Kepentingan Jepang di kawasan Pasifik Selatan sangat kecil. Kecuali ketika PD II
berlangsung, dimana Jepang membangun benteng pertahanan di kawasan ini untuk membendung dan mempertahankan wilayah Asia dari serangan balik sekutu. Setelah PD II, Jepang menjadi satu-satunya kekuatan ekonomi dunia, dan menyebabkan kepentingannya ini hanya tertuju pada Australia dan Slandia Baru. Hal ini berkaitan dengan strategi kerjasama antara negara-negara tersebut dengan AS. Apalagi negara Pasifik Selatan tidak mempunyai arti penting dari sudut ekonominya. Setelah lebih dari 30 tahun sejak PD II, Jepang mulai memberikan perhatiannya kepada kawasan Pasifik Selatan. Terutama ketika negara-negara PNG dan kepulauan Solomon mulai mempersoalkan masalah penangkapan ikan diwilayah mereka. Pada tahun 1979, kedua negara tersebut menuntut perubahan dalam sistem pembayaran mengenai akses kapal-kapal Jepang menjadi lebih komersial. Perkembangan lainnya yang menarik perhatian prngusaha-pengusaha jepang adalah terhadap pariwisata. Sejak awal 1980-an para pengusaha Jepang mulai menanamkan modalnya untuk pembangunan hotel,resort, serta fasilitas kepariwisataan lainnya. Masalah penting lainnya adalah soal kehadiran Prancis serta reaksi negara SPF terhadap hal itu, masalah uji coba nuklir Prancis, dan dekolonisasi di Kaledonia Baru adalah kegiatan yang menyulitkan posisi Jepang di kawasan tersebut. Sentimen- sentimen anti nuklir di Pasifik Selatan, terutama kebijaksanaan Slandia Baru yang mengaitkan dengan larangan berkunjung kapal-kapal bersenjata dan bertenaga nuklir, juga salah satu yang menyebabkan perhatian perhatian Jepang di kawasan ini. Jepang beranggapan bahwa perjanjian mengenai Kawasan Bebas Senjata Nuklir Pasifik Selatan dan kebijaksanaan anti nuklir Selandia Baru akan menjauhkan hubungan negara-negara kawasan dengan AS sebagai negara yang bergantung pada perlindungan dan pencegahan militer AS. Sehingga, Jepang tidak mengharapkan peran global AS menghadapi kesulitan “didalam kubunya sendiri” sebagaimana yang terjadi. Untuk alasan inilah, jepang memperlihatkan keinginannya untuk berperan aktif di kawasan Pasifik Selatan. Jepang berharap dapat memainkan peran konstruktif dan pendukung bagi aspirasi pembangunan ekonomi dan negara negara SPF. Sejak 1987, Jepang mulai meningkatkan bantuan pembangunannya bagi negara-negara dikawasan tersebut. Upaya ini berpedoman pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam”Doktrin Kuranari” atau “the strategic aid” yang diuraikan oleh mantan Mentri Luar Negeri Jepang, Tadashi Kuranari. Ia membicarakan masalah perlunya hubungan kerjasama diantara negara-negara kawasan, serta keinginan Jepang untuk membantu pembangunan di kawasan tersebut. Berdasarkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam doktrin tersebut, Jepang mulai memberikan perhatian terhadap masalah pembangunan di negara-negara pasifik selatan. Dalam kurun waktu 5 tahun(1986-1990) Jepang telah memberikan bantuan keuangan kepada 11 negara di Pasifik Selatan, yaitu kepulauan Cook, Fiji, Kiribati, Nauru, PNG, kepulauan Salomon, Tonga, FSM, Kepulauan Marshal, Vanuatu, dan Samoa Barat.