlunya bimbingan dan pelatihan kepada aparat penyelenggara pelayanan
publik agar dapat bertindak professional, memiliki kompetensi, empati, dan etika
yang memadai. Juga perlu dipertimbangkan kompensasi yang tepat bagi aparat
penyelenggara pelayanan publik agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
9. Perlunya restrukturisasi birokrasi yang dapat memangkas kompleksitas
pelayanan publik menjadi lebih sederhana sekaligus memberantas KKN.
PERILAKU BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK 50
(STUDI PELAYANAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KOTA MAKASSAR)

DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, Agus, 2011, Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui


Reformasi Birokrasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Lembaga Administrasi Negara, 2003, Penyusunan Standar Pelayanan Publik,


Deputi Kajian Manajemen Kebijakan dan Pelayanan, Jakarta

Osborne, David, dan Ted Gaebler, 1992, Reinventing Government : How tha
Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sector, Addison-
Wesley.

Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unhas, 2009/2010, Pedoman


Penulisan Usulan Penelitian dan Skripsi. Makassar FISIP Unhas

Pramusinto, Agus dan Purwanto, Agus. 2009. Reformasi Birokrasi,


Kepemimpinan dan Pelayanan Publik : Kajian Tentang Pelaksanaan
Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Gava Media

Rasyid, Muhammad Ryaas, 1997, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan


Politik Orde Baru, Jakarta, Yasrif Watampone

Sinambela, L.P dkk, 2008, Reformasi Pelayanan Publik (Teori, Kebijakan,


dan Implementasi), Jakarta, Bumi Aksara

Syafie, Kencana Inu, 2004, Birokrasi Pemerintahan Indonesia, Bandung,


Mandar Maju

Anda mungkin juga menyukai