Anda di halaman 1dari 19

PUSAT PERTANGGUNGJAWABAN PUSAT LABA

Tugas Mata Kuliah

Sistem Pengendalian Manajemen (SPM)

Dosen pengampu:

I Gusti Ayu Intan Saputri Rini, S.E., M.Si., AK.,C.a., CSRS., CSRA

Oleh:

Kelompok : 1

Ni Kadek Pramesti Cahyani (1933121275)

Ni Wayan Novi Rahyuni (1933121163)

Putu Adelia Gita Sundari (1933121258)

Program Studi Akuntansi

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Warmadewa
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apabila suatu pusat pertanggungjawaban diukur prestasinya atas dasar laba yang diperoeh,
maka pusat pertanguungjawaban tersebut disebut pusat laba (profit center). Laba adalah selisih
antara pendapatan dan biaya. Dalam pusat laba, baik masukan atau biaya maupun keluaran atau
pendapatan dinyatakan dalam suatu moneter.

Pusat laba dapat berbentuk divisi apabila kegiatan – kegiatan fungsional dilaksanakan oleh
unit – unit kerja dalam lingkup satu organisasi sendiri. Selain itu pusat dapat juga berbentuk
organisasi kegiatan fungsional serta organisasi pelayanan jasa dan organisasi – organisasi
lainnya.

Kinerja keuangan pusat laba diukur berasarkan laba, yang merupakan pengukuran antara
pendapatan dan biaya. Laba sekaligus merupakan alat penilai efisinsi dan efektivitas pusat aba.
Labayang diperoleh suatu pusat laba perlu dibandingkan dengan anggrannya. Hal ini diperlukan
oleh manajemen puncak sebagai langkah pengendalian pusat laba.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari unit usaha?
2. Apa pengertian dari dengan pusat laba lainnya?
3. Bagaimana pengukuran permasalahan dalam pengukuran kinerja pusat laba?
1.3 Tujuan
1. Untuk memahami pengertian unit usaha
2. Untuk memahami pengertian pusat laba lainnya
3. Untuk memahami bagimana pengukuran permasalahan dalam kinerja laba
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 UNIT USAHA

Organisasi fungsional adalah satu tipe organisasi dimana masing – masing fungsi utama
perusahaan (produksi dan pemasaran) dilakukan oleh unit organisasi yang terpisah. Apabila
suatu perusahaan memberikan wewenang kepada suatu bagian/ unit usaha untuk menjalankan
seluruh aktivitas produksi maupun pemsaran sebuah produk atau lini produk, maka proses seperti
ini disebut divisionalisasi. Umumnya suatu perusahaan membentuk satu divisi / unit usaha degan
maksud untuk mendelegasikan wewenang yang lebih banyak kepada manajer operasi.

Beberapa bentuk organisasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


 Semua perusahaan diatur menurut fungsinya pada beberapa tingkatan.
 Perbedaaan antara organisasi fungsional dan organisasi divisi adalah satu rangkaian.
Perbedaan mendasar struktur fungsional dan struktur divisi adalah semua tipe ini
merupakan kombinasi dari keduanya.
 Wewenang penuh untuk menghasilkan laba tidak bias didelegasikan secar penuh ke
satu unit usaha. Tingkat pendelegasian berbeda untuk masing – masing perusahaan.

2.1.1 Kondisi untuk mendelegasikan tanggung jawab laba

Banyak keputusan manajemen meliputi rencana peningkatan biaya dengan harapan dapat
meningkatkan penjualan. Keputusan seperti melibatkan pertukaran (trade off) antara pendapatan
dan biaya. Syarat utama yang harus ada sebelum keputusan pertukaran (trade off)

Bias didelegasikan kepada manajer yang lebih bawah, yaitu:

 Manajer tersebut harus memiliki fungsional yang relevan untuk membuat pertukaran
(trade off) antara pendapatan dan biaya.
 Hendaknya ada cara tertentu untuk mengukur seberapa efektifitasnya seorang
manajer membuat pertukaran (tarde off) seperti ini.
2.1.2 Keuntungan pusat laba

Unit organisasi yang didesentralisasikan menjadi suatu pusat laba mempunyai beberapa
keuntungan, yakni:

