Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM TEKNOLOGI FITOFARMASETIKA


PERCOBAAN 3
KONTROL KUALITAS EKSTRAK

DISUSUN OLEH:
NAMA : MELLIAWATY FAJRIN
NIM : 1808010091
KEL/GOL : B/B2

LABORATORIUM BIOLOGI FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2021
WORKSHEET PTAKTIKUM PERCOBAAN III. KONTROL KUALITAS
KONTROL KUALITAS
Disusun oleh Melliawaty Fajrin (1808010091) Kelompok B
Praktikum Teknologi Fitofarmasetika

NO JENIS ITEM URAIAN KEGIATAN


1 JUDUL KONTROL KUALITAS EKSTRAK

Setelah melakukan praktikum ini mahasiswa diharapkan


2 TUJUAN mampu: memahami prinsip dan dapat melakukan kontrol
kualitas ekstrak sehingga bisa memahami konsep lebih luas lagi
yaitu standardisasi ekstrak.

Pengendalian mutu untuk efikasi dan dan keamanan dari


3 PENGERTIAN obat herbal adalah hal yang sangat penting. Kualitas dapat
didefinisikan sebagai status obat yang ditentukan oleh identitas,
kemurnian, konten, dan sifat fisika, kimia serta biologi atau dari
proses manufakturnya. Kontrol kualitas adalah istilah yang
mengacu kepada proses yang terjadi dalam mempertahankan
kualitas dan validitas dari sebuah produk yang diproduksi.
Istilah “obat herbal” menunjukkan tanaman atau bagian tanaman
yang telah diubah menjadi sediaan fitofarmasetika dengan
proses sederhana yang melibatkan proses panen, pengeringan,
dan penyimpanan (EMEA, 1998).
Pengendalian mutu obat herbal biasanya diawali dengan
standardisasi ekstrak yang merupakan serangkaian identifikasi
dan pengukuran parameter standar ekstrak simplisia dan
membandingkan hasil pengukuran tesebut dengan persyaratan
yang tercantum dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat
Indonesia. Standardisasi didasarkan pada senyawa aktif, ataupun
senyawa penandanya jika senyawa aktif masih belum
teridentifikasi atau masih diduga. Standardisasi dilakukan secara
fisika, kimia, dan biologi. (Parwata, 2017).
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani
dengan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hamper semua
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa
diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan. Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi
bahan baku obat secara perkolasi. Seluruh perkolat biasanya
dipekatkan secara destilasi dengan pengurangan tekanan, agar
bahan sesedikit mungkin terkena panas (Ditjen POM, 2000).
Ekstrak tumbuhan obat yang dibuat dari simplisia nabati
dapat dipandang sebagai bahan awal, bahan antara atau bahan
produk jadi. Ekstrak sebagai bahan awal dianalogkan sebagai
komoditi bahan baku obat dengan teknologi fitofarmasi diproses
menjadi produk jadi. Ekstrak sebagai bahan antara berarti masih
menjadi bahan yang dapat diproses lagi menjadi fraksi-fraksi,
isolat senyawa tunggal ataupun tetap sebagai campuran dengan
ekstrak lain. Ekstrak sebagai produk jadi berarti ekstrak yang
berada dalam sediaan obat jadi siap digunakan oleh penderita
(Ditjen POM, 2000). 
Standardisasi dilakukan berdasarkan parameter yang
terdapat di standar Farmakope Herbal Indonesia (2008) yang
mencakup hal-hal berikut :
 Rendemen ekstrak
 Identitas ekstrak yang merupakan pemerian dari ekstrak
itu sendiri, meliputi : konsistensi (kekentalan), warna,
bau, dan rasa
 Senyawa identitas yang merupakan kandungan kimia
ekstrak/simplisia yang dapat digunakan untuk
identifikasi
 Abu total
 Abu tidak larut asam
 Kadar air
 Kandungan kimia ekstrak yang meliputi kadar minyak
atsiri dan kadar senyawa identitas dalam ekstrak
Secara umum, kontrol kualitas didasarkan pada tiga
definisi penting menurut farmakope, yaitu :
1. Identitas- harus terdiri dari satu tumbuhan
2. Kemurnian- tidak boleh ada kontaminan lain selain
tumbuhan itu sendiri
3. Konten atau pengujian- konsituen aktif harus berada
dalam batas-batas yang ditentukan
Hal ini jelas bahwa konten merupakan salah satu hal
yang paling sulit untuk diuji, karena dalam obat herbal
konstituen aktifnya tidak diketahui. Terkadang senyawa marker
dapat digunakan, yang mana berarti, secara kimiawi
konstituennya dapat ditentukan untuk tujuan pengendalian,
terlepas apakah senyawa itu memiliki aktivitas terapetik atau
tidak (WHO, 1992).

