Anda di halaman 1dari 16

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FKUP-RS HASAN SADIKIN

BANDUNG
Referat
Divisi : Infeksi dan Penyakit Tropis
Pembimbing : Dr. Djatnika Setiabudi, dr., MCTM., Trop. Ped
Dr. Anggraini Alam., dr. Sp.A(K)
dr. Riyadi, Sp.A(K)., M. Kes
Oleh : Azri Iskandar
Hari/Tanggal : November 2021

PENCEGAHAN DAN VAKSINASI MALARIA

Pendahuluan
Pada tahun 2017, diperkirakan 219 juta kasus malaria terjadi di seluruh dunia
dibandingkan dengan 239 juta kasus pada tahun 2010 dan 217 juta kasus pada
tahun 2016. Kasus malaria terbanyak pada tahun 2017 terjadi di Benua Afrika
(200 juta atau 92%), diikuti oleh Wilayah Asia Tenggara dengan 5% kasus dan
Wilayah Mediterania Timur dengan 2%. Pada tahun 2017, diperkirakan terdapat
435.000 kematian akibat malaria secara global, dibandingkan dengan 451.000
perkiraan kematian pada tahun 2016, dan 607.000 pada tahun 2010. 1 Annual
Parasite Incidence (API) per 1000 penduduk dapat menggambarkan angka
kejadian malaria di Indonesia. API malaria di Indonesia pada tahun 2019
meningkat dibandingkan tahun 2018, yaitu dari 0,84 menjadi sebesar 0,93 per
1000 penduduk. Di Jawa Barat jumlah kasus malaria pada tahun 2019 mencapai
25.521 jiwa dari 49.316.712 jiwa penduduk atau sebesar 0,01 per 1000 penduduk.2
Anak-anak berusia di bawah 5 tahun adalah kelompok yang paling rentan
terkena malaria. Pada tahun 2017, mereka menyumbang 61% (266.000) dari
semua kematian akibat malaria di seluruh dunia.1 Berdasarkan karakteristik umur,
point prevalence paling tinggi adalah pada umur 5-9 tahun (0,9%), diikuti
kelompok umur 1 -4 tahun (0,8%) dan umur 15 tahun (10,8%).3
Malaria dibedakan menjadi lima jenis berdasarkan parasit penyebabnya.
Pertama, Malaria Falciparum disebabkan oleh Plasmodium falciparum dengan
gejala demam timbul intermiten. Jenis ini merupakan yang paling parah dan
sering menyebabkan kematian. Kedua, Malaria Vivaks disebabkan Plasmodium

1
vivax dengan gejala demam berulang dengan interval bebas selama 2 hari. Ketiga,
Malaria Ovale yang disebabkan Plasmodium ovale dengan manifestasi klinis
cenderung ringan. Keempat, Malaria Malariae yang disebabkan Plasmodium
malariae dengan gejala demam berulang dan interval bebas demam 3 hari.
Terakhir adalah Malaria Knowlesi yang disebabkan Plasmodium knowlesi. Kasus
ini belum banyak ditemukan di Indonesia.4
Parasit malaria ditularkan oleh gigitan nyamuk Anopheles betina yang
terinfeksi Plasmodium spp. Ketika menggigit manusia lainnya, nyamuk yang
terinfeksi menyuntikkan sporozoit Plasmodium spp. bersama dengan air liur
antikoagulasi. Sporozoit yang merupakan tahap infektif dan motil Plasmodium
spp. Akan memulai perjalanannya dalam tubuh manusia melalui kulit ke limfatik
hingga hepatosit.5, 6
Gejala umum malaria adalah demam. Sifat demam dapat berbeda tergantung
jenisnya. Demam akut (paroksismal) didahului oleh stadium dingin, menggigil,
kemudian diikuti demam tinggi dengan banyak keringat. Gejala demam biasanya
ditemukan pada penderita non imun (berasal dari daerah non endemis). Gejala lain
yang dapat ditemukan adalah nyeri kepala, mual, muntah, diare, pegal-pegal, dan
nyeri otot. Gejala tersebut biasanya terdapat pada orang-orang yang tinggal di
daerah endemis (imun).4 Komplikasi yang signifikan dari malaria adalah malaria
serebral, anemia malaria berat, dan sindrom nefrotik. Malaria serebral paling
sering terjadi pada infeksi P. falciparum. Anemia malaria berat berasal dari
mekanisme yang diperantarai TNF-alpha yang melibatkan penurunan produksi
eritrosit termasuk lisis sel karena parasit bereplikasi dan keluar dari eritrosit.
Sindrom nefrotik terjadi akibat deposisi kompleks antigen-antibodi glomerulus
dan sering terjadi pada P. malariae dan P. knowlesi.7