 Keputusan tenteng operasional bias lebih cepat diambil kerana banyak keputusan
tidak perlu lagi pertimbangan dari kantor pusat.
 Kualitas keputusan lebih baik karena yang memutuskan adalah orang yang benar –
benar mengerti tentang kepuasan tersebut.
 Manajemen kantor pusat laba lebih memfokuskn diri pada keputusan yang lebih luas,
tidak sekedar keputusan harian saja.
 Kesadaran laba (Profit consciousness) akan lebih meningkat karena manajer divisi
benar – benar bertanggung jawab untuk meningkatkan laba divisinya karena nantinya
merupakan ukuran prestasi bagi manajer yang bersangkutan.
 Pengukuran prestasi dar sutu divisi bisa lebih diperluas karena pengukuran atas dasa
laba lebih lengkap daripada pengukuran prestasi atas dasar pendapatan dan biaya
secara terpisah.
 Manajer divisi lebih bebas berkreasi dan berinisiatif
 Pusat laba merupakan tempat pelatihan yang baik untuk menjadi seorang manajer
yang handal
 Divisionalisasi memudahkan seorang manajer puncak memperoleh informasi tentang
profitabilitas komponen – komponen perusahaan.
 Pusat laba dimaksudkan untuk meningkatkanprestasi kompotitif.

2.1.3 Kelemahan Pusat Laba

Disamping keuntungan, beberapa kelemahan bias terjadi pada suatu pusat laba.
Kelemahan tersebut adalah:

 Untuk kputusan yang telah didelegasikan, manajer puncak mungkin kehilangan kendali.
 Manajer umum yang berwewenang menangani semua aktivitas barangkali tidak ada pada
organisasi fungsional karena tidak adanya kesempatan untuk mengembangkan
kemampuan pribadi mereka.
 Unit organisasi yang tadinya bekerjasama sebagai unit fungsional mungkin bias bersaing
satu sama lainnya.
 Friksi bias meningkat kerena adanya perbedaan pendapat tentang pengambalian
keputusan dalam divisi yang bersangkutan.
 Kemungkinn terlalu memprihatinkan laba jangka pendek.
 Tidak ada system yang menjamin bahwa divisionalisasi untuk masing – msing pusat laba
bias meningkatkan laba perusahaan.
 Kualitas keputusan yang diambil oleh seorang manajer divisi mungkin lebih jeek dari
keputusan yang diambil oleh manajer puncak.
 Adanya tambahan biaya karena divisionalisasi seperti ini tentu saja menambah biaya
yang harus dikeluarkan untuk manajer divisi.

2.1.4 Kelemahan Wewenng pada Unit Usaha/ Divisi

Suatu unit bisnis bisa saja dibentuk menjadi pusat laba. Untuk memenuhi standar yang
ditetapkan oleh manajer divisi harus benar – benar menjadi pusat laba yang independen sebagai
suatu perusahaan. Daam praktinya tidaklah seperti itu, campur tangan pimpinan kantor pusat
biasanya tetap besar, sehingga otonomi berkurang.pemimpin puncak akan berpikir lebih hati –
hati tentang hal ini sehingga akan tergantung pada kmauan pimpinan untuk melaksanakannya.

Keterbatasan yang Disebabkan oleh Unit Usaha Lainnya

Masalah yang timbut dengan adanya duvisionalisasi adalah jika terjadi transaksi dengan
divisi lain dalam suatu perusahaan. Yang menajadi bahan pertimbangan bagi seorang manajer
puncak adalah:

1. Produk apa yang akan dibuat dan dijual


2. Cara pembuatan produk atau jasa
3. Keputusan pemasaranmenyagkut tentang berapa banyak produk tersebut dapat terjual.

Jika seorang manajer divisi memperhatikan tiga hal tersebut maka tidak sulit bagi manajer
divisi untuk membebankan laba dan pengukuran prestasi.

