Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH USHUL FIQH

QIYAS SEBAGAI SALAH SATU METODE


PENGGALIAN HUKUM SYARA’

Disusun Oleh :

M Fadhil Hazra : 12030411268

Dosen Pengampu :

Kaizal Bay, Drs, M.Si.

FAKULTAS USHULUDDIN
PRODI ILMU HADITS
UIN SULTAN SYARIF KASIM RIAU
T.A 2021/2022
Daftar Isi
KATA PENGANTAR.....................................................2
Latar Belakang.................................................................3
A. PENDAHULUAN.......................................................3
PEMBAHASAN..............................................................3
1. Dalil Al-Quran.............................................................5
2. Dalil Sunnah.................................................................5
3. Atsar Shahabi...............................................................6
C. Syarat-syarat Qiyas......................................................6
D. Cara-cara mengetahui ‘Illat.........................................7
KESIMPULAN DAN SARAN......................................11
A. Kesimpulan................................................................11
C. Saran..........................................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................11

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikanrahmat serta karunia-Nya dalam menyelesaikan
makalah ini. kami menyadaribahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, oleh karena itu kritik dan sarandari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demikesempurnaan makalah ini.Akhir kata, kami sampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telahberperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
SemogaAllah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
Amin.

Bagansiapi-api, 24 Oktober 2021

Penulis
Latar Belakang

A. PENDAHULUAN

Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra'yu untuk menggali hukum syara' dalam
hal-hal yang nash al-Qur'an dan Sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas.
Pada dasamya ada dua macam cara penggunaan ra'yu, yaitu: penggunaan ra'yu yang
masih merujuk kepada nash dan penggunaan ra'yu secara bebas tanpa mengaitkannya
kepada nash. Bentuk pertama secara sederhana disebut qiyas. Mesikipun qiyas tdak
menggunakan nash secara langsung, tetapi karena merujuk kepada nash, maka dapat
dikatakan bahwa qiyas jugs sebenarnya menggunakan nash, namun tidak secara
langsung. Dasar pemikiran qiyas itu ialah adanya kaitan yang erat antara hukum
dengan sebab. Hampir dalam setiap hukum di luar bidang ibadat, dapat diketahui
alasan-rasional ditetapkan hukum itu oleh Allah. Alasan hukum yang rasional itu oleh
ulama disebut "illat". Di samping itu dikenal pula konsep mumatsalah, yaitu
kesamaan atau kemiripan antara dua hal yang diciptakan Allah. Bila dua hal itu sama
dalam sifatnya, tentu sama pula dalam hukum yang menjadi akibat dari sifat tersebut.
Meskipun Allah SWT hanya menetapkan hukum terhadap satu dari dua hal yang
bersamaan itu, tentu hukum yang sama berlaku pula pada hal yang satu lagi,
meskipun Allah dalam hal itu tidak menyebutkan hukumnya.

Hal-hal atau kasus yang ditetapkan Allah hukumnya sering mempunyai kesamaan
dengan kasus lain yang tidak ditetapkan hukumnya. Meskipun kasus lain itu tidak
dijelaskan hukumnya oleh Allah, namun karena ada kesamaan dalam hal sifatnya
dengan kasus yang ditetapkan hukumnya, maka hukum yang sudah ditetapkan itu
dapat diberlakukan kepada kasus lain tersebut. Dalam hal usaha mengistinbath dan
penetapan hukum yang menggunakan metode penyamaan ini disebut ulama ushul
dengan qiyas

PEMBAHASAN

A. Arti Qiyas Secara etimologis, kata "qiyas" berarti ‫ قدز‬artnya mengukur,


membanding sesuatu dengan yang semisalnya. Kalau seseorang yang berbahasa Arab
mengatakan itu artinya "saya mengukur pakaian itu dengan hasta". Tenteng arti qiyas
menurut terminologi (istilah hukum), terdapat beberapa definisi berbeda yang saling
berdekatan artinya. Diantara definisi-definisi itu adalah: Al-Ghazali, dalam al-
Mustashfa memberi definisi qiyas:2 “Menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada
sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan
hokum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam
penetapan hukum atau peniadaan hukum. “Menanggungkan sesuatu yang diketahui
kepada sesuatu tang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau
meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama diantara
keduanya.”atau, menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang
diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari
keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya dalam penetapan hukum
atau peniadaan hukum.