Malaria telah menjadi beban global selama beberapa tahun serta berkontribusi
dalam mortalitas dan morbiditas terutama pada anak di bawah 5 tahun.
Pencegahan serta pengendalian malaria sejak dini dapat mengurangi angka
kematian pada anak dan remaja. Selain itu juga dapat mengurangi angka transmisi
terutama pada daerah endemis.8 Vaksin adalah alat yang ideal untuk mencegah

2
malaria. Namun, pengembangan vaksin malaria secara teknis menghadapi banyak
tantangan dibandingkan vaksin bakteri dan virus. Genom Plasmodium jauh lebih
besar dan lebih kompleks daripada genom bakteri dan virus. Selain itu,
Plasmodium memiliki tiga tahap dalam siklus hidupnya dengan reproduksi
aseksual dan seksual dalam dua inang yang berbeda. 9 Referat ini akan membahas
mengenai pencegahan dan vaksinasi malaria terutama pada anak dan remaja.

Pencegahan Non Medikamentosa


Pencegahan malaria non medikamentosa dapat dilakukan menyesuaikan dengan
status wilayah. Pada wilayah non endemis pengawasan, peningkatan
kewaspadaan, dan edukasi kesehatan dapat dilakukan. Pengawasan meliputi
identifikasi dan penatalaksanaan dini pada kasus malaria. Apabila malaria tidak
ditemukan, pelayanan kesehatan dapat meningkatkan kewaspadaan untuk
mengantisipasi apabila sewaktu-waktu kasus malaria kembali terdeteksi.10
Pengendalian vektor nyamuk Anopheles dapat dilakukan baik di daerah
endemis maupun non endemis. Pengendalian vektor yang didukung pengawasan
dan investigasi entomologi perlu diperlukan agar intervensi dapat dilakukan
dengan cepat jika terjadi kasus.11 Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan
upaya-upaya berikut:8
1. Kelambu Insektisida (ITN)
Kelambu ini dapat bertahan hingga 3 tahun dengan insektisida bekerja
efektif untuk 12 bulan. WHO merekomendasikan agar semua kementerian
kesehatan dan lembaga donor meningkatkan distribusi ITN, khususnya
untuk populasi sasaran anak kecil dan ibu hamil.
2. Penyemprotan residu dalam ruangan (IRS)
IRS adalah strategi utama dalam Kampanye Pemberantasan Malaria
Global yang menghasilkan eliminasi malaria di banyak negara. Pada tahun
2015, sekitar 106 juta orang dilindungi oleh IRS. Secara umum, IRS
digunakan di daerah dengan transmisi rendah dan/atau musiman.12
3. Manajemen sumber larva (LSM)