Keterbatasan dari Manajemen Puncak

Kendala yang diakibatkan oleh manajemen puncak bias disebabkan oleh tiga hal berikut:
1. Pertimbangan strategi
Kebanyakan prusahan mempertahankan suatu keputusan khususnya soal
keuangan padalevel puncak, setidaknya untuk kegitan intern. Konsekuensinya satu
kendala yang penting dari unit usaha mengakibatkan pengendalian yang berlebihan,
melebihi dari investasi baru. Satu unit usaha harus bersaing memperoeh dana yang
tersedia untuk kegiatan divisinya.disini kemampuan untuk meyakinkan pimpinan
puncak lebih menonjol hanya dengan kemampuan pribadi saja.
2. Adanya keharusan untuk penyeragaman sistem
Sistem yang dtetapakan manajemen puncak belum tentu cocok dengan divisi yang
bersangkutan
3. Pemikiran bahwa sentralisasi lebih menguntungkan secara ekonomis
Jika suatu divisi diharuskan membeli suatu produk yang akan diproses lebih
lanjut, sementara produk tersebut telah ada pada divisi lain, manajer biasanya lebih
cenderung mengharuskan divisi yang membutuhkan untuk membeli dari divisi yang
ada dalam perusahaan sendiri. Kepuusan ini bias saja salah Karen harga yang
ditawarkan oleh pihak luar biasanya lebih rendah dari padaharga yang diterapkan oleh
perusahaan. Disinilah diperlukannya kearifan dari pemimpin untuk melihat suatu unit
usaha atau divisi benar benar sebagai unit usaha yang otonom.
2.2 PUSAT LABA LAINNYA
a. Unit-Unit Fungsional
Manajer pusat laba yang berbentuk organisasi fungsional mempunyai sedikit
kemungkinan untuk mempengaruhi keputusan mengenai pemilihan psasr dan sumber
pemasok sekaligus. Unit organisasi dalam organisasi fungsional yang biasanya dijadikan
pusat laba adalah unit organisasi produksi dan unit organisasi pemasaran.
Unit organisasi pemasaran
Unit organisasi pemasaran menerima masukan berupa produk jadi dari unit
produksi, memproses produk tersebut hingga siap dijual dam mendistribusikannya
Karena tidak memproduksi sendiri dan tidak mempunyai wewenang dan tanggung jawa
secara langsung terhadap proses produksi , unit pemasaran biasanya diperlukan sebagai
pusat pendapatan. Pemasaran terdapat dua jenis kegiatan yaitu kegiatan logistik atau
pemenuhan order (logistic or order-filling activities) dan kegiatan pencarian order
(order-getting activities). Kegiatan logistik memiliki karakteristik sebagai pusat biaya,
kegiatan order memiliki karakteristik sebagai pusat pendapatan. Pengendalian dalam unit
pemasaran terutama ditujukan pada kegiatan pencarian order.
Unit pemasaran bisa dijadikan sebagai pusat laba dengan cara membebankan harga
pokok penjualan kepada unit ini. Harga ini menyediakan informasi yang relevan untuk
manajer pemasaran dengan keseimbangan antara pendapatan dan biaya. Karena prestasi
manajer diukur dengan laba, maka ada motivasi untuk menghasilkan keputusan yang
terbaik, yang dengan sendirinya akan termotivasi untuk memaksimalkan laba. Harga
yang dibebankan seharusnya atas dasar harga standar, bukan harga sesungguhnya.
Penggunaan harga standar akan memisahkan prestasi bagian pemasaran dari bagian
produksi.
Unit Organisasi Produksi
Unit produksi dalam perusahaan manufaktur membutuhkan masukan berupa bahan
baku, tenaga kerja langsung, dan overhead pabrik, kemudian memprosesnya. untuk
menghasilkan keluaran berupa unit produk jadi. Karena unit produksi tidak mempunyai
wewenang dan tanggung jawab langsung terhadap penjualan, unit produksi ini biasanya
digolongkan sebagai pusat biaya. Sebagai pusat biaya, dalam hal ini pusat biaya teknis,
prestasi unit produksi diukur berdasarkan besarnya biaya yang terjadi. Biaya tersebut
lalu dibandingkan dengan anggaran biaya.
Penilaian berdasarkan efisiensi dapat mendorong manajer produksi untuk
melakukan penekanan biaya. Hal ini akan menimbulkan konflik antara unit produksi dan
unit pemasaran bila penekanan biaya tersebut mengakibatkan penurunan kualitas produk.
Kualitas produk yang jelek akan menyebabkan penurunan penjualan yang selanjutnya
akan mempengaruhi tingkat laba perusahaan. Prestasi manajer pemasaran (sebagai pusat
pendapatan) yang dinilai berdasarkan anggaran penjualan ikut terpengaruh.
Masalah lain yang timbul sehubungan dengan perlakuan unit produksi sebagai pusat
laba adalah bila terjadi pesanan khusus. Adanya pesanan khusus mengakibatkan
penyimpangan dari anggaran biaya. Unit produksi mungkin menolak memproduksi suatu
pesanan khusus, meskipun secar keseluruhan menguntungkan perusahaan, bila hal
tersebut mempengaruhi kinerja biayanya. Unit produksi sebagai pusat laba berarti
keluarannya, yaitu produk jadi dinyatakan dalam satuan moneter dan prestasi unit
produksi diukur berdasarkan laba yang diperoleh.
Salah satu cara menjadikan unit produksi sebagai pusat laba adalah dengan
mengakui pendapatan sebesar perkalian antara produk yang terjual dengan harga jual
dikurangi dengan biaya penjualan dan distribusi. Sedangkan biaya yang dikeluarkan
diukur dengan biaya standar. Masalahnya terjadi karena harga pokok standar tidak
mengukur secara baik prestasi yang telah dilakukan oleh seorang manajer produksi.
Dengan dinilai prestasi unit produksi berdasarkan laba maka manajer produksi akan
mempertimbangkan masalah penjualan. Fokus perhatian manajer produksi tidak lagi
sekedar minimisasi biaya produksi.
Seperti halnya unit pemasaran yang diperlakukan sebagai pusat laba, unit produksi
yang diperlakukan sebagai pusat laba juga disebut sebagai pusat laba semu (pseudo
profit center). Hal ini dilihat dari sudut pandang bahwa pembentukan pusat
pertanggungjawaban mensyaratkan adanya pendelegasian wewenang dan tanggung
jawab. Dari sudut ini, manajer suatu pusat laba seharusnya mempunyai wewenang dan
tanggung jawab terhadap laba. Manajer produksi yang bertanggung jawab terhadap laba
unit produksi tidak memiliki wewenang langsung untuk mempengaruhi pendapatannya.
Unit Pendukung dan Jasa
Bagian pemeliharaan, pemrosesan data, transportasi, pelayanan pelanggan, dan
unit pendukung lainnya bisa dijadikan sebagai pusat laba. Bagian-bagian ini bisa
merupakan divisi pelayanan di kantor pusat, atau bisa juga merupakan unit yang sejajar
dengan pusat laba. Mereka membebani langganan atas jasa yang telah diberikan dengan
tujuan untuk memperoleh penghasilan yang cukup sehingga dapat diseimbangkan
dengan biaya. Biasanya bagian yang menerima jasa mempunyai alternatif pelayanan dari
pihak luar yang mungkin saja bisa lebih murah. Manajer unit yang ada akan termotivasi
untuk mengendalikan biaya, sebaliknya langganan akan pindah ke lain tempat.
b. Organisasi Lainnya.
Suatu perusahaan yang mempunyai cabang dan bertanggung jawab terhadap
pemasaran produk perusahaan apalagi cabang tersebut berbeda tempat, secara alamiah
dianggap sebagai pusat laba. Walaupun manajer cabang tidak melakukan kegiatan
produksi, pengukuran prestasinya adalah tingkat laba yang dihasilkan. Pengukuran
prestasi dengan cara ini menjadi yang terbaik untuk memotivasi mereka menghasilkan
laba yang tinggi. Contohnya adalah bisnis eceran, jaringan hotel, jaringan restauran dan
lain-lain.
2.3 PENGUKURAN KINERJA PUSAT LABA