Dari uraian tentang definisi qiyas tersebut dapat diketahui hakikat qiyas, yaitu :
1. Ada dua kasus yang mempunyai 'illat yang sama.
2. Satu diantara dua kasus yang bersamaan `illat-nya itu sudah ada hukumnya yang
ditetapkan berdasarkan nash, sedangkan kasus yang satu lagi belum diketahui
hukumnya.
3. Berdasarkan `illat yang sama, seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus
yang tidak ada nashnya.

Dari uraian mengenai hakikat qiyas tersebut, terdapat empat unsur (rukun) pada setiap
qiyas, yaitu:
1. suatu wadah atau hal yang telah ditetapkan sendiri hukumnya oleh pembuat hukum.
Ini disebut "maqis -alaih" atau "ashal" atau "musyabbal-ibihi".
2. suatu wadah atau hal yang belum ditemukan hukumnya secara jelas dalam nash
syara'. Ini disebut "maqis" atau "furu"' atau "musabbah".
3. Hukum yang disutkan sendiri oleh pembuat hukum (syari') pada ashal.
Bardasaarkan kesamaan ashal itu dengan furu' dalam 'illat-nya, para mujtahid dapat
menetapkan hukum pada furu'. Ini disebut " hukum ashal".
4. 'Illat hukum yang terdapat pada ashal dan terlihat pula oleh mujtahid para furu.

B. Qiyas sebagai Dalil Hukum Syara’ Memang tidak ada dalil atau petunjuk pasti
yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan dalil syara‟ untuk menetapkan hukum.
Juga tidak ada petunjuk yang membolehkan mujtahid menetapkan hokum syara‟ di
luar apa yang ditetapkan oleh nash.

Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara‟, Muhammad
Abu Zahrah membagi menjadi 3 kelompok, yaitu :

1. Kelompok Jumhur Ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara‟. Mereka
menggunakan dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash Al-Qur‟an atau
Sunnah dan dalam ijma‟ ulama.
2. Kelompok ulama Zhahiriyah dan Syi‟ah Imamiyah yang menolak penggunaan
qiyas secara mutlak. Zhahiriyah juga menolak penemuan „illat atas suatu hokum dan
menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hokum syara‟.
3. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah. Mereka pun berusaha
menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduanya; kadang-
kadang memberi kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu dapat
membatasi keumuman sebagian ayat Al-Qur‟an dan Sunnah.

Dalil yang dikemukakan Jumhur Ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil syara‟
adalah :

1. Dalil Al-Quran

a. Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara menyamakan
dua hal sebagaimana terdapat dalam surat Yasin ayat 78-79

dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang


dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?"
Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang
menciptakannya kali yang pertama.
B. Allah menyuruh menggunakan qiyas sbagai manes dipahami dari beberapa ayat al-
Quran, seperti dalam surat al-Hasyr (59), ayat 2:

Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orangorang yang
mempunyai wawasan.

C. Firman Allah dalam surat al-Nisa' (4) ayat 59:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).

2. Dalil Sunnah

Diantara dalil sunnah yang dikemukakan Jumhur Ulama sebagai argumentasi bagi
penggunaan qiyas adalah :

a. Hadits percakapan Nabi Muhammad dengan Muaz bin Jabal, saat ia diutus ke
Yaman menjadi penguasa disana.

Rasulullah bertanya, “Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya


kepadamu diajukan sebuah perkara?” Muaz menjawab, “Saya menetapkan hukum
berdasarkan kitab Allah.” Nabi bertanya lagi,”Bila engkau tidak menemukan
hukumnya di kitab Allah?’ Jawab Muaz, ”Dengan sunnah Rasul.” Nabi bertanya lagi,
“ Kalau dalam sunnah engkau tidak menemukannya?” Muaz menjawab, “saya akan
menggunakan ijtihad dengan nalar (ra’yu) saya.” Nabi bersabda, “Segala puji bagi
Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasul Allah dengan apa yang diridhoi
Rasul Allah.”

b. Nabi memberi petunjuk kepada sahabatnya tentang penggunaan qiyas dengan


membandingkan antara dua hal, kemudian mengambil keputusan atas perbandingan
tersebut.

