Anda di halaman 1dari 7

.

         Perilaku pegawai tidak terlepas dengan budaya organisasi.  Ada ahli yang
mengatakan terdapat perbedaan antara budaya organisasi publik dan budaya
organisasi perusahaan atau privat atau korporat.  Bagaimana dengan istilah budaya
korporat? Apakah ada perbedaan antara budaya korporat dengan budaya organisasi? 
Sebelum menjelaskan mengenai budaya korporat sebaiknya perlu diulang kembali
pengertian budaya organisasi,  dimana menurut Kotter dan Hesket, budaya organisasi
merujuk pada nilai-nilai yang dianut bersama oleh orang  dalam kelompok dan
cenderung bertahan sepanjang waktu, bahkan meskipun anggota kelompok telah
berubah.  Selain pengertian tersebut, cukup banyak orang yang mendefinisikan budaya
organisasi dengan berbagai macam pengertian. 

         Budaya korporat dapat dianggap sebagai perekat atau ikatan yang menahan
suatu organisasi atau perusahaan agar bersatu.  Budaya korporat menggabungkan
nilai-nilai organisasi, norma-norma berperilaku, prosedur-prosedur serta kebijakan
pada suatu perusahaan.  Oleh karena itu sebenarnya tidak ada perbedaan yang
mendasar antara budaya organisasi dan budaya korporat atau perusahaan, dimana
budaya korporat lebih menekankan pada budaya yang terdapat pada suatu organisasi
bisnis atau perusahaan.  Lantas, faktor-faktor apa yang membentuk budaya korporat? 

         Pengaruh yang paling pokok pada budaya korporat sebenarnya adalah budaya
nasional suatu negara dimana perusahaan itu berada. Namun selain hal tersebut,
terdapat juga faktor lain yang turut membentuk budaya korporat misalnya
pandangannya dan interaksinya dengan lingkungan atau dunia luar; struktur
kepemilikan perusahaan juga berperan dalam membentuk budaya korporat (contohnya
adalah budaya perusahaan keluarga  kemungkinan akan berbeda dengan perusahaan
bisnis lainnya); jenis atau tipe produksi yang dihasilkan perusahaan (misalnya
perusahaan perangkat lunak komputer kemungkinan budayanya akan lebih informal

1
dan berwirausaha jika dibandingkan dengan bank investasi); atau perusahaan jasa
juga akan memiliki budaya yang berbeda dengan   perusahaan pertambangan. 

         Walaupun hampir sama dengan komponen yang membentuk budaya , seperti
bahasa, agama, dan humor, namun komponen budaya korporat lebih cenderung terkait
dengan  penerapan aspek-aspek kegiatan yang ada dalam suatu perusahaan. Masing-
masing komponen tersebut secara terpisah atau secara sendiri-sendiri belum  dapat 
menggambarkan nilai-nilai yang ada dalam suatu perusahaan.  Namun demikian jika
dilihat dari nilai-nilai atau sasaran perusahaan dalam membentuk budaya korporat,
menurut Charles Mitchel dalam Budaya Bisnis Internasional, komponen-komponen
dasar yang membentuk budaya korporat adalah sebagai berikut:

1. Sistem Imbal Jasa:


Contohnya adalah pegawai yang berperilaku yang bagaimana yang patut diberi
penghargaan atau diberi imbalan?
2. Keputusan mempekerjakan:
Dalam merekrut serta mempekerjakan pegawai, apakah perusahaan dalam
mencapai tujuannya lebih senang merekrut pegawai yang beragam latar
belakangnya, atau agar aman, perusahaan mempekerjakan tenaga kerja yang
homogen
3. Struktur Manajemen:
Dalam hal ini berarti bagaimana perusahaan itu dikelola, apakah dikelola oleh tim
eksekutif atau didominasi oleh otoritas pimpinan perusahaan.
4. Strategi pengambilan resiko:
Sejauh mana perusahaan berani mengambil risiko.  Apakah perusahaan senang
dengan suatu tantangan pasar serta mencari peluang-peluang yang ada, ataukah
telah puas dengan kondisi (baik produk atau pasar yang ada), demi amannya
kegiatan perusahaannya.
5. Kondisi fisik:
Bagaimana kondisi ruangan kantor didesain.  Apakah kantor lebih cenderung
tersekat-sekat ruangannya, agar nampak kewibawaan perusahaan padahal
kondisi tersebut  mungkin tidak mendukung proses komunikasi yang diharapkan.

