Anda di halaman 1dari 13

MEMAHAMI PERKEMBANGAN DESA DI INDONESIA

Suhardiman Syamsu, S. Sos., M.Si

Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan Fisip UNHAS

PENDAHULUAN perempat penduduk Indonesia tinggal di


daerah pedesaan. Sehingga selalu
Pada umumnya pemerintahan desa
menjadi masalah pelik dalam
di seluruh Indonesia zaman dahulu
pemajuannya. Salah satunya adalah
bentuknya menurut hukum adat adalah
bagaimana upaya menghapuskan
“collegial”. Desa adalah daerah otonom
kesenjangan antara desa dan kota
yang paling tua, dimana desa lahir
dimana hal tersebut selalu dijadikan
sebelum lahirnya daerah koordinasi yang
indikator keberhasilan pembangunan
lebih besar dan sebelum lahirnya
secara nasional. Sementara, dampak
kerajaan (negara), sehingga ia
umum pembangunan terhadap desa yang
mempunyai otonomi yang penuh dan asli.
membawa efek yang jauh lebih
Sebelum era kolonialisme, struktur
membahayakan masyarakat desa dalam
politik dan fungsi pemerintahan asli
friksi-friksi yang tajam tidak menjadi
(desa) sudah dikenal luas dalam berbagai
telaah penting. Sementara hal tersebut
masyarakat, bukan hanya di Indonesia
akan berimplikasi terhadap perubahan
tetapi juga di daerah lain di luar
nilai fundamental (local identity),
Indonesia. Contohnya, barangay di
sehingga semakin merapuhkan sendi-
Filipina, panchayat di Indo Pakistan,
sendi tradisi dan kekeluargaan yang
sultanates di Malaysia, small kingdoms di
membangun komunitas desa.
Nepal, gam sabbawas di Sri Lanka, desa
di Jawa, dan sakdina di Thailand. Nama- Kata Kunci : Desa, Pembangunan, Otonomi
nama di atas merupakan struktur politik
dengan fungsi-fungsi tertentu yang sudah DESA DALAM PENATAAN NEGARA
dikenal dan dipraktekkan sangat lama Reformasi yang mengakhiri era
dalam masing-masing masyarakat. pemerintahan otoriter Orde Baru di
Masuknya sistem pemerintahan bawah rezim Soeharto telah melahirkan
modern di desa, telah merobak sebuah perobahan yang sangat signifikan dalam
buah perjalanan panjang karakteristik tatanan kehidupan kenegaraan. Berbagai
budaya yang mengedepankan isu yang menjadi debat publik terkait
komunalisme kearah individualistik. Di dengan penyelenggaraan pemerintahan
Indonesia, diperkirakan lebih dari tiga desa yang hingga kini dipahami dalam
78 Suhardiman Syamsu, Memahami Perkembangan Desa di Indonesia