Ada dua cara pengukuran tingkat profitabilitas pusat laba. Pertama, adalah dengan mengukur
kinerja manajemen (management performance), seberapa baiknya seorang manajer dalam
memimpin unit atau pusat pertanggungjawaban, sehingga prestasi manajer diukur sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawabnya. Pengukuran seperti ini biasa digunakan untuk perencanaan,
koordinasi, dan pengawasan aktivitas harian dari pusat laba bersangkutan. Kedua, dengan
mengukur kinerja ekonomi (economic performance) pusat laba, yaitu sejauh mana pusat laba
sebagai unit kegiatan ekonomi dapat mencapai atau memenuhi anggaran labanya. Kinerja
ekonomi diukur sebagaimana mengukur sebuah kesatuan usaha.

Pengukuran kinerja suatu pusat laba digunakan untuk proses perencanaan, pengkoordinasian
dan pengendalian kegiatan harian pusat laba dan juga sebagai alat untuk merangsang motivasi
kerja para manajernya. Kinerja suatu unit organisasi dinilai berdasarkan tujuan atau standar yang
telah ditetapkan. Sebuah perusahaan diasumsikan bertujuan memperoleh laba yang memuaskan.
Keberhasilan untuk memperoleh laba dapat dinilai secara kuantitatif maupun secara kualitatif.

Laba suatu divisi dinilai berdasarkan wewenang terhadap keputusan produk (product
decision), keputusan pendanaan (sourcing decision), dan keputusan pemasaran (marketing
decision).