Dalam hadits dari Ibnu Abbas riwayat al-Nasai, Nabi berkata, Bagaimana
pendapatmu bila bapakmu berhutang, apakah engkau akan membayarnya?" Dijawab
oleh sipenanya (al-Khatasamiyah), "ya, memang." Berkata Nabi, " hutang terhadap
Allah lebih utama untuk dibayar."

Hadits di atas adalah tanggapan atas persoalan sipenanya yang bapak bernazar
untuk haji tetapi meninggal dunia sebelum sempat mengerjakan haji.

3. Atsar Shahabi
a. Surat Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al-Asy‟ari sewaktu diutus menjadi
qodhi di Yaman. Umar berkata.
“Putuskanlah hukum berdasarkan kitab Allah. Bila kamu tidak menemukannya, maka
putuskan berdasarkan Sunnah Rasul. Jika tidak juga kamu peroleh di dalam Sunnah,
berijtihadlah dengan menggunakan ra’yu.”

Pesan Umar dilanjutkan dengan


“Ketahuilah kesamaan dan keserupaan; qiyaskanlah segala urusan waktu itu”

b. Para sahabat Nabi banyak menetapkan pendapatnya berdasarkan qiyas. Contoh


yang popular kesepakatan sahabat mengangkat Abu Bakar menjadi Khalifah
pengganti Nabi. Mereka menetapkannya dengan dasar qiyas; yaitu karena Abu Bakar
pernah ditunjuk Nabi menggantikan beliau menjadi imam shalat jama'ah sewaktu
beliau sakit.

Kelompok ulama, yang menolak penggunaan qiyas dalam menetapkan hukun syara',
adalah :

1. Syi'ah Imamiah, yang membatalkan beramal dengan qiyas. Mereka tidak


memperbolehkan sama sekali penggunaan qiyas. Dalil yang popular di kalangan
mereka adalah: "agama Allah tidak dapat dicapai melalui akal" dan "sunnah itu bila
di-qiyaskan, akan merusak agama."
2. Al-Nazhani (Ibrahim ibn Sivar Ibn Hani' al-Basri) yang mengambil ilmu kalam dari
Abu Huzail al-Allaf al-Mu'tazili. Al-Nazham mengatakan bahwa illat yang tersebut
dalam nash mewajibkan adanya usaha" menghubungkan hukum" melalui "lafaz" yang
umum, tidak melaui qiyas.
3. Ahlu-Zhahir yang popular dengan zhahiriyah yang pemimpinnya adalah Daud ibn
Khalaf. Pandangan mereka tentang qiyas sebenarnya kelihatan dari aggapan mereka
atas argumentasi yang dikemukan jumhur ulama.

C. Syarat-syarat Qiyas

a. Maqis „alaih (tempat meng-qiyas-kan sesuatu kepadanya)


b. Maqis (sesuatu yang akan disamakan hukumnya dengan ashal)
c. Hukum asal (hukum yang terdapat pada suatu wadah Maqis „alaih yang ditetapkan
hukumnya berdasakan Nash; dan hukum itu pula yang akan diberlakukan pada furu').
d. 'Illat (salah satu rukun unsure qiyas, bahkan merupakan unsur terpenting, karena
adanya `illat itulah yang menentukan adanya qiyas).

Bentuk-bentuk `illat:
a. Sifat hakiki
b. Sifat hissi
c. Sifat 'urfi
d. Sifat lughawi
e. Sifat syar'i
f. Sifat murakkab

Fungsi Illat

a. Penyebab/penetap
b. Penolak
c. Pencabut

Syara-syarat `illat
a. `Illat itu harus mengandung hikmah yang mendorong peleksanaan suatu hukum dan
dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.
b. 'Illat itua dalah suatu sifat yang jelas dan dapat disaksikan.
c. `Illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur, keadaannya jelas dan terbatas,
sehingga tidak bercampur dengan yang lainnya.
d. Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat yang
akan menjadi 'illat
e. `Illat itu harus mempunyai daya rentang
f. Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang untuk menjadi
`illat.