berbagai perspektif yang sangat atau pasal 128 Indische-statsregeling


didominasi oleh perspektif hukum dan (Kartohadikoesoemo, 1984) dan
politik. Adanya perobahan format Peraturan Pemerintahan Jepang No. 1
otonomi daerah sebagai sesuatu hal yang Tahun 1942 serta peraturan Osamu Seirei
tidak terhindarkan, kemudian melahirkan No 27/1942 (Soenardjo, 1984). Namun
UU No.22 Tahun 1999 tentang dalam realitasnya, desa sebagian besar
Pemerintahan Daerah. Hal ini sekaligus dimasukkan ke dalam sistem birokrasi
menandai berakhirnya era pemerintahan dan ekonomi politik kolonial.
daerah yang sentralistik di bawah UU No. Hal ini meletakkan desa dalam
5 Tahun 1974 dan UU No 5 Tahun 1979 Negara sebagai obyek eksploitasi colonial
tentang pemerintahan desa. Sehingga karena dijadikan sebagai wilayah yang
membuka kembali sebuah wacana dan “diharuskan” dapat memenuhi
harapan baru untuk mengembalikan satu kebutuhan produksi Negara colonial
perspektif tentang desa terutama yang tersebut dalam bentuk bahan baku
terkait dengan posisi desa yang mentah. Efeknya adalah terjadi
terberdayakan. perubahan instrument budaya local pada
Bersamaan dengan terbukanya ruang desa tersebut, terkait dengan kehidupan
publik dengan aturan baru tersebut, ekonmi politik masyarakat desa. Desa
memunculkan pula kesadaran baru yang yang pada berbagai wilayah di Indonesia
menginginkan sebuah pemerintahan memiliki penamaan tersendiri, seperti :
demokratis, terdesentralisasi, dan - Dusun atau marga di Sumatera Selatan
pemberdayaan masyarakat lokal yang, 1. Dusundati di Maluku
selain menuntut perlunya pengalokasian 2. Kuta, uta, atau huta di Batak
dan pendistribusian kekuasaan serta 3. Nagari di Minang
kewenangan, juga menginginkan adanya 4. Gampong dan meunasah di Aceh
diskresi dalam penetapan kebijakan 5. Marga di Bengkulu
publik pada berbagai strata pelaksanaan 6. Kampung di Gorontalo dan
pemerintahan. Kalimantan Tengah
Mitos tentang Republik Kecil yang 7. Paer atau pamusung di Nusa
merupakan institusi asli komuntas, sudah Tenggara Barat
hampir hilang ketika terjadi proses 8. Kampung atau binua di
negara masuk ke desa dan desa masyarakat Dayak Pontianak
dimasukkan ke negara. Pada era 9. Marga, dusun, atau kampung di
kolonialisme, walaupun dalam regulasi Jambi
pemerintahan kolonial baik Belanda 10. Boya, Ngata/Ngapa, Kinta, Lembo
maupaun Jepang, desa diakui secara di Sulawesi Tengah
yuridis prinsipil seperti yang termuat 11. Lipu di Morowali, Sulawesi Tengah
dalam pasal 71 Regeeringsreglement 12. Lembang, Gallarang, wanua,
Government: Jurnal Government Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 1, Juli 2008 79

banua, kampong di Sul – Sel. susunan asli berdasarkan hak asal-usul


13. Tiyuh, anek, atau pekon di yang bersifat istimewa yang landasan
Lampung pengaturannya adalah keanekaragaman,
Penyebutan desa yang beranekara- partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan
gam tersebut menunjukkan karakter atau pemberdayaan masyarakat.
ciri khas tersendiri, yang berkesesuaian Sedangkan mengenai otonomi
dengan adat-istiadat atau kebudayaan daerah, UU ini memberikan diskresi yang
lokal masing-masing daerah. Penyebutan luas kepada daerah otonom untuk
desa yang variatif tersebut bisa berupa mengurus kepentingan masyarakat
sebuah konsep tanpa makna politis, setempat dengan diberikannya hak
tetapi juga bisa berarti suatu posisi prakarsa sendiri. Perbedaan prinsip
politik dan sekaligus posisi dihadapan antara otonomi desa dengan otonomi
pihak atau kekuatan lain (supra desa). daerah adalah dilihat pada aspek
Dari apa yang ditetapkan dengan UU kelahiran otonomi tersebut. Jika otonomi
22/1999 dan UU.No 32 tersebut, tidak desa lahir, tumbuh dan berkembang
saja mengembalikan format pemerinta- bersamaan dengan kelahiran sebuah
hannya yang lebih beraneka ragam, desa, sehingga hak otonomnya bukan
tetapi dengan aturan baru itu, didasarkan atas pemberian oleh
diharapkan penyelenggaraan pemerinta- pemerintah tingkat atas, maka otonomi
hannya pun benar-benar akan bertumpu daerah lahir karena adanya kebijakan
pada adat istiadat dan budaya lokal yang pemberian kewenangan pemerintah
sekian lamanya telah diabaikan. Dengan tingkat atas berdasarkan asas
demikian maka otonomi daerah yang desentralisasi. Ini menunjukkan bahwa
seyogyanya bertumpu pada otonomi desa semestinya dalam konteks desa sebagai
diharapkan akan memiliki landasan entitas asli masyarakat Indonesia, secara
berpijak yang kokoh karena memiliki politik, budaya, hukum dan ekonomi
basis dan beridiri di atas sendi-sendi tidak akan ada kaitan antara ada atau
dasar yang kuat. tidak adanya desentralisasi yang
Dalam pengertian umum huruf o UU diberikan oleh negara, sehingga hak
No.22 Tahun 1999 disebutkan bahwa otonomi akan tetap menjadi sesuatu
desa atau yang disebut dengan nama lain yang mesti dimiliki. Sebaliknya berbeda
adalah kesatuan masyarakat hukum yang dengan keberadaan daerah dalam
memiliki kewenangan untuk mengatur konteks otonom, maka tanpa
dan mengurus kepentingan masyarakat desentralisasi maka hak otonom itu tidak
setempat berdasarkan asal-usul dan adat akan ada.
istiadat setempat. Selanjutnya dalam Tetapi, secara umum sesuai tata
penjelasan umumnya antara lain pemerintahan desa di seluruh wilayah
dikatakan bahwa desa mempunyai Indonesia di era kolonialisme dikenal 3
80 Suhardiman Syamsu, Memahami Perkembangan Desa di Indonesia