3
Pengelolaan sumber larva (LSM) adalah pengelolaan habitat perairan yang
berpotensi sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk untuk mencegah
perkembangan larva menjadi dewasa. Pengendalian dapat dilakukan
dengan menghilangkan genangan air yang berpotensi sebagai tempat
berkembang biak, menempatkan predator seperti ikan untuk memakan
larva nyamuk, dan penerapan agen kimia maupun biologi yang mampu
membunuh larva.
Kelompok rentan di negara-negara endemik malaria dapat menggunakan
beberapa tingkat perlindungan terhadap malaria. Beberapa kelompok rentan antara
lain ibu hamil, balita, penduduk nomaden, dan orang yang akan berpergian ke
wilayah endemik. Terapi pencegahan intermiten pada bayi (IPTi) dengan
sulfadoksin pirimetamin (SP) adalah pengobatan antimalaria lengkap yang telah
terbukti mengurangi malaria klinis, anemia, dan kematian. Analisis data yang
dikumpulkan dari enam uji coba pada IPTi dengan SP menunjukkan 30% efikasi
terhadap malaria klinis dan 21% terhadap anemia pada tahun pertama kehidupan.
Kemoprevensi malaria musiman (SMC) biasanya diberikan oleh petugas
pelayanan kesehatan masyarakat menggunakan SP yang dikombinasikan dengan
amodiakuin (AQ) pada interval bulanan untuk anak-anak usia 3 hingga 59 bulan
di daerah transmisi musiman akut. Uji coba klaster acak bertahap yang melibatkan
lima puluh empat pos kesehatan yang dilakukan di Senegal dari tahun 2008
hingga 2010, pada anak-anak usia 3-59 bulan, menunjukkan bahwa terdapat
pengurangan 60% dalam kejadian kasus malaria yang dikonfirmasi oleh tes
diagnostik cepat (RDT) dan pengurangan 69% dalam jumlah pengobatan untuk
malaria.13

Pencegahan Medikamentosa
Infeksi Plasmodium menghasilkan spektrum efek klinis yang luas termasuk
parasitemia tanpa gejala, malaria tanpa komplikasi, malaria berat, hingga
kematian. Malaria berat dan fatal sebagian besar disebabkan oleh P. falciparum
yang menyebabkan sekuestrasi sel darah merah. Hal ini mengakibatkan obstruksi
mikrosirkulasi dan disfungsi organ.14 Pencegahan medikamentosa dilakukan untuk

4
membunuh parasit di salah satu maupun seluruh tahap stadium kehidupannya.
Klorokuin dan sulfodoksin-pirimetamin tidak lagi digunakan karena tingginya
resistensi P. falciparum di banyak negara. Penatalaksanaan malaria tidak berat
meliputi pengobatan simptomatik dan pengobatan anti-malaria bertujuan untuk
eradikasi parasit dalam tubuh dan mencegah terjadinya komplikasi.15, 16
Berdasarkan rekomendasi Center for Disease Control and Prevention (CDC),
daerah di Indonesia dengan malaria meliputi seluruh wilayah Indonesia bagian
timur (provinsi Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua
Barat), termasuk kota Labuan Bajo dan Kepulauan Komodo di wilayah Nusa
Tengarra. Daerah pedesaan Kalimantan (Kalimantan), Nusa Tenggara Barat
(termasuk pulau Lombok), Sulawesi, dan Sumatera. Transmisi rendah di daerah
pedesaan Jawa, termasuk Pangandaran, Sukabumi, dan Ujung Kulon. Transmisi
tidak ditemukan di Jakarta dan Ubud, kawasan resor Bali dan Jawa, serta
Kepulauan Gili dan Kepulauan Seribu.17 Beberapa golongan obat yang dapat
digunakan untuk mencegah dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pencegahan Medikamentosa Malaria18
Jenis Obat Penggunaan Kontraindikasi
Atovakuon/Proguanil 1-2 hari sebelum Tidak dapat dikonsumsi
(Malaron) berpergian ke wilayah anak <5 kg
endemis dan 7 hari setelah
Anak-anak berpergian
5-8 kg: tablet pediatrik
setiap hari. Efek samping jarang
8-10 kg: tablet anak dilaporkan
setiap hari.
10-20 kg: 1 tablet anak Tablet untuk anak tersedia
setiap hari. secara khusus
20-30 kg: 2 tablet anak
setiap hari.
30-40 kg: 3 tablet anak
setiap hari.
>40 kg: 1 tablet dewasa
setiap hari.
Klorokuin 1-2 minggu sebelum Beberapa daerah dengan
perjalanan, sekali/minggu resistensi klorokuin atau
Anak-anak selama perjalanan, dan meflokuin tidak dapat
5 mg/kBB (8,3 mg/kg selama 4 minggu setelah menggunakan
garam) (maksimum dosis berpergian pencegahan ini
dewasa) sekali/minggu