2
Atau kantor dibuat terbuka, tanpa ada jarak yang nyata antara kantor manajemen
dengan tempat kerja staf.

        Mengenai pola perilaku organisasi dimana karyawan baru cenderung dan
terdorong mengikuti perilaku seniornya maka  untuk menambah kejelasan mengenai
peran pegawai senior atau pimpinan dalam kaitannya dengan budaya kerja, maka disini
akan dibahas mengenai langkah pemimpin dalam pelaksanaan program budaya kerja
seperti yang ditulis oleh Triguno, dalam bukunya Budaya Kerja, yaitu:

1.Memberi fokus yang sama mengenai visi dan strategi perusahaan.  Dengan
adanya kesamaan fokus tersebut maka komitmen, sinergi dan semangat kerja
organisasi dapat dilaksanakan dengan baik.
2.Melaksanakan penyempurnaan
Melakukan penyempurnaan adalah inti dari program budaya kerja karena dengan
penyempurnaan maka perubahan-perubahan yang diinginkan akan dapat
terlaksana, dimana organisasi akan mampu mempertahankan hidup dalam dunia
persaingan.
3.Mengubah budaya
Dalam hal mengubah budaya maka pimpinan harus mampu mengubah dirinya
terlebih dahulu.  Pimpinan organisasi harus mau menerima tanggung jawab dalam
rangka perubahan budaya .  Perubahan budaya tidak mungkin dilakukan dalam
sekejap waktu tetapi terjadi secara bertahap dan memerlukan waktu.
4.Pemimpin  jangan membuat suatu kesalahan dalam tahapan pelaksanaan
program budaya kerja, karena bila hal tersebut terjadi maka dapat melemahkan
semangat dan menurunkan kepercayaan bawahan terhadap pimpinan.

        Dalam  budaya organisasi dan kinerja,   menurut  Susanto, dalam bukunya Budaya
Perusahaan, untuk menjadikan budaya suatu perusahaan kuat, ditentukan oleh 2 faktor
utama yaitu:

a. Penyebaran nilai-nilai budaya


Tujuan dilakukannya penyebaran nilai-nilai budaya tersebut yaitu dengan maksud

3
agar seluruh sumber daya yang terdapat dalam perusahaan itu mengetahui secara
jelas tentang nilai-nilai yang terdapat didalam budaya perusahaan tersebut. Cara
penyebaran nilai-nilai budaya tersebut dapat dilakuan dengan melalui orientasi
tugas dan penghargaan terhadap prestasi kerja karyawan.
b. Tingkat komitmen anggota organisasi terhadap inti dari nilai-nilai yang ada
(core values).

         Komitmen karyawan terhadap nilai-nilai inti dari budaya perusahaan dapat
berkembang bersamaan dengan penghargaan yang diberikan kepada karyawan. 
Penghargaan oleh perusahaan tersebut dapat berupa peningkatan gaji, promosi atau
jenis-jenis penghargaan lainnya.    

         Ada kesepakatan umum bahwa tidak  mudah untuk menetapkan dalam hal yang
bagaimana suatu budaya dapat dikatakan baik serta dapat berfungsi baik didalam
keseluruhan organisasi dimanapun.  Suatu  budaya dapat dikatakan baik jika cocok
dengan konteksnya baik berupa kondisi obyektif dari industrinya, segmen industri
perusahaan, atau strategi bisnis itu sendiri.  Dengan demikian semakin besar
kecocokan budaya organisasi dengan konteksnya, akan semakin baik kinerjanya, dan
semakin kurang kecocokannya  maka akan semakin buruk kinerjanya.