(tiga) macam bentuk kepemimpinan desa 1854), yang menyebutkan bahwa:


yaitu (Kartohadikoesoemo, 1984) : 1) Desa-desa bumi putera dibiarkan
1. Pimpinan pemerintahan diletakkan di memilih kepala desa sendiri.
tangan seorang kepala. Dalam hal ini 2) Diperbolehkan mengurus rumah
maka kekuasaan eksekutif dan tangganya sendiri dan dalam batas
tanggung jawab berada di tangan tertentu juga diberi wewenang untuk
kepala desa. Terdapat di Jawa memberikan pidana bagi pelanggaran
Tengah, Jawa Timur, Aceh, peraturan desa.
Minahasa, dan Bali. 3) Dalam hal suatu desa berada dalam
2. Pimpinan pemerintahan dipegang batas wilayah yang telah memiliki
oleh sebuah dewan. Dalam hal ini dewan pemerinta daerah (wilayah
maka kekuasaan eksekutif dan perkotaan yang banyak dihuni oleh
tanggung jawab dipegang oleh masyarakat Eropa), maka hak
sebuah dewan pemerintahan. otonomi itu dicabut atau ditunda
Terdapat di Minangkabau, pelaksanaannya.
Palembang, Bangka, dan Bali. 4) Pemerintah menjamin agar hak-hak
3. Pimpinan desa yang terjadi dari dua desa bumi putera tersebut
orang kepala desa (kepala-kembar), dilindungi.
dimana yang seorang mengurusi Sejak era pemerintahan Raffles dan
urusan darat sedangkan yang lain Van den Bosch, desa sudah dipergunakan
mengurusi urusan kelautan. Terdapat untuk menjalankan kepentingan kolonial
di daerah Kampar-kiri dan di Batak. yakni untuk ‘landelijk stelsel’ dan
Akan tetapi ketiga bentuk tersebut ‘cultuurstelsel’, namun desa baru
mengalami perkembangan yang prinsipil mendapatkan pengakuan secara yuridis-
selama kolonialisme Belanda. Dengan prinsipal dalam Regeeringsreglement
dikeluarkannya peraturan perundang- tahun 1854 seperti yang dikmeukakan
undangan oleh pemerintahan Raffles diatas. Dalam peraturan tersebut
mengenai pengangkatan dan ditetapkan bahwa :
pemberhentian kepala desa seperti yang 1. Desa yang dalam peraturan itu
tercamtum dalam Stb. 1819 No. 13, disebut ‘inlandsche gemeenten’ atas
yang menyatakan bahwa penduduk desa pengesahan kepala daerah (residen)
bumi putera diperbolehkan memilih berhak untuk memilih kepalanya dan
kepala pemerintahannya sendiri. pemerintah desanya sendiri.
Kemudian untuk mengukuhkannya 2. Kepada desa itu diserahkan hak
diterbitkan ketentuan yang lebih jelas untuk mengatur dan mengurus
mengenai hal tersebut pada tahun 1854 rumah-tangganya sendiri dengan
dalam pasal 171 UU Ketatanegaraan memperhatikan peraturan-peraturan
Hindia Belanda (Regeeringsreglement yang keluar dari gubernur jenderal
Government: Jurnal Government Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 1, Juli 2008 81