5
Doksisiklin 1-2 hari sebelum Anak usia <8 tahun
perjalanan, setiap hari
Anak-anak selama perjalanan, dan
8 tahun: 2,2 mg/kg selama 4 minggu setelah
(maksimum dosis berangkat
dewasa) setiap hari
Meflokuin 1-2 minggu sebelum Tidak dapat digunakan
perjalanan, setiap minggu di area dengan resistensi
Anak-anak selama perjalanan, dan meflokuin
9 kg: 4,6 mg/kg basa (5 selama 4 minggu setelah
mg/kg garam), mingguan berangkat Tidak dapat digunakan
10-19 kg: tablet setiap pada orang dengan
minggu gangguan kejang,
20-30 kg: tablet setiap kondisi kejiwaan
minggu tertentu, dan kelainan
31-45 kg: tablet setiap konduksi jantung
minggu
>45 kg: 1 tablet setiap
minggu

Primakuin 1-2 hari sebelum Tidak dapat digunakan


perjalanan, setiap hari untuk orang dengan
Anak-anak selama perjalanan, dan defisiensi G6DP
0,5 mg/kg dasar hingga selama 7 hari setelah
dosis dewasa setiap hari berangkat

Salah satu obat yang


paling efektif untuk
mencegah P. vivax
sehingga merupakan
pilihan yang baik untuk
bepergian ke tempat-
tempat dengan > 90%
malaria vivax

Vaksinasi Malaria
Vaksin adalah agen yang ideal untuk mencegah malaria. Namun, pengembangan
vaksin malaria menemui banyak tantangan. Genom parasit malaria (Plasmodium)
jauh lebih besar dan lebih kompleks daripada genom bakteri dan virus.
Plasmodium juga memiliki tiga tahap dalam siklus hidupnya dengan mengalami
reproduksi aseksual dan seksual dalam dua inang. Dua tahap pertama, yaitu, pra-
eritrositik dan eritrositik melibatkan reproduksi aseksual dalam tubuh manusia

6
sedangkan tahap ketiga melibatkan reproduksi seksual di dalam usus nyamuk.
Tantangan lain adalah kurangnya pasar vaksin mengingat malaria banyak
mempengaruhi negara-negara termiskin, kekurangan daya beli, dan produsen
vaksin memiliki sedikit insentif untuk mengembangkan vaksin.9
Vaksin malaria dikembangkan dalam tiga jenis kandidat yaitu vaksin pra-
eritrosit (pre-erythrocytic vaccine), vaksin fase darah (blood-stage vaccine) dan
vaksin penghambat penularan (transmission-blocking vaccine).
1. Vaksin pra-eritrosit (pre-erythrocytic vaccine)
Bertujuan untuk melindungi terjadinya infeksi di awal malaria di mana
parasit masuk atau berkembang dalam sel-sel hati. Vaksin ini merangsang
respons imun yang tidak hanya mencegah terjadinya infeksi namun juga
mampu menyerang sel hati yang terinfeksi jika memang telah terjadi
penularan. Vaksin ini dapat berupa rekombinan, protein hasil rekayasa
genetika, atau antigen dari permukaan parasit atau yang sel hati yang
terinfeksi. Vaksin ini juga dapat dibuat dengan DNA vaksin yang
mengandung informasi genetik untuk memproduksi antigen di dalam
resipien vaksin atau parasit hidup yang telah dilemahkan dalam bentuk
sporozoit.19
2. Vaksin fase darah (blood-stage vaccine)
Ditujukan untuk parasit pada masa replikasi parasit dalam sel-sel darah
merah malaria. Vaksin ini ditargetkan untuk menurunkan jumlah parasit
dalam darah.19
3. Vaksin penghambat penularan (transmission-blocking vaccine)
Bertujuan untuk menghambat siklus hidup parasit dengan menginduksi
antibodi yang akan menghalangi parasit untuk berkembang di dalam tubuh
nyamuk sesaat setelah menghisap darah orang yang telah divaksinasi.
Vaksin ini tidak dapat mencegah seseorang untuk tidak tertular malaria,
dan tidak juga mengurangi gejala penyakit melainkan membatasi
penyebaran infeksi oleh nyamuk terhadap orang yang sehat.19
Vaksin RTS,S/AS01 (Mosquirix™) adalah vaksin malaria pertama yang diakui
WHO. WHO menyatakan bahwa vaksin RTS,S/AS01 dapat digunakan secara luas