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Direktorat


4 SUMBER Pengawasan Obat Tradisional, 2000. Parameter Standar
Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
EMEA. Quality of herbal medicinal products. Guidelines.
European Agency for the Evaluation of Medicinal
products (EMEA), London, 1998.
Parwata, I.M.O.A. 2017. Bahan Ajar Obat Tradisional.
Denpasar: Jurusan Kimia Laboratorium Kimia Organik
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Udayana.
WHO. 1992. Quality Control Methods for Medicinal Plant
Materials. World Health Organisation, Geneva.

1. PASCA PANEN
5 PROSEDUR A. Alat dan Bahan
 Rimpang kunyit segar
 Pisau stainless
 Telenan kayu
 Keranjang rganic
 Wadah pengeringan
 Kain hitam
 Oven
 Neraca analitik
 Label identitas simplisia
B. Prosedur Kerja
 Penyiapan bahan baku berupa rimpang kunyit segar, tidak
busuk, dan tidak cacat. Pemanenan dengan cara dicabut
sampai ke akarnya.
 Penyediaan Air dengan pencucian yang airnya digunakan
harus memenuhi syarat air bersih sesuai standar baku air
bersih.
 Sortasi basah/sortasi awal
Sortasi basah dilakukan dengan memilih rimpang yang baik,
tidak cacat/busuk, memisahkan rimpang yang baik dari yang
buruk/cacat/busuk, dan memisahkan rimpang dari kotoran-
kotoran yang menempel seperti tanah, daun, atau lainnya.
 Pencucian dan Penirisan
Pencucian rimpang dilakukan dengan air mengalir 3-5x
sampai bersih, rga juga dicuci dengan air bertekanan tinggi.
Kemudian rimpang ditiriskan agar terbebas dari air bekas
pencucian.
 Penimbangan
Penimbangan dilakukan untuk mengetahui bobot rimpang
sebelum dikeringkan.
 Perajangan
Perajangan dilakukan menggunakan pisau stainless.
Memotong/memperkecil ukuran rimpang menjadi sekitar 3-5
mm secara melintang atau membujur..
 Pengeringan
Pengeringan dilakukan menggunakan 2 metode yaitu alami
dan buatan. Alami menggunakan cahaya matahari secara
langsung selama 4 hari. Tiap 4 jam sekali rimpang dibolak balik.
Pengeringan buatan dilakukan menggunakan bantuan oven suhu
40-60oC.
 Sortasi kering/sortasi akhir dan Pengkelasan
Sortasi kering dilakukan untuk memisahkan simplisia kering
dari tanah yang menempel/ kotoran-kotoran yang menempel
pada saat pengeringan. Pengkelasan dilakukan agar simplisia
yang dihasilkan seragam.
 Pengemasan
Pengemasan dilakukan menggunakan plastic klip kedap
udara. Kemudian diberi label berisi nama produk, alamat
penghasil simplisia, tanggal produksi
 Penyimpanan
Penyimpanan merupakan kegiatan untuk mengamankan dan
memperpanjang masa penggunaan produk. Penyimpanan
dilakukan pada ruangdengan suhu, cahaya dan kelembabanudara
sesuai sifat dan karakteristik produk.
 Penyerbukan
Penyerbukan dilakukan untuk mengecilkan ukuran partikel,
sehingga cairan penyari dapat masuk menembus dinding sel
tumbuhan dan melarutkan senyawa di dalamnya.
2. PELAKSANAAN PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
 Ekstrak rimpang kunyit
 Etanol
 Neraca
 botol timbang
 ruang pengering
 eksilator
 destilator
 KLT