D. Cara-cara mengetahui ‘Illat

Para ulama ushul fiqh menetapkan bahwa „illat suatu hokum dapat diketahui 1.
Melalui nash, baik ayat-ayat alquran maupun sunnah rasul SAW. Ada kalanya „ illat
yang terdapat dalam nash itu bersifat pasti dan ada kalanya illat itu jelas. Tetapi
mengandung kemungkinan yang lain. Contoh, illat yang pasti dapat dilihat dalam
firman Allah pada surah al-hasyr ayat 7:

Artinya : dan apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada rasulnya yang
berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-
anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta
itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya diantara kamu saja. Kata
“supaya” yang diiringi dengan kalimat sesudahnya dalam ayat ini merupakan illat
bagi ketentuan Allah dalam pembagian harta rampasan perang kepada orang-orang
yang disebutkan dalam ayat. Illat dalam ayat ini jelas tidak mengandung kemungkinan
lain. Inilah yang menurut jumhur ulama ushul fiqh disebut sebagai illat yang pasti.

2. Cara kedua untuk mengetahui illat suatu hokum adalah melalui ijma. Melalui ijma
diketahui sifat tertentu yang terdapat dalam hokum syara‟ yang menjadi illat hokum
itu. Misalnya yang menjadi illat perwalian terhadap anak kecil dalam masalah harta
adalah karena “masih kecil”. Illat itu di qiyaskan kepada perwalian dalam masalah
nikah.

3. Melalui al-ima‟ wa al-tanbih yaitu Pernyataan sifat dengan hokum dan disebutkan
dalam lafal, tetapi ada juga ulama ushul fiqh yang menyatakan bahwa penyebutan
sifat ini bisa di istinbatkan. Adapun hokum yang menyertai sifat itu bisa ditetapkan
melalui nash dan bisa pula hokum yang ditetapkan melalui ijtihad.

4. Melalui al-sibr wa al-taqsim. Sibr adalah penelitian dan pengujian yang dilakukan
mujtahid terhadap beberapa sifat yang terdapat dalam suatu hokum, apakah sifat
tersebut layak untuk dijadikan illat hokum atau tidak. Kemudian mujtahid mengambil
salah satu sifat yang menurutnya paling tepat dijadikan illat dan meninggalkan sifat-
sifat lainnya. Adapun taqsim adalah upaya mujtahid dalam membatasi illat pada suatu
sifat dari beberapa sifat yang dikandung oleh suatu nash, oleh sebab itu dengan cara
al-sibr wa al-taqsim kemungkinan berbedanya illat suatu hokum dalam pandangan
beberapa orang mujtahid yang melakukannya adalah wajar disebabkan kualitas
analisis dan pengujian yang mereka lakukan misalnya dalam menentukan illat
perwalian dalam nikah terhadap anak kecil yang dikemukakan di atas, seorang
mujtahid melihat beberapa sifat yang mungkin dijadikan illat, seperti karena ia masih
kecil atau karena ia masih perawan (belum pernah kawin), penentuan illat dalam
kasus ini antara sifat masih kecil dengan sifat masih perawan bisa menimbulkan
perbedaan pandangan dikalangan para mujtahid. Ada yang melihat sifat masih kecil,
lebih tepat dijadikan illat, akan tetapi mujtahid lain menjadikan sifat perawan sebagai
illat dan sifat masih kecil tidak cocok dijadikan illat karena wanita yang telah janda
sekalipun masih kecil tidak bisa dipaksa oleh walinya untuk kawin, sebagaimana
sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya “janda lebih berhak terhadap dirinya dari
walinya”.(HR. Muslim).