7
untuk menekan kasus malaria falciparum terutama pada anak. Orang tua,
pengasuh, dan orang dewasa disarankan untuk menggunakan intervensi lain selain
vaksin. Vaksin malaria diperkenalkan secara bertahap di daerah-daerah tertentu di
mana proporsi orang yang terinfeksi malaria adalah 20% atau lebih. Hingga saat
ini, vaksin RTS,S/AS01 hanya tersedia untuk penggunaan di Ghana seperti Brong
Ahafo, Central dan Volta. Sementara wilayah lainnya akan menerima vaksin di
kemudian hari. Vaksin malaria diberikan sebanyak 4 dosis pada usia 6 bulan
(dosis 1), 7 bulan (dosis 2), 9 bulan (dosis 3), dan 24 bulan (dosis 4).20
Vaksin RTS/AS01 diciptakan pada tahun 1987 sebagai bagian dari kolaborasi
antara GlaxoSmithKline (GSK) dan Institut Penelitian Angkatan Darat Walter
Reed (WRAIR). Kedua kelompok ini berusaha mengembangkan vaksin
berdasarkan studi bukti konsep bahwa sporozoit yang dilemahkan melalui radiasi
dapat melindungi individu dari dari infeksi malaria.21 Pada tahun 2004 dilakukan
uji efikasi pertama dilakukan pada anak-anak. Ditemukan bahwa tingkat kejadian
malaria adalah 37% lebih rendah daripada kelompok kontrol selama enam bulan
pertama setelah dosis vaksin ketiga. Efikasi vaksin vaksin adalah 27% untuk
semua episode klinis dan 58% untuk penyakit yang parah. Follow up selama 12
bulan menunjukkan efikasi vaksin sebesar 29% untuk semua episode klinis dan
39% untuk malaria berat.22 Hasil uji Tahap 3 menunjukkan bahwa di antara anak-
anak berusia 5-17 bulan yang menerima 4 dosis RTS,S/AS01, efikasi vaksin
terhadap malaria adalah 36% selama 4 tahun follow up.21 Efikasi vaksin lebih
rendah terjadi pada usia anak lebih muda (6-12 minggu) dibandingkan pada anak-
anak yang lebih tua (5-17 bulan).23
Vaksin RTS,S/AS01 dibentuk oleh pengulangan protein CS (CSP) dan 18
ulangan empat urutan asam amino NANP yang digabungkan dengan adjuvant-
AS01. Susunan ini dapat menginduksi respons antibodi IgG dan sel T yang kuat
ke daerah pengulangan protein CS.24 Sekitar 25% monomer antigen permukaan
virus hepatitis B (HBsAg) secara genetik menyatu dengan CSP dan berfungsi
sebagai pembawa protein. Fragmen CSP di RTS,S mengandung tiga epitop sel T
yang diketahui: epitop sel T CD4 + yang sangat bervariasi sebelum domain mirip

8
TSP (TH2R), epitop sel CD8 + T yang sangat bervariasi di dalam domain mirip
TSP ( TH3R), dan epitop sel CD4 + T “universal” (CS.T3) di terminal-C.21

Gambar 1. Penggambaran Grafis Struktur RTS,S21


Penyuntikan dua dosis pertama vaksin menimbulkan respons humoral yang
ditandai dengan respon IgG. Kompleks imun Ig-CSP harus ketika dosis vaksin
ketiga di mana antigen CSP diberikan. Pada hari pertama setelah dosis ketiga,
respon interferon timbul dengan keterlibatan FCGR oleh kompleks imun IgG-
CSP. Selanjutnya IFN Tipe 1 terinduksi dan jumlahnya meningkat serta teramati
pada hari ke-3 hingga 14 setelah injeksi. Gen IFI yang diinduksi IFN juga
teramati.25 Interferon tipe I (IFN-Is) adalah sitokin penting yang memainkan peran
penting dalam melawan infeksi parasit malaria. IFN-Is telah terbukti menghambat
perkembangan parasit di hati dan darah, menekan aktivasi sel T dan respon imun
adaptif, serta meningkatkan produksi sitokin dan kemokin proinflamasi.26