B. Prosedur Kerja
Menentukan randemen, organoleptis, susut
pengeringan, kadar air, kadar abu total, kadar abu tidak larut
asam, kadar senyawa yang larut dalam air, kadar senyawa larut
dalam etanol, profil KLT dan penetapan kadar senyawa dalam
ekstrak
3. EVALUASI
1. Kandungan Zat Aktif Ekstrak: Metoda analisis
Densitometri (Tyas, 2013)
 Fase gerak : Kloroform-metanol (95:5)
 Fase diam : silica gel 60 F254
 Larutan uji : 5% dalam etanol
 Larutan pembanding : kurkumin 0,1% dalam etanol
 Deteksi : UV366
2. Organoleptik Ekstrak
Menggunakan panca indera untuk mendiskripsikan
bentuk, warna, bau, dan rasa (Depkes RI, 2000). Caranya:
1. Bentuk (penglihatan): sampel diletakkan di atas
dasar yang bewarna putih, dilihat bentuk/rupa dan
warna.
2. Bau (penciuman): ambil sedikit ekstrak masukan
dalam lumpang, gerus, dan dicium baunya.
3. Rasa: ambil sedikit sampel diletakkan pada lidah
dan dikecap-kecap selama 10-50 detik kemudian
cuplikan dikeluarkan dari mulut dan penguji
berkumur-kumur dengan air.
a. Warna : Kuning kemerahan/kecoklatan
b. Bau : Aromatik/khas kunyit
c. Rasa : Pahit
d. Sifat Optik
2. Penetapan Kadar Sari Larut Air
a) Alat dan Bahan
Ekstrak, kloroform, labu, cawan, pemanas
b) Langkah kerja
Simplisia dan ekstrak masing-masing sebanyak 5g
ditimbang, masukkan ke dalam labu bersumbat, tambahkan 100
mL air jenuh kloroform. Kocok berkali-kali selama 6 jam
pertama, biarkan selama 18 jam. Filtrat disaring dan diuapkan
hingga kering dalam cawan dangkal beralas datar yang telah
ditara. Residu dipanaskan pada suhu 105°C hingga bobot tetap,
hitung kadar dalam % sari larut air (Depkes RI., 2008). Syarat
kadar sari larut air pada rimpang kunyit menurut FHI yaitu tidak
kurang dari 11,5%.
3. Penetapan Kadar Sari Larut Etanol
a) Alat dan Bahan
Serbuk simplisia, etanol 95%, Erlenmeyer,
cawan, pemanas
b) Langkah kerja
Serbuk simplisia sejumlah 5g yang sudah kering dan
dilarutkan menggunakan 100 mL etanol (95%), dalam labu
Erlenmeyer. Pada 6 jam pertama sari dikocok dengan shaker dan
18 jam selanjutnya didiamkan. Sari yang telah didiamkan,
disaring cepat untuk menghindarkan penguapan etanol (95%)
hingga 20 mL, selanjutnya filtrat diuapkan sampai mengering
pada cawan porselin. Sisanya dipanaskan pada suhu 105oC
hingga bobotnya tetap. Kadar persen sari larut etanol (95%)
dihitung terhadap bobot serbuk awal dalam % b/b (Depkes RI,
2008). Syarat kadar sari larut etanol pada rimpang kunyit
menurut FHI yaitu tidak kurang dari 11,4%.
PARAMETER NON SPESIFIK
1. Kadar Air (Anis, 2011)
a) Alat dan Bahan
Destilator
b) Langkah kerja
Kadar air ditetapkan dengan cara destilasi toluen.
Toluen yang digunakan dijenuhkan dengan air terlebih dahulu,
kemudian simplisia dan ekstrak masing-masing sebanyak 5 g
ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu alas bulat dan
ditambahkan toluen yang telah dijenuhkan. Labu dipanaskan
selama 15 menit, setelah toluen mulai mendidih,penyulingan
diatur 2 tetes/detik, lalu 4 tetes/detik. Setelah semua air
tersuling, pemanasan dilanjutkan selama 5 menit. Biarkan
tabung penerima dalam keadaan dingin mencapai hingga suhu
kamar. Volume air dibaca sesudah toluen dan air memisah
sempurna. (Depkes RI, 2008) . Kadar air yang dianjurkan
menurut FHI yaitu simplisia tidak lebih dari 10% karena jika
kadar air kurang dari 10% aktivitas enzim dan pertumbuhan
mikroba dapat dihambat.
2. Kadar Abu (Erma, 2019)
a) Alat dan Bahan
Ekstrak yang telah digerus, pemijar
b) Langkah kerja
Simplisia dan ekstrak masing-masing sebanyak 2g
ditimbang dan dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah
dipijar dan ditara, pijarkan perlahan-lahan hingga suhu yang
menyebabkan senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan
mengu-ap sampai tinggal unsur mineral dan anorganik saja yaitu
pada suhu 600 ± 25°C, dinginkan dan timbang. Kadar abu total
dihitung terhadap berat bahan uji, dinyatakan dalam % b/b
(Depkes RI, 2008). Kadar abu total menurut Farmakope Herbal
Indonesia untuk rimpang kunyit yaitu tidak lebih dari 8,2%.
3. Kadar Abu Tidak Larut Asam (Isa, 2018)
a) Alat dan Bahan
Abu, asam klorida
b) Langkah kerja
Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total
dididih-kan dengan 25 mL asam klorida encer LP selama 5
menit. Bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, saring
melalui kertas saring bebas abu, kadar abu yang tidak larut
dalam asam dihitung terhadap berat bahan uji, dinyatakan dalam
% b/b (Depkes RI., 2008). Kadar abu tidak larut asam menurut
Farmakope Herbal Indonesia untuk rimpang kunyit tidak boleh
lebih dari 0,9%
Pada praktikum P3 kali ini berjudul kontrol kualitas
6. PEMBAHASAN ekstrak, yang memiliki tujuan setelah melakukan praktikum ini
mahasiswa diharapkan mampu memahami prinsip dan dapat
melakukan kontrol kualitas ekstrak sehingga bisa memahami
konsep lebih luas lagi yaitu standardisasi ekstrak.
Pengendalian mutu obat herbal biasanya diawali dengan
standardisasi ekstrak yang merupakan serangkaian identifikasi
dan pengukuran parameter standar ekstrak simplisia dan
membandingkan hasil pengukuran tesebut dengan persyaratan
yang tercantum dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat
Indonesia. Standardisasi didasarkan pada senyawa aktif, ataupun
senyawa penandanya jika senyawa aktif masih belum
teridentifikasi atau masih diduga. Standardisasi dilakukan secara
fisika, kimia, dan biologi. (Parwata, 2017).
Standardisasi ekstrak adalah serangkaian identifikasi dan
pengukuran parameter standar ekstrak simplisia dan
membandingkan hasil pengukuran tesebut dengan persyaratan
yang tercantum dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat
Indonesia. Standardisasi didasarkan pada senyawa aktif, ataupun
senyawa penandanya jika senyawa aktif masih belum
teridentifikasi atau masih diduga. Standardisasi dilakukan secara
fisika, kimia, dan biologi.
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau hewani
dengan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hamper semua
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa
diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan.
Ekstrak yang digunakan yaitu ekstrak rimpang kunyit
dari simplisia rimpang kunyit. Rimpang kunyit dapat
dimanfaatkan sebagai obat tradisional seperti menyembuhkan
luka, antibakteri, mengurangi motilitas usus, menghilangkan bau
badan, menurunkan demam, meredakan diare karena adanya
kandungan senyawa fitokimia pada kunyit tersebut. Rimpang
kunyit mengandung minyak atsiri dan zat warna kuning yang
disebut kurkuminoid.
Simplisia rimpang kunyit memiliki pemerian berupa
irisan melintang rimpang, ringan, rapuh, bentuk hampir bulat
sampai bulat panjang, kadang-kadang bercabang, umumnya
melengkung tidak beraturan, kadang- kadang terdapat pangkal
upih daun dan pangkal akar, permukaan luar kasar, terdapat
bekas ruas-ruas, permukaan dalam dengan batas korteks dan
silinder pusat yang jelas, bekas patahan agak rata, berdebu;
warna kuning jingga, kuning jingga kemerahan sampai kuning
jingga kecokelatan, bekas patahan kuning jingga sampai cokelat
kemerahan; bau khas; rasa agak pahit, agak pedas, lama
kelamaan menimbulkan rasa tebal.
Langkah pertama yang dilakukan yaitu melakukan uji