         Sebuah budaya yang tidak memiliki perilaku birokratis, namun cepat dalam
pengambilan suatu keputusan, akan meningkatkan kinerja dalam lingkungan yang
kompetitif.  Selain itu sebuah budaya yang mendukung pembuatan keputusan yang
cepat, kemungkinan bermanfaat untuk perusahaan kecil tetapi sebaliknya mungkin
kurang menguntungkan bagi perusahaan yang besar.  Bagi budaya yang menghargai
struktur hirarkis yang stabil dan tinggi, kemungkinan cocok dalam lingkungan
perusahaan yang bergerak lamban, tapi akan tidak cocok dalam perusahaan industri
yang bergerak secara cepat dan kompetitif. Disamping itu perusahaan kecil yang
menggunakan teknologi canggih dan maju mungkin membutuhkan suatu budaya yang
lain   dibandingkan misalnya dengan budaya suatu perusahaan atau bank yang
besar.      

4
         Bagaimana membedakan budaya yang adaptif dan tidak adaptif?  Pada
umumnya budaya yang tidak adaptif bersifat birokratis. Para pegawai perusahaan
kurang kreatif, tidak berani mengambil risiko dan bersifat reaktif, tidak proaktif.  Karena
hambatan birokrasi maka informasi yang masuk tidak   lancar dan mengalir dengan
mudah dalam sendi-sendi organisasi.  Motivasi dan inovasi tidak dapat dimaksimalkan
karena adanya kontrol yang ketat dan luas.  Sebaliknya, budaya yang adaptif  cara
pendekatan yang dilakukan adalah proaktif, mau menanggung risiko, penuh
kepercayaan dan saling mendukung diantara anggota organisasi dalam memecahkan
masalah, dan mau menerima terhadap perubahan dan inovasi dalam organisasi. 
Selain itu tipe budaya adaptif ini juga menghargai dan mendorong kewiraswastaan,
yang membantu suatu perusahaan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
berubah serta berusaha mencari peluang-peluang dan tantangan-tantangan baru.

         Saudara mahasiswa, meskipun dari ketiga perspektif  mengenai budaya dan
kinerja perusahaan tidak ada satupun yang benar-benar memuaskan, namun mereka
telah mengulas dengan cukup lengkap dan memberikan pemahaman kepada kita
terhadap permasalahan mengapa suatu perusahaan lebih baik dibandingkan yang
lainyya? Mungkin sebuah model yang menggabungkan ketiga perspektif tersebut lebih
berpengaruh jika dibandingkan ketiganya masing-masing terpisah.

        Sekarang kita beralih ke pada permasalahan, kondisi yang bagaimana yang
dapat mengarah kepada budaya yang berkinerja rendah atau yang merusak kinerja
ekonomi perusahaan? Terdapat 3 aspek yang nampaknya dapat berpengaruh
terhadap perkembangan budaya yang tidak sehat tersebut yaitu:

1.Sifat angkuh dari seorang manajer atau pimpinan


Para manajer tidak terdorong untuk melihat dunia di luar perusahaannya dan
menganggap mereka tidak perlu mencari gagasan-gagasan peluang-peluang
bisnis yang baru.  Kondisi ini mungkin disebabkan oleh keberhasilan secara terus
menerus selama bertahun-tahun dengan tingkat kegagalan perusahaan yang
relatif rendah, sehingga kurang ada usaha. Kurangnya penghargaan terhadap
pelanggan maupun dari manajer untuk bersikap rendah hati.