9
Gambar 2. Mekanisme Imunologi Vaksin Malaria RTS,S25
Vaksin RTS,S generasi berikutnya dengan antigen CS tambahan sedang
dikembangkan. Vaksin ini disebut vaksin R21 dan sedang diteliti untuk efikasi
yang lebih luas. Prospek lain untuk meningkatkan efikasi vaksin termasuk
mepertimbangkan pemberian dosis alternatif, dosis booster, peningkatan
imunogenisitas dengan adjuvant, atau sebagai bagian dari produk multikomponen
(kombinasi dengan vaksin yang menargetkan tahap lain dari siklus hidup
parasit).27, 28

10
Penelitian Tentang Vaksin Malaria
Uji tahap 3 vaksin RTS,S/AS01 berlangsung dari 2009 hingga 2014 di 7 negara
Afrika sub-Sahara. Uji ini melibatkan 15.459 anak, termasuk 8922 anak-anak usia
5–17 bulan dan 6537 bayi usia 6–12 minggu. Peserta secara acak dibagi menjadi
dua perlakuan. Kelompok pertama menerima tiga dosis RTS,S/AS01 pada bulan
0, 1 dan 2 dan dosis booster pada bulan 20 sedangkan kelompok kedua mendapat
empat dosis injeksi meliputi tiga dosis RTS,S/AS01 dan satu dosis vaksin
konjugat serogrup C meningokokus (Menjugate, Novartis, Basel, Swiss) pada
bulan ke-20. Rejimen 3 dosis menunjukkan efikasi yang lebih rendah terhadap
malaria klinis pada kedua kelompok usia. Efikasi terhadap malaria klinis juga
menurun pada kelompok 4 dosis meski pengurangan terjadi lebih lambat. Di
antara bayi usia 6-12 minggu, efikasi vaksin dari rejimen 3 dan 4-dosis terhadap
malaria klinis dan malaria berat lebih rendah daripada efikasi pada anak usia 5-17
bulan.29
Tabel 2. Hasil Efikasi RTS,S/AS01 Fase 3
Usia 6-12 Usia 5-17
Kelompok Usia minggu bulan
(n = 6537) (n = 8922)
Efikasi vaksin terhadap malaria klinis, kelompok
18.3% 28.3%
3 dosis (95% CI)
Efikasi vaksin terhadap malaria klinis, kelompok
25.9% 36.3%
4 dosis (95% CI)
Efikasi vaksin terhadap malaria berat, kelompok
10.3% 1.1%
3 dosis (95% CI)
Efikasi vaksin terhadap malaria berat, kelompok
17.3% 32.2%
4 dosis (95% CI)

Penelitian Olotu dkk.30 menunjukkan efikasi vaksin RTS,S/AS01 terhadap


malaria falciparum klinis pada anak berusia 5-17 bulan, selama rata-rata 8 bulan
masa follow up di Kenya dan Tanzania. Penelitian ini dilakukan dari Maret 2007
hingga 2008. 894 anak menjadi bagian dalam penelitian ini dengan 447 anak di
setiap kelompok perlakuan. Dalam analisis per-protokol, 82 dari 415 anak dalam
kelompok RTS,S/AS01E dan 125 dari 420 pada kelompok vaksin rabies memiliki
episode malaria klinis pertama atau satu-satunya dalam 12 bulan. Nilai efikasi
vaksin adalah 39,2% (95% CI 19 ·5–54·1, p=0·0005). Pada follow-up 15 bulan,