organoleptik diperoleh hasil yaitu memiliki warna kuning
kemerahan dengan bau aromatik dan rasa pahit. Hal itu sesuai
dengan FHI dimana pemerian ekstrak rimpang kunyit berupa
kental, berwarna kuning, bau khas dan rasa agak pahit
Pemeriksaan organoleptik ekstrak bertujuan untuk memberikan
pengenalan awal terhadap simplisia dan ekstrak menggunakan
panca indra dengan mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan
rasa.
Selanjutnya dilakukan penetapan kadar sari larut air
bertujuan untuk mengetahui jumlah senyawa yang dapat tersari
dengan air dari suatu simplisia. Parameter uji penetapan kadar
sari larut air pada rimpang kunyit yaitu tidak kurang dari 11,5%.
Penetapan kadar sari larut etanol memiliki tujuan untuk
mengetahui jumlah senyawa yang dapat tersari dengan etanol
dari suatu simplisia. Untuk syarat penetapan kadar sari larut
etanol menurut FHI pada simplisia rimpang kunyit yaitu tidak
kurang dari 11,4%.
Penetapan kadar air simplisia dan ekstrak sangat penting
untuk memberikan batasan maksimal kandungan air di dalam
simplisia, karena jika kadar air terlalu tinggi akan menyebabkan
tumbuhnya mikroba yang akan menurunkan stabilitas ekstrak.
Kadar air yang dianjurkan pada simplisia dan ekstrak rimpang
kunyit menurut FHI yaitu tidak lebih dari 10% karena jika kadar
air kurang dari 10% aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroba
dapat dihambat.
Penentuan kadar abu total bertujuan untuk memberikan
gambaran jumlah kandungan logam dalam tanaman, sementara
abu tak larut asam menunjukkan adanya silikat. Baik logam
maupun silikat berasal dari tanah dan air yang dihisap oleh
jaringan tanaman. Kadar abu total menurut Farmakope Herbal
Indonesia untuk rimpang kunyit yaitu tidak boleh lebih dari
8,2%. Sedangkan untuk ekstrak kental rimpang kunyitnya yaitu
tidak lebih dari 0,4%.
Penetapan kadar abu tidak larut asam bertujuan untuk
mengindikasi adanya kontaminasi mineral atau logam yang tidak
larut asam dalam suatu produk. Tingginya kadar abu tidak larut
asam menunjukkan adanya kandungan silikat yang berasal dari
tanah atau pasir, tanah dan unsur logam perak, timbal dan
merkuri. Kadar abu tidak larut asam menurut Farmakope Herbal
Indonesia untuk rimpang kunyit tidak boleh lebih dari 0,9%
sedangkan untuk ekstrak rimpang kunyit yaitu tidak lebih dari
0,1%.
Penetapan susut pengeringan dengan tujuan untuk
memberikan Batasan maksimal (rentang) tentang besarnya
senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Massa yang
dapat hilang hilang karena pemanasan ini meliputi molekul air,
minyak atsiri, dan pelarut etanol. Untuk standar susut
pengeringan menurut FHI yaitu tidak lebih dari 10% untuk
rimpang kunyit.

1). Mahasiswa mampu memahami prinsip dan dapat


7. KESIMPULAN melakukan kontrol kualitas ekstrak sehingga bisa
memahami konsep lebih luas lagi yaitu standardisasi
ekstrak.
2). Kontrol kualitas dilakukan untuk memastikan kualitas mutu
ekstrak
3). Parameter standardisasi ekstrak kental rimpang kunyit
menurut FHI:
 Pemerian : Ekstrak kental, berwarna kuning, bau khas
dan rasa agak pahit
 Kadar air tidak boleh lebih dari 10%
 Kadar abu total tidak boleh lebih dari 0,4%
 Kadar abu tidak larut asam tidak boleh lebih dari 0,1%
4). Parameter standardisasi simplisia rimpang kunyit menurut
FHI yaitu:
 Kadar sari larut air tidak kurang dari 11,5%
 Kadar sari larut etanol tidak kurang dari 11,4%
 Kadar air tidak boleh lebih dari 10%
 Kadar abu total tidak boleh lebih dari 8,2%
 Kadar abu tidak larut asam tidak boleh lebih dari 0,9%
 Susut pengeringan tidak lebih dari 10%

Anda mungkin juga menyukai