atau dari kepala daerah (residen). pemerintah daerah atau kota yang
UU Ketatanegaran Hindia Belanda otonom sepanjang dalam batas
tahun 1854 ini mempunyai satu pasal wilayah tersebut dapat
yang sama yaitu pasal 71, yang sama dihapuskan/diperkecualiakan dari
dengan pasal 128 UU Ketatanegaraan berlakunya aturan otonomi.
India. Dimana dalam ketentuan pasal Atas dasar ketentuan dalam
tersebut ditetapkan bahwa: Regeeringsreglement 1854 tersebut,
1) Desa-desa bumi putera (pribumi) maka kemudian tahun 1906, pertama
dibiarkan memilih kepala kalinya Gubernur Jenderal mengeluarkan
pemerintahan sendiri sesuai dengan peraturan khusus tentang desa, dengan
kebiasaan setempat, dan dengan dikeluarkannya Ordonansi 3 Februari
persetujuan penguasa yang ditunjuk 1906. hal ini melahirkan peraturan yang
menurut UU. mengatur pemerintahan dan rumah
2) Dengan UU dapat ditentukan tangga desa, dimana ordonansi ini
keadaan dimana penguasa desa berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura.
ditunjuk oleh pemerintah. Peraturan yang dimuat dalam
3) Kepala-kepala desa bumi putera Staatblad 1906 No. 83, kemudian diubah
diberikan hak mengatur dan dengan Staatblad 1910 No. 591,
mengurus rumah tangganya sendiri Staatblad 1913 No. 235 dan Staatblad
dengan memperhatikan peraturan- 1919 No. 217 dikenal dengan nama
peraturan yang ditetapkan oleh “Inlandsche Gemeenten-Ordonnantie”.
pemerintah. Penjelasan atas Ordonanntie itu yang
4) Jika ketentuan mengenai otonomi dimuat dalam Bijblad 6567 mengatakan
tersebut tidak sesuai dengan kondisi bahwa, ketetapan-ketetapan dalam
sosial dan hak-hak yang dimiliki Ordonnantie tersebut secara konkret
masyarakat di desa itu, maka mengatur bentuk, hak dan kewajiban
pelaksanaan otonomi ditangguhkan. kekuasaan pemerintah desa dari badan
5) Dengan UU atau ordonansi dapat pemerintahan baik berdasarkan hukum
diatur wewenang dari desa ketataprajaan maupun berdasarkan
bumiputera untuk: hukum perdata.
- Memungut pajak
- Dalam batas-batas tertentu NEGARASASI DESA ERA KEMERDEKAAN
memberikan hukuman terhadap Proses negaranisasi desa dilakukan
pelanggaran ketentuan yang dengan 2 instrumen peraturan
berlaku perundang-undangan. Hal ini terutama di
6) Desa yang sebagian atau seluruhnya era orde lama, yakni:
berada dalam batas suatu kota 1) UU No. 13/1946 tentang
dimana telah dibentuk dewan Penghapusan Desa Perdikan
82 Suhardiman Syamsu, Memahami Perkembangan Desa di Indonesia