11
58 dari 209 anak dalam kelompok RTS,S/AS01E dan 85 dari 206 pada kelompok
vaksin rabies memiliki episode malaria klinis pertama dan efikasi vaksin sebesar
45,8% (24·1–61·3 , p=0·0004). Efek samping yang paling umum ditemukan
adalah pneumonia, kejang demam, dan gastroenteritis.
Studi oleh Tinto dkk.31 dilakukan sejak 27 Maret 2009 hingga 31 Januari 2011
pada anak-anak (usia 5-17 bulan) dan bayi (usia 6-12 minggu) di tujuh negara di
Afrika sub-Sahara. Peserta menerima tiga dosis RTS,S/AS01 pada bulan 0, 1, dan
2 serta dosis booster pada bulan 20 (kelompok R3R), tiga dosis RTS,S/AS01 dan
satu dosis vaksin pembanding pada bulan ke-20 (kelompok R3C). Follow up
dilakukan hingga 31 Januari 2014. Hasilnya, pada kelompok R3R efikasi vaksin
sebesar 12,3% (95% CI 3,6-20,1). Sementara itu, kelompok yang mendapat dosis
booster selama 12 bulan setelah vaksinasi memiliki efikasi 25,6% (95% CI 18,2-
32,3).
Penelitian tentang vaksin RTS,S di Indonesia telah dilakukan Parera dan Tiala
terhadap dua kelompok usia yaitu 5-17 bulan dan 6-12 minggu. RTS,S
dikombinasikan dengan sistem adjuvan untuk meningkatkan respon imun. Hasil
uji klinis fase 2b RTS,S/AS02 menunjukkan hasil yang menjanjikan. Fase 3 uji
klinis RTS,S/AS01 yang mulai dilakukan pada tahun 2009 telah melaporkan hasil
pertama uji klinis pada akhir tahun 2011. Efikasi yang dicapai oleh RTS,S/AS02
sebesar 62%. Efikasi RTS,S/AS01 sebesar 55,8% terhadap kasus infeksi malaria
baru pada kelompok anak usia 5-17 bulan. Pada dua kelompok usia 5-17 bulan
dan 6-12 minggu mencapai efikasi 34,8%.32

Kesimpulan
Malaria merupakan penyakit yang sudah lama menjadi beban global. Salah satu
cara mencegah transmisi dan penyebaran malaria adalah dengan vaksin. Hingga
saat ini, sudah banyak vaksin yang sedang dan sudah menjalani uji klinis. Vaksin
RTS,S menjadi vaksin malaria pertama yang diakui WHO dan sudah diuji belasan
tahun dan menunjukkan efikasi menjanjikan di berbagai wilayah.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. World Malaria Report 2018. Luxembourg: World Health


Organization, 2018.
2. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019.
3. Kemenkes RI. Epidemiologi Malaria di Indonesia. Jakarta: Kementerin
Kesehatan Republik Indonesia, 2011.
4. IDI and Kemenkes RI. Buku Saku Penatalaksanaan Malaria. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017.
5. Gennaro FD, Marotta C, Locantor P, et al. Malaria and COVID-19:
Common and Different Findings. Tropical Medicine and Infectious
Disease 2020; 5: 1-10.
6. Phillips MA, Burrows JN, Manyando C, et al. Malaria. Nature Reviews
Disease Primers 2017; 3: 1-24.
7. Carlton J. Malaria parasite evolution in a test tube. Science 2018; 12: 159-
160.
8. Tizifa TA, Kabaghe AN, McCann RS, et al. Prevention Efforts for
Malaria. Current Tropical Medicine Reports 2018; 5: 41-50.
9. Bharati K and Das S. Malaria Vaccine Development: Challenges and
Prospects. Journal of Clinical and Diagnostic Research 2019; 13: 1-3.
10. Gunasekera WMKTdAW, Premaratne R, Fernando D, et al. A
comparative analysis of the outcome of malaria case surveillance strategies
in Sri Lanka in the prevention of re‐establishment phase. Malaria Journal
2021; 20: 1-10.
11. Bath D, Cook J, Govere J, et al. Effectiveness and cost-effectiveness of
reactive, targeted indoor residual spraying for malaria control in low-
transmission settings: a cluster-randomised, non-inferiority trial in South
Africa. Lancet 2021; 397: 816-827.
12. WHO. Global technical strategy for malaria 2016–2030. Geneva: World
Health Organization, 2015.