Dalam proses pengukuran prestasi pusat laba dibutuhkan elemen-elemen sebagai berikut:
 Tersedianya anggaran atau rencana.
 Pemahaman dan penerimaan logika pengukuran oleh manajer divisi.
 Delegasi pengendalian yang konsisten dengan tanggung jawab yang dibebankan.
 Adanya konsistensi pengukuran di antara divisi-divisi dalam perusahaan.
Anggaran Laba Sebagai Standar Kinerja
Salah satu tolok ukur kuantitatif adalah laba. Penggunaan anggaran laba sebagai
suatu standar prestasi pusat laba mengandung beberapa kelemahan. Pertama,
keberhasilan mencapai anggaran belum menjamin kinerja sebenarnya. Pencapaian
anggaran dipengaruhi oleh penetapan anggaran yang terlalu tinggi atau rendah serta
kemampuan memprediksi. Kedua, laba itu sendiri belum mencerminkan kinerja
perusahaan secara keseluruhan.
Efektivitas anggaran laba sebagai suatu standar kinerja tergantung pada sifat
pendelegasian wewenang dan tanggung jawab. Ada dua jenis pendelegasian wewenang
yaitu pendelegasian ketat dan pendelegasian longgar. Pendelegasian ketat (tight
delegation) didasarkan pada filosofi bahwa manajer pusat laba akan bekerja efektif untuk
memenuhi target jangka pendek dan diperlukan campur tangan manajemen puncak dalam
operasi pusat laba sehari-hari. Sebaliknya dengan pendelegasian longgar (loose
delegation), tidak ditetapkan target jangka pendek dan manajemen puncak tidak banyak
terlibat dalam pengambilan keputusan pusat laba sehari-hari.
Dalam pendelegasian ketat, setiap bulan prestasi manajer dikaji dan prestasi yang
diharapkan pada tahun itu dianalisis secara rinci, selisih yang terjadi diselidiki, dan
dilakukan tindakan koreksi bila ada kemungkinan target laba tidak tercapai.
Pendelegasian jenis ini mempunyai beberapa kelemahan. Pertama, manajer pusat laba
cenderung mengambil tindakan yang mempunyai pengaruh menguntungkan dalam
jangka pendek. Kedua, selisih laba yang terjadi mungkin tidak ada hubungannya dengan
efektivitas tindakan manajer dalam tahun itu. Hal ini karena banyak tindakan penting
manajer yang tidak segera tercermin dalam prestasi laba periode itu.
Dalam pendelegasian longgar, anggaran laba terutama digunakan sebagai alat
komunikasi dan pengendalian. Tidak ada tekanan terhadap tindakan jangka pendek untuk
meningkatkan laba. Penilaian dilakukan dalam jangka waktu yang mencukupi untuk
setiap pusat laba. Diadakan penilaian terminal/akhir bila seorang manajer meninggalkan
sebuah pusat laba. Hal ini untuk melindungi manajer baru dari permasalahan yang
ditinggalkan oleh manajer sebelumnya.
Prestasi Non Laba Sebagai Standar Kinerja
Tujuan jangka panjang sebuah perusahaan umumnya tidak hanya mengejar laba
yang memuaskan. Dengan satu tolok ukur saja, pencapaian tujuan tidak dapat dinilai
secara memuaskan. Beberapa tolok ukur prestasi perlu dikembangkan sesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai. Berikut ini contoh pendekatan untuk mengukur prestasi dengan
beberapa alat ukur:
 Profitability
 Market position
 Productivity
 Product leadership
 Personal development
 Employee attitudes
 Public responsibility
 Balance between long-range and short-range goals.
Namun pengembangan tolok ukur non laba menimbulkan masalah dalam mengukur
prestasi pusat laba. Pertama, tolok ukur tersebut sulit atau hampir tidak mungkin
dikuantifisir. Kedua, tolok ukur atau tujuan yang satu mungkin tidak konsisten dengan
tolok ukur yang lain. Ketidakkonsistenan tolok ukur ini diatasi dengan menetapkan
kinerja minimum untuk setiap dimensi kinerja. Kinerja minimum tersebut perlu
ditetapkan secara formal. Bila tidak, maka pencapaian tujuan tersebut akan sangat
bergantung pada respon manajemen puncak terhadap masing masing tolok ukur prestasi.
Manajer pusat laba berusaha mengidentifikasikan prioritas implisit manajemen puncak
terhadap keberhasilan atau kegagalan pencapaian tujuan tersebut. Dengan demikian
tujuan non laba hanya dapat dicapai bila manajemen puncak memang menghendaki dan
bereaksi positif terhadap keberhasilan pencapaian tujuan itu.
Tujuan Pengukuran Prestasi Pusat Laba
Fremgen dalam buku Accounting for Managerial Analysis menyebutkan tiga tujuan
sistem pengukuran pusat laba, yaitu:
 Untuk menentukan kontribusi sebuah pusat laba, sebagai suatu kesatuan,
terhadap tujuan organisasi.
 Untuk memberikan dasar dalam mengevaluasi kinerja manajer pusat laba.
 Untuk memotivasi manajer pusat laba dalam mengoperasikan unitnya agar
konsisten dengan tujuan umum perusahaan secara keseluruhan.
Dari sudut pandang pengambilan keputusan, Alfred Rappaport mengatakan: "Thus
profit measurements of past peri ods are useful for decision-making purposes only to the
extent that they provide a better understanding of profits likely to be realized in future
periods”. Pengukuran kinerja masa lalu dapat berguna dalam pengambilan keputusan bila
pengukuran tersebut dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai realisasi
laba di masa yang akan datang. Pengukuran kinerja seharusnya dapat mengukur pengaruh
keputusan yang diambil saat ini terhadap laba di masa yang akan datang.
Rappaport menyebutkan 3 tujuan utama pengukuran kinerja pusat laba, yaitu:
 Sebagai petunjuk pengambilan keputusan ex ante bagi manajer divisi.
 Sebagai evaluasi ex post oleh manajemen puncak terhadap prestasi
manajemen divisi.
 Sebagai evaluasi ex post oleh manajemen puncak terhadap prestasi divisi
sebagai sebuah kesatuan ekonomi.
Dari sudut pandang analisis biaya, pertimbangan utama dalam pengukuran kinerja
manajemen adalah keandalan (con trollability). Alat ukur kinerja manajemen seharusnya
memperhitungkan semua elemen yang dapat dikendalikan atau dipengaruhi oleh manajer.
Sedangkan dalam pengukuran kinerja ekonomi yang menjadi pertimbangan utama adalah
keterkaitan antara biaya yang terjadi dengan aktivitas pusat laba tertentu. Alat ukur
kinerja ekonomi seharusnya mencerminkan semua pendapatan, biaya, keuntungan, dan
kerugian yang berkaitan dengan kegiatan pusat laba. Pengukuran kinerja dapat menjadi
motivator bila dikaitkan dengan sistem penghargaan (reward system) perusahaan. Hal ini
dapat dilihat dari model Porter-Lawler, dimana hasil pengukuran kinerja akan mendapat
umpan balik dari persepsi manajer tentang kemungkinan hubungan usaha dan imbalan
(efford-re-ward probability). Selanjutnya imbalan yang diperoleh atas kinerja, mendapat
umpan balik dari persepsi manajer tentang imbalan yang layak diperoleh (perceived
equitable reward).
2.4 PERMASALAHAN DALAM PENGUKURAN KINERJA PUSAT LABA
Dalam mengukur prestasi pusat laba, ada empat masalah memerlukan perhatian khusus,
yaitu:
1. Masalah alokasi pendapatan bersama (common revenues).
2. Masalah alokasi biaya bersama (common cost).
3. Masalah penentuan harga transfer (transfer price).
4. Masalah pemilihan tolok ukur laba (type of profitability measure).
Masalah Alokasi Pendapatan Bersama(Common Revenues)
Pada dasarnya, konflik bisa timbul atas alokasi pendapatan di antara pusat laba. Hal ini
bisa terjadi jika salesman satu divisi meningkatkan penjualan produk yang dibuat oleh divisi
lain dengan menawarkan pada pelanggan. Jika suatu divisi tidak menerima kredit atas
penjualan produk divisi lain, ada sedikit motivasi dalam mengupayakan penjualan seperti itu.
Masalah yang sama timbul jika bank-bank cabang dievaluasi sebagai pusat laba. Seorang
nasabah mungkin mempunyai rekening dekat dengan tempat tinggalnya namun menjalankan
mayoritas transaksi perbankan dengan suatu cabang dekat dengan tempat kerjanya. Konflik
antar cabang bisa terjadi jika semua pendapatan dari deposito tabungan maupun deposito
berjangka dibebankan pada cabang yang dekat dengan lokasi usaha. Pada kondisi seperti itu,
tampaknya bisa diterima untuk membuat jadwal fee (fee schedule) yang akan menyediakan
beberapa kompensasi dari divisi produk pada seorang nasabah dari divisi lain yang membuat
penjualan dan dari bank tuan rumah ke bank yang memberi jasa pelayanan.
Masalah Alokasi Biaya Bersama (Common Cost)
Dalam akuntansi dikenal biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect
cost) atau sering disebut biaya bersama (common cost). Biaya langsung adalah biaya yang
dapat diidentifikasikan secara khusus atau dapat ditelusuri pada suatu produk, dapartemen,
atau proses tertentu.