Motivasi dihapusnya desa perdikan MENUJU DESA BERWAWASAN


adalah agar seluruh desa di wilayah PARTISIPASI
Indonesia sejajar dan tidak ada hak UU 22 Tahun 1999 Jo. UU no 32
istimewa melekat pada salah satu Tahun 2004 yang juga mengatur tentang
desa. Desa perdikan merupakan desa pemerintahan desa, dimana UU ini
yang mempunyai hak istimewa, yaitu mengakhiri model pemerintahan desa
hak untuk tidak membayar pajak. yang sebelumnya menekankan aspek
Jika dicermati lebih mendalam, UU
keseragaman model (desa dalam
ini berusaha merefleksikan
perspektif negara modern), tetapi juga
kepentingan pemerintah pusat dalam
sangat monolitik dan terelinasi dari
mengintegrasikan desa perdikan ke
masyarakatnya. Sehingga desa sebagai
dalam kewenangan negara.
2) UU No. 14/1946 tentang Perubahan kesatuan komunitas budaya menjadi
Tata cara Pemilihan Kepala Desa teralienasi dala sebuah konteks desa
Motivasi UU ini adalah untuk negara, sehingga partisipasi bentuknya
mempertegas kedudukan negara bukan sesuatu yang diberikan masyarakat
terhadap desa, yaitu negara sebagai sebagai sebuah sense of belonging
pemberi legitimasi politik terhadap terhadap kondisi dan keadaan desa
proses pemerintahan di desa. Desa menjadi hanya merupakan partisipasi
tetap diberi hak dan kewenangan dalam konteks formal legalistik.
untuk mengatur sistem pemerinta-
Wawasan partisipasi bagi masyarakat
hannya sendiri, yaitu bahwa desa
selalu merupakan sebatas bentuk
tetap mempunyai hak untuk
kebijakan ideal yang hanya sebatas ide
mengangkat dan memberhentikan
semata sehingga sangat sulit untuk
kepala desanya masing-masing tanpa
intervensi negara. dibreak down dalam bentuk
Sehingga desa-desa masih tetap impelmentatif. Salah satu hal yang mesti
dengan keanekaragamannya. dimiliki adalah seperti yang dikemukakan
Meskipun disini negara mempertegas oleh Narayan (2002) tentang
dirinya hanya sebagai pemberi pemberdayaan yang mendefinisikan
legitimasi politis belaka, namun yang pemberdayaan (empowerment) sebagai
perlu dicermati adalah bahwa justru peningkatan asset dan kemampuan orang
melalui UU tersebut juga proses miskin untuk terlibat dalam negosiasi,
pengintegrasian desa kedalam sub mempengaruhi, mengontrol dan
sistem negara sudah mulai terjadi,
mendorong akuntabilitas lembaga yang
yakni dengan cara pemberian
mempengaruhi kehidupannya.
legitimasi politis negara terhadap
Kemudian aspek kapabilitas yang
desa tersebut.
Government: Jurnal Government Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 1, Juli 2008 83

mesti dimiliki masyarakat desa berkaitan perundangan-undangan, kepolisian dan


dengan kemampuan masyarakat desa pertahanan. Satu hal yang menarik
dalam memanfaatkan berbagai potensi lainnya adalah bahwa “Rapat Desa”
untuk kehidupan yang mencakup: merupakan penguasa tertinggi di desa.
produktivitas, tingkat pendidikan, Jika hal ini dilihat dalam konstruksi desa
derajat kesehatan, akses politik, dalam keadaan kekinian maka, menjadi
kebebasan berorganisasi, dsb. Terjadinya sesuatu yang tidak diperoleh. Akibatnya
peningkatan potensi dan kemampuan adalah disebabkan dominasi negara
masyarakat desa tersebut, selalau modern terhadap entitas desa yang
menjadi sesuatu yang mendasarkan sangat kuat.
asumsi negara atas desa yang selalu Berbagai kesenjangan yang ditimbul-
diidentikkan secara berlawanan dengan kan sebagai implikasi dari adanya
kota sebagai representasi dari kemajuan. perbedaan dalam menangkap hal
Sehingga sangat tidak mengherankan jika tersebut diatas, banyak diklaim sebagai
desa sebagai sebuah entitas dan simbol awal terciptanya kebringasan sosial
keterbelakangan selalau menjadi obyek karena adanya kesenjangan sosial atau
atas berbagai program pembangunan yang umumnya di desa adalah berbentuk
menempatkan orang miskin sebagai kemiskinan. Secara prinsip, kesenjangan
targetnya. sosial adalah sesuatu yang sifatnya
Dalam pengertian umum (pengertian adalah natural sehingga memungkinkan
yang popular di masyarakat), desa sering untuk dapat terjadi pada berbagai
dipahami berlawanan dengan kota. Desa wilayah, namun dibutuhkan seperti
dipandang sebagai tempat dimana pranata sosial yang menjamin keadilan
bermukim penduduk dengan ‘peradaban’ sosial (social justice), demokrasi politik
yang lebih terbelakang dibandingkan (political democracy), serta kebebasan
kota, dengan ciri-ciri bahasa ibu yang budaya (cultural freedom). Hal ini
kental, tingkat pendidikan yang relatif mutlak untuk menciptakan sebuah
rendah, dan mata pencaharian yang mekanisme yang dapat memungkinkan
umumnya di sektor pertanian. Padahal masyarakat untuk menghindari
dalam memahami dan memaknai desa, berkompetisi secara tidak sehat (unfair
terdapat beberapa perspektif yang dapat competition) untuk memperolah
digunakan. kehidupan sosial yang lebih baik.
Kekuasaan desa itu bukan saja Salah satu faktor penting dalam
kekuasaan pemerintahan dalam arti yang penyelenggaraan desentralisasi yang
sempit (bestuur), tapi memiliki menggunakan prinsip-prinsip good
kekuasaan pemerintahan dalam yang governance adalah, digunakannya
lebih luas (regering) karena desa juga berbagai variasi-variasi rill yang terdapat
memiliki kekuasaan atas pengadilan, pada setiap wilayah desentralisasi.
84 Suhardiman Syamsu, Memahami Perkembangan Desa di Indonesia

