Anda di halaman 1dari 2

Nama : Revaldi Arviansyah

Nim : 19-65-201-034
Kelas : 2A Ilpem Malam
Prodi : Sistem Pemerintahan Indonesia
Dosen : Riska Sarofah

REVIEW JURNAL
KONSOLIDASI DEMOKRASI: TANTANGAN REFORMASI

Hasil Review saya setelah membaca jurnal tersebut :

Pada tahun 1945 sejarah membuka pintu gerbang demokrasi Kepada bangsa ini Ketika
para pendiri negara ini bersepakat Memproklamirkan negara Republik Indonesia. Meski ada
perdebatan Tajam sesama pendiri negara tentang benruk dan tata pemerintahan serta Jaminan
hak-hak asasi manusia tetapi semangat membangun demokrasi adalah semangat yang
menggelora di dalam semua dada para pendiri negara. Mengenai demokrasi seperti yang
tertera dipembukaan UUD 1945 Alinea keempat, alinea tersebut tak menyebut kata
demokrasi akan tetapi membaca risalah rapat pembuatan UUD 1945 kita akan takjub bahwa
semangat Demokrasi itu begitu kuat, dan kalau tak ada kata sepakat maka pendapat yang
mendapat dukungan mayoritas menjadi pendapat yang disepakati.
Setelah UUD 1945 diresmikan, lalu munculan UUD 1949 dan UUDS 1950 yang sangat
sarat dengan jaminan hak asasi manusia. Sampai tahun 1950an demokrasi ini begitu menarik
dengan semua pasang surut dan jatuh bangunnya kabinet, upaya untuk membuat UUD baru
pun timbul dengan melalui Konstituante dengan harapan akan membuka Lebih lebar lagi
pintu demokrasi. Akan tetapi sangat disayangkan ketika itu konflik politik begitu kental
dirasakan, dan konflik-konflik itu mulai ditunggangi untuk kepentingan oknum yang merasa
khawatir bahwa demokrasi akan menghancurkan negri sendiri. Salah satu penyebab hal ini
terjadi karena kondisi ekonomi tidak rnenunjukkan pertumbuhan yang mengesankan.
Sejak jaman revolusi aparatur negara telah ikut serta dalam panggung politik kekuasaan,
dan terus mendorong terjadinya Perubahan politik yang akhirnya berpuncak pada
dibubarkannya Konstituante dan dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 yang menyatakan
berlakunya kern bali UUD 1945. Ketika itu Soekarno merasa bahwa Indonesia yang
diproklamirkannya berada dalam bahaya perpecahan yang pada akhirnya melahirkan situasi
politik yang secara diametral bertentangan dengan demokrasi yang dulu hendak ditegakkan.
Demokrasi pun seolah-olah kehilangan maknanya, ketika Indonesia memasuki jaman
“Demokrasi Terpimpin” dan kemudian diikuti dengan “Demokrasi Pancasila”. Kedua jaman
tersebut tak lain dari pengingkaran terang-terangan atas prinsip-prinsip demokrasi. Salah satu
contoh pengingkaran demokrasi tersebut adalah pengangkatan presiden seumur hidup,
pengangkatan anggota DPR, pembubaran partai politik, pembredelen surat kabar, masuknya
tentara dalam partai politik, floating mass, dan Penerapan asas tunggal. Kesemua ini adalah
praktek yang lazim ditemui di negara-negara otoriter, tetapi lucunya pemimpin negeri ini tak
pernah sudi mengakui bahwa Indonesia itu sebagai negara otoriter.
Melihat kekuasaan otoriter diIndonesia tak terlepas dari pemerintahan Soeharto, beliau
menjabat sebagai presiden lebih dari 30 tahun. Sistem pemerintahan otoriter tak akan bisa
berjalan baik dan effektif karena kekuasaan selalu akan korupsi, dan yang lebih penting lagi
adalah karena tak ada oposisi. Disinilah kekuasaan otoriter itu menjadi busuk, dan pada
akhirnya rontok. Karena itu sistem demokratis, akan jauh lebih menguntungkan rakyat
banyak karena terbukanya pintu kontrol. Korupsi lebih banyak di negara otoriter ketimbang
di negara demokratis. Artinya, pilihan terbaik bagi rakyat adalah demokrasi meski demokrasi
tak menjanjikan keadilan yang merata, tetapi demokrasi akan lebih mampu menahan korupsi
dan kesewenangan kekuasaan yang lebih menyesengsarakan rakyat. Setidaknya pada negara
demokrasi rakyat itu punya hak suara. Dalam sistem politik yang mapan kuatnya oposisi dan
kebebasan pers akan mampu menjaga kekuasaan untuk tidak menJadi korup (meski korupsi
tak akan bisa diberantas secara menyeluruh).
Jatuhnya Soeharto membuka kembali momentum demokrasi yang membuka untuk
kedua kalinya pintu gerbang kemerdekaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Upaya
pembentukan konstitusi Baru yang memungkinkan demokrasi bisa diterjemahkan dalam
kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Seperti kita ketahui sekarang sudah ada tiga kali
perubahan UUD 1945 sehingga kita mengenal perubahan Pertama (the First Amendement),
Perubahan Kedua (the Second Amendement) dan Perubahan Ketiga (the Third
Amendement). Perubahan perubahan tersebut tidak ideal tetapi UUD 1945 tidak lagi
diperlakukan sebagai sesuatu yang sakral.
Membaca Perubahan Pertama, Perubahan Kedua dan Perubahan ketiga UUD 1945, kita
tak mendapat kesan bahwa kita tengah membuat suatu Konstitusi yang komprehensif dengan
suatu paradigma demokratik yang jelas. Proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung yang sudah diamanatkan tidak jelas akan dibawa kemana jika tak ada calon yang
memenangkan suara 50% plus. Artinya, sangat mungkin pemilihan babak kedua dilakukan di
MPR oleh anggota-anggota MPR dengan suara terbanyak. Kalau ini yang terjadi maka
demokrasi yang dikehendaki di penghujung jalan kembali ditelikung oleh sistem kekuasaan
yang tak demokratis.
Marilah kita mulai bersikap jujur kepada diri kita: apakah kita akan membangun
kedaulatan rakyat, demokrasi, supremasi hukum dan hak asasi manusia? Atau kita akan
kembali ke masa lampau yang otoriter dimana kedaulatan ada di tangan penguasa, dimana
hukum dan kebenaran tergantung pada kedermawanan kekuasaan?
UUD Baru bukanlah sebuah obat mujarab, tetapi UUD Baru jika dia dibuat dengan amat
komprehensif melalui proses partisipatoris pasti akan mampu menjadi kontrak sosial baru
yang membawa harapan baru bagi masadepan kita, masadepan anak cucu kita.

Anda mungkin juga menyukai