13
13. Cissé B, Ba E, Sokhna C, et al. Effectiveness of Seasonal Malaria
Chemoprevention in Children under Ten Years of Age in Senegal: A
Stepped-Wedge Cluster-Randomised Trial. PLoS Med 2016; 13:
e1002175.
14. Barber BE, William T, Grigg MJ, et al. A prospective comparative study
of knowlesi, falciparum, and vivax malaria in Sabah, Malaysia: high
proportion with severe disease from Plasmodium knowlesi and
Plasmodium vivax but no mortality with early referral and artesunate
therapy. Clin Infect Dis 2013; 56: 383-397.
15. John C and Krause P. Malaria (Plasmodium). In: Kliegman R, Stanton B,
Geme J, et al. (eds) Nelson textbook of pediatrics 19th ed. Philadelphia:
WB Saunders, 2011.
16. WHO. Hospital care of children 2nd ed. Geneva: Switzerland: World
Health Organization, 2013.
17. CDC. Malaria Information and Prophylaxis, by Country [I],
https://www.cdc.gov/malaria/travelers/country_table/i.html (2019,
accessed 23 Oktober 2021).
18. CDC. Choosing a Drug to Prevent Malaria,
https://www.cdc.gov/malaria/travelers/drugs.html (2018, accessed 23
Oktober 2021).
19. Ambarita LP. Vaksin Malaria : Perkembangan dan Tantangan. Spirakel
2010; 1: 54-55.
20. WHO. First malaria vaccine: A potential new tool for child health and
improved malaria control in children. Geneva: World Health Organization,
2021.
21. Laurens MB. RTS,S/AS01 vaccine (Mosquirix™): an overview. Hum
Vaccin Immunother 2020; 16: 480–489.
22. Alonso PL, Sacarlal J, Aponte JJ, et al. Efficacy of the RTS,S/AS02A
vaccine against Plasmodium falciparum infection and disease in young
African children: randomised controlled trial. Lancet 2004; 364: 1411-
1420.

14
23. Olotu A, Fegan G, Wambua J, et al. Seven-Year Efficacy of RTS,S/AS01
Malaria Vaccine among Young African Children. N Engl J Med 2016;
374: 2519-2529.
24. Arora N, Anbalagan LC and Pannu AK. Towards Eradication of Malaria:
Is the WHO’s RTS,S/AS01 Vaccination Effective Enough? Risk
Management and Healthcare Policy 2021; 14: 1033–1039.
25. Rinchai D, Presnell S and Chaussabel D. Blood Interferon Signatures
Putatively Link Lack of Protection Conferred by the RTS,S Recombinant
Malaria Vaccine to an Antigen-specific IgE Response. F1000Research
2015; 4: 1-8.
26. He X, Xia L, Tumas KC, et al. Type I Interferons and Malaria: A Double-
Edge Sword Against a Complex Parasitic Disease. Front Cell Infect
Microbiol 2020; 10: 1-18.
27. Gosling R and von Seidlein L. The future of the RTS,S/AS01 Malaria
vaccine: an alternative development plan. PLoS Med 2016; 13: e1001994.
28. White MT, Verity R, Griffin JT, et al. Immunogenicity of the RTS,S/AS01
malaria vaccine and implications for duration of vaccine efficacy:
secondary analysis of data from a phase 3 randomised controlled trial. The
Lancet Infectious Disease 2015; 15: 1450-1458.
29. RTS SCTP. Efficacy and safety of RTS,S/AS01 malaria vaccine with or
without a booster dose in infants and children in Africa: final results of a
phase 3, individually randomised, controlled trial. Lancet 2015; 386: 31-
45.
30. Olotu A, Lusingu J, Leach A, et al. Efficacy of RTS,S/AS01E malaria
vaccine and exploratory analysis on anti-circumsporozoite antibody titres
and protection in children aged 5–17 months in Kenya and Tanzania: a
randomised controlled trial. Lancet Infect Dis 2011; 11: 102–109.
31. Tinto H, D'Alessandro U, Sorgho H, et al. Efficacy and safety of
RTS,S/AS01 malaria vaccine with or without a booster dose in infants and
children in Africa: final results of a phase 3, individually randomised,
controlled trial. Lancet 2015; 386: 31-45.

15
32. Parera M and Tiala ME. Potensi Vaksin Plasmodium Falciparum Fase Pra-
Eritrositer Sebagai Imunoprofilaksis Pada Pelancong. Multidisciplinary
Journal of Science and Medical Research 2014; 1: 29-35.

16

Anda mungkin juga menyukai