Dimana faktor penggunaan sumber daya psikologis (psychological capability),


publik yang efisien, dan seberapa jauh berupa kesadaran akan potensi diri baik
persepsi mereka terhadap tingkat di bidang sosial maupun bidang politik.
kesejahteraan masyarakat menjadi UU No.5 Tahun 1979 tentang
indikator penting. Kemudian tentang Pemerintahan Desa, menegaskan bahwa
seberapa jauh pemberdayaan masyarakat hal yang diatur adalah desa dari segi
dapat dilihat pada salah satu out putnya administrasi. Memang pengisian jabatan
yaitu pada faktor ekonomi masyarakat kepala desa dilakukan melalui pemilihan,
yang dibangun dari ukuran umum yang tetapi mereka yang dapat dipilih sebagai
berlaku untuk melihat kualitas kepala desa adalah orang-orang yang
pelaksanaan desentralisasi yang pada diyakini mendukung sepenuhnya
prinsipnya dilakukan untuk salah satu kebijakan pemerintah. Orang-orang yang
alasan yaitu kesejahteraan dan dicurigai berseberangan dengan
pemberdayaan rakyat. pemerintah akan gugur sebelum
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pemilihan melalui proses seleksi bakal
sendi-sendi masyarakat yang tidak calon yang penuh dengan rekayasa.
mampu menerima dan aktif karena Instrumen yang demikian itu telah
stimulus kebijakan yang memungkinkan menyebabkan terjadinya proses
lahirnya bentuk partisipasi tersebut. Ini birokratisasi desa secara sistematis.
disebabkan keberpihakan dan sudut Effeknya adalah partisipasi masyarakat
pandang negara terhadap keadaan menjadi sesuatu yang mustahil terjadi
ekonomi, sosial dan politik dalam dalam artian partisipasi secara rasional
kehidupan masyarakat desa. Amartya Sen melainkan tenggelam dalam sebuah
mengemukakan bahwa terdapat tiga mekanisme mobilisasi.
jenis kemampuan pada golongan miskin Dengan format yang demikian itu
yang terlemahkan dalam konteks adalah sulit membayangkan tumbuhnya
kehidupannya, yakni: (1) daya sosial budaya demokrasi yang menjadi basis
(social capability), berupa akses pada partisipasi di tingkat desa. Dengan
basis produksi rumah tangga seperti keberadaan UU No.5 Tahun 1979 di masa
lahan, sumber keuangan, informasi, lalu yang sangat menekankan aspek
pengetahuan dan keterampilan serta administrasi dalam penyelenggaraan
partisipasi dalam organisasi sosial; (2) pemerintahan desa, maka efisiensi dan
daya politik (political capability), berupa efektifitas yang merupakan mekanisme
akses individu dalam pengambilan yang dkehendaki dalam manajemen
keputusan politik, yang diartikan bukan moder birokrasi kemudian menjadi kata
sekedar ikut memilih melainkan juga kunci. Bersamaan dengan itu, dengan
dalam menyuarakan aspirasi dan dalih modernisasi desa, perlu dilakukan
bertindak secara kolektif; dan (3) daya penyeragaman model pemerintahan dan
Government: Jurnal Government Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 1, Juli 2008 85