Beberapa jenis biaya bersama yang perlu dialokasikan antara lain meliputi:
 Biaya overhead pabrik tetap. Biaya ini harus dialokasikan kepada setiap produk untuk
menghitung harga pokok penjualan demi tujuan pelaporan keuangan eksternal.
 Biaya departemen jasa. Biaya operasi departemen jasa dialokasikan kepada departemen
produksi secara individual.
 Joint cost. Biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi yang secara bersama
memproduksi beberapa produk secara simultan dialokasikan kepada produk untuk
penilaian persediaan.
 Biaya kantor pusat. Biaya yang terjadi di kantor pusat dialokasikan kepada divisi atau
pusat pertanggungjawaban (pusat laba atau pusat inestasi).
Salah satu tujuan pengalokasian biaya adalah untuk evaluasi prestasi pusat
pertanggungjawaban harus dinilai dengan mempertimbangkan biaya yang dinikmati dari
pusat pertanggungjawaban lain.
Sehubungan dengan pengalokasikan biaya bersama yaitu mengevaluasi prestasi pusat
pertanggungjawaban, Anthony dan Govindarajan mengatakan:
Servies that are furnished by staff units and other costs, if charged at all, should be
charged to profit centers on a basis that reflects the actual consuntion of the service
and on the basis of specific request made by the responsibility center that wants the
service, to the extent that this is feasible.
Dalam hal ini timbul konsep controllability (keterandalan). Biaya terkendali
mempunyai dua aspek yaitu biaya tersebut mengacu pada suatu pusat pertanggungjawaban
tertentu dan biaya itu dapat dipengaruhi secara signifikan, tidak perlu secara penuh, oleh
manajer pusat pertanggungjawaban. Satu hal yang perlu diingat dalam menentukan biaya
terkendali adalah bahwa biaya terkendali selalu menerapkan biaya langsung sedangkan
biaya langsung belum tentu merupakan biaya terkendali.
Langkah-langkah pengalokasian biaya bersama secara umum terdiri dari tiga tahap yaitu:
1. Mengakumulasikan biaya yang berhubungan dengan produk, departemen, atau divisi.
2. Mengidentifikasikan penerima baiya yang dialokasikan mungkin produk, departemen,
atau divisi.
3. Memilih metode atau dasar untuk menghubungkan biaya pada langkah ke-1 dan
penerima biaya pada langkah ke-2 secara logis.