5. Munasabah, yaitu sifat nyata yang terdapat pada suatu hokum, dapat diukur dan
dapat di nalar, merupakan tujuan yang dikandunghukum itu, yaitu berupa pencapaian
terhadap suatu kemaslahatan atau penolakan terhadap kemudorotan, munasabah ini
disebut juga oleh para ahli ushul fiqh dengan ikhalah, yang artinya diduga bahwa
suatu sifat itu merupakan (illat) hokum. Atau disebut juga dengan takhrij al-manath
yaitu mendapat illat pada hokum ashl semata-mata mengaitkan antara munasabah
dengan hokum. Contoh munasabah adalah perbuatan zina, perzinaan itu merupakan
suatu sifat perbuatan yang dapat diukur dan menurut nalar sejalan dengan hokum
diharamkannya zina tersebut, untuk suatu kemaslahatan, yaitu memelihara keturunan
atau menolak kemudrotan/kemafsadatan, berupa tercampurnya nasab dan tidak dapat
membedakan suatu ketururnan. Akan tetapi, apakah munasabah tersebut dengan
sendirinya dapat menjadi “illat hokum”. Ulama Hanafiyah dan Syafi‟iyah
berpendapat bahwa munasabah itu dapat menjadi illat apabila didukung oleh nash
atau ijma‟.

6. Tandih al-manath, yaitu upaya seorang mujtahid dalam menentukan illat dari
berbagai sifat yang dijadikan illat oleh syara‟ dalam berbagai hokum. Dengan
demikian sifat yang dipilih untuk dijadikan illat itu adalah sifat-sifat yang terdapat
dalam nash. Misalnya menjadikan illat Kaffarah bagi orang yang melakukan
hubungan suami istri di siang hari bulan ramadhan. Seorang mujtahid melihat bahwa
nash hadits yang membicarakan kaffarah orang bersenggama di siang hari Ramadhan
itu mengisyaratkan beberapa sifat yang bisa dijadikan illat dalam kasus ini. Seperti
pelakunya orang Arab, yang disenggamai itu seorang wanita dan yang disenggamai
itu istrinya sendiri. Akan tetapi, tiga sifat yang disebutkan ini menurut nalar mujtahid
tidak dapat dijadikan illat, karena hokum itu berlaku secara umum, bukan khusus
terhadap orang Arab saja. Senggama dengan bukan istri dan bukan seorang wanita
semestinya hukumannya lebih berat. Oleh karena itu ketiga sifat ini tidak bisa
dijadikan illat karena sifatnya berlaku khusus agar illat dan hukumnya berlaku umum,
maka mujtahid tersebut memilih sifat senggama di siang hari Ramadhan itulah yang
paling tepat. Pemilihan illat yang disyaratkan nash disebut dengan tanqih alManath

7. Al-Thard, yaitu pernyataan hokum dengan sifat tanpa adanya keserasian antara
keduanya, misalnya dikatakan hukumlah orangnya dengan sifat orang yang dihukum.
Oleh karena itu terdapat perbedaan di kalangan ulama ushul fiqh tentang bisa tidaknya
thard dijadikan sebagai salah satu cara menetapkan illat.

8. Al-syabah, yaitu sifat yang mempunyai kesamaan. Para ulama ushul fiqh ada dua
bentuk :
a. Melakukan qiyas kesamaan yang dominan dalam hokum dan sifat. Contoh
menyamakan hamba sahaya dengan harta karena statusnya sama-sama bisa dimiliki
atau menyamakan hamba sahaya dengan orang merdeka karena sama-sama manusia.
b. Qiyas shuri, yaitu qiyas yang semu yaitu mengqiyaskan sesuatu kepada orang lain
semata-mata karena kesamaan bentuknya. Contoh menyamakan kuda dengan keledai
dalam kaitannya denga zakat, yaitu apabila keledai tidak wajib di zakati.

9. Dauran, yaitu suatu keadaan dimana ditemukan hokum apabila bertemu sifat dan
tidak terdapat hokum ketika sifat tidak ditemukan hal ini menunjukkan bahwa sifat
yang selalu menyertai hokum itu adalah illat hokum.