5
2.Pemegang saham.
Sifat yang cenderung meremehkan orang lain karena tekanan atau desakan
eksternal yang kecil yang menurut mereka tekanan tersebut dapat diatasi dengan
kemampuan mereka sendiri.  Selain itu mereka juga cenderung tidak menghargai
kritik dan menganggap mereka tidak berbeda dengan konstituensi perusahaan,
yang membuat aturan-aturan dalam perusahaan.
3.Manajer kurang menghargai karyawan dan peran kepemimpinan pada berbagai
level atau tingkat yang ada.  Selain mereka cenderung menghambat kreatifitas dan
inovasi, para manajer juga  berperilaku dengan pola-pola yang sentralistis atau
birokratis.
Kondisi seperti itu akan merusak kinerja ekonomi perusahaan karena  para
manajer tersebut tidak melakukan apa-apa dalam membantu organisasi
perusahaan dalam beradaptasi dengan perubahan.   Pada saat kinerja
perusahaan menurun, karena tidak adanya kecocokan antara budaya dan
lingkungannya, perubahan yang diharapkan tetap  tidak muncul karena kombinasi
dari keadaan kesombongan, kepicikan, serta kurangnya sifat kepemimpinan dari
manajer.

         Sebenarnya faktor utama apa yang membedakan perubahan budaya utama yang
berhasil, dari perubahan yang tidak berhasil dalam suatu perusahaan? Kotter telah
mengadakan studi terhadap 10 organisasi perusahaan besar diantaranya General
Electric, British Airways, Nissan, ICI, SAS, Xerox, dll. Ternyata diperoleh kesimpulan
bahwa kepemimpinan yang kompeten di tingkat pusat lah yang membedakan
perubahan budaya utama yang berhasil dari perubahan yang tidak berhasil. Kemudian
menarik untuk dilihat bagaimana latar belakang kepemimpinan pada perusahaan-
perusahaan tersebut yang terkait dengan perubahan budaya ini.  Latar belakang
mereka dapat berasal dari dalam perusahaan atau dari luar perusahaan itu sendiri. 
Ada anggapan dimana peranan  perspektif orang luar dalam perubahan budaya
tersebut sangat  penting.  Keuntungan dari pemanfaatan orang luar adalah perspektif
orang luar mempunyai pandangan yang lebih luas dan mampu melihat bahwa
perusahaan tersebut  membutuhkan perubahan yang drastis, mereka memiliki kekuatan

6
untuk menentang aturan yang sudah mapan.  Namun dalam perubahan budaya,
ternyata pola yang terlihat dari studi tersebut adalah bahwa semakin besar organisasi
perusahaannya, maka pemimpin baru memiliki latar belakang dari orang dalam, dengan
kredibilitas, hubungan atau kemitraan, dan basis kemampuan kepemimpinan yang
dimilikinya.  Dari berbagai kajian dapat diasumsikan bahwa jarang suatu perusahaan
mengembangkan pemimpin yang kuat atau seorang eksekutif yang berasal dari luar
organisasi, dan kebanyakan organisasi menghasilkan beberapa individu yang berasal
dari sumber daya orang dalam yang kuat dan kredibel.  

         Mengapa perubahan tersebut terjadi pada puncak kepemimpinan organisasi, dan
prosesnya bukan dimulai dari tingkat yang lebih  bawah, atau  dengan inisiatif yang
datang dari manajemen tingkat menengah atau tingkat lebih rendah.? Jawabannya
adalah pertama dihubungkan dengan semata-mata faktor kesulitan untuk mengubah
budaya terutama karena harus berhadapan dengan kekuatan di puncak pimpinan
organisasi.  Kedua, berhubungan dengan interdependensi atau saling ketergantungan
di dalam organisasi dimana kondisi tersebut dapat mempersulit organisasi untuk
melakukan perubahan-perubahan.  Memang pada umumnya mereka yang berperan
dalam melakukan perubahan organisasi adalah mereka yang berada di puncak
pimpinan.

[atas][latihan][home]

Anda mungkin juga menyukai