Langkah ke-3 merupakan tahap yang paling sulit. Karena bila dasar pengalokasian
kurang tepat, tidak mempunyai hubungan logis dengan biaya yang terjadi, evaluasi prestasi
pusat laba menjadi bias. Usaha mencari dasar pengalokasian yang logis sering dilakukan
dengan metode kuantitatif matematik atau statistic. Namun dalam praktiknya penentuan
dasar pengalokasian lebih sering ditentukan dengan campur tangan (arbitrary).
Masalah Penentuan Harga Transfer
Kita telah mencatat beberapa kesulitan yang timbul jika unit organisasi yang
didesentralisasikan harus berinteraksi satu sama lain. Tidak ada tempat yang memiliki
potensi konflik lebih besar pada interaksi seperti itu jika barang yang dihasilkan oleh satu
unit (unit penjual) ditransfer ke unit lainnya (unit pembeli). Jika kedua unit tersebut
diorganisasikan sebagai pusat laba, maka harga transfer yang ditetapkan tersebut akan
berpengaruh terhadap pendapatan bagi pusat laba penjual dan biaya bagi pusat laba pembeli.
Bila sebuah pusat laba hanya menjual atau membeli secara ekslusif pada pusat laba
lainnya maka prestasi pusat laba tersebut sangat ditentukan pusat laba yang lain. Unit
organisasi yang harus menjual secara ekslusif kepada unit tertentu lainnya disebut captive
supplier. Unit organisasi yang membeli ekslusif pada unit tertentu disebut captive costumer.
Harga transfer mempunyai dua peran yang bisa saja mengakibatkan konflik.
Pertama. Sebagai harga, harga transfer merupakan pedoman bagi pembuatan keputusan
local, harga transfer membantu divisi penjual memutuskan bagaimana produk tersebut akan
dikirim dan bagi divisi pembeli, bagaimana produk itu diperoleh. Kedua, harga dan
pengukurran laba membantu manajemen puncak mengevaluasi pusat laba sebagai entitas
terpisah.
Masalah Pemilihan Tolok Ukur Laba
Laba sebagai salah satu alat ukur dalam menilai prestasi pusat laba diharapkan dapat
mencerminkan tujuan pengukuran prestasi. Konsep laba sebagai alat ukur prestasi dapat
dilihat pada contoh format laporan rugi laba pusat laba pada Gambar 5.1.
Untuk bisa mengukur prestasi ekonomis suatu pusat laba seseorang harus melihat laba bersih
setelah dialokasikan ke semua biaya termasuk porsi yang wajar untuk biaya overhead kantor
pusat. Ada lima konsep laba yang biasa digunakan sebagai dasar untuk menilai prestasi
pusat laba berikut ini:
1. Margin Kontribusi (contribution margin). Alasan utama penerapan margin kontribusi
adalah biaya tetap merupakan biaya yang tidak dapat dikendalikan oleh manajer,
sehingga focus perhatiannya adalah bagaimana memaksimalkan margin kontribusi, yaitu
dengan memperbesar jarak antara pendapatan dengan biaya variabel.
GAMBAR 5.1. CONTOH BENTUK LAPORAN KINERJA PUSAT LABA

TOLOK UKUR LABA

Pendapatan ………………………………………… Rp 10.000.000


Harga Pokok Penjualan ……………………………. 7.000.000
Biaya Variabel ……………………………………… 1.000.000
Margin kontribusi …………………………. Rp 2.000.000
Biaya tetap ………………………………………….. 1.000.000 1