10. Ilgha al-fariiq, yaitu terdapat titik perbedaan antara sifat dengan hokum, tetapi
titik perbedaan itu dibuang, sehingga yang tinggal hanya kesamaannya, contoh firman
Allah dalam surat An-Nisa: 101.
Artinya :dan apabila bepergian dimuka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
mengqasar (meringkas) sholat (mu). Apabila diperhatikan kalimat yang digunakan
dalam ayat ini, maka khitab ayat ini secara jahir ditujukan kepada laki-laki namum
apakah dengan demikian perempuan tidak boleh mengqasar sholat. Walaupun banyak
kasus tidak boleh disamakan antara laki-laki dan perempuan namun dalam ibadah
termasuk mengqasar sholat adalah sama.

Pembagian Qiyas Para ulama ushul fiqh mengemukakan bahwa qiyas dapat dibagi
dari beberapa segi :
1. Dilihat dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu‟ dibandingkan dengan yang
terdapat pada ashl. Dari segi ini qiyas dibagi kepada tiga bentuk, yaitu :
a. Qiyas al-Aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada furu‟ lebih kuat daripada
ashl, karena itu illat yang terdapat pada furu‟ lebih kuat daripada ashl. Misalnya
mengqiyaskan memukul kepada ucapan “Ah” seperti firman Allah dalam surat Al-Isra
: 23.
Artinya : jangan kamu katakana kepada keduanya (orang tua) kata Ah.
b. Qiyas al-musawi. Yaitu, hokum pada furu‟ sama kualitasnya dengan hokum
yang ada pada ashl, karena kualitas illat pada keduanya juga sama seperti firman
Allah dalam surat An-Nisa : 2
Artinya : dan berikan kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka
jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan makan harta mereka
bersama hartamu.
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar. Para ulama ushul
fiqh mengqiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakan harta anak yatim
karena sama-sama menghabiskan.
c. Qiyas al-Adna‟, yaitu illat yang ada pada furu‟ lebih lemah dibandingkan
dengan illat yang ada pada ashl misalnya mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal
berlaku nya riba fadhl, karena keduanya mengandung illat yang sama yaitu samasama
jenis makanan. Dalam hadits Rasulullah SAW dikatakan yang artinya bahwa benda
sejenis apabila dipertukarkan dengan berbeda kuantitas maka perbedaan itu menjadi
riba fadhl. Dalamhadits disebutkan gandum (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Dari segi kejelasan illat yang terdapat pada hokum qiyas dibagi kepada dua
macam :
A. Qiyas al-Jaliy, yaitu qiyas yang illatnya dutetapkan oleh nash bersamaan
dengan hokum al-ashli atau nash tidak menetapkan illatnya, tetapi dipastikan bahwa
tidak ada pengaruh perbedaan antara ashl dengan furu‟. Contoh illat yang ditetapkan
nash bersamaan dengan hokum ashli adalah mengqiyaskan memukul orang tua
kepada ucapan “Ah” yang terdapat dalam surah al-Isra ayat 23 yang illatnya
samasama menyakiti orang tua.
Contoh illat yang tidak disebutkan nash bersamaan dengan hokum ashl dalam kasus
kebolehan mengqasar shalat bagi musafir lakilaki dan wanita, sekalipun antara
keduanya terdapat perbedaan kelamin. Tetapi perbedaan ini tidak berpengaruh atas
kebolehan wanita mengqasar shalat.

B. Qiyas al-khafiy. Yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash.
Contoh mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berate kepada pembunuhan dengan
benda tajam dalam memberlakukan hokum qishash, karena illatnya sama-sama
pembunuhan sengaja dengan unsure permusuhan. Dalam kasus seperti ini, illat pada
hokum ashl, yaitu pembunuhan dengan benda tajam lebih kuat daripada illat yang
terdapat pada furu, yaitu pembunuhan dengan benda keras.