standarisasi administrasi yang, tidak saja membangun berbasis partisipasi


menghadirkan intervensi dan intensitas masyarakat secara utuh atau secara
kehadiran negara di desa. Namun hal ini konsisten yang merupakan bentuk
juga semakin mengukuhkan ketatnya konkret atas ras memiliki masyarakat
kontrol pemerintah atas penyelengga- atas hasil-hasil pembangunan. Pember-
raan pemerintahan desa (Antlov, 2002), dayaan yang dilakukan pemerintah
dimana urusan desa bukan lagi hanya selama ini terhadap masyarakat secara
meliputi “urusan asli” yang selama ini ekonomi yang ditujukan baik kepada
diurusnya, melainkan urusan-urusan yang individu maupun kelompok telah banyak.
lahir karena campur tangan pemerintah. Beberapa contoh yang ditujukan kepada
Atau hal yang menjadi tujuan dan masyarakat desa adalah jaring pengaman
keinginan dari negara. sosial (JPS) dan Inpres Desa tertinggal
Akibatnya adalah otonomi desa yang (IDT).
merupakan otonomi asli yang bertumpu Beberapa laporan yang dapat
pada adat istiadat dan budaya lokal dijadikan acuan untuk melihat
menjadi tidak relevan lagi. Telah terjadi keberhasilan dan kegagalan program
keterputusan akar budaya dalam tersebut di desa adalah hasil sari laporan
penyelenggaraan pemerintahan desa. yang dikemukakan oleh Prof. Dr.
Penekanan yang berlebihan pada aspek Mubyarto;2000;11-22 yang menunjukkan
administrasi yang merupakan dimensi bahwa program tersebut (IDT) terdapat
fisik dari sebuah pemerintahan, program yang dalam kategori berhasil
menyebabkan pemerintahan kita dan juga tidak berhasil. Dimana dari
utamanya pemerintahan desa telah total 20.633 desa yang memperoleh dana
berjalan tanpa roh. Adapun roh tersebut, maka dari jumlah tersebut
pemerintahan yang dapat dianggap maka mewakili sampel maka ternyata
sebagai dimensi psikologisnya itu, dari 27 jumlah desa yang diekspos, maka
bersumber pada adat istiadat dan budaya 12 diantaranya dinyatakan belum
lokal. Fenomena tersebut tetap meliputi berhasil dan gagal. Beberapa program
kondisi desa yang ada saat ini sebagai juga mengalami hal yang sama di desa
desa gaya baru yang diciptakan oleh seperti JPS maupun PDM-DKE.
negara. Gambaran yang dapat diperoleh dari
Desa yang disebutkan dalam data tersebut menggambarkan bahwa
perundang-undangan baru merupakan keberhasilan dan kegagalan sebuah
sebuah wujud empirik akan kepedulian program peningkatan ekonomi pedesaan
terhadap nuansa budaya lokal yang mengalami berbagai kemungkinan yang
terberdayakan, mengingat sangat bisa terjadi, salah satu hal yang bisa
gagalnya mekanisme kebijakan pemerin- menjadi penyebab kegagalannya adalah
tahan desa orde baru mewujudkan kondisi lingkungan yang mengitari
86 Suhardiman Syamsu, Memahami Perkembangan Desa di Indonesia