Laba langsung divisi ……………………….. Rp 1.000.000


2
Pembebanan dari kantor pusat
Yang bisa dikendalikan ……………………… 300.000
Laba terkendali divisi ………………………. Rp 700.000
3
Biaya dari kantor pusat lainnya …………………… 200.000
Laba sebelum pajak …………………………. Rp 500.000
4
Pajak penghasilan …………………………………. 150.000
Laba bersih ………………………………………… Rp 300.000 5

2. Laba Langsung Divisi (Direct Divisional Profit).


Konsep laba ini memasukkan semua biaya yang terjadi ke pusat laba tanpa
mempertimbangkan apakah unsur biaya tersebut dapat dikendalikan atau tidak oleh
manajer pusat laba. Biaya kantor pusat merupakan biaya tidak terkendalikan bagi pusat
laba, sehingga tidak dimasukkan dalam menghitung laba divisi.
3. Laba Terkendali Divisi (Controllable Divisional Profit).
Biaya kantor pusat dapat dibagi menjadi dua kategori; terkendali dan tidak terkendali.
Biaya yang dimaksud adalah semua biaya yang dapat dikendalikan dan ditelusuri pada
divisi yang bersangkutan oleh manajer pusat laba. Kelemahan dari system ini terletak
pada kesulitan pemisahan biaya yang dapat dikendalikan dan tidak dapat dikendalikan.
4. Laba Sebelum Pajak
Dengan cara ini seluruh biaya overhead kantor pusat dialokasikan kepada pusat laba. Ada
dua alasan penerapan alokasi seperti ini. Pertama, biaya yang terjadi oleh kantor pusat,
seperti biaya pada bagian akuntansi, dan administrasi tidak dapat diawasi oleh manajer
pusat laba. Oleh karena itu biaya tersebut tidak dimasukkan karena tidak dapat dikontrol.
Kedua, kesulitan dalam hal menemukan metode yang tepat untuk pengalokasian biaya
kantor pusat yang benar-benar berhubungan dengan pusat laba.
Tujuan dalam penerapan cara ini adalah untuk menyadarkan kepada manajer
pusat laba bahwa biaya yang dialokasikan tersebut untuk mendukung operasional
perusahaan secara keseluruhan, sehingga tanpa adanya kontribusi laba dari pusat laba
maka perusahaan tidak bisa mengoperasikan perusahaan.
5. Laba Bersih (Net Income)
Dengan cara ini, perusahaan mengukur prestasi pusat laba dari jumlah pendapatan bersih
setelah pajak. Ada dua alasan kenapa cara ini digunakan:
 Pada banyak situasi, laba setelah pajak ini merupakan persentase yang tetap dari laba
sebelum pajak, sehingga tidak mempunyai pengaruh pada pajak perusahaan.
 Pada banyak kondisi, banyak keputusan yang mempunyai pengaruh terhadap pajak
penghasilan dibuat oleh kantor pusat, dan diyakini bahwa manajer pusat laba
hendaknya tidak mempertimbangkan hal ini dalam pengambilan keputusannya.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Pusat laba dalam suatu organisasi merupakan suatu pusat pertanggungjawaban
dimana biaya dan pendapatan diukur menurut ukuran moneter. Pembuatan pusat laba bisa
mendorong pembuatan keputusan pada tingkat yang lebih rendah dimana informasi
relevan mengenai keseimbangan biaya dan pendapatan bisa dihasilkan.
Suatu unit usaha biasanya adalah pusat laba. Untuk keadaan-keadaan tertentu,
fungsi produksi atau fungsi pemasaran bisa dianggap sebagai pusat laba. Namun
diperlukan pertimbangan dalam mendesain unit fungsional untuk dijadikan pusat laba,
seperti pemasaran atau produksi.
Pengukuran laba dalam pusat laba juga melibatkan penilaian yang berkaitan
dengan bagaimana pendapatan dan laba diukur. Dalam hal pendapatan, pilihan
pengakuan pendapatan sangatlah penting. Dalam hal biaya, pengukuran bisa menyangkut
biaya variabel yang terjadi pada pusat laba termasuk biaya overhead yang secara penuh
dialokasikan pada pusat laba termasuk pajak penghasilan. Pertimbangan dalam
pengukuran pendapatan dan biaya seharusnya tidak hanya melibatkan pertimbangan
teknik akuntansi tetapi yang lebih penting pertimbangan perilaku dan motivasi.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim, Achmad Tjahjono, Muh. Fakhri Husein, Sistem Pengendalian Manajemen,
UPP AMP YPKN Yogyakarta, Cetakan Kedua 2003. (AH).

Anda mungkin juga menyukai