3. Dalil dari keserasisan illat dengan hokum qiyas terbagi atas dua bentuk yaitu :
a. Qiyas al-Mu‟atstsir, yaitu qiyas yang menjadi penghubung antara ashl dengan furu‟
ditetapkan melalui nash sharih atau ijma‟ atau qiyas yang „ain sifat (sifat itu sendiri)
yang menghubungkan ashl dengan furu‟ berpengaruh pada hokum itu sendiri. Contoh,
yang ditetapkan melalui nash atau ijma adalah mengqiyaskan hak perwalian dalam
menikahkan anak di bawah umur kepada hak perwalian atas hartanya dengan illat
belum dewasa. Illat belum dewasa ini ditetapkan melalui ijma. Contoh, „ain sifat yang
berpengaruh pada „ain hokum adalah mengqiyaskan minuman keras yang dibuat dari
bahan selain anggur kepada khamar (dibuat dari anggur) dengan illat memabukkan
pada kedua jenis benda ini berpengaruh pada hokum keharaman meminumnya.

b. Qiyas al-Mula‟im, yaitu qiyas yang illat hokum ashlnya mempunyai hubungan
yang serasi. Isalnya mengqiyaskan pembunuhan dengan benda berat kepada
pembunuhan dengan benda tajam yang telah disebut di atas. Illat pada hokum ashl
mempunyai hubungan yang serasi.

4. Dilihat dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas tersebut.qiyas dapat dibagi
kepada tiga bentuk, yaitu :

a. Qiyas Al-Ma‟na, atau qiyas pada makna ashl, yaitu qiyas yang didalamnya
tidak dijelaskan illatnya, tetapi antara ashl dengan furu‟ tidak dapat dibedakan.
Sehingga furu‟ seakan akan ashl, misalnya mengqiyaskan membakar harta anak
yatim pada memakannya. Yang illatnya sama-sama menghabiskan harta anak
yatim secara zalim.
b. Qiyas al-Illat, yaitu qiyas yang di jelaskan illatnya dan illat itu sendiri
merupakan motivasi bagi hokum ashl. Umpamanya mengqiyaskan Nabidz
(minuman keras yang terbuat dari perasan selain anggur) kepada khamar, karena
kedua minuman tersebut sama-sama memiliki rangsangan yang kuat, baik kepada
ashl maupun furu’
c. . Qiyas al-Dolalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penetapan
hokum itu sendiri, tetapi illat itu merupakan keharusan yang member petunjuk
adanya illat. Misalnya dalam kasus mengqiyaskan al-nabidz kepada khamar
dengan alasan “bau menyengat” yang menjadi akibat langsung dari sifat
memabukkan.
5. Dilihat dari segi metode (masa‟lik) dalam menemukan illat qiyas dapat dibagi
kepada :
a. Qiyas al-Ikhalah yaitu yang illatnya ditetapkan melalui munasabah dan ikhalah.
b. Qiyas al-Syabah, yaitu yang illatnya ditetapkan melalui metode syabah.
c. Qiyas al-Sibru, yaitu yang illatnya ditetapkan melalui metode alSibr wa al-
taqsim.
d. Qiyas al-Thard, yaitu yang illatnya ditetapkan melalui metode thard.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Qiyas adalah satu metode pengalian hukum syara' dalam hal-hal yang nash Al-
Qura'an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara 17 jelas dan dasar pernikiran
qiyas itu ada kaitan yang erat antara hukum dengan sebab di luar bidang ibadat. Para
ulama ushul berbeda pendapat tentang kedudukan qiyas sebagai dalil hukum syara'.
Kemudian kelompok ulama, tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok
yaiti yang menerima dan yang menolak qiyas. Masing masing kelompok
megemukakan dalil Al-Qur'an, Sunnah, Ijma' Ulama atau sahabat dalil dan dalil Aqli.

C. Saran

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dengan itu
penulis mengharapkan masukan dan saran untuk peyempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Dawud, Sunnah Abu Dawud, Kairo: Musthtfa al-babi al-Halabi 1952.
Abu Zahrah, Muhammad, Al-Imam Zaid, Hayatu Wa'ashruh wa Ara'uh wa Fiqhuh,
Kairo, Darul Alfikri Al-arabi.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. Jilid I cet. III, Jakarta Logos : 2005.
Ghazali, Abu Hamill Muhammad, Al-Musthafa, Min Ilm al-Ushul, Bairut : Darin
Alfikri

Anda mungkin juga menyukai