masyarakat yang memperoleh bantuan menjadikan desa sebagai tameng


tersebut, dimana belum tentu seperti terhadap berbagai mekanisme
yang telah digambarkan pada awal internasional untuk memperoleh
tulisan ini yaitu masyarakat yang telah kemudahan dan bantuan meskipun pada
memiliki tangkapan ataupun kemampuan akhirnya tidak menjadi realitas yangg
yang sama dalam membaca sebuah digunakan untuk membenahi desa atau
peluang. Disinilah kemudian sebuah masyarakat pinggiran, tetapi atas nama
kebenaran tentang kesenjangan sosial prioritas pembangunan desa harus
terlihat untuk menuju keadilan sosial, memahami strategi pembangunan
tidak serta merta dapat diraih. Seperti pemerintah yang lebih menggunakan
yang dikemukakan oleh seorang ahli strategi pembangunan dengan
ekonomi Inggris Frances Hutcheson mekanisme trickle down effect sebagai
bahwa keadilan sosial adalah bukan taktik jitu dalam pembangunan.
urusan ilmu ekonomi, dengan kata lain Desa haya dimaknai dalam kapasitas
masyarakat pada akhirnya diseret pada terbatas yaitu dengan keterbatasan skill
peradaban individulistis yang lebih dalam mengelola modal usaha maka
rasional dan pragmatis. untuk membangn mekanisme ketergan-
tungan terhadap pemerintah,
KESIMPULAN dikembangkanlah strategi pembangunan
Desa merupakan satu-satunya yang sifatnya tentatif yang populis untuk
benteng kelembagaan lokal yang hingga memikat perhatian rakyat dengan
saat ini, secara politik masih diakui bantuan yang lebih bersifat charity
dalam sebuah lingkup kebijakan negara (karitatif) yang pada akhirnya
sebagai sebuah daerah yang diakui menghilangkan fighting spirit masyarakat
karena sifat keaslian yang melekat untuk survive dalam berbagai kondisi
didalam entitas tersebut. Pada berbagai dengan kemampuan dirinya menjadi
negara didunia, sebagai komitmen dalam bagian komunitas masyarakat yang
mempertahankan identitas lokalitas yang hanya berharap terhadap mekanisme
merupakan nilai budaya lokal pada setiap kebijakan politik pemerintah sehingga
bangsa. Dalam hal ini dapat dikemuakan nilai subsistensi yang dijadikan modus
bahwa desa merupakan jembatan organis masyarakat berubah kepada
nasionalisme yang terakhir. kuantifikasi materialisme.
Satu ketakberdayaan desa adalah
selalu berada pada posisi bargaining DAFTAR PUSTAKA
lemah terhadap proses pembangunan, Amartya Sen; Development as Freedom,
meskipun dalam upaya menyusun Oxford University Press, 2002
orientasi dan target pembangunan, maka Deepa Narayan; Empowerment and
pemerintah sebagai agen pembangunan Poverty Reduction: A
Government: Jurnal Government Ilmu Pemerintahan, Vol. 1 No. 1, Juli 2008 87

Sourcebook, Washington: The Mohtar Mas’oed, Politik, Birokrasi dan


World Bank, 2002 Pembangunan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2003.

Hans Antlov; Negera Dalam Desa,


Proceeding Workshop Desentralisasi dan
Patronase Kepemimpinan Lokal,
Good Governance di Tingkat
Lappera Pusataka Utama,
Desa, Program S2 Polokda dan
Yogyakarta, 2002
Program S2 Sosiologi bekerja-
sama dengan Partnership for
Taufiq, Model dan strategi Pembangunan
Governance Reform in Indonesia,
pedesaan, FORUM no. 68 th.XIX
Yogyakarta, 2001.
1991
Arus Bawah Demokrasi, Otonomi dan
Fitriyah, Partisipasi masyarakat desa
Pemberdayaan Desa, LAPERA,
dalam pembangunan, FORUM no.
Pustaka Utama, Yogyakarta,
68 th.XIX 1991
2000.
Nico schulte Nordholt, Ojo Dumeh
UU No.22 Tahun 1999 Tentang
kepemimpinan lokal dalam
Pemerintahan Daerah
pembangunan pedesaan, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, 1987
UU No.32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah
Bambang Hudayana. Masyarakat Adat di
Indonesia, Peniti jalan Keluar
dari Jebakan Ketidakberdayaan,
Yogyakarta: IRE Press. 2005.

Zakaria. R.Yando., Merebut Negara,


Lapera Utama, Yogyakarta, 2004

Winarno, Budi., Komparasi Organisasi


Pedesaan, Media Pressindo,
Yogyakarta, 2003
Suhardiman Syamsu, Memahami Perkembangan Desa di Indonesia 88

Anda mungkin